BAB II PERIZINAN DALAM PENDIRIAN PERUSAHAAN ASURANSI A. Perkembangan Usaha Perasuransian di Indonesia - Tinjauan Yuridis Kepemilikan Asing Terhadap Perusahaan Asuransi

BAB II PERIZINAN DALAM PENDIRIAN PERUSAHAAN ASURANSI A. Perkembangan Usaha Perasuransian di Indonesia Konsep yang mirip dengan filosofi asuransi dalam sejarah perkembangan

  peradaban manusia, sebenarnya telah dimulai sejak jaman kejayaan Yunani pada masa pemerintahan Alexander The Great (356-323 BC), seorang pembantunya yang bernama Antimenes memerlukan sangat banyak uang guna membiayai pemerintahannya pada waktu itu. Untuk mendapatkan uang tersebut Antimenes mengumumkan kepada para pemilik budak belian supaya mendaftarkan budak - budaknya dan membayar sejumlah uang tiap tahun kepada Antimenes. Sebagai imbalannya, Antimenes menjanjikan kepada mereka jika ada budak yang melarikan diri, maka dia akan memerintahkan supaya budak itu ditangkap, atau

   jika tidak dapat ditangkap, dibayar dengan sejumlah uang sebagai gantinya.

  Apabila ditelaah dengan teliti, uang yang diterima oleh Antimenes dari pemilik budak itu adalah semacam premi yang diterima dari tertanggung, sedangkan kesanggupan antimenes untuk menangkap budak yang melarikan diri atau membayar ganti kerugian karena budak yang hilang adalah semacam resiko yang dipikul oleh penanggung. Selanjutnya pada zaman Yunani banyak juga orang yang meminjamkan sejumlah uang kepada Pemerintah Kotapraja dengan janji bahwa pemilik uang tersebut diberi bunga sampai wafatnya dan bahkan setelah wafat diberi bantuan biaya penguburan. Jadi dapat dilihat perjanjian ini mirip dengan asuransi jiwa. Sehingga apabila ditelaah dengan teliti, maka dapat dipahami bahwa perjanjian-perjanjian tersebut merupakan peristiwa hukum

   permulaan dari perkembangan asuransi kerugian dan asuransi jiwa.

  Peristiwa - peristiwa hukum yang telah diuraikan di atas terus berkembang pada abad pertengahan. Di Inggris sekelompok orang yang mempunyai profesi sejenis membentuk 1 (satu) perkumpulan yang disebut gilde. Perkumpulan ini mengurus kepentingan anggota-anggotanya dengan janji apabila ada anggota yang kebakaran rumah, gilde akan memberikan sejumlah uang yang diambil dari dana gilde yang terkumpul dari anggota-anggota. Perjanjian ini banyak terjadi pada

   abad ke-9 dan mirip dengan asuransi kebakaran.

  Bentuk perjanjian seperti ini lebih lanjut berkembang di Denmark, Jerman, dan negara-negara eropa lainnya sampai pada abad ke-12. Pada abad ke-13 dan abad ke-14 perdagangan melalui laut mulai berkembang pesat. Akan tetapi, tidak sedikit bahaya yang mengancam dalam perjalanan perdagangan melalui laut.

  Keadaan ini mulai tepikir oleh para pedagang waktu itu untuk mencari upaya yang dapat mengatasi kemungkinan kerugian yang timbul melalui laut. Inilah titik awal

  

  perkembangan asuransi kerugian laut. Demikianlah permulaan perkembangan asuransi pada pengangkutan laut. Asuransi ini berkembang pesat terutama di Negara-negara pantai (coastal countries).

  Sesudah abad pertengahan, bidang asuransi laut dan asuransi kebakaran mengalami perkembangan yang sangat pesat terutama di negara-negara eropa barat, seperti di Inggris pada abad ke-17, kemudian di Perancis pada abad ke-18, dan terus ke negeri Belanda. Perkembangan pesat asuransi laut di Negara-negara 20 21 Ibid , hlm. 1.

  Ibid , hlm. 2. tersebut dapat dimaklumi karena Negara-negara tersebut banyak berlayar melalui laut dari dan ke Negara-negara seberang laut (overseas countries) terutama

  

  daerah-daerah jajahan mereka. Pada waktu pembentukan Code de Commerce Perancis awal abad ke-19, asuransi laut dimasukkan dalam kodifikasi. Pada waktu pembentukan Wetboek van Koophandel Nederland, di samping asuransi laut dimasukkan juga asuransi kebakaran, asuransi hasil panen, dan asuransi jiwa. Sementara di Inggris, asuransi laut diatur secara khusus dalam Undang-Undang

   Asuransi Laut (Marine Insurance Act) yang dibentuk pada tahun 1906.

  Perkembangan ilmu dan teknologi yang pesat pada abad ke -20 berdampak positif pada perkembangan usaha bidang perasuransian. Kegiatan usaha tidak hanya bidang asuransi, tetapi juga bidang penunjang asuransi. Pembangunan bidang prasarana transportasi sampai ke daerah pelosok mendorong perkembangan sarana transportasi darat, laut, dan udara serta meningkatkan mobilitas penumpang dari suatu daerah ke daerah bahkan negara lain. Ancaman bahaya lalu lintas juga makin meningkat, sehingga kebutuhan perlindungan terhadap barang muatan dan jiwa penumpang juga meningkat. Keadaan ini mendorong perkembangan perusahaan asuransi kerugian dan asuransi jiwa serta

  

asuransi social (social security insurance).

  Pembangunan bidang ekonomi ditandai oleh munculnya perusahaan besar yang memerlukan banyak modal melalui kredit, bangunan kantor, tenaga kerja yang membutuhkan jaminan perlindungan dari ancaman bahaya kemacetan, kebakaran, dan kecelakaan kerja. Hal ini mendorong perkembangan asuransi 23 24 Ibid, hlm. 4.

  I bid, hlm. 4. kredit, asuransi kebakaran, dan asuransi tenaga kerja. Perkembangan di bidang teknologi satelit komunikasi juga memerlukan perlindungan dari ancaman

   kegagalan peluncuran dan berfungsinya satelit, sehingga perlu diasuransikan.

