Kebangkitan Ekonomi Jepang Pada Zaman Meiji
KEBANGKITAN EKONOMI JEPANG PADA ZAMAN MEIJI
MEIJI JIDAI NO NIHON NO KEIZAI NO FUKKATSU
SKRIPSI
Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam bidang
ilmu Sastra Jepang
OLEH :
DEWI DESNI YANTI S NIM : 060722006
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS SASTRA
PROGRAM STUDI EKSTENSI SASTRA JEPANG
MEDAN
(2)
KEBANGKITAN EKONOMI JEPANG PADA ZAMAN MEIJI
MEIJI JIDAI NO NIHON NO KEIZAI NO FUKKATSU
SKRIPSI
Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam bidang
ilmu Sastra Jepang
Pembimbing
Drs. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D NIP : 131 422 712
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS SASTRA
(3)
Disetujui oleh : Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara Medan
Program Studi Ekstensi S-1 Sastra Jepang Ketua Program Studi,
Drs. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D NIP : 131 422 712
(4)
Pengesahan Diterima Oleh :
Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Sastra dalam bidang Ilmu Sastra Jepang pada Fakultas Sastra Jepang.
Pada :
Tanggal :
Pukul :
Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara
Dekan
Drs. Syaifuddin, M.A., Ph.D NIP : 131 284 310
Panitia Ujian
No. Nama Tanda Tangan
1. Drs. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D ( ) 2. Mhd. Pujiono, SS., M.Hum ( ) 3. Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum ( )
(5)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...i
DAFTAR ISI...iii
BAB I PENDAHULUAN...1
1.1Latar Belakang Masalah ...1
1.2 Perumusan Masalah ...3
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan...4
1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori...4
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ...7
1.6 Metode Penelitian ...8
BAB II RESTORASI MEIJI ATAU MODERNISASI JEPANG ...10
1.1Runtuhnya Pemerintahan Tokugawa ...10
1.2Latar belakang Restorasi Meiji ...14
1.3 Gokajo no Goseimon ...16
1.4 Han Heichi Ken...19
BAB III KEBANGKITAN EKONOMI JEPANG PADA ERA RESTORASI MEIJI 3.1 Kondisi Perekonomian sebelum Restorasi Meiji (Feodalisme)...22
3.2 Lahirnya Zaibatsu ...24
3.2 Kemajuan Ekonomi Jepang Sejak Restorasi Meiji...27
3.2.1 Perdagangan dengan Luar Negeri ...27
3.2.2 Semangat Kerja Orang Jepang...29
(6)
4.1 Kesimpulan ...45 4.2 Saran ...47 DAFTAR PUSTAKA
(7)
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Sepanjang sejarah, kekaisaran Jepang beberapa kali mengalami masa pasang surut. Dua periode penting tersebut adalah masa Kaisar Meiji (1868-1912) dan Kaisar Hirohito (1926-1989). Pada zaman Meiji, Jepang melakukan reformasi yang kemudian dikenal dengan Restorasi Meiji.
Restorasi Meiji dikenal juga dengan sebutan Meiji Ishin, Revolusi, atau
Pembaruan, adalah rangkaian kejadian yang menyebabkan perubahan pada
struktur politik dan sosial Jepang. Restorasi Meiji terjadi pada tahun 1866 sampai 1869, tiga tahun yang mencakup akhir zaman Edo dan awal zaman Meiji. Sebelum 1853 Jepang betul–betul merupakan negara yang sangat tertutup dan diperintah dengan cara yang sangat feodalistik. Dorongan modernisasi Jepang berawal dari hadirnya angkatan laut Amerika dibawah pimpinan Laksamana Perry. Beliau minta pintu gerbang Jepang dibuka dan minta berunding dengan tujuan agar Jepang membuka diri terhadap pihak asing, berdagang dan membolehkan kapal asing merapat di pelabuhan Jepang.
Mulai saat itulah bangsa Jepang terbuka matanya bahwa ada kekuatan-kekuatan besar diluar mereka. Semangat Bushido para samurai dengan pedang-pedangnya ditantang untuk mampu melawan kekuatan Amerika, orang kulit putih, orang Barat (sekalipun orang Amerika itu datangnya dari Timur).
(8)
Sejak saat itu mereka berpikir untuk menjadi sekurang-kurangnya sama kuatnya dengan orang asing.
Restorasi Meiji menghapus sistem feodal yang diterapkan oleh Tokugawa, sehingga terbukalah peluang untuk rakyat Jepang terhadap pendidikan yang meniru sistem pendidikan dunia Barat. Selain itu juga menerapkan sistem moneter dan mendatangkan tenaga-tenaga ahli serta mengimpor mesin-mesin pabrik untuk ditiru, sehingga Jepang mampu membangun dan memodernisasikan industrinya.
Kaisar Meiji melakukan berbagai perubahan dalam pemerintahan dan menerapkan sistem luar. Raja itu ingin mengubah Jepang menjadi negara yang kuat secara ekonomi dan militer. Dengan kekuatan itu, Kaisar Meiji ingin melindungi negaranya dari pengaruh dan penjajahan Barat yang sudah lama ingin menduduki Jepang. Pemerintahan Meiji menggalakkan perindustrian dalam skala besar seperti besi baja dan tekstil. Saat itu, perusahaan jasa tidak diperhatikan, segala perhatian diberikan kepada bidang pengeluaran. Para pedagang besar atau yang disebut pengusaha kota membentuk kelompok produsen dan perdagangan yang disebut Zaibatsu.
Restorasi Meiji berjalan sukses. Hanya beberapa dasawarsa kemudian Jepang berhasil menjadi negara adidaya. Hebatnya, meskipun Kaisar Meiji membuka pintu Jepang buat pihak asing, negera ini tidak kehilangan identitasnya. Kaisar masih memegang peranan penting sebagai pemimpin tertinggi negara dan agama Shinto sebagai agama negara.
Restorasi Jepang itu berjalan sangat cepat dan efisien tahun 1853. Menjelang akhir abad ke 19 Jepang sudah berhasil menjadi kekuatan militer dengan angkatan
(9)
laut yang sangat tangguh sehingga dapat mengalahkan secara mutlak armada raksasa Rusia di Selat Tsushima, menyapu bersih kepulauan Sachalin, mengambil Korea dan Semenanjung liau-Tung dari Rusia, serta Port Arthur dan Dairen (Wells, 1951).
Kemenangan Jepang tersebut didukung keberhasilan dalam membangun industri yang diikuti dengan memodernisasikan angkatan perangnya.
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai latar belakang bangkitnya perekonomian Jepang pada zaman Meiji sehingga bisa menjadi negara yang maju setara dengan negara Barat.
1.2.Perumusan Masalah
Pembangunan ekonomi Jepang yang banyak dilandasi oleh kebudayaan khas masyarakat negeri itu, tak bisa lepas dari peranan masa kekuasaan Tokugawa (1603 – 1867) yang justru dengan strateginya malah mengakibatkan gagalnya cikal bakal kapitalisme Jepang untuk tumbuh menjadi negara industrialis seperti yang telah dirintis oleh Eropa. Tetapi kemudian berlangsung Restorasi Meiji (1868 – 1912) yang melakukan koreksi total atas semua kebijakan era Tokugawa. Dan Jepang mulai berhasil menguasai perekonomian dunia.
Untuk dapat mengetahui latar belakang kemajuan perekonomian Jepang pada era Restorasi Meiji, dalam memudahkan arah sasaran yang ingin dikaji, maka permasalahan yang ingin penulis sampaikan dalam bentuk pertanyaan adalah sebagai berikut :
(10)
1. Bagaimana pengaruh Restorasi Meiji terhadap perekonomian masyarakat Jepang?
2. Apa yang melatar belakangi sehingga perekonomian Jepang tumbuh begitu pesat setelah runtuhnya pemerintahan Tokugawa?
1.3.Ruang Lingkup Pembahasan
Dalam pembahasannya dianggap perlu adanya pembatasan ruang lingkup pembahasan agar masalah penelitian tidak terlalu luas dan berkembang jauh sehingga masalah yang akan dikemukakan lebih terarah dalam penulisan nantinya.
Dalam penulisan skripsi ini, ruang lingkup pembahasan difokuskan pada latar belakang kebangkitan ekonomi Jepang pada zaman Meiji, yaitu peristiwa-peristiwa yang melahirkan era Meiji dan nilai–nilai yang dianut bangsa Jepang sehingga dapat mengikuti jejak negara – negara industri di Barat.
1.4.Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori a. Tinjauan Pustaka
Menurut Suryohadiprojo (1981 : 71) pada zaman Tokugawa mereka yang berhubungan dengan ekonomi mempunyai tingkat yang rendah dalam masyarakat, di bawah samurai dan bahkan di bawah petani. Namun bagaimanapun juga, perekonomian di masa Tokugawa masih sangat terbatas, dan pada hakikatnya hanya bersifat antar daerah melalui laut pedalaman dan hanya berkisar pada beras dan tekstil.
(11)
Pada masa Restorasi Meiji, perekonomian Jepang memperoleh kesempatan yang baik untuk bangkit dengan melakukan pembaharuan-pembaharuan. Yang paling utama adalah menghapuskan sistem feodal. Pemerintah Meiji juga menerapkan sistem pendidikan wajib yang dibuka untuk seluruh rakyat seperti dikemukakan Suryohadiprojo (1981 :28) : Diadakannya pendidikan wajib dan bebas bagi seluruh rakyat selama 4 tahun dan dibukanya berbagai macam tingkat sekolah hingga pada tingkat universitas.
Dengan tambahan ilmu dan kecakapan, rakyat Jepang menjadi lebih mahir menghadapi masalah-masalah ekonomi. Sejak itu seluruh rakyat Jepang mencapai kemajuan sesuai dengan kecakapan dan tingkatan pendidikan.
Faktor lain yang terus mereka kedepankan untuk merealisasikan konsep yang telah memberikan sumbangan bagi tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi antara lain adalah dengan menjaga tingkat investasi yang tinggi, penempatan kembali tenaga kerja dari tingkat yang kurang produktif ke sektor ekonomi yang lebih produktif, dan semua itu ditopang oleh kemajuan ilmu pengetahuan yang memanfaatkan semua bentuk teknologi baru. Baik yang mereka temukan sendiri maupun yang didapat dari hasil meniru dari bangsa lain.
b. Kerangka Teori
Berbicara mengenai kemajuan ekonomi suatu negara tidak terlepas dari aspek kehidupan sosial budaya masyarakat pendukungnya. Apabila ditinjau dari segi sosial mayarakatnya, orang Jepang memiliki unsur-unsur, potensi, maupun motivasi yang potensial dalam menghasilkan perubahan dan dinamika.
