BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teoritis - Analisis Flypaper Effect Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD), Belanja Daerah Terhadap Efisiensi Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teoritis

2.1.1. Otonomi Daerah

  Otonomi berasal dari kata Yunani, autos dan nomos. Kata pertama berarti sendiri dan kata kedua berarti pemerintah. Otonomi bermakna memerintah sendiri, dalam wacana administrasi publik daerah sering disebut sebagai local self jadi otonomi daerah menurut UU No.32 Tahun 2004, diartikan

  government,

  sebagai hak wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

  Daerah otonom adalah masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

  Tujuan pemberian otonomi daerah adalah untuk memungkinkan daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan bagi pelayanan masyarakat dan pelaksanaan pembangunan (Rusydi, 2010). Sebagai upaya untuk mencapai tujuan itu, maka kepada daerah diberikan wewenang untuk melaksanakan urusan pemerintahan.

  Menurut Tim Fisipol Universitas Gadjah Mada (2010), terdapat 4 (empat) unsur otonomi daerah, yaitu :

  1. Memiliki perangkat pemerintah sendiri yang ditandai dengan adanya Kepala Daerah, DPRD, dan Pegawai Daerah;

  2. Memiliki urusan rumah tangga sendiri yang ditandai dengan adanya dinas-dinas Daerah atau Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD);

  3. Memiliki sumber keuangan sendiri yang ditandai dengan adanya pajak daerah, retribusi daerah, perusahaan daerah dan pendapatan dinas-dinas daerah;

  4. Memiliki wewenang untuk melaksanakan inisiatif sendiri (diluar dari instruksi dari pemerintahan pusat atau atasan) sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi.

  Apabila suatu daerah tidak memiliki sumber-sumber pembiayaan yang memadai maka hal ini akan mengakibatkan daerah bergantung terus terhadap pembiayaan pemerintah pusat. Ketergantungan terhadap pembiayaan pemerintah pusat merupakan kondisi yang tidak sesuai dengan asas otonomi daerah. Oleh karena itu perlu suatu upaya oleh pemerintah daerah dalam memutus ketergantungan tersebut dalam rangka meningkatkan kemampuan daerah.

  Menurut Rusydi (2010) terdapat beberapa kriteria yang dapat dijadikan ukuran agar suatu daerah dikatakan mampu untuk mengurus rumah tangganya sendiri:

  1. Kemampuan struktur organisasinya Struktur organisasi pemerintah daerah yang mampu menampung seluruh aktivitas dan tugas yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.

  2. Kemampuan aparatur Pemerintah Daerah Aparatur pemerintah daerah mampu menjalankan tugas dan kewajibannya dalam mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya.

  Oleh karena itu, dalam mencapai tujuan yang diinginkan daerah dibutuhkan keahlian, moral, disiplin dan kejujuran dari aparatur daerah.

  3. Kemampuan mendorong partisipasi masyarakat Pemerintah daerah harus mampu mendorong masyarakat agar bersedia terlibat dalam kegiatan pembangunan nasional. Karena peran serta masyarakat sangat penting dalam menunjang kesuksesan pembangunan daerah.

  4. Kemampuan keuangan daerah Suatu daerah dikatakan mampu mengurus rumah tangganya sendiri apabila pemerintah daerah tersebut mampu membiayai semua kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.

  Sesuai dengan urgensi penelitian ini, maka suatu daerah dituntut kemampuannya dalam menggali dan mengoptimalkan sumber-sumber penerimaan daerah sehingga tidak bergantung pada pemerintah pusat.

2.1.2. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)

  APBD adalah suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) (Siagian, 2009).

  Menurut Halim (2007:20), Anggaran Daerah memiliki unsur sebagai berikut:  Rencana kegiatan suatu daerah, beserta uraiannya secara rinci.  Adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal untuk menutupi biaya-biaya sehubungan dengan aktivitas-aktivitas tersebut, dan adanya biaya-biaya yang merupakan batas maksimal pengeluaran pengeluaran yang akan dilaksanakan.

   Jenis kegiatan dan proyek yang dituangkan dalam bentuk angka.  Periode anggaran, yaitu biasanya 1 (satu) tahun APBD sekarang ini didasari pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, dimana APBD terdiri atas tiga bagian, yaitu pendapatan, belanja, dan pembiayaan. Dalam APBD baru ini pendapatan juga dibagi tiga kategori yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan, dan pendapatan lain-lain daerah yang sah. Selanjutnya, belanja dibagi kedalam empat bagian, yaitu belanja aparatur daerah, belanja pelayanan publik, belanja bagi hasil dan bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga. Pembiayaan dikelompokkan menurut sumber-sumber pembiayaan, yaitu sumber penerimaan dan pengeluaran daerah.

