BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 DIABETES MELLITUS - Hubungan Antara HbA1c, Mean Platelet Volume (MPV) Dengan Derajat Retinopati Pada Pasien Diabetes Mellitus

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

  2.1 DIABETES MELLITUS

  Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau

  1 kedua-duanya.

  1

  2.2 Klasifikasi DM 1.

  Tipe 1 : Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut.

  • Autoimun • Idiopatik 2.

  Tipe 2 : Bervariasi,mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resisten insulin.

  3. Tipe lain: Defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat atau zat kimia, infeksi, sebab imunologi yang jarang, sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM

4. Diabetes mellitus gestasional

2.3 Diagnosis

1 Keluhan klasik DM:

  • Keluhan klasik berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
  • Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

  1 Diagnosis dapat ditegakkan melalui tiga cara: 1.

  Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosa DM

  2.

  ≥ 126mg/dl dengan adanya Pemeriksaan glukosa plasma puasa keluhan klasik.

3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dl.

2.4 Penyulit Diabetes Mellitus

1 Penyulit Akut: 1.

  Ketoasidosis diabetic (KAD) 2. Hiperosmolar non ketotik 3. Hipoglikemia

1 Penyulit menahun: 1.

  Makroangiopati Pembuluh darah jantung Pembuluh darah tepi 2. Mikroangiopati

  Diabetik retinopati Nefropati diabetik

  3. Neuropati

2.5 Patogenesis Terjadinya Komplikasi Mikrovaskular DM

  Empat jalur utama diperkirakan berperan menyebabkan kerusakan mikrovaskular yang dipicu oleh hiperglikemia dan khas untuk pengidap

  3,19,20,21

  diabetes:

  1.Peningkatan aliran jalur poliol Jalur poliol telah diteliti secara ekstensif di sel saraf pengidap diabetes dan juga terdapat di sel endotel. Banyak sel memiliki aldosa reduktase, suatu enzim yang mengubah aldoheksosa, misalnya glukosa, menjadi alkohol (jalur poliol). Hiperglikemia menyebabkan substrat untuk enzim ini bertambah. Kelebihan sorbitol yang diproduksi dari reaksi ini tidak dapat keluar dari sel dan dapat menyebabkan stres osmotik. Akumulasi sorbitol telah dibuktikan terjadi di sel saraf dan sel endotel serta di lensa mata. Reduksi glukosa menjadi sorbitol menghabiskan NADPH (Nicotinamide adenine dinucleotide phosphate) dan oksidasi selanjutnya sorbitol menjadi fruktosa meningkatkan rasio NADH/NAD+ di sitosol, efek yang juga dihipotesiskan berperan dalam patogenesis kerusakan mikrovaskular dan saraf pada diabetes.

  2.Pembentukan AGEs (advanced glycosylation end-products) Jika terdapat dalam konsentrasi tinggi, glukosa dapat bereaksi secara non enzimatis dengan gugus-gugus amino protein untuk membentuk zat antara yang tak stabil, suatu basa Schiff, yang kemudian mengalami tata ulang internal untuk membentuk protein terglikasi stabil yang juga dikenal sebagai early glycosylation product (produk Amadori). Reaksi semacam ini menyebabkan terbentuknya glycated HbA, yang juga dikenal sebagai HbA1c. Produk-produk glikosilasi dini ini dapat mengalami rangkaian reaksi kimia dan tata ulang lebih lanjut yang menyebabkan terbentuknya berbagai AGE, dimana AGE dapat berikatan dengan komponen matriks membran basal. Pembuluh darah besar dan kecil pada pengidap diabetes memperlihatkan akumulasi kontiniu protein-protein AGE.

  Selain itu, pengikatan AGE pada reseptor spesifik di makrofag menyebabkan pelepasan berbagai sitokin yang selanjutnya dapat mempengaruhi proliferasi dan fungsi sel vaskular.

