BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK PERLINDUNGAN KONSUMEN PENGGUNA JASA PENERBANGAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN - Perlindungan Hak Konsumen atas Pengguna Jasa Pene

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK PERLINDUNGAN KONSUMEN PENGGUNA JASA PENERBANGAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN UNDANG-UNDANG NO

1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN

A. Pengertian Perlindungan, Hak dan Kewajiban Konsumen

  Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia baru mulai terjadi pada dekade 1970-an. Hal ini ditandai dengan berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen

  13 Indonesia (YLKI) pada bulan Mei 1973.

  Ketika itu gagasan perlindungan konsumen disampaikan secara luas kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan advokasi konsumen, seperti pendidikan, penelitian, pengujian, pengaduan , dan publikasi media konsumen. Ketika YLKI berdiri, kondisi politik bangsa Indonesia saat itu masih dibayang- bayangi dengan kampanye penggunaan produk dalam negeri. Namun, seiring perkembangan waktu, gerakan perlindungan konsumen (seperti yang dilakukan YLKI) dilakukan melalui koridor hukum yang resmi, yaitu bagaimana

  14 memberikan bantuan hukum kepada masyarakat atau konsumen.

  Pada masa pemerintahan BJ Habibie, tanggal 20 April 1999 UUPK disahkan. Dengan adanya UUPK, Jaminan atas perlindungan hak-hak konsumen di Indonesia diharapkan bisa terpenuhi dengan baik. Masalah perlindungan konsumen kemudian ditempatkan ke dalam koridor suatu system hukum perlindungan konsumen yang merupakan bagian dari sistem hukum nasional. 13 Janus Sidabalok, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya

  Bakti, Bandung, hlm. 248 14 Ibid hlm. 250

  Dalam Penjelasan UUPK, disebutkan bahwa keberadaan UU Perlindungan Konsumen adalah dimaksudkan sebagai landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Dengan kata lain, UU Perlin dungan Konsumen merupakan “payung” yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen.

  Seiring Perkembangan Waktu, gerakan-gerakan konsumen banyak tumbuh dan berkembang di Tanah Air. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM), sebagai lembaga yang bertugas melindungi hak-hak konsumen, menjamur di mana-mana. Tentunya, perkembangan tersebut patut disambut secara positif.

  Munculnya gerakan konsumen adalah untuk membangkitkan kesadaran kritis konsumen secara kontinuitas. Kesadaran kritis ini tidak hanya dimaksudkan untuk mendapatkan hak-hak konsumen, tapi juga dalam proses pengambilan keputusan yang terkait tentang kepentingan konsumen, serta berbagai keputusan yang terkait dengan kepentingan publik dan konsumen yang harus 15 dipertanggungjawabkan secara terbuka.

  Lambannya perkembangan perlindungan konsumen di Indonesia pada tahap permulaan karena sikap pemerintah pada umumnya masih melindungi kepentingan pengusaha yang merupakan faktor penting dalam pembangunan suatu Negara. Akibat dari perlindungan kepentingan pengusaha maka ketentuan- 15 Happy Susanto, 2008, Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan, Visi Media, Jakarta Selatan

  hlm. 11 ketentuan hukum yang bermaksud untuk memberikan perlindunggan kepada konsumen atau masyarakat kurang berfungsi, karena tidak diterapkan secara tegas.

  Walaupun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa usaha pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada konsumen telah dilakukan sejak lama, hanya saja kadang tidak disadari bahwa pada dasarnya tindakan tertentu yang dilakukan

  16 oleh pemerintah merupakan usaha untuk melindungi kepentingan konsumen.

  Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan: “Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”

  Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut Undang-Undang Perlindungan Konsumen) cukup memadai. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindak sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.

  Meskipun undang-undang ini disebut sebagai Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) namun bukan berarti kepentingan pelaku usaha tidak ikut menjadi perhatian, teristimewa karena keberadaan perekonomian nasional banyak ditentukan oleh para pelaku usaha. 16 Ahmadi Miru, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia,

  2011 hlm. 68

  Kesewenang-wenangan akan mengakibatkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, agar segala upaya memberikan jaminan akan kepastian hukum, ukurannya secara kualitatif ditentukan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan undang-undang lainnya yang juga dimaksudkan dan masih berlaku untuk memberikan perlindungan konsumen, baik dalam Hukum Privat (Perdata) maupun bidang hukum publik.

  Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan 17 konsumen itu sendiri.

  Adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan dampak ekonomi yang positif bagi dunia usaha. Yakni, dunia usaha dipacu untuk meningkatkan kualitas/mutu produk barang dan jasa sehingga produknya memiliki keunggulan kompetitif di dalam dan di luar negeri. Kekhawatiran adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen bisa menghancurkan perkembangan industri, perdagangan, dan pengusaha kecil tidak masuk akal.

  Pengusaha kecil yang sudah ada pada awal munculnya isu perlindungan konsumen di Indonesia hampir seperempat abad yang lalu, sampai saat ini tidak 18 bangkit, bahkan tergilas sepak terjang konglomerat yang menggurita.