  Masuknya asuransi ke Indonesia dimulai dari diberlakukannya Wetboek van

   Koophandel Nederland (KUH Dagang) berdasarkan asas konkordansi, di Hindia

  Belanda oleh Pemerintahan kolonial Belanda Melalui Staatsblad Nomor 23 Tahun 1847. Sehingga hal tersebut menyebabkan berlakukunya hukum asuransi bagi bangsa Indonesia sebagaimanayang dimaksud dengan asuransi dalam pasal Pasal 246 KUH Dagang adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang di harapkan, yang mungkin akan diderita karena sesuatu yang tak tertentu.

  Pemerintah kolonial Belanda pada masa pemerintahannya, memang melakukan penanaman perkebunan besar-besaran di Indonesia dan sekaligus melakukan bisnis perdagangan. Demi menjamin kelangsungan bisnisnya, maka kemudian pemerintahan Belanda di Indonesia melakukan sebuah sistem proteksi finansial bernama asuransi dengan tujuan sebagai bentuk perlindungan terhadap resiko-resiko kerugian yang mungkin terjadi. Perlindungan ini diterapkan di

  26 27 Ibid, hlm. 4.

  Asas konkordansi adalah asas yang melandasi untuk diberlakukannya hukum eropa atau

belanda pada masa itu untuk diberlakukan juga kepada bangsa pribumi / Indonesia. Sehingga

hukum eropa yang diberlakukan kepada pihak belanda pada masa itu, dikenai juga oleh bangsa

Indonesia. Sehingga jelas asas konkordansi adalah satu asas pemberlakuannya hukum belanda pada masa itu kepada bangsa pribumi yaitu bangsa Indonesia. sektor perkebunan dari mulai penanaman pohon, panen hingga di hasil kebun

   diperdagangkan.

  Saat itu perusahaan-perusahaan asuransi yang ada merupakan Kantor Cabang dari Perusahaan Asuransi yang berkantor pusat di Belanda, Inggris dan di negeri lainnya. Dengan sistem monopoli yang dijalankan di Hindia Belanda, perkembangan asuransi kerugian di Hindia Belanda terbatas pada kegiatan dagang dan kepentingan bangsa Belanda, Inggris, dan bangsa Eropa lainnya. Manfaat dan peranan asuransi belum dikenal oleh masyarakat, lebih-lebih oleh masyarakat pribumi. Jenis asuransi yang telah diperkenalkan di Hindia Belanda pada waktu itu masih sangat terbatas dan sebagian besar terdiri dari asuransi kebakaran dan pengangkutan. Asuransi kendaraan bermotor masih belum memegang peran, karena jumlah kendaraan bermotor masih sangat sedikit dan hanya dimiliki oleh Bangsa Belanda dan Bangsa Asing lainnya. Pada zaman penjajahan tidak tercatat adanya perusahaan asuransi kerugian satupun. Selama terjadinya Perang Dunia II kegiatan perasuransian di Indonesia praktis terhenti, terutama karena ditutupnya

   perusahaan- perusahaan asuransi milik Belanda dan Inggris.

  Perkembangan asuransi di Indonesia dimulai sejak bergabungnya Asuransi Bendasraya dengan PT Umum Internasional Underwriter (UIU) menjadi PT Asuransi Jasa Indonesia atau Jasindo yang merupakan perusahaan asuransi milik negara disamping Taspen, Asabri dan Jamsostek yang kini bernama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Semenjak tahun 1980, perkembangan 28 Sejarah Perkembangan Asuransi Di Indonesia Dan Pengertiannya, http://www.berjibaku.com/2014/12/ (diakses tanggal 25 Januari 2015). 29 http://ananlisa.blogspot.com/2012/11/ (diakses Tanggal 25

  asuransi di Indonesia mengalami peningkatan yang sangat pesat. Hal tersebut terlihat dari maraknya berbagai perusahaan asuransi asing dan lokal yang mulai membuka bisnis di Indonesia. Beberapa diantaranya seperti Allianz, Prudential, AXA, AIA, Cigna, Manulife, dan lain sebagainya. Salah satu perusahaan asuransi dengan peserta terbesar di Indonesia saat ini adalah asuransi BPJS dengan jumlah peserta sebanyak 131,9 juta jiwa (tahun 2014) yang akan diproyeksikan akan mencapai jumlah 168 juta pada tahun 2015 dan 257,5 juta jiwa pada tahun 2019

   mencakup seluruh populasi Indonesia.

  Seiring dengan perkembangan asuransi di Indonesia maka peraturan tentang asuransi juga semakin mengalami perkembangan, dimana pasca kemerdekaan Indonesia hanya memiliki KUH Dagang sebagai instrumen aturan yang mengatur tentang perasuraansian, kemudian pada tahun 1992 pemerintah Indonesia mengundangkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian yang menjadi era baru dalam perkembangan usaha asuransi di Indonesia saat itu. Karena begitu pesatnya perkembangan perasuransian di Indonesia serta semakin kompleksnya permasalahan yang timbul maka pemerintah Indonesiapun kembali melakukan perubahan-perubahan mengenai Peraturan Pelaksana tentang penyelenggaraan usaha perasuransian.

  Melihat semakin tingginya pertumbuhan industri asuransi saat ini, maka pemerintahpun kembali berusaha melakukan penataan di bidang usaha perasuransian guna membrikan jaminan dalam pelaksanaan usaha asuransi sehingga pada tanggal 17 Oktober 2014 diundangkan undang-undang yang baru 30 Sejarah Perkembangan Asuransi Di Indonesia Dan Pengertiannya. yaitu Undang-Undang Perasuransian menggantikan undang-undang yang lama Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, dan Undang-Undang ini diharapkan mampu memberikan dampak yang baik bagi perkembangan usaha perasuransian di Indonesia.