  Penyusunan APBD hendaknya mengacu pada norma dan prinsip anggaran sebagai berikut: a. Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran Transparansi tentang anggaran daerah merupakan salah satu persyaratan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih dan bertanggung jawab. APBD harus dapat memberikan informasi yang jelas tentang tujuan, sasaran, hasil, dan manfaat yang diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan atau proyek yang dianggarkan. Selain itu, setiap dana yang diperoleh, dan penggunaannya harus dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini disebabkan karena anggaran daerah merupakan salah satu sarana evaluasi pencapaian kinerja dan tanggung jawab pemerintah menyejahterakan masyarakat.

  b. Disiplin Anggaran APBD disusun dengan berorientasi pada kebutuhan masyarakat tanpa harus meninggalkan keseimbangan antara pembiayaan penyelenggaraan pemerintah, pembangunan dan pelayanan masyarakat. Oleh karena itu anggaran yang disusun harus dilakukan dengan berlandaskan azas efisiensi, tepat guna, tepat waktu dan dapat dipertanggungjawabkan. Pemilahan antara belanja yang bersifat rutin dengan belanja yang bersifat pembangunan/modal harus diklasifikasikan secara jelas agar tidak terjadi pencampuradukan kedua sifat anggaran yang dapat menimbulkan pemborosan dan kebocoran dana.

  c. Keadilan Anggaran Pembiayaan pemerintah daerah dilakukan melalui mekanisme pajak dan retribusi yang dipikul oleh segenap lapisan masyarakat. Untuk itu, pemerintah wajib mengalokasikan penggunaannya secara adil agar dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi dalam pemberian pelayanan.

  d. Efisiensi dan Efektivitas Anggaran Dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal, guna kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, untuk dapat mengendalikan tingkat efisiensi dan efektivitas anggaran, maka dalam perencanaan perlu ditetapkan secara jelas tujuan, sasaran, hasil dan manfaat yang akan diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan atau proyek yang diprogramkan.

  e. Format Anggaran Pada dasarnya APBD disusun berdasarkan format anggaran defisit

  

(defisit budget format) . Selisih antara pendapatan dan belanja

  mengakibatkan terjadinya surplus atau defisit anggaran. Apabila terjadi surplus, daerah dapat membentuk dana cadangan, sedangkan bila defisit, dapat ditutupi melalui sumber pembiayaan pinjaman dan atau penerbitan obligasi daerah sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku.

  f. Struktur Anggaran (APBD) Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari:

  a. Pendapatan Daerah

  b. Belanja Daerah

  c. Pembiayaan

2.1.3. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

  Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 adalah pendapatan daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

  Pendapatan asli daerah adalah penerimaan daerah dari berbagai usaha pemerintah daerah untuk mengumpulkan dana guna keperluan daerah yang bersangkutan dalam membiayai kegiatan rutin maupun pembangunannya, yang terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba usaha milik daerah, dan lain-lain penerimaan asli daerah yang sah. Pendapatan asli daerah diartikan sebagai pendapatan daerah yang tergantung keadaan perekonomian pada umumnya dan potensi dari sumber-sumber pendapatan asli daerah itu sendiri.

  Menurut pasal 6 Undang-undang No. 32 tahun 2004 pendapatan asli daerah berasal dari :

  1. Hasil pajak daerah

  2. Hasil retribusi daerah

  3. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan

  4. Penerimaan dari dinas dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.

  Berdasarkan pada Undang-undang No.33 Tahun 2004 Pasal 6 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah dapat dijelaskan :

1. Pajak Daerah

  Pajak merupakan iuran yang dapat dipaksakan kepada wajib pajak oleh pemerintah dengan balas jasa yang tidak langsung dapat ditunjuk. Pajak Daerah merupakan pendapatan daerah yang berasal dari pajak.Menurut Undang-undang No. 28 tahun 2009 pajak daerah yang selanjutnya disebut pajak yaitu iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepala daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.

  Dari batasan atau definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur pajak adalah:

  1. Iuran masyarakat kepada negara

  2. Berdasarkan undang-undang

  3. Tanpa balas jasa secara langsung

  4. Untuk membiayai pengeluaran pemerintah Adapun jenis pendapatan pajak untuk provinsi dan pajak kabupaten/kota dapat dilihat dalam lampiran 1.

2. Retribusi Daerah

  Peraturan pemerintah No. 66 tahun 2002 tentang retribusi daerah pasal satu menyebutkan bahwa retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.

  Menurut Undang-undang No. 28 tahun 2009 retribusi daerah yang selanjutnya disebut retribusi yaitu pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan pribadi atau badan. Adapun retribusi untuk provinsi dan kabupaten/kota dapat dilihat dalam lampiran 1.

3. Bagian Laba Perusahaan Daerah

  Sumber pendapatan asli daerah yang ketiga yaitu adalah laba dari perusahaan daerah. Karena berbentuk perusahaan maka prinsip pengelolaannya berdasarkan atas asas-asas ekonomi perusahaan. Dengan demikian perusahaan harus mencari keuntungan dan selanjutnya sebagian dari keuntungan tersebut diserahkan ke kas daerah. Perusahaan daerah merupakan salah satu komponen yang diharapkan dalam memberikan kontribusinya bagi pendapatan daerah, tapi sifat utama dari perusahaan daerah bukanlah berorientasi pada keuntungan, akan tetapi justru dalam memberikan jasa dan menyelenggarakan kemanfaatan umum, atau dengan perkataan lain perusahaan daerah menjalankan fungsi ganda yang harus terjamin keseimbangannya yaitu fungsi ekonomi.