(12)
Menurut hasil pengamatan Koentjaraningrat, antropolog Indonesia yang banyak mempelajari seluk beluk kebudayaan masyarakat Jepang, sebagai sesama negara kepulauan, bangsa Jepang mempunyai keunggulan dibandingkan bangsa-bangsa lain, tak terkecuali bangsa-bangsa Indonesia. Keunggulan pertama yang sudah dimilikinya dan mengakar ditengah masyarakat adalah karena keseragaman budaya masyarakatnya. Dengan adanya budaya yang seragam lebih mudah untuk menyatukan pandangan dan tujuan dalam pembangunan berskala nasional maupun lokal. Keunggulan kedua, ada pendorong psikologis untuk membangun negaranya. Salah satu caranya, Jepang harus melanjutkan politik ekspansionismenya, hanya saja karena kondisi dan situasi dunia yang berubah, politik ekspansionisme ini dititikberatkan pada penguasaan aset-aset ekonomi dan teknologi negara lain, membangun sistem perekonomian yang membuat negara lain tergantung kepadanya.
Keunggulan ketiga adalah kesiapan mental orang Jepang untuk membangun negaranya karena tradisi hemat dan mau bekerja keras serta sikap menghargai senioritas yang menurut Chie Nakane (dalam Tahiro,2003 :11) disebut masyarakat yang berorientasi vertikal (tate shakai) yang sudah ditanamkan sejak era Tokugawa berkuasa, yang kemudian dikembangkan selama era Restorasi Meiji. Orang Jepang begitu setia pada perusahaan dimana ia bekerja dan memilih untuk tidak pindah ke perusahaan lain walaupun dengan gaji yang lebih besar.
Keunggulan keempat adalah sistem adat waris tanah yang dimiliki bangsa Jepang yang dapat mendukung proses awal pembangunan. Dalam kebudayaan Jepang, hukum adat waris tanah ini bersifat patrilineal-pirimogenitur, dimana
(13)
seluruh harta milik orangtua, baik tanah, rumah dan perabotan hanya diwariskan kepada anak lelaki tertua untuk dikelola dan diakumulasikan sebagai modal. Bukan langsung seluruh warisan dibagi-bagi sehingga menjadi kecil dan tak bermanfaat. Keunggulan kelima adalah karena bangsa Jepang memiliki agama lokal, yakni Shinto yang juga merupakan agama negara. Sikap budaya menghormati nenek moyang dan roh para dewa telah membentuk budaya masyarakat Jepang sangat menghormati para senior. Hal ini amat berperan dalam membangun sikap kepatuhan dan disiplin bangsa Jepang.
1.5.Tujuan dan Manfaat Penelitian a. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pokok permasalahan sebagaimana yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. untuk mengetahui secara jelas latar belakang kebangkitan perekonomian masyarakat Jepang pada zaman Meiji.
2. untuk mengetahui kehidupan sosial ekonomi masyarakat pada zaman Meiji 3. untuk mengetahui nilai-nilai budaya yang dianut bangsa Jepang sehingga
menjadi negara yang maju
b. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan nantinya bermanfaat bagi pihak-pihak tertentu, yaitu :
(14)
1. bagi peneliti sendiri dapat menambah wawasan mengenai latar belakang kemajuan perekonomian Jepang pada era Meiji.
2. bagi masyarakat luas umumnya dan bagi para pelajar bahasa Jepang khususnya diharapkan penelitian ini menambah pengetahuan mengenai perekonomian masyarakat Jepang pada zaman Meiji.
1.6. Metode Penelitian
Metode adalah alat untuk mencapai tujuan dari suatu kegiatan. Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptif, berupa penelitian dengan membuat deskripsi mengenai suatu bentuk keadaan atau kejadian. Menurut Koentjaraningrat (1976:30) penelitian yang bersifat deskriptif yaitu memberikan gejala yang secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu.
Untuk dapat mendeskripsikan suatu masalah dengan tepat dan akurat serta penelitian yang berkesinambungan, maka sebagai pendukung digunakan metode kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan suatu aktifitas yang sangat penting dalam kegiatan penelitian yang ditujukan untuk mewujudkan jalan memecahkan permasalahan penelitian. Beberapa aspek penting perlu dicari dan digali, meliputi : masalah, teori, konsep, dan penarikan kesimpulan dan saran (Nasution, 2001 :14).
Dengan kata lain, studi kepustakaan adalah pengumpulan data dengan cara membaca buku-buku atau referensi yang berkaitan dengan tema penulisan.
(15)
Data yang diperoleh dari referensi tersebut kemudian dianalisa untuk mendapatkan suatu kesimpulan.
Penelitian kepustakaan dilakukan pada perpustakaan USU, perpustakaan Jurusan Sastra Jepang USU, mencari data melalui internet, serta koleksi pribadi penulis.
(16)
BAB II
RESTORASI MEIJI ATAU MODERNISASI JEPANG
2.1 Runtuhnya Pemerintahan Tokugawa
Berbicara mengenai Tokogawa, maka sangat erat kaitannya dengan zaman Edo. Zaman Edo (1603-1867) adalah zaman dimana Jepang diperintah oleh keluarga Tokugawa. Disebut zaman Edo karena pemerintahan keshogunan Tokugawa waktu itu berpusat di kota Edo (Tokyo). Zaman Edo atau sering juga disebut masa Tokugawa adalah zaman yang sangat berpengaruh bagi Jepang modern, bukan hanya karena zaman ini adalah satu masa sebelum Restorasi Meiji yang menjadi gerbang modernisasi di Jepang tetapi karena pada masa ini unsur-unsur budaya Jepang berkembang dengan pesat. Berbagai kemajuan Jepang dicapai pada masa ini, mulai dari lahirnya berbagai bentuk kesenian sampai sistem perekonomian yang maju, masyarakatnya pun tidak hanya mengalami kemajuan tetapi juga menjadi landasan terbentuknya masyarakat Jepang modern.
Shinzaburo (dalam Situmorang, 1995 :41), membagi periode pemerintahan Tokugawa berdasarkan kemantapannya atas tiga periode :
1. Periode pertama tahun 1603-1632
Periode pertama adalah masa shogun Ieyashu (1603-1605)sampai pada masa shogun Hidetada (1605-1632). Pada periode ini berkembang aliran Konfusionis yang bertujuan demi kepentingan politik.
(17)
2. Periode kedua tahun 1633-1854
Periode kedua adalah masa kemantapan keshogunan Tokugawa, yang diperintah oleh sepuluh generasi Tokugawa, dari Iemitsu (1633-1651) sampai shogun Ieyoshi (1837-1853)
3. Periode ketiga tahun 1855-1867
Periode ketiga adalah masa kehancuran keshogunan Tokugawa hingga menyerahkan kekuasaan kepada kekaisaran (1853-1867) diperintah oleh tiga generasi Tokugawa yaitu Shogun Iesada, Iemochi dan Yoshinobu.
Pemerintah Tokugawa mengalami masa kejayaan yang panjang tetapi pada abad ke-19, kekuasaan Tokugawa mulai mengalami kemunduran. Kaum samurai makin mengalami kesulitan keuangan dan hutang yang terus meningkat. Di kota-kota mulai terjadi ketegangan-ketegangan antara pedagang kaya dengan rakyat miskin, di desa-desa mulai ada perbedaan antara yang memiliki tanah dan yang tidak memiliki tanah (Suryohadiprojo,1982:21).
Selain penyebab diatas, faktor lain yang meyebabkan runtuhnya pemerintahan Tokugawa adalah berikut ini
a.Kaikoku (Pembukaan Negara)
Selama kurang lebih 250 tahun Jepang menutup diri dari pengaruh luar. Jepang tidak menyadari adanya kemajuan-kemajuan yang diperoleh bangsa barat, terutama dalam bidang industri. Perkembangan kapitalisme mengakibatkan revolusi industri, sehingga bangsa barat melihat luar negeri untuk mencari daerah pemasaran bagi hasil industrinya dan mencari sumber bahan baku yang baru. Menjelang akhir abad ke-17 bangsa barat mendesak untuk mengadakan hubungan
(18)
dagang dengan Cina dan Jepang. Bangsa barat yang pertama datang ke Jepang adalah Rusia (Nurhayati,1987:33)
Pada tahun 1853 Amerika mengirimkan utusan yang dipimpin oleh Commodore Matthew.C. Perry yang masuk ke Jepang melalui teluk Edo. Menurut Nurhayati (1987 ;35), Perry membawa surat resmi dari presiden Amerika Serikat yang menyatakan ingin mengadakan hubungan dagang dengan Jepang dan juga dijelaskan bahwa kedatangan Perry adalah untuk meminta :
1. Perlindungan bagi pelaut Amerika yang mengalami kecelakaan di laut.
2. Pembukaan kota-kota pelabuhan bagi kapal-kapal Amerika untuk melakukan perbaikan kapal dan menambah perbekalan.
3. Pembukaan kota-kota pelabuhan untuk perniagaan.
Setelah surat itu disampaikan, pemerintahan bakufu meminta waktu satu tahun untuk mempertimbangkan hal tersebut. Setahun kemudian Perry kembali lagi ke Jepang dengan membawa armada perangnya untuk memaksa Jepang agar mau membuka hubungan dengan Amerika. Perry tidak segan-segan mengancam dengan kekerasan. Rakyat Jepang menolak kedatangan bangsa asing dan mereka menyerukan slogan yang dikenal dengan Sonno Joi yang berarti hormati Tenno dan usir kaum biadab (maksudnya orang-orang asing). Mereka menunjukkan sikap yang anti terhadap bangsa asing. Di beberapa wilayah rakyat Jepang mengadakan kekacauan-kekacauan untuk mengusir bangsa Barat (Nurhayati,1987:45).
Pada tanggal 31 Maret 1854 pemerintah Tokugawa akhirnya menandatangani perjanjian dengan Amerika di Kanagawa yakni sebuah kampung
(19)
nelayan di Yokohama, lalu Amerika menempatkan Konsul Jendral yang bernama Townsend Harris di Yokohama. Dengan demikian akhirnya Jepang dibuka setelah pengasingan yang berlangsung sepanjang 250 tahun dan tidak lagi merupakan sebuah negara terpencil dari masyarakat dunia (Nurhayati,1987:33).
b. Pemberontakan dalam Negeri
Sejak terjadinya pembukaan negara, pemberontakan dalam negeri semakin meningkat karena rakyat Jepang tidak menginginkan perjanjian tersebut ditandatangani oleh pemerintahan Tokugawa, terutama pihak kekaisaran karena perjanjian itu belum memperoleh izin dari kaisar. Penandatanganan perjanjian ini menimbulkan kekesalan dan gerakan anti pemerintahan bakufu yang diwakili oleh daimyo Tozama. Hal-hal yang mereka tentang antara lain adalah menentang adanya hubungan dagang dengan orang asing, menginginkan pengembalian fungsi politik kepada kaisar, dan ingin menegakkan kembali pemujaan terhadap Tenno dan agama Shinto serta kembali pada Shintoisme yang murni sebagai reaksi dari Ryobu Shinto dan Budhisme (Nurhayati,1987:45).
