BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI BATAS WILAYAH SUATU NEGARA A. Sejarah Perkembangan Hukum Laut Internasional - Penahanan Nelayan Yang Melanggar Wilayah Perairan Dan Wilayah Yurisdiksi Antara Indonesia – Malaysia Ditinjau Dari Hukum Internasi

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI BATAS WILAYAH SUATU NEGARA A. Sejarah Perkembangan Hukum Laut Internasional Pada abad ke-19, batas 3 mil memperoleh pengakuan dari para ahli

  hukum, juga oleh pengadilan-pengadilan, serta mendapat pengesahan dalam praktek negara-negara maritim utama. Pengakuan ini juga berlanjut dalam abad ke-20, dengan dua negara maritim besar, Amerika Serikat dan Inggris, secara tegas menjadi pendukung utama batas 3 mil tersebut. Memang aturan itu belum memperoleh penerimaan sebagai suatu ketentuan universal hukum internasional. Sejumlah besar negara memakai suatu ukuran yang lebih lebar untuk jalur maritim.

  Semakin banyak jumlah negara yang selama 15 tahun belakangan ini mendukung batas seluas 12 mil dan bahkan lebar yang lebih besar lagi.

  Dua perkembangan penting dari sejarah hukum laut internasional adalah: Dua perkembangan penting dari sejarah hukum laut internasional terjadi setelah

  

  berakhirnya perang dunia kedua yaitu: 1.

  Evaluasi dan penerimaan umum atas doktrin landas kontinen (continental

  shelf) . Pengakuan umum atas prinsip landas kontinen memperlihatkan

  kulminasi tendensi yang dimulai dari tahun 1945-1951 pada waktu, melalui deklarasi sepihak, sejumlah negara maritim menyatakan klaim yurisdiksi eksklusif, pengawasan atau hak-hak berdaulat (yang berbeda dari kedaulatan) terhadap sumber-sumber daya di landas kontinen dan wilayah-wilayah lepas pantai yang berkaitan. Landasan kontinen

  

(continental platform) adalah dasar bawah permuakaan air laut, yang

  berbatasan dengan suatu daratan benua (continental land mass), dan sedemikian rupa sehingga seolah-olah merupakan suatu kelanjutan dari, atau bagian tambahan daratan benua ini, tetapi umumnya tidak terletak pada suatu kedalaman di bawah permukaan air laut lebih dari 200 meter.

  Kira-kira pada kedalaman ini, biasanya, mulai “penurunan” ke kedalaman laut yang sangat curam. Melewati tepi terluar atau lereng yang menurun demikian Dario landas kontinen, dasar laut dalam menurun dengan tahap- tahap, yang menurut nomenklatur umum dikenal sebagai “landas kontinen” (continental slope), dan “tanjakan kontinen” (continental rise), sebelum tenggelam ke dasar laut yang lebih dalam, atau “ngarai dasar laut” (abyssal plain). Istilah “tepi kontinen” (continental margin) umumnya dipakai untuk mencakup landas kontinen, lereng kontinen dan tanjakan kontinen, batas terluar dari tepi kontinen yang merupakan permulaan, sejauh hal itu dapat didefenisikan secara geomorfologis, ngarai dasar laut.

  

North Sea Continental Shelf Cases , yang mendorong Internasional Court

of Justice adalah konteks geologis ini, pada saat berusaha untuk

  merasionalkan dasar klaim-klaim landas kontinen, untuk menggaris bawahi pertimbangan bahwa landas kontinen merupakan kelanjutan atau tambahan wilayah yang telah dikuasai negara pantai. Jika pada awal timbulnya klaim-klaim terhadap landas kontinen yang diajukan melalui pengumuman atau pernyataan resmi lainnya, alasan pembenarannya biasa dikaitkan, atau lain, dengan pertimbangan- pertimbangan hubungan geografis dan keamanan. Sedangkan tujuan sesungguhnya dari negara pesisir terkait adalah untuk mencadangkan antara lain sumber minyak dan mineral-mineral yang mungkin terdapat di dasar laut kawasan landas kontinen tersebut bagi kepentingannya sendiri, yang eksploitasinya telah dimungkinkan dengan kemajuan teknologi, sehingga klaim yang diajukan harus dinyatakan dalam peristilahan yang

   cukup untuk meliputi sumber-sumber daya non-mineral.