  3.Pengaktifan Protein Kinase C (PKC) Hiperglikemia di dalam sel endotel terjadi karena transporter glukosa tidak berkurang di sel-sel ini sementara terjadi hiperglikemia, menyebabkan peningkatan diacylglycerol (DAG) yang selanjutnya mengaktifkan beberapa isoform Protein Kinase C (PKC) yang terdapat di sel-sel ini. Pengaktifan PKC yang tidak sesuai ini mempengaruhi aliran darah dan mengubah permeabilitas endotel, sebagian efeknya terhadap jalur nitrogen oksida.

  4.Peningkatan jalur heksosamin.

  Peningkatan pengalihan glukosa melalui jalur heksosamin, yang berperan menyebabkan resistensi insulin, juga diduga berperan dalam penyakit mikrovaskular karena jalur ini menghasilkan substrat yang jika berikatan secara kovalen dengan faktor transkripsi, merangsang ekspresi protein-protein, seperti

  transforming growth factor dan inhibitor aktivator plasminogen yang menambah kerusakan mikrovaskular.

  Diabetes Mellitus

  stress Hyperglicemia Insulin resistance

  Dyslipidemia smoking Abdominal obesity

  Hypertension Inflammation

   Vascular wall Endotelial dysfunction

  • cell adhesion molecules

  vicious circle - vWf ↑

  • cytokines
  • Prostacyclin &d
  • chemokines
  • NO ↓

  Vasoconstriction Coagulation / fibrinolysis Platelet dysfunction

  Tromboxane

  • - FVII ↑, AT III↓
  • Adhesion ↑

  NO ↓Angiotensin II ↑

  • - PAI-1, Fibrinogen
  • Aggregation

  ET-I ↑

  • Secretion ↑

  Microangiopathy Macroangiopathy Retinopathy Nephropathy Neuropathy CVD Stroke PAD

  3 Gambar 2.1 Patogenesis Diabetes Angiopati

2.6 Diabetik Retinopati

  Diabetik retinopati merupakan penyebab utama kebutaan di negara industri dan hampir 90% dari pasien diabetes menderita retinopati setelah 20 tahun. Diabetes mellitus dapat menyebabkan perubahan hampir di setiap jaringan okuler seperti keratoconjunctivitis sicca, xanthelasma, myco tic orbital infections,

  

transitory refractory changes, cataract, glaucoma, dan neuropathy of the optic

  22 nerve, oculomotor palsy .

  Pada sekitar 2% penderita DM tipe 2 dijumpai edema macular dan 10,2% menunjukkan tanda lain diabetik retinopati yang sudah berlangsung saat diabetes mulai ditegakkan. 12% DM tipe 1 mengalami kebutaan setelah 30 tahun

  2 terdiagnosa diabetes.

2.6.1 Klasifikasi Diabetik Retinopati: 1.

  Non proliferative diabetic retinopati (NPDR/BDR)

  • Mikroaneurisma • Dot dan blot haemorrhages
  • Hard(intraretinal) exudates 2.

  Proliferative diabetik retinopati Pada stadium ini dapat dijumpai neovaskularisasi pada retina, optic disk atau iris. Pada proliferative diabetik retinopati yang lanjut dapat dijumpai proliferasi fibrovaskular, edema macular, makulopati iskhemik, dan makulopati difus. Makulopati ini akan menyebabkan kebutaan.

Tabel 2.1 Derajat Diabetik Retinopati dan Perubahan pada Retina

  2.6.2 Gejala Diabetik retinopati sering asimtomatis dalam waktu lama. Hanya pada

stadium lanjut dengan keterlibatan macular atau perdarahan vitreous yang akan

  2 membuat pasien mengeluhkan gangguan penglihatan atau tiba-tiba menjadi buta.

  2.6.3 Pertimbangan Diagnosis Diabetik retinopati dan berbagai stadiumnya didiagnosa dengan

pemeriksaan stereoskopik fundus dengan pupil terdilatasi. Optalmoskopi dan

evaluasi stereoskopi fundus merupakan gold standard. Angiografi fluoresen

  2 biasanya dipergunakan bila ada indikasi terapi laser.