Perjanjian dengan negara Barat juga membawa dampak dimana perdagangan berkembang pesat. Golongan petani merupakan produsen yang sangat membantu kehidupan golongan lain. Tetapi mereka sangat menderita karena diwajibkan membayar pajak yang sangat tinggi dengan sebagian hasil panen mereka. Ada semboyan yang berbunyi “kepada petani jangan diberi kehidupan maupun kematian” artinya bahwa setiap petani harus ditempatkan sebagai kelas masyarakat yang hanya wajib berproduksi dan membayar pajak.
(20)
Akibatnya kehidupan petani semakin sulit dan akhirnya banyak yang meninggalkan lahan pertaniannya dan menjadi buruh tani di tanah pertanian orang lain. Mereka juga mulai membentuk kelompok-kelompok untuk membela haknya dengan kekerasan, memberontak, dan melawan pemerintah (Nurhayati,1987:19). Pemberontakan petani yang tidak puas terhadap pemerintah semakin hari semakin mengacaukan keadaan Jepang saat itu. Disamping bencana alam dan bahaya kelaparan yang sering terjadi pada pemerintahan Tokugawa menambah semangat rakyat untuk meruntuhkan kedudukan shogun.
Akibat dari penandatanganan perjanjian tersebut, pemerintah Tokugawa tidak lagi memperoleh kepercayaan dari rakyat untuk melindungi mereka dari pengaruh luar dan tidak dapat memberikan perlindungan terhadap rakyatnya. Alasan ini dimanfaatkan oleh beberapa pihak yang ingin menggulingkan kekuasaan Tokugawa. Setelah terjadi beberapa peristiwa buruk, maka pada tahun 1867 pemerintah Tokugawa menyerahkan kekuasaan pada kaisar Meiji. Dengan demikian pemerintahan Tokugawa berakhir dan kekuasaan penuh berada di tangan kaisar (Sihombing,1997:51).
2.2 Latar Belakang Restorasi Meiji
Pada tahun 1853, komodor Matthew C. Perry dari Amerika Serikat memasuki teluk Tokyo dengan kekuatan satu kuadron, sebanyak empat kapal. Ia kembali tahun berikutnya dan berhasil membujuk Jepang untuk membuat perjanjian persahabatan dengan negaranya. Pada tahun yang sama menyusul
(21)
perjanjian-perjanjian serupa dengan Rusia, Inggris dan Belanda, sehingga Jepang kembali terbuka bagi dunia luar.
Perjanjian-perjanjian tersebut diubah empat tahun kemudian menjadi perjanjian perdagangan, dan kemudian perjanjian yang serupa dibuat dengan Perancis.
Kejadian-kejadian tersebut berdampak meningkatkan tekanan arus sosial dan politik yang meggerogoti fondasi struktur feodal. Selama kira-kira satu dasawarsa terjadi kekacauan besar, sampai sistem feodal keshogunan Tokugawa runtuh pada tahun 1867 dan kedaulatan dikembalikan sepenuhnya kepada kaisar dalam Restorasi Meiji pada tahun 1868.
Runtuhnya pemerintahan Tokugawa merupakan berakhirnya zaman Edo yang ditandai dengan penyerahan kekuasaan Shogun Keiki kepada kaisar Meiji. Zaman baru ini disebut zaman Meiji yang berlangsung antaa 1868-1912. Kaisar Meiji juga dipanggil sebagai kaisar Mutsuhito. Sebagai pusat pemerintahan maka kota Edo diganti namanya dengan Kyoto, dan pada tahun 1869 ibu kota di pindahkan dari Kyoto ke Tokyo (Suradjaja,1984:21).
Pada masa inilah Jepang bergerak memodernisasikan diri dalam segala bidang, yang dikenal dengan Restorasi Meiji, dimana Jepang membangun sistem pemerintahan, ekonomi bahkan budaya dengan mencontoh negara-negara Barat.
Masa Meiji (1868-1912) merupakan salah satu periode yang paling istimewa dalam sejarah bangsa-bangsa. Di bawah pimpinan Kaisar Meiji, Jepang bergerak maju sehingga hanya dalam beberapa dasawarsa mencapai apa yang diinginkan dimana di Barat memerlukan waktu berabad-abad lamanya. Hal yang dicapai tersebut adalah pembentukan suatu bangsa yang modern yang memiliki
(22)
perindustrian modern, lembaga-lembaga politik modern, dan pola masyarakat yang modern. Golongan-golongan lama yang selama masa feodal membuat masyarakat terbagi dihapuskan. Seluruh negari terjun dengan semangat dan antusiasme ke dalam studi dan pengambilalihan peradaban Barat modern.
Perekonomian pada masa Tokugawa masih sangat terbatas dan hanya bersifat perdagangan antar daerah melalui laut pedalaman dan hanya berkisar pada beras dan tekstil. Ini dipengaruhi oleh sikap samurai yang memandang rendah kepada perdagangan dan segala hal yang bersangkutan dengan uang. Selain itu, pemerintah Tokugawa juga melarang untuk mengadakan hubungan dengan luar negeri.
Maka setelah Restorasi Meiji, perekonomian Jepang memperoleh kesempatan yang baik untuk mulai berkembang dengan melakukan pembaharuan-pembaharuan. Pembaharuan yang paling utama adalah penghapusan sistem feodal yang diterapkan oleh Tokugawa, sehingga terbukalah peluang untuk rakyat Jepang terhadap pendidikan yang meniru sistem pendidikan dunia Barat, selain dengan menerapkan sistem moneter, sistem pajak yang memungkinkan berkembangnya kapitalis atau kaum pemodal. Selain itu, pemerintah Meiji juga mendatangkan tenaga-tenaga ahli dan mengimpor mesin-mesin pabrik untuk ditiru, sehingga Jepang mampu membangun dan memodernisasikan industrinya.
2.3 Gokajo no Goseimon
Tokugawa Yoshinobu, Shogun Tokugawa yang ke-15, menyampaikan pengunduran dirinya kepada kaisar pada bulan November 1867, mengakhiri
(23)
kekuasaannya yang kurang lebih dua abad lamanya. Pada tanggal 3 Januari 1868 dikeluarkanlah sebuah pernyataan resmi tentang restorasi dan kemudian dibentuk suatu pemerintahan yang sesuai dengan pola kuno dimana kaisar menangani masalah-masalah politik. Pada tanggal 3 Januari itu pulalah para pendukung restorasi mengambil keputusan-keputusan penting tentang peranan keluarga Tokugawa dalam rezim yang baru.
Pada tanggal 6 April 1868 kaisar mengeluarkan Sumpah Jabatan (Gokajo no Goseimon) yang sangat penting yang terdiri dari lima pasal, yang menggambarkan garis besar asas-asas yang harus dianut oleh pemerintahnya. Isi dari piagam tersebut yakni :
1. Dewan-dewan musyawarah akan dibentuk secara luas dan tiap-tiap kebijaksanaan akan ditetapkan berdasarkan musyawarah ;
2. golongan tinggi dan rendah harus bersatu dalam melaksanakan rencana-rencana bangsa dengan penuh gairah ;
3. Semua warga sipil dan pejabat militer dan rakyat diijinkan untuk memenuhi cita-cita mereka, dengan demikian tidak ada ketidak puasan antara mereka. 4. adat istiadat masa lalu yang tidak baik harus dihapus, dan asas-asas yang adil
dan wajar haruslah menjadi dasar kebijaksanaan kita ;
5. Pengetahuan harus dicari keseluruh dunia dan dengan demikian kesejahteraan kerajaan dapat ditingkatkan.
Meskipun pasal yang pertama tidak dimaksudkan sebagai suatu pernyataan tentang demokrasi modern, sumpah jabatan itu, bagaimanapun adalah sangat progresif untuk masa itu. Sumpah itu menguatkan asas politik yang baru berupa
(24)
mendengarkan pendapat umum dan membuka negeri bagi hubungan persahabaan dengan semua negeri di dunia.
Pemerintah kerajaan segera mengumumkan satu rangkaian pemusatan otoritas politis di dalam negara kesatuan, industrialisasi ekonomi, undang-undang pokok kaisar, wajib militer yang universal, dan penciptaan suatu sistem pendidikan di seluruh negara. Dengan demikian di masa datang tidak ada masyarakat yang buta huruf.
Perubahan-perubahan dalam pemerintahan ini disusul dengan langkah-langkah yang meninggalkan tradisi lama. Pemerintah baru mencatat kenyataan bahwa Edo merupakan pusat politik bangsa, dan dalam bulan November 1868 pemerintah secara resmi memberinya nama baru Tokyo (ibukota sebelah timur). Dalam bulan November kaisar hijrah dari Kyoto ke ibukota baru itu dalam suatu pawai kebesaran, dan menetapkan kediaman resmi tetapnya disana pada awal tahun 1869. .
Pada umumnya rezim baru itu menekankan pentingnya kaisar memerintah bangsa. Maka setelah wafatnya kaisar Komei pada tahun 1866, anak laki-lakinya yang baru berumur empat belas tahun yaitu Mutsuhito menggantikannya. Semua pengumuman resmi pemerintah baru dibuat atas namanya. Pada bulan Oktober 1868 Kaisar mengumumkan bahwa masa tahun-tahun pemerintahannya adalah ”Meiji” (pemerintahan yang cerah). Dengan demikian maka restorasi kerajaan tahun 1867 – 1868 dikenal dengan nama Restorasi Meiji, dan tahun-tahun antara 1868 – 1912 disebut era Meiji, karena Mutsuhito wafat tahun 1912.
(25)
2.4 Haihan Chiken
Pemerintahan baru Meiji dengan cepat menyatakan persetujuan bahwa Jepang harus dimodernkan mengikuti garis-garis yang ditempuh negara-negara maju di Barat, dan lebih jauh lagi mereka percaya bahwa prasyarat yang penting sekali menuju modernisasi adalah penggantian sistem desentralisasi pemerintahan daimyo dengan sistem pemerintahan daerah terpusat.
Langkah-langkah perrtama pemerintah menuju desentralisasi segera diambil setelah runtuhnya perlawanan militer terhadap restorasi itu. Tanah-tanah bakufu yang kalah dan daimyo yang menentang haluan kekaisaran disita dan diatur kembali sebagai satuan-satuan administratif atau propinsi-propinsi (fu dan ken) di bawah pemerintah pusat. Tindakan-tindakan ini tidak dikenakan terhadap para daimyo yang netral dan mereka yang telah mendukung restorasi. Jadi sistem feodal harus terus berlangsung di bawah kepemimpinan kekaisaran sedangkan han, fu dan ken berperan sebagai satuan-satuan dasar pemerintah setempat. Pemerintah baru, yang sebagian besar terdiri dari wakil-wakil Satsuma, Choshu, Tosa, dan Hizen berusaha meningkatkan sentralisasi lebih lanjut dengan membujuk para daimyo keempat han ini untuk mengembalikan kepada pemerintah kekaisaran wewenang politik atas tanah dan penduduk mereka. Pada bulan Maret 1869 keempat daimyo itu secara bersama-sama mohon kepada tahta kerajaan untuk menerima pengembalian tanah dan penduduknya yang merupakan fief (hanseki hokan), dan para daimyo lain segera mengikuti teladan mereka. Istana mengabulkan permohonan mereka dalam bulan Juli, dan memerintahkan daimyo lain yang belum menawarkan demikian agar menyerahkan fief mereka.
