HURIA KRISTEN BATAK PROTESTAN

UNIVERSITAS

HURIA KRISTEN BATAK PROTESTAN

NOMMENSEN

Foto gedung pertama

Elvis F. Purba

UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN MEDAN

LATAR BELAKANG BERDIRINYA UNIVERSITAS HURIA KRISTEN BATAK PROTESTAN NOMMENSEN

Elvis F. Purba UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN MEDAN

LATAR BELAKANG BERDIRINYA UNIVERSITAS HURIA KRISTEN BATAK PROTESTAN NOMMENSEN

Edisi Pertama, Cetakan Pertama, 2009

Hak Cipta 2009 pada Penulis

Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun, baik secara elektronik maupun mekanik, termasuk memfotocopi, merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya, tanpa seizin tertulis dari penulis.

Cover, desain, setting & layout oleh Elvis F. Purba

Penerbit: UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN Medan, 2009

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena kasih dan rahmatNya sehingga tulisan ringkas ini dapat diselesaikan. Sudah sejak lama penulis ingin mewujudkannya namun baru setahun ini dimulai mengerjakannya. Jauh sebelum itu penulis telah berusaha untuk mengumpulkan sejumlah informasi mengenai Universitas HKBP Nommensen baik dari berbagai dokumen tertulis maupun informasi dari para informan. Sehubungan dengan itu, telah pernah dilakukan wawancara dengan sejumlah mantan Rektor Universitas HKBP Nommensen, diantaranya Dr. Andar Lumbantobing, O.H.S. Purba, MA, MSc, dan Prof. Dr. Amudi Pasaribu, MSc untuk mengumpulkan sejumlah informasi penting perihal Universitas HKBP Nommensen. Pengalaman dalam penelitian dan penulisan laporan proyek penelitian Migrasi Batak Toba yang dibiayai Volkswagen Stiftung Jerman memberanikan saya untuk merampungkan dan mempublikasi tulisan yang cukup singkat ini, yang sengaja ditulis untuk Dies Natalis ke-55 Universitas HKBP Nommensen.

Penulis menyadari bahwa apa yang disajikan dalam tulisan ini mungkin masih jauh dari lengkap karena hanya menyajikan tahap- tahap awal pembukaannya. Walaupun demikian, inilah awal sejarah dari 55 tahun usia Universitas HKBP Nommensen. Ibarat kata pepatah: “tiada gading yang tak retak” mungkin juga tulisan ini masih mengandung berbagai kekurangan baik dari segi isi, penyajian maupun penggunaan bahasa dan cara penulisan yang baik dan benar. Oleh karena itu, dengan rendah hati penulis terbuka untuk kritikan dan saran yang konstruktif dari para pembaca yang budiman demi penyempurnaan pada masa yang akan datang.

Sejak awal hingga tulisan ini selesai banyak pihak yang memberikan masukan dan dukungan. Sehubungan dengan itu sudah selayaknya penulis menyampaikan terima kasih banyak kepada mereka. Khusus dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga kepada:

1. Bapak Drs. Oloan Simanjuntak, MM, yang saat ini menjabat Dekan Fakultas Ekonomi, Universitas HKBP Nommensen, Medan, yang menggagasi pelaksanaan Perayaan 55 Tahun Fakultas Ekonomi Universitas HKBP Nommensen pada Oktober 2009.

2. Rekan dosen dan pegawai di Fakultas Ekonomi Universitas HKBP Nommensen yang tidak dapat disebut satu persatu, yang memberikan dukungan moral untuk menyelesaikan tugas ini.

3. Para informan yang tidak dapat disebut satu persatu yang memberikan masukan berharga sehingga diperoleh gambaran yang lebih menyeluruh tentang sejarah awal pendirian Universitas HKBP Nommensen.

4. Last but not least, terutama buat isteri dan anak-anak penulis yang dengan caranya masing-masing turut mendukung demi penyelesaian tulisan ini.

Akhir kata kiranya tulisan sederhana ini ada manfaatnya, bukan hanya bagi penulis tetapi juga bagi para pembaca yang budiman, khususnya sivitas akademika Universitas HKBP Nommensen. Pro Deo et Patria, bagi Tuhan dan Ibu Pertiwi.

Medan, Oktober 2009 Penulis,

Elvis F. Purba

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

iii

DAFTAR TABEL

BAB 1 NOMMENSEN DAN PENDIDIKAN DI TANAH BATAK: SUATU TINJAUAN RINGKAS

1.1 Nommensen Memasuki Tapanuli Bagian Utara

1.2. Visi Nommensen Tentang Pendidikan

1.3. Pendidikan di Tapanuli

BAB 2 IDE PEMBUKAAN UNIVERSITAS

2.1. Kerindukan Akan Pendidikan Tinggi

2.2. Keputusan Mendirikan Universitas Milik

2.3. Pembentukan Panitia

BAB 3 PERSIAPAN PERESMIAN BERDIRINYA UNIVERSITAS

3.1. Pekerjaan Panitia dan Pemilihan Nama

3.2. Penetapan Tempat Universitas

3.3. Fakultas Yang Akan Dibuka

3.5. Peresmian Universitas

BAB 4 PENUTUP

4.1. Harapan Para Pendiri

4.2. Motto Universitas

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Sekolah Swasta Pribumi di Sumatera

2. Perbandingan Sekolah Dasar dan Murid Bumiputera di Keresidenan Tapanuli

26

3. Dana yang Harus Disediakan Segera

LAMPIRAN

Halaman

1. Susunan Panitia Persiapan Pendirian Universitas Yang Ditetapkan Sinode Godang HKBP Tahun 1953

38

2. Panitia 59 yang Mempersiapkan Pendirian Universitas HKBP Nommensen

39

BAB 1 NOMMENSEN DAN PENDIDIKAN DI TANAH BATAK: SUATU TINJAUAN RINGKAS

1.1. Nommensen Memasuki Tapanuli Bagian Utara

Ingwer Ludwig Nommensen adalah salah seorang misionar yang memasuki daerah Tapanuli untuk menyebarkan Injil. Nommensen tiba di Barus pada tanggal 25 Juni 1862 yang diutus oleh Rheinische Missionsgessellschaft (RMG) Jerman (Pasaribu, 2005). Beliau memulai pekerjaannya di daerah Tapanuli bagian Selatan tetapi kemudian pindah dan memilih Rura Silindung sebagai basisnya. Dalam perjalanannya dari Bunga Bondar ke Silindung tanggal 7 Nopember 1863, Nommensen beristirahat sejenak di daerah antara Pansurnapitu dengan Lumban Baringin dan beliau tertegun memandang Rura Silindung yang indah permai itu dengan persawahan yang terbentang luas hingga ke Sipoholon. Dalam masa istirahat tersebut Nommensen berdoa dan memohon kepada Tuhan agar dia dapat melayani Tuhan dengan memberitakan Injil dan berita keselamatan bagi orang Batak. “Mangolu manang mate pe ahu sandok di tonga-tonga di bangso on ma ahu maringanan, laho pararathon Hatam, Amen” (Sihombing, 1961; Purba dan Purba, 1997; Pasaribu, 2005).

