BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PENGESAHAN DAN PELAKSANAAN PERJANJIAN INTERNASIONAL A. Perkembangan Hukum Internasional terhadap Pengaturan Perjanjian Internasional - Pemberlakuan Perjanjian Internasional Di Indonesia Dikaitkan Dengan Judici

  BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PENGESAHAN DAN PELAKSANAAN PERJANJIAN INTERNASIONAL A.

Perkembangan Hukum Internasional terhadap Pengaturan Perjanjian

Internasional Sejak awal abad ke-20, peranan perjanjian internasional dalam mengatur

  hubungan internasional dirasakan semakin penting. Keadaan ini ditandai dengan perjanjian internasional. Demikian halnya sebagaimana yang dilakukan oleh Liga Bangsa-Bangsa (the League of Nations) pada tahun 1924 melalui suatu Komisi Ahli (Committee of Expert) berdasarkan Resolusi Majelis Liga Bangsa-Bangsa tanggal 22 September 1924 yang bertugas untuk mengadakan studi sistematis

   tentang pengkodifikasian yang progresif dari hukum internasional.

  Pembubaran Liga Bangsa-Bangsa dan pembentukan Persatuan Bangsa- Bangsa (the United Nations) pada tanggal 24 Oktober 1945, semakin mengindikasikan penguatan peran perjanjian internasional dalam mengatur

   hubungan internasional.

  Hal ini dibuktikan dengan perhatian khusus Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengkodifikasikan dan mengembangkan hukum internasional secara

  

  progresif, yang ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Resolusi Nomor 174/II 58 I Wayan Parthiana, Hukum Perjanian Internasional Bagian 1, (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 2002), hlm. 3-4. 59 60 Ibid .

  Lihat Pasal 13 ayat (1) butir a Charter of United Nations.

  29 yang membentuk Komisi Hukum Internasional (International Law Commission)

  

  pada sidang Majelis Umum PBB tahun 1947. Komisi tersebut bertugas melakukan studi dan pengkajian secara sistematis dan mendalam tentang bidang- bidang hukum internasional yang perlu dikodifikasikan dan dikembangkan secara

   progresif dalam suatu konvensi serta menyiapkan naskah konvensinya.

  Naskah yang dihasilkan oleh komisi tersebut beberapa di antaranya telah dikukuhkan menjadi hukum internasional positif, antara lain, Vienna Convention

  on the Law of Treaties 1969 (Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian tahun

Organisation and between International Organisation and International

  (Konvensi tentang Hukum Perjanjian antara Negara dan

  Organisation 1986

  Organisasi Internasional dan antara Organisasi Internasional dan Organisasi

63 Internasional 1986).

  Dalam Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 (VCLT 1969) pengaturan mengenai perjanjian internasional pada hakikatnya didasarkan pada ketentuan hukum kebiasaan internasional tentang pembuatan suatu perjanjian internasional sebagaimana yang dipraktikkan oleh negara-negara di dunia pada umumnya. Setelah melewati berbagai proses panjang dengan segala dinamikanya serta melibatkan para pakar hukum internasional dari berbagai dunia, VCLT 1969 dirampungkan pada tanggal 22 Mei 1969 dan dilakukan open for signature (dibuka untuk ditandatangani) pada tanggal 23 Mei 1969, sebagai tindak lanjut dari kesepakatan yang berhasil dicapai dalam The United Nations Conference on 61 62 I Wayan Parthiana, Op.Cit., hlm. 3-4. 63 Ibid ., hlm. 5.

  Ibid ., hlm. 6.

  the Law of Treaties (Konferensi PBB tentang Hukum Perjanjian Interansional)

  yang dilaksanakan di Vienna, Austria, pada 26 Maret sampai dengan 24 Mei 1968

   dan 9 April sampai dengan 22 Mei 1969.

  Pada tahap berikutnya, VCLT 1969 dinyatakan entry into force (mulai berlaku) pada tanggal 27 Januari 1980, yaitu pada 30 (tiga puluh) hari setelah negara ke-35, yang dalam hal ini adalah Togo, menyerahkan instrumen aksesi-nya pada 28 Desember 1979. VCLT 1969 dirancang oleh International Law

  Commission (ILC) atau Komisi Hukum Internasional PBB, yang mulai bekerja

  yang diselenggarakan oleh PBB di Wina, Austria. Selama dua puluh tahun persiapan pembentukan VCLT 1969, beberapa versi rancangan konvensi dan komentar telah dipersiapkan oleh Special Rapporteurs (pelapor khusus) ILC, yaitu: James Brierly, Sir Hersch Lauterpacht, Sir Gerald Fitzmaurice, dan Sir

65 Humphrey Waldock.

  Hingga penelitian ini dilakukan, VCLT 1969 telah disahkan oleh 125 Negara. Dalam praktik, negara yang belum mensahkan konvensi ini tetap mengenali dan mengikuti ketentuan-ketentuan konvensi ini sebagai bagian dari

   hukum kebiasaan internasional.

  64 65 Ibid ., hlm. 7.

  Vienna Convention on the Law of Treaties , dimuat pada wiki/Vienna_Convention_on_the_Law_of_Treaties, diakses pada 17 Februari 2015 Pukul 20.14 WIB. 66 Vienna Convention on the Law of Treaties, Loc.Cit.

  B.

  

Perjanjian Internasional sebagai Sumber Hukum Internasional yang

Utama

  Pada awal perkembangan hukum internasional, sumber hukum internasional yang paling utama adalah hukum kebiasaan internasional yang berkembang dari praktik-praktik yang dilakukan oleh negara di dunia dalam pergaulan internasional. Kemudian pada perkembangan selanjutnya, dilakukan usaha pengkodifikasian hukum internasional dan hasil perjanjian multilateral yang meliputi banyak bidang kehidupan internasional yang penting, seperti hubungan memberikan kepastian hukum dan menetapkan norma-norma yang diterima secara

   universal oleh negara-negara di dunia.