  Fungsi pokok dari perusahaan daerah adalah:

  1. Sebagai dinamisator perekonomian daerah, yang berarti perusahaan daerah harus mampu memberikan rangsangan bagi berkembangnya perekonomian daerah.

  2. Sebagai penghasil pendapatan daerah yang berarti harus mampu memberikan manfaat ekonomis sehingga terjadi keuntungan yang dapat diserahkan ke kas daerah.

4. Pendapatan Lain-lain yang disahkan

  Penerimaan lain-lain, di lain pihak adalah penerimaan pemerintah daerah diluar penerimaan-penerimaan dinas, pajak, retribusi dan bagian laba perusahaan daerah. Penerimaan ini antara lain berasal dari sewa rumah dinas milik daerah, hasil penjualan barang-barang (bekas) milik daerah, penerimaan sewa kios milik daerah dan penerimaan uang langganan majalah daerah. Fungsi utama dari dinas-dinas daerah adalah memberikan pelayanan umum kepada masyarakat tanpa terlalu memperhitungkan untung dan ruginya, tetapi dalam batas-batas tertentu dapat didayagunakan untuk bertindak sebagai organisasi ekonomi yang memberikan pelayanan dengan imbalan jasa. Penerimaan lain-lain membuka kemungkinan bagi pemerintah daerah untuk melakukan berbagai kegiatan yang menghasilkan baik yang berupa materi dalam hal kegiatan bersifat bisnis, maupun non materi dalam hal kegiatan tersebut untuk menyediakan, melapangkan atau memantapkan suatu kebijakan pemerintah daerah dalam suatu bidang tertentu.

  Dari beberapa komponen PAD tersebut, maka yang perlu mendapatkan perhatian adalah pajak dan retribusi daerah, karena kedua jenis PAD ini baik secara langsung maupun tidak langsung akan membebani rakyat (Julitawati, dkk, 2012).

2.1.4. Belanja Daerah

  Menurut PP No 24 Tahun 2005 tentang SAP, Belanja adalah semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Negara/Daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar dalam periode tahun anggaran bersangkutan yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh pemerintah. Sementara menurut Permendagri No 13 Tahun 2006, Belanja Daerah didefinisikan sebagai kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih, pengertian ini juga digunakan dalam UU No. 32 tahun 2004. Dalam Struktur APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) yang termasuk sebagai belanja daerah antara lain: a. Belanja aparatur daerah

  Bagian belanja yang berupa : Belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, serta belanja modal/pembangunan yang dialokasikan atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat, dan dampaknya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat (publik).

  b. Belanja pelayanan sosial Bagian belanja yang berupa : Belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, serta belanja modal/pembangunan yang dialokasikan atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat, dan dampaknya secara langsung dinikmati oleh masyarakat (publik).

  c. Belanja bagi hasil dan bantuan keuangan Pengeluaran uang dengan kriteria: o

  Tidak menerima secara langsung imbalan barang dan jasa seperti layak terjadi dalam transaksi pembelian dan penjualan. o Tidak mengharap dibayar kembali pada masa yang akan datang, seperti yang diharapkan pada suatu pinjaman. o

  Tidak mengharapkan adanya hasil pendapatan seperti layak yang diharapkan pada kegiatan investasi.

  d. Belanja tidak terduga Pengeluaran yang disediakan untuk : o

  Kejadian-kejadian luar biasa seperti bencana alam, kejadian yang dapat membahayakan daerah. o

  Utang (pinjaman) periode sebelumnya yang belum diselesaikan dan atau yang tersedia anggarannya pada tahun yang bersangkutan. o

  Pengembalian penerimaan yang bukan haknya atau penerimaan yang dibebaskan (dibatalkan) dan atau kelebihan penerimaan. Belanja daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi ataukabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib dan pilihan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang- undangan.

  Belanja daerah berdasarkan pada Permendagri No.13 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Keuangan daerah dikelompokkan ke dalam belanja langsung dan belanja tidak langsung. Kelompok belanja tidak langsung, merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan, yaitu belanja pegawai, belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga. Kelompok belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan yaitu belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja modal.

