BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minuman Energi - Optimasi Fase Gerak Dapar Fosfat Ph 2,6 : Metanol Terhadap Vitamin C Dan Natrium Benzoat Dalam Kratingdaeng-S Dengan Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (Kckt)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

  2.1 Minuman Energi

  Menurut BadanStandarisasi Nasional (2002), Minuman energi adalah minuman yang mengandung satu atau lebih bahan yang mudah dan cepat diserap oleh tubuh untuk menghasilkan energi dengan atau tanpa bahan tambahan makanan yang diizinkan.

  Energi Drink (minuman berenergi) termasuk salah satu suplemen makanan

  yang terdiri dari komponen multivitamin, makronutrien (karbohidrat, protein), taurin dengan atau tanpa kafein dan biasanya ditambahkan herbal seperti ginseng, jahe, dan sebagainya dengan bentuk sediaan cairan Obat Dalam (COD) dalam kemasan botol bervolume 150 mL, 250 mL atau serbuk dan tablet yang dilarutkan menjadi minuman, yang dalam setiap kemasannya mengandung energi minimal 100 kkal, dengan indikasi untuk menambah tenaga, kesegaran, stimulasi metabolisme, memelihara kesehatan dan stamina tubuh, yang dapat diminum pada saat bekerja keras atau setelah berolah raga (Anonim, 2014).

  2.2 Kandungan Minuman berenergi

  Minuman berenergi mengandung sumber energi dari sukrosa (gula) atau maltodextrin. Minuman berenergi juga mengandung vitamin-vitamin yang terlibat dalam metabolisme tubuh antara lain sebagai berikut:

  a) Vitamin B atau tiamin (Vitamin B1, aneurin) Vitamin B berfungsi sebagai koenzim atau membantu kerja enzim, penting dalam metabolisme tubuh untuk menghasilkan energi, mengatur sirkulasi darah dan memelihara fungsi saraf. b) Vitamin B3 (niasin, asam nikotinat) Vitamin B3 berhubungan dengan aktivitas saraf dan sebagai koenzim dari NAD, dan NADP yang berperan dalam reaksi metabolisme karbohidrat, lemak dan protein.

  c) Vitamin B5 (asam pantotenat) Vitamin B5 berperan dalam sistem imun dan proses pencernaan, serta berperan dalam produksi hormon adrenalin dan sel-sel darah merah.

  d) Vitamin B6 (piridoksin) Vitamin B6 berperan dalam pembentukan protein tubuh, sel-sel darah merah, prostaglandin, dan senyawa struktural yang berfungsi sebagai transmiter kimia pada sistem saraf.

  e) Vitamin B12 (sianokobalamin) Vitamin B12 berperan dalam mengatur pembentukan sel darah merah, memelihara sistem saraf, sintesa DNA, mengubah karbohidrat lemak dan protein menjadi energi.

  f) Taurin Taurin berperan dalam membantu meningkatkan toleransi terhadap glukosa, menghambat pembentukkan kolestrol dan meningkatkan ekskresi kolestrol.

  g) Kafein Kafein berfungsi sebagai stimulan susunan saraf pusat (SSP), jantung dan pernapasan. Efek lain kafein adalah relaksasi otot polos, merangsang diuresis, menyegarkan pada minuman berenergi ,dan dapat mengurangi kelelahan pada saat bekerja keras dan berolahraga. h) Ginseng Ginseng adalah herbal yang sering ditambahkan didalam minuman berenergi dengan tujuan untuk dapat meningkatkan stamina tubuh. i) Jahe (Zingiber officinale)

  Jahe dalam minuman berenergi berkhasiat sebagai stimulan, meningkatkan nafsu makan, dan tonik.

  Selain kandungan bahan-bahan tersebut diatas, minuman berenergi juga mengandung natrium bikarbonat (soda) dan asam sitrat.Natrium bikarbonat dapat memberikan efek karminatif (mengeluarkan gas) dan sebagai antacid sistemik.Campuran keduanya dengan adanya air dapat menimbulkan gelembung CO 2 dan meningkatkan kelarutannya (Anonim, 2014).

  Konsumsi minuman berenergi yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan pada ginjal dan hati sehingga harus dikonsumsi dengan batas yang telah dicantumkan (Anonim, 2014).

2.3 Bahan Tambahan Makanan

  Bahan Tambahan Makanan (BTM) atau food additives adalah bahan yang ditambahkan ke dalam makanan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk makanan (Yuliarti, 2007). Bahan Tambahan Makanan mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang sengaja ditambahkan kedalam makanan untuk meningkatkan nilai gizi makanan, memperbaiki nilai sensori makanan, dan memperpanjang umur simpan makanan (Cahyadi, 2009).Bahan Tambahan Makanan yang diizinkan sesuai peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/MEN.KES/PER/IX/88 tentang bahan tambahan makanan salah satunya adalah Pengawet dan Vitamin.