Demikianlah Nommensen bermohon dalam doanya. Dengan mata rohaninya Nommensen mendengar adanya suara lonceng gereja bertalu-talu, suara anak-anak bermain di halaman sekolah, bahkan dia seakan melihat orang-orang Batak sudah berpakaian bagus masuk gereja yang banyak berdiri di Tanah Batak (lihat juga Pasaribu, 2005). Dengan doa permohonannya dan atas pengalaman spiritual demikian, akhirnya Nommensen menetap di daerah Silindung dan memulai pelayanannya di tengah-tengah suku bangsa, yang menurut pandangannya dan pandangan kristiani, masih berada dalam kegelapan.

Keadaan di Tapanuli bagian utara sebelum dan pada awal masa kedatangan Nommensen diwarnai dengan masalah sosial dan masalah ekonomi. Kecurigaan dan permusuhan antar huta pun sangat tinggi bahkan hak-hak azasi manusia (HAM) kurang dihormati. Pelanggaran terhadap HAM agaknya lumrah terjadi dalam masyarakat Batak tradisional. Dalam bidang kesehatan pun sangat memprihatinkan dimana pengobatan tradisional tidak mujarab untuk mengatasi berbagai penyakit yang melanda masyarakat. Disamping itu kehidupan masyarakat masih terbelakang, banyak penduduk yang hidup dalam kemiskinan dan kemelaratan. Di banyak desa, rentenir cukup mencekik masyarakat sehingga lama kelamaan semakin banyak rumah tangga yang terjerat utang. Hal demikian telah disaksikan oleh Burton dan Ward (1827) ketika mereka berkunjung ke Silindung tahun 1824. Ketika ada pertemuan dengan masyarakat setempat, mereka berdua mendapat tantangan dari seorang raja yang hadir dalam pertemuan tersebut yang menyatakan dengan tegas bahwa orang Batak bersedia menerima mereka asalkan dapat menunjukkan jalan untuk mencapai hamoraon dan hasangapon. “Ai molo dipatuduhon hamu tu hami dalan tu hamoraon dohot hasangapon, las do rohanami manjanghon hamu” (Sihombing, 1961; Purba dan Purba, 1997).

Dari surat-surat Nommensen pun dapat diketahui bahwa setidaknya hingga awal abad ke-19, orang Batak ketika itu hidup dalam situasi yang kurang menyenangkan, diliputi kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan (lihat juga Purba dan Purba, 1997), yang tentunya berbeda dari apa yang dialami oleh beliau ketika berada di daerah asalnya, Jerman. Rumah-rumah penduduk sangat sederhana, kesehatan tidak terjamin, bahkan sebagian besar dengan makanan utamanya adalah ubi. Singkatnya, keadaan penduduk sebagian besar Tanah Batak ketika itu, menurut pandangan beliau, cukup memprihatikan. Keadaan demikian harus diberantas dan Nommensen berusaha untuk mengatasinya demi cinta kasihnya bagi orang Batak.

Sesuai dengan nazarnya ketika masih di kampung halamannya, Jerman, Nommensen yang sudah meninggalkan tanah kelahirannya Sesuai dengan nazarnya ketika masih di kampung halamannya, Jerman, Nommensen yang sudah meninggalkan tanah kelahirannya

1.2. Visi Nommensen Tentang Pendidikan

Sejarah telah mencatat bahwa kehadiran Nommensen di Tapanuli bagian Utara penuh dengan pergumulan hidup bahkan ancaman terhadap keselamatan jiwanya. Namun demikian beliau telah berketetapan hati agar tetap melayani orang Batak. Nommensen menembus dan merintis pelayanannya dengan memasukkan kekuatan Injil, pengetahuan, dan patriotisme sehingga benteng kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan secara lambat laun dapat diatasi. Keberhasilan Nommensen menyebarkan Injil di Tanah Batak didukung oleh upaya beliau untuk memajukan kehidupan sosial ekonomi masyarakat, terutama melalui pendidikan dan kesehatan. Sehubungan dengan bidang pendidikan, beliau pernah berkata: “jikalau kita menabur kerohanian saja, tak mungkin kita menuai manusia seutuhnya”. Artinya, kalau gereja hanya terfokus dalam bidang kerohanian saja maka sangat kecil kemungkinannya untuk mencapai tujuan penginjilan. Gereja tidak dapat berdiri sendiri di tengah-tengah masyarakat yang terlantar secara materi. Oleh karena itu untuk mencapai manusia seutuhnya tiada jalan lain selain mencerdaskan warga masyarakat melalui pendidikan dan memperhatikan kesehatannya. Sejalan dengan itu, Nommensen selalu mendesak agar masyarakat dapat membangun gereja dan membangun sekolah.

Pemikiran yang demikianlah yang melatarbelakangi Nommensen sehingga mendesak pendirian sekolah karena tujuan utama pengembangan pendidikan dan pengajaran di kalangan orang Batak oleh RMG adalah agar orang Batak dapat menginjili diri Pemikiran yang demikianlah yang melatarbelakangi Nommensen sehingga mendesak pendirian sekolah karena tujuan utama pengembangan pendidikan dan pengajaran di kalangan orang Batak oleh RMG adalah agar orang Batak dapat menginjili diri

Keberhasilan Nommensen untuk menyebarkan Injil dan mengangkat derajat hidup masyarakat Batak menyebabkan beliau harus dianggap sebagai Rasul orang Batak. Nama beliau pulalah yang akhirnya dipilih dan ditetapkan untuk nama perguruan tinggi yang didirikan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) sekitar tigapuluh enam tahun sesudah Nommensen wafat. Memeteraikan nama beliau bagi Universitas milik HKBP merupakan suatu penghormatan yang amat dalam dari orang Batak umumnya dan warga HKBP khususnya bagi beliau yang dianggap sangat berjasa.

1.3. Pendidikan di Tapanuli

Sebelum kekristenan masuk ke Tanah Batak, sistem pendidikan yang dijalankan adalah pendidikan asli pribumi yang mengutamakan pengetahuan praktis sesuai dengan kebutuhan dan lingkungan. Ada yang memperolehnya dengan cara meniru atau diwariskan dari ayah/ibu, kakek/nenek termasuk dari saudara- saudara dekat dan penghuni kampung lainnya. Sistem pengajaran adalah secara lisan, langsung dan pengalaman lapangan, diantaranya bercocok tanam, berladang, mengenal musim dan sebagainya. Pengetahuan tentang keamanan dan pertahanan pun Sebelum kekristenan masuk ke Tanah Batak, sistem pendidikan yang dijalankan adalah pendidikan asli pribumi yang mengutamakan pengetahuan praktis sesuai dengan kebutuhan dan lingkungan. Ada yang memperolehnya dengan cara meniru atau diwariskan dari ayah/ibu, kakek/nenek termasuk dari saudara- saudara dekat dan penghuni kampung lainnya. Sistem pengajaran adalah secara lisan, langsung dan pengalaman lapangan, diantaranya bercocok tanam, berladang, mengenal musim dan sebagainya. Pengetahuan tentang keamanan dan pertahanan pun

Sistem pendidikan asli pribumi yang terfokus pada pengetahuan praktis serupa itu mulai terdesak oleh pendidikan sistem modern yang berasal dari Barat yang diperkenalkan oleh RMG dan pemerintah kolonial (Aritonang, 1988). Pendidikan tersebut membuka cakrawala berpikir orang Batak menjadi lebih luas dan akibatnya perhatian mereka terhadap pertanian pun secara lambat laun semakin berkurang. Pertanian pun mulai ditinggalkan sedangkan jabatan dalam gereja mulai menjadi idaman bagi banyak orang walaupun mereka tidak memperoleh gaji dari sana. Mereka melihat bahwa jabatan tersebut dapat mengangkat status hingga tahap tertentu sesuai dengan pandangan masyarakat ketika itu (Lumbantobing, 1957; Aritonang, 1988).