B. Usaha Perasuransian di Indonesia Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian.

  Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Usaha Perasuransian merupakan wujud dari keseriusan pemerintah untuk memajukan industri asuransi di tanah air. Hal ini tentu disambut baik oleh pelaku-pelaku usaha di industri tersebut, karena Undang-Undang ini memiliki banyak perbedaan dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Asuransi, pada Undang-Undang ini banyak diatur aturan-aturan baru yang sebelumnya tidak diatur dalam Undang-Undang yang lama, serta banyak dilakukan penyempurnaan terhaadap aturan-aturan yang lama.

  1. Perusahaan asuransi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian meyebutkan perusahaan asuransi adalah perusahaan asuransi umum dan perusahaan asuransi

  

  jiwa. Perusahaan asuransi umum ialah perusahaan asuransi yang hanya dapat menyelenggarakan usaha asuransi umum, termasuk lini usaha asuransi kesehatan dan lini usaha asuransi kecelakaan diri dan usaha reasuransi untuk risiko perusahaan asuransi umum lain.Perusahaan asuransi jiwa adalah perusahaan asuransi yang hanya dapat menyelenggarakan usaha asuransi jiwa termasuk lini usaha anuitas, lini usaha asuransi kesehatan, dan lini usaha asuransi kecelakaan

  

  diri. Selain perusahaan asuransi umum dan usaha asuransi jiwa ruang lingkup usaha perasuransian dalam Undang-Undang Perasuransian juga dikenal perusahaan reasuransi yang dapat menyelenggarakan usaha reasuaransi serta perusahaan asuransi syariah dan perusahaan reasuransi syariah.

  Perusahaan asuransi syariah dan reasuransi syariah ini menyelenggarakan usaha asuransi syariah dan reasuransi syariah. Usaha asuransi syariah dan usaha reasuransi syariah berbeda dari usaha asuransi konvensional dan usaha reasuransi konvensional. Usaha asuransi dan usaha reasuransi yang dikelola secara konvensional menerapkan konsep transfer risiko, sedangkan usaha asuransi syariah dan Usaha Reasuransi Syariah merupakan penerapan konsep berbagi risiko (risk sharing). Mengingat perbedaan konsepsi yang mendasari penyelenggaraan usahanya, usaha asuransi syariah dan usaha reasuransi syariah yang saat ini diperkenankan dalam bentuk unit di dalam perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi konvensional akan didorong untuk diselenggarakan oleh

   entitas yang terpisah.

  2. Jenis usaha perasuransian Istilah perasuransiaan melingkupi kegiatan usaha yang bergerak di bidang usaha asuransi dan usaha penunjang usaha asuransi. Pasal 1 angka (4) Undang-

  Undang Perasuransian menentukan Usaha Perasuransian adalah segala usaha menyangkut jasa pertangtungan atau pengelolaan risiko, pertanggungan ulang risiko, pemasaran dan distribusi produk asuransi atau produk asuransi syariah, 32 Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian. konsultasi dan keperantaraan asuransi, asuransi syariah, reasuransi, atau reasuransi syariah, atau penilaian kerugian asuransi atau asuransi syariah.

  Pasal ini tidak ada lagi mengelompokan mengenai usaha asuransi dan penunjang usaha asuransi, sebagaimana dahulu diatur dalam Pasal 2 huruf (b) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 yang menyatakan bahwa usaha penunjang asuransi adalah usaha yang menyelenggarakan jasa keperantaraann penilai kerugian asuransi, dan jasa aktuaria. Pasal 1 Undang-Undang Perasuransian menentukan jenis usaha perasuransian terdiri dari: a.

  Usaha asuransi umum Usaha asuransi umum adalah usaha jasa pertanggungan risiko yang memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau

   pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti.

  b.

  Usaha asuransi jiwa Usaha asuransi jiwa adalah usaha yang menyelenggarakan jasa penanggulangan risiko yang memberikan pembayaran kepada pemegarlg polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak dalam hal tertanggung meninggal dunia atau tetap hidup, atau pembayaran lain kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak pada waktu tertentu yang diatur dalam pe{anjian, yang

   besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.

  c.

  Usaha reasuransi 34 Pasal 1 Angka (5) Undang-Undang- Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian.

  Usaha reasuransi adalah usaha jasa pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi, perusahaan penjaminan, atau perusahaan

   reasuransi lainnya.

  d.

  Usaha asuransi umum syariah Usaha asuransi umum syariah adalah usaha pengelolaan risiko berdasarkan prinsip syariah guna saling menolong dan melindungi dengan memberikan penggantian kepada peserta atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggungjawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita peserta atau pemegang polis karena terjadinya

   suatu peristiwa yang tidak pasti.

  e.

  Usaha asuransi jiwa syariah Usaha asuransi jiwa syariah adalah usaha pengelolaan risiko berdasarkan kinsip syariah guna saling menolong dan melindungi dengan memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggal atau hidupnya peserta, atau pembayaran Iain kepada peserta atau pihak lain yang berhak pada waktu tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan

   pada hasil pengelolaan dana.

  f.

  Usaha reasuransi syariah Usaha reasuransi syariah adalah usaha pengelolaan risiko berdasarkan prinsip syariah atas risiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi syariah,

   perusahaan penjaminan syariah, atau perusahaan reasuransi syariah lainnya. 36 37 Pasal 1 Angka (7) Undang-Undang- Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian. 38 Pasal 1 Angka (8) Undang-Undang- Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian.

Pasal 1 Angka (9) Undang-Undang- Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian.

  g.

  Usaha pialang asuransi Usaha pialang asuransi adalah usaha jasa konsultasi dan/atau keperantaraan dalam penutupan asuransi atau asuransi syariah serta penanganan penyelesaian klaimnya dengan bertindak untuk dan atas nama pemegang polis, tertanggung,

   atau peserta.

  h.

  Usaha pialang reasuransi Usaha pialang reasuransi adalah usaha jasa konsultasi dan/atau keperantaraan dalam penempatan reasuransi atau penempatar reasuransi syariah serta penanganan penyelesaian ttaimnya dengan bertindak untuk dan atas nama perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan penjaminan, perusahaan penjaminan syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi

   syariah yang melalukan penempatan reasuransi atau reasuransi syariah.

  i.