2.3.1 Bahan pengawet

  Pengawet adalah bahan tambahan makanan yang mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman atau peruraian lain terhadap makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Pemakaian bahan pengawet menguntungkan karena dengan bahan pengawet, bahan pangan dapat dibebaskan dari kehidupan mikroba, baik yang bersifat patogen yang dapat menyebabkan keracunan atau gangguan kesehatan lainnya maupun mikrobial yang nonpatogen yang dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan, misalnya pembusukan.Tanpa bahan tambahan pangan, khususnya bahan pengawet maka bahan pangan yang tersedia di pasar atau swalayan akan menjadi kurang menarik, tidak dapat dinikmati secara layak dan tidak awet (Cahyadi, 2009).

  Menurut Cahyadi (2009), terdapat beberapa persyaratan untuk bahan pengawet kimiawi lainnya, antara lain sebagai berikut:

  1. Memberikan arti ekonomis dari pengawetan

  2. Digunakan hanya apabila cara-cara pengawetan yang lain tidak mencukupi

  3. Memperpanjang umur simpan dalam pangan

  4. Aman dalam jumlah yang diperlukan

  5. Mudah dilarutkan

  6. Menunjukkan sifat-sifat antimikroba

  7. Tidak mengalami dekomposisi atau tidak bereaksi untuk membentuk suatu senyawa kompleks yang bersifat lebih toksik

  8. Tidak Menurunkan kualitas (warna, cita rasa, dan bau) bahan pangan yang diawetkan

  9. Tidak menghambat enzim-enzim pencernaan

  10. Mempunyai spektra antimikro yang luas, meliputi macam-macam pembusukkan oleh mikroba yang berhubungan dengan bahan pangan yang diawetkan. Berdasarkan bahan asalnya maka bahan pengawet dibagi menjadi dua jenis, yaitu bahan pengawet organik dan bahan pengawet anorganik.

  2.3.1.1 Bahan Pengawet Organik

  Zat pengawet organik lebih banyak digunakan daripada zat pengawet anorganik karena bahan ini lebih mudah larut dan mudah untuk dibuat.Bahan organik digunakan baik dalam bentuk asam maupun dalam bentuk garamnya.Zat kimia yang sering digunakan sebagai bahan pengawet adalah asam sorbat, asam propionat, asam benzoat, asam asetat dan epoksida (Cahyadi, 2009).

  2.3.1.2 Bahan Pengawet Anorganik

  Zat pengawet anorganik yang masih sering dipakai adalah sulfit, hidrogen peroksida, nitrat dan nitrit. Sulfit digunakan dalam bentuk gas SO , garam Na atau

  2 K sulfit, bisulfit dan metabisulfit. Garam nitrat dan nitrit umumnya digunakan

  pada proses pengolahan daging (seperti sosis, kornet, ham, dan hambuger) Selain digunakan pada produk daging, nitrat dan nitrit juga digunakan pada ikan dan keju untuk memperoleh warna yang baik, mencegah pertumbuhan mikroba, juga berfungsi sebagai pembentuk faktor sensori lain, yaitu aroma dan cita rasa

  (flavor) (Cahyadi, 2009).

2.4 Natrium Benzoat

  Natrium benzoat merupakan salah satu pengawet organik yang digunakan pada industri makanan dan minuman, bahkan pabrik farmasi (Cahyadi, 2009).

  2.4.1 Sifat Fisikokimia

  Menurut Ditjen POM (1995), monografi dari Natrium benzoat adalah sebagai berikut: a. Rumus bangun:

  Gambar 1.Rumus bangun natrium benzoat

  b. Rumus molekul: C H NaO

  7

  5

  2

  c. Berat molekul : 144,11

  d. Nama kimia : Natrium benzoat e. Kandungan : tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari 100,5%.

  f. Pemerian : Granul atau serbuk hablur, putih; tidak berbau atau praktis tidak berbau; stabil di udara.

  g. Kelarutan : Mudah larut dalam air, agak sukar larut dalam etanol, lebih mudah larut dalam etanol 90%.

  2.4.2 Mekanisme Kerja sebagai Pengawet

  Parameter pH sangat menentukan jumlah asam yang terdisosiasi.Penambahan asam berarti menurunkan pH yang disertai dengan

  • naiknya kosentrasi ion hidrogen (H ), dan dikatakan bahwa pH rendah lebih besar penghambatannya pada pertumbuhan mikroorganisme.Asam digunakan sebagai pengatur pH sampai harga yang bersifat toksik untuk mikroorganisme dalam bahan pangan.Asam benzoat sangat efektif dalam menghambat pertumbuhan
mikroba dalam bahan pangan dengan pH rendah, seperti minuman penyegar (Cahyadi, 2009).