Sejak permulaan abad ke-19 semakin terbuka berbagai kesempatan yang lebih baik untuk mendapatkan gaji dan pangkat yang tinggi di instansi Pemerintah, perkebunan dan instansi-instansi yang lain. Seiring dengan terbukanya kesempatan kerja yang beaneka, dibuka pulalah sekolah-sekolah yang menawarkan keahlian yang beraneka juga yang memberikan berbagai peluang bagi kaum muda untuk mendapatkan pekerjaan. Kaum terdidik mengalihkan perhatiannya mencari pekerjaan karena dengan pendidikannya itu mereka hendak keluar dari lingkaran kemiskinan yang dideritanya. Jabatan dalam gereja, seperti guru huria dan guru bantu, yang pada mulanya sangat digemari dan diinginkan karena menurut mereka ada hubungannya dengan wibawa (sahala), lambat laun menjadi kehilangan daya tariknya (Lumbatobing, 1957; Aritonang, 1988). Mereka mencoba mencari pekerjaan di daerah lain di luar wilayah budaya sendiri, diantaranya ke daerah Sumatera Timur bahkan ada yang sampai ke pulau Jawa.

Harus diakui bahwa memang tidak semua berhasil dan mendapat sukses dalam hidupnya karena berbagai hambatan yang Harus diakui bahwa memang tidak semua berhasil dan mendapat sukses dalam hidupnya karena berbagai hambatan yang

Tabel 1. Sekolah Swasta Pribumi di Sumatera

No. Daerah Tahun 1878

1908 1909 Subsidi 1. Dataran Rendah Padang

6 3 11 33 40 11 2. Dataran Tinggi Padang

6 38 62 52 3. Tapanuli (Misionar)

- - - 6. Palembang

1 3 19 36 33 7. Jambi

6 6 2 8. Pantai Timur Sumatera

- 29 26 9. Aceh

1 9 10 3 10. Riau

- - - 11. Bangka

- - - Jumlah

Sumber: Pelly, 1983: 64.

Peranan RMG yang cukup besar dalam pengadaan pendidikan di Tanah Batak antara lain dapat dilihat dari banyaknya jumlah Peranan RMG yang cukup besar dalam pengadaan pendidikan di Tanah Batak antara lain dapat dilihat dari banyaknya jumlah

Tabel 2. Perbandingan Sekolah Dasar dan Murid Bumiputera di Keresidenan Tapanuli

Tahun Zending (RMG) Pemerintah Kolonial Jlh Sekolah

Jlh Sekolah Jlh Murid 1870

Jlh Murid

Na Na 1887

Na : tidak tersedia data

a) Sejak tahun 1904 data statistik tentang sekolah dan murid Zending (RMG) di atas sudah mencakup yang berada di luar Keresidenan Tapanuli, tetapi jumlahnya sangat kecil sehingga tidak terlalu mempengaruhi data di atas. Apabila diperhatikan jumlah sekolah dan/murid Zending (RMG) pada tahun 1920-an terlihat ada penurunan, itu disebabkan penciutan subsidi dan pengetatan persyaratan subsidi.

Sumber: Aritonang, 1987.

Pada mulanya hanya kaum lelaki yang diperkenankan orang tuanya untuk mengikuti pendidikan dan wanita tidak diijinkan. Namun atas usaha Lisette Nieman, Thora van Wedel-Jarlsberg, dan Elfrieda Herder, kaum wanita pun belakangan mendapat Pada mulanya hanya kaum lelaki yang diperkenankan orang tuanya untuk mengikuti pendidikan dan wanita tidak diijinkan. Namun atas usaha Lisette Nieman, Thora van Wedel-Jarlsberg, dan Elfrieda Herder, kaum wanita pun belakangan mendapat

Sekolah-sekolah yang didirikan oleh RMG dan Pemerintah kolonial Belanda, bagaimanapun memberikan jalan terbaik bagi sebagian orang Batak untuk mengembangkan dirinya. Masyarakat mau bersekolah karena dengan berpendidikan, mereka dapat mencapai cita-cita dan tujuan hidupnya sehingga status dan harga dirinya bisa meningkat. Kenyataan ini menyebabkan masyarakat bukan hanya mendambakan pendidikan dasar tetapi juga pendidikan lanjutan hingga pendidikan yang lebih tinggi. Animo masyarakat untuk mencapai pendidikan yang setinggi-tingginya mendorong Pemerintah kolonial mendirikan sekolah yang lebih tinggi pula, diantaranya MULO dan HIK. Menurut sensus 1930, dari seluruh keresidenan yang ada di Indonesia, Tapanuli menduduki urutan kedua dalam hal banyaknya penduduk yang sudah melek huruf. Selain merupakan jawaban terhadap hasrat masyarakat, pengadaan pendidikan sekaligus untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja terdidik di berbagai instansi dan perusahaan-perusahaan asing, yang ketika itu sudah semakin marak di sejumlah daerah. Daerah Sumatera Timur pun menjadi salah satu daerah tujuan tenaga terdidik untuk mencari pekerjaan.

Di Sumatera Timur, misalnya, pertambahan guru, pegawai Pemerintah, pegawai perkebunan, dan bidang-bidang lain semakin banyak diisi oleh orang-orang Batak Toba dibandingkan dengan penduduk setempat. Seiring dengan itu, walaupun pada tahun 1930- an jumlah Batak Toba belum cukup besar, akan tetapi sesuai dengan pekerjaannya, mereka memegang fungsi penting. Melihat perkembangan itu, sekelompok orang Melayu biasa yang mengecap pendidikan Barat (Belanda) mendirikan satu perhimpunan yang dinamakan Persatuan Sumatera Timur yang dibentuk pada April 1938 di Medan dengan tokoh utamanya Abdoel Wahab dan Zahari. Perhimpunan itu dibentuk sebagai awal untuk mengejar ketinggalan mereka dalam berbagai jabatan, terutama dari Batak Toba (Reid, 1987; Purba dan Purba, 1997; 1998).

Jenis-jenis pendidikan keterampilan/kejuruan berkembang tahun-tahun berikutnya. Kecenderungan yang baru mengikuti nilai- nilai profesi atau pekerjaan yang serasi dengan pendidikan tersebut. Terdapat kecenderungan bahwa orang Batak Toba yang mendapat pendidikan meninggalkan kegiatan tradisional (bertani) dan menjadi “pekerja halus” yang pada umumnya memberikan pendapatan yang lebih besar dan status yang lebih tinggi, sebagaimana yang mereka idam-idamkan sesuai dengan nilai-nilai filosofis mereka. Para orang tua menghendaki menantunya seorang GAIB (Gouvernements Ambtenaar voor Inlandsch Bestuur atau pejabat Pemerintah untuk orang-orang Bumiputera) atau seorang tamatan HIK (Hollands Inlandse Kweekschool ), yang menggambarkan adanya pergeseran penilaian terhadap pendidikan yang dicapai dan pekerjaan yang didapat seseorang.