  Perlindungan Konsumen mempunyai cakupan yang luas meliputi perlindungan konsumen dalam memperoleh barang dan jasa, yang berawal dari 17 Janus Sidabalok, 2014 “Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia”, Citra Aditya,

  Bandung. hlm. 77 18 Celine Tri Siwi Kristiyanti, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen , SInar Grafika, Jakarta, hlm, 116 tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga ke akibat-akibat dari pemakaian barang dan jasa itu. Cakupan perlindungan konsumen dalam dua aspeknya itu, dapat dijelaskan sebagai berikut:

  1. Perlindungan terhadap kemungkinan diserahkan kepada konsumen barang dan jasa yang tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati atau melanggar ketentuan undang-undang. Dalam kaitan ini termasuk persoalan-persoalan mengenai penggunaan bahan baku, proses produksi, proses distribusi, desain produk, dan sebagainya, apakah telah sesuai dengan standar sehubungan keamanan dan keselamatan konsumen atau tidak. Juga, persoalan tentang bagaimana konsumen mendapatkan penggantian jika timbul kerugian karena memakai atau mengonsumsi produk yang tidak sesuai.

  2. Perlindungan terhadap diberlakukannya kepada konsumen syarat-syarat yang tidak adil. Dalam kaitan ini termasuk persoalan-persoalan promosi dan periklanan, standar kontrak, harga, layanan purnajual, dan sebagainya. Hal ini berkaitan dengan perilaku produsen dalam memproduksi dan mengedarkan 19 produknya.

  Ada 2 aspek Perlindungan Konsumen, yaitu:

  1. Tanggung Jawab Produk Aspek pertama dari perlindungan konsumen adalah persoalan tentang tanggung jawab produsen-pelaku usaha atas kerugian sebagai akibat yang ditimbulkan oleh produknya. Dengan singkat persoalan ini lazim disebut dengan tanggung jawab produk. 19 Janus

  Sidabalok, 2014 “Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia”, Citra Aditya, Bandung. hlm. 252 Salah satu defenisi tanggung jawab produk dipaparkan berikut ini: Agnes M. Toar mendefnisikan tanggung jawab produk sebagai berikut: Tanggung jawab produk ialah tanggung jawab para produsen untuk produk yang telah dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan/menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut.

2. Standar Kontrak (Perjanjian Standar, Perjanjian Baku)

  Aspek kedua dari perlindungan konsumen adalah persoalan tentang pemakaian standar kontrak dalam hubungan antara produsen-pelaku usaha dan konsumen. Dalam praktik sering ditemukan cara bahwa untuk mengikat suatu perjanjian tertentu , salah satu pihak telah mempersiapkan sebuah konsep (draft) perjanjian yang akan berlaku bagi para pihak. Konsep itu disusun sedemikian rupa sehingga pada waktu penandatanganan perjanjian, para pihak hanya tinggal mengisi beberapa hal yang sifatnya subjektif, seperti identitas dan tanggal waktu pembuatan perjanjian yang sengaja dikosongkan sebelumnya. Sedangkan ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian (term of conditions) sudah tertulis ( tercetak) lengkap, yang pada dasarnya tidak dapat diubah lagi. Konsep perjanjian seperti inilah yang disebut dengan standar kontrak perjanjian (perjanjian standar, perjanjian baku). Istilah ini menunjuk 20 pada syarat-syarat perjanjian yang sudah dibakukan sebelumnya.

  Berkaitan dengan perlindungan konsumen, khususnya dengan tanggung jawab produk, perlu dijelaskan beberapa istilah terlebih dahulu untuk memperoleh kesatuan persepsi. Istilah yang memerlukan penjelasan itu adalah produsen atau 20 Ibid hlm. 20 pelaku usaha, konsumen, produk dan standardisasi produk, peranan pemerintah, serta klausula baku. Berikut penjelasannya:

1. Produsen atau Pelaku Usaha

  Produsen sering diartikan sebagai pengusaha yang menghasilkan barang dan jasa. Dalam pengertian ini termasuk di dalamnya pembuat, grosir, leveransir, dan pengecer professional, yaitu setiap orang/badan yang ikut serta dalam penyediaan barang dan jasa hingga sampai ke tangan konsumen. Sifat professional merupakan syarat mutlak dalam hal menuntut

  21 pertanggungjawaban produsen.

  Dengan demikian, produsen tidak hanya diartikan sebagai pelaku usaha pembuat/ pabrik yang menghasilkan produk saja, tetapi juga mereka yang terkait dengan penyampaian/ peredaran produk hingga sampai ke tangan

  22

  konsumen. Dengan perkataan lain, dalam konteks perlindungan konsumen, produsen diartikan secara luas. Sebagai contoh, dalam hubungannya dengan produk makanan hasil industry (pangan olahan), maka produsennnya adalah mereka yang terkait dalam proses pengadaan makanan hasil industri ( pangan olahan ) itu hingga sampai ke tangan konsumen, mereka itu adalah: pabrik (pembuat), distributor, eksportir atau importer, dan pengecer, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum.