  Keluasaan sesungguhnya dari klaim-klaim itu berbeda-beda; Pengumuman Presiden Amerika Serikat pada bulan September 1945 hanya menyatakan hak-hak “yurisdiksi dan pengawasan” atas sumber-sumber daya alam di bawah tanah dasar laut dan dasar laut landas kontinen, yang jelas mempertahankan seutuhnya sifat dari perairan landas kontinen sebagai laut bebas serta hak pelayaran bebas, akan tetapi dalam deklarasi-deklarasi berikutnya dari negara-negara lain, klaim-klaim tertuju pada kedaulatan pemilikaan atas dasar laut dan tanah dibawahnya, juga perairan landas kontinen. Tentu saja, klaim-klaim demikian menyangkut perluasan yurisdiksi atau kedaulatan di luar jalur maritim, bahkan jauh melampaui lebar zona-zona tambahan yang mana terhadapnya negara-negara tertentu telah mengajukan klaim. Misalnya, landas kontinen Amerika Serikat secara resmi dilukiskan sebagai berikut :“…..hampir seluas kawasan yang tercakup dalam Lousiana Purchase, yaitu 827.000 mil persegi, dan hampir dua kali luas 13 koloni asli, yaitu 400.000 mil persegi. Sepanjang garis pantai Alaska landas kontinen tersebut membentang beratus-ratus mil dibawah laut Bering. Di pantai timur luas landas kontinen bervariasi antara 20 mil sampai 250 mil, dan sepanjang pantai Pasifik seluas 1 mil sampai 50 mil”.

  Luasnya suata kawasan-kawasan landas kontinen tersebut, maka ada sedikit analogi antara klaim-klaim ini dan klaim-klaim yang secara eksklusif guna mengawasi kawasan terbatas dasar laut di luar jalur maritim untuk kepentingan pengambilan mutiara, tiram dan ikan-ikan sedender

  

(sedentary fisheries) . Klaim-klaim yang lebih sempit ini bersandar pada

  pendudukan/okupasi suatu bagian dasar laut sebagai suatu res nullius, atau bersandar pada suatu hak pembuktian historis atau kuasi-historis atau atas dasar kepentingan masyarakat regional (misalnya peternakan mutiara di Teluk Persia) adalah suatu persoalan yang masih kontroversial mengenai apakah deklarasi yurisdiksi atau kedaulatan yang dinyatakan oleh negara- negara pesisir terkait pada tahun 1945-1951 itu telah memberikan sumbangan terhadap pembentukkan kebiasaan hukum internasional yang memberikan kepada negara-negara pantai hak-hak demikian atas landas kontinen mereka. Seperti akan terlihat, bagaimanapun doktrin landas kontinen telah diakui melalui konsensus umum dalam Konvensi Jenewa 1958 mengenai Landas Kontinen.

2. Keputusan-keputusan International Court of Justice dalam perkara Anglo-

  Norwegian Fisheries Case yang memperkuat metode dalam hal-hal tertentu penarikan garis dasar pada jarak tertentu dari garis pantai negara pesisir terkait, dari mana garis dasar lebar jalur maritim di ukur, sebagai pengganti tanda air surut yang merupakan akhir garis jalur maritim. Mengenai penetapan batas jalur maritim dengan menunjuk pada metode garis pangkal, seperti telah dikemukakan di atas, merupakan akibat dari keputusan International Court of

  Justice tahun 1951 dalam Anglo-Norwegian Fisheries Case.

  Dalam keputusan tersebut Mahkamah mengatakan bahwa Dekrit Norwegia bulan Juli 1935 yang menetapkan batas suatu zona penangkapan ikan ekslusif sepanjang hampir 1000 mil dari garis pantai Laut Utara pada keluasan tertentu, yang berlaku sebagai jalur maritim dengan lebar empat mil (lebar yang dipakai oleh Pemerintah Norwegia) yang membentang dari garis pangkal lurus ditarik melalui 48 titik yang dipilih pada daratan utama atau pulau-pulau atau karang-karang pada jarak tertentun dari pantai, adalah tidak bertentangan dengan hukum internasional. Tampak dari keputusan mahkamah bahwa metode garis pangkal ini, yang dianggap lebih baik daripada tanda air surut, dapat diterima apabila suatu garis pantai menjorok ke dalam, atau apabila terdapat suatu lingkaran pinggir kepualuan di sekitarnya yang berdekatan, dengan ketentuan bahwa penarikan garis pangkal demikian tidak menyimpang yang terletak di bagian dalam garis-garis pangkal itu cukup berdekatan dengan daratan utama yang sebenarnya sama dengan perairan pedalaman.