(26)
Segera setelah semua daimyo tunduk kepada kebijaksanaan ini, pemerintah kemudian menunjuk mereka menjadi gubernur di han masing-masing. Bagaimanapun juga, kebijaksanaan ini melibatkan jauh lebih banyak hal daripada sekedar suatu perubahan tata nama, daimyo yang sebelumnya sudah menjadi penguasa-penguasa setempat yang semiotonom di wilayah-wilayah kekuasaan mereka, kini menjadi pejabat-pejabat pemerintah pusat yang mengabdi dengan persetujuan kaisar.
Program hanseki hokan mengakhiri eksistensi struktur politik feodal dalam bentuknya, tetapi berpengaruh sedikit saja pada kehidupan politik di dalam tiap-tiap han. Maka untuk memadukan daerah-daerah setempat secara lebih menyeluruh ke dalam struktur administrasi pusat, pemerintah berupaya untuk menghapus sama sekali han dan mendirikan propinsi-propinsi (ken) sebagai gantinya. Kaena memperkirakan akan ada perlawanan senjata, pemerintah membentuk pasukan pengawal kekaisaran yang terdiri dari pasukan-pasukan dari Satsuma, Choshu, dan Tosa sebelum melanjutkan rencana-rencananya. Akan tetapi, banyak gubernur eks-daimyo yang tidak mau memikul tanggung jawab keuangan guna memerintah wilaya-wilayah kekuasaan mereka dan secara aktif mendorong pemerintah agar menghapus han mereka. Sebagai akibatnya maka pemerintah dapat menghapuskan han dan membentuk propinsi-propinsi (Haihan chiken) pada bulan Agustus 1871 tanpa menghadapi tantangan militer terhadap perintah-perintahnya. Dihapuskannya sistem han dan ditetapkan sisitem daerah administrasi (Haihan Chiken) sebagai suatu tindakan untuk menggantikan sistem Han yang tradisional dan memperkenalkan pemerintah lokal yang baru.
(27)
Dalam percobaan untuk menghapuskan feodalisme di Jepang, pemerintahan Meiji yang baru yang menggantikan shogun Tokugawa menghapuskan ratusan feodal klan atau han.
Para gubernur bekas daimyo itu semuanya ditempatkan di Tokyo dan digantikan oleh gubernur-gubernur baru (fu-chiji dan rei, atau kemudian ken-chiji) dan banyak di antara mereka berasal dari Satsuma dan Choshu. Pada waktu yang sama, jumlah satuan-satuan administratif digabungkan secara besar-besaran, yaitu dari lebih 260 han menjadi 72 ken dan 3 fu (satuan-satuan propinsi yang penting ialah Tokyo, Osaka, dan Kyoto). Penggabungan lebih lanjut terjadi pada tahun 1889 ketika jumlah ken diperkecil menjadi hanya empat puluh tiga.
(28)
BAB III
KEBANGKITAN EKONOMI JEPANG PADA ERA RESTORASI MEIJI
3.1 Kondisi Perekonomian Sebelum Restorasi Meiji (Feodalisme)
Selama masa Edo, barang-barang yang paling banyak diperjualbelikan adalah barang-barang pokok seperti beras dan garam. Barang-barang hasil produksi industri diantaranya tembikar, sake, tekstil, barang-barang tembaga, kertas, dan lilin. Sementara untuk barang-barang konsumsi yang utama adalah bahan makanan seperti beras, kecap, sayuran dan ikan (Takeshi dalam Suyono, 1999 : 54).
Para Daimyo mengatur petani-petani di wilayahnya untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Dari hasil-hasil pertanian tersebut Daimyo membebankan pajak tahunan kepada para petani berupa beras yang kemudian dijadikan sebagai barang perdagangan. Dan pemasukan pajak menjadi tidak stabil karena tergaantung dari hasil panen. Meskipun industri kerajinan tangan juga berkembang di wilayah-wilayah kota benteng, namun jumlahnya tidak cukup besar untuk membentuk sebuah pasar yang mandiri seperti halnya beras.
Selain beras, jenis barang yang memiliki nilai komersial cukup tinggi adalah tekstil seperti katun dan sutera. Katun mulai muncul di wilayah Tokai selama masa akhir periode Sengoku, dan pada masa Edo katun mulai berkembang secara luas di wilayah-wilayah lain. Wilayah-wilayah dimana produk katun berkembang diantaranya adalah di Selatan Kyushu, wilayah Kinai dan wilayah Selatan Kanto.
(29)
Di wilayah Kinai, perusahan-perusahaan yang bergerak dibidang ini berkembang sangat pesat, dan di kota-kota kecil di propinsi kawachi dan Settsu, pemintalan katun menjadi industri yang sangat penting.
Pendapatan pemerintah dalam suatu wilayah Han biasanya dalam bentuk beras atau bahan makanan pokok lain (gandum) yang diperoleh dari pajak para petani. Sedangkan pengeluaran mereka sebagian besar dibayar dalam bentuk emas atau perak. Dengan demikian, pendapatan mereka yang berbentuk beras harus dijual di pusat-pusat pasar utnuk mendapatkan uang tunai.
Pada awalnya, para daimyo dari beberapa Han mempercayakan penjualan beras dan produk khas daerah mereka kepada para pedagang di Osaka. Mereka dipercaya untuk mengatur penjualan beras para daimyo dan bahkan mengelola peredaran mas ke wilayah Han.
Pada masa pemerintahan Tokugawa, para daimyo di seluruh Jepang diharuskan menempatkan keluarganya di Edo, sedangkan mereka sendiri diizinkan untuk pulang balik. Karena perjalanan pulang balik dari Edo ke daerah mereka masing-masing harus dijalankan sesuai dengan status sebagai daimyo, maka rombongan itu biasanya besar. Ditambah lagi dengan kehidupan keluarga mereka di Edo, yang diliputi oleh rasa persaingan antara keluarga daimyo yang satu dengan yang lain, juga sangat menekan perekonomian para samurai. Keadaan ini menyebabkan umumnya samurai juga memerlukan biaya yang besar. Akibatnya lambat laun kekayaan daimyo sendiri tidak cukup untuk membiayai hal itu. Maka jatuhlah mereka kedalam keadaan yang sangat tergantung kepada para pedagang. Dengan demikian bertambah pengaruh para pedagang yang secara
(30)
resmi berada pada tingkat sosial terendah. Para pedagang pun tahu, bahwa pengaruh itu hanya bermanfaat kalau mereka tidak menonjolkan diri dalam politik. Sebab itu pengaruh tersebut digunakan secara tidak langsung melalui para samurai yang berhubungan dengan mereka. Dengan cara itu para pedagang berkembang, bahkan diantara mereka ada yang diberi status samurai.
Jadi, perekonomian Jepang tidak hanya dimulai pada Restorasi Meiji, melainkan sudah ada dasarnya pada masa Tokugawa. Namun bagaimanapun juga, perekonomian di masa Tokugawa masih sangat terbatas, dan pada hakekatnya hanya bersifat perdagangan antar daerah melaui laut pedalaman. Ini dipengaruhi oleh sikap samurai yang memandang rendah kepada perdagangan dan segala hal yang bersangkutan dengan uang. Selain itu, ada larangan yang dikeluarkan pemerintah Tokugawa untuk mengadakan hubungan dengan luar negeri.
3.2 Lahirnya Zaibatsu
Sistem pemasaran Jepang mulai diperkenalkan pada tahun 1960 oleh anggota Mitsui yang tinggal di Edo (Tokyo sekarang). Ia membuka gedung pertama yang menjadi penanam modal untuk para pelanggan. Ia menentukan produk yang mereka perlukan dan memilih produk untuk mereka. Saat ia memperkenalkan sistem pemasaran tersebut, Jepang diperintah oleh Tokugawa yang menerapkan sistem tertutup, dimana semua pintu masuk tertutup untuk orang asing. Namun, kegiatan perdagangan masih tetap berkembang pesat dan banyak pusat perdagangan muncul di Osaka. Kemudian para pedagang mendirikan organisasi-organisasi besar dan pelan-pelan mengembangkan sistem
(31)
perdagangan yang kompleks dan meliputi tata cara pedagang membentuk gabungan untuk melindungi kepentingan mereka.
Pada masa itu, seluruh sistem perdagangan dikuasai para pedagang besar yang memainkan peran sebagai orang ketiga. Mereka juga bertindak sebagai perantara dalam wilayah sistem pengelolaan dan urusan perdagangan di Jepang. Perdagangan hanya terbatas di dalam negeri. Sistem tertutup yang diterapkan pemerintahan Tokugawa menyebabkan Jepang hidup dalam keadaan terasing dan terpencil. Hubungan perdagangan Jepang dengan negara-negara lain sangat minim. Namun, hal itu berubah ketika Jepang terpaksa membuka pintu kepada pihak Inggris yang membantunya menjatuhkan pemerintahan Tokugawa dan menaikkan pemerintahan baru di bawah kekuasaan Meiji.
Kaisar Meiji melakukan berbagai perubahan dalam pemerintahan dan menerapkan sistem luar. Ia ingin merubah Jepang menjadi negara yang kuat secara ekonomi dan militer. Dengan kekuatan itu, ia ingin melindungi negaranya dari pengaruh dan penjajahan Barat yang sudah lama ingin menduduki Jepang. Pemerintahan Meiji menggalakkan perindustrian dalam skala besar seperti besi, baja dan tekstil. Saat itu, perusahaan jasa tidak diperhatikan. Segala perhatian diberikan pada bidang pengeluaran, sedangkan peredaran tidak diperhatikan. Para pedagang besar atau yang disebut pengusaha kota membentuk kelompok produsen dan perdagangan yang disebut Zaibatsu.
Zaibatsu adalah kelompok-kelompok perusahaan monopolistik dalam bidang-bidang penentu (perbankan, perniagaan, pertambangan, perkapalan dan industri berat) yang dikuasai oleh keluarga-keluarga tertentu.
(32)
Empat Zaibatsu terbesar pada masa sebelum Perang Dunia II adalah Mitsui, Mitsubishi, Sumitomo, dan Yasuda (Kunio,1983:131).
