BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Implementasi Kebijakan 2.1.1. Pengertian Implementasi Kebijakan - Policy Implementation Of Law Number 13 Of 1998 Concerning The Elderly Welfare In Order To Realization Elderly Welfare In Elderly Social Services Unit (UPT) In R

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Implementasi Kebijakan

2.1.1. Pengertian Implementasi Kebijakan

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, implementasi adalah pelaksanaan dan penerapan, dimana kedua hal ini bermaksud untuk mencari bentuk tentang hal yang disepakati terlebih dahulu. Implementasi adalah proses untuk memastikan terlaksananya suatu kebijakan dan tercapainya kebijakan tersebut. Impelementasi juga dimaksudkan menyediakan sarana untuk membuat sesuatu dan memberikan hasil yang bersifat praktis terhadap sesama. Jadi Implementasi dimaksudkan sebagai tindakan individu public yang diarahkan pada tujuan serta ditetapkan dalam keputusan dan memastikan terlaksananya dan tercapainya suatu kebijakan serta memberikan hasil yang bersifat praktis terhadap sesama sehingga dapat tercapainya sebuah kebijakan yang memberikan hasil terhadap tindakan- tindakan individu publik dan swasta ( http://www.scribd.com . Diakses pada tangal 25 November 2012 pukul 15.00).

  Implementasi menurut kamus Webster merumuskan secara pendek bahwa to

  

implement (mengimplementasikan) berarti to provide the means for carrying out;

  (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); to give practical effect to (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu). Van Meter dan Van Horn (1975) merumuskan implementasi ini adalah sebagai tindakan – tindakan yang dilakukan baik oleh individu – individu, pejabat – pejabat, atau kelompok – kelompok pemerintah atau keputusan kebijakan(Wahab,2005: 64).

  Pengertian implementasi menurut Mazmanian dan Sabatier adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan/sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan/mengatur proses implementasinya. Proses ini berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu, biasanya diawali dengan tahapan pengesahan undang-undang, kemudian output kebijakan dalam bentuk pelaksanaan keputusan oleh badan (instansi) pelaksanaan, kesediaan dilaksanakannya keputusan- keputusan tersebut oleh kelompok-kelompok sasaran, dampak nyata; baik yang dikehendaki atau yang tidak dari output tersebut, dampak keputusan sebagai dipersepsikan oleh badan-badan yang mengambil keputusan, dan akhirnya perbaikan-perbaikan penting (atau upaya untuk melakukan perbaikan-perbaikan) terhadap undang-undang/ peraturan yang bersangkutan (Wahab,2005: 68).

  Berdasarkan banyak pengertian implementasi yang dikemukakan diatas,dapat dikatakan bahwa implementasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan pihak-pihak yang berwenang atau kepentingan baik pemerintahmaupun swasta yang bertujuan untuk mewujudkan cita-cita atau tujuan yang telah ditetapkan, implementasi dengan berbagai tindakan yang dilakukan untuk melaksanakan atau merealisasikan program yang telah disusun demi tercapainya tujuan dari program yang telah direncanakan karena pada dasarnya setiap rencana yang ditetapkan memiliki tujuan atau target yang hendak dicapai.

  Sedangkan kebijakan (policy) juga memiliki arti yang bermacam – macam. Harold D.Lasswell dan Abraham Kaplan memberi arti kebijakan sebagai a projected program of

  

goals, values and practises , yang bermakna suatu program pencapaian tujuan, nilai – nilai

  dan praktek – praktek yang terarah. Carl J. Friedrick mendefinisikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan – hambatan dan kesempatan – kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Pendapat ahli lainnya seperti James E.Anderson mengatakan bahwa kebijakan itu adalah serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu. Kemudian menurut Amara Raksasataya mengemukakan bahwa kebijakan adalah sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai tujuan. Menurut beliau kebijakan memuat tiga elemen yaitu : 1.

  Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai 2. Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diiginkan

3. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi(islamy,2004: 17).

  Menurut Perserikatan Bangsa – Bangsa, kebijakan diartikan sebagai pedoman untuk bertindak. Pedoman itu boleh jadi amat sederhana atau kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau sempit, kabur atau jelas, longgar atau terperinci bersifat kualitataif atau kuantitatif, publik maupun privat. Kebijakan dalam makna seperti ini mungin berupa suatu deklarasi mengenai dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktivitas – aktivitas ataupun suatu rencana(Wahab,2005:2).