  Usaha penilai kerugian asuransi Usaha penilai kerugian asuransi adalah usaha jasa penilaian klaim dan/ atau

   jasa konsultasi atas objek asuransi.

  Undang-Undang Perasuransian mengalami perubahan terhadap jenis usaha asuransi, terutama adanya pembagian yang lebih jelas mengenai usaha asuransi syariah yaitu usaha asuransi umum syariah, usaha asuransi jwa syariah dan usaha reasuransi syariah.

  3. Bentuk hukum usaha perasuransian Undang-Undang Perasuransian dalam Pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa usaha perasuransian hanya dapat dilakukan oleh badan hukum Perseroan Terbatas, 40 41 Pasal 1 Angka (11) Undang-Undang- Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian.

Pasal 1 Angka (12) Undang-Undang- Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian.

  Koperasi, Usaha Bersama yang telah ada pada saat undang-undang ini diundangkan.

  a. Perseroan terbatas.

  Perseroan terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi atas saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut Undang-Undang PT), serta peraturan pelaksananya. Macam-macam Perseroan Terbatas yang disebutkan dalam Undang-Undang PT

  

  adalah sebagai berikut: 1)

  Perseroan tertutup ( PT biasa) Perseroan tertutup ( PT biasa) adalah jenis perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor PT tersebut, yaitu badan hukum yang merupakan ersekutuan modal, didirikan bedasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham. Modal dasar Perseroan Tertutup minimal sebesar Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Namun, undang-undang atau peraturan pelaksana yang mengatur bidang usaha tertentu dapat menentukan jumlah minimum modal dasar PT yang berbeda dari ketentuan yang telah ditetapkan tersebut.

  2) Perseroan Terbuka (PT Tbk)

  Perseroan Terbuka adalah perseroan publik atau perseroan yang melakukan penawaran umum saham di pasar modal, sesuai dengan ketentuan peraturan 43 Adib Bahari, Paduan Mendirikan Perseroan Terbatas (Jakarta: Pustaka yustisia, 2013), perundang-undangn di bidang pasar modal. Perseroan terbuka menjual sahamnya kepada masyarakat melalui pasar modal (go public). Jadi, sahamnya ditawarkan kepada umum, diperjualbelikan melalui bursa saham dan setiap orang berhak membeli saham tersebut. Tanda lahiriah yang mudah dipahami oleh masyarakat adalah dalam penyebutan nama PT selalui didahului ole frasa “Perseroan Terbatas” atau disingkat PT dan diakhiri dengan tambahan singkatan Tbk.

  Misalnya PT Indosat Tbk.

  Pendirian perseroan terbatas di Indonesia diatur di dalam Undang-Undang PT. Perseroan terbatas didirikan dengan perjanjian dengan minimum oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia. Setiap pendiri (sharenholder) perseroan wajib mengambil bagian berupa saham-saham pada saat perseroan didirikan. Dalam pembuatan perjanjian pendirian perusahaan atau akta pendirian perusahaan pendiri dapat diwakili oleh orang lain berdasarkan

   surat kuasa.

  Perseroan terbatas sebagai recht persoon harus mempunyai nama dan tempat kedudukan dalam wilayah negara republik Indonesia (ditentukan dalam akte pendirian dan segala perubahan anggaran dasar). Dalam rangka menjalankan kegiatan usahanya dan melakukan perbuatan hukum tertentu (surat menyurat, pengumuman yang diterbitkan oleh perseroan, barang cetakan, dan perjanjian)

   perseroan harus menyebutkan nama dan alamat lengkap perseroan.

  Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum perseroan. Untuk 44 Sujud Margono, Hukum Perusahaan Indonesia (Jakarta: Novindo Pustaka Mandiri, 2007), hlm. 27. memperoleh Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengenai pengesahan badan hukum atas perseroan terbatas, pendiri bersama-sama mengajukan permohonan melalui jasa teknologi informasi sistem administrasi badan hukum secara elektronik kepada menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

  

  tersebut dengan mengisi format isian yang sekurang-kurangnya memuat: 1)

  Nama dan tempat kedudukan perseroan 2)

  Jangka waktu pendirian perseroan 3)

  Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan 4)

  Jumlah modal dasar, modal ditempatkan dan modal disetor 5)

  Alamat lengkap perseroan Pengisian format isian tersebut harus didahului dengan pengajuan nama perseroan. Dalam hal pendiri tidak mengajukan sendiri permohonan dan pemberian pengesahan status badan hukum pendirian perseroan terbatas pendiri hanya dapat memberi kuasa badan hukum pendirian perseroan terbatas kepada notaris. Apabila format isian dan keterangan mengenai dokumen pendukung telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia langsung menyatakan tidak berkeberatan atas permohonan yang bersangkutan secara elektronik. Namun dalam hal permohonan pemberian pengesahan status badan hukum pendirian perseroan tidak sesuai format isian dan keterangan mengenai dokumen pendukung untuk memperoleh Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang pengesahan badan hukum yang telah ditentukan, maka selanjutnya Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia langsung

   memberikan penolakan dan alasanya.

  Paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pernyataan tidak keberatan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, pemohon yang bersangkutan wajib menyampaikan secara fisik surat yang dilampiri dokumen pendukung. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia segera menerbitkan keputusan tentang pengesahan badan hukum perseroan yang ditandatangani secara elektronik, apabila semua persyaratan telah dipenuhi secara lengkap, maka Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam waktu paling lama 14 (empat belas hari) akan menerbitkan keputusan tentang pengesahan badan hukum

   perseroan yang ditandatangani secara elektronik.

  Permohonan dan pemberian pengesahan status badan hukum pendirian perseroan terbatas, yang ditetapkan menggunakan sistem elektronik ini juga berlaku untuk pengajuan permohonan persetujuan segala perubahan tentang anggaran dasar dan keberatannya. Namun dengan pertimbangan banyak daerah- daerah tertentu dalam wilayah Indonesia yang belum memiliki fasilitas atau tidak dapat digunakannya jaringan elektronik tetap menggunakan sisitem manual.