  Apabila syarat-syarat untuk diperkenankannya penarikan garis pangkal ini dipenuhi, maka perhitungan dapat dilakukan untuk menentukan garis pangkal khusus untuk kepentingan ekonomi khususnya untuk kepentingan wilayah terkait, apabila kepentingan-kepentingan tersebut telah merupakan hal yang berjalan cukup lama. Apabila tidak ada syarat-syarat geografis yang diperlukan yang dapat merujuk pada sifat dari garis pantai dan pulau-pulau yang berdekatan, maka kepentingan-kepentingan ekonomi semata-mata dari negara pantai tidak dapat begitu saja membenarkan pengalihan kepada metode garis pangkal. Garis- garis pangkal tersebut hendaknya diberitahukan secara layak dan digambarkan dalam peta-peta yang dipublikasikan. Pokok Pemikiran International Court of

  

Justice dalam Anglo-Norwegian Fisheries Case adalah pertimbangannya

  bahwa jalur maritime bukanlah suatu perluasan semu (artificial extension) terbatas dari wilayah kekuasaan daratan suatu negara sebagai suatu wilayah tambahan yang berdampingan dimana demi alasan-alasan ekonomi, keamanan, dan geografis negara pesisir itu berhak untuk melaksanakan hak- hak berdaulatan eksklusif, yang hanya tunduk pada pembatasan-pembatasan seperti hak lintas damai dari kapal-kapal asing.

  Sementara itu, mulai dengan sidang pertamanya pada tahun 1949, rezim laut lepas dan rezim jalur maritim telah menarik perhatian Komisi Hukum sebagaimana yang tercantum di antara topik-topik yang berkaitan dengan kodifikasi yang dipandang perlu dan memungkinkan oleh Komisi. Pengkajian atas dua masalah itu berkembang hingga delapan kali sidang, 1949-1956. Pada saat belangsungnya sidang ke 4 tahun 1952, Komisi menyatakan pilihan istilah “laut teritorial” untuk mengganti istilah jalur maritim, dan istilah ini sejak saat itu dipakai secara universal, dengan demikian mengganti dan mengubah istilah usang “jalur maritim” dan “perairan teritorial” (territorial

  

waters) suatu istilah untuk menyatakan bagian pantai yang tunduk dibawah

kedaulatan negara pesisir.

  Pada sidang ke 8 tahun 1956 Komisi menyusun rancangan akhir naskah ketentuan mengenai laut territorial, dengan memasukkan perubahan- perubahan setelah berkomunikasi dengan pemerintah negara-negara, dan mengesahkan laporan akhir mengenai ketentuan hukum laut lepas, yang berisi 73 rancangan pasal, yang dimaksudkan untuk menyusun suatu ketentuan hukum tunggal yang terkoordinasi dan sistematis. Hal-hal ini terjadi sebelum Majelis Umum PBB pada tahun 1956, dan sesuai dengan rekomendasi- rekomendasi Komisi, melalui resolusi tanggal 27 Februari 1957, memutuskan untuk menyelenggarakan suatu konferensi internasional yang berwenang penuh “untuk mengkaji hukum laut, dengan memperhatikan bukan saja aspek hukum melainkan juga aspek-aspek teknis, biologi, ekonomi, dan politik dari permasalahan, dan mewujudkan hasil-hasil pekerjaannya dalam satu Konvensi internasional atau lebih ataupun instrumen-instrumen hukum lain yang a.

  Jenewa mulai dari tanggal 24 Februari 1958 sampai dengan 27 April 1958, dan tugas yang diselesaikannya dimuat dalam empat buah konvensi, yaitu Konvensi mengenai Laut Teritorial dan Jalur Tambahan, Konvensi mengenai Laut Lepas, Konvensi mengenai Perikanan dan Konservasi sumber-sumber Daya Hayati di Laut Lepas, dan Konvensi mengenai Landas Kontinen.