  Ada juga pengertian kebijakan sebagai suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan tindakan-tindakan yang terarah dan kebijakan juga merupakan serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukan kesulitan-kesulitan dan kemungkinan usulan kebijaksanaan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu(( http://www.scribd.com . Diakses pada tanggal 25 November 2012 pukul 15.00).

  Oleh karena itu bisa kita pahami secara sederhana bahwa implementasi kebijakan adalah suatu tahapan kebijakan publik, antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi – konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu dapat mengalami kegagalan sekalipun kebijakan itu telah diimplementasikan dengan sangat baik, sementara itu suatu kebijakan yang telah direncanakan dengan sangat baik, dapat mengalami kegagalan jika kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan baik oleh para pelaksana kebijakan.

   

  Dengan demikian bisa kita ketahui bahwa implementasi dan kebijakan adalah dua kata yang tidak bisa dipisahkan dalam satu kosa kata. Implementasi sebagai kata kerja dan kebijakan sebagai objek untuk yang diimplementasikan. Sebagai pangkal tolak berpikir kita, hendaknya selalu diingat bahwa implementasi adalah sebagian besar kebijakan dari pemerintah dan pasti akan melibatkan sejumlah pembuat kebijakan baik publik maupun swasta berusaha keras untuk memberikan pelayanan atau jasa kepada masyarakat guna untuk mencapai tujuan tertentu. Sehingga untuk melaksanakan implementasi kebijakan ini perlu mendapatkan perhatian yang seksama dari berbagai kalangan.

2.2. Model – Model Perumusan Kebijakan

  Membuat atau merumuskan kebijakan bukanlah suatu proses yang sederhana dan mudah. Hal ini disebabkan banyak faktor atau kekuatan – kekuatan yang berpengaruh terhadap proses pembuatan kebijakan tersebut. Suatu kebijakan dibuat bukan semata – mata untuk kepentingan politis tetapi justru untuk meningkatkan kesejahteraan hidup anggota masyarakat secara keseluruhan. Perumusan kebijakan akan lebih mudah dimengerti apabila menggunakan suatu model atau pendekatan tertentu.

  Oleh karena itu, beberapa ahli mengembangkan model-model perumusan kebijakan untuk mengkaji proses perumusan kebijakan agar lebih mudah dipahami. Dengan demikian, pembuatan model-model perumusan kebijakan digunakan untuk lebih menyederhanakan proses perumusan kebijakan yang berlangsung secara rumit tersebut.

  Ada cukup banyak model perumusan kebijakan yang dipaparkan oleh beberapa ahli, hanya saja yang akan dibahas hanyalah beberapa dari model tersebut. Sebelum dibahas lebih lanjut identifikasi beberapa model perumusan kebijakan, perlu diperhatikan bahwa tidak ada satupun dari beberapa model yang dibahas dianggap “paling baik”, karena masing – masing model memberikan fokus perhatiannya pada aspek yang berbeda, sehingga akan membuat kita mampu mempelajari kebijakan dari berbagai sudut pandangan.

2.2.1 Model Sistem – politik

  Model ini diangkat dari uraian sarjana politik David Easton. Model ini didasarkan pada konsep – konsep teori informasi (inputs, withinputs, outputs dan feedback) dan memandang kebijakan sebagai respon suatu sistem politik terhadap kekuatan – kekuatan lingkungan (dalam hal ini yaitu sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, geografis dan sebagainya) yang ada di sekitarnya. Konsep “sistem” itu sendiri menunjuk pada seperangkat lembaga dan aktivitas – aktivitas politik dalam masyarakat Sehingga model ini memandang kebijakan sebagai hasil (output) dari sistem politik yang berfungsi mengubah tuntutan – tuntutan(demands), dukungan – dukungan (supports), dan sumber – masukan atau inputs ini menjadi keputusan – keputusan atau kebijakan – kebijakan yang otoritatif bagi seluruh anggota masyarakat (outputs). Konsep “sistem” ini juga menunjukkan adanya saling hubungan antara elemen – elemen yang membangun sistem politik serta mempunyai kemampuan menanggapi kekuatan dalam lingkungannya. Inputs yang sudah diterima oleh sistem politik dijadikan dalam bentuk tuntutan dan dukungan (Islamy,2004: 45).