   Untuk permasalahan ini akan ditentukan lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

  Menurut Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang PT, Menteri mengumumkan perseroan terbatas tersebut dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia (TBNRI). Tujuan perseroan terbatas diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia (TBNRI) agar masyarakat mengetahui bahwa perseroan 47 48 Sujud Margono, Op.Cit.,hlm. 31.

  Ibid , hlm. 32. secara hukum tersebut telah sah keberadaannya dan dapat melakukan kegiatan- kegiatan usaha yang sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan terbatas yang

   dimaksud.

  Perbuatan hukum (kegiatan usaha) yang dilakukan atas nama perseroan yang belum memperoleh status badan hukum, hanya boleh dilakukan oleh semua anggota direksi bersama-sama semua pendiri, semua anggota dewan komisaris perseroan dan terhadap mereka semua bertanggung jawab secara tagging renteng atas perbuatan hukum tersebut. Apabila perbuatan hukum dilakukan oleh pendiri untuk dan atas nama perseroan tetapi belum memperoleh status badan hukum, perbuatan hukum tersebut menjadi tangggung jawab pendiri yang bersangkutan dan tidak mengikat perseroan. Namun apabila dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak perseroan memperoleh status badan hukum, perseroan tersebut mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham (selanjutnya disebut RUPS) dan selanjutnya RUPS menyetujui perbuatan hukum tersebut diatas, maka karena hukum perbuatan hukum tersebut menjadi tanggung jawab peseroan setelah perseroan

   menjadi badan hukum.

  b. Koperasi Ketentuan hukum yang menjadi landasan operasional koperasi di wilayah

  Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak hanya sebatas pada konstitusi (UUD 1945), mulai dari Pedoman Kebijaksanaan Publik di sektor ekonomi (GBHN), peraturan dasar (UU), peraturan teknis pelaksanaan tentang perkoperasian (PP, Kepres, Kepmen), sampai dengan berbagai aspek dan asas hukum yang sering 50 Habib Adjie, Status Badan Hukum, Prinsip-Prinsip dan Tanggung Jawab Perseroan Terbatas (Bandung: Mandar Maju, 2008), hlm. 27. disebut dengan lex generalis dalam hukum perdata punmenjadi dasar kegiatan berkoperasi.

52 Berdasarkan defenisi diatas , maka koperasi Indonesia mempunyai cirri-ciri

  sebagai berikut: Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang

  Perkoperasian (selanjutnya disebut Undang-Undang Perkoperasian), pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 bagian kesatu, dinyatakan bahwa koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagi gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan.

  

  1) Adalah suatu badan usaha yang pada dasarnya untuk mencapai suatu tujuan memperoleh keuntungan ekonomis. Oleh karena itu koperasi diberi peluang untuk bergerak di segala sektor perekonomian, dimana saja dengan mempertimbangkan kelayakan usaha.

  2) Tujuannya harus berkaitan langsung dengan kepentingan anggota, untuk meningkatkan usaha dan kesejahteraannya. Oleh karena itu pengelolaan koperasi harus dilakukan secara produktif, efektif dan efesien, sehingga mampu mewujudkan pelayanan usaha yang dapat meningkatkan nilai tambah dan manfaat sebesar-besarnya kepada anggota.

  3) Keanggotaan koperasi bersifat sukarela tidak boleh dipaksakan oleh siapapun dan bersifat terbuka yang berarti tidak ada pembatasan ataupun diskriminasi dalam bentuk apapun. 52 Andjar Pachta W.,et al, Hukum Koperasi Indonesia Pemahaman, Regulasi, Pendirian, dan Modal Usaha (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 75. 53 R.T. Sutantya Rahardja Hadhikusuma, Hukum Koperasi Indonesia (Jakarta: Raja

  4) Pengelolaan koperasi dilakukan atas kehendak dan keputusan para anggota yang memegang serta melaksanakan kekuasaan tertinggi dalam koperasi. Karena pada dasarnya anggota koperasi adalah pemilik sekaligus pengguna jasa koperasi.

  5) Pembagian pendapatan atau sisa hasil usaha dalam koperasi ditentukan berdasarkan perimbangan jasa usaha anggota kepada koperasi, dan balas jasa terhadap modal yang diberikan kepada para anggota adalah terbatas.

  Artinya tidak melebihkan suku bunga yang berlaku dipasar dan tidak semata-mata didasarkan atas besarnya modal yang diberikan.

  6) Koperasi berprinsip mandiri. Ini mengandung arti bahwa koperasi dapat berdiri sendiri tanpa tergantung pada pihak lain, memiliki kebebasan yang bertanggung jawab, memiliki otonomi, swadaya, berani mempertanggungjawabkan perbuatan sendiri dan keinginan mengelola diri sendiri.

  Ketentuan 16 Undang-Undang Perkoperasian dinyatakan bahwa jenis koperasi didasarkan pada kesamaan kegiatan dan kepentingan ekonomi anggotanya . sedangkan dalam penjelasan pasal tersebut, mengenai jenis koperasi ini diuraikan seperti antara lain: koperasi simpan pinjam, koperasi konsumen, koperasi produsen, koperasi pemasaran, dan koperasi jasa. Untuk koperasi yang dibentuk oleh golongan-golongan fungsional seperti pegawai negeri, ABRI, bukanlah suatu jenis koperasi tersendiri. Mengenai penjenisan koperasi ini dapat ditinjau dari berbagai sudut pendekatan, jika ditinjau berdasarkan pendekatan sifat khusus dari aktivitas dan kepentingan ekonominya maka dikenal jenis-jenis koperasi antara lain koperasi batik, bank koperasi, koperasi asuransi dan

   sebagainya.