  Konvensi-Konvensi ini mulai berlaku, berturut-turut, tanggal 10 September 1965, 30 September 1962, 20 Maret 1966 dan 10 Juni 1964, dan hingga akhir tahun 1979, konvensi-konvensi itu telah diikutsertai, secara berturut-turut, oleh 45 negara, 56 negara, 35 negara, dan 53 negara. Konferensi telah mengesahkan sebagai tambahan sebuah Protokol Penandatanganan Bebas-Pilih yang berkaitan dengan Penyelesaian Wajib atas Sengketa-sengketa (Optional Protocol of Signature concerning the

  

Compulsory Settelement of Disputes) yang kemudian berlaku mulai

  tanggal 30 September 1962, yang hingga pengunjung tahun 1979 pesertanya mencapai 39 negara. Meskipun telah tercapai kesepakatan dalam tingkat yang besar pada Konferensi mengenai sejumlah besar pokok permasalahan penting, namun dua masalah masih belum berhasil diselesaikan, yaitu lebar laut teritorial dan batas wilayah penangkapan ikan. Sesudah berakhirnya Konferensi 1958, Majelis Umum melalui resolusi yang dikeluarkan tanggal 10 Desember 1958 meminta Sekretaris Jenderal PBB untuk menyelenggarakan Konferensi PBB mengenai Hukum

  Laut yang kedua untuk memikirkan lebih lanjut dua masalah yang belum diselesaikan ini.

  b.

  

Lebih dari 80 negara diwakili pada Konferensi PBB yang kedua ini, yang

  dilangsungkan di Jenewa mulai dari tanggal 16 Maret 1960 sampai dengan

  26 April 1960 dengan hasil yang tidak begitu meyakinkan menyangkut kedua permasalahan tersebut, meskipun Konferensi menyetujui suatu resolusi yang menegaskan perlunya bantuan teknik bagi penangkapan ikan. Satu masalah yang belum termasuk dalam laporan Komisi Hukum Internasional yang diajukan kepada Majelis Umum tahun 1956 adalah mengenai kebebasan untuk akses (free acces) ke laut bagi negara-negara tidak berpantai (land-locked States). Namun demikian, persoalan ini dimuat dalam suatu memorandum yang diajukan ke Konferensi PBB mengenai Hukum Laut yang Pertama oleh suatu konferensi pendahuluan mengenai negara-negara tidak berpantai yang diselenggarakan di Jenewa mulai tanggal 10 Februari 1958 sampai dengan 14 Februari 1958, yang berarti seminggu lebih sedikit sebelum pembukaan Konferensi PBB.

  Memorandum ini menyebabkan Konferensi yang diselenggarakan berikutnya menetapkan salah satu dari Komite-komite utamanya yaitu Komite Kelima dengan mandat membahas persoalan akses ke laut bagi negara-negara tidak berpantai. Hasilnya, tidak ada konvensi tersendiri mengenai pokok persoalan ini yang dikeluarkan oleh Konferensi PBB akan tetapi dimuat dalam beberapa ketentuan dari Konvensi mengenai berpantai, dan Pasal 3 dari Konvensi yang disebut terakhir secara tegas dan spesifik mengatur persoalan ini. Selain dari pada itu, menyusul suatu resolusi yang dikeluarkan oleh Konferensi PBB, pertama mengenai Perdagangan dan Pembangunan (First United Nations Conference on

  

Trade and Development) yang diselenggarakan di Jenewa bulan Juni 1964,

  Majelis Umum memutuskan, pada tanggal 10 Februari 1965, untuk menyelenggarakan konferensi internasional yang berwenang penuh untuk memikirkan pokok persoalan mengenai perdagangan transit bagi negara- negara tidak berpantai, dan untuk mewujudkan hasilnya dan suatu konvensi dan instrumen-instrumen hukum lainnya yang dianggap sesuai oleh konferensi tersebut. Konferensi PBB mengenai Perdagangan Transit bagi Negara-negara Tidak Berpantai (United Nations Conference on the

  

Transit Trade of Land-Locked Countries) diadakan di New York mulai

  tanggal 7 Juni 1965 sampai dengan 8 Juli 1965, dengan keikutsertaan dari wakil-wakil 58 negara, dan mengeluarkan Konvensi mengenai Perdagangan Transit bagi Negara-negara Tidak Berpantai (Convention on the Transit Trade of Land Locked States).

  Di luar fakta bahwa keempat konvensi 1958 dan konvensi 1965 telah menetapkan secara kolektif suatu rezim yang mengatur pemanfaatan, dan hak-hak yang berkaitan dengan laut lepas dan laut territorial, instrument- instrumen ini juga sesungguhnya telah membuka jalan bagi dan menetapkan landasan fundamental bagi Konvensi PBB mengenai Hukum pada tanggal 10 Desember 1982. Perkembangan-perkembangan yang timbul sejak tahun 1960 sampai dengan Konferensi PBB 1982 mengenai hukum laut adalah : Lebar laut territorial secara tepat. Masalah lintas damai bagi kapal-kapal perang setiap waktu melintasi selat-selat yang merupakan jalan raya maritim internasional, dan yang seluruhnya merupakan perairan laut territorial. Hak lintas, dan terbang lintas dalam hubungannya dengan perairan kepulauan Masalah perlindungan dan konservasi spesies-spesies khusus untuk kepentingan-kepentingan ilmiah

   atau fasilitas kepariwisataan.

