BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN KONSUMEN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengertian Perlindungan Konsumen - Tanggung Jawab Developer Perumahan Terhadap Konsumen Perumahan Atas Pemutusan Listrik Secara Sepihak Yang

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN KONSUMEN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengertian Perlindungan Konsumen Sekurang-kurangnya ada dua istilah mengenai hukum yang

  mempersoalkan konsumen, yaitu “ hukum konsumen “ dan “ hukum perlindungan konsumen “. Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau 20

  

consument/konsument (Belanda). Pengertian tersebut secara harfiah diartikan

  sebagai ”orang atau perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu” atau ”sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan 21 atau sejumlah barang”.

  Pengertian consumer atau consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harafiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk konsumen kelompok manakah penggunaan tersebut. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai 22 pemakai atau konsumen. Para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen adalah pemakai terakhir dari benda dan jasa (vitendelijke gebruiker

                                                               20 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: Cetakan Ketiga Sinar Grafika, 2011), hlm. 22. 21   Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen (Kajian Teoretis dan Perkembangan Pemikiran, (Bandung: Nusa Media, 2008), hlm. 7. 22

   

  Az. Nasution, Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen (Jakarta: Binacipta, 1999), hlm. 12.

   

  

Van goerderen endiesten ) yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha

23 (Ondernamer)”.

  Dalam buku Az. Nasution yang berjudul Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata

  

consumer (Inggris-Amerika), atau consument/Konsument (Belanda). Secara

  harfiah arti kata dari consumer itu adalah “(lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang”. Tujuan penggunaan barang atau jasa itu nanti 24 menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut.

  Menurut Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, pengertian konsumen adalah setiap pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, konsumen adalah pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi kepentingan diri sendiri, keluarga atau orang lain dan tidak untuk 25 diperdagangkan kembali.

  Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai 26 “pemakai atau konsumen ”. Sedang dalam naskah akademis yang dipersiapkan Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerjasama dengan Departemen Perdagangan Republik Indonesia mengemukakan tentang pengertian dari

                                                               23 Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Kehakiman, Simposium, Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen , Binacipta, Agustus 1986 24

    Az. Nasution, Op cit, hal. 3 25   Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Sumbangan Pikiran tentang RUU Perlindungan Konsumen, Jakarta, 1981, hlm 4 26   Az. Nasution, Op cit, hal. 3.

    konsumen, yaitu: “Konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang 27 mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan." Az. Nasution juga mengemukakan beberapa batasan tentang konsumen, yaitu :

1. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu.

  2. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang atau jasa lain untuk diperdagangkan (tujuan komersial).

  3. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga, dan atau rumah tangga dan tidak untuk 28 diperdagangkan kembali (non komersial).

  Istilah “ hukum konsumen “ dan “ hukum perlindungan konsumen “ sudah sangat sering terdengar. Namun, belum jelas benar apa saja yang masuk ke dalam 29 materi keduanya. Juga, apakah kedua cabang hukum itu identik. M.J Leder menyatakan : In a sence there is no such creature as consumer law . Sekalipun demikian, secara umum sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen itu seperti yang dinyatakan oleh Lowe, yakni : ….rules of law which

  

recognize the bargaining weakness of the individual consumer and which ensure

30 that weakness is not unfairly exploted.

                                                               27 Ibid. hlm. 11 28   Ibid. hlm 11-14 29   Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2000), hlm. 9. 30   Ibid. hlm. 23.

    Karena posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Jadi, sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya.

  Az. Nasution menjelaskan bahwa kedua istilah itu berbeda, yaitu bahwa hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum konsumen. Hukum konsumen menurut Az. Nasution adalah : Keseluruhan asas-asas dan kaidah- kaidah yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama 31 lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup.

  Sedangkan hukum perlindungan konsumen diartikan sebagai: Keseluruhan asas- asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan atau jasa konsumen. Lebih lanjut mengenai definisinya itu, Az. Nasution menjelaskan sebagai berikut 32

  : Hukum konsumen pada pokoknya lebih berperan dalam hubungan dan masalah konsumen yang kondisi para pihaknya berimbang dalam kedudukan sosial ekonomi, daya saing, maupun tingkat pendidikan. Rasionya adalah sekalipun tidak selalu tepat, bagi mereka masing-masing lebih mampu mempertahankan dan menegakkan hak-hak mereka yang sah. Hukum perlindungan konsumen dibutuhkan apabila kondisi pihak-pihak yang mengadakan hubungan hukum atau bermasalah dalam masyarakat itu tidak seimbang.

                                                               31 Az. Nasution, Op cit., hlm. 3. 32   Ibid.

    Pada dasarnya, baik hukum konsumen maupun hukum perlindungan konsumen membicarakan hal yang sama, yaitu kepentingan hukum (hak-hak) konsumen. Bagaimana hak-hak konsumen itu diakui dan diatur di dalam hukum serta bagaimana ditegakkan di dalam praktik hidup bermasyarakat, itulah yang menjadi materi pembahasannya. Dengan demikian, hukum perlindungan konsumen atau hukum konsumen dapat diartikan sebagai keseluruhan peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan produsen yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya.

  Kata “keseluruhan” dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa di dalamnya termasuk seluruh pembedaan hukum menurut jenisnya. Jadi, termasuk di dalamnya, baik aturan hukum perdata, pidana, administrasi negara, maupun hukum internasional. Sedangkan cakupannya adalah hak dan kewajiban serta cara-cara pemenuhannya dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya, yaitu bagi konsumen mulai dari usaha untuk mendapatkan kebutuhannya dari produsen, meliputi : informasi, memilih, harga sampai pada akibat-akibat yang timbul karena penggunaan kebutuhan itu, misalnya untuk mendapatkan penggantian kerugian. Sedangkan bagi produsen meliputi kewajiban yang berkaitan dengan produksi, penyimpanan, peredaran dan perdagangan produk, serta akibat dari pemakaian produk itu.

  Pasal 1 angka 1 UUPK menyebutkan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Berkaitan dengan perlindungan konsumen, dipergunakan berbagai istilah yang dapat diberi makna berbeda-beda, yang pada akhirnya dapat pula membawa akibat hukum yang berbeda.

  Perlindungan konsumen diartikan sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian pemenuhan hak-hak konsumen sebagai wujud perlindungan kepada konsumen, maka hukum perlindungan konsumen tiada lain adalah hukum yang mengatur upaya-upaya untuk menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen.

  Kegiatan bisnis terdapat hubungan yang saling membutuhkan antara pelaku usaha dan konsumen. Kepentingan pelaku usaha adalah memperoleh laba dari transaksi dengan konsumen, sedangkan kepentingan konsumen adalah memperoleh kepuasan melalui pemenuhan kebutuhannya terhadap produk 33 tertentu.

  Hubungan yang terjalin antara pelaku usaha dengan konsumen sering kali terdapat ketidaksetaraan antara keduanya, oleh karena itu perlindungan hukum terhadap konsumen sangat perlu dilaksanakan untuk menghindari eksploitasi 34 terhadap konsumen. Berikut para pihak yang terdapat dalam UUPK:

  1. Konsumen Konsumen sebagai istilah yang sering dipergunakan dalam percakapan sehari-hari, merupakan istilah yang perlu untuk diberikan batasan pengertian agar dapat mempermudah pembahasan tentang perlindungan konsumen. Pengertian konsumen dalam rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang diajukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, yaitu konsumen adalah

                                                               33 Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus, cetakan ke-5 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 209. 34   Ibid.

    pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi kepentingan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain yang tidak untuk diperdagangkan 35 kembali. Pengertian konsumen dalam naskah final Rancangan Akademik Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk 36 diperdagangkan.

  Pengertian konsumen dalam Pasal 1 angka 2 UUPK adalah setiap orang pemakai dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Pengertian ini lebih luas daripada pengertian konsumen pada kedua rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang telah disebutkan sebelumnya karena dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga meliputi pemakaian kepentingan makhluk hidup lain.

  Selain pengertian-pengertian di atas, terdapat pula pengertian konsumen, di Amerika Serikat pengertian konsumen meliputi korban produk yang cacat yang bukan hanya meliputi pembeli, melainkan juga korban yang bukan pembeli, namun pemakai bahkan korban yang bukan pemakai memperoleh perlindungan yang sama dengan pemakai.

  2. Pelaku usaha

  Pasal 1 angka 3 UUPK menyebutkan setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum

                                                               35 Yayasan Lembaga Konsumen, Perlindungan Konsumen Indonesia: Suatu Sumbangan (Jakarta: Yayasan Pemikiran Tentang Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Lembaga Konsumen, 1981), hlm. 2. 36   Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indnoesia, cetakan ke-2 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 20.

    yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian.

  Istilah pelaku usaha sering disebut juga dengan produsen, dalam Pasal 1 angka 3 UUPK directive, produsen memiliki arti produsen berarti pembuat produk akhir, produsen dari setiap bahan mentah, atau pembuat dari suatu suku cadang dan setiap yang memasang nama, mereknya atau suatu tanda pembedaan yang lain 37 pada produk, menjadikan dirinya sebagai produsen.

  Ada beberapa persamaan pengertian pelaku usaha dengan produsen akan tetapi pengertian produsen memiliki arti luas maka akan mengakibatkan konsumen yang dirugikan akibat penggunaan produk tidak begitu kesulitan dalam menemukan kepada siapa tuntutan diajukan

  Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 3 UUPK merupakan pengertian yang sangat luas karena meliputi segala bentuk usaha, sehingga akan memudahkan konsumen dalam arti banyak pihak yang dapat digugat, namun akan lebih baik apabila UUPK tersebut memberikan rincian, sehingga konsumen dapat lebih mudah lagi untuk menentukan kepada siapa tuntutan akan diajukan jika timbul kerugian atas penggunaan produk.

  Isitlah pelaku usaha yang dimaksudkan dalam UUPK meliputi berbagai bentuk/jenis usaha, maka sebaiknya ditentukan urutan-urutan yang seharusnya

                                                               37 Ibid. , hlm. 21.

    digugat oleh konsumen manakala dirugikan oleh pelaku usaha. Urutan-urutan 38 tersebut sebaiknya disusun sebagai berikut: a.

  Yang pertama digugat adalah pelaku usaha yang membuat produk tersebut jika berdomisili di dalam negeri dan domisilinya diketahui oleh konsumen yang dirugikan; b. Apabila produk yang merugikan konsumen tersebut diproduksi di luar negeri, maka yang digugat adalah importirnya karena UUPK tentang

  Perlindungan Konsumen tidak mencakup pelaku usaha diluar negeri; c. Apabila produsen maupun importir dari suatu produk tidak diketahui, maka yang digugat adalah penjual dari siapa konsumen membeli barang tersebut.

B. Hak dan Kewajiban Konsumen Beserta Pelaku Usaha

  Perkembangan ekonomi dan diikutinya kemajuan teknologi telah memperluas gerak arus transaksi barang atau jasa, akibatnya barang atau jasa tersebut ditawarkan bervariasi baik produksi dalam maupun luar negeri. Kondisi ini satu sisi memberikan manfaat bagi konsumen akan tetapi di sisi lain memberikan kedudukan pelaku usaha dan konsumen tidak seimbang karena kedudukan konsumen adalah pihak yang lemah karena tergantung dari produksi barang atau jasa pelaku usaha. Atas keadaan ini, perlunya dijelaskan hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha.

  1. Hak konsumen dan pelaku usaha

                                                               38 Ibid. , hlm. 23   a.

  Hak konsumen Pada Pasal 4 UUPK menjelaskan terkait hak konsumen, yaitu: 1)

  Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Setiap konsumen yang mendapatkan barang ataupun jasa dari yang telah dibelinya dari pelaku usaha berhak mendapatkan kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau jasa tersebut.ini lah hak dasar yang dimiliki oleh setiap konsumen;

  2) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. Setiap konsumen tidak memiliki kewajiban untuk memilih satu barang maupun jasa atas satu pelaku usaha, karena memilih tersebut adalah kebebasan yang diberikan undang- undang kepada konsumen;

  3) Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Setiap konsumen berhak mendapatkan informasi terkait dengan barang atau jasa yang akan dimanfaatkannya.

  Baik ataupun buruk nya dari barang maupun jasa, sudah seharusnya diketahui si konsumen sejak dari awal; 4)

  Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. Ketika konsumen merasakan ketidaknyamanan atas barang ataupun jasa yang telah dipergunakann, konsumen memiliki hak untuk mempertanyakannya kepada pelaku usaha (hak tanya jawab); 5)

  Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

  Konsumen yang mengalami kerugian akibat pengguanaan barang ataupun jasa, berhak mendapatkan advokasi hukum terkait hak dan kewajibannya di depan hukum serta berhak mendapatkan penyelesaian sengketa yang sesuai dengan undang-undang;

6) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.

  Pemerintah memiliki kewajiban untuk melakukan pembinaan serta pendidikan kepada konsumen. Dengan kata lain, pembinaan dan pendidikan harus dilaksanakan demi menjaga konsumen yang bermartabat serta taat hukum;

  7) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Konsumen harus dilayani dengan baik ketika akan mempergunakan hak pilihnya atas suatu barang maupun jasa terhadap salah stu pelaku usaha tertentu;

  8) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Setiap kerugian yang muncul akibat dari barang ataupun jasa itu sendiri, maka konsumen berhak mendapatkan ganti rugi ataas kerugian yang muncul tersebut;

  9) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

  Hak-hak konsumen dapat juga diperluas apa yang pernah dikemukakan oleh Presiden J. F. Kennedy pada tanggal 15 Maret 1962 di depan kongres, 39 yaitu:

  1) Hak memperoleh keamanan; 2) Hak memilih; 3) Hak mendapat informasi; 4) Hak untuk didengar.

  Organisasi Konsumen Sedunia (International Organization of Consumer

  

Union – IOCU) telah membuat beberapa tambahan terkait Hak-Hak Asasi

40 Manusia terkait dengan hak dasar konsumen, yaitu:

  1) Hak untuk memperoleh kehidupan;

  2) Hak untuk memperoleh ganti rugi;

  3) Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;

  4) Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

  b.

  Hak pelaku usaha Pada Pasal 6 UUPK menjelaskan terkait hak pelaku usaha, yaitu: 1)

  Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Setiap penggunaan atau pembelian dari barang atau

                                                               39 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: Raja Grafindo Perada, 2011), hlm. 39. 40   Ibid.

    jasa dari pelaku usaha, konsumen harus melakukan pembayaran sebagai bentuk tanggung jawabnya sebagai konsumen; 2)

  Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik. Pelaku usaha mendapatkan perlindungan dari setiap konsumen yang berusaha mendapatkan keuntungan dari pelaku usaha yang beritikad baik;

  3) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen. Sama halnya dengan hak konsumen untuk melakukan pembelaan, pelaku usaha juga memiliki hak untuk melakukan pembelaan diri dari setiap yang disangkakan kepadanya;

  4) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Apabila terdapat konsumen yang merasa dirguikaan akibat penggunaan barag atau jasa dan ternyata tidak benar, maka nama baik pelaku usaha harus dikembalikan;

  5) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

  2. Kewajiban konsumen dan pelaku usaha

  a. Kewajiban konsumen Pada Pasal 5 UUPK menjelaskan terkait kewajiban konsumen, yaitu:

  1) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan. Setiap konsumen terlebih dahulu harus mengikuti petunjuk informasi dan prosedur setiap pemakaian barang atau jasa yang dibelinya dari pelaku usaha untuk menghindari penyalahgunaan barang atau jasa;

  2) Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Konsumen harus memiliki itikad baik dalam melakukan transaski pembelian batan atau jasa, bukan untuk mengelabui pelaku usaha;

  3) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. Konsumen harus melakukan pembayaran atas barang atau jasa yang dibelinya sesuai dengan harga yang telah disepakati;

  4) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Konsumen harus mengikuit tata cara penyelesaian sengketa konsumen sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

  b. Kewajiban pelaku usaha Pada Pasal 7 UUPK menjelaskan terkait kewajiban pelaku usaha, yaitu:

  1) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

  2) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

  3) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

  4) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

  5) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

  6) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

  7) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

C. Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha

  Pelaku usaha adalah pihak yang memiliki sumber dana besar dimana dengan dana besar ini, pelaku usaha dapat memproduksi barang atau jasa yang ditujukan kepada konsumen. Konsumen sebagai pihak pengguna jasa dan barang dari pelaku usaha memiliki kebebasan untuk memilih barang atau jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha. Adanya hubungan yang saling membutuhkan ini pada dasarnya harus disadari oleh pelaku usaha untuk bersifat jujur kepada nasabahnya oleh karena itu pelaku usaha tidak boleh memanfaatkan konsumen yang pada akhirnya merugikan konsumen. Berikut perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh pelaku usaha kepada konsumen yang diatur dalam Pasal 8-17 UUPK.

  Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dalam Pasal 8 UUPK: 1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang: a.

  Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkandan ketentuan peraturan perundang-undangan; b.

  Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya; d.

  Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; f. Tidak sesuai dengan janji dinyatakan dalam label, etiket keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut; g.

  Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu; h.

  Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label; i.

  Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat; j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

  2. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.

  3. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.

  4. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada angka 1 dan angka 2 dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

  Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dalam Pasal 9 UUPK: 1. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah: a.

  Barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu; b. Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru; c. Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu; d. Barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi; e.

  Barang dan/atau jasa tersebut tersedia; f. Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi; g.

  Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu; h.

  Barang tersebut berasal dari daerah tertentu; i. Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain; j.

  Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap; k. Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

2. Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilarang untuk diperdagangkan.

  3. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap angka 1 dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.

  Pada Pasal 10 UUPK, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:

  1. Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa; 2.

  Kegunaan suatu barang dan/atau jasa; 3. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;

  4. Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan; 5.

  Bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.

  Pada Pasal 11 UUPK pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen dengan: 1.

  Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu;

  2. Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi;

  3. Tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain;

  4. Tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain;

  5. Tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain;

6. Menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.

  Ketentuan Pasal 12 UUPK, pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakan sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan.

  Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dalam Pasal 13 UUPK: 1. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya;

  2. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain.

  Pasal 14 UUPK, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang masuk:

  1. Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan; 2.

  Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa; 3. Memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan; 4. Mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.

  Ketentuan Pasal 15 UUPK, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.

  Pasal 16 UUPK, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk:

  1. Tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan;

  2. Tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.

  Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dalam Pasal 17 UUPK: 1. Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang: a.

  Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa; b. Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa; c. Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa; d.

  Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa; e. Mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan; f.

  Melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.

2. Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada angka 1.

D. Klausula Baku

  Mungkin tidak semua orang pernah mendengar istilah klausula baku ini, namun pada kenyataannya klausula baku ini sering kali kita temui dalam kegiatan sehari-hari. Berdasarkan Pasal 1 ayat (10) UUPK, Klausula Baku diartikan sebagai “setiap aturan atau ketentuan dan syaratsyarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”. Bagi sebagian orang, klausula baku ini juga sering disebut sebagai “standard contract atau take it or leave it contract”. Dengan telah dipersiapkan terlebih dahulu ketentuan-ketentuan dalam suatu perjanjian, maka konsumen tidak dapat lagi menegosiasikan isi kontrak tersebut. Jika dilihat dari hal ini, maka ada ketimpangan yang terjadi antara para pihak.

  Hubungan hukum yang diwarnai oleh suasana take it or leave it ini sudah sangat banyak dan meluas merasuk dalam masyarakat kita. Hampir semua hubungan hukum yang menyangkut barang dan atau jasa konsumen seakan-akan 41 telah dikuasai oleh bentuk perjanjian ini. Menurut Pasal 1320 KUH Perdata,

  Prinsip take it or leave it ini memberikan kebebasan kepada pihak konsumen untuk memilih atau menentukan sendiri keberadaan ikatan perjanjian tersebut.

                                                               41 AZ. Nasution, Op.cit., hlm. 44.

    Apabila ia telah menandatangani perjanjian secara hukum dianggap sudah menyetujui atau menyepakati isinya, dan apabila ia tidak menyetujui tentunya 42 tidak akan menandatanganinya. Tanda tangan merupakan tanda kesepakatan.

  Ketentuan menerapkan klausula baku ini, pihak pembuat kontrak sering kali menggunakan kesempatan tersebut untuk membuat ketentuan-ketentuan yang lebih menguntungkan pihaknya. Terlebih jika posisi tawar antara para pihak tersebut tidak seimbang, maka pihak yang lebih lemah akan dirugikan dari kontrak tersebut. Tentu harus ada perlindungan bagi konsumen dalam keadaan- keadaan tersebut. Hal tersebut terdapat dalam aturan-aturan dalam UUPK. Dalam UUPK ini diatur mengenai hal-hal apa saja yang dilarang bagi seorang pelaku usaha. Dalam Pasal 18 UUPK disebutkan bahwa :

  Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: 1.

  Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; 2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

  3. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

  4. Pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

                                                               42 Sanusi Bintang, Dahlan, Pokok-pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 107.

   

  5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

  6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;

  7. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; 8. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

  Selain hal tersebut pelaku usaha juga dilarang untuk mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Hal seperti ini sering kali dilakukan oleh pelaku usaha di bidang telekomunikasi, dimana sering kali terdapat tanda bintang dibawah dengan tulisan yang kecil sekali yang menyatakan “syarat dan ketentuan berlaku”. Sebetulnya yang dilarang oleh UUPK ini bukanlah mengenai ada atau tidaknya tanda “syarat dan ketentuan berlaku”, namun yang dilarang adalah keadaan dimana akibat tulisan yang kecil tersebut membuat konsumen menjadi tidak ada ada ketentuan seperti itu. Karena itu, jika tulisan seperti itu masih dapat dilihat dengan jelas oleh konsumen, hal tersebut tidaklah melanggar ketentuan dalam UUPK ini. Jika terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha mengenai Klausula baku tersebut, maka perjanjian tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum.

  Perjanjian baku yang menempatkan posisi tidak seimbang antara pelaku usaha dan konsumen, pada akhirnya akan melahirkan perjanjian yang akan merugikan konsumen. UUPK tidak merumuskan pengertian perjanjian baku, tapi 43 menggunakan istilah klausula baku.

  Klausula baku merupakan setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Dalam hukum perjanjian, istilah klausula baku disebut juga dengan klausula eksonerasi. Pasal 1 angka 10 UUPK telah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

  Klausula baku banyak digunakan dalam setiap perjanjian yang bersifat sepihak dan dalam bahasa umum sering disebut sebagai disclamer yang bertujuan untuk melindungi pihak yang memberikan suatu jasa tertentu. Berikut beberapa contoh klausula baku:

1. Formulir

  Pembayaran tagihan bank dalam salah satu syarat yang harus dipenuhi atau disetujui oleh nasabahnya menyatakan “bank tidak bertanggung jawab atas

                                                               43 Irsan Armadi, Klausula Baku dalam Perlindungan Konsumen, tersedia pada www.hariansumutpos.com , diakses tanggal 12 September 2014.

    kelalaian atau kealpaan, tindakan atau keteledoran atau koresponden, sub agen 44 lainnya atau pegawai lainnya.”

2. Kuitansi atau faktur pembelian barang

  Kuitansi atau faktur pembelian barang sering didapat saat seseorang membeli barang atau kuitansi pembayaran parkir. Terhadap kuitansi pembayaran pada umumnya tertera tulisan “barang yang tidak diambil dalam 2 minggu dalam 45

  nota penjualan kami batalkan.

  Pasal 18 UUPK menjelaskan ketentuan pencantuman klausula baku, yaitu: 1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a.

  Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c.

  Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

                                                               44 Irma Devita Purnamasari,” Klausula Baku VS Perlindungan Terhadap Konsumen”, diunduh dalam http ://irmadevita.com/2012/klausula-baku-vs-perlindungan-terhadap-konsumen.

  (Diakses pada tanggal 25 Maret 2014). 45   Ibid.

    e.

  Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f.

  Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; g.

  Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h.

  Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

  2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknyasulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

  3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 dinyatakan batal demi hukum. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini.

  Untuk mewujudkan perlindungan konsumen atas adanya pencantuman klausula baku yang berkemungkinan membawa konsumen kepada hal yang akan merugikannya, maka diperlukan pengawasan yang tentunya dilakukan oleh lembaga yang telah diberi kewenangan untuk itu. Dalam UUPK Pasal 52, lembaga yang diberikan wewenang untuk melakukan pengawasan adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang kemudian disingkat dengan BPSK. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen (Pasal 1 angka 11 UUPK.

E. Tanggung Jawab Pelaku Usaha

  Terkait dengan tanggung jawab pelaku usaha, ada baiknya diberikan beberapa contoh kasus yang mana para pelaku usaha sangat kurang untuk melakukan tanggung jawab atas segala kerugian yang telah ditimbulkannya. Pelaku Usaha yang menjalankan usaha produk makanan berkemasan plastik yang mengandung cacat tersembunyi di Kota Pematang Siantar, akan bersedia memberi ganti rugi kepada konsumen jika benar-benar produk makanan berkemasan plastik 46 telah merugikan konsumen.

  Lain halnya yang terjadi di Pontianak, disebutkan bahwa pelaku usaha yang memproduksi makanan dan minuman kemasan tidak layak konsumsi tidak semuanya bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen yang mengalami kerugian akibat dari makanan dan minuman kemasan tidak layak konsumsi. Penyebab hal ini terjadi karena kurangnya kesadaran hukum dari pelaku usaha untuk melakukan kewajiban hukumnya terhadap konsumen 47 tersebut.

                                                               46 M. Sadar, Moh. Taufik Makarao, dkk, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia (Jakarta: Akademia, 2012), hlm. 67. 47   Ibid. , hlm. 69.

    Tanggung jawab pelaku usaha pada prinsipnya telah diatur dalam Pasal 19-28 UUPK, oleh karena itu apa yang terjadi di 2 (dua) daerah tersebut diatas seharusnya pelaku usaha bertanggung jawab sepenuhnya atas kerugian yang dialami oleh konsumen. Berikut tanggung jawab pelaku usaha yang tertuang dalam Pasal 19-28 UUPK, yaitu:

  1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan; 2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

  3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi;

  4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan; 5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen; 6. Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut;

Dokumen yang terkait

Tanggung Jawab Developer Perumahan Kepada Konsumen Perumahan Terhadap Iklan dan Brosur Perumahan yang Menyesatkan Konsumen Perumahan Dikaitkan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Studi pada CV. Surya Abadi)

13 134 95

Tanggung Jawab Developer Perumahan Terhadap Konsumen Perumahan Atas Pemutusan Listrik Secara Sepihak Yang Dilakukan Oleh PT. PLN. Persero (Studi Putusan MA. No. 53 PK/PDT/SUS.BPSK/2013)

1 91 117

Perlindungan Konsumen Perumahan Terhadap Developer Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Study Kasus : Zona Property Medan)

0 57 94

Perlindungan Konsumen Perumahan Terhadap Developer Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Study Kasus : Zona Property Medan)

4 84 94

KEBERADAAN YAYASAN LEMBAGA KONSUMEN INDONESIA (YLKI) DALAM MEWUJUDKAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN BERKAITAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN ( Studi Ksus pada YLKI Yogyakarta)

0 6 107

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN GAME ONLINE YANG MENGALAMI BUG AND ERROR BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

0 4 1

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK PERLINDUNGAN KONSUMEN PENGGUNA JASA PENERBANGAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN - Perlindungan Hak Konsumen atas Pengguna Jasa Pene

0 0 29

1 PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP JUAL BELI MOBIL BEKAS BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN (SHOWROOM MOBIL 78) SKRIPSI

0 1 8

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI RUMAH - Tanggung Jawab Developer Perumahan Kepada Konsumen Perumahan Terhadap Iklan dan Brosur Perumahan yang Menyesatkan Konsumen Perumahan Dikaitkan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Studi pada CV.

0 1 24

BAB I PENDAHULUAN - Tanggung Jawab Developer Perumahan Kepada Konsumen Perumahan Terhadap Iklan dan Brosur Perumahan yang Menyesatkan Konsumen Perumahan Dikaitkan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Studi pada CV. Surya Abadi)

0 1 10