  Paine dan Naumes berpendapat bahwa model ini merupakan model deskripitif karena lebih berusaha menggambarkan senyatanya yang terjadi dalam pembuatan kebijakan. Menurut Paine dan Naumes, model ini disusun hanya dari sudut pandang para pembuat kebijakan. Dalam hal ini para pembuat kebijakan dilihat perannya dalam perencanaan dan pengkoordinasian untuk menemukan pemecahan masalah yang akan (1) menghitung kesempatan dan meraih atau menggunakan dukungan internal dan eksternal, (2) memuaskan permintaan lingkungan, dan (3) secara khusus memuaskan keinginan atau kepentingan para pembuat kebijakan itu sendiri. Dengan merujuk pada pendekatan sistem yang ditawarkan oleh Easton, Paine dan Naumes menggambarkan model pembuatan kebijakan sebagai interaksi yang terjadi antara lingkungan dengan para pembuat kebijakan dalam suatu proses yang dinamis. Model ini mengasumsikan bahwa dalam pembuatan kebijakan terdiri dari interaksi yang terbuka dan dinamis antar para pembuat kebijakan dengan lingkungannya. Interaksi yang terjadi dalam bentuk keluaran dan masukan (inputs dan outputs). Keluaran yang dihasilkan oleh organisasi pada akhirnya akan menjadi bagian lingkungan dan seterusnya akan berinteraksi dengan organisasi( http://adiprojo.blogspot.com/ . Diakses pada tanggal 27 November 2012 pukul 19.00).

  Tuntutan – tuntutan (demands) timbul bila individu – individu atau kelompok setelah memperoleh respons dari peristiwa dan keadaan – keadaan yang ada dilingkungannya serta berupaya mempengaruhi proses pembuatan kebijakan. Konsep “sistem” ini akan menyerap berbagai tuntutan yang ada. Sedangkan dukungan (supports) diperlukan untuk menunjang tuntutan – tuntutan yang telah dibuat tadi. Jika sistem politik telah berhasil membuat keputusan ataupun kebijakan yang sesuai dengan tuntutan tadi maka implementasi keputusannya akan semakin mudah dilakukan. Menerima dan mematuhi hasil keputusan kebijakan, mematuhi undang-undang, membayar pajak dan sebagainya adalah merupakan perwujudan dari pemberian dukungan dan sumber – sumber.

  Suatu sistem menyerap bermacam-macam tuntutan yang kadangkala bertentangan antara satu dengan yang lain. Untuk mengubah tuntutan-tuntutan menjadi hasil-hasil kebijakan (kebijakan-kebijakan publik), suatu sistem harus mampu mengatur penyelesaian- penyelesaian pertentangan atau konflik dan memberlakukan penyelesaian-penyelesaian ini pada pihak yang bersangkutan. Oleh karena suatu sistem dibangun berdasarkan elemen- elemen yang mendukung sistem tersebut dan hal ini bergantung pada interaksi antara berbagai subsistem, maka suatu sistem akan melindungi dirinya melalui tiga hal, yakni: 1) menghasilkan outputs yang secara layak memuaskan, 2) menyandarkan diri pada ikatan- ikatan yang berakar dalam sistem itu sendiri, dan 3) menggunakan atau mengancam untuk menggunakan kekuatan (penggunaan otoritas). Dengan penjelasan yang demikian, maka model ini memberikan manfaat dalam membantu mengorganisasikan penyelidikan terhadap pembentukan kebijakan.

  Secara singkat bisa dipahami, perumusan kebijakan dengan menggunakan model sistem ini mengandaikan bahwa kebijakan merupakan hasil dari output dari sistem. Seperti yang dipelajari dalam ilmu politik yang dikemukakan David Easton, yang terdiri atas input,

  

throughput¸ dan output dan model ini merupakan model yang paling sederhana namun

cukup komprehensif(Nugroho,2006: 96).