2.4.3 Efek terhadap Kesehatan

  Pada penderita asma dan orang yang menderita urtikaria sangat sensitif terhadap asam benzoat, jika dikonsumsi dalam jumlah besar akan mengiritasi lambung (Cahyadi, 2009).

2.5 Vitamin C

  Vitamin C merupakan molekul yang menyerupai glukosa kecil yang aktif dalam 2 bentuk, yaitu asam askorbat dan dehidro askorbat dan berguna sebagai antioksidan (Tjokronegoro, 1985).

2.5.1 Sifat Fisikokimia

  Menurut Ditjen POM (1995), monografi Vitamin C adalah sebagai berikut:

  a. Rumus bangun:

  Gambar 2.Rumus bangun vitamin C

  b. Rumus molekul : C H O

  6

  8

  6

  c. Berat molekul : 176,13

  d. Nama kimia : Asam askorbat

  e. Kandungan : tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari 100,5% C H O

  6

  8

  6 f. Pemerian : Hablur atau serbuk putih atau agak kuning. Oleh pengaruh cahaya lambat laun menjadi berwarna gelap.Dalam keadaan kering stabil diudara, dalam larutan cepat teroksidasi.

  g. Kelarutan : Mudah larut dalam air; agak sukar larut dalam etanol; tidak larut dalam kloroform, dalam eter dan dalam benzene.

  2.5.2 Fungsi Vitamin C

  Fungsi vitamin C didalam tubuh bersangkutan dengan sifat alamiahnya sebagai antioksidan yang berperan serta didalam banyak proses metabolisme yang berlangsung didalam jaringan tubuh, menurunkan kadar LDL, menaikkan HDL serta mencegah terjadinya kanker dengan meningkatkan sistem kekebalan tubuh terhadap infeksi dan virus, mengurangi pembentukan nitrosamin yang dapat menyebabkan kanker di perut dan menjaga koenzim folat utuh. Vitamin C dan vitamin E bekerja sama sebagai penangkal radikal bebas. Vitamin C juga dapat membantu mengaktifkan kembali vitamin E yang teroksidasi sehingga dapat digunakan kembali.Studi populasi menunjukkan bahwa vitamin C efektif dalam membantu mencegah kanker tertentu (seperti kanker esofagus, mulut dan kanker pada perut), penyakit kardiovaskular, dan katarak pada mata, yang mungkin disebabkan oleh kemampuan antioksidannya (Silalahi, 2006; Wardlaw, 2003).

  Vitamin C dibutuhkan untuk menghasilkan norepinefrin (noradrenalin), yang dapat dikonversikan menjadi bentuk epinefrin (adrenalin) (William dan Caliendo, 1984).

  2.5.3 Kebutuhan Vitamin C

  Kebutuhan harian vitamin C sesuai dengan yang dirusak oleh oksidasi atau yang diekskresi. Pada manusia sehat kebutuhan vitamin C 3-4 % dari persediaan tubuh (1500 mg), yaitu berkisar 60 mg/hari (Tjokronegoro, 1985).

  2.5.4 Defisiensi Vitamin C

  Gejala defisiensi vitamin C termasuk kelelahan, lemas, dan lesu yang lebih parah yaitu terjadi nyeri otot, sendi, kulit menjadi kering, gusi berdarah, gigi melonggar dan dapat mencapai kehilangan rambut (William dan Caliendo, 1984).

  Dalam kasus-kasus skorbut atau sariawan spontan, biasanya dikaitkan dengan gigi mudah tanggal, gingivitis, dan anemia, yang disebabkan oleh adanya fungsi spesifik asam askorbat dalam sintesis hemoglobin (Gilman, dkk., 1996).

  2.5.5 Efek Samping

  Vitamin C dengan dosis tinggi dapat menyebabkan diare, keluhan nyeri perut pada penderita dengan gastritis, juga meningkatkan absorpsi besi pada saluran cerna sehingga dapat menimbulkan hemosiderosis. Dosis besar tersebut juga meningkatkan bahaya terbentuknya batu ginjal, karena sebagian besar

  (Tjokronegoro, 1985).

  vitamin C akandimetabolisme dan diekskresi sebagai oksalat

2.6 Teori Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

2.6.1 Sejarah Kromatografi

  Kromatografi adalah suatu istilah umum yang digunakan untuk bermacam- macam teknik pemisahan, yaitu berdasarkan absorbsi sampel diantara suatu fase gerak dan fase diam. Penemu Kromatografi adalah Tswett yang pada tahun 1903 mencoba memisahkan pigmen-pigmen dari daun dengan menggunakan suatu kolom yang berisi kapur (CaSO ). Istilah kromatografi diciptakan oleh Tswett

  4 untuk melukiskan daerah-daerah yang berwarna yang bergerak ke bawah kolom.Pada waktu yang hampir bersamaan, Day juga menggunakan kromatografi untuk memisahkan fraksi-fraksi petroleum, namun Tswett adalah yang pertama diakui sebagai penemu yang pertama kali mengenali dan menafsirkan proses kromatografi (Johnson dan Stevenson, 1978).