  Permasalahan mengenai perjanjian internasional telah menjadi kajian yang paling sering dibahas dalam hukum internasional. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa perjanjian internasional telah menggeser kedudukan dan peranan hukum kebiasaan internasional yang pada awal sejarah pertumbuhan hukum

  

  internasional menduduki tempat yang utama. Perjanjian internasional yang merupakan sumber hukum utama internasional adalah perjanjian internasional yang berbentuk law making treaties, yaitu perjanjian internasional yang berisikan

   prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan yang berlaku secara umum.

  Sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional, maka sumber hukum internasional antara lain: 67 Peter Malanczuk dan Michael Barton Akehurst, Akehurst's Modern Introduction to th International Law , 7 revised edition, (New York: Routledge, 1997), hlm. 35. 68 69 I Wayan Parthiana, Op.Cit., hlm. 3.

  Boer Mauna, Op.Cit., hlm. 9.

  1) International conventions, whether general or particular, establishing

  rules expressly recognized by the contesting states;

  2) International custom, as evidence of a general practice accepted as

  law;

  3) The general principles of law recognized by civilized nations; 4) Subject to the provisions of Article 59, judicial decisions and the

  teachings of the most highly qualified publicists of the various nations,

   as subsidiary means for the determination of rules of law.

  Dalam Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional, tidak ditegaskan secara jelas sumber hukum mana yang secara hirarkis menempati tempat paling utama di antara berbagai sumber hukum di atas. Tetapi dalam dalam perjanjian internasional yang mengikat para pihak sepanjang perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan peremptory norm of general international law

  

  (norma hukum internasional umum) atau jus cogens yang mengakibatkan

   perjanjian tersebut dapat dibatalkan.

  Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa sumber hukum internasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional dapat dikategorikan menjadi dua golongan. Pertama, sumber hukum utama atau primer yang meliputi sumber angka (1-3) yang dimuat di uraian sebelumnya, dan kedua, sumber hukum tambahan atau subsidies yaitu keputusan-

70 International Court Justice, “Statute of the International Court of Justice”, dimuat pada

  akses pada tanggal 17 Februari 2015 Pukul

23.05 WIB

  71 Jus cogens atau ius cogens yang juga sering disebut peremptory norm of general

international law adalah prinsip dasayang diakui oleh masyarakat internasional sebagai norma yang tidak boleh dilanggar. Tidak ada konsensus resmi mengenai norma mana yang merupakan jus cogens dan bagaimana suatu norma mencapai status tersebut. Akan tetapi, pelarangan genosida, pembajakan laut dan perbudakan biasanya dianggap sebagai

salah satu jus cogens . Lihat di Jus Cogens, dimuat pada “Jus Cogens”, diakses pada 17 Februari 2015 Pukul 23.17 WIB 72 Thomas Buergenthal & Harold G. Maier, Public International Law in a Nut Shell, 2nd edition, (Minnesota: West Publishing Co., 1990), hlm. 92. keputusan pengadilan dan ajaran sarjana hukum yang paling terkemuka dari

   berbagai negara sebagaimana yang dimuat pada angka (4) di uraian di atas.

  Dalam menentukan sumber hukum mana yang terpenting di antara ketiga sumber hukum primer di atas sebenarnya bergantung pada sudut pandang yang digunakan. Jika ditinjau dari sudut sejarah, kebiasaan hukum internasional merupakan sumber hukum yang tertua. Sehingga dengan demikian, dari sudut sejarah jelaslah bahwa kebiasaan intemasional dapat dianggap sebagai sumber

   hukum yang terpenting.

  terpenting apabila dilihat kenyataan bahwa semakin banyak persoalan yang dewasa ini diatur dengan perjanjian antara negaranegara termasuk pula masalah

  

yang tadinya diatur oleh hukum kebiasaan.

  Jika dilihat dari dari sudut fungsi dalam perkembangan hukum baru oleh Mahkamah Internasional, maka sumber ketiga yaitu prinsip hukum umum juga dapat dianggap sebagai sumber yang terpenting apabila. Sumber hukum inilah yang memberikan kelonggaran kepada Mahkamah Internasional untuk menemukan atau membentuk kaidah hukum baru dan mengembangkan hukum

   internasional berdasarkan prinsip hukum umum.

  73 74 Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, Op.Cit., hlm. 115-116. 75 Ibid. 76 Ibid.

  Ibid.

  C.

  

Perjanjian Internasional sebagai Pembentuk Kaidah Hukum

Internasional

  Perjanjian internasional memberikan pengaruh dan arahan terhadap pembentukan kaidah hukum internasional. Hal ini tergantung pada sifat hakikat perjanjian terkait. Dalam hal ini, penting untuk dipahami pembedaan perjanjian

   internasional dalam dua kategori, yaitu law making treaties dan treaty contracts.

  Law making treaties merupakan perjanjian internasional yang membuat hukum atau menetapkan kaidah-kaidah yang berlaku secara universal dan umum.

  diadakan oleh dua atau beberapa negara yang berkenaan dengan suatu pokok

   permasalahan khusus yang secara eksklusif menyangkut negara-negara tersebut.

  Ketentuan-ketentuan dari suatu perjanjian internasional "yang membuat hukum" secara langsung menjadi sumber hukum internasional. Tetapi tidak demikian halnya dengan "traktat-traktat kontrak", yang hanya dimaksudkan untuk

   menetapkan kewajiban-kewajiban khusus di antara para pesertanya.

  Dalam treaty contract, pihak ketiga pada umumnya tidak dapat turut serta dalam suatu perundingan untuk membuat suatu perjanjian karena perjanjian yang bersangkutan mengatur persoalan yang semata-mata ditujukan untuk mengikat para pihak yang membuat perjanjian itu. Sebaliknya, suatu perjanjian yang dinamakan law-making treaty selalu terbuka bagi pihak lain untuk ikut serta

  77 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, terjemahan Bambang Iriana Djajaatmaja, (Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2000), hlm. 51. 78 79 Ibid .