  2.6.4 Diagnosis Diferensial Meliputi gangguan vaskular retina lainnya, terutama perubahan hipertonik

  2 fundus (dapat disingkirkan bila didapati penyakit yang melatar belakanginya).

  2.6.5 Terapi Edema macular yang bermakna secara klinis dan mengganggu fungsi

penglihatan dapat ditangani dengan terapi laser fokal pada posterior pole.

  

Proliferatif diabetik retinopati diterapi dengan fotokoagulasi scatter sebanyak tiga

  2 sampai lima sesi.

  2.6.6 Pencegahan Kegagalan dalam pemeriksaan skrining optalmologis rutin pada pasien DM

merupakan kelalaian yang dapat mengakibatkan resiko kebutaan. Oleh karena itu,

  

DM tipe 2 sebaiknya menjalani pemeriksaan optalmologis sejak diagnosis

ditegakkan, dan DM tipe 1 sebaiknya menjalani pemeriksaan setelah 5 tahun

diagnosis ditegakkan. Setelah itu, pasien diabetes sebaiknya menjalani

pemeriksaan optalmologis sekali setahun, atau lebih sering bila DR sudah

  22 muncul.

Gambar 2.2 Non Proliferatif Diabetik Retinopati Moderat

  2 Gambar 2.3 Proliferatif Diabetik Retinopati

  2 Gambar 2.4 Proliferatif Diabetik Retinopati dengan Makular Edema

  2

2.7 Trombosit

  2.7.1 Produksi Trombosit

  Trombosit dihasilkan dalam sumsum tulang melalui fragmentasi sitoplasma megakariosit. Prekursor megakariosit, megakarioblast muncul melalui proses diferensiasi dari sel induk hemopoetik. Megakariosit mengalami pematangan dengan replikasi inti endomitotik yang sinkron, memperbesar volume sitoplasma sejalan dengan penambahan lobus inti menjadi kelipatan duanya pada berbagai stadium perkembangannya (paling banyak pada stadium inti delapan), sitoplasma menjadi granular dan trombosit dilepaskan. produksi trombosit mengikuti pembentukan mikrovesikel dalam sitoplasma sel yang menyatu dan membentuk membran pembatas trombosit. Tiap sel megakariosit bertanggung jawab untuk menghasilkan sekitar 4000 trombosit. Interval waktu semenjak diferensiasi sel induk manusia sampai produksi trombosit sekitar 10 hari. Trombopoetin adalah pengatur utama produksi trombosit dan dihasilkan oleh hati dan ginjal. Trombosit mempunyai reseptor untuk trombopoetin (C-MPL) dan

  23 mengeluarkannya dari sirkulasi.

  2.7.2 Struktur Trombosit

  Glikoprotein permukaan sangat penting dalam reaksi adhesi dan agregasi trombosit. Adhesi pada kolagen difasilitasi oleh glikoprotein Ia (GPIa). Glikoprotein Ib dan IIb/IIIa penting dalam perlekatan trombosit pada faktor von Willebrand (vWF) dan subendotel vaskuler. Reseptor IIb/IIIa juga merupakan

  23 reseptor untuk fibrinogen yang penting dalam agregasi trombosit.

  Membran plasma berinvaginasi ke bagian dalam trombosit untuk membentuk suatu sistem membran (kanalikular) terbuka yang menyediakan permukaan reaktif yang luas tempat protein koagulasi plasma diabsorpsi secara selektif. Fosfolipid membran (faktor 3 trombosit) sangat penting dalam konversi faktor koagulasi X menjadi Xa dan protrombin (faktor II) menjadi thrombin

  23 (faktor IIa).

2.7.3 Fungsi trombosit

  Fungsi utama trombosit adalah pembentukan sumbat mekanik selama respons hemostasis normal terhadap cedera vaskular. Tanpa trombosit, maka dapat terjadi kebocoran darah spontan. Reaksi trombosit dapat berupa adhesi, sekresi, agregasi dan fusi serta aktivitas prokoagulannya sangat penting untuk

  24 fungsinya.