  2.6.2 Pembagian Kromatografi

  Kromatografi dapat dibedakan atas berbagai macam, tergantung pada pengelompokannya. Berdasarkan pada mekanisme pmisahannya, kromatografi dibedakan menjadi: (a) kromatografi adsorbsi; (b) kromatografi partisi; (c) kromatografi pasangan ion; (d) kromatografi penukar ion (e) kromatografi eksklusi ukuran dan (f) kromatografi afinitas (Johnson dan Stevenson, 1978; Rohman, 2007).

  Berdasarkan pada alat yang digunakan, kromatografi dapat dibagi atas: (a) kromatografi kertas; (b) kromatografi lapis tipis, yang kedua sering disebut kromatografi planar; (c) kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) dan (d) kromatografi gas (KG) (Johnson dan Stevenson, 1978; Rohman, 2007).

  2.6.3 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

  Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) merupakan teknik pemisahan yang didukung oleh kemajuan teknologi yang canggih untuk menganalisis berbagai analit secara kualitatif maupun kuantitatif, baik dalam komponen tunggal maupun campuran, senyawa bahan aktif obat, menganalisis kemurnian suatu senyawa didalam suatu cuplikan (Ditjen POM, 1995).

  Kegunaan umum dari KCKT adalah untuk pemisahan sejumlah senyawa organik, anorganik, maupun senyawa biologis, analisis ketidakmurnian

  

(impurities) dan analisis senyawa-senyawa yang tidak mudah menguap

(nonvolatile) . KCKT sering digunakan untuk menetapkan kadar senyawa-senyawa

  tertentu seperti asam-asam amino, asam-asam nukleat, dan protein-protein dalam cairan fisiologis, menentukan kadar senyawa-senyawa aktif obat dan lain-lain (Rohman, 2007).

  2.6.4 Jenis Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

  Berdasarkan pada mekanisme pemisahannya KCKT dapat dikelompokkan menjadi KCKT fase normal dan KCKT fase terbalik.Untuk fase normal (fase gerak lebih polar daripada fase gerak), sementara untuk fase terbalik (fase diam kurang polar daripada fase gerak).Fase terbalik menggunakan fase diam silika yang dimodifikasi secara kimiawi seperti oktadesilsilan (ODS atau C

  18 ) dan fase gerak campuran metanol atau asetonitril dengan air atau dengan larutan buffer.

  Untuk solut yang bersifat asam lemah,peranan pH sangat krusial karena bila pH fase gerak tidak diatur maka solut akan mengalami ionisasi atau protonisasi.

  Terbentuknya bagian yang terionisasi ini menyebabkan ikatannya dengan fase diam menjadi lebih lemah dibanding jika solut dalam bentuk yang tidak terionisasi akan terelusi lebih cepat (Rohman, 2007).

  2.6.5 Proses Pemisahan dalam Kolom Kromatografi Cair

  Pemisahan analit dalam kolom kromatografi berdasarkan pada aliran fase gerak yang membawa campuran analit melalui fase diam dan perbedaan interaksi analit dengan permukaan fase diam sehingga terjadi perbedaan waktu perpindahan setiap komponen dalam campuran (Meyer, 2010).

  Sebagai contoh, campuran dua komponen dimasukkan ke dalam sistem kromatografi (partikel ● dan ▲).Di mana komponen ▲ cenderung menetap di fase diam dan komponen ● lebih cenderung di dalam fase gerak. Ilustrasi proses pemisahan dalam kolom kromatografi dapat dilihat pada Gambar 3 berikut.

  Fase gerak Fase diam Gambar3 .Ilustrasi proses pemisahan yang terjasi di dalam kolom KCKT (Sumber: Meyer, 2010).

  Masuknya eluen (fase gerak) yang baru ke dalam kolom akan menimbulkan kesetimbangan baru, molekul sampel dalam fase gerak diadsorpsi sebagian oleh permukaan fase diam berdasarkan pada koefisien distribusinya, sedangkan molekul yang sebelumnya diadsorpsi akan muncul kembali di fase gerak (Gambar 4c). Setelah proses ini terjadi berulang kali, kedua komponen akan terpisah. Komponen

  ● yang lebih suka dengan fase gerak akan berpindah lebih cepat daripada komponen ▲ yang cenderung menetap di fase diam, sehingga komponen

  ● akan muncul terlebih dahulu dalam kromatogram, kemudian diikuti oleh komponen ▲ (Meyer, 2010).