  2.1.5. Pendapatan Transfer

  Pendapatan transfer merupakan pandapatan daerah yang diperoleh dari otoritas pemerintah diatasnya. Berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, kelompok pendapatan berupa pendapatan transfer ini digolongkan menjadi dua jenis pendapatan (untuk provinsi) dan menjadi tiga jenis pendapatan (untuk kabupaten/kota), yaitu:

  1. Transfer pemerintah pusat- dana perimbangan, meliputi:

  a. Dana bagi hasil pajak

  b. Dana bagi hasil bukan pajak

  c. Dana alokasi umum

  d. Dana alokasi khusus

  2. Transfer pemerintah pusat-lainnya, meliputi:

  a. Dana otonomi khusus

  b. Dana penyesuaian

  3. Transfer pemerintah provinsi, meliputi:

  a. Pendapatan bagi hasil pajak

  b. Pendapatan bagi hasil lainnya

  2.1.6. Dana Alokasi Umum

  Tujuan otonomi daerah adalah untuk lebih meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat, pengembangan kehidupan berdemokrasi, keadilan, pemerataan, dan pemeliharaan hubungan serasi antara Pusat dan Daerah serta antardaerah. Namun di sisi lain, konsekuensi dari diterapkannya Otonomi Daerah adalah perubahan sistem admisnistratif yang berlaku. Daerah dituntut lebih otonom baik dalam menjalankan pemerintahannya maupun mendanai keuangan daerahnya (Rusydi, 2010). Sedangkan kemampuan tiap daerah tidaklah sama. Untuk menunjang pelaksanaan Otonomi Daerah tersebut, maka pemerintah pusat memberikan kebijakan transfer kepada daerah dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU).

  Menurut UU No. 33 Tahun 2004 Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk mendana ikebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

  Adapun cara menghitung DAU menurut ketentuan adalah sebagai berikut (Halim, 2007):

  a. Dana Alokasi Umum (DAU) ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN.

  b. Dana Alokasi Umum (DAU) untuk daerah propinsi dan untuk Kabupaten/Kota ditetapkan masing-masing 10% dan 90% dari Dana Alokasi Umum sebagaimana ditetapkan diatas.

  c. Dana Alokasi Umum (DAU) untuk suatu Kabupaten/Kota tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah Dana Alokasi Umum untuk Kabupaten/Kota yang ditetapkan APBN dengan porsi Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

  d. Porsi Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud di atas merupakan proporsi bobot Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Menurut UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

  Pemerintah Pusat dan Daerah bahwa kebutuhan DAU oleh suatu daerah (Provinsi, Kabupaten, dan Kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan fiscal gap, dimana kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan atas kebutuhan daerah dengan potensi daerah. Dana Alokasi Umum digunakan untuk menutup celah yang terjadi karena kebutuhan daerah melebihi dari potensi penerimaan daerah yang ada.

  Prinsip dasar alokasi DAU (Tampubolon, 2011) terdiri dari :  Kecukupan (adequacy)  Netralitas dan efisiensi (neutrality and efficiency)  Akuntabilitas (accountability)  Relevansi dengan tujuan (relevance)  Keadilan (equity)  Objektivitas dan transparansi (objectivity and transparency)  Kesederhanaan (simplicity)

2.1.7. Flypaper Effect

  Maimunah (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa flypaper Effect disebut sebagai suatu kondisi yang terjadi saat pemerintah daerah merespon (belanja) lebih banyak (lebih boros) dengan menggunakan dana transfer (grants) yang diproksikan dengan DAU dari pada menggunakan kemampuan sendiri, diproksikan dengan PAD. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pemerintah daerah menunggu alokasi DAU yang diperolehnya sebelum menentukan berapa besar belanja yang akan dihabiskannya, sehingga belanja periode mendatang cenderung lebih besar jumlahnya.

  Fenomena flypaper effect membawa implikasi lebih luas bahwa transfer akan meningkatkan belanja pemerintah daerah yang lebih besar daripada penerimaan transfer itu sendiri (Turnbull dalam Hastuti, 2011). Fenomena

  

flypaper effect ini dapat terjadi dalam dua versi (Gorodnichenko dalam Kuncoro

  2007). Pertama, merujuk pada peningkatan pajak daerah dan anggaran belanja pemerintah yang berlebihan. Kedua, mengarah pada elastisitas pengeluaran terhadap transfer yang lebih tinggi daripada elastisitas pengeluaran terhadap penerimaan pajak daerah.

  Anomali tersebut memicu diskusi yang intensif di antara ahli ekonomi. Perdebatan tersebut menghasilkan beberapa penjelasan yang ditawarkan. Dalam bidang ekonomi, penelitian tentang flypaper effect dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) aliran pemikiran, yaitu model birokratik (bureaucratic model) dan ilusi fiskal (fiscal illusion model). Model birokratik meneliti flypaper effect dari sudut pandang birokrat, sedangkan model ilusi fiskal mendasarkan kajiannya dari sudut pandang masyarakat yang mengalami keterbatasan informasi terhadap anggaran pemerintah daerahnya.

  Secara implisit, model birokratik menegaskan flypaper effect sebagai akibat dari perilaku birokrat yang lebih leluasa membelanjakan transfer daripada menaikkan pajak. McGuire (1973) mengistilahkan hal ini sebagai ketamakan politisi (a greedy politicians model. Dengan demikian, flypaper effect terjadi karena superioritas pengetahuan birokrat mengenai transfer. Informasi lebih yang dimiliki birokrat memungkinkannya memberikan pengeluaran yang berlebih.