  Ibid ., hlm. 52. dalam proses pembuatan perjanjian karena yang diatur oleh perjanjian itu

   merupakan masalah umum mengenai semua anggota masyarakat internasional.

  Pemakaian istilah "yang membuat hukum" (law-making) telah dikritik oleh beberapa penulis dengan alasan bahwa traktat-traktat dalam artian "law making"

  

  tersebut, tidak sepenuhnya menetapkan kaidah-kaidah hukum. Telah menjadi suatu kenyataan bahwa adanya sejumlah besar peserta pada suatu konvensi multilateral tidak berarti bahwa ketentuan-ketentuan dalam konvensi itu dengan sendirinya merupakan hukum internasional yang universal dan mengikat negara-

82 Pada umumnya, negara-negara bukan peserta harus membuktikan sendiri

  dengan tindakan mereka kehendak untuk menerima ketentuan-ketentuan tersebut sebagai kaidah-kaidah umum hukum Internasional. Hal ini menjadi jelas dangan adanya Putusan International Court of Justice pada tahun 1969 dalam North Sea

  Continental Shelf Case , yang menyatakan bahwa Pasal 6 Konvensi Jenewa 1958

  mengenai Landas Kontinen yang menetapkan aturan kesamaan jarak untuk membagi secara adil suatu landas kontinen yang dimiliki bersama, tidak diterima

   oleh Republik Federal Jerman sebagai negara bukan peserta.

  Pada sisi lain jika ditinjau dari segi yuridis, setiap perjanjian baik yang dinamakan law-making treaty maupun treaty contract pada dasarnya menimbulkan akibat hukum berupa hak dan/atau kewajiban bagi para negara

  80 81 Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, Op.Cit., hlm. 123. 82 J.G. Starke, Op.Cit., hlm. 54. 83 Ibid.

  Ibid. , hlm. 55.

  

  pesertanya. Walaupun merupakan hukum yang khusus dan hanya mengikat di antara para pihak yang membuatnya, namun treaty contract juga dapat memberi arahan kepada perumusan ketentuan hukum internasional melalui pemberlakuan prinsip-prinsip yang mengatur perkembangan kaidah kebiasaan dengan memperhatikan tiga hal sebagai berikut:

  1) Serangkaian traktat yang menetapkan aturan yang sama secara berulang-ulang dapat membentuk suatu prinsip hukum kebiasaan internasional yang maksudnya sama. peserta terbatas kemudian kaidah yang dimuat dalam traktat itu digeneralisasikan dengan adanya penerimaan atau dipakai sebagai kaidah yang berdiri sendiri. 3) Suatu traktat dapat dianggap mempunyai nilai pembukti (evidentiary

  value ) mengenai adanya suatu kaidah yang dikristralisasikan menjadi

  hukum melalui proses perkembangan yang berdiri sendiri. Dalil yang logis adalah bahwa suatu prinsip hukum internasional menuntut adanya kekuatan tambahan sebagaimana telah diakui secara sungguh-sungguh

   dalam ketentuan-ketentuan suatu traktat umum.

  Dari segi pembentukan kaidah hukum, sebutan normative treaties (perjanjian internasional normatif) nampaknya lebih tepat digunakan daripada menggunakan istilah "law making treaties" dan "treaty contract". Dalam hal ini,

  normative treaties , meliputi: 84 85 Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, Op.Cit., hlm. 123-124.

  J.G. Starke, Op.Cit., hlm. 56-57.

  1) Perjanjian internasional yang berlaku sebagai instrumen-instrumen aturan standar umum, atau yang dipakai negaranegara baik atas dasar de

  facto ataupun sementara.

  2) Konvensi yang tidak diratifikasi, tetapi penting karena memuat pernyataan-pernyataan tentang prinsip-prinsip yang disetujui oleh sejumlah besar negara, misalnya VCLT 1969 ini. 3) Perjanjian internasional yang "tertutup" atau "berpeserta terbatas" yang hanya ditandatangani oleh sejumlah negara tertentu saja. regional atau komunitas. 5) Perjanjian internasional yang menciptakan suatu status atau rezim yang diakui secara internasional, yang hingga taraf tertentu, berlaku ergo omnes (in relation to everyone). 6) Instrumen-instrumen seperti Final Acts (Ketentuan Penutup), yang dilampirkan Pengaturan-Pengaturan Internasional yang dimaksudkan untuk dipakai oleh negara-negara peserta sebagai kaidah-kaidah umum. 7) Perjanjian antar badan, seperti perjanjian antara organisasi-organisasi internasional dan perjanjian antara sebuah organisasi internasional dan suatu negara dapat juga bersifat "normatif" dalam arti bahwa perjanjian tersebut dapat menetapkan norma-norma yang berlaku umum dalam

   bidang-bidang tertentu.

86 Ibid ., hlm. 54.

D. Paham Monisme dan Dualisme

  Dua aliran besar telah terbentuk akibat adanya pandangan yang berbeda mengenai dasar pengikat berlakunya hukum internasional, khususnya teori voluntaris dan objektivis. Aliran-aliran tersebut antara lain: 1.

   Monisme

  Penganut aliran ini beprendapat bahwa hukum nasional dan hukum internasional adalah merupakan bagian dari satu kesatuan ilmu hukum. Semua apakah itu terhadap negara, individu ataupun subjek laon selain negara. Oleh karena itu, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang mengatur

   kehidupan manusia.