2.8 Mekanisme Hemostasis

  Hemostasis merupakan suatu mekanisme tubuh yang amat penting untuk menghentikan perdarahan secara spontan dan mempertahankan darah tetap dalam kondisi cair di dalam pembuluh darah. Kelangsungan dari fungsi hemostasis ini sangat bergantung pada keseimbangan antara aktivitas koagulasi dan antikoagulasi yang dihasilkan oleh interaksi yang terintegrasi dari endotel pembuluh darah, trombosit, protein pembekuan darah, protein antikoagulasi dan

  24 enzim fibrinolisis.

  Pembuluh darah yang normal dilapisi oleh sel endotel. Dalam keadaan yang utuh sel endotel bersifat antikoagulan dengan menghasilkan inhibitor trombosit (nitrogen oksida, prostasiklin, ADPase), inhibitor bekuan darah/lisis (heparin, tissue plasminogen activator, urokinase plasminogen aktivator, trombomodulin, inhibitor jalur faktor jaringan). Sel endotel ini dapat terkelupas oleh berbagai rangsangan seperti asidosis, hipoksia, endotoksin, oksidan, sitokin dan stress oksidatif. Endotel pembuluh darah yang tidak utuh akan menyebabkan vasokonstriksi lokal, menghasilkan faktor koagulasi (tromboplastin, faktor von Willebrand, aktivator dan inhibitor protein C, inhibitor aktivator plasminogen tipe 1), terbukanya jaringan ikat subendotel (serat kolagen, serat elastin dan membran basalis) yang menyebabkan aktivasi dan adhesi trombosit serta mengaktifkan

  24 faktor XI dan XII.

  Trombosit dalam proses hemostasis berperan sebagai penambal kebocoran dalam sistem sirkulasi dengan membentuk sumbat trombosit pada daerah yang mengalami kerusakan. Agar dapat membentuk suatu sumbat trombosit maka trombosit harus mengalami beberapa tahap reaksi yaitu aktivasi trombosit, adhesi trombosit pada daerah yang mengalami kerusakan, aggregasi trombosit dan reaksi degranulasi. Trombosit akan teraktivasi jika terpapar dengan berbagai protein prokoagulan yang dihasilkan oleh sel endotel yang rusak. Adhesi trombosit pada jaringan ikat subendotel terjadi melalui interaksi antara reseptor glikoprotein membran trombosit dengan protein subendotel terutama faktor von Willebrand sedangkan aggregasi trombosit terjadi melalui interaksi antar reseptor trombosit

  24,25,26 dengan fibrinogen sebagai mediator.

  Pada reaksi degranulasi trombosit akan melepaskan berbagai senyawa yang terdapat dalam granul sitoplasma trombosit (serotonin, katekolamin, histamin, ADP, ATP, siklik AMP, ion kalsium dan kalium, faktor trombosit 3 dan 4, B-tromboglobulin, Platelet Derived Growth Factor (PDGF), plasminogen, fibrinogen, protein plasma, tromboksan A2. Senyawa-senyawa ini akan menstimulasi aktivasi dan aggregasi trombosit lebih lanjut hingga menghasilkan sumbat trombosit yang stabil, mengaktifkan membran fosfolipid dan memfasilitasi

  24,25,26 pembentukan komplek protein koagulasi yang terjadi secara berurutan.

  Proses pembekuan darah terdiri dari serangkaian reaksi enzimatik yang melibatkan protein plasma yang disebut sebagai faktor pembekuan darah, fosfolipid dan ion kalsium. Faktor pembekuan beredar dalam darah sebagai prekursor yang akan diubah menjadi enzim bila diaktifkan. Jadi mula-mula faktor pembekuan darah bertindak sebagai substrat dan kemudian sebagai enzim. Proses pembekuan darah dimulai melalui dua jalur yaitu jalur intrinsik yang dicetuskan oleh adanya kontak faktor pembekuan dengan permukaan asing yang bermuatan negatif dan melibatkan F.XII, F.XI, F.IX, F.VIII, HMWK (High Moleculer Weight Kininogen), PK (Pre Kallikrein), PF.3 dan ion kalsium, serta jalur ekstrinsik yang dicetuskan oleh tromboplastin jaringan dan melibatkan F.VII, ion kalsium. Kedua jalur ini kemudian akan bergabung menjadi jalur bersama yang melibatkan F.X, F.V, PF-3, protrombin dan fibrinogen. Rangkaian reaksi koagulasi ini akan membentuk trombin dan mengubah fibrinogen menjadi benang-benang fibrin yang tidak larut. Fibrin sebagai hasil akhir dari proses