2.7 Parameter Penting dalam Kromatografi Cair

2.7.1 Waktu tambat/retention time

  Waktu tambat/retention time(t R ) merupakan waktu antara penyuntikan sampel dan puncak maksimum yang terekam oleh detektor. Waktu tambat dari suatu komponen yang tidak ditahan/dihambat oleh fase diam disebut sebagai waktu hampa/void time.Waktu tambat merupakan fungsi dari laju alir fase gerak dan panjang kolom. Jika fase gerak mengalir lebih lambat atau kolom semakin panjang, waktu hampa dan waktu tambat akan semakin besar, dan sebaliknya bila fase gerak mengalir lebih cepat atau kolom semakin pendek, maka waktu hampa dan waktu tambat akan semakin kecil (Meyer, 2010).

  2.7.2 Faktor Kapasitas

  Faktor kapasitas atau faktor tambat (k) merupakan suatu ukuran derajat tambatan dari suatu analit didalam kolom. K didefinisikan sebagai waktu zat

  t R )

  terlarut berada dalam fase diam ( dibagi dengan waktu zat terlarut dalam fase

  (t M ) gerak rumusnya ditulis sebagai berikut ini (Dong, 2006). t R

  −tM Retention factor, k = tM

  Faktor tambat yang baik berada diantara nilai 1 hingga 10.Jika nilai k terlalu kecilmenunjukkan tingkat pemisahan yang tidak bagus karena analit terlalu cepatmelewati kolom sehingga tidak terjadi interaksi dengan fase diam dan tidak muncul kromatogram. Sebaliknya nilai k yang terlalu besar mengindikasikan waktu analisis akan panjang (Meyer, 2010).

  Faktor kapasitas dipengaruhi oleh perbandingan komposisi fase gerak yang digunakan sehingga akan menghasilkan resolusi dan waktu retensi dari puncak-puncak kromatogram yang berbeda pada setiap perbandingan komposisi fase gerak (Snyder, dkk., 2010).

  2.7.3 Selektivitas

  Selektivitas disebut juga sebagai faktor tambahan relatif.Selektivitas (α) merupakan kemampuan sistem kromatografi dalam memisahkan/membedakan analit yang berbeda.Selektivitas ditentukan sebagai rasio perbandingan dua faktor kapasitas dari analit yang berbeda (Meyer, 2010).

  Selektivitas bergantung pada banyak faktor umumnya tergantung pada sifat analit itu sendiri, interaksinya dengan permukaan fase diam serta jenisdan komposisi fase gerak yang digunakan. Selektivitas yang didapatkan dalam sistem KCKT harus >1 agar pemisahan terjadi dengan baik (Dong, 2006).

  α

  2.7.4 Efisiensi Kolom Solusi untuk memperbaiki masalah daya pisah adalah efisiensi kolom.

  Efisiensi kolom disebut sebagai nilai lempeng/plate number (N). Kolom yang efisien adalah kolom yang mencegah pelebaran pita serta menghasilkan puncak yang sempit dan memisahkan analit dengan baik.Jumlah nilai lempeng berbanding lurus dengan panjang kolom. Nilai lempeng akan semakin tinggi jika ukuran kolom semakin panjang, hal ini berarti proses pemisahan yang terjadi semakin baik. Hubungan proporsionalitas antara nilai lempeng dengan panjang kolom disebut sebagai nilai HETP/High Equivalent of a Theoritical Plate. Praktik HPLC yang baik adalah mendapatkan nilai HETP yang kecil untuk nilai N yang maksimum dan efisiensi kolom yang tertinggi (Johnson dan Stevenson,1978).

  2

  2

  2

  4

  16

  = = Number of

  = � � � � � �

  Nilai lempeng sangat dipengaruhi oleh waktu tambat puncak, ukuran partikel kolom, laju alir fase gerak, suhu kolom, viskositas fase gerak dan berat molekul analit (Jhonson dan Stevenson, 1978).FDA merekomendasikan agar tiap analisis KCKT yang valid mempunyai nilai lempeng lebih besar dari 2000 (Meyer, 2010).

  2.7.5 Resolusi

  Resolusi merupakan derajat pemisahan dari dua puncak analit yang saling bersebelahan (Meyer, 2010).

  tR 2 − tR1

  R =

  w 1+ w 2

  Harga resolusi yang semakin besar memiliki arti proses pemisahan semakin bagus dan sebaliknya resolusi yang kecil merupakan pertanda proses pemisahan yang buruk. Dua puncak yang tidak terpisah dengan sempurna namun sudah dapat terlihat memiliki resolusi 1. Sedangkan bila kedua puncak yang saling berdekatan terpisah sempurna tepat pada garis alas, resolusi bernilai 1,5. Oleh karena itu pada analisis kuantitatif, resolusi yang ditunjukkan harus lebih besar dari 1,5. Sementara bila kedua puncak memiliki perbedaan yang signifikan, maka diperlukan nilai resolusi yang lebih besar (Meyer, 2010).