  2. Konsumen

  21 Janus Sidabalok, 2014 Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung hlm. 13 22 Ibid, hlm. 80

  Konsumen umumnya diartikan sebagai pemakai terakhir dari produk yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha, yaitu setiap orang yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan atau

  23 diperjualbelikan lagi.

  Menurut pasal 1 angka 2 Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen disebutkan: ‘’Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan /atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

  ” Persoalan hubungan produsen-pelaku usaha dengan konsumen biasanya dikaitkan dengan produk (barang dan jasa) yang dihasilkan oleh teknologi.

  Maka persoalan perlindungan konsumen erat kaitannya dengan persoalan teknologi, khususnya teknologi maknufatur dan teknologi informasi.

  Dengan makin berkembangnya industri dan teknologi memungkinkan semua lapisan masyarakat terjangkau oleh produk teknologi, yang berarti juga memungkinkan semua masyarakat terlibat dalam masalah perlindungan konsumen ini.

3. Produk dan Standardisasi Produk

  Dilihat dari pengertian luas, produk ialah segala barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu proses sehingga produk berkaitan erat dengan

  24 teknologi. Produk terdiri dari barang dan jasa.

  Menurut Pasal 1 angka 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen: 23 24 Ibid, hlm. 14 Ibid, hlm. 15

  “ Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen.

  Untuk menghindari kemungkinan adanya produk yang cacat atau berbahaya, maka perlu ditetapkan standar minimal yang harus dipedomani dalam berproduksi untuk menghasilkan produk yang layak dan aman dipakai. Usaha inilah yang disebut dengan standardisasi. Standarisasi merupakan penentuan ukuran yang harus diikuti dalam memproduksikan sesuatu, sedang pembuatan banyaknya macam ukuran barang yang akan diproduksikan merupakan usaha simplifikasi. Standardisasi adalah proses pembentukan standar teknis , yang bisa menjadi standar spesifikasi , standar cara uji , standar definisi , prosedur standar (atau 25 praktik), dll

  Menurut Gandi, standardisasi adalah; “Proses penyusunan dan penerapan aturan-aturan dalam pendekatan secara teratur bagi kegiatan tertentu untuk kemanfaatan dan dengan kerja sama dari semua pihak yang berkepentingan, khususnya untuk meningkatkan pengehematan menyeluruh secara optimum dengan memperhatikan kondisi fungsional dan persyaratan keamanan. Hal ini didasarkan pada konsolidasi 26 dari hasil (ilmu) teknologi dan pengalaman.”

  Selanjutnya ia mengatakan bahwa dengan standardisasi akan diperoleh manfaat sebagai berikut:

  25 Janus Sidabalok, 2014 Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung hlm. 78 26 Ibid, hlm. 82 a.

  Pemakaian bahan secara ekonomis, perbaikan mutu, penurunan ongkos produksi, dan penyerahan yang cepat.

  b.

  Penyederhanaan pengiriman dan penanganan barang.

  c.

  Perdagangan yang adil, peningkatan kepuasan langganan.

  d.

  Keselamatan kehidupan dan harta 4. Peranan pemerintah

  Berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

  Pasal 30 menerangkan bahwa Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang- undangan di selenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga

  27 perlindungan konsumen swadaya masyarakat.

  Berkaitan dengan pemakain teknologi yang makin maju dan supaya tujuan standardisasi dan sertifikasi tercapai semaksimal mungkin, maka peranan pemerintah perlu aktif dalam membuat, menyesuaikan, dan mengawasi pelaksanaan peraturan yang berlaku.

  Sesuai dengan prinsip pembangunan yang antara lain, menyatakan bahwa pembangunan dilaksanakan bersama oleh masyarakat dengan pemerintah dan karena itu menjadi tanggung jawab bersama pula, maka melalui pengaturan dan pengendalian oleh pemerintah, tujuan pembangunan nasional dapat dilaksanakan dengan baik.

27 M. Sadar, Taufik Makarao dan Habloel Mawadi, 2012, Hukum Perlindungan

  Konsumen di Indonesia , Akademia, Jakarta hlm. 70

  Upaya pemerintah untuk melindungi konsumen dari produk yang merugikan dapat dilaksanakan dengan cara mengatur; mengawasi; serta mengendalikan produksi, distribusi, dan peredaran produk sehingga konsumen tidak dirugikan, baik kesehatannya maupun keuangannya.

  Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dan kebijakan yang akan dilaksanakan, maka langkah-langkah yang dapat ditempuh pemerintah adalah: a.

  Registrasi dan penilaian b.

  Pengawasan produksi c. Pengawasan distribusi d.

  Pembinaan dan pengembangan usaha e. Peningkatan dan pengembangan prasarana dan tenaga.