  Flypaper effect merupakan fenomena dalam penelitian ini. Maimunah

  (2006) meneliti bahwa flypaper effect berpengaruh dalam memprediksi belanja daerah periode kedepan dan juga tidak terdapat perbedaan terjadinya flypaper

  

effect baik pada daerah yang PAD-nya rendah maupun daerah yang PAD-nya

tinggi di kabupaten/kota di Pulau Sumatra.

  Penelitian ini juga dilakukan oleh Gramlich (1977) menyatakan dalam kasus keuangan daerah ada respon yang tidak simetri terhadap perubahan besaran transfer. Ia menjelaskan bahwa transfer diberikan untuk jangka waktu tertentu. Selama periode tersebut, pihak-pihak tertentu yang memperoleh keuntungan dari penerimaan transfer mulai meningkat. Setelah transfer dikurangi, mereka melakukan lobi untuk mempertahankan keuntungannya melalui kenaikan pajak. Selanjutnya Deller dan Maher (2005) meneliti kategori pengeluaran daerah dengan fokus pada terjadinya flypaper effect, Mereka menemukan pengaruh

  (transfer tak bersyarat) pada pengeluaran adalah lebih kuat

  unconditional grants

  pada kebutuhan non esensial atau kebutuhan luxury seperti taman dan rekreasi, kebudayaan dan pelayanan pendidikan daripada kebutuhan esensial atau normal seperti keamanan dan proteksi terhadap kebakaran.

2.1.8. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah

  Menurut Inpres No. 7 tahun 1999 tentang akuntabilitas kinerja instansi pemerintah, menjelaskan pengertian kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/ kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, visi, organisasi. Halim (2007:12) mengatakan Keuangan daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki/dikuasai oleh Negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai dengan ketentuan atau peraturan perundangan yang berlaku. Dapat disimpulkan kinerja keuangan merupakan pencapaian semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang dapat dijadikan kekayaan daerah dalam periode tertentu.

2.1.8.1. Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah

  Pengertian analisis keuangan menurut Halim (2007:230) adalah usaha mengindentifikasi ciri-ciri keuangan berdasarkan laporan yang tersedia. Penggunaan analisis rasio pada sektor publik khususnya terhadap APBD belum banyak dilakukan. Meskipun demikian, dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang transparan, jujur, demokratis, efektif, efisien dan akuntabel, rasio terhadap APBD perlu dilaksanakan meskipun kaidah pengakuntansian dalam APBD berbeda dengan laporan keuangan yang dimiliki perusahaan swasta.

  Analisis rasio keuangan pada APBD dilakukan dengan membandingkan hasil yang dicapai dari suatu periode dibandingkan dengan periode sebelumnya sehingga dapat diketahui kecenderungan yang terjadi. Menurut Halim (2007 : 232) beberapa rasio yang dapat digunakan untuk mengukur akuntabilitas pemerintah daerah diuraikan berikut ini: 1.

   Rasio Kemandirian Keuangan Daerah, Rasio kemandirian

  menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern. Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern (terutama pemerintah pusat dan provinsi) semakin rendah dan demikian pula sebaliknya. Rasio kemandirian juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah akan menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi.

  2. Rasio Efektifitas Pendapatan Asli Daerah, Rasio efektivitas

  menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan Pendapatan Asli Daerah yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Kemampuan daerah dikatakan efektif apabila rasio yang dicapai minimal 1 (satu) atau 100 persen. Namun semakin tinggi rasio efektifitas, menggambarkan kemampuan daerah yang semakin tinggi 3.

   Rasio Efisiensi Keuangan Daerah, Rasio efisiensi adalah rasio

  yang menggambarkan perbandingan antara total realisasi pengeluaran (belanja daerah) dengan realisasi pendapatan yang diterima (Halim, 2007:234). Semakin kecil rasio efisiensi berarti kinerja pemerintah daerah semakin baik.

  4. Rasio Keserasian, Rasio keserasian menggambarkan bagaimana

  pemerintah daerah memprioritaskan alokasi dananya pada belanja aparatur daerah dan belanja pelayanan publik secara optimal (Halim, 2007:235). Semakin tinggi persentase dana yang dialokasikan untuk belanja aparatur daerah berarti persentase belanja investasi (belanja pelayanan publik) yang digunakan untuk menyediakan sarana prasarana ekonomi masyarakat cenderung semakin kecil.

5. Rasio Pertumbuhan (Analisis Shift), Rasio pertumbuhan

  digunakan untuk mengukur seberapa besar kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilannya yang telah dicapai dari periode ke periode berikutnya.

2.1.8.2. Pengukuran Efisiensi Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah

  Efisiensi merupakan hal penting dalam pengukuran kinerja pemerintah. Efisiensi diukur dengan rasio antara output dengan input, semakin besar output dibanding input, maka semakin tinggi tingkat efisiensi suatu kinerja (Ulum, 2004: 200) , dalam pemerintahan daerah, output dapat digantikan dengan istilah total realisasi belanja daerah dan input dapat digantikan dengan istilah total realisasi pendapatan daerah.

  Semakin kecil rasio efisiensi berarti kinerja pemerintah daerah semakin baik.