Dampak pendidikan benar-benar menumbuhkan fanatisme yang luar biasa bagi orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya, termasuk keluar Tapanuli. Kendatipun para orang tua harus meneteskan air mata ketika memberangkatkan anak-anaknya melanjutkan pendidikan ke luar daerah, terutama kalau ke pulau Jawa, namun hal itu menjadi pemberi semangat bagi anak-anak mereka. Bahkan Dr. Verwiebe, seorang Jerman dan mantan Ephorus HKBP pernah mengemukakan bahwa pemuda-pemuda Batak yang berangkat ke pulau Jawa untuk melanjutkan pendidikannya harus mendapat ijazah terlebih dahulu untuk mencapai kekayaan sebelum mereka berumah tangga (Pedersen, 1970; Purba dan Purba, 1997). Sampai akhir kolonial, kelompok- kelompok terdidik Batak Toba sebagai “white collar” telah menyebar ke berbagai penjuru, seperti ke pulau Bangka, Jawa, Kalimantan, Sulawesi bahkan ke Singapura. Dan salah satu produk pendidikan Zending yang lebih tersohor bahkan sudah hampir tersebar di seluruh pelosok Nusantara ketika itu adalah guru (Aritonang, 1988).

Sukses dalam mencapai pendidikan tertentu dan dibarengi dengan keberhasilan memperoleh pekerjaan baik di berbagai instansi, apalagi mendapat tempat dalam hirarki sistem

Pemerintahan, agaknya telah merubah dasar dan manifestasi kemampuan berkuasa, sahala harajaon, kepada kemampuan untuk dihormati, sahala hasangapon. Oleh karena itulah tepat apa yang dikemukakan oleh Castles (1972) yang menyatakan bahwa masyarakat sudah memandang pendidikan merupakan suatu jalur mobilitas sosial untuk mendapatkan pangkat.

Sementara itu kesempatan yang terbatas di wilayah budaya sendiri untuk mendapatkan pekerjaan menyebabkan kaum terdidik yang belajar di daerah lain enggan kembali ke kampung halamannya. Terbukanya pusat-pusat pendidikan baru di daerah lain, terutama sejak dekade 1950-an, menyebabkan Tapanuli lama kelamaan kehilangan manusia-manusia potensilnya. Demikian juga dengan pemindahan sekolah dari Tapanuli, misalnya Sekolah Menengah Theologia dari Sipoholon ke Pematang Siantar pada awal pembukaan Universitas HKBP Nommensen turut mempercepat proses pengurasan tersebut.

Hamajuon telah menunjang kedudukan sosial penduduk sekaligus berdampak positif terhadap kekayaan materi dan hasangapon yang akhirnya menjadi gerakan hamajuon bagi masyarakat Batak. Hamajuon telah menjadi guiding principle (Keuning, 1958) dan sebagai golden plough (Bruner, 1961) di kalangan Batak, khususnya Batak Toba. Pendidikan dianggap sebagai salah satu faktor yang mampu mengatasi kemiskinan bahkan merupakan langkah paling strategis untuk meraih hamoraon dan hasangapon. Setidaknya ada 3 nilai filosofi yang selalu melekat dalam hati dan sanubari orang Batak, yaitu hagabeon, hamoraon, dan hasangapon (3H). Setiap orang atau setiap keluarga Batak (Toba), baik yang bertempat tinggal di bona pasogit atau di parserakan (diaspora) selalu mengejar 3H tersebut disepanjang hidupnya (Purba dan Purba, 1997).

BAB 2 IDE PEMBUKAAN UNIVERSITAS

2.1. Kerinduan Akan Pendidikan Tinggi

Jauh sebelum ada perguruan tinggi di Sumatera bagian utara, seseorang yang menyatakan dirinya sebagai pemerduli (pencinta) bagi bangsa Batak (sahalak parholong ni roha di bangso Batak) telah mengungkapkan arti pentingnya suatu Universitas bagi bangsa Batak pada tahun 1918. Dengan pernyataan yang dapat diterima pikiran, beliau mengatakan: “ai aha ma bangso Batak mortimbanghon angka bangso na asing anggo so adong univer- sitet “ (terjemahan bebas: apakah kelebihan bangsa Batak dari bangsa lain jika tidak memiliki Universitas). Pernyataan parholong ni roha tersebut, yang sesungguhnya beliau adalah orang asing, pada dasarnya menggambarkan visinya tentang arti penting pembukaan perguruan tinggi di tengah-tengah bangsa Batak. Beliau mengharapkan bahwa perguruan tinggi tersebutlah yang akan menghasilkan calon-calon pemimpin bangsa yang bijaksana dan cendikia (asa lam tamak parrohaon dohot pamingkirion ni na deba, nanaeng gabe partogi di bangso) . Apa yang dikemukakan parholong ni roha itu ditulis dan dapat dibaca oleh banyak orang karena dimuat dalam satu majalah yang tersebar luas, khususnya di kalangan orang Batak yang menganut agama Kristen, yaitu Majalah Immanuel yang diterbitkan oleh Gereja Batak. Tulisan tersebut terbit sekitar dua bulan sebelum I.L. Nommensen wafat.

Sejarah pendidikan di Tapanuli mencatat bahwa RMG dan Pemerintah kolonial Belanda mempunyai peran sentral bagi pengadaan sekolah dasar dan sekolah menengah kejuruan/umum pada masa kolonial. Usaha RMG diteruskan oleh HKBP sesudah dekade 1930-an sehubungan dengan berdikarinya HKBP dari RMG. HKBP secara giat menyediakan sarana pendidikan untuk masyarakat di daerah-daerah pelayanannya sehingga jumlahnya senantiasa bertambah. Sarana pendidikan tersebut bukan hanya Sejarah pendidikan di Tapanuli mencatat bahwa RMG dan Pemerintah kolonial Belanda mempunyai peran sentral bagi pengadaan sekolah dasar dan sekolah menengah kejuruan/umum pada masa kolonial. Usaha RMG diteruskan oleh HKBP sesudah dekade 1930-an sehubungan dengan berdikarinya HKBP dari RMG. HKBP secara giat menyediakan sarana pendidikan untuk masyarakat di daerah-daerah pelayanannya sehingga jumlahnya senantiasa bertambah. Sarana pendidikan tersebut bukan hanya

Seiring dengan gerakan hamajuon di kalangan orang Batak menyebabkan jumlah pemuda Batak yang mengecap pendidikan dasar dan menengah semakin banyak pula, baik yang belajar di Tapanuli maupun di luar Tapanuli. Sebelum dekade 1950-an banyak diantara mereka yang ingin melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi, akan tetapi harus ke pulau Jawa karena pada saat itu semua perguruan tinggi yang ada di Indonesia terpusat di sana. Selain pertimbangan jarak yang relatif jauh dan hubungan transportasi dan komunikasi yang belum memadai, tentulah pertimbangan dana sangat mempengaruhi keputusan orang tua untuk mengirimkan anak-anaknya belajar ke pulau Jawa ketika itu.