  Akibat dari pandangan ini adalah dimungkinkannya suatu hubungan “hierarki” antara kedua sistem hukum tersebut. Hal ini menyebabkan timbulnya dua pendapat yang berbeda mengenai manakah sistem hukum yang utama di

   antara keduanya jika terjadi suatu pertentangan/konflik.

  a. Monisme dengan Primat Hukum Nasional Paham ini menganggap bahwa hukum nasional lebih utama kedudukannya daripada hukum nasional dan pada hakekatnya hukum nasional adalah sumber dari hukum internasional. Pada dasarnya paham ini sejalan dengan paham dualisme yaitu merupakan penyangkalan dari 87 adanya hukum internasional, mengingat berlaku atau tidaknya hukum

  Melda Kamil Ariadno, “Kedudukan Hukum Internasional dalam Sistem Hukum Nasional”, Jurnal Hukum Internasional Vol. 5 No. 3, (April, 2008), hlm. 510. 88 Ibid.

  internasional tergantung pada hukum nasional. Apabila hukum nasional tidak menginginkan keberlakuan internasional maka hukum tersebut tidak dapat berlaku.

  b. Monisme dengan Primat Hukum Internasional Paham ini beranggapan bahwa hukum nasional itu bersumber pada hukum internasional yang pada dasarnya mempunyai hierarkis yang lebih negara di dunia dengn sistem yang masing-masing berbeda. Hukum internasional pada dasarnya lebih unggul daripada hukum nasional.

  Hukum nasional memang mempunyai kedaulatan penuh, akan tetapi hal ini semata-mata mencerminkan bahwa suatu negara akan mempunyai

   kewenangan dengan hukum internasional sebagai pembatasnya.

2. Dualisme

  Paham dualisme bersumber pada anggapan bahwa daya ikat hukum internasional bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah satu sama lainnya. Tokoh utama aliran ini adalah Triepel, seorang pemuka aliran positivisme dari Jerman, dan Anziloti, pemuka aliran positivisme dari Italia. Paham ini didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat formal, alasan yang didasarkan pada 89 Ibid., hlm. 511-512. kenyataan, dan alasan menurut sarjana hukum internasional dan hakim pengadilan

  

  nasional. Alasan formal paham dualisme digambarkan dalam beberapa hal sebagai berikut: a. Hukum nasional dan hukum internasional mempunyai sumber hukum yang berbeda, hukum nasional bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama dari negara-negara sebagai masyarakat hukum internasional; b. Hukum nasional dan hukum internasional mempunyai subjek hukum masyarakat internasional. Sedangkan subjek hukum nasional adalah setiap orang baik dalam hukum perdata maupun hukum publik.

  c. Hukum nasional dan hukum internasional berbeda dari segi struktur hukum. Struktur hukum nasional memiliki bentuk yang sempurna dengan adanya organ/lembaga yang melaksanakan fungsi eksekutif dan yudikatif dalam pelaksanaan hukum nasional. Hal yang demikian tidak terdapat dalam hukum internasional. Alasan paham dualisme yang didasarkan pada kenyataan adalah daya laku kaidah atau keabsahan hukum nasional dalam kenyataan tidak terpengaruh oleh keberadaan hukum internasional yang bertentangan dengan hukum nasional tersebut. Dengan kata lain, hukum nasional tetap berlaku secara efektif walaupun bertentangan

  

  dengan hukum internasional. Kategori terakhir adalah alasan menurut 90 para sarjana hukum internasional dan hakim pengadilan nasional, yang

  Frans E. Likadja dan Daniel Frans Bessie, Desain Instruksional Dasar Hukum Internasional , (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), hlm. 23. 91 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op. Cit., hlm. 58.

  menyatakan sebagian besar hukum nasional terdiri dari hukum buatan hakim dan hukum undang-undang. Sedangkan hukum internasional

   terdiri dari traktat dan kebiasaan internasional.

  Paham dualisme ini mempunyai akibat penting dalam hubungan hukum internasional dan hukum nasional. Akibat yang paling utama adalah kaidah- kaidah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumber atau berdasar pada perangkat hukum yang lain. Sejalan dengan ini, dalam paham dualisme tidak dikenal persoalan mengenai hirarki antara hukum nasional dan hukum internasional karena dua perangkat hukum ini tidak saja berbeda dan tidak bergantung satu dengan yang lain, tetapi juga terlepas antara satu dengan yang lainnya. Tidak mungkin adanya pertentangan antara kedua perangkat hukum tersebut, yang mungkin adalah renvoi (penunjukkan). Akibat penting lainnya adalah bahwa untuk dapat memberlakukan ketentuan hukum internasional dalam sistem hukum nasional, terlebih dahulu harus dilakukan transformasi ketentuan

  

  hukum internasional tersebut menjadi hukum nasional Ketentuan hukum internasional tidak dapat serta merta berlaku dalam karakternya sebagai norma hukum internasional, melainkan harus dituangkan terlebih dahulu dalam suatu legislasi nasional.

  E.

  

Pengesahan dan Pelaksanaan Perjanjian Internasional didasarkan pada

Pengaturan Hukum Internasional 92 93 Frans E. Likadja dan Daniel Frans Bessie, Op. Cit., hlm. 55.

  Ibid. Pada bagian sebelumnya telah dikemukakan bahwa pengaturan hukum internasional mengenai perjanjian internasional terdapat dalam dua konvensi, yaitu: Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 dan Vienna Convention on

  the Law of Treaties between States and International Organisations or between International Organisations 1986.

  VCLT 1969 mengatur perjanjian internasional antar negara secara komprehensif, mulai dari persiapan, pembuatan, pelaksanaan, sampai pada kapan dan bagaimana suatu perjanjian internasional berakhir. Konvensi ini dihasilkan dibentuk berdasarkan Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa No.

   174/II tahun 1947.

  Pada perkembangan selanjutnya, dalam persidangan ke-26, 27, 29, dan 30 mengesahkan rancangan Pasal 6, yang kelak kemudian menjadi Vienna

  

Convention on the Law of Treaties between States and International

Organisations or between International Organisations 1986 . Didalamnya,

  dinyatakan secara tegas bahwa siapapun yang mempunyai kemampuan untuk

   membuat perjanjian ialah subyek hukum internasional.