  Rumusan untuk menghitung tingkat efisiensi penerimaan pendapatan asli daerah adalah sebagai berikut : Total Realisasi Belanja Daerah

  Rasio Efisiensi = x 100% Total Realisasi Pendapatan Daerah

Tabel 2.1 Kriteria Efisiensi Kinerja Keuangan Persentase Efisiensi Kriteria

  100 keatas Tidak Efisien 90-100 Kurang Efisien 80-90 Cukup Efisien 60-80 Efisien Dibawah 60 Sangat Efisien

  Sumber: Berbagai Jurnal, dan Olah Data Penulis, 2015

2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu

  Beberapa penelitian terdahulu telah mengkaji tentang hubungan antara Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah dengan Belanja Daerah serta kemungkinan terjadinya flypaper effect, antara lain yang dilakukan oleh Hastuti (2011) tentang analisis flypaper effect Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan Kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) pada Kota/Kabupaten Semarang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa flypaper

  

effect terjadi dalam laporan keuangan Kota Semarang, dan terdapat hubungan

  antara efisiensi kinerja pemerintah terhadap DAU, sementara PAD mempunyai hubungan yang tidak signifikan dengan kinerja pemerintah.

  Kuncoro (2007) melakukan penelitian tentang fenomena flypaper effect pada kinerja keuangan pemerintah daerah Kota dan Kabupaten di Indonesia.

  Penelitian ini menunjukkan bahwa alokasi transfer diikuti dengan pertumbuhan belanja yang lebih tinggi. Gejala ini menunjukkan bahwa pemerintahan daerah bertindak sangat reaktif terhadap transfer yang diterima dari pusat.

  Maimunah (2006) melakukan penelitian fenomena flypaper effect DAU dan PAD terhadap belanja daerah pada Kabupaten/Kota di Pulau Sumatera. Hasil penelitian ini menunjukkan DAU dan PAD mempengaruhi besarnya nilai Belanja Daerah, flypaper effect juga terjadi pada daerah Sumatera.

  Afrizawati (2012), melakukan penelitian tentang analisis flypaper effect pada belanja daerah pada Kabupaten/Kota Sumatera Selatan. Hasil pengujian menunjukkan pengaruh yang positif (diterima), diduga bahwa pengaruh DAU terhadap belanja daerah lebih kecil daripada pengaruh PAD terhadap belanja daerah yang mana tujuannya adalah untuk mengetahui terjadi atau tidaknya

  

flypaper effect , hal ini membuktikan bahwa terjadi flypaper effect pada belanja

  daerah di Kabupaten/kota di Sumatera Selatan, penelitian juga menghasilkan DAU dan PAD sama-sama berpengaruh terhadap belanja daerah.

  Siagian (2009), melakukan penelitian tentang flypaper effect pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap belanja daerah pada Pemerintahan Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Utara. Hasil pengujian menunjukkan pengujian secara simultan dan parsial menunjukkan bahwa DAU dan PAD secara bersama-sama bepengaruh signifikan terhadap belanja daerah juga telah terjadi flypaper effect pada belanja daerah Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Utara.

  Batubara (2009), melakukan penelitian tentang Pengaruh PAD terhadap Kinerja Keuangan pada Pemerintah Kabupaten dan Kota di Propinsi Sumatera Utara.Hasil pengujian menunjukkan secara parsial bahwa pajak daerah, retribusi daerah, dan lain-lain pendapatan asli daerah berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan, sedangkan hasil perusahaan dan kekayaan daerah yang dipisahkan, tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan. Secara simultan Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan pemerintah Kabupaten dan Kota di Propinsi Sumatera Utara.

Tabel 2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu JUDUL PENELITIAN

VARIABEL PENELITIAN HASIL PENELITIAN

  Variabel Independen (X): X1: PAD X2: DAU Variabel Dependen (Y): Y: Belanja Daerah

  2.Belanja daerah berpengaruh terhadap penerimaan transfer

  kesehatan dan belanja

  effect , namun pada belanja

  3.Pada belanja pendidikan tidak ditemukan fenomena flypaper

  1.DAU dan PAD berpengaruh signifikan terhadap Belanja daerah 2.Telah terjadi flypaper effect.

  Variabel Independen (X): X1: DAU X2: PAD Variabel Dependen (Y): Y: Belanja Daerah

  4.Flypaper Effect pada Dana ALokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Belanja Daerah pada Kabupaten /Kota di Pulau Sumatera, Maimunah (2006)

  5.Peningkatan alokasi transfer diikuti dengan tingkat belanja yang lebih tinggi

  effect

  4.Kenaikan transfer menunjukkan bahwa terjadi fenomena flypaper

  3.Kenaikan tarif pajak berpengaruh terhadap penerimaan PAD

  1.Kepadatan penduduk berpegaruh signifikan terhadap penerimaan transfer.

  1.Telah terjadi flypaper effect pada Belanja Daerah di Kabupaten/kota di Sumatera Selatan.