Zaibatsu menjadi kelompok pedagang yang cukup berkuasa dan menguasai hampir keseluruhan kegiatan perdagangan. Mereka masih menerapkan pendekatan dari gaya tradisional para pedagang pada zaman Tokugawa. Kelompok pedagang itu tidak dipengaruhi oleh corak dan pemikiran pemasaran Barat. Namun, keadaan mulai berubah pada era 1930-an. Saat itu, pendekatan pemasaran Amerika Serikat diterapkan dalam sektor konsumen. Hal itu berangsur-angsur mempengaruhi perdagangan di Jepang. Pemerintah memberi dorongan pada industri yang dianggap penting untuk memulihkan perekonomian. Salah satu dampak pelaksanaan sistem pembaharuan ekonomi itu adalah munculnya konsumen dalam jumlah besar. Golongan itu membantu perkembangan perekonomian dengan cepat. Imbasnya, Jepang mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi dengan pendapatan perkapita tertinggi. Taraf hidup mereka semakin baik, dan mendorong peningkatan penggunaan dan permintaan barang serta keperluan lainnya. Industri produk konsumen berkembang dengan pesat. Tidak heran banyak perusahaan Jepang ikut berubah haluan dan memasuki bidang industri yang mementingkan konsumen.
Keadaan tersebut menimbulkan persaingan ketat antara perusahaan-perusahaan Jepang untuk merebut pasaran. Akibatnya, timbul kesadaran yang berkaitan dengan pemasaran, buku-buku pemasaran menjadi populer. Banyak buku diimpor dari barat dan diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang, sehingga bangsa Jepang dapat mempelajari segala teori, praktik, dan aspek pemasaran.
(33)
Oleh karena itu, sistem perdagangan dan pemasaran Jepang banyak dipengaruhi oleh Barat, khususnya Amerika Serikat. Tim pengusaha Jepang dikirim ke Amerika untuk mempelajari teknik-teknik dalam berbagai bidang perdagangan dan pemasaran.
3.3 Kemajuan Ekonomi Jepang Sejak Restorasi Meiji 3.3.1 Perdagangan dengan Luar Negeri
Pada tahun 1859 negara-negara Barat berhasil membuka perdagangan dengan Jepang. Setahun sebelum itu, keshogunan Tokugawa dibujuk oleh duta besar Amerika yang pertama Townsend Harris, untuk menandatangani perjanjian-perjanjian dengan Barat. Dalam beberapa tahun permulaan ekspor sangat cepat. Sutera adalah yang paling populer diantara barang-barang yang dibeli oleh pedagang Barat. Kesulitan-kesulitan bertalian dengan usaha meningkatkan persediaan sutera menyebabkan ekspor mengalami kemacetan selama beberapa tahun terakhir periode Tokugawa. Barulah pada awal Meiji, ekspansi perdagangan bisa menjadi sebuah ciri yang tertanam dari ekonomi Jepang.
Pada era Meiji, dengan ditetapkannya sistem pajak yang baru, yaitu pajak harus dibayar dengan uang kepada pemerintah pusat, bukan dengan hasil panen. Dengan pajak berupa uang, maka sumber penghasilan pemerintah tetap dan stabil, karena tidak bergantung lagi pada baik-buruknya panen. Uang inilah yang dipakai untuk membiayai pembangunan industri.
Pada awalnya kebanyakan industri dibangun oleh pemerintah, karena pihak swasta belum kuat, baik dilihat dari sudut keuangan maupun dari sudut
(34)
personil, tetapi kemudian banyak industri dijual kepada swasta, setelah industri itu dapat berjalan dan swasta pun telah cukup kuat untuk membelinya. Industri yang mula-mula dibangun adalah industri tekstil. Untuk membangun industri tekstil tersebut, Jepang mula-mula membeli pabrik tekstil dari luar negeri. Kemudian lambat-laun pabrik itu ditiru untuk dibuat sendiri di Jepang. Industri lain yang dimulai adalah pabrik-pabrik yang bersangkutan dengan kemampuan militer. Pabrik baja, pabrik senjata dan perkapalan mulai dibangun. Pabrik-pabrik ini berkembang terutama sekitar terjadinya perang dengan Cina (1894-1895).
Yang amat mendorong perkembangan ekonomi adalah dimulainya jalur perhubungan perkereta-apian. Jalur kereta api pertama dibuka antara Tokyo dan Yokohama pada tahun 1872. lambat laun seluruh Jepang dihubungkan dengan kereta api. Dengan begitu masyarakat Jepang diberi kesempatan membuka pasaran untuk hasil produksinya sendiri. Hal ini turut menambah kekuatan keuangan para wiraswasta yang meluaskan lagi usahanya.
Kekuatan swasta yang makin meningkat itu menjadi dasar dibentuknya zaibatsu yang dipimpin oleh Mitsui, Mitsubishi dan Sumitomo. Mitsui dan Sumitomo telah ada sejak sebelum Meiji dalam bentuk usaha dagang. Tetapi kemudian dalam masa Meiji, Mitsui meluas dalam perdagangan, perbankan, dan pertambangan, sedangkan Sumitomo dalam pertambangan dan peleburan hasil tambang. Mitsubishi yang mula-mula dibentuk oleh Iwasaki Yataro pada masa Meiji dengan bantuan pemerintah, menjadi kuat dalam perkapalan, termasuk industri pembuatannya dan pertambangan.
(35)
Dengan membuka diri Jepang terhadap dunia luar dan diharuskan menandatangani perjanjian untuk tidak membebani tarif dalam awal periode Meiji, maka persaingan yang dihasilkan membawanya kepada alokasi sumber daya yang lebih baik. Dengan devisa yang dihasilkan dari ekspor sutera baku yang besar, Jepang kemudian dapat mengimpor bahan dan peralatan yang diperlukan untuk industrialisasi.
3.3.2 Semangat Kerja Orang Jepang
Arti dari kehidupan kelompok di Jepang sangat kuat. Secara umum boleh dikatakan bahwa sekalipun individu dihargai sebagai nilai penting, tetapi nilai kelompok lebih tinggi daripada individu. Karena itu individu menenggelamkan dirinya dalam kelompok, maka ia merasakan bahwa arti dan harga dirinya banyak dipengaruhi oleh kelompoknya. Seorang pemimpin pada hakikatnya juga individu, meskipun fungsinya berbeda dari anggota-anggota kelompok. Karena pemimpin juga adalah individu, maka ia pun menempatkan dirinya di bawah kelompok dan tidak sama tinggi, apalagi di atasnya.
Itu sebabnya seorang pemimpin perusahaan besar di Jepang tidak mudah memberhentikan buruh perusahaannya seperti yang dilakukan oleh kapitalis di AS atau Eropa Barat bila perusahaannya mengalami kesulitan.
Pada umumnya orang Jepang yang sudah bekerja akan malu untuk pulang kerumahnya dalam keadaan hari masih siang. Mereka juga akan setia dengan perusahaan tempatnya bekerja, terus bekerja di tempat itu sampai pensiun, dan tidak mau pindah-pindah ke perusahaan lain hanya untuk mengejar gaji yang lebih
(36)
tinggi (Tahiro, 2003: 57). Lagipula perbedaan gaji yang diberikan perusahaan besar dan kecil di Jepang sebenarnya tak jauh berbeda. Kalaupun ada perbedaan, itu terletak pada pemberian bonus, yang besarnya didasarkan pada keuntungan yang didapat perusahaan.
Pada perusahaan kecil atau sedang, biasanya memberikan bonus dua kali setahun, yakni pada musim panas dan tahun baru. Sementara itu bagi perusahaan besar serta mapan, biasanya memperoleh keuntungan yang lebih besar, karena itu memberikan bonus empat bulan gaji, sehingga karyawannya mendapatkan 16 bulan gaji dalam setahun.
Dengan adanya perangsang perbedaan bonus ini, karyawan lebih memikirkan untuk rajin bekerja guna membesarkan perusahaan tempatnya bekerja daripada pindah bekerja di perusahaan lain. Dengan kerja keras, perusahaan akan menjadi besar dan keuntungannya akan kembali kepada karyawan. Dengan tidak pindah-pindah bekerja, maka masa kerja mereka menjadi panjang pula dan ini amat mempengaruhi besarnya nilai pensiun yang akan mereka peroleh nantinya. Di samping itu, dengan tidak berpindah-pindah kerja, akan memperlihatkan bahwa dedikasinya sebagai seorang karyawan tetap baik, setia pada perusahaan dan tidak pernah membuat kesalahan.
3.4 Industrialisasi di Jepang
Pembangunan ekonomi Jepang dalam banyak segi merupakan hasil yang mengagumkan. Negara ini merupakan negara pertanian feodal dan langka sumber daya alamnya, yang ditransformasi menjadi negara industri yang kaya dalam
(37)
jangka waktu yang amat pendek. Salah satu yang sangat potensial dalam perkembangan sumber daya alam adalah hasil hutan.
Di abad ke-18 hutan yang dieksploitasi yang bertujuan untuk mengumpulkan kayu dari hutan alam telah tergantikan oleh hutan buatan yang senantiasa terus menerus menghasilkan kayu. Setelah restorasi Meiji tahun 1968, lahan hutan dibagi menjadi milik swasta dan pemerintah. Hutan nasional luasnya kira-kira 7,3 juta hektar dari total hutan Jepang, dan sisanya dimiliki oleh pemerintah lokal. Luas hutan swasta meliputi 56 % dari total hutan. Sebagai hasilnya Jepang menempati urutan yang tinggi di kalangan negara-negara penghasil kayu dunia, walaupun hasilnya tidak sampai memenuhi setengah dari kebutuhannya sendiri yang sangat memerlukan pulp (bubur kayu) yang berguna untuk industri dan perumahan swasta.
Laut yang mengelilingi Jepang juga merupakan kekayaan ekonomi yang pokok bagi Jepang. Lautan adalah sumber pengadaan yang pokok untuk protein ikan dan juga ganggang laut yang kaya vitamin yang banyak sekali digunakan oleh orang Jepang dalam masakannya.
Pembudidayaan hasil laut dilakukan untuk meningkatkan industri perikanan Jepang. Negara ini telah lama melakukan pembiakan ikan, tiram, dan ganggang laut. Dan sejumlah besar pusat ternak ikan dan kerang-kerangan telah berdiri di sepanjang pantai Jepang, dimana spesies ikan dan kerang-kerangan tertentu dikembangbiakkan dengan teknologi yang kemudian di lepas ke laut sampai ukuran tertentu yang cocok untuk dipanen.
(38)
Bangsa Jepang sangat sadar bahwa sumber daya alam di negerinya sangat terbatas, maka orang Jepang menitikberatkan perkembangan industrinya kepada keterampilan dan keahlian tenaga manusia membuat barang-barang untuk diekspor dari bahan-bahan baku yang mereka impor.
Untuk mewujudkan hal tersebut bangsa Jepang menganut filsafat bahwa manusia dapat diubah keadaan dan sifatnya melalui usaha orang lain atau usaha sendiri. Mereka kurang atau bahkan tidak percaya, bahwa manusia sudah sejak semula ditetapkan dalam keadaan tertentu yang tidak dapat diubah atau berubah (Suryohadiprojo, 1981 :210).
Dengan filsafat itu dapat dipahami bahwa pendidikan memperoleh tempat penting dalam kehidupan bangsa. Karena itu, sejak dulu kala pendidikan (termasuk pendidikan pada diri pribadi) dilakukan dengan giat.