Pada masa kolonial Belanda, kemungkinan untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah lanjutan, apalagi pendidikan tinggi sangatlah terbatas. Ketika itu jumlah sekolah lanjutan atas dapat dibilang dengan jari karena adanya pembatasan yang dibuat oleh pemerintah kolonial. Ketika itu di kota Medan, misalnya, hanya ada satu sekolah lanjutan atas yaitu HBS dan bahkan satu-satunya di pulau Sumatera. Sementara itu di pulau Jawa sudah ada pendidikan tinggi seperti Medische Hoge School (Kedokteran) dan Rechts Hoge School (Hukum) di Jakarta dan Technische Hoge School (Teknik) di Bandung dan beberapa pendidikan tinggi lainnya yang bersifat akademis.

Sesudah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, perkembangan di bidang pendidikan pun menunjukkan kemajuan. Sekolah-sekolah bukan hanya didirikan oleh Pemerintah tetapi juga oleh pihak swasta. Gereja-gereja pun tidak ketinggalan untuk mengambil andil dalam pengadaan pendidikan, dengan dasar agar dapat melayani gereja, nusa, bangsa dan masyarakat dengan sewajarnya untuk kemuliaan nama Tuhan. Dalam kepemimpinan Sesudah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, perkembangan di bidang pendidikan pun menunjukkan kemajuan. Sekolah-sekolah bukan hanya didirikan oleh Pemerintah tetapi juga oleh pihak swasta. Gereja-gereja pun tidak ketinggalan untuk mengambil andil dalam pengadaan pendidikan, dengan dasar agar dapat melayani gereja, nusa, bangsa dan masyarakat dengan sewajarnya untuk kemuliaan nama Tuhan. Dalam kepemimpinan

Perkembangan sarana dan prasarana pendidikan di berbagai daerah, baik yang dibiayai oleh Pemerintah maupun oleh pihak swasta mendorong HKBP untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas sekolah-sekolah yang didirikannya agar dapat melayani warga gereja, bangsa dan negara. Sesudah Indonesia merdeka, sekolah-sekolah yang diasuh oleh HKBP semakin besar jumlahnya, semakin beraneka ragamnya, dan semakin tinggi tingkatannya. Perkembangan dalam masalah-masalah ekonomi, politik, dan sosial pun merupakan dorongan untuk meningkatkan mutu pendidikan HKBP mulai dari sekolah dasar hingga pendidikan lanjutan. Universitas HKBP Nommensen adalah perkembangan logis dari jaringan persekolahan yang diasuh Huria Kristen Batak Protestan.

2.2. Keputusan Mendirikan Universitas Milik Gereja

Jauh sebelum Sinode Godang HKBP tahun 1952 memutuskan untuk mendirikan Universitas, hubungan antara HKBP dengan zending-zending Jerman atau Belanda relatif terbatas. Dapat dipahami bahwa HKBP pun enggan untuk meminta bantuan dana dari kedua-dua zending tersebut karena keinginan untuk melindungi otonomi yang baru diperoleh. Sebaliknya, zending Belanda malah memberi perhatiannya bagi HKBP. Namun oleh karena alasan- alasan politis, zending Belanda tidak dapat memberi bantuan langsung kepada orang-orang Batak. Sebelum tahun 1948, misalnya, Dewan Zending Belanda telah meminta bantuan dari Gereja Presbyterian (Amerika Serikat) untuk membantu orang Batak akan tetapi tidak berhasil. Selanjutnya pada awal tahun 1948 mereka berpaling kepada Commision on Younger Churches and

Orphaned Missions (CYCOM) yaitu satu komisi dari National Lutheran Council (NLC) di Amerika Serikat, untuk meminta bantuan yang akan disalurkan bagi orang Batak. Keberhasilan para misionar RMG yang bekerja di Cina Selatan mendapat bantuan dari CYCOM, mendorong Zending Belanda mendesak CYCOM agar memberikan bantuannya juga kepada HKBP (Pedersen, 1970).

Kendatipun HKBP baru menjadi anggota LWF tahun 1952, namun HKBP telah mendapat bantuan LWF untuk membuka kembali Seminari Sipoholon tahun 1950. Namun tidak demikian halnya dengan CYCOM terkait dengan rencana HKBP untuk mendirikan Universitas. Panitia Executive CYCOM ternyata kurang tertarik atau kurang antusias akan berita tentang Universitas yang bakal didirikan itu. Lebih dari itu, yang paling mengagetkan lagi adalah kecemasan mereka yang dinyatakan secara tertulis kepada Dr. Arne Bendtz, wakil LWF di Sumatera ketika itu. Diberitahukan juga supaya perbincangan, apalagi memberi harapan akan bantuan dari LWF untuk Universitas yang sudah didesasdesuskan itu sebaiknya dihindari dan dihalang-halangi. Sekretaris CYCOM juga kemudian mendengar berita itu pada Mei 1954 bahwa HKBP bermaksud membuka Universitas Nommensen pada Oktober tahun itu juga. Oleh karena cemas atas desas-desus bahwa LWF telah menjanjikan sebuah Universitas kepada HKBP, maka segera diadakan konsultasi dengan wakil-wakil Dewan Zending Belanda dan dalam konsultasi kedua yang diadakan di Chicago selama Sidang Raya Dewan Gereja-Gereja Sedunia (Pedersen, 1970).

Pada konsultasi Chicago, wakil-wakil Batak yang hadir dalam pertemuan itu mengungkapkan perasaannya yang mendalam mengenai kebutuhan yang mendesak akan sebuah Universitas Kristen di Sumatera Utara. Keinginan tersebut juga didorong oleh kenyataan bahwa Pemerintah, masyarakat muslim, dan kaum Katolik Roma, semuanya telah mempertimbangkan membuka Universitas-universitas yang baru. Dr. Bendtz memberitahukan dalam pertemuan itu bahwa Universitas Islam juga sedang berunding dengan Rockefeller Foundation untuk mendapatkan Pada konsultasi Chicago, wakil-wakil Batak yang hadir dalam pertemuan itu mengungkapkan perasaannya yang mendalam mengenai kebutuhan yang mendesak akan sebuah Universitas Kristen di Sumatera Utara. Keinginan tersebut juga didorong oleh kenyataan bahwa Pemerintah, masyarakat muslim, dan kaum Katolik Roma, semuanya telah mempertimbangkan membuka Universitas-universitas yang baru. Dr. Bendtz memberitahukan dalam pertemuan itu bahwa Universitas Islam juga sedang berunding dengan Rockefeller Foundation untuk mendapatkan

Kendatipun demikian utusan HKBP tetap menyatakan keinginannya yang kuat untuk terus membantu institut (Sekolah Theologia) Jakarta walaupun masyarakat Batak diliputi sedikit kecemasan bahwa mahasiswa-mahasiswanya tidak mendapat perhatian yang cukup di Jakarta. Atas dasar keinginan yang begitu dalam dan kuat dari utusan HKBP serta dukungan Dr. Arne Benzt, komisi itu akhirnya mengakui perlunya suatu perguruan tinggi Kristen di Sumatera sehingga sangat penting untuk melaksanakan rencana yang demikian. Sementara itu ijin dari Pemerintah masih mungkin dapat diperoleh dan kebutuhan untuk bekerjasama secara erat dalam usaha berat ini dengan Dewan Gereja Indonesia (DGI) dan Universitas Kristen di Jakarta masih dapat ditingkatkan.