  25,26 pembekuan darah akan menstabilkan sumbatan trombosit.

  Pembekuan darah merupakan suatu proses autokatalitik dimana sejumlah kecil enzim yang terbentuk pada tiap reaksi akan menimbulkan enzim dalam jumlah besar pada reaksi selanjutnya. Oleh karena itu perlu ada mekanisme kontrol untuk mencegah aktivasi dan pemakaian faktor pembekuan darah secara berlebihan yaitu aliran darah, mekanisme pembersihan seluler dan inhibitor alamiah. Aliran darah berperan dengan menghilangkan dan mengencerkan faktor pembekuan darah yang aktif dari tempat luka yang selanjutnya faktor pembekuan darah yang aktif ini akan dibersihkan dari sirkulasi darah oleh hati. Dalam keadaan normal plasma darah mengandung sejumlah protein yang dapat menghambat enzim proteolitik yang disebut sebagai inhibitor seperti antitrombin, alfa 2 makroglobulin, alfa 1 antitripsin, C1 esterase inhibitor, protein C dan S. Inhibitor ini berfungsi untuk membatasi reaksi koagulasi agar tidak berlangsung secara berlebihan sehingga pembentukan fibrin hanya terbatas disekitar daerah yang mengalami cedera. Antitrombin akan menghambat aktivitas trombin, F.XIIa, F.XIa, F.Xa, F.IXa, F.VIIa, plasmin dan kalikrein. Protein C yang diaktifkan oleh trombin dengan kofaktor trombomodulin akan memecah F.Va dan F.VIIIa menjadi bentuk yang tidak aktif dengan adanya kofaktor protein S. Alfa 1 antitripsin akan berperan dalam menginaktifkan trombin, F.XIa, kalikrein dan HMWK. C1 inhibitor akan menghambat komponen pertama dari sistem

  24,25,26 komplemen, F.XIIa, F.XIa dan kalikrein.

  Untuk membatasi dan selanjutnya mengeliminasi bekuan darah maka sistem fibrinolisis mulai bekerja sesaat setelah terbentuknya bekuan fibrin. Deposisi fibrin akan merangsang aktivasi plasminogen menjadi plasmin oleh aktivator plasminogen seperti tissue plasminogen aktivator (t-PA), urokinase plasminogen aktivator (u-PA), F.XIIa dan kallikrein. Plasmin yang terbentuk akan memecah fibrinogen dan fibrin menjadi fibrinogen degradation product (FDP). Dengan proses ini fibrin yang tidak diperlukan dilarutkan sehingga hambatan terhadap aliran darah dapat dicegah. Untuk menghindari terjadinya aktivitas fibrinolisis yang berlebihan, tubuh mempunyai mekanisme kontrol berupa inhibitor aktivator plasminogen (PAI-1) yang akan menginaktivasi t-PA maupun u-PA, dan alfa 2 antiplasmin yang akan menetralkan aktivitas plasmin yang

  24,25,26 masuk ke sirkulasi.

  Adanya defek pada salah satu atau beberapa komponen yang berperan dalam proses hemostasis ini akan menganggu keseimbangan hemostasis dan menimbulkan masalah mulai dari perdarahan yang sulit diatasi setelah terjadinya luka sampai pembekuan darah yang tidak pada tempatnya dalam pembuluh

  24,25 darah.