2.2.2. Model Rasional Komprehensif

  Model ini merupakan model yang paling dikenal dan juga paling luas diterima para kalangan pengkaji kebijakan . Model teori ini mengedepankan gagasan bahwa kebijakan sebagai maximum social gain yang berarti pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus memilih kebijakan yang memberikan manfaat optimum bagi masyarakat. Model ini mengatakan bahwa proses penyusunan kebijakan harus didasarkan pada kebutuhan yang sudah diperhitungkan rasionalitasnya. Rasionalitas yang diambil adalah perbandingan antara pengorbanan dan hasil yang dicapai. Dengan kata lain, model ini lebih menekankan pada aspek efisiensi dan aspek ekonomis. Cara – cara memformulasikan atau merumuskan kebijakannya sesuai urutan adalah sebagai berikut: 1.

  Mengetahui preferensi publik dan kecenderungannya 2. Menemukan pilihan – pilihan 3. Menilai konsekuensi masing – masing pilihan 4. Menilai rasio nilai sosial yang dikorbankan 5. Memilih alternatif kebijakan yang paling efisien

  Apabila dirunut, model ini merupakan model ideal dalam merumuskan kebijakan, dalam arti mencapai tingkat efisiensi dan efektivitas kebijakan. Studi – studi kebijakan biasanya memfokuskan pada tingkat efisiensi dan keefektifan kebijakan(Nugroho,2006: 82).

  Unsur – unsur utama dari teori ini dapat dikemukakan sebagai berikut : 1. Pembuat keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu yang dapat dibedakan dari masalah – masalah lain atau setidaknya dinilai sebagai masalah – masalah

  2. Tujuan – tujuan, nilai – nilai, atau saran yang memedomani pembuat keputusan amat jelas dan dapat ditetapkan rangkingnya sesuai dengan urutan kepentingannya.

3. Berbagai alternatif untuk memecahkan masalah tersebut diteliti secara saksama 4.

  Teliti juga akibat – akibat (biaya dan manfaat) yang ditimbulkan oleh setiap alternatif yang dipilih

  5. Setiap alternatif dan masing – masing akibat yang menyertainya dapat diperbandingkan dengan alternatif lain yang ada

  6. Pembuat keputusan akan memilih alternatif dan akibat – akibatnya, yang dapat memaksimasi tercapainya tujuan, nilai atau sasaran yang telah digariskan(Wahab,2005: 19). Namun, model ini juga memiliki kelemahan dan kelebihannya. Beberapa ahli yang memuji model ini diantaranya :

  1. Lutrin dan Settle, yang berpendapat bahwa “Model rasional komprehensif dipandang sebagai suatu prosedur yang optimal yang akan banyak diinginkan dalam berbagai keadaan” 2. Nicholas Henry, yang berpendapat bahwa “Model rasional komprehensif menjelaskan tentang bagaimana kebijakan negara itu seharusnya dibuat di lembaga pemerintahan secara optimal. Hal inilah yang menjadikan model rasional komprehensif begitu berharga bagi administrasi negara karena model ini berhubungan dengan bagaimana kebijakan itu dibuat secara lebih baik” 3. Ira Sharkansky, yang berpendapat bahwa “Model ini adalah menggunakan pada kebudayaan kita”

  4. James E.Anderson, yang berpendapat bahwa “model pembuatan keputusan yang banyak dikenal dan juga mungkin yang banyak/secara luas diterima adalah model rasional komprehensif(Islamy,2004: 52-53). Selain pendapat – pendapat di atas, masih banyak lagi pendapat lain yang memuji kehebatan model rasional komprehenssif, tetapi secara kontroversial mereka juga mengakui akan banyaknya kelemahan – kelemahan model ini. Seorang ahli Ekonomi dan Matematika Charles Lindblom menyatakan bahwa para perumus kebijakan itu sebetulnya tidaklah berhadapan dengan masalah – masalah yang konkrit dan terumuskan dengan jelas.

  Sebaliknya, mereka pertama – tama harus mengidentifikasikan dan merumuskan masalah – masalah itu dan dari sinilah mereka kemudian memutuskan untuk merumuskan kebijakan.

  Merumuskan masalah lah yang seringkali justru merupakan kesulitan terbesar bagi banyak pembuat kebijakan(Wahab,2005: 19).