  Pemisahan yang kurang baik dalam kromatografi fase balik biasanya disebabkan oleh tahanan yang lemah untuk senyawa yang sangat polar, sensitifitas deteksi yang kurang bagus dan ukuran molekul terutama dalam senyawa kompleks. Puncak yang tumpang tindih biasanya ditemukan bila satu puncak lebih besar dari puncak yang lain (Snyder, dkk., 2010).

2.7.6 Faktor Ikutan dan Faktor Asimetri

  Kondisi ideal dari puncak kromatogram akan memperlihatkan bentuk Gaussian dengan derajat simetris yang sempurna. Namun kenyataannya dalam praktik kromatografi, puncak yang simetris secara sempurna jarang dijumpai.Jika diperhatikan dengan cermat, maka hampir setiap puncak dalam kromatografi memperlihatkan tailing dalam derajat tertentu (Dolan, 2003).Contoh puncak yang asimetris dapat dilihat pada Gambar 4.

  Gambar 4.Contoh gambar puncak yang asimetris (Sumber: Dolan, 2003).

  Pengukuran derajat asimetris puncak ini dapat diukur dengan faktor ikatan dan faktor asimetri.Faktor ikatan atau lebih dikenal tailing factordilambangkan dengan simbol (T ) yang dapat dihitung dengan menggunakan lebar puncak pada

  f

  ketinggian 5% (W 0,05 ), rumusnya dituliskan sebagai berikut:

  a + b =

  T f

  2a

  Dengan nilai a dan b merupakan setengah lebar puncak pada ketinggian 5% seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.

  Gambar 5.Pengukuran derajat asimetris puncak (Sumber: Snyder, 2010).

  Sementara itu, faktor asimetri/asymmetry factor(A s ) dihitung dengan rumus sebagai berikut:

  b A s = a Namun nilai a dan b dalam perhitungan faktor asimetri merupakan setengah lebar puncak pada ketinggian 10% seperti yang ditunjukkan di Gambar.

  Jika nilai a sama dengan b, maka faktor ikutan dan asimetri bernilai 1. Kondisi ini menunjukkan bentuk puncak yang simetris sempurna (Dolan, 2003).

  Bila harga TF > 1 menunjukkan bahwa kromatogram mengalami pengekoran (tailing) dan sebaliknya bila puncak berbentuk fronting, maka faktor ikatan dan asimetri akan bernilai lebih kecil dari 1. Semakin besar harga TF maka kolom yang dipakai akansemakin kurang efisien. Dengan demikian harga TF dapat digunakan sebagai acuan untuk melihat efisiensi kolom kromatografi (Rohman, 2007).

2.8 Instrumen Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

  Komponen-komponen penting sertaskematik sistem dari KCKT dapat dilihat pada Gambar 6.

  Gambar 6. Penampilan sistem isokratik pada KCKT (Dong, 2006).

  2.8.1Wadah Fase Gerak

  Wadah fase gerak merupakan sebuah bagian penting namun sederhana dari sistem HPLC. Untuk aplikasi isokratik menggunakan pencampuran fase gerak dalam wadah tunggal, sedangkan untuk aplikasi gradien pencampuran fase gerak dapat menggunakan lebih dari satu wadah fase gerak. Fase gerak harus bebas dari partikel sehingga fase gerak harus disaring terlebih dahulu sebelum digunakan. Wadah fase gerak yang digunakan dapat berupa botol kaca berdinding tebal atau labu laboratorium yang harus inert dan bersih, sedangkan penutup wadah diperbolehkan dengan berbagai bahan namun harus dapat menjaga agar debu tidak masuk dan bercampur dengan fase gerak serta meminimalkan penguapan dari fase gerak (Snyder, dkk., 2010).

  2.8.2 Pompa

  Pompa yang cocok digunakan untuk KCKT adalah pompa yang mempunyai syarat sebagaimana syarat wadah pelarut yakni : pompa harus inert terhadap fase gerak. Bahan yang umum dipakai untuk pompa adalah gelas, baja tahan karat, teflon, dan batu nilam. Pompa yang digunakan sebaiknya mampu memberikan tekanan sampai 5000 psi dan mampu mengalirkan fase gerak dengan kecepatan alir 3 ml/menit.Aliran pelarut dari pompa harus tanpa denyut untuk menghindari hasil yang menyimpang pada detektor (Rohman, 2007).