2.9 Patofisiologi Trombosis

  Trombosis adalah pembentukan suatu massa abnormal di dalam sistem peredaran darah yang berasal dari komponen-komponen darah. Trombosis terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara faktor trombogenik dengan mekanisme proteksi sebagai akibat dari meningkatnya stimulus trombogenik atau penurunan mekanisme proteksi. Pada tahun 1845 Virchow pertama kali mengemukakan adanya 3 faktor utama yang berperan dalam patofisiologi trombosis (Triad of

  

Virchow’s ) yaitu kelainan endotel pembuluh darah, perubahan aliran darah yang

  24 melambat/stasis dan perubahan daya beku darah/hiperkoagulasi.

  Sel endotel pembuluh darah yang utuh akan melepaskan berbagai senyawa yang bersifat antitrombotik untuk mencegah trombosit menempel pada permukaannya. Sifat non trombogenik ini akan hilang bila endotel mengalami kerusakan karena berkurangnya produksi senyawa antitrombotik dan meningkatnya produksi senyawa protrombotik. Berbagai senyawa protrombotik yang dilepaskan ini akan mengaktifkan sistem pembekuan darah dan menyebabkan menurunnya aktifitas fibrinolisis sehingga meningkatkan kecenderungan untuk terjadi trombosis. Bila kerusakan endotel terjadi sekali dan dalam waktu singkat, maka lapisan endotel normal akan terbentuk kembali, proliferasi sel otot polos berkurang dan intima menjadi tipis kembali. Bila kerusakan endotel terjadi berulang-ulang dan berlangsung lama, maka proliferasi sel otot polos dan penumpukan jaringan ikat serta lipid berlangsung terus sehingga dinding arteri akan menebal dan terbentuk bercak aterosklerosis. Bila bercak aterosklerotik ini robek maka jaringan yang bersifat trombogenik akan terpapar

  26 dan terjadi pembentukan trombus.

  Aliran darah yang melambat bahkan stasis akan mengakibatkan gangguan pembersihan faktor koagulasi aktif, mencegah bercampurnya faktor koagulasi aktif dengan penghambatnya dan mencegah faktor koagulasi aktif dilarutkan oleh darah yang tidak aktif. Keadaan ini akan mengakibatkan terjadinya akumulasi faktor-faktor pembekuan yang aktif dan dapat merusak dinding pembuluh darah. Perubahan aliran darah ini dapat diakibatkan oleh imobilisasi, obstruksi vena dan

  24 meningkatnya viskositas darah.

  Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan antara proses aktivasi dan inhibisi sistem pembekuan darah. Kecenderungan trombosis timbul bila aktivasi sistem pembekuan meningkat dan atau aktivitas inhibisi sistem pembekuan menurun. Menurut beberapa peneliti, darah penderita trombosis lebih cepat membeku dibandingkan orang normal dan pada penderita-penderita tersebut dijumpai peningkatan kadar berbagai faktor pembekuan terutama fibrinogen, F.V,

  VII, VIII dan X. Menurut Schafer penyebab lain yang dapat menimbulkan kecenderungan trombosis yaitu defisiensi AT, defisiensi protein C, defisiensi protein S, disfibrinogenemia, defisiensi F.XII dan kelainan struktur

  27 plasminogen.

  28 Gambar 2.5 Mekanisme Fisiologis Pembentukan Trombus

2.10 Hubungan antara diabetes mellitus dengan kelainan trombosit

  DM dianggap sebagai faktor protrombotik dengan mengaktivasi trombosit secara kronik, mengaktivasi sistem koagulasi dan menurunkan kemampuan fibrinolisis. 3 hal utama yang dapat menjelaskan perubahan trombosit pada DM yaitu:

  1. terbentuknya trombosit muda (immatur), lebih besar dan lebih reaktif pada sumsum tulang.

  2. hiperagregasi trombosit akibat terpapar lingkungan metabolik pada DM 3. trombosit teraktivasi akibat kerusakan vaskular.