  28

  5. Klausula Baku Sehubungan dengan standar kontrak adalah penggunaan klausula baku dalam transaksi konsumen. Yang dimaksud dengan klausula baku menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah: “Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.”

  Pembuat undang-undang ini menyadari bahwa pemberlakuan standar kontrak adalah suatu kebutuhan yang tidak bisa dihindari sebab sebagai mana dikatakan Syahdeini, perjanjian baku/standar kontrak adalah suatu kenyataan yang memang lahir dari kebutuhan masyarakat. 28 Janus Sidabalok, 2014 Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya

  Bakti, Bandung hlm. 19

  Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan adil terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk memperujuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam

  29 saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.

  Berdasarkan UU Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak konsumen sebagai berikut: a.

  Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.

  b.

  Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.

  c.

  Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa.

  d.

  Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.

  e.

  Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

  f.

  Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.

  g.

  Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. 29 M. Sadar, Taufik Makarao dan Habloel Mawadi, 2012, Hukum Perlindungan

  Konsumen di Indonesia , Akademia, Jakarta hlm. 33 h.

  Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. i.

  Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

  Dan Kewajiban Konsumen, sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah: a.

  Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b.

  Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c.

  Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d.

  Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

30 B. Asas, Tujuan Serta Tanggung Jawab Konsumen Menurut Undang-

  Undang Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama

  berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu: 1.

  Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. 30 Janus Sidabalok, 2014 Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya

  Bakti, Bandung hlm. 95

  2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

  3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materil dan spiritual.

  4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

  5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum. ” 31 Dari kelima asas tersebut , bila diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu:

  1. Asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen,

2. Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan, dan 3.

32 Mengenai tujuan dari perlindungan konsumen, tertuang dalam pasal 3 UUPK: a.

  Asas kepastian hukum.

  Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; b.

  Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c.

  Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; d. Menciptakan system perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

31 Ahmadi Miru, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Pers, Jakarta, hlm 25

  32 Janus Sidabalok, 2014 Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung hlm. 25 e.

  Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, kemananan, dan keselematan konsumen. ” Ke enam tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan diatas bila dikelompokkan ke dalam tiga tujuan hukum secara umum, maka tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan huruf c, dan huruf e. Sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan huruf a, dan b, termasuk huruf c, dan d, serta huruf f. Terakhir tujuan khusus yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat dalam rumusan huruf d. Pengelompokan ini tidak berlaku mutlak, oleh karena seperti yang dapat kita lihat dalam rumusan pada huruf a sampai dengan huruf f terdapat tujuan yang dapat dikualifikasi sebagai tujuan ganda.

  Kesulitan memenuhi ketiga tujuan hukum (umum) sekaligus sebagaimana dikemukakan sebelumnya, menjadikan sejumlah tujuan khusus dalam huruf a sampai dengan huruf f dari Pasal 3 tersebut hanya dapat tercapai secara maksimal, apabila didukung oleh keseluruhan subsistem perlindungan yang diatur dalam undang-undang ini, tanpa mengabaikan fasilitas penunjang dan kondisi masyarakat. Unsur masyarakat sebagaimana dikemukakan berhubungan dengan persoalan kesadaran hukum dan ketaatan hukum, yang seterusnya menentukan efektifitas Undang-undang Perlindungan konsumen, sebagaimana dikemukakan oleh Achmad Ali bahwa kesadaran hukum, ketaatan hukum, dan efektivitas

  33 perundang-undangan adalah tiga unsur yang saling berhubungan.

  Kesulitan memenuhi ketiga tujuan hukum (umum) sekaligus sebagaimana dikemukakan sebelumnya, menjadikan sejumlah tujuan khusus dalam huruf a sampai dengan huruf f dari pasal 3 tersebut hanya dapat tercapai secara maksimal, apabila didukung oleh keseluruhan subsistem perlindungan yang diatur dalam undang-undang ini, tanpa mengabaikan fasilitas penunjang dan kondisi masyarakat. Termasuk dalam hal ini substansi ketentuan pasal demi pasal yang akan diuraikan dalam bab selanjutnya. Unsur masyarakat sebagaimana

  34 dikemukakan berhubungan dengan persoalan kesadaran hukum.

  Pasal 8 UUPK No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan pelaku usaha dilarang: a. memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan, b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto dan dalam jumlah hitungan yang dinyatakan dalam label barang, c. tidak sesuai dengan ukuran takaran timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya, d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label barang tersebut, e. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dengan label, etiket, keterangan, iklan atau promosi

  35 penjualan barang tersebut. 33 M. Sadar, Taufik Makarao dan Habloel Mawadi, 2012, Hukum Perlindungan , Akademia, Jakarta hlm. 19

  Konsumen di Indonesia 34 Janus Sidabalok, 2014 Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung hlm. 26 35 M. Sadar, Taufik Makarao dan Habloel Mawadi, 2012, Hukum Perlindungan

  Konsumen di Indonesia , Akademia, Jakarta hlm 42

C. Badan Perlindungan Konsumen dan Pengawasannya

  Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memungkinkan penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan [Pasal 45 ayat (1) jo, Pasal 23 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen]. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dilaksanakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh Konsumen ( Pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

36 Perlindungan Konsumen). Dengan cara ini dimaksudkan supaya persoalan antara konsumen dan produsen dapat segera ditemukan jalan penyelesaian.

  Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan persoalan diselesaikan melalui pengadilan.

  Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan ini sama seperti penyelesaian sengketa dengan jalan negosiasi, konsultasi, konsiliasi, mediasi, ataupun arbitrase.

  Penjelasan Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada pokoknya menyatakan:

  1. Penyelesaian sengketa konsumen (di luar pengadilan) tidak menutup kemungkinan penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa.

  2. Pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang bersengketa.

  3. Penyelesaian secara damai oleh penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa ( pelaku usaha dan konsumen ) tanpa melalui 36 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen peradilan atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan tidak

  37 bertentangan dengan undang-undang ini.

  Menurut Pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan ini bertujuan untuk mencapai kesepakatan atau perdamaian. Jadi, baik negosiator, konsultan, konsiliator, mediator, maupun arbiter berusaha mencapai kesepakatan atau perdamaian dalam menyelesaikan sengketa konsumen.

  Demikian halnya dengan majelis BPSK sedapat mungkin mengusahakan tercapainya kesepakatan antara produsen-pelaku usaha dan konsumen yang bersengketa. Penyelesaian sengketa melalui BPSK ini memuat unsur perdamaian yang harus di usahakan. Namun, harus diingat bahwa sengketa konsumen tidak boleh diselesaikan dengan perdamaian saja sebab ketentuan hukum harus terus di pegang. Dengan demikian, BPSK menyelesaikan sengketa konsumen dengan 38 memeriksa dan memutus sengketa tetap berdasarkan hukum. Artinya BPSK saat menjalankan perannya dalam penyelesaian sengketa tetap berpegang pada 39 ketentuan dan tegaknya undang-undang (hukum) yang berlaku.

  Untuk membantu penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, undang-undang ini memperkenalkan sebuah lembaga yang bernama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ( BPSK ). Penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK termasuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan mirip dengan badan arbitrase. Badan ini merupakan badan hasil bentukan pemerintah

  37 38 Ibid

Di peradilan umum, dalam perkara perdata, ada ketentuan bahwa hakim berusaha

mendamaikan para pihak yang beperkara 39 Ibid, hlm. 177

  yang berkedudukan di ibukota Daerah Tingkat II Kabupaten/Kota (Pasal 49 ayat 1 Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen).

  Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah lembaga yang memeriksa dan memutus sengketa konsumen, yang bekerja seolah-olah sebagai sebuah pengadilan. Karena itu, BPSK dapat disebut sebagai peradilan kuasi.

  Terdapat dua fungsi BPSK, pertama sebagai instrument hukum penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan. Tugas tugas BPSK pada pasal 52 butir e,f,g,h,i,j,k,l dan m UUPK terserap kedalam fungsi utama tersebut. Penyelesaian sengketa konsumen, dilakukan dengan tiga cara yaitu: 1. konsiliasi 2. mediasi, dan;

  40 3.

  arbitrase Cara konsiliasi ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak, sedangkan majelis BPSK bersikap pasif. Majelis BPSK bertugas sebagai pemerantara antara para pihak yang bersengketa.

  Di dalam konsiliasi, seorang konsiliator akan mengklarifikasikan masalah- masalah yang terjadi dan bergabung di tengah-tengah para pihak, tetapi kurang aktif dibandingkan dengan seorang mediator dalam menawarkan pilihan-pilihan penyelesaian suatu sengketa. Konsiliasi menyatakan secara tidak langsung suatu kebersamaan suatu pihak dimana pada akhirnya kepentingan-kepentingan bergerak mendekat dan selanjutnya didapat suatu penyelesaian yang memuaskan 40 Yusuf Shofie, 2008, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen, PT Citra Aditya

  Bakti, Bandung hlm. 123

  41

  kedua belah pihak. Rekonsiliasi menyatakan secara tidak langsung kebersamaan pihak-pihak yang bersengketa yang dahulunya berkawan atau berkongsi, kini mereka berselisih atau bertengkar. Pandangan-pandangan yang berbeda coraknya diantara para pihak harus dipertemukan dengan teliti.

  Sama halnya dengan konsiliasi, cara mediasi ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak. Bedanya dengan yang pertama, pada mediasi, Majelis

  42 BPSK bersikap aktif sebagai pemerantara atau penasihat.

  BPSK berkedudukan di Kabupaten/Kota dibentuk melalui keputusan Presiden, dengan susunan: 1.

  Satu orang ketua merangkap anggota 2. satu orang wakil ketua merangkap anggota;dan 3. 9 sampai dengan 15 orang anggota.