Kenyataan-kenyataan seperti disebutkan di atas dan keinginan anggota-anggota dan para tokoh gereja (HKBP) saat itu untuk mendirikan perguruan tinggi yang bernuansa kristiani bagi penduduk Sumatera Utara adalah alasan-alasan yang terpenting untuk mendirikan satu Universitas milik gereja. Keputusan untuk mendirikan Universitas HKBP Nommensen hanya beberapa bulan terlambat dari dua Universitas yang telah lebih duluan berdiri di Medan. Kedua Universitas dimaksud adalah Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) dan Universitas Sumatera Utara (USU) yang didirikan pada pertengahan tahun 1952 yang pada mulanya merupakan suatu yayasan (Masjikuri dan Kutoyo, 1981). Kedua Universitas tersebut berjalan dengan nuansa masing-masing dan rencana pendirian Universitas HKBP Nommensen akan memberi nuansa yang lain, yaitu nuansa kristiani.

Pada tahun awal beroperasinya kedua Universitas tersebut, fakultas yang dibuka masih sangat terbatas sekali. Hingga tahun 1955, misalnya, USU hanya mengasuh dua fakultas, yaitu Fakultas Kedokteran yang dibuka pada awal berdirinya dan ditambah dengan Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Masyarakat pada tahun 1954. Dan hingga di-negeri-kan pada Nopember 1957 hanya menambah 2 fakultas lagi, yaitu Fakultas Pertanian dan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Demikian juga halnya dengan UISU hanya membuka dua fakultas, yaitu Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat serta Fakultas Agama Islam, yang kedua- duanya dibuka bersamaan dengan berdirinya Universitas tersebut (Masjikuri dan Kutoyo, 1981). Jumlah fakultas yang dibuka kedua Universitas tersebut sangat terbatas sehingga belum mampu menjawab semua keinginan warga masyarakat yang hendak melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Kehadiran kedua perguruan tinggi tersebut, bagaimanapun, membangkitkan semangat masyarakat Batak yang beragama Kristen untuk segera mendirikan Universitas.

Rencana untuk mendirikan sebuah Universitas milik gereja di Sumatera Utara sebenarnya sudah dimulai pada tahun 1948 (Pedersen, 1970), sekitar 30 tahun sesudah parholong ni roha di bangso Batak mengemukakan arti pentingnya Universitas di Tanah Batak dan bagi orang Batak. Namun rencana pendirian tersebut tidak diwujudkan oleh Sinode Godang HKBP hingga tahun 1951. Walaupun dirasa sudah terlambat (lihat Angka Hatorangan…, 1954), namun jemaat HKBP melalui para utusannya semakin menyadari betapa pentingnya suatu Universitas, tidak saja dalam tubuh HKBP atau masyarakat Batak, tetapi juga bagi bangsa dan negara Indonesia. Usulan untuk membuka Universitas milik HKBP, terutama berasal dari Distrik Sumatera Timur dan istimewa dari Resort HKBP Pematang Siantar. Kerinduan anggota-anggota HKBP akan perguruan tinggi semakin membara dan keinginan itu tidak terbendung lagi. Akhirnya dalam Sinode Godang 1952, desakan tersebut mendapat sambutan positip dari para sinodisten sehingga pada waktu itulah diputuskan untuk mendirikan sebuah Universitas milik gereja.

2.3. Pembentukan Panitia

Untuk melaksanakan keputusan tersebut, Sinode menugaskan Pucuk Pimpinan HKBP membentuk satu panitia yang bekerja untuk mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan. Sinode Godang memberi kuasa bagi Kerkbestuur (Parhalado Pusat) untuk memilih anggota-anggota, yaitu yang menjadi Panitia Persiapan Pendirian Universitas. Parhalado Pusat sangat hati-hati untuk memilih anggota-anggota Panitia itu. Anggota jemaat HKBP yang berhasil dan yang dapat memberikan waktu dan pikirannya, merekalah yang dipilih menjadi anggota-anggota panitia tersebut dan Ephorus HKBP Dr. Justin Sihombing ditetapkan sebagai ketuanya. Ternyata yang menjadi anggota-anggota panitia yang terpilih bukan hanya orang Batak jemaat HKBP tetapi ada juga orang asing (Lihat Lampiran 2). Hal ini membuktikan bahwa pekerjaan tersebut bukanlah hal ringan melainkan pekerjaan berat yang perlu ditangani oleh banyak orang. Perlu sinergi untuk melaksanakan pekerjaan yang mulia ini supaya dapat berdaya guna dan berhasil guna.

Setelah bekerja selama satu tahun, panitia melaporkan hasil kerjanya pada Sinode Godang HKBP tahun 1953 yang berisikan persiapan-persiapan pendahuluan pendirian Universitas telah rampung. Selanjutnya Sinode Godang 1953 memutuskan dan menugaskan mereka untuk bekerja menyiapkan hal-hal yang berhubungan dengan pembukaannya, yakni mengenai lokasi Universitas, gedung-gedung perkuliahan, perpustakaan, dan perumahan dosen.

HKBP mendirikan Universitas adalah dalam rangka menjalankan Tri Panggilan HKBP. Universitas HKBP Nommensen didirikan HKBP sewaktu perguruan tinggi negeri belum ada di Sumatera bagian Utara dan sarana pendidikan tinggi swasta yang ada masih sangat terbatas. Perguruan tinggi negeri yang terdekat ketika itu berada di Pulau Jawa dan tentunya hanya penduduk yang berada saja yang mampu menyekolahkan anak-anak mereka waktu itu ke Pulau Jawa. Selain yang telah disebutkan sebelumnya, inilah HKBP mendirikan Universitas adalah dalam rangka menjalankan Tri Panggilan HKBP. Universitas HKBP Nommensen didirikan HKBP sewaktu perguruan tinggi negeri belum ada di Sumatera bagian Utara dan sarana pendidikan tinggi swasta yang ada masih sangat terbatas. Perguruan tinggi negeri yang terdekat ketika itu berada di Pulau Jawa dan tentunya hanya penduduk yang berada saja yang mampu menyekolahkan anak-anak mereka waktu itu ke Pulau Jawa. Selain yang telah disebutkan sebelumnya, inilah

Berbeda dari semua lembaga HKBP lainnya, Universitas diharapkan, diidam-idamkan dan dicita-citakan oleh para pendiri agar Universitas HKBP Nommensen dapat menjadi “tangki pemikir” bagi warga HKBP khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya (Purba, 1989). Dalam dokumen “Angka Hatorangan Taringot tu Universiteit Nommensen” disebutkan juga bahwa adalah kekurangan besar apabila orang Kristen Batak tidak memiliki Universitas. Memang benar bahwa Universitas milik gereja ini didirikan agar menjadi tempat menyamaikan para pemimpin yang bijaksana dan cendikia bagi bangsa kita, dan membantu mereka yang kurang mampu menyekolahkan putra-putri mereka ke perguruan-perguruan tinggi yang ada di Pulau Jawa. Dan dari salah satu dokumen yang dikeluarkan oleh panitia disebutkan bahwa Universitas HKBP Nommensen didirikan adalah: “Asa parsamean ni angka partogi na bisuk dohot na malo do Universiteit on di bangsonta, dohot mangurupi angka na hurang di sibahenon pasikolahon angka ianakkonnasida tu parsikolaan na timbo na adong di Pulo Jawa, do umbahen dipanjongjong” (lihat juga Pasaribu, 1997). Sesungguhnya, apa yang dituliskan oleh para pendiri lembaga ini, sebagaimana disebutkan di atas, adalah pernyataan resmi dari misi khusus Universitas yang akan didirikan tersebut.