  Pihak-pihak yang bermaksud untuk membuat atau merumuskan suatu perjanjian internasional, biasanya terlebih dahulu melakukan pendekatan- pendekatan baik yang bersifat informal maupun formal untuk mencapai kesepakatan dalam membuat suatu perjanjian internasional yang mengatur suatu 94 Ian Brownlie, Instrumen-Instrumen Penting Hukum Internasional, (Jakarta: Sinar Baru, 1992), hlm. 349. 95 D.W. Bowett, The Law of International Institutions, (London: Stevens & Sons, 1982), hlm. 341.

  masalah. Misalnya pendekatan antara dua pejabat negara yang berwenang dalam masalah yang sama, seperti antara menteri perdagangan dari dua atau lebih negara yang bermaksud untuk mengadakan perjanjian kerjasama dalam bidang

   perdagangan yang bilateral ataupun multilateral.

  Dalam hal perumusan suatu perjanjian internasional multilateral umum atau terbuka, pendekatan-pendekatan itu pun dapat dilakukan melalui pertemuan- pertemuan informal antara para diplomat ataupun pejabat negara yang ingin membuat perjanjian atas suatu permasalahan tertentu, Pendekatan itu juga dapat global. Kesepakatan-kesepakatan hasil pendekatan informal itulah yang nantinya

   ditingkatkan mengadakan perjanjian internasional multilateral.

  Selanjutnya, pendekatan informal maupun formal tersebut ditindaklanjuti dengan tahapan pembuatan perjanjian internasional sebagaimana diatur dalam

  VCLT 1969, yaitu dengan melakukan penunjukan wakil-wakil masing-masing pihak yang diberikan tugas dan kewenangan untuk mengadakan perundingan, penyerahan surat kuasa atau pertukaran full powers (kuasa penuh) oleh wakil- wakil masing-masing pihak, perundingan untuk membahas materi yang akan dimasukkan dan dirumuskan sebagai klausul perjanjian, penerimaan naskah perjanjian (adoption of the text), pengotentikasian naskah perjanjian (authentication of the text), pernyataan persetujuan untuk terikat pada perjanjian (consent to be bound by a treaty), penentuan saat mulai berlakunya suatu perjanjian internasional (entry into force of a treaty); penyimpanan naskah 96 97 I Wayan Parthiana, Op.Cit., hlm. 93.

  Ibid. perjanjian (depository of a treaty), serta pendaftaran dan pengumuman perjanjian

   (registration and publication).

  Setelah suatu naskah perjanjian secara resmi diterima sebagai naskah yang otentik, perjanjian itu belum mengikat para pihak dan dengan demikian belum memiliki kekuatan mengikat sebagai hukum internasional positif, kecuali jika disepakati bahwa pengotentikasian sekaligus juga sebagai pernyataan persetujuan

   untuk terikat pada perjanjian.

  Oleh sebab itulah, persetujuan untuk mengikatkan diri pada perjanjian oleh perjanjian tersebut jika mereka telah menyatakan persetujuannya untuk terikat pada perjanjian tersebut. Cara menyatakan persetujuan untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional haruslah ditentukan di dalam perjanjian itu

   sendiri.

  Sebagaimana ketentuan yang terdapat dalam Pasal 11 hingga Pasal 17

  VCLT 1969 ditentukan beberapa cara untuk menyatakan persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian internasional, yaitu dengan signature (penandatanganan),

  

exchange of instruments constituting a treaty (pertukaran instrumen yang

  membentuk perjanjian), ratification (ratifikasi), acceptance (akseptasi), approval

   (persetujuan atau aksesi), atau cara lain yang disetujui dalam perjanjian.

  98 99 Ibid ., hlm. 94. 100 Ibid ., hlm. 109. 101 Ibid .

  Ibid .

1. Persetujuan untuk Terikat pada Perjanjian yang Dinyatakan dengan Penandatanganan

  Kesepakatan untuk mengikatkan diri pada perjanjian yang dinyatakan dengan penandatanganan diatur dalam Pasal 12 VCLT 1969, sebagai berikut:

  1. The consent of a State to be bound by a treaty is expressed by the

  signature of its representative when:

  a) The treaty provides that signature shall have that effect; b)

It is otherwise established that the negotiating States were agreed

that signature should have that effect; or

  c)

The intention of the State to give that effect to the signature appears

from the full powers of its representative or was expressed during the

negotiation.

  a)

The initialling of a text constitutes a signature of the treaty when it is

established that the negotiating States so agreed;

  b) The signature ad referendum of a treaty by a representative, if

   confirmed by his State, constitutes a full signature of the treaty.

  Pernyataan suatu negara untuk mengikatkan diri yang dinyatakan dengan penandatanganan pada umumnya dilakukan pada perjanjian yang dari segi substansinya tergolong sebagai perjanjian yang tidak terlalu penting, tidak mengakibatkan pembentukan kaidah hukum baru, dan lebih bersifat teknis.

  Dengan pertimbangan ini, pengikatan diri pada perjanjian cukup dilakukan oleh wakil negara peserta dan dengan penandatanganan oleh wakilnya tersebut maka

   perjanjian tersebut telah mengikat negara-negara yang bersangkutan.

  Suatu negara menyatakan kesepakatannya untuk terikat pada suatu perjanjian melalui penandatanganan wakil-wakilnya dapat ditentukan dalam perjanjian itu sendiri atau sebaliknya negara-negara yang melakukan perundingan 102 103 Lihat Pasal 12 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969.

  I Wayan Parthiana, Op.Cit., hlm. 110. menyepakati bahwa penandatanganan merupakan pernyataan terikat pada perjanjian tersebut, asalkan hal tersebut sesuai dengan surat kuasa penuh yang diberikan oleh negara kepada wakilnya. Jika perjanjian tersebut mensyaratkan adanya ratifikasi sebagai pengikatan diri atau surat kuasa penuh dari wakil negara itu dibuat untuk ratifikasi, maka penandatanganan itu hanya akan berpengaruh pada tahap pertengahan saja dan bukan merupakan pernyataan kesepakatan untuk

   terikat pada perjanjian.