  Kelemahan model ini yang kedua adalah pada praktiknya perumus kebijakan acap kali tidak mempunyai cukup kecakapan untuk melakukan syarat – syarat dari model ini, mulai dari analisis, penyajian alternatif, memperbandingkan alternatif, hingga penggunaan teknik – teknik analisis komputer yang paling maju untuk menghitung rasio untung dan ruginya. Selain itu hal ini menunjukan bahwa rasionalitas itu sendiri mempunyai keterbatasan dan bisa jadi berubah menjadi irasionalitas. Hal ini lah menunjukkan bahwa teori “rasional” tidak cukup untuk memahami pembuatan keputusan kebijakan negara(Nugroho,2006: 88).

2.2.3. Model Inkrementalis

  berdasarkan kritik dan perbaikan terhadap model rasional – komprehensif dengan mengubah (memodifikasi) sedikit – sedikit kebijakan yang sudah dibuat oleh model rasional komprehensif(Islamy,2004: 59). Dijelaskan bahwa para pembuat kebijakan dalam model rasional komprehensif tidak pernah melakukan proses seperti yang disyaratkan oleh pendekatan rasional dikarenakan para pembuat kebijakan tidak memiliki cukup waktu, intelektual dan biaya. Ada muncul kekhawatiran dari dampak yag tidak diinginkan akibat kebijakan yang belum pernah dibuat sebelumnya, ada hasil – hasil dari kebijakan sebelumnya yang harus dipertahankan dan menghindari konflik(Nugroho,2006: 89).

  Model ini melihat bahwa kebijakan merupakan variasi atau kelanjutan dari kebijakan di masa lalu. Model ini dapat dikatakan sebagai model pragmatis/praktis.

  Pendekatan model ini diambil ketika pembuat kebijakan berhadapan dengan keterbatasan waktu, ketersediaan informasi, dan kecukupan dana untuk melakukan evaluasi kebijakan secara komprehensif. Sementara itu pembuat kebijakan dihadapkan pada ketidakpastian yang muncul di sekelilingnya. Pilihannya adalah melanjutkan kebijakan di masa lalu dengan beberapa modifikasi seperlunya. Pilihan ini biasanya dilakukan oleh pemerintahan yang berada di lingkungan masyarakat yang pluralistik, yang membuatnya tidak mungkin membuat kebijakan baru yang dapat memuaskan seluruh warga. Dengan kata lain, model ini memberikan kebijakan tambahan yang baru dengan sedikit memodifikasi kebijakan di masa lalu hanya saja kebijakan penambahan (inkremental) ini tidak mendapatkan dukungan yang memadai. Model inkrementalis berusaha mempertahankan komitmen kebijakan di masa lalu untuk mempertahankan kinerja yang telah dicapai. Model kebijakan inkrementalis tidak saja terjadi karena keterbatasan sumber daya, melainkan juga karena keberhasilan di masa lalu yang menciptakan rasa puas diri yang berkepanjangan(Nugroho,2006: 89-91).

  Menurut pandangan kaum inkrementalis, para pembuat keputusan dalam menunaikan tugasnya berada dibawah keadaan yang tidak pasti yang berhubungan dengan konsekuensi konsekuensi dari tindakan mereka di masa depan, maka keputusan-keputusan inkremental dapat mengurangi resiko atau biaya ketidakpastian itu. Inkrementalisme juga mempunyai sifat realistis karena didasari kenyataan bahwa para pembuat keputusan kurang waktu, kecakapan dan sumber-sumber lain yang dibutuhkan untuk melakukan analisis yang menyeluruh terhadap semua penyelesaian alternatif masalah-masalah yang ada. Di samping itu, pada hakikatnya orang ingin bertindak secara pragmatis, tidak selalu mencari cara hingga yang paling baik dalam menanggulangi suatu masalah. Singkatnya, inkrementalisme menghasilkan keputusan-keputusan yang terbatas, dapat dilakukan dan diterima( http://adiprojo.blogspot.com/ . Diakses pada tanggal 27 November 2012 pukul 19.00).