BAB 3 PERSIAPAN PERESMIAN BERDIRINYA UNIVERSITAS

3.1. Pekerjaan Panitia dan Pemilihan Nama Universitas

Mendirikan Universitas milik gereja, sebagaimana disebutkan di atas, telah diputuskan pada Sinode Godang HKBP tahun 1952. Untuk mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan Universitas adalah satu pekerjaan yang sulit namun mulia. Dalam Sinode Godang tahun 1953 kembali dibicarakan rencana tersebut. Setelah dipikirkan secara matang, maka Sinode Godang memberikan kuasa kepada Parhalado Pusat HKBP untuk membentuk satu panitia yang memikirkan dan mempersiapkan rencana itu. Ketika itulah ditetapkan panitia yang dinamakan Panitia Persiapan Universiteit H.K.B.P. yang diketuai oleh Ephorus HKBP Dr. Justin Sihombing (lihat Lampiran 1). Panitia tersebut diresmikan pada awal tahun 1954 dan mereka pertama kali mengadakan rapat pada Pebruari tahun itu. Mengingat banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan dan waktu yang sudah begitu singkat, maka panitia membentuk seksi-seksi supaya pekerjaan mereka menjadi efektif. Kepanitian dibagi atas: (1) pengurus harian, (2) seksi keuangan, (3) seksi bangunan, (4) seksi teknik, (5) seksi ojahan (statuten), (6) seksi penerangan, (7) seksi humas, dan lain-lain yang dianggap perlu (Brosure, 1954).

Salah satu hal yang dibicarakan Panitia Persiapan Pendirian Universitas dalam rapatnya yang pertama Pebruari 1954 adalah masalah kepemilikan Universitas, yaitu siapa yang menjadi pemilik Universitas yang akan didirikan itu. Kesimpulan Panitia Persiapan Pendirian Universitas ketika itu ialah bahwa pada dasarnya HKBP adalah pendiri walaupun juga memilikinya. Akan tetapi apabila ada gereja lain, yang seiman dan yang mempunyai konfesi yang sama dengan HKBP, dapat juga menjadi pemilik di kemudian hari jika mereka ikut memikirkan dan turut membiayai kebutuhan Universitas (Angka Hatorangan…, 1954). Kepemilikan tersebut Salah satu hal yang dibicarakan Panitia Persiapan Pendirian Universitas dalam rapatnya yang pertama Pebruari 1954 adalah masalah kepemilikan Universitas, yaitu siapa yang menjadi pemilik Universitas yang akan didirikan itu. Kesimpulan Panitia Persiapan Pendirian Universitas ketika itu ialah bahwa pada dasarnya HKBP adalah pendiri walaupun juga memilikinya. Akan tetapi apabila ada gereja lain, yang seiman dan yang mempunyai konfesi yang sama dengan HKBP, dapat juga menjadi pemilik di kemudian hari jika mereka ikut memikirkan dan turut membiayai kebutuhan Universitas (Angka Hatorangan…, 1954). Kepemilikan tersebut

Sebelum Universitas resmi berdiri, Panitia Persiapan Pendirian Universitas harus menetapkan nama bagi Universitas. Apabila dipikirkan sepintas lalu, memang tidak sulit untuk menentukan namanya. Akan tetapi pemilihan dan penentuan nama tersebut menjadi satu pergumulan tersendiri juga bagi panitia karena sesungguhnya dalam nama tersebut harus terangkum berbagai maksud atau cita-cita. Dari nama yang akan dipilih dan ditetapkan dikehendaki dan diharapkan suatu identitas, yaitu kekristenan yang bukan hanya berjangka pendek akan tetapi sekaligus menjadi cita- cita untuk mewujudkan semakin kokohnya kekristenan serta memungkinkan Injil semakin menyebar. Selain itu, nama yang akan dipilih tidak mengandung unsur yang dapat menimbulkan pengelompokan bagi sesama jemaat Kristen. Oleh karena pertimbangan sedemikian, panitia merenungkannya dengan sungguh-sungguh (mangaririt) nama Universitas yang akan diresmikan itu. Panitia menyadari bahwa bila nama Universitas adalah “Universitas HKBP” berarti nama tersebut akan menjadi batasan bagi sesama. Sehubungan dengan itulah diadakan rapat khusus untuk menentukan nama Universitas dengan tetap berpedoman pada pandangan dan cita-cita yang telah disebut di atas.

Terdapat sejumlah nama yang diusulkan oleh peserta rapat ketika itu. Masing-masing peserta memberikan alasan dan tafsiran terhadap nama yang mereka ajukan. Dilihat dari usulan nama-nama yang diajukan, masing-masing nama mempunyai corak tertentu. Ada yang bercorak kekristenan, kemisionaran, kenasionalan, kedaerahan, dan bahkan kesukuan. Nama-nama yang diajukan antara lain adalah (Siagian, 1973; Kenang-kenangan…, 1979) :

1. Universitas Merdeka. Nama ini diusulkan karena mengandung pengertian dan cita-cita kenasionalan. Akan 1. Universitas Merdeka. Nama ini diusulkan karena mengandung pengertian dan cita-cita kenasionalan. Akan

2. Universitas Si Singamangaraja. Nama ini diusulkan untuk mengingat dan menghormati kepahlawanan Raja Si Singamangaraja XII yang rela mengorbankan jiwa raganya untuk mengusir penjajah Belanda dari Tanah Batak demi bangsa dan negara Indonesia.

3. Universitas Toba. Nama ini diusulkan untuk mengingatkan bahwa daerah Toba adalah pusat dan asal- usul suku Batak. Selain itu, kata “Toba” akan mengingatkan kita akan nama salah satu suku dan sekaligus geografisnya.

4. Universitas Horas. Pengajuan nama ini mengingatkan kita akan maksud yang terkandung dalam kata “horas”, yakni sejahtera, damai, makmur, sehat, kuat, dan bahagia. Walaupun kata “horas” semakin lama semakin populer di kalangan masyarakat, namun kata itu adalah bahasa daerah (Batak Toba), sehingga dianggap juga sebagai pembatas.

5. Universitas Sumatera. Usulan nama ini timbul sebagai lampiasan kemarahan kepada pihak penjajah yang tidak mendirikan perguruan tinggi di pulau Sumatera pada masa yang lalu.

6. Universitas Paulus. Nama ini diajukan untuk mengingatkan kita akan nama seorang rasul yakni Paulus dengan maksud agar sifat ke-misionar-annya dapat berkembang terus dan mempunyai sifat lebih universal.

7. Universitas Kristen Batak. Nama ini diajukan untuk mengingatkan kita akan keberhasilan RMG menyebarkan Injil bagi orang Batak dan yang telah berhasil mengristenkan sebagian besar orang Batak. Namun nama ini juga mengandung ketidakjelasan apabila dilihat dari segi kepemilikan Universitas.