  Pada Pasal 18 VCLT 1969 mengatur tentang konsekuensi bagi negara- persetujuan untuk mengikatkan diri pada perjanjian tersebut dan menerima naskah perjanjian berupa kewajiban moral (walaupun belum terikat pada perjanjian) untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan maksud dan

  

  tujuan perjanjian, yang menyatakan:

  A State is obliged to refrain from acts which would defeat the object and purpose of a treaty when: a) It has signed the treaty or has exchanged instruments constituting the treaty subject to ratification, acceptance or approval, until it shall have made its intention clear not to become a party to the treaty; or b) It has expressed its consent to be bound by the treaty, pending the entry into force of the treaty and provided that such entry into force is not

   unduly delayed.

  104 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Perjanjian Internasional, (Jakarta: PT Tatanusa, 2008), hlm. 55. 105 106 Ibid ., hlm. 57 Lihat Pasal 18 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969.

2. Persetujuan untuk Terikat pada Perjanjian yang dinyatakan dengan Pertukaran Instrumen-Instrumen yang Membentuk Perjanjian

  Pertukaran instrumen-instrumen yang membentuk perjanjian yang merupakan bentuk persetujuan untuk terikat pada perjanjian internasional diatur dalam Pasal 13 VCLT 1969, yang menyatakan:

  The consent of States to be bound by a treaty constituted by instruments exchanged between them is expressed by that exchange when: a) The instruments provide that their exchange shall have that effect; or exchange of instruments should have that effect

  

  Cara-cara pertukaran instrumen-instrumen tentang pembentukan perjanjian mengenai persetujuan suatu negara untuk terikat pada suatu perjanjian dinyatakan dengan pertukaran tersebut, apabila:

  a. Instrumen tersebut menetapkan bahwa pertukaran itu memiliki efek sebagai pernyataan persetujuan untuk terikat pada perjanjian itu; atau b. Sebaliknya ditentukan jika negara-negara itu menyepakati bahwa pertukaran instrumen akan menimbulkan akibat bahwa mereka terikat pada perjanjian itu.

  

  Dalam hal persetujuan untuk terikat pada perjanjian, dapat dilakukan dengan pertukaran dokumen/instrumen yang pada dasarnya merupakan perjanjian internasional (biasanya menggunakan instrumen Exchange of Letters/Notes,

  

Agreed Minutes, Summary Records, Modus Vivendi, Memorandum of

107 Ibid., Pasal 13. 108 I Wayan Parthiana, Op.Cit., hlm. 114.

  

Understanding, dan lain sebagainya). Oleh karena itu, negara-negara peserta

  menghendaki bahwa sejak dipertukarkannya instrumen/dokumen tersebut, negara-

   negara telah menyatakan terikat pada perjanjian.

  Pada umumnya, cara pengikatan terhadap perjanjian seperti ini dilakukan pada perjanjian-perjanjian sederhana yang menyangkut kerja sama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, teknik, perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga, penghindaran pajak berganda, penanaman modal, dan perjanjian-perjanjian bersifat teknis. Selain itu, biasanya materi perjanjian tersebut bersifat prosedural

   perundang-undangan nasional yang fundamental.

  Persetujuan untuk terikat pada perjanjian dengan pertukaran instrumen dilakukan oleh organ pemerintah yang berwenang dari masing-masing pihak.

  Dengan demikian, wakil-wakil dari negara peserta, setelah mengadopsi ataupun mengotentikasi naskah perjanjian, harus menyampaikan naskah perjanjian itu kepada organ pemerintahnya yang berwenang. Selanjutnya, organ pemerintah yang berwenang itulah yang akan memutuskan apakah akan setuju untuk terikat pada perjanjian, dengan cara pertukaran instrumen tentang pembentukan

   perjanjian itu.

  109 110 Ibid . 111 Ibid .

  Ibid .

3. Persetujuan untuk Terikat pada Perjanjian yang Dinyatakan dengan Ratifikasi, Akseptasi, atau Persetujuan

  Persetujuan untuk mengikatkan diri pada perjanjian yang dinyatakan dengan ratifikasi, akseptasi, atau persetujuan diatur dalam Pasal 14 VCLT 1969, sebagai berikut:

  1. The consent of a State to be bound by a treaty is expressed by

  ratification when:

  a) The treaty provides for such consent to be expressed by means

  of ratification;

  b) It is otherwise established that the negotiating States were

  agreed that ratification should be required; ratification; or

  d) The intention of the State to sign the treaty subject to

  ratification appears from the full powers of its representative or was expressed during the negotiation.

  2. The consent of a State to be bound by a treaty is expressed by

  acceptance or approval under conditions similar to those which apply to ratification.

  Melalui ketentuan ini, diatur mengenai persetujuan negara untuk mengikatkan diri pada perjanjian dengan cara ratification (ratifikasi), sedangkan cara pengikatan diri dengan acceptance (akseptasi) atau approval (persetujuan) sebagaimana dinyatakan pada ayat (2), didasarkan pada kondisi/persyaratan yang sama dengan persetujuan untuk terikat pada perjanjian dengan cara ratifikasi.

  Menurut hukum internasional, tidak ada perbedaan substantif di antara istilah tersebut dan masing-masing mempunyai dampak hukum yang sama seperti tindakan ratifikasi. Istilah akseptasi baru digunakan sejak beberapa dekade terakhir dimana formalitas akseptasi lebih sederhana dari formalitas ratifikasi.

  Namun demikian, tidak ada aturan tegas mengenai perbedaan pemakaian kedua 112 Lihat Pasal 14 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969. istilah tersebut karena tergantung pada sistem konstitusional masing-masing negara. Demikian juga dengan persetujuan, berasal dari kebiasaan internal suatu negara, misalnya sebagaimana ditentukan dalam Konstitusi Perancis 1958 yang

   memakai kedua istilah tersebut.