  1.Analisis Flypaper Effect pada Belanja Daerah Kabupaten/ Kota di Sumatera Selatan , Afrizawati (2012)

  Variabel Independen (X): X1: PAD X2: DAU X3: Penerimaan

  3. Fenomena Flypaper Effect pada Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kota dan Kabupaten di Indonesia, Kuncoro (2007)

  4.PAD mempunyai hubungan yang tidak signifikan dalam efisiensi kinerja SKPD.

  3.DAU dengan efisiensi kinerja mempunyai hubungan,

  2.DAU mempunyai hubungan dalam efisiensi kinerja Kota dan Kabupaten Semarang

  flypaper effect

  1.Laporan keuangan Kota Semarang terjadi fenomena

  Variabel Independen (X): X1: DAU X2: PAD Variabel Dependen (Y): Y: Kinerja SKPD

  2. Analisis Flypaper Effect Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD),dan Kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) (SKPD) (Studi pada Kota dan Kabupaten Semarang) , Hastuti (2011)

  2.DAU dan PAD sama-sama berpengaruh terhadap belanja daerah,

  Pembiayaan X4: Belanja X5: Tarif Pajak X6: Jumlah Penduduk Variabel Dependen (Y): Y: Kinerja Keuangan infrastruktur terjadi flypaper effect.

  4.Flypaper effect pada daerah dengan PAD tinggi dan PAD rendah tidak berbeda

5.Flypaper Effect Pada

  Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) Terhadap Belanja Daerah Pada Pemerintahan Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Utara ,Siagian (2009)

  Variabel Independen (X) X1: PAD X2: DAU Variabel Dependen (Y) : Y: Belanja Daerah

  1.Pengujian Secara Simultan dan parsial menunjukkan bahwa DAU dan PAD secara bersama-sama bepengaruh signifikan terhadap belanja daerah

  2.Telah terjadi flypaper effect pada belanja daerah Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Utara.

  6.Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Kinerja Keuangan pada Pemerintah Kabupaten dan Kota di Propinsi Sumatera Utara , Batubara (2009)

  Variabel Independen (X): X1: PAD (Pajak Daerah, Retribusi, Hasil Perusahaan Daerah, lain- lain PAD yang sah) Variabel Dependen (Y): Kinerja Keuangan

  1. Secara parsial bahwa pajak daerah, retribusi daerah, dan lain-lain pendapatan asli daerah berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan. Sedangkan hasil perusahaan dan kekayaan daerah yang dipisahkan, tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan.

  2. Secara simultan Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan pemerintah Kabupaten dan Kota di Propinsi Sumatera Utara. Sumber : Berbagai jurnal, Olah data penulis, 2015 2.3.

   Kerangka Konseptual dan Hipotesis

2.3.1 Kerangka Konseptual

  Variabel indepeden pada penelitian ini adalah DAU, PAD, dan Belanja Daerah serta variabel dependennya adalah Efisiensi Kinerja keuangan Pemerintah Daerah . Undang-Undang No.32 Tahun 2004 meyatakan bahwa Pemerintah Pusat akan mentransfer Dana Perimbangan yang salah satunya adalah Dana Alokasi Umum, disamping dana perimbangan tersebut pemerintah daerah juga memiliki sumber pendanaan sendiri yaitu Pendapatan Asli Daerah.PAD dan DAU ini akan digunakan pemerintah sebagai sumber Belanja Daerah. Efisiensi Kinerja Keuangan dapat dilihat dengan analisis rasio keuangan pemerintah daerah, khususnya rasio efisiensi yang berkaitan tentang pemanfaatan pendapatan dalam belanja. Kesimpulan sementara adalah bahwa DAU, PAD, dan Belanja Daerah berpengaruh terhadap Efisiensi Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah, Sementara untuk melihat terjadi atau tidaknya fenomena flypaper effect adalah dengan melihat pengaruh DAU dan PAD terhadap Belanja Daerah.

  H1 Dana Alokasi Umum (X1)

  Efisiensi Kinerja Pendapatan Asli Daerah (X2)

  H2 Keuangan (Y)

  H3 Belanja Daerah (X3)

  H4

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

2.3.2. Hipotesis 2.3.2.1. Hubungan DAU dalam Kinerja Keuangan

  Dalam literatur ekonomi dan keuangan daerah, hubungan pendapatan dan belanja daerah didiskusikan secara luas sejak akhir dekade 1950-an dan berbagai hipotesis tentang hubungan diuji secara empiris (Prakosa, 2004). Tetapi, dalam sebagian studi yang telah dilakukan menyatakan bahwa pendapatan mempengaruhi belanja. Sementara sebagian lainnya menyatakan bahwa belanja tidak mempengaruhi pendapatan. Gamkhar dan Oates (1996) menyatakan bahwa pengurangan jumlah transfer (cut in the federal grants) menyebabkan penurunan dalam pengeluaran daerah. DAU ini sekaligus dapat menujukan tingkat kemandirian suatu daerah. Semakin banyak DAU yang diterima maka berarti daerah tersebut masih sangat tergantung terhadap Pemerintah pusat dalam memenuhi belanjanya, ini menandakan bahwa daerah tersebut belum mandiri, dan begitu juga sebaliknya. Secara teoritis respon tersebut akan mempunyai efek distributif alokatif yang tidak berbeda dengan sumber pendanaan lain, misalnya pendapatan pajak daerah (Prakosa, 2004). Namun dalam studi empiris hal tersebut tidak selalu terjadi. Artinya stimulus terhadap pengeluaran daerah yang ditimbulkan oleh transfer atau grants tersebut sering lebih besar dibandingkan dengan stimulus dari pendapatan (pajak) daerah sendiri (flypaper effect). Prakosa (2004) menyatakan bahwa terdapat keterkaitan sangat erat antara transfer dari pemerintah pusat dengan belanja pemerintah daerah.