  Koperasi sebagi suatu badan usaha adalah merupakan suatu bentuk perhimpunan orang/orang dan badan hukum koperasi dengan kepentingan yang sama.Persyaratan untuk mendirikan koperasi yang biasanya telah tertuang dalam

  

  undang-undang maupun peraturan koperasi antara lain adalah sebagi berikut: 1)

  Orang-orang yang akan mendirikan koperasi harus memiliki kepentingan ekonomi yang sama 2)

  Orang yang akan mendirikan koperasi harus memiliki tujuan yang sama 3)

  Harus memenuhi syarat jumlah minimum anggota , seperti telah ditentukan oleh pemerintah 4)

  Harus memenuhi persyaratan wilayah tertentu, seperti telah ditentukan oleh pemerintah 5)

  Harus telah dibuat konsep anggaran dasar koperasi Setelah persyaratan tersebut telah ada, maka orang-orang yang memprakaarsai pembentukan koperasi tersebut mengundang untuk rapat pertama, sebagai rapat pendirian koperasi. Konsep anggaran dasar koperasi seharusnya telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh panitia pendiri, yang nantinya dibahas dan disahkan dalam rapat pendirian. Dalam konsep anggaran dasar tersebut para pendiri wajib memuat sekurang-kurangnya daftar nama pendiri, nama dan tempat kedudukan, jenis koperasi, maksud dan tujuan serta bidang usaha, ketentuan mengenai keanggotaan, ketentuan mengenai rapat anggota, ketentuan mengenai 54 Ibid , hlm.66. pengelolaan, ketentuan mengenai permodalan, ketentuan mengenai jangka waktu berdirinya, ketentuan mengenai pembagian sisa hasil usaha, ketentuan mengenai

  

  saksi. Dalam rapat pendirian ini selain disahkan anggaran dasar koperasi juga dibentuk pengurus dan pengawas. Akta pendirian atau anggaran dasar suatu koperasi yang dibuat (autentik) oleh dan ditandatangani di hadapan notaris harus dicantumkan nama-nama anggota atau orang-orang (yang dipercayai dan ditunjuk) untuk duduk dalam organ manajemen koperasi, seperti: pengurus, pengelola, dan pengawas yang bersedia menjalankan usaha koperasi. Selanjutnya setelah semua pendiri masing-masing menandatangani berita acara (minuta) pendirian atau anggaran dasar koperasi di hadapan notaris, maka notaris dalam waktu yang tidak terlalu lama (umumnya 1 (satu) minggu) akan memberikan

  

  Operasional koperasi beserta kelengkapannya telah dapat berjalan sejak hari ditandatanganinya minuta pendirian anggaran dasar koperasi dihadapan notaris tersebut. Dengan kata lain, koperasi tersebut dapat dikatakan telah terbentuk , berdiri dan dapat menjalankan kegiatannya akan tetapi sebatas ini koperasi tersebut belum memiliki status badan hukumnya.

  Badan hukum koperasi dapat diperoleh dengan mengajukan permohonan pengesahan kepada pejabat yang berwenang secara tertulis disertai akta pendirian koperasi dan berita acara rapat pendirian koperasi, dalam jangka paling lama 3 (tiga) bulan sejak diterimanya permohonan pengesahan, pejabat yang bersangkutan harus memberikan putusan apakah permohonan itu diterima atau 56 Pasal 8 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. ditolak. Setelah permohonan pengesahan tersebut diterima, maka sejak saat itu koperasi berstatus sebagai badan hukum. Pengesahan ini ditandai dengan diumumkannya pendirian koperasi tersebut ke dalam Berita Negara Republik Indonesia.

  Diperolehnya status sebagai badan hukum maka secara hukum, koperasi tersebut telah diakui keberadaannya sebagai orang (person) yang mempunyai kecakapan untuk bertindak, memiliki wewenang untuk mempunyai harta kekayaan, melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti: membuat perjanjian, menggugat dan menggugat di muka pengadilan dan sebagainya. Sehingga dengan demikian, sebagai suatu badan hukum maka koperasi adalah juga merupakan

   subyek hukum.

  c. Usaha Bersama Pada dasarnya, jenis badan Usaha Bersama (mutual) dapat dikategorikan sebagai persekutuan perdata (maatschaap), namun jenis ini tidak berbadan hukum. Persekutuan Perdata diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 1618 sampai dengan Pasal 1652, dan jika dilihat dari sifatnya, Usaha Bersama memenuhi kualifikas sebagai persekutuan perdata karena:

  1) Tidak ada ketentuan tentang besarnya modal minimal

  2) Dasar pembentukannya adalah perjanjian timbal balik

  3) Adanya inbreng artinya masing-masing sekutu diwajibkan memasukkan uang, barang-barang dan lainnya ataupun kerajinannya ke dalam perseroan itu

  4) Dengan tujuan membagi keuntungan di antara orang-orang yang terlibat

  

5) Bidang usahanya tidak dibatasi.

  Peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang bentuk badan usaha bersama sampai saat ini belum ada. Akan tetapi Undang-Undang Perasuransian memberikan pengaturan mengenai badan usaha berbentuk usaha bersama masih dapat tetap melakukan atau menjalankan kegiatan usahanya, akan tetapi pendirian perusahan baru dalam bentuk usaha bersama sudah tidak diperbolehkan lagi. Berdasarkan Undang-Undang Perasuaransian maka usaha bersama dinyatakan sebagai badan hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 ayat (2).

  4. Izin usaha perasuransian Undang-Undang Perasuransian memberikan perubahan kewenangan dalam pemberian izin, sebelum diundangkanya Undang-Undang Perasuransian, setiap pihak atau badan usaha yang akan melakukan kegiatan usaha di bidang usaha perasuransian wajib memperoleh izin menteri keuangan, kecuali bagi perusahaan yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosial ( Pasal 9 ayat (1) Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian). Khusus bagi Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosial, fungsi dan tugas sebagai penyelenggara program tersebut dituangkan dalam Peraturan 59 Badan Hukum Usaha Bersama Mutual Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi,

  Pemerintah. Ini berarti bahwa pemerintah memang menugaskan Badan Usaha Milik Negara yang bersangkutan untuk melaksanakan suatu Program Asuransi Sosial yang telah diputuskan untuk dilaksanakan oleh pemerintah. Oleh karena itu Badan Usaha Milik Negara Tersebut tidak perlu memperoleh izin dari Menteri Keuangan.