  Jika dilihat dari segi substansinya, maka perjanjian internasional yang persetujuan terikatnya dilakukan dengan dengan cara ratifikasi (ratification), akseptasi (acceptance), atau persetujuan (approval), tergolong sebagai perjanjian yang penting, baik bagi para pihak yang bersangkutan maupun bagi masyarakat

  

  Damos Dumoli Agusman berpendapat bahwa ratifikasi berasal dari konsepsi hukum perjanjian internasional yang diartikan sebagai tindakan konfirmasi dari suatu negara terhadap perbuatan hukum utusan atau wakilnya yang telah menandatangani suatu perjanjian sebagai tanda persetujuan untuk terikat pada perjanjian itu. Konfirmasi ini dibutuhkan karena pada era permulaan berkembangnya perjanjian internasional, masalah komunikasi serta jarak geografis antar negara merupakan faktor yang mengharuskan adanya ruang bagi setiap negara untuk mengkonfirmasi setiap perjanjian yang telah ditandatangani

   oleh utusannya.

  Tindakan pengesahan dan tandatangan yang dilakukan oleh wakil negara yang turut serta dalam perundingan berasal dari zaman dahulu, ketika kepala 113 114 Boer Mauna, Op.Cit., hlm. 120-121. 115 I Wayan Parthiana, Op.Cit.

  Damos Dumoli Agusman, Arti Pengesahan/Ratifikasi Perjanjian Internasional, dimuat pada diakses pada 18 Februari 2015 Pukul 02.23 WIB. negara perlu meyakinkan dirinya bahwa utusan yang telah diberi kuasa penuh olehnya tidak melampaui batas wewenangnya. Pada masa itu kepala negara atau pemerintah yang bersangkutan tidak dapat terus-menerus mengikuti langkah utusan yang dikirimnya, menyebabkan bahwa ratifikasi dirasakan perlu sebelum

   kepala negara dapat mengikat dirinya dengan perjanjian yang bersangkutan.

  Menurut Oppenheim, ratifikasi merupakan the final confirmation (konfirmasi akhir) dari para pihak atau negara peserta atas perjanjian internasional yang sudah disepakati atau ditandatangani oleh para utusannya dan pada

   konfirmasi tersebut.

  Meskipun ratifikasi dianggap sebagai sekedar konfirmasi suatu negara atas tindakan para utusannya dalam pembuatan perjanjian internasional, namun tindakan konfirmasi ini sangat menentukan ketentuan mengikatnya suatu perjanjian internasional. Pada dasarnya fungsi ratifikasi itu sendiri adalah untuk mengikatkan suatu negara peserta pada suatu perjanjian internasional. Selama ratifikasi belum diberikan oleh suatu negara maka perjanjian internasional tersebut walaupun sudah disepakati oleh para wakil negara peserta, belum sempurna sebagai instrumen hukum yang mengikat negara yang bersangkutan

   sehingga kekuatan hukumnya pun belum sempurna.

  Selain sebagai suatu tindakan konfirmasi, ratifikasi juga diartikan sebagai tindakan yang bersifat formalitas, namun bukan berarti formalitas yang tidak penting. Sebagaimana dikemukakan oleh Lard Stowell, ratifikasi walaupun dapat 116 117 Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, Op.Cit., hlm. 130 118 J.G. Starke, Op.Cit., hlm. 601.

  Ibid. dianggap sebagai formalitas, namun formalitas yang sangat esensial. Ratifikasi merupakan syarat esensial dan konfirmasi kuat karena wewenang para utusan negara yang memiliki full powers (kuasa penuh) untuk melakukan pembuatan

   perjanjian internasional dibatasi oleh adanya syarat ratifikasi tersebut.

  Pada praktik hukum internasional masa kini, ratifikasi diartikan bukan hanya sekedar tindakan konfirmasi suatu negara untuk membenarkan atau menguatkan apa yang sudah dilakukan utusannya dalam pembuatan perjanjian internasional, melainkan sekaligus sebagai pernyataan resmi suatu negara tentang

  

  Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa suatu negara yang telah mengikatkan dirinya pada suatu perjanjian internasional, maka persetujuan mengikatkan diri tersebut harus disahkan oleh badan yang berwenang di negaranya. Penandatangan perjanjian yang dilakukan oleh wakil atau utusan negara hanya bersifat sementara dan masih harus disahkan. Pengesahan oleh

   badan yang berwenang tersebut yang kemudian dinamakan dengan ratifikasi.

  Berdasarkan pada praktik tersebut, persoalan ratifikasi bukan hanya merupakan persoalan hukum perjanjian internasional melainkan juga merupakan persoalan hukum tata negara. Hukum internasional hanya mengatur hal-hal yang termasuk pada persetujuan yang diberikan suatu negara pada suatu perjanjian yang memerlukan ratifikasi. Sedangkan pada tahap cara ratifikasinya, dilakukan

   menurut ketentuan hukum tata negara masing-masing negara. 119 120 Ibid. 121 Ibid. 122 Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, Op.Cit.

  Ibid ., hlm. 113. Hal ini sejalan dengan pendapat bahwa ratifikasi yang dilakukan terhadap suatu perjanjian internasional mencakup dua prosedur yang terpisah namun saling terkait satu sama lain, yaitu prosedur eksternal yang didasarkan pada hukum

   internasional dan prosedur internal yang didasarkan pada hukum nasional.

  Penandatangan instrumen ratifikasi itu sendiri tentunya dilakukan atas nama negara. Dalam praktik internasional, penandatanganan dilakukan berdasarkan konstitusi atau praktik di masing-masing negara yang lazimnya dilakukan oleh Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, atau Menteri yang

4. Persetujuan untuk Terikat pada Perjanjian yang dinyatakan dengan Aksesi

  Kesepakatan untuk mengikatkan diri pada perjanjian yang dinyatakan dengan aksesi diatur dalam Pasal 15 VCLT 1969, sebagai berikut:

  The consent of a State to be bound by a treaty is expressed by accession when:

  a) The treaty provides that such consent may be expressed by that State by

  means of accession;

  b) It is otherwise established that the negotiating States were agreed that

  such consent may be expressed by that State by means of accession; or

  c) All the parties have subsequently agreed that such consent may be

   expressed by that State by means of accession.