Pada masa Tokugawa, shogun dan para daimyo mengadakan sekolah-sekolah untuk anak-anak samurai. Memang lembaga-lembaga pendidikan itu lebih mementingkan pendidikan watak dan olahraga, tetapi diberikan juga pendidikan berhitung, menulis dan membaca (Salviana,skripsi 2005,34)bahkan lambat laun keshogunan juga mengadakan pendidikan yang mengajarkan ilmu-ilmu dunia Barat yang diperoleh melalui orang-orang Belanda yang diizinkan membuka perwakilan dagang di pulau Deshima di teluk Nagasaki. Dari ilmu Barat yang diutamakan adalah yang berkaitan dengan ilmu militer dan kedokteran. Untuk rakyat yang bukan samurai juga ada sekolah-sekolah yang diselenggarakan di kuil-kuil Buddha, yang dinamakan Terakoya (tera :kuil Budha).
(39)
Pendidkan yang teratur dan modern dimulai dalam Restorasi Meiji. Pemerintah Meiji menyadari bahwa Jepang tidak akan mungkin mengejar ilmu pengetahuan dan teknologi Barat, kalau pendidikan melalui sekolah tidak diorganisasikan dan diselenggarakan dengan luas dan teratur. Oleh sebab itu, sejak tahun 1872 ditetapkan kewajiban belajar bagi seluruh rakyat selama empat tahun. Memang mula-mula pelaksanaan ketetapan ini menghadapi banyak kesulitan-kesulitan, baik dari segi biaya maupun kesadaran rakyat. Tetapi karena adanya tekad dan sifat makoto (sungguh-sungguh) orang Jepang, maka lambat laun berjalan dengan baik.
Melalui pendidikan di sekolah, rakyat dapat memperoleh pelajaran yang diperlukan untuk modernisasi bangsa dalam bidang pertanian terutama untuk industrialisasi. Pemerintah juga menyadari bahwa tidak hanya diperlukan basis yang luas berupa rakyat yang terdidik, tetapi juga diperlukan kemahiran-kemahiran teknis dan kader-kader pemerintahan serta dunia usaha.
Dalam usaha mendapatkan dana yang diperlukan untuk industrialisasi, pemerintah Meiji tidak menggunakan cara yang mudah yaitu menarik penanaman modal asing, tetapi memilih meningkatkan dana yang diperlukan dari dalam negeri dengan jalan mengadakan pajak tanah. Kalau dulu petani harus membayar pajak berupa beras kepada daimyo, maka setelah Restorasi Meiji pajak harus dibayar dengan uang kepada pemerintah pusat karena samurai telah dihapuskan sebagai penguasa daerah. Untuk menciptakan pajak uang yang tarifnya seragam bagi seluruh negara, pemerintah Meiji melakukan perombakan pajak dan melahirkan pajak tanah yang baru. Dengan pajak berupa uang, maka pemerintah
(40)
mempunyai sumber penghasilan yang tetap dan stabil, karena tidak bergantung pada baik buruknya panen. Pajak ini merupakan pajak terbesar selama beberapa dasawarsa pertama zaman Meiji, serta merupakan sumber penghasilan keuangan terbesar bagi pengeluaran pemerintah untuk tujuan pembangunan.
Salah satu kegiatan besar ekonomi yang dilakukan pemerintah Meiji adalah pembuatan prasarana. Pada tahun 1869 pemerintah memutuskan untuk membangun jalan kereta api. Pada tahun 1872 jalur kereta pertama dibuka antara Tokyo dan Yokohama. Angkatan laut juga dimodernisasikan dengan mengimpor kapal-kapal uap dari Barat. Pemerintah tidak memiliki secara langsung perusahaan-perusahaan pelayaran itu, tetapi memberi subsidi yang besar kepada Iwasaki Yataro (pendiri Mitsubishi) agar membangun armada kapal niaga yang modern guna melayani volume angkatan laut yang terus meningkat. Pemerintah juga memodernisasikan jaringan komunikasi, dengan membuka pelayanan pos dan telegraf. Pada akhir tahun 1885 terdapat lebih dari 5000 kantor pos yang melayani sekitar 100 juta kiriman pertahun. Jaringan telegraf berkembang dengan cepat, namun perluasan jaringan telepon sampai akhir tahun 1885 hanya mengalami kemajuan yang kecil.
Kebijaksanaan ekonomi lainnya yang dilakukan pemerintah Meiji adalah penggunaan organisasi saham bersama sebagai bentuk badan hukum. Kebijakan ini diambil karena jumlah modal yang diperlukan oleh skala perusahaan modern jauh melampaui kemampuan seorang pedagang atau suatu keluarga. Tahun 1871, untuk pertama kali perusahaan-perusahaan saham patungan yang pertama didirikan dalam bidang pengangkutan, keuangan dan usaha reklamasi tanah.
(41)
Dalam bidang manufakturing, saham patungan yang pertama didirikan pada tahun 1873 untuk usaha penggulungan sutera.
Aspek yang paling menonjol dari pembangunan ekonomi selama periode tahun 1886-1911 adalah meningkatnya industri tekstil katun. Pertengahan tahun 1880-an benang tenun pintalan mesin masih merupakan bagian kecil dari konsumsi total. Kemudian dengan segera pabrik-pabrik pemintalan yang besar didirikan dan pemintalan dengan tangan berangsur-angsur lenyap. Menjelang tahun 1911, industri pemintalan telah berhasil berdiri tegak dengan kokoh selaku industri ekspor. Kemudian, dengan berdirinya pabrik pemintalan Jepang di Shanghai pada tahun 1911, merupakan awal yang penting bagi perkembangan penanaman modal di luar negeri.
Pada tahun 1886-1911 pertanian juga merupakan salah satu sektor ekonomi yang penting, karena kemajuan yang dicapai oleh pertanian cukup berarti. Selanjutnya, karena produksi sektor industri meningkat, kian banyak orang yang pindah dari produsen menjadi konsumen pertanian. Akibatnya persentase penduduk yang membeli makanan kian besar. Sekiranya kenyataan ini tidak dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri, maka impor bahan makanan pasti akan menguras devisa dan mengekang industrialisasi. Penerimaan pajak tanah juga pemasukan yang penting untuk anggaran belanja negara. Pemasukan ini memungkinkan teralokasinya dana untuk mendorong perkembangan industri. Selain dari itu, meningkatnya produksi teh dan bahan sutera memungkinkan masuknya devisa yang diperlukan untuk membeli mesin serta bahan baku industri
(42)
dari luar negeri. Singkatnya, pertanian telah memainkan peranan penunjang yang penting terhadap industrialisasi Jepang.
3.5 Sistem Manajemen Orang Jepang
Manajemen merupakan suatu istilah baru di dunia untuk sesuatu yang telah ada sejak dulu kala. Oleh sebab itu pengertian manajemen di Jepang memperoleh dua pengaruh utama. Yang pertama adalah pengaruh dari keadaan masyarakat Jepang sendiri serta sifat-sifatnya yang khas. Dan yang kedua adalah pengaruh dari dunia luar Jepang, khususnya pengaruh dari Eropa Barat sejak Restorasi Meiji hingga Perang Dunia II dan dari AS sejak selesainya Perang Dunia II. Kita sudah mengetahui bahwa masyarakat Jepang sangat dipengaruhi oleh sifat solidaritas kelompok. Karena itu pendekatan terhadap manajemen umum serta kepemimpinan dan manajemen personil pun sesuai dengan sifat tersebut.
Pada permulaan Restorasi Meiji ada pemimpin-pemimpin Jepang yang sekembalinya dari Eropa atau AS berpendapat bahwa Jepang harus menganut sistem individualisme. Tetapi pengaruh mereka tidak lama dan tidak meluas, sehingga Jepang tetap pada sifatnya sendiri. Keberhasilan utama Jepang terletak pada pengembangan tenaga manusia, sehingga dapat mengatasi kelemahannya dalam ketiadaan sumber-sumber energi dan bahan mentah. Jepang membuktikan betapa besar arti faktor manusia, bahwa dalam diri manusia tersimpul kekuatan yang besar apabila dapat dikembangkan. Hal tersebut adalah hasil dari manajemen umum serta kepemimpinan dan manejemen personil yang tepat.
(43)
Adapun sistem manejemen orang Jepang sangat ditonjolkan adalah sebagai berikut :
1. Hubungan antara pemimpin dan kelompok 2. Cara pengambilan keputusan
3. Manajemen personil 4. Peranan informasi
1. Hubungan antara pemimpin dan kelompok.
Arti dari kehidupan berkelompok di Jepang sangat kuat. Dapat dikatakan bahwa sekalipun individu dihargai sebagai suatu nilai penting, tetapi nilai kelompok lebih tinggi daripada individu. Seorang pemimpin pada hakekatnya juga individu, maka ia pun menempatkan dirinya dibawah kelompok dan tidak sama tinggi, apalagi di atasnya. Pemimpin senantiasa memperhatikan pendapat kelompok dan memperhatikan setiap anggotanya, karena mereka membentuk kelompok secara bersama-sama. Sebab itulah seorang pemimpin perusahaan besar di Jepang tidak mudah memberhentikan buruh perusahaannya.
Di dalam negara atau kelompoknya sendiri seorang pemimpin Jepang senantiasa menempatkan diri di bawah kepentingan kelompoknya. Kemajuan kelompoknya menjadi ukuran bagi keberhasilannya, karena baginya kemajuan sebagai individu ditentukan oleh kemajuan kelompoknya. Sebaliknya kalau kehadirannya sebagai pemimpin justru menimbulkan kemunduran kelompok, maka ia akan mengundurkan diri meskipun mungkin bukan karena kesalahan dari
(44)
dirinya. Justru kalau tidak mengundurkan diri mereka dicela oleh masyarakat dan dianggap bukan orang Jepang.
Syarat utama bagi kepemimpinan di Jepang bukanlah kecemerlangan seseorang atau kecakapan tekniknya, melainkan kemampuannya menimbulkan solidaritas dan suasana yang baik dalam lingkungannya. Sikap kepemimpinan di Jepang banyak dipengaruhi oleh etika bushido yang diwariskan oleh samurai. Kesederhanaan, patriotisme, keberanian bertindak, kesungguhan dalam bekerja, semuanya berpengaruh pada para pemimpin dalam segala sektor, dan juga turut mempengaruhi kemajuan Jepang selama ini. Hubungan antara pimpinan dan anggota ditentukan pula oleh suasana yang diciptakan oleh pimpinan. Karena itu pendekatan lebih bersifat emosional. Di lain pihak, para anggota yang juga mengutamakan solidaritas kelompok, rasa persatuannya dengan organisasi diperkuat lagi melalui musyawarah di antara mereka untuk mempertinggi produktivitas organisasinya.