  Setelah Undang-Undang Perasuransian berlaku, maka segala kegiatan perasuransian diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan. Setiap Pihak dan badan usaha yang akan melakukan kegiatan usaha di bidang usaha perasuransian wajib terlebih dahulu mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan (Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Perasuransian). Baik dalam bentuk badan hukum Perseroan Terbatas, Koperasi maupun Usaha Bersama agar dapat melakukan kegiatan usaha di bidang usaha perasuransian harus mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuanagn.

  Untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus dipenuhi persyaratan mengenai :

   a.

  anggaran dasar b. susunan organisasi c. modal disetor d. dana Jaminan e. kepemilikan f. kelayakan dan kepatutan pemegang saham dan Pengendali g. kemampuan dan kepatutan direksi dan dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dewan pengawas syariah, aktuaris perusahaan, dan auditor internal h. tenaga ahli i. kelayakan rencana kerja j. kelayakan sistem manajemen risiko k. produk yang akan dipasarkan l. perikatan dengan pihak terafiliasi apabila ada dan kebijakan pengalihan sebagian fungsi dalam penyelenggaraan usaha m. infrastruktur penyiapan dan penyampaian laporan kepada Otoritas Jasa

  Keuangan n. konfirmasi dari otoritas pengawas di negara asal pihak asing, dalam hal terdapat penyerlaan langsung pihak asing dan o. hal lain yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan usaha yang sehat.

  Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara perizinan usaha antara lain berupa persyaratan kompetensi atau keahlian di bidang Usaha Perasuransian sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan termasuk bagi pengurus dan tenaga ahli asing.

  Otoritas Jasa Keuangan menyetujui atau menolak permohonan izin usaha Perusahaan Perasuransian paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan diterima secara lengkap.Hal ini berbeda dengan undang-undang yang lama karena pada undang-undang yang lama tidak ada diatur tentang batas waktu mengenai persetujuan atau penolakan permohonan izin asuransi melainkan diatur di dalam Peraturan-Pemerintah. Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menolak permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penolakan harus dilakukan secara tertulis dengan disertai alasannya. Dalam hal pembukaan kantor cabang Undang- Undang Perasuransian juga menentukan beberapa ketentuan:

   a.

  Perusahaan Perasuransian wajib melaporkan setiap pembukaan kantor di luar kantor pusatnya kepada Otoritas Jasa Keuangan.

  b.

  Kantor Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah di luar kantor pusatnya yang memiliki kewenangan untuk membuat keputusan mengenai penerimaan atau penolakan pertanggungan dan/ atau keputusan mengenai penerimaan atau penolakan klaim setiap saat wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan.

  c.

  Perusahaan Perasuransian bertanggung jawab sepenuhnya atas setiap kantor yang dimiliki atau dikelolanya atau yang pemilik atau pengelolanya diberi izin menggunakan nama Perusahaan Perasuransian yang bersangkutan. Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Dari ketentuan diatas dapat dilihat sangat jelas bahwa Otoritas Jasa Keuangan memiliki wewenang yang besar terhadap proses pendirian perusahaan asuransi di Indonesia.

  5. Pengaturan dan pengawasan usaha perasuransian Saat ini tugas pengaturan dan pengawasan terhadap industri perasuransian berada di bawah kewenangan Otoritas Jasa Keuangan. Dalam Pasal 60 ayat (1)

  Undang-Undang Perasuransian disebutkan dalam rangka pelaksanaan fungsi pengaturan, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan peraturan perundang- undangan di bidang perasuransian dan dalam Pasal 60 ayat (2) disebutkan dalam rangka

  

  pelaksanaan fungsi pengawasan Otoritas Jasa Keuangan berwenang: a.

  Menyetujui atau menolak memberikan izin Usaha Perasuransian b. Mencabut iain Usaha Perasuransian c. Menyetujui atau menolak memberikan pemyataarl pendaftaran bagi konsultan aktuaria, akuntan publik, penilai, atau pihak lain yang memberikan jasa kepada

  Perusahaan Perasuransian d. Membatalkan pemyataan pendaftaran bagi konsultan aktuaria, akuntan publik, penilai, atau pihak lain yang memberikan jasa kepada Perusahaan

  Perasuransian e. Mewajibkan Perusahaan Perasuransian menyampaikan laporan secara berkala f.

  Melakukan pemeriksaan terhadap Perusahaan Perasuransian dan pihak lain yang sedang atau pernah menjadi pihak terafiliasi atau memberikan jasa kepada Perusahaan Perasuransian g. Menetapkan Pengendali dari Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi

  Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah h. Menyetujui atau mencabut persetujuan suatu Pihak menjadi Pengendali

  Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau peru sahaan reasuransi syariah i.

  Mewajibkan suatu Pihak untuk berhenti menjadi Pengendali dari Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau peru sahaan reasuransi syariah j.

  Melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam

  Pasal 6 ayat (l) huruf c, dewan pengawas syariah, aktuaris peru sahaan, auditor internal, dan Pengendali k.

  Menonaktifkan direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dan/atau dewan pengawas syariah, dan menetapkan Pengelola Statuter l.

  Memberi perintah tertulis kepada: 1)

  Pihak tertentu untuk membuat laporan mengenai hal tertentu, atas biaya Perusahaan Perasuransian dan disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan

  2) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah untuk mengalihkan seba gran atau seluruh portofolio pertanggungannya kepada Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah lain

  3) Perusahaan Perasuransian untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu guna memenuhi ketentuar peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian

  4) Perusahaan Perasuransian untuk memperbaiki atau menyempurnakan sistem pengendalian intern untuk mengidentifrkasi dan menghindari pemanfaatan

  Perusahaan Perasuransian untuk kejahatan keuangan 5)

  Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah untuk menghentikan pemasaran produk asuransi tertentu dan 6)

  Perusahaan Perasuransian untuk menggantikan seseorang dari jabatan atau posisi tertentu, atau menunjuk seseorang dengan kualifikasi tertentu untuk menempati jabatan atau posisi tertentu, dalam hal orang tersebut tidak kompeten, tidak memenuhi kualifrkasi tertentu, tidak berpengalaman, atau melakukan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perasuransian

  7) Mengenakan sanksi kepada Perusahaan Perasuransian, pemegang saham, direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan pemegang saham, direksi, dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dewan pengawas syariah, aktuaris perusahaan, dan/atau auditor internal; dan m. Melaksanakan kewenangan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan.