  Pada dasarnya, aksesi merupakan persetujuan terikat pada suatu perjanjian internasional oleh negara yang tidak ikut serta dalam perundingan perjanjian terkait atau negara tersebut karena hal-hal tertentu tidak dapat memenuhi syarat 123 124 Damos Dumoli Agusman, Loc.Cit.

  Lihat Pasal 15 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969. untuk menjadi pihak dalam suatu perjanjian dengan penandatanganan atau

   ratifikasi.

  Sehingga dapat disimpulkan bahwa aksesi merupakan cara dimana suatu negara yang sebelumnya tidak menandantangani perjanjian, dapat menjadi pihak perjanjian. Kesepakatan yang dilakukan dengan cara aksesi dapat dimungkinkan apabila perjanjian itu sendiri memperbolehkannya, atau negara-negara perunding/penandatangan telah menyetujui bahwa kesepakatan melalui cara aksesi tersebut akan terjadi pada negara yang dimaksud. terbuka dan tertutup. Perjanjian tertutup, terbatas bagi negara-negara yang ikut membuat suatu perjanjian dan menandatanganinya. Sedangkan perjanjian terbuka berarti negara-negara yang tidak ikut membuat suatu perjanjian dapat menjadi

   pihak pada perjanjian tersebut di kemudian hari.

  Dalam menyepakati suatu perjanjian internasional, negara yang mengaksesi perjanjian tersebut membuat pernyataan tentang kesepakatannya mengaksesi perjanjian tersebut serta kesediaan untuk melaksanakan ketentuan- ketentuan yang ada di dalamnya dengan itikad baik. Hal ini dilaksanakan sesuai

  125

Pasal 81 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 menyatakan: “The present Convention shall be open for signature by all States Members of the United Nations or of any of

  the specialized agencies or of the International Atomic Energy Agency or parties to the Statute of the International Court of Justice, and by any other State invited by the General Assembly of the United Nations to become a party to the Convention, as follows: until 30 November 1969, at the

  29 Federal Ministry for Foreign Affairs of the Republic of Austria, and subsequently, until 30 April 1970, at United Nations Headquarters, New York ”, yang pada pokoknya menyatakan

pembatasan bagi negara tertentu yang berhak menandatangani atau pembatasan waktu penandatangan perjanjian, sehingga suatu negara harus melakukan pengikatan dirinya melalui aksesi. 126 Boer Mauna, Op.Cit., hlm. 121. dengan kesepakatan sebelumnya yang telah dibuat oleh negara-negara perunding

   atau ketentuan yang telah disepakati dalam perjanjian atau konvensi tersebut.

  Jika perjanjian atau persetujuan tersebut berbentuk bilateral treaty (antara dua negara). Maka instrumen-intrumen tersebut harus dipertukarkan. Namun jika perjanjian multilateral treaty (melibatkan banyak negara), maka instrumen itu biasanya harus diserahkan kepada satu atau dua negara perunding yang telah disetujui bersama atau sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dalam perjanjian

   tersebut.

  instrumen itu harus diserahkan kepada Sekretaris Jenderal organisasi tersebut untuk disimpan pada depositary (penyimpan) atau jika telah disetujui sebelumnya oleh negara-negara perunding dapat pula diserahkan kepada sesuatu negara yang telah disetujui sebagai penerima instrumen. Di samping itu instrumen juga dapat hanya dengan memberitahukan kepada negara-negara peserta atau kepada

   penerima jika ada kesepakatan.

5. Persetujuan untuk Terikat pada Perjanjian yang dinyatakan dengan Pensyaratan

  Pensyaratan atau reservation adalah suatu sistem dimana suatu negara yang merupakan pihak pada perjanjian dapat menyatakan pensyaratan terhadap pasal-pasal tertentu. Apabila pensyaratan tersebut diterima, maka negara yang bersangkutan dapat menolak pelaksanaan pasal-pasal tersebut untuknya. 127 128 Sumaryo Suryokusumo, Op.Cit., hlm. 62. 129 Ibid.

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Kepastian Hukum Bagi Bank Sebagai Kreditur Atas Tanah Yang Belum Terdaftar Sebagai Agunan Pada PT. Bank SUMUT Cabang Gunung Tua

0 1 35

BAB II TINJAUAN TENTANG HUKUM JAMINAN DALAM HUKUM AGRARIA A. Hak Tanggunan Sebagai Hukum Jaminan Tanah - Kepastian Hukum Bagi Bank Sebagai Kreditur Atas Tanah Yang Belum Terdaftar Sebagai Agunan Pada PT. Bank SUMUT Cabang Gunung Tua

0 0 28

DEPARTEMEN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM AGRARIA

0 0 10

BAB II PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT A. Pengertian dan Syarat-Syarat Kepailitan - Analisis Yuridis Terhadap Penahanan Debitur Pailit dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit

0 1 30

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Terhadap Penahanan Debitur Pailit dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit

0 0 20

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENAHANAN DEBITUR PAILIT DALAM PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum SKRIPSI

0 0 8

Pemberlakuan Bebas Visa Bagi Negara-Negara Anggota Organisasi Konferensi Islam (Oki) Menurut Tinjauan Hukum Internasional

0 0 15

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG VISA DALAM LINGKUP INTERNASIONAL - Pemberlakuan Bebas Visa Bagi Negara-Negara Anggota Organisasi Konferensi Islam (Oki) Menurut Tinjauan Hukum Internasional

0 0 20

NURUL PERTIWI 110200076 Departemen Hukum Internasional DiketahuiDisetujui oleh : Ketua Departemen Hukum Internasional

0 0 11

Pemberlakuan Perjanjian Internasional Di Indonesia Dikaitkan Dengan Judicial Review Terhadap Piagam Asean Di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

1 2 13