Perhatian pimpinan yang besar kepada anggota tidak hanya terbatas dalam pekerjaan, tetapi juga di luar pekerjaan. Pimpinan organisasi juga mengurus kesejahteraan keluarga anggotanya. Perasaan turut memiliki amat besar pada seluruh anggota, termasuk kaum buruh. Pada dasarnya, orang Jepang merasa bahwa harga dirinya ditentukan oleh tinggi-rendahnya posisi kelompoknya. Untuk meninggikan harga dirinya, ia berusaha sekuat tenaga agar kelompoknya atau perusahaannya makin maju, sehingga meningkatkan posisis kelompok itu dalam masyarakat. Dedikasi orang Jepang kepada pekerjaannya pada hakekatnya merupakan suatu self interest. Karena di samping ada rasa turut memiliki yang
(45)
kuat, maka tentu dedikasi kepada kelompok atau perusahaannya menjadi lebih besar lagi.
Karena sikap orang Jepang mengutamakan kelompok atau organisasi, maka yang senantiasa dipentingkan adalah kemajuan organisasi. Sikap itu juga yang menyebabkan kemampuan Jepang mengadakan investasi begitu besar, jauh lebih besar daripada negara Barat. Orang Jepang tidak keberatan tidak memperoleh keuntungan dalam tahun-tahun pertama, apabila perlu diadakan investasi untuk kemajuan organisasi. Kaum buruh di Jepang tidak takut kehilangan pekerjaan, karena mereka yakin bahwa pimpinan akan menemukan pekerjaan baru bagi mereka. Dan memang demikian yang terjadi dalam perusahaan, dimana pimpinan menganggap kaum buruh tidak sekedar sebagai faktor produksi, melainkan manusia anggota kelompok atau organisasi yang harus diberikan solidaritasnya.
2.Cara pengambilan keputusan.
Perusahaan Jepang memiliki seksi-seksi yang dikepalai seorang Kacho atau kepala seksi. Dalam seksi itu anggota-angota tidak mempunyai fungsi tertentu, melainkan semua harus dapat menjalankan pekerjaan yang perlu dilakukan seksi itu. Dalam organisasi ada beberapa atau banyak seksi, tergantung dari besar kecilnya organisasi serta kemampuan pengendalian pimpinan yang lebih diatas. Seksi adalah kelompok dalam organisasi yang pertama menghimpun solidaritas anggotanya. Sesuai dengan sifat kelompok, maka jumlah anggotanya berkisar antara 10 dan 20 orang.
(46)
Dari seksi ini bersumber apa yang dinamakan ”ringi” yaitu ”konsep keputusan”. Ringi itu sendiri berarti mencari informasi (inquiry). Seksi membuat konsep itu setelah kepala seksi memperoleh petunjuk atau informasi tentang masalah yang dihadapi organisasinya.
Petunjuk itu biasanya diperoleh dari kepala biro (atasan kepala seksi) dan ia mendapat petunjuk dari atasannya lagi, yaitu dari kementrian. Kepala seksi bersama anggotanya kemudian menyusun konsep itu. Sesuai dengan sistem ringi, konsep itu harus beredar pada semua kepala seksi dan mendapat persetujuannya sebelum naik ke tingkat para kepala biro dan ke atas lagi. Maka sambil membuat konsep anggota-anggota seksi mengadakan konsultasi yang erat dengan seksi-seksi lain. Konsultasi itu merupakan musyawarah yang di Jepang dinamakan ”nemawashi”.
Hakekat nemawashi amat erat hubungannya dengan solidaritas kelompok. Dalam solidaritas kelompok sedapat mungkin dicegah terjadi pertentangan secara terbuka, karena dianggap mengganggu terpeliharanya suasana kelompok yang baik, terutama dalam pertemuan-pertemuan yang formal. Oleh sebab itu perbedaan pendapat diusahakan untuk diatasi dalam pertemuan yang bersifat informal, dan itulah yang disebut nemawashi.
Sebagai hasil nemawashi dan pemikiran anggota seksi, maka terbentuklah ringi. Kemudian ringi itu beredar kepada seksi-seksi lainnya, dan proses peredaran ringi dinamakan kaigi. Kalau telah disetujui, maka mereka berikan cap pada ringi tertulis itu. Setelah nemawashi, maka umumnya ringi dapat disetujui. Setelah beredar di semua seksi, maka diajukan ke atas pada tingkat kepala biro (bucho).
(47)
Di sini berlaku proses yang sama. Tetapi karena kepala seksi dari masing-masing biro telah memberi capnya, maka kemungkinan kepala biro menolaknya secara tegas sangat kecil. Akhirnya ringi sampai pada atasan yang berhak mengambil keputusan. Dan biasanya di sini pun diterima saran dari bawah berupa konsep atau ringi yang telah beredar di seluruh organisasi.
Cara pengambilan keputusan seperti ini dikritik bahwa terlalu lama dan bertele-tele. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa dengan menggunakan sistem ringi, perusahaan-perusahaan Jepang telah mencapai produktivitas yang jauh lebih tinggi daripada negara Barat. Ezra vogel menyatakan, bahwa pembuatan keputusan di AS jauh lebih cepat. Tetapi karena tidak seluruh organisasi terlibat dalam pengambilan keputusan, maka sebelum keputusan dilaksanakan harus terlebih dahulu diadakan penjelasan atau briefing kepada organisasi yang tidak terlibat. Sehingga sebenarnya jumlah waktu yang diperlukan lebih lama dari Jepang., sebab di Jepang tidak perlu lagi penjelasan setelah keputusan diambil atasan. Karena setiap seksi telah terlibat dalam proses pembuatan konsep keputusan.
Maka dapat kita lihat bahwa proses pengambilan keputusan di Jepang adalah suatu kegiatan kelompok yang didasarkan pada musyawarah dan mufakat. Hal ini sepenuhnya sesuai dengan sifat masyarakat, selain itu proses pengambilan keputusan di Jepang bersumber dari tingkat bawah dan terus merembet ke atas. Hal ini pun sesuai dengan sifat masyarakat Jepang yang menghendaki harmoni.
(48)
3. Manajemen personil.
Pembinaan personil didasarkan pada sistem senioritas dan pengerjaan seumur hidup. Sistem senioritas berarti bahwa kemajuannya dalam organisasi didasarkan pada lamanya bertugas dalam organisasi sebagai faktor pertama dan kecakapan sebagai faktor kedua. Mereka yang menduduki jabatan pimpinan adalah generalis-generalis yang berpengalaman dan juga kecakapannya serta kepemimpinannya telah diseleksi.
Pengerjaan seumur hidup berarti bahwa seseorang bekerja dalam lingkungan kementrian atau perusahaan tertentu sampai usia pensiun. Ia tidak akan dikeluarkan dan dipindahkan ke kementrian atau perusahaan lain. Sebab kalau pindah ia kembali pada senioritas rendah.
Pembinaan personil yang tertuju kepada para anggota organisasi pada umumnya bersifat penerimaan kerja untuk sepanjang umur hidup (life time employment). Maksudnya adalah bahwa anggota organisasi, tetap menjadi anggota organisasi itu hingga masa pensiunnya. Orang yang mendapat pekerjaan dalam perusahaan Jepang pada hakekatnya adalah memasuki suatu kelompok tertentu (to join a group). Pada semua anggota ditimbulkan solidaritas kelompok yang kuat. Dan sebaliknya, organisasi juga menunjukkan solidaritasnya kepada anggota.
Kebanggaan seseorang pada organisasi atau perusahaannya, mengakibatkan hampir tidak ada orang pindah kerja dari perusahaan yang satu kepada yang lain. Kalau ada yang berbuat demikian, maka di lingkungannya yang baru ia akan diterima dengan kecurigaan, sebab pertama, karena ia berbuat tidak
(49)
wajar. Kedua, karena ia dianggap pengkhianat terhadap organisasinya semula dan dapat berbuat sama terhadap organisasi yang baru. Sebab itu orang juga segan untuk pindah kerja. Selain itu, pada waktu memasuki organisasi lain, maka ia menjadi junior kembali walaupun ia orang yang berpengalaman. Jika pimpinan organisasinya yang akan melanggar peraturan itu dan memberikan kepadanya status yang lebih senior berdasarkan pengalamannya di tempat lain, maka pimpinan itu akan mengalami tantangan dari anggotanya.
Penerimaan kerja yang seumur hidup meliputi juga pencarian kerja bagi mereka yang telah pensiun, apabila mereka menginginkan demikian. Biasanya dicarikan pekerjaan baru dalam lingkungan perusahaan. Pekerjaan tersebut bersifat ringan secara mental dan fisik. Karena pensiun orang dirasakan sudah cukup, juga karena kesederhanaan hidup orang Jepang, maka pekerjaan baru itu hanya bersifat pengisi waktu daripada pencaharian nafkah.
4. Peranan informasi.
Informasi mempunyai peranan penting dalam manajemen Jepang. Sikap perusahaan Jepang mengumpulkan dan mengamankan informasi lebih menyerupai suatu organisasi militer yang ingin mengetahui sebanyak mungkin tentang keadaan lawan. Hal ini mungkin disebabkan oleh pengaruh samurai yang memasuki dunia usaha ketika Restorasi Meiji. Karena harus mengejar dunia Barat dalam berbagai bidang, khususnya industri dan perdagangan, maka pihak Jepang harus mengumpulkan berbagai informasi yang dipelukan untuk meningkatkan kemampuannya. Boleh dikatakan ketika itu Jepang tidak memperoleh peralihan
(50)
teknologi dari dunia Barat, melainkan harus mencari sendiri dengan mengumpulkan informasi.
Sejak Restorasi Meiji, telah dikenal rombongan Jepang yang pergi berkunjung ke negara-negara Eropa dan AS untuk mempelajari segala sesuatu. Di situ solidaritas kelompok amat berguna, oleh karena dalam rombongan tersebut diadakan pembagian kerja tentang hal-hal yang harus dicatat dan diperdalam. Kebiasaan itu sampai sekarang masih dilakukan, meskipun Jepang telah menyamai kemajuan industri dan perdagangan Barat. Penterjemahan buku-buku asing juga dilakukan sejak Restorasi Meiji. Informasi yang dikumpulkan itu digunakan secara efektif dalam organisasi, baik pemerintah maupun swasta.
Kesadaran itu hanya mungkin ada apabila ada semangat bersaing yang tinggi disertai keinginan untuk melihat organisasi maju. Pada diri orang Jepang, khususnya yang menjadi anggota kementrian dan perusahaan besar, pengumpulan informasi sudah menjadi kebiasaan otaomatis (second nature).
(51)
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
1. Restorasi Meiji merupakan rangkaian kejadian tang menyebabkan perubahan pada struktur politik dan sosial Jepang. Restorasi Meiji menghapus sistem feodal yang diterapkan Tokugawa, sehingga terbukalah peluang untuk rakyat Jepang untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik terutama pendidikan. Dengan tambahan ilmu dan kecakapan, rakyat Jepang menjadi lebih mahir menghadapi masalah-masalah ekonomi. Sejak itu seluruh rakyat Jepang mencapai kemajuan sesuai dengan kecakapan dan tingkat pendidikan.