B. Wilayah Negara dalam Hukum Internasional

  Batas wilayah suatu negara menurut hukum internasional dapat ditentukan

  

  melalui : 1.

  Perjanjian dengan negara yang berbatasan 2. Keadaan alam

  Daerah atau wilayah adalah tempat berlakunya susunan kekuasaan negara, dimana batas-batas daerah negara ini ditentukan dengan perjanjian. Perjanjian dengan negara-negara tetangganya baik perjanjian yang tertulis maupun yang tidak tertulis.

  Wilayah negara dalam hukum internasional terdiri atas : a.

   Wilayah darat

  Wilayah darat adalah daerah dipermukaan bumi didalam batas-batas tertentu didalam tanah dibawah permukaan bumi dalam batas-batas itu pula sejauh-jauh dapat dicapai oleh manusia. Ini berarti kekayaan alam yang ada di bumi dalam batas negara menjadi hak dari negara itu.

  b.

   Wilayah laut

  Wilayah laut adalah laut beserta tanah yang ada di bawahnya. Tanah di bawah laut adalah dasar laut dan tanah yang ada di bawahnya. Wilayah laut ada yang dikuasai negara dan ada yang tidak dikuasai negara. Negara yang mengusai laut adalah negara yang wilayah daratannya berbatasan dengan laut hukum internasional yang mengatur hak negara atas wilayah laut adalah hukum internasional kebiasaan dan perjanjian internasional. Adapun wilayah laut suatu

  

  negara meliputi : a.

  Wilayah laut pedalaman b. Wilayah laut teritorial c. Wilayah ekonomi ekslusif d. Wilayah landas kontinen e. Wilayah laut negara kepulauan 3. Wilayah udara

  Wilayah udara adalah ruang udara yang ada diatas wilayah daratan, wilayah laut pedalaman, wilayah laut teritorial, dan wilayah laut kepulauan

4. Wilayah konvensional

  Wilayah konvensional adalah tempat yang menurut kebiasaan kebiasaan hukum internasional diakui sebagai daerah kekuasaan suatu negara, walaupun tempat itu sebenarnya sangat nyata ada didalam wilayah lain. Contoh-contoh daerah konvensional ialah : 1.

  Kapal-kapal yang berlayar dibalik bendera suatu negara 2. Tempat-tempat kedutaan atau perwakilan tetap suatu negara diluar negeri Mengenai daerah besar kecilnya daerah negara menurut pendapat J.J.

  Rousseau bahwa negara itu sebaiknya jangan terlampau kecil supaya dapat bertahan dan jangan pula terlampau besar supaya dapat diatur sebaik-baiknya.

  Besar kecilnya daerah negara pertama-tama ditentukan oleh besar kecilnya bangsa

  

  dan persebarannya. Disamping itu masih banyak unsur-unsur lain yang ikut menentukan besar kecilnya daerah negara. Sekarang diseluruh dunia ini tiap bidang tanah tiap sekelumit daerah adalah wilayah dari negara yang lain atau yang satu. Tiada tanah yang bukan wilayah suatu negara. Menempuh wilayah negara asing tanpa ijin, dianggap pelanggaran atas sauvenrenteit negara itu. Dan wilayah dari suatu negara adalah diatas tanah suatu negara. Sedangkan batas-batas laut teritorial ditetapkan oleh masing-masing negara yang pada umumnya adalah 3 mil dari pulau yang terluar.

C. Pengaturan Hukum Laut Indonesia 1.

  Undang-Undang No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan atas UNCLOS 1982 Pada tanggal 31 Desember 1985 pemerintah mengeluarkan Undang-

  Undang No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the

  

Law of the Sea (Konvensi PBB tentang Hukum Laut) untuk meratifikasi Konvensi

  PBB tentang Hukum Laut pada tahun 1982. Menurut UNCLOS, Indonesia berhak untuk menetapkan batas-batas terluar dari berbagai zona maritim dengan batas-

  

  batas maksimum ditetapkan sebagai berikut: a.

  Laut Teritorial sebagai bagian dari wilayah negara : 12 mil-laut; b. Zona Tambahan dimana negara memiliki yurisdiksi khusus : 24 mil-laut; c. Zona Ekonomi Eksklusif : 200 mil-laut, dan d. Landas Kontinen : antara 200 – 350 mil-laut atau sampai dengan 100 mil- laut dari isobath (kedalaman) 2.500 meter.