8. Universitas Nommensen. Pengusulan nama ini adalah untuk memberi penghormatan kepada Dr. I.L. Nommensen atas jasa-jasa beliau yang berhasil meningkatkan sosial ekonomi

masyarakat Batak melalui penginjilan, pendidikan, dan kesehatan. Nommensen melalui metode- masyarakat Batak melalui penginjilan, pendidikan, dan kesehatan. Nommensen melalui metode-

Dari antara nama-nama yang diajukan tersebut dipilih dan ditetapkanlah satu nama yang dianggap sangat tepat, yang dapat merangkum maksud dan cita-cita yang disebutkan di atas, yaitu “Universiteit Nommensen”. Sesungguhnya pilihan terhadap nama tersebut didasari fakta bahwa Dr. I.L. Nommensen adalah hamba Tuhan (parhitean ni Debata) yang menyebarkan Injil di Tanah Batak. Nommensen bekerja di Tanah Batak untuk memberitakan berita keselamatan dan telah berhasil mengristenkan masyarakat Batak. Keberhasilan tersebut sudah melahirkan satu organisasi gereja, yakni Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dan merupakan salah satu organisasi gereja terbesar di Indonesia. Dengan demikian, semua orang yang mengetahui sejarah, apabila mendengar nama Nommensen, maka akan teringat dengan “Kristen” dan sekaligus dengan “Batak”. Berdasarkan latar belakang pemikiran sedemikianlah, peserta rapat memutuskan nama yang indah bagi Universitas dan mereka sangat mengharapkan bahwa perguruan tinggi yang akan didirikan itu kelak akan mengalami kemajuan baik dalam jumlah fakultas, mahasiswa dan tetap menjaga kualitas, yang berguna bagi bangsa dan negara Indonesia.

Demikianlah pengharapan para peserta rapat ketika itu sehingga menimbulkan kebulatan tekad untuk memilih dan memberi nama Universitas sebagaimana telah disebutkan di atas. Selain itu, dengan melekatnya “Nommensen” dalam nama Universitas tersebut diharapkan : (1) akan menjadi suatu pertanda yang abadi bagi sivitas akademika sehingga dapat menjadi dan memberi teladan hidup kristiani bagi masyarakat banyak, dan (2) supaya para donator semakin menyadari bahwa sumbangan yang diberikan kepada Universitas adalah analog dengan usaha-usaha mengembangkan dan menyebarkan ajaran Kristen yang penuh kasih di tengah-tengah masyarakat yang pluralis (Hariandja, 1954).

Kendatipun panitia sudah memilih satu nama bagi Universitas yang segera akan didirikan itu, namun harus diajukan kepada peserta Sinode Godang HKBP tahun 1954 supaya diputuskan. Setelah memperhatikan usulan dari Ephorus HKBP dan pengajuan dari Parhalado Pusat, maka Sinode Godang menetapkan nama Universitas sebagaimana yang diajukan kepada sinodisten. Nama yang ditetapkan dalam Sinode adalah: Universitas Huria Kristen Batak Protestan Nommensen. Nama inilah yang tetap bertahan pada Perguruan Tinggi milik HKBP itu yang telah mencapai usia lebih dari setengah abad pada saat ini.

3.2. Penetapan Tempat Universitas

Selain memergumulkan nama, panitia pun bergumul juga ketika akan menentukan tempat domisili Universitas. Tentulah ada sejumlah pertimbangan sebelum memutuskan tempat, diantaranya situasi lokasi, fasilitas yang tersedia pada masa itu, dan harapan pada masa yang akan datang. Setidaknya terdapat 6 usulan tempat bagi Universitas yang akan didirikan itu. Nama-nama tersebut datang dari jemaat maupun dari anggota panitia. Nama-nama tempat yang diusulkan (Siagian, 1973; Kenang-kenangan…, 1979) adalah:

1. Seminari Sipoholon. Usulan ini diajukan dengan alasan bahwa Seminari Sipoholon merupakan pusat pendidikan HKBP sehingga selayaknyalah HKBP mendirikan Universitas di sana. Selain relatif dekat dengan Tarutung, alumninya juga sudah diberdayakan oleh gereja-gereja dan masyarakat.

2. Tarutung. Nama ini diajukan dengan alasan bahwa Tarutung merupakan tempat kedudukan Pusat HKBP sehingga wajar bila Universitas didirikan di sana.

3. Balige. Pengusulan nama ini dilatarbelakangi pemikiran bahwa kota tersebut diharapkan akan semakin berkembang dan lokasinya strategis karena terletak di tepi Danau Toba yang indah permai itu.

4. Parapat. Kota wisata ini memiliki panorama yang indah dan hawanya yang sejuk. Selain itu daerah ini berada antara Tarutung dan kota Medan.

Dokumen yang terkait

HUBUNGAN KOMPETENSI SOSIAL GURU KRISTEN TERHADAP PERKEMBANGAN KARAKTER SISWA: TANTANGAN PENDIDIKAN KRISTEN DALAM MENCERDASKAN

0 0 14

SKRINING FITOKIMIA DAN UJI ANTIMIKROBA EKSTRAK KASAR BAWANG BATAK (Allium cinense) TERHADAP BAKTERI Staphylococcus aureus DAN Escherichia coli Phytochemical Screening of Antimicrobial Extract and Test Rough Batak Onion (Allium cinense) on Bacteria Staphyl

0 1 10

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - PERSPEKTIF MINORITAS KRISTEN DI DAERAH MAYORITAS MUSLIM TERHADAP KERUKUNAN UMAT BERAGAMA (Studi Kasus Desa Bandar Setia, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang). - Repository UIN Sumatera Utara

0 0 14

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak geografis - PERSPEKTIF MINORITAS KRISTEN DI DAERAH MAYORITAS MUSLIM TERHADAP KERUKUNAN UMAT BERAGAMA (Studi Kasus Desa Bandar Setia, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang). - Repository UIN Sumat

0 0 11

BAB III PARADIGMA MAYORITAS DAN MINORITAS TERHADAP KERUKUNAN A. Batasan Mayoritas dan Minoritas - PERSPEKTIF MINORITAS KRISTEN DI DAERAH MAYORITAS MUSLIM TERHADAP KERUKUNAN UMAT BERAGAMA (Studi Kasus Desa Bandar Setia, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten

0 0 14

BAB IV INTEGRASI DAN DISINTEGRASI ANTAR UMATBERAGAMA DI DESA BANDAR SETIA A. Kehidupan Beragama Masyarakat - PERSPEKTIF MINORITAS KRISTEN DI DAERAH MAYORITAS MUSLIM TERHADAP KERUKUNAN UMAT BERAGAMA (Studi Kasus Desa Bandar Setia, Kecamatan Percut Sei Tuan

0 1 16

DYSMENORRHEA AS A STRESS FACTOR IN TEENAGE GIRLS OF CLASS X AND XI IN KRISTEN KANAAN HIGH SCHOOL BANJARMASIN

0 0 6

INTERAKSI SOSIAL MASYARAKAT ISLAM DAN KRISTEN DI DUSUN IV TARAB MULIA KECAMATAN TAMBANG KABUPAEN KAMPAR

0 0 11

DARI ISLAM KE KRISTEN Konversi Agama pada Masyarakat Suku Minangkabau

0 0 27

HUBUNGAN ISLAM, HINDU DAN KRISTEN DI INDIA: Studi Terhadap Pemikiran Keagamaan Syaid Ahmad Khan (1817-1898) Dan Abul Kalam Azad (1888-1958)

0 0 9