  Peningkatan agregasi trombosit pada DM terutama terjadi pada kontrol gula darah yang buruk. Perubahan trombosit bahkan sudah bisa terjadi pada awal DM dan pada akhirnya menimbulkan komplikasi angiopati. Hiperaktivitas trombosit pada DM bersifat multifaktorial dan berhubungan dengan faktor-faktor biokimiawi seperti hiperglikemi, hiperlipidemi, resistensi insulin, inflamasi, dan

  21,29,30 stress oksidatif.

  3 Gambar 2.6 Patogenesis Kelainan Trombosit pada DM

  31 Gambar 2.7. Perubahan Trombosit pada Diabetes Mellitus

  Pada subjek sehat, dengan menginduksi hiperglikemi secara akut ternyata dapat meningkatkan reaktivitas dan mengaktivasi trombosit dan hal ini telah dibuktikan dengan peningkatan marker seperti soluble P selectin dan ligand CD40. Pemberian cairan hiperosmolar juga dapat mengaktivasi trombosit sehingga dapat disimpulkan bahwa hiperglikemi mempunyai efek osmotik

  31,32 langsung.

  Gangguan regulasi signal pathway yang mengakibatkan peningkatan aktivasi dan agregasi trombosit, hal inilah yang mendasari patofisiologi terbentuknya trombus, emboli pada pembuluh darah kapiler, pelepasan mediator- mediator oksidatif, mediator-mediator konstriksi, dan substansi mitogenik yang mengakibatkan gangguan pada pembuluh darah. Pembuluh darah besar dan kecil pada pengidap diabetes memperlihatkan akumulasi kontinu protein-protein AGE dan pengikatan AGE pada reseptor spesifik di makrofag menyebabkan pelepasan berbagai sitokin yang selanjutnya dapat mempengaruhi proliferasi dan fungsi sel

  20,30,31 vaskular serta menyebabkan aktivasi sistem kaskade.

  Pada DM dijumpai peningkatan prostaglandin E yang menyebabkan sintesa tromboksan lebih banyak, sementara pembentukan prostaglandin I2 (PGI2) berkurang sehingga menginduksi agregasi trombosit, menyebabkan kerusakan fluiditas membrane trombosit akibat terbentuknya protein glikasi. Beberapa kelainan metabolik yang terdapat pada DM seperti obesitas, dislipidemia dan peningkatan inflamasi sistemik juga memegang peranan dalam peningkatan aktivitas trombosit. Pada obesitas dijumpai peningkatan jumlah trombosit dan MPV karena peningkatan serum leptin, peningkatan konsentrasi kalsium sitosolik dan stres oksidatif yang berhubungan dengan peningkatan agregasi trombosit. Hiperlipoproteinemia yang sering dijumpai pada penderita DM juga berperan dalam peningkatan agregasi trombosit, dimana lipoprotein juga meningkatkan sintesa tromboksan dan mengurangi fluiditas membran

  7,32,33 trombosit.

  Pada DM juga dijumpai peningkatan kadar β-thromboglobulin (β-TG) dan faktor 4 trombosit (PF4) yang berhubungan dengan terjadinya makro dan mikro angiopati seperti diabetik retinopati. Peningkatan soluble P-selectin dan ligand CD40 pada DM akan mempercepat terjadinya status protrombotik dan

  28,34,35 aterosklerosis.

  Hiperglikemi, hiperinsulinemia dan terbentuknya LDL glikosilasi (GlyLDL) mengakibatkan gangguan pada homeostasis kalsium, menginhibisi aktivitas Na+/K+ ATP-ase, meningkatkan aktivitas Ca2+ ATP-ase yang menyebabkan peningkatan konsentrasi Ca2+ intraseluler dan menurunnya Mg+ intraseluler dan hal ini mengakibatkan perubahan pada trombosit. Hiperglikemi juga berhubungan dengan peningkatan aktivitas protein kinase C, peningkatan produksi anion superoxide, menurunnya antioksidan glutation dan menurunnya nitric oxide sintetase. Berbagai hal inilah yang menyebabkan terjadinya stress

  36,37,38,39 oksidatif, inflamasi, disfungsi endotel dan aktivasi trombosit.

  31 Gambar 2.8 Mekanisme Stress Oksidatif pada DM