  H1 : Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh terhadap efisiensi kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota Sumatera Utara

2.3.2.2. Hubungan PAD dalam Kinerja Keuangan

  PAD dalam beberapa penelitian yang telah dilakukan menyatakan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan sumber pendapatan penting bagi sebuah daerah dalam memenuhi belanjanya dan PAD ini sekaligus dapat menujukan tingkat kemandirian suatu daerah. Semakin banyak PAD yang didapat semakin memungkinkan daerah tersebut untuk memenuhi kebutuhan belanjanya sendiri tanpa harus tergantung pada pemerintah pusat, yang berarti ini menunjukan bahwa pemerintah daerah tersebut telah mampu untuk mandiri, dan begitu juga sebaliknya. Dalam hal ini pengeluaran pemerintah daerah akan disesuaikan dengan perubahan dalam penerimaan pemerintah daerah atau perubahan pendapatan terjadi sebelum perubahan pengeluaran. Oleh sebab itu pertumbuhan investasi di pemerintah kabupaten dan kota di Sumatera Utara perlu diprioritaskan karena diharapkan memberikan dampak positif terhadap peningkatan perekonomian regional H2 : Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh terhadap efisiensi kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota Sumatera Utara

2.3.2.3 Hubungan Belanja Daerah dalam Kinerja Keuangan

  Hubungan belanja daerah dan kinerja SKPD ini sebenranya dapat langsung dilihat dari rasio, terkhusus rasio efisiensi, rasio ini menggambarkan perbandingan antara biaya atau belanja yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan, sehingga kinerja SKPD dikatakan efisien apabila rasio yang diperoleh kurang dari 100%, semakin kecil rasio,semakin efisienlah kineja SKPD. Halim (2007) menuliskan sekalipun SKPD berhasil merealisasikan pendapatannya dengan target yang ditetapkan, keberhasilan tersebut kurang memiliki arti apabila ternyata belanja yang dikeluarkan lebih besar daripada realisasi pendapatan yang diterima.

  H3 : Belanja Daerah berpengaruh terhadap efisiensi kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota Sumatera Utara

  H4 : Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD), Belanja Daerah berpengaruh terhadap efisiensi kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota Sumatera Utara

  Untuk menentukan flypaper effect, tidak digunakan hipotesis, karena flypaper effect adalah sebuah fenomena yang terjadi saat pemerintah daerah merespon (belanja) lebih boros dengan DAU daripada PAD.

Dokumen yang terkait

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kanker Serviks - Pengaruh Persepsi Dan Motivasi Wanita Usia Subur Terhadap Keikutsertaan Skrining Kanker Serviks Metode Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) Di Wilayah Kerja Puskesmas Sidangkal Kecamatan Padangsidimpuan Sela

1 1 31

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Persepsi Dan Motivasi Wanita Usia Subur Terhadap Keikutsertaan Skrining Kanker Serviks Metode Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) Di Wilayah Kerja Puskesmas Sidangkal Kecamatan Padangsidimpuan Selatan T

0 0 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perataan Laba - Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perataan Laba Pada Perusahaan Keuangan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 1 30

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perataan Laba Pada Perusahaan Keuangan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 1 8

Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perataan Laba Pada Perusahaan Keuangan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 0 12

Faktor yang Memengaruhi Penyembuhan Luka Perineum Pada Ibu Pasca Persalinan Normal di Wilayah Kerja Puskesmas Jeumpa, Gandapura, dan Kuta Blang Kabupaten Bireuen

0 1 40

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyembuhan Luka Perineum 2.1.1 Perineum - Faktor yang Memengaruhi Penyembuhan Luka Perineum Pada Ibu Pasca Persalinan Normal di Wilayah Kerja Puskesmas Jeumpa, Gandapura, dan Kuta Blang Kabupaten Bireuen

0 0 28

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Faktor yang Memengaruhi Penyembuhan Luka Perineum Pada Ibu Pasca Persalinan Normal di Wilayah Kerja Puskesmas Jeumpa, Gandapura, dan Kuta Blang Kabupaten Bireuen

0 0 9

Faktor yang Memengaruhi Penyembuhan Luka Perineum Pada Ibu Pasca Persalinan Normal di Wilayah Kerja Puskesmas Jeumpa, Gandapura, dan Kuta Blang Kabupaten Bireuen

0 0 18

Analisis Flypaper Effect Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD), Belanja Daerah Terhadap Efisiensi Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara

0 0 15