2. Pemerintah Meiji menyadari bahwa Jepang tidak akan mungkin mengejar ilmu pengetahuan dan teknologi Barat, jika pendidikan melalui sekolah tidak diorganisasikan dan diselenggarakan dengan luas dan teratur. Karena itu, sejak tahun 1872 ditetapakan kewajiban belajar bagi seluruh rakyat selama empat tahun. Pada awalnya pelaksanaan ketetapan ini menghadapi banyak hambatan, baik dari segi biaya maupun dari kesadaran masyarakat itu sendiri. Tetapi karena adanya tekad dan sifat makoto (sungguh-sungguh) orang Jepang, maka lambat laun berjalan dengan baik.
3. Selain dengan perbaikan sistem pendidikan, hal lain yang dilakukan pemerintahan Meiji untuk memajukan perekonomiannya adalah
(52)
4. Kekuatan swasta yang makin meningkat itu menjadi dasar dibentuknya zaibatsu yang dipimpin oleh Mitsui, Mitsubishi dan Sumitomo. Mitsui dan Sumitomo telah ada sejak sebelum Meiji dalam bentuk usaha dagang. Tetapi kemudian dalam masa Meiji, Mitsui meluas dalam perdagangan, perbankan, dan pertambangan, sedangkan Sumitomo dalam pertambangan dan peleburan hasil tambang. Mitsubishi yang mula-mula dibentuk oleh Iwasaki Yataro pada masa Meiji dengan bantuan pemerintah, menjadi kuat dalam perkapalan, termasuk industri pembuatannya dan pertambangan.
5. Dalam masyarakat Jepang, nilai kehidupan berkelompok lebih tinggi daripada kehidupan individu, meskipun ia adalah seorang pemimpin. Namun ia sangat menghargai kehidupan kelompoknya dengan tidak menganggap dirinya tinggi. Hal tersebut membuat orang Jepang setia pada perusahaannya dan memilih untuk tidak pindah ke perusahaan lain. Dengan sistem tersebut orang Jepang saling berlomba untuk memajukan perusahaannya.
(53)
4.2 Saran
1. Sistem yang diterapkan oleh Jepang ada baiknya juga diterapkan di Indonesia, dimana orang Jepang banyak meniru negara lain namun tidak meninggalkan identitasnya.
2. Bangsa-bangsa yang sedang berjuang untuk suatu perubahan, dapat belajar dari pengalaman Jepang, dengan tetap memperhatikan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut.
(54)
DAFTAR PUSTAKA
Beasley, W.G. 1972. The Meiji Restoration. California : Stanford University Press Ishii, Ryosuke. 1988. Sejarah Institusi Politik Jepang. Jakarta : PT. Gramedia
Kunio,Yoshihara.1983. Perkembangan Ekonomi Jepang (Sebuah Pengantar) Jakarta : PT. Gramedia
Kunio,Yoshihara.1987. Sogo Shosha Pemandu Kemajuan Ekonomi Jepang. Jakarta : PT. Gramedia
Nakamura, Takafusa. 1985. Perkembangan Ekonomi Jepang Moderen. Kementrian Luar Negeri Jepang
Ohkawa, Kazushi. 1983. Pertumbuhan Ekonomi dan Pertanian (Pengalaman Jepang) Gadjah Mada University Press
Rosidi, Ajip. 1981. Mengenal Jepang. Jakarta : Pusat Kebudayaan Jepang
Situmorang, Hamzon. 1995. Perubahan Kesetiaan Bushi dari Tuan kepada Keshogunan dalam Feodalisme Zaman Edo (1603-1868) di Jepang. Medan : USU Press.
Tahiro. 2003. Sepak Terjang Jepang di Indonesia. Depok : Lembaga Humaniora Waswo, Ann. 1996. Modern Japanese Society. New York : Oxford University Press http: //id.wikipedia.org/wiki/Restorasi_Meiji
http: //www.japan-guide.com/e/e2130.html
(1)
wajar. Kedua, karena ia dianggap pengkhianat terhadap organisasinya semula dan dapat berbuat sama terhadap organisasi yang baru. Sebab itu orang juga segan untuk pindah kerja. Selain itu, pada waktu memasuki organisasi lain, maka ia menjadi junior kembali walaupun ia orang yang berpengalaman. Jika pimpinan organisasinya yang akan melanggar peraturan itu dan memberikan kepadanya status yang lebih senior berdasarkan pengalamannya di tempat lain, maka pimpinan itu akan mengalami tantangan dari anggotanya.
Penerimaan kerja yang seumur hidup meliputi juga pencarian kerja bagi mereka yang telah pensiun, apabila mereka menginginkan demikian. Biasanya dicarikan pekerjaan baru dalam lingkungan perusahaan. Pekerjaan tersebut bersifat ringan secara mental dan fisik. Karena pensiun orang dirasakan sudah cukup, juga karena kesederhanaan hidup orang Jepang, maka pekerjaan baru itu hanya bersifat pengisi waktu daripada pencaharian nafkah.
4. Peranan informasi.
Informasi mempunyai peranan penting dalam manajemen Jepang. Sikap perusahaan Jepang mengumpulkan dan mengamankan informasi lebih menyerupai suatu organisasi militer yang ingin mengetahui sebanyak mungkin tentang keadaan lawan. Hal ini mungkin disebabkan oleh pengaruh samurai yang memasuki dunia usaha ketika Restorasi Meiji. Karena harus mengejar dunia Barat dalam berbagai bidang, khususnya industri dan perdagangan, maka pihak Jepang harus mengumpulkan berbagai informasi yang dipelukan untuk meningkatkan
(2)
teknologi dari dunia Barat, melainkan harus mencari sendiri dengan mengumpulkan informasi.
Sejak Restorasi Meiji, telah dikenal rombongan Jepang yang pergi berkunjung ke negara-negara Eropa dan AS untuk mempelajari segala sesuatu. Di situ solidaritas kelompok amat berguna, oleh karena dalam rombongan tersebut diadakan pembagian kerja tentang hal-hal yang harus dicatat dan diperdalam. Kebiasaan itu sampai sekarang masih dilakukan, meskipun Jepang telah menyamai kemajuan industri dan perdagangan Barat. Penterjemahan buku-buku asing juga dilakukan sejak Restorasi Meiji. Informasi yang dikumpulkan itu digunakan secara efektif dalam organisasi, baik pemerintah maupun swasta.
Kesadaran itu hanya mungkin ada apabila ada semangat bersaing yang tinggi disertai keinginan untuk melihat organisasi maju. Pada diri orang Jepang, khususnya yang menjadi anggota kementrian dan perusahaan besar, pengumpulan informasi sudah menjadi kebiasaan otaomatis (second nature).
(3)
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
1. Restorasi Meiji merupakan rangkaian kejadian tang menyebabkan perubahan pada struktur politik dan sosial Jepang. Restorasi Meiji menghapus sistem feodal yang diterapkan Tokugawa, sehingga terbukalah peluang untuk rakyat Jepang untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik terutama pendidikan. Dengan tambahan ilmu dan kecakapan, rakyat Jepang menjadi lebih mahir menghadapi masalah-masalah ekonomi. Sejak itu seluruh rakyat Jepang mencapai kemajuan sesuai dengan kecakapan dan tingkat pendidikan.
2. Pemerintah Meiji menyadari bahwa Jepang tidak akan mungkin mengejar ilmu pengetahuan dan teknologi Barat, jika pendidikan melalui sekolah tidak diorganisasikan dan diselenggarakan dengan luas dan teratur. Karena itu, sejak tahun 1872 ditetapakan kewajiban belajar bagi seluruh rakyat selama empat tahun. Pada awalnya pelaksanaan ketetapan ini menghadapi banyak hambatan, baik dari segi biaya maupun dari kesadaran masyarakat itu sendiri. Tetapi karena adanya tekad dan sifat makoto (sungguh-sungguh) orang Jepang, maka lambat laun berjalan dengan baik.
(4)
4. Kekuatan swasta yang makin meningkat itu menjadi dasar dibentuknya zaibatsu yang dipimpin oleh Mitsui, Mitsubishi dan Sumitomo. Mitsui dan Sumitomo telah ada sejak sebelum Meiji dalam bentuk usaha dagang. Tetapi kemudian dalam masa Meiji, Mitsui meluas dalam perdagangan, perbankan, dan pertambangan, sedangkan Sumitomo dalam pertambangan dan peleburan hasil tambang. Mitsubishi yang mula-mula dibentuk oleh Iwasaki Yataro pada masa Meiji dengan bantuan pemerintah, menjadi kuat dalam perkapalan, termasuk industri pembuatannya dan pertambangan.
5. Dalam masyarakat Jepang, nilai kehidupan berkelompok lebih tinggi daripada kehidupan individu, meskipun ia adalah seorang pemimpin. Namun ia sangat menghargai kehidupan kelompoknya dengan tidak menganggap dirinya tinggi. Hal tersebut membuat orang Jepang setia pada perusahaannya dan memilih untuk tidak pindah ke perusahaan lain. Dengan sistem tersebut orang Jepang saling berlomba untuk memajukan perusahaannya.
(5)
4.2 Saran
1. Sistem yang diterapkan oleh Jepang ada baiknya juga diterapkan di Indonesia, dimana orang Jepang banyak meniru negara lain namun tidak meninggalkan identitasnya.
2. Bangsa-bangsa yang sedang berjuang untuk suatu perubahan, dapat belajar dari pengalaman Jepang, dengan tetap memperhatikan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut.
(6)
DAFTAR PUSTAKA
Beasley, W.G. 1972. The Meiji Restoration. California : Stanford University Press Ishii, Ryosuke. 1988. Sejarah Institusi Politik Jepang. Jakarta : PT. Gramedia
Kunio,Yoshihara.1983. Perkembangan Ekonomi Jepang (Sebuah Pengantar) Jakarta : PT. Gramedia
Kunio,Yoshihara.1987. Sogo Shosha Pemandu Kemajuan Ekonomi Jepang. Jakarta : PT. Gramedia
Nakamura, Takafusa. 1985. Perkembangan Ekonomi Jepang Moderen. Kementrian Luar Negeri Jepang
Ohkawa, Kazushi. 1983. Pertumbuhan Ekonomi dan Pertanian (Pengalaman Jepang) Gadjah Mada University Press
Rosidi, Ajip. 1981. Mengenal Jepang. Jakarta : Pusat Kebudayaan Jepang
Situmorang, Hamzon. 1995. Perubahan Kesetiaan Bushi dari Tuan kepada Keshogunan dalam Feodalisme Zaman Edo (1603-1868) di Jepang. Medan : USU Press.
Tahiro. 2003. Sepak Terjang Jepang di Indonesia. Depok : Lembaga Humaniora Waswo, Ann. 1996. Modern Japanese Society. New York : Oxford University Press http: //id.wikipedia.org/wiki/Restorasi_Meiji
http: //www.japan-guide.com/e/e2130.html
http://abinissa.wordpress.com/2007/11/04/restorasi-meiji-atau-modernisasi-jepang-dibawah-kaisar-meiji
http : //www.mail-archive.com/Zaibatsu dan sistem pemasaran Jepang.