  2.8.3 Tempat Injeksi Sampel

  Menurut Jhonson dan Stevenson (1978), Cuplikan harus dimasukkan kedalam pangkal kolom atau kepala kolom, dan diusahakan agar sesedikit mungkin terjadi gangguan pada bagian kolom. Ada tiga jenis dasar injektor yang dapat digunakan, yaitu: a. Aliran-henti: Aliran dihentikan, penyuntikkan dilakukan pada tekanan atmosfir, sistem tertutup, dan aliran dilanjutkan lagi. Cara ini dapat dipakai karena difusi didalam zat cair kecil dan daya pisah tidak dipengaruhi.

  b. Septum: Ini adalah injektor langsung pada aliran, yang sama dengan injektor yang umum dipakai pada kromatografi gas. Injektor ini dapat dipakai pada tekanan sampai sekitar 60 -70 atmosfir. Tetapi septum ini tidak dapat dipakai untuk semua pelarut kromatografi cair. Selain itu, partikel kecil terlepas dari septum dan cenderung menyumbat mengakibatkan gangguan pada kolom.

  c. Katup putaran (loop valve): dikenal dengan sebutan katup jalan-kitar. Jenis injektor ini umumnya digunakan untuk menginjeksi volume lebih besar daripada 10 µl dan sekarang digunakan dengan cara otomatis. Volume yang lebih kecil dapat diinjeksikan secara manual memakai adaptor khusus. Pada saat fase gerak dialirkan, katup putaran pada tekanan atmosfir. Jika katup dijalankan (dibuka), maka cuplikan di dalam putaran akan bergerak menuju kolom. Automatic injector atau disebut juga

  autosampler memiliki prinsip yang mirip, hanya saja sistem penyuntikannya bekerja secara otomatis.

2.8.4 Kolom

  Menurut Jhonson dan Stevenson, (1978) Kolom merupakan jantung kromatograf.Keberhasilan atau kegagalan analisis bergantung pada pilihan kolom dan kondisi kerja yang tepat.Kolom dapat dibagi menjadi dua kelompok:

  a. Kolom analitik: Diameter dalam 2-6 mm. panjang kolom tergantung pada jenis material pengisi kolom. Untuk kemasan pelikel biasanya panjang kolom 50- 100 cm, sedangkan untuk kemasan mikropartikel berpori biasanya 10-30 cm.

  b. Kolom preparatif: diameter 6 mm atau lebih besar dan panjang 25-100 cm.Kolom umumnya terbuat dari stainlesteel dan biasanya dipakai pada suhu kamar, tetapi suhu yang lebih tinggi dapat juga dipakai. Pengepakan kolom tergantung pada model KCKT yang digunakan KCP, KCC, pertukaran ion, atau eksklusi ukuran.

  2.8.5 Detektor

  Suatu detektor dibutuhkan untuk mendeteksi adanya komponen cuplikan dalam aliran yang keluar dari kolom. Detektor-detektor yang baik memiliki sensitifitas yang tinggi, gangguan (noise) yang rendah, kisar respons linier yang luas, dan memberi tanggapan/respon untuk semua tipe senyawa. Suatu kepekaan yang rendah terhadap aliran dan fluktuasi temperatur sangat diinginkan, tetapi tidak selalu dapat diperoleh (Johnson dan Stevenson, 1978).

  Detektor yang paling banyak digunakan adalah detektor spektrofotometer UV 254 nm. Detektor lainnya, antara lain: detektor fluometer, detektor ionisasi nyala, detektor elektrokimia dan lain-lain juga telah digunakan (Johnson dan Stevenson, 1978).

  2.8.6 Perekam Data

  Komponen yang terelusi mengalir ke detektor dan dicatat sebagai puncak- puncak yang secara keseluruhan disebut sebagai kromatogram (Johnson dan Stevenson, 1978).

2.9 Validasi Metode

  Validasi merupakan persyaratan mendasar yang diperlukan untuk menjamin kualitas dan hasil dari semua aplikasi analitik. Validasi metode meliputi akurasi (ketepatan), presisi, spesifisitas/selektifitas , batas deteksi, batas kuantitasi, linieritas, rentang/kisaran dan kekuatan/ketahanan dan ketangguhan (Ermer dan McB. Miller, 2005).

  2.9.1 Akurasi

  Akurasi merupakan ketepatan metode analisis atau kedekatan antara nilai terukur dengan nilai sebenarnya.Kecermatan dinyatakan sebagai persen perolehan kembali analit yang ditambahkan. Akurasi dapat ditentukan dengan dua metode, yakni spiked placebo recovery dan standard addition method. Pada spiked

  

placebo recovery atau metode simulasi, analit murni ditambahkan (spiked)

  kedalam campuran bahan pembawa sediaan farmasi, lalu campuran tersebut dianalisis dan jumlah analit hasil analisis yang dibandingkan dengan jumlah analit teoritis yang diharapkan. Jika placebo tidak memungkinkan untuk disiapkan, maka sejumlah analit yang telah diketahui kosentrasinya dapat ditambahkan secara langsung kedalam sediaan farmasi. Metode ini dapat kita dinamakan standard addition method atau lebih dikenal metode penambahan baku (Harmita, 2004).