  Anggota BPSK terdiri atas unsur-unsur: pemerintah, konsumen, dan pelaku usaha, yang masing-masing unsur diwakili oleh sekurang-kurangnya 3 orang dan sebanyak banyaknya 5 orang. Anggota BPSK ditetapkan oleh

  43 Menteri Perindustrian dan Perdagangan.

  Etika penyelesaian sengketa konsumen mendesak untuk dirumuskan oleh para anggota BPSK sebagai panduan/pegangan moral bagi setiap anggota BPSK dalam menjalankan tugasnya menyelesaikan sengketa konsumen yang diajukan oleh konsumen. Etika penyelesaian sengketa konsumen diperlukan terutama untuk : 41 42 Ibid hlm. 124 43 Ibid Ibid hlm. 184

1. Mewujudkan gagasan paternalisme UUPK 2.

  Menciptakan korps BPSK yang bersih dan disegani untuk menjaga

  44 standar mutu putusan-putusan BPSK.

  Namun satu hal yang harus diperhatikan disini yaitu etika penyelesaian sengketa konsumen bukan untuk melindungi pelanggaran-pelanggaran etik atau bahkan pelanggaran-pelanggaran hukum anggota BPSK di dalam menjalakan tugasnya.

  Untuk memperlancar tugasnya, BPSK dibantu oleh sekretariat yang dipimpin oleh seorang kepala sekretariat dan beberapa anggota sekretariat.

  Kepala dan anggota sekretariat diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan.

  Untuk dapat diangkat menjadi anggota BPSK, menurut pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen harus memenuhi syarat: a.

  Warga Negara Republik Indonesia; b.

  Berbadan sehat; c. Berkelakuan baik;

  d. Tidak pernah dihukum karena kejahatan; e.

  Memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen;

  45 f.

  Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.

  Pembentukan BPSK telah dimulai sejak tahun 2001 dengan keluarnya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 90 Tahun 2001. Berdasarkan keputusan presiden tersebut telah dibentuk BPSK di 10 daerah , yaitu di kota Medan, Palembang, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Malang, dan Makassar. Secara berangsur-angsur, BPSK kemudian 44 Yusuf Shofie, 2008, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen, PT Citra Aditya

  Bakti, Bandung hlm. 135 45 Ibid hlm. 185

  didirikan di berbagai kota dan kabupaten di Indonesia, dan sampai tahun 2012 sudah banyak BPSK yang didirikan di kabupaten/kota.

  Tugas dan wewenang BPSK menurut Pasal 52 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen meliputi: a.

  Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi; b.

  Memberikan konsultasi perlindungan konsumen; c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini; e.

  Menerima pengaduan, baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; f.

  Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; g.

  Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; h.

  Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini; i.

  Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK); j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan; k.

  Memutuskan dan menetepkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen; l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; m.

  Menjatuhkan sanksi administrative kepada pelaku usaha yang melanggar

  46 ketentuan undang-undang ini.

  Mencermati tugas dan wewenang BPSK sebagaimana disebutkan di atas, dapat dikatakan bahwa BPSK ini lebih luas dari sebuah badan peradilan perdata.

  Karena selain yang berkaitan dengan perkara, BPSK ini sudah sampai pula pada tugas konsultasi yang merupakan tugas dan wewenang Badan Perlindungan 46 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

  Konsumen Nasional (BPKN) dan pengawasan yang merupakan tugas dan wewenang pemerintah, masyarakat, dan LSM. Sebaiknya, tugas dan wewenang BPSK ini dapat mencapai tujuannya. Idealnya BPSK ini adalah sebuah lembaga arbitrase yang tugas-tugasnya berada pada lingkup mencari pemecahan/penyelesaian sengketa konsumen dengan jalan kesepakatan atau perdamaian dalam kerangka hukum yang berlaku. Dengan tugas seperti ini maka BPSK dapat dengan segera memberikan putusannya untuk mengakhiri sengketa konsumen. Diharapkan dengan penyelesaian sengketa yang sederhana dan singkat, tidak diperlukan lagi penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang cenderung lama dan berlarut-larut.

  Perlindungan hukum bagi konsumen di Indonesia didasarkan pada 3 prinsip, yaitu prinsip perlindungan kesehatan/harta konsumen, prinsip perlindungan atas barang dan harga serta prinsip penyelesaian sengketa secara patut. Di samping itu UUPK juga secara tegas memuat prinsip ganti kerugian subjek terbatas dan prinsip tanggung gugat berdasarkan kesalahan dengan beban pembuktian terbalik.

  Namun demikian, UUPK masih memiliki kekurangan-kekurangan karena mengatur ketentuan yang secara prinsipil bersifat kontradiktif, yaitu di satu pihak menutup kemungkinan bagi produsen untuk mengalihkan tanggung gugatnya kepada konsumen, akan tetapi di pihak lain tetap memungkinkan untuk diperjanjikan batas waktu pertanggung gugatan. Walaupun masih terdapat kekurangan UUPK namun secara umum semakin membebani produsen untuk bertanggung gugat terhadap kerugian yang dialami oleh konsumen, sehingga untuk mengantisipasi kemungkinan tanggung gugatnya kepada konsumen, produsen dapat melakukan perjanjian asuransi dengan perusahaan asuransi

  47 tertentu.