  Pengaturan dan pengawasan yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan pada usaha perasuransian tersebut jika dilihat lebih baik dan lebih jelas dibandingkan

C. Pencabutan Izin Perusahaan Perasuransian

  Usaha perasuransian merupakan satu jenis usaha di bidang jasa yang memberikan jasa proteksi. Oleh karena itu dalam tata kehidupan pada umumnya, sehingga mempunyai karakter yang khusus di bandingkan dengan jenis usaha lain. Mengingat sifatnya yang khusus tadi, maka pada usaha ini perlu diatur secara

   khusus mengenai pembinaan dan pengawasannya.

  Setiap Perusahaan Perasuransian yang tidak memenuhi ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian serta peraturan pelaksananya yang berkenaan dengan perizinan usaha, kesehatan keuangan, penyelenggaraan usaha, penyampaian laporan, pengumuman neraca dan penghitungan laba rugi tentang pemeriksaan langsung dikenakan sanksi peringatan, sanksi pembatasan kegiatan usaha sanksi pencabutan

  

  izin usaha. Sanksi pembatasan kegiatan usaha dapat dilakukan antara lain dalam

  

  bentuk: 1.

  Larangan melakukan penutupan pertanggungan baru bagi Perusahaan Asuransi; 2. Larangan melakukan penutupan pertanggungan ulang yang baru bagi

  Perusahaan Reasuransi; 3. Larangan melakukan jasa keperantaraan bagi Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi; 63 Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm. 246. 64 65 Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., hlm.46.

  Penjelasan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang

4. Larangan melakukan jasa konsultasi aktuaria bagi Perusahaan Konsultan

  Aktuaria; 5. Larangan melakukan jasa penilaian kerugian bagi Perusahaan Penilai

  Kerugian Asuransi; 6. Larangan melakukan jasa pemasaran bagi Agen Asuransi.

  Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian memberikan kepada Otoritas Jasa Keuangan kewenangan mengenakan sanksi administratif kepada Setiap Orang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan ini dan peraturan pelaksanaannya. Sanksi administratif

  

  sebagaimana dimaksud adalah: 1.

  Peringatan tertulis 2. Pembatasan kegiatan usaha, untuk sebagian atau seluruh kegiatan usaha 3. Larangan untuk memasarkan produk asuransi atau produk asuransi syariah untuk lini usaha tertentu

  4. Pencabutan izin usaha 5.

  Pembatalan pernyataan pendaftaran bagi pialang asuransi, pialang reasuransi, dan agen asuransi

  6. Pembatalan pernyataan pendaftaran bagi konsultan alrtuaria, akuntan publik, penilai, atau pihak lain yang memberikan jasa bagi perusahaan perasuransian

  7. Pembatalan persetujuan bagi lembaga mediasi atau asosiasi 8.

  Denda administratif

  9. Larangan menjadi pemegang saham, pengendali, direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan pemegang saham, pengendali, direksi, dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud pada perusahaan perasuransian.

  Untuk pencabutan izin perusahaan perasuransian dapat dilakukan karena beberapa hal yaitu :

  1. Pembubaran perusahaan Perusahaan Perasuransian yang menghentikan kegiatan usahanya wajib terlebih dahulu melaporkan rencana penghentian kegiatan usaha kepada

  Otoritas Jasa Keuangan, setelah menyelesaikan seluruh kewajibannya, Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha Perusahaan Perasuransian yang bersangkutan. Setelah dicabut izinya maka perusahaan tersebut harus

   menghentikan segala kegiatan usahanya.

  2. Keadaan berbahaya Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menilai kondisi Perusahaan

  Perasuransian membahayakan kepentingan Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta, Otoritas Jasa Keuangan dapat mengenakan sanksi pencabutan izin

   usaha tanpa didahului pengenaan sanksi administratif yang lain.

  3. Tidak menjalankan usaha

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Aparat Kepolisian Yang Menyebabkan Kematian(Studi Putusan Nomor : 370/Pid.B/2013/Pn.Sim)

0 0 29

BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PENGAWASAN PENJUALAN OBAT - Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha Apotek Terhadap Obat Yang Mengandung Cacat Tersembunyi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsu

0 0 29

1 BAB I PENDAHULUAN - Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha Apotek Terhadap Obat Yang Mengandung Cacat Tersembunyi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Studi Pada Apotek Yakin Sehat)

0 0 17

BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM A. Tinjauan Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian - Perjanjian Pelayanan Kesehatan Pasien Kurang Mampu Antara Pihak Rumah Sakit Umum Dengan Pasien

0 0 24

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Perjanjian Pelayanan Kesehatan Pasien Kurang Mampu Antara Pihak Rumah Sakit Umum Dengan Pasien

0 0 12

Analisis Yuridis Penanganan Dugaan Penyimpangan Kredit Perbankan Oleh Otoritas Jasa Keuangan

0 0 37

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Penanganan Dugaan Penyimpangan Kredit Perbankan Oleh Otoritas Jasa Keuangan

0 0 18

BAB II MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL TERHADAP KONFLIK WILAYAH PERAIRAN MENURUT HUKUM INTERNASIONAL A. Dasar Penetapan Perbatasan Negara - Resolution Of Bangladesh-India Maritime Boundary Dalam Model Penyelesaian Sengketa Terhadap Laut Cina

0 1 57

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. - Resolution Of Bangladesh-India Maritime Boundary Dalam Model Penyelesaian Sengketa Terhadap Laut Cina Selatan

0 0 20

Resolution Of Bangladesh-India Maritime Boundary Dalam Model Penyelesaian Sengketa Terhadap Laut Cina Selatan

0 0 11