  2.9.2 Presisi

  Presisi merupakan ukuran keterulangan metode analisis yang diperoleh dari beberapa kali pengukuran pada sampel yang sama dan biasanya diekspresikan atau dikatakan sebagai Relatif Standar Deviasi (RSD) (Rohman, 2007).

  2.9.3 Spesifisitas

  Spesifisitas/selektifitas adalah kemampuan untuk mengukur analit yang dituju secara tepat dan spesifik dengan adanya komponen lain dalam matriks sampel seperti ketidakmurnian, produk degradatif dan komponen matriks (Ermer dan McB. Miller, 2005).

  2.9.4 Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi

  Batas deteksi (limit of detection, LOD) adalah konsentrasi analit terendah dalam sampel yang masih dapat dideteksi, meskipun tidak selalu dapat dikuantifikasi. Sedangkan batas kuantitasi ( limit of quantification, LOQ) adalah konsentrasi analit terendah dalam sampel yang dapat ditentukan dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima pada kondisi operasional metode yang digunakan (Rohman,2007).

  2.9.5 Linearitas

  Linieritas adalah kemampuan suatu metode untuk memperoleh hasil uji yang secara langsung proposional dengan konsentrasi analit pada kisaran yang telah diberikan. Linieritas dapat ditentukan secara langsung dengan pengukuran sampel (analit) yang ditambahkan baku pada sekurang-kurangnya lima titik konsentrasi yang mencakup pada seluruh rentang konsentrasi kerja (Ermer dan McB. Miller, 2005).

  2.9.6 Rentang

  Rentang/kisaran adalah konsentrasi terendah dan tertinggi yang mana suatu metode analitik menunjukkan akurasi, presisi dan linieritas yang dapat digunakan untuk menganalisis sampel (Ermer dan McB. Miller, 2005).

  2.9.7 Kekuatan

  Kekuatan/ketahanan merupakan pengujian kemampuan dari suatu metode untuk tidak terpengaruh oleh adanya variasi parameter metode yang kecil.

  Ketahanan dievaluasi dengan melakukan variasi parameter-parameter metode seperti persentase kandungan pelarut organik dalam fase gerak, pH larutan dapar, suhu, waktu pengekstraksian analit, komposisi pengekstraksi dan perbandingan konsentrasi fase gerak (Rohman,2007).

  2.9.8 Kekasaran

  Kekasaran/ketangguhan merupakan tingkat reprodusibilitas hasil yang diperoleh dengan kondisi yang bervariasi dan dinyatakan sebagai simpangan baku relatif/relative standard deviation (RSD). Kondisi ini meliputi laboratorium, analis, reagen dan waktu percobaan yang berbeda (Rohman, 2007).

Dokumen yang terkait

Optimasi Fase Gerak Dapar Fosfat Ph 2,6 : Metanol Terhadap Vitamin C Dan Natrium Benzoat Dalam Kratingdaeng-S Dengan Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (Kckt)

2 59 124

Pemeriksaan Kadar Pirazinamida Dalam Plasma Darah Pasien Tb Menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Dengan Fase Gerak Buffer Fosfat Ph 7,4 : Metanol Dan Baku Dalam Nikotinamid

1 52 94

Optimasi Fase Gerak Metanol-Dapar Fosfat dan Laju Alir pada Penetapan Kadar Natrium Benzoat dan Kalium Sorbat dalam Sirup dengan Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

2 85 119

Optimasi Fase Gerak Metanol – Air Dalam Analisis Tablet Campuran Parasetamol Dan Kofein Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

11 94 103

Optimasi Fase Gerak Dan Laju Alir Pada Penetapan Kadar Campuran Guaifenesin Dan Dekstrometorfan HBr Dalam Sirup Dengan Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

1 73 111

Optimasi Fase Gerak Metanol : Campuran Air-Asam Fosfat Pada Penentuan Kadar Sediaan Tablet Simetidin Dengan Metode Krometografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

0 35 91

Optimasi Fase Gerak Dapar Fosfat PH 4,4-Metanol Pada Penetapan Kadar Campuran Amoksisilin Dan Kalium Klavulanat Dalam Tablet Secara Simultan Dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

3 57 126

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Krim - Penetapan Kadar Hidrokortison Asetat Dalam Sediaan Krim Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (Kckt)

0 0 16

BAB II TINJAUN PUSTAKA 2.1 Tablet - Keseragaman Kandungan Digoksin Dengan Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

0 0 13

Optimasi Fase Gerak Dapar Fosfat Ph 2,6 : Metanol Terhadap Vitamin C Dan Natrium Benzoat Dalam Kratingdaeng-S Dengan Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (Kckt)

0 1 59