D. Perlindungan Konsumen Pengguna Jasa Penerbangan Ditinjau Dari

  

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan

Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan

  Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen, sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan pelaku

  48 usaha hanya demi untuk perlindungan konsumen.

  Meskipun disebutkan undang-undang perlindungan konsumen, namun bukan berarti kepentingan pelaku usaha tidak menjadi perhatian, teristimewa karena keberadaan perekonomian nasional banyak ditentukan oleh para pelaku

  49

  usaha. Kesewenang-wenangan akan mengakibatkan ketidakpastian hukum, oleh karenan itu agar segala upaya memberikan jaminan kepastian hukum, ukurannya secara kualitatif ditentukan oleh undang-undang perlindungan konsumen dan undang-undang lainnya yang masih berlaku antara lain Undang- undang No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.

  Maskapai Penerbangan sebagai pelaku usaha mempunyai tugas dan kewajiban untuk ikut serta menciptakan dan menjaga iklim usaha yang sehat untuk dapat menunjang pembangunan perekonomian nasional secara

  50

  menyeluruh. Oleh karena itu kepada badan usaha maskapai penerbangan di 47 Ahmadi Miru, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia,

  2011 hlm 215 48 49 Ahmadi Miru, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 1 50 Ibid hlm. 1 Janus Sidabalok, 2014 Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung hlm. 80

  bebankan tanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajiban itu, yaitu menerapkan norma-norma hukum, kepatutan dan menjunjung tinggi kebiasaan yang berlaku di kalangan dunia penerbangan. Para Maskapai Penerbangan harus senantiasa beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, dengan demikian mereka telah menciptakan iklim usaha yang sehat demi menunjang pembangunan nasional dan menciptakan nilai-nilai keadilan dan kepatutan terhadap para konsumen pengguna maskapai udara.

  Maskapai penerbangan dapat melakukan perbuatan yang tidak jujur berupa segala tingkah laku yang tidak sesuai dengan itikad baik, kejujuran di dalam usaha, antara lain menaikkan harga barang secara tidak semestinya atau

  51

  pemberian harga yang tidak wajar. Hal ini menyebabkan konsumen membeli tiket dengan harga yang berbeda dari yang ditentukan oleh batas tertinggi harga tiket. Menurut undang-undang perlindungan konsumen pelaku usaha yang melakukan kesalahan dapat dikenakan sanksi administrasi yang dijatuhkan oleh

  52

  badan penyelesaian sengketa konsumen. Sanksi administrasi dapat berupa penetapan ganti rugi sebanyak 200 juta rupiah. Tata cara penetapan sanksi administrasi diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan. Selama ini pemahaman terhadap sanksi adminstratif, tertuju pada sanksi yang berupa pencabutan isi atau sejenisnya, ternyata berdasarkan pasal 60 ayat 2 Undang- undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, sanksi administratif juga dapat berupa penerapan ganti rugi paling banyak 200 juta rupiah.

  51 52 Ibid hlm. 205 Ahmadi Miru, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 273

  Berdasarkan Pasal 84 Undang-undang No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan disebutkan bahwa angkutan udara niaga dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah mendapat izin

  53

  usaha dari angkutan udara niaga. Pelayanan yang diberikan badan usaha pengangkutan udara niaga berjadwal dalam menjalankan kegiatannya dapat dikelompokkan paling sedikit dalam pelayanan dengan standar maksimum (full

  

services) , pelayanan dengan standar menengah (medium service) atau

  54

  pelayanan dengan standar minimum (no frills service). Pelayanan dengan standar minimum ini adalah bentuk pelayanan minimum yang diberikan kepada penumpang selama penerbangan. Badan Usaha Angkutan Niaga Berjadwal yang berbasi biaya operasi rendah harus mengajukan permohonan izin kepada menteri perhubungan. Menteri akan menetapkan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal yang berbasis biaya operasi rendah setelah memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Terhadap badan usaha niaga berjadwal yang berbasis biaya operasi rendah harus dilakukan evaluasi secara periodik.

  Tarif Angkutan Udara Niaga Berjadwal Penumpang terdiri atas golongan tarif pelayanan kelas ekonomi dan ekonomi. Tarif Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi dihitung berdasarkan komponen tarif jarak, pajak, iuran wajib asuransi dan biaya tuslah/tambahan. Hasil Perhitungan tarif kelas ekonomi merupakan batas atas tarif penumpang pelayanan kelas ekonomi angkutan niaga berjadwal dalam negeri. Tarif tersebut, ditetapkan oleh menteri perhubungan dengan mempertimbangkan aspek perlindungan konsumen dan 53 H.K. Martono dan Agus Pramono, 2013 Hukum Udara Perdata, PT. Rajawali Pers,

  Jakarta hlm. 346 54 Ibid hlm. 350

  badan usaha angkutan udara niaga berjadwal dari persaingan tidak sehat. Menurut Pasal 127 ayat 3 Undang-undang No. 1 Tahun 2009, tarif penumpang pelayanan kelas ekonomi niaga berjadwal dalam negeri, yang ditetapkan oleh menteri perhubungan, harus dipublikasikan kepada konsumen. Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal dalam Negeri dilarang menjual harga tiket kelas ekonomi dilarang menjual harga tiket kelas ekonomi melebihi tarif batas

  55

  atas yang ditetapkan oleh menteri. Badan Usaha Angkutan Udara yang melanggar ketentuan tersebut dikenakan sanksi administrasi berupa sanksi peringatan dan atau pencabutan izin rute penerbangan.