  Model inkremental ini juga memiliki kekurangan dan kelebihannya. Hal ini bisa kita lihat dari beberapa pendapat dari beberapa ahli. (islamy,2004: 65)Seperti komentar James Anderson yang mengatakan bahwa :

  “inkrementalis adalah suatu model yang tepat dalam merumuskan kebijakan karena ia

  

akan lebih mudah mencapai kesepakatan bila masalah – masalah yang dipertentangkan

diantara beberapa kelompok hanyalah sekedar memodifikasi atas kebijakan – kebijakan

yang sudah ada. Karena para pembuat kebijakan selalu bekerja dalam kondisi yang tidak

menentu, sehingga dalam memepertimbangkan konsekuensi tindakannya di masa

mendatang dapat mengurangi resiko biaya – biaya atas ketidakpastian tersebut.

Inkrementalisme juga realistik karena mengakui bahwa para pembuat kebijakan memiliki

kekurangan waktu, keahlian dan sumber – sumber lain yang diperlukan untuk melakukan

analisisnya. Lagipula, manusia pada hakikatnya adalah pragmatis, tidak selalu mencari

satu cara yang terbaik untuk mengatasi masalahnya tetapi secara lebih sederhana mencari

sesuatu yang cukup baik untuk mengatasi masalahnya. Jadi secara singkat

inkrementalisme menghasilkan keputusan – keputusan yang terbatas, dapat dilaksanakan

dan dapat diterima”.

  Dibalik kelebihannya, tetap saja ada yang mengkritisi model inkremental ini. Seperti yang diungkapkan oleh Terry W. Hartle. Hartle mengungkapkan bahwa inkrementalisme cenderung mengabaikan pembaruan karena hanya memusatkan perhatiannya pada tujuan jangka pendek dan hanya mencapai beberapa variasi dari kebijakan yang sudah digunakan/lampau(Islamy,2004: 69).

  Model yang diperkenalkan oleh Charles E.Lindblom ini juga dikenal dengan sebutan “muddling through” dimana secara sederhana bisa kita pahami bagaimana kebijakan itu dibuat berdasarkan kebijakan yang lama dipakai sebagai dasar atau pedoman untuk membuat kebijakan yang baru.

  2.2.4. Model Penyelidikan Campuran Model ini merupakan upaya menggabungkan antara model rasional dan model inkremental. Inisiatornya adalah pakar sosiologi organisasi yang bernama Amitai Etzioni pada tahun 1967. Ia memperkenalkan model ini sebagai suatu pendekatan terhadap formulasi keputusan – keputusan pokok dan inkremental, menetapkan proses – proses formulasi kebijakan pokok dan urusan tinggi yang menentukan petunjuk – petunjuk dasar, proses – proses yang mempersiapkan keputusan – keputusan pokok, dan menjalankannya setelah keputusan itu tercapai. Model ini ibaratnya pendekatan dengan dua kamera : kamera dengan wide angle untuk melihat keseluruhan, dan kamera dengan zoom untuk melihat detailnya(Nugroho,2006: 98). Artinya, jika memakai dua model sebelumnya yaitu model rasional dan inkremental, maka bisa digambarkan bahwa pendekatan rasionalitas sebagai wide angle (sudut lebih luas) yaitu memiliki sudut yang lebar tetapi tidak detail atau rinci. Pendekatan rasionalitas menghasilkan sebuah pengamatan yang membutuhkan biaya yang besar dan cenderung melampaui kemampuan . Hal ini akan memberikan banyak hasil pengamatan secara terperinci, biaya yang mahal untuk menganalisisnya dan kemungkinan membebani kemampuan-kemampuan untuk mengambil tindakan. Sedangkan inkrementalisme dengan zoom nya akan memusatkan perhatian hanya pada daerah-daerah serta pola-pola yang telah diamati yang memerlukan pengamatan yang lebih mendalam( http://adiprojo.blogspot.com/2010/04/model-model-formulasi-kebijakan-

  publik.html , diakses pukul 19.00 WIB. 27 November 2012).

  Model ini menyodorkan konsepsi mixed scanning (pengamatan terpadu) sebagai suatu pendekatan untuk mengambil keputusan yang bersifat fundamental maupun yang inkremental. Model ini belajar dari kelebihan dan kekurangan model – model sebelumnya. Model mixed scanning ini memanfaatkan dua macam model sebelumnya secara fleksibel dan sangat tergantung dengan masalah dan situasinya. Model mixed scanning memperhitungkan tingkat kemampuan para pembuat keputusan untuk memobilisasikan kekuasaannya serta semakin efektif guna mengimplementasikan keputusan – keputusan mereka. Lebih mudah dipahami bahwa model ini adalah model yang amat menyederhanakan masalah. Model ini disukai karena pada hakikatnya model ini merupakan pendekatan kompromi yang menggabungkan pemanfaatan model rasional komprehensif dan model inkrementalisme dalam proses pengambilan keputusan(Wahab,2005: 26).

  Dari beberapa model atau pendekatan dalam peembuatan kebijakan yang sudah dipaparkan sebelumnya, masing – masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Dalam hal ini, tidak ada pernyataan yang mana yang paling baik dan sesuai diantara beberapa model tersebut. Yang pastinya, untuk menentukan model mana yang akan dipakai untuk merumuskan kebijakan, haruslah yang paling baik dan berlandaskan pada kriteria – kriteria tertentu yang sesuai dengan kebutuhan.

   

2.3. Proses – Proses Perumusan Kebijakan

   

  Membuat atau merumuskan suatu kebijakan, apalagi kebijakan pemerintah yang menyangkut untuk kemaslahatan masyarakat, bukanlah suatu proses yang mudah dan sederhana. Hal ini disebabkan karena banyaknya faktor atau kekuatan – kekuatan yang berpengaruh terhadap proses pembuatan kebijakan tersebut. Suatu kebijakan dibuat bukan untuk kepentingan politik semata, tetapi justru utuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat secara keseluruhan.

  Setiap pembuat kebijakan akan memandang berbeda dalam permasalahan yang ada di sekitar masyarakat. Belum tentu sebuah masalah yang dianggap masyarakat perlu dipecahkan oleh para pembuat kebijakan bisa masuk ke dalam agenda pemerintah yang kemudian diproses untuk bisa menjadi kebijakan suatu negara. Proses perumusan kebijakan yang begitu sulit dan rumit direalisasikan, pun masih dihadapkan dengan permasalahan : apakah kebijakan yang sudah dihasilkan akan berjalan mudah atau lancara ketika diimplementasikan? Apakah sudah dipersiapkan antisipasinya? Dan hasil implementasi kebijakan yang sudah dibuat tersebut baik yang berdampak atau yang mempunyai konsekuensi positif maupun negatif juga berpengaruh terhadap proses perumusan kebijakan yang selanjutnya.

   

  Untuk itu, berikut ini akan dibahas tentang proses – proses perumusan sebuah kebijakan yang dimulai dari proses perumusan masalah kebijakan, penyusunan agenda pemerintah, pengajuan kebijakan, pengesahan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan penilaian kebijakan.

2.3.1. Perumusan Masalah

    Masalah merupakan hal yang tidak bisa lepas dari proses perumusan kebijakan.

  Perumusan masalah adalah langkah awal dari proses perumusan kebijakan. Banyak orang yang menduga bahwa masalah – masalah kebijakan selalu muncul dan ada begitu saja di hadapan para pembuat kebijakan, oleh karena itulah seolah – olah proses analisis daan perumusan kebijakan sudah dapat dimulai. Tapi sesungguhnya, kebanyakan para pembuat kebijakan harus mencari dan menentukan identitas masalah kebijakan itu dengan susah payah barulah kemudian mereka dapat merumuskan masalah kebijakan dengan benar.

   

  Pengertian masalah dalam konteks kebijakan adalah sebagai kondisi atau situasi yang mnghasilkan kebutuhan – kebutuhan atau ketidakpuasan yang dirasakan oleh rakyat dimana perlu dicari cara – cara penanggulangannya. Hal ini dilakukan oleh mereka yang secara langsung terkena akibat oleh masalah itu atau oleh orang lain yang punya tanggung jawab untuk hadirnya ketidakpuasan tersebut(Islamy,2004: 79). Banyak sekali kebutuhan – kebutuhan atau ketidakpuasaan yang dimiliki masyarakat . Masalah yang muncul di dalam masayarakat tadi telah menjadi masalah bersama atau sering dikenal sebagai public

  

problem hingga menjadi public issue yaitu masalah bersama yang telah menuntut untuk

  