  Pada ZEE dan Landas Kontinen, Indonesia memiliki hak-hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber kekayaan alamnya. Di samping itu, sebagai suatu

  

  negara kepulauan Indonesia juga berhak untuk menetapkan: 1.

  Perairan Kepulauan pada sisi dalam dari garis-garis pangkal kepulauannya, 2. Perairan pedalaman pada perairan kepulauannya.

  Berbagai zona maritim tersebut harus diukur dari garis-garis pangkal atau garis-garis dasar yang akan menjadi acuan dalam penarikan garis batas.

  39

  2. Undang-Undang No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia Pada tanggal 8 Agustus 1996, Pemerintah menetapkan Undang-Undang

  No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, yang lebih mempertegas batas-batas terluar (outer limit) kedaulatan dan yurisdiksi Indonesia di laut, juga memberikan dasar dalam penetapan garis batas (boundary) dengan negara negara tetangga yang berbatasan, baik dengan negara-negara yang pantainya berhadapan maupun yang berdampingan dengan Indonesia.

  Pada dasarnya undang-undang ini memuat ketentuan-ketentuan dasar tentang hak dan kewajiban negara di laut yang disesuaikan dengan status hukum dari berbagai zona maritim, sebagaimana diatur dalarn UNCLOS. Batas terluar laut teritorial Indonesia tetap menganut batas maksimum 12 mil laut, dan garis pangkal yang dipakai sebagai titik tolak pengukurannya tidak berbeda dengan pengaturan dalam Undang-Undang No. 4/Prp. tahun 1960 yang disesuaikan dengan ketentuan baru sebagaimana diatur dalam UNCLOS.

3. Peraturan Pemerintah, No. 61 tahun 1998 tentang Daftar Koordinat Geografis

  Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia di sekitar Kepulauan Natuna, diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.

  Untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3) Undang- undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang menentukan bahwa Daftar Koordinat tersebut harus didepositkan di Sekretariat Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Undang-undang No. 6 tahun 1996 tersebut kemudian dilengkapi Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia di sekitar Kepulauan Natuna, yang kemudian dicabut dan digantikan dengan Peraturan Pemerintah No.

  38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia, dengan melampirkan daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia. Daftar koordinat ini tidak dimasukkan sebagai ketentuan dalam batang tubuh Peraturan Pemerintah ini dengan tujuan agar perubahan atau pembaharuan (updating) data dapat dilakukan dengan tidak perlu mengubah ketentuan dalam batang tubuh Peraturan Pemerintah ini. Lampiran- lampiran tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.

  Selain itu terdapat pula beberapa undang-undang yang dikeluarkan sebelum Indonesia meratifikasi UNCLOS pada tahun 1985 yang belum diubah yaitu: 1.

  Undang-undang No. 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia Undang-Undang ini dibuat berdasarkan ketentuan Konvensi Jenewa tentang Landas Kontinen tahun 1958 yang menganut penetapan batas terluar landas kontinen berbeda dengan UNCLOS. Dengan demikian perlu diadakan perubahan terhadap undang-undang ini dengan menyesuaikan sebagaimana mestinya ketentuan tentang batas terluar landas kontinen.

2. Undang-undang No. 5 tahun 1983 tentang ZEE Indonesia Menurut Undang-

  Undang ini di ZEE, Indonesia mempunyai hak-hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam hayati dengan mentaati ketentuan tentang pengelolaan dan konservasi. Batas terluar ZEE Indonesia ditetapkan sejauh 200 mil-laut.

  Sampai saat ini Indonesia belum mengumumkan zona tambahannya maupun memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penetapan batas terluar, maupun tentang penetapan garis batas pada zona tambahan yang tumpang tindih atau yang berbatasan dengan zona tambahan negara lain. Badan Pembinaan Hukum Nasional dari Departemen Kehakiman dan HAM pernah melakukan pengkajian dan menghasilkan suatu naskah akademik dan RUU tentang Zona Tambahan, namun sampai saat ini belum menjadi Undang-Undang.

  Ketentuan Pasal 47 ayat 8 dan 9 dari UNCLOS, garis-garis pangkal yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut harus dicantumkan dalam peta atau peta-peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk menegaskan posisinya. Sebagai gantinya dapat dibuat daftar koordinat geografis titik-titik yang secara jelas memerinci datum geodetik.