  Tarif penumpang pelayanan non ekonomi angkutan udara niaga berjadwal dan angkutan kargo berjadwal dalam negeri ditentukan berdasarkan mekanisme pasar. Sementara tarif angkutan udara niaga untuk penumpang dan angkutan kargo tidak berjadwal (charter) dalam negeri ditentukan berdasarkan

  56 kesepakatan antara pengguna jasa dan penyedia jasa angkutan.

  Badan usaha pengangkutan udara niaga wajib mengangkut orang setelah disepakatinya perjanjian pengangkutan. Selain itu badan usaha pengangkutan tersebut wajib memberikan pelayanan yang layak kepada setiap pengguna jasa pengangkutan udara sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Perjanjian pengangkutan dibuktikan dengan tiket penumpang dan dokumen muatan. Pengangkutan udara bertanggung jawab atas kerugian yang di derita oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan pengangkutan udara selama bagasi tercatat dalam pengawasan 55 56 Ibid hlm. 360 Ibid hlm. 359

  57

  pengangkut. Selain itu pengangkutan udara bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan pada pengangkutan penumpang, bagasi, atau kargo kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional.

  Pengangkutan Udara bertanggung jawab atas tidak terangkutnya penumpang sesuai dengan jadwal yang telah di tentukan dengan alasan kapasitas pesawat udara. Tanggung jawab dimaksud dengan memberikan kompensasi kepada penumpang berupa mengalihkan ke penerbangan lain tanpa membayar biaya tambahan dan atau memberikan konsumsi, akomodasi dan biaya transportasi apabila tidak ada penerbangan lain ke tempat tujuan.

  Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pihak ke tiga yang diakibatkan oleh pengoperasian pesawat udara atau jatuhnya benda-benda lain dari pesawat

  58

  udara yang dioperasikan. Ganti kerugian terhadap kerugian yang diderita pihak ketiga diberikan sesuai kerugian nyata yang dialami. Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan besaran ganti kerugian, persyaratan dan tata cara untuk memperoleh ganti kerugian diatur dalam peraturan menteri ( Pasal 184 UU No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan).

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Teoritis 2.1.1 Wirausaha - Pengaruh Perilaku Wirausaha dan Dukungan Keluarga Terhadap Keberhasilan Pengusaha Kain (Studi Kasus Pada Pedagang Kain di Jl. Perniagaan Pasar Ikan Lama Medan)

0 1 18

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Perilaku Wirausaha dan Dukungan Keluarga Terhadap Keberhasilan Pengusaha Kain (Studi Kasus Pada Pedagang Kain di Jl. Perniagaan Pasar Ikan Lama Medan)

0 0 7

BAB 11 KAJIAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu. - Potensi Masyarakat Dalam Mengelola Koperasi Pertambangan Emas di Desa Keude Krueng Sabee, Kecamatan Krueng Sabee, Kabupaten Aceh Jaya

0 0 20

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. - Potensi Masyarakat Dalam Mengelola Koperasi Pertambangan Emas di Desa Keude Krueng Sabee, Kecamatan Krueng Sabee, Kabupaten Aceh Jaya

0 0 16

PENGARUH SALINITAS TERHADAP AKTIVITAS ENZIM LIPASE DARI Bacillus cereus DA 5.2.3 DALAM DEGRADASI PAKAN UDANG SKRIPSI ANDERSON J SILALAHI 090805040

0 1 12

II. TINJAUAN PUSTAKA - Pemberian Terabuster Dan Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Pembibitan Jabon (Anthocephalus Cadamba)

0 0 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kanker Ovarium - Perbedaan Dan Hubungan Ekspresi VEGF Antara Tumor Ovarium Ganas Dan Jinak

0 0 30

PERBEDAAN DAN HUBUNGAN EKSPRESI VEGF ANTARA TUMOR OVARIUM GANAS DAN JINAK

0 0 17

BAB II Pengaturan Hukum Mengenai Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan A. Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana - Analisis Hukum Mengenai Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan Yang Dilakukan Oleh Anak Sebagai Pelaku Kejahatan Dalam Perspektif

0 1 17

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Hukum Mengenai Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan Yang Dilakukan Oleh Anak Sebagai Pelaku Kejahatan Dalam Perspektif Kriminologi (Studi Kasus Putusan No.21/Pid.Sus-Anak/2014/PN.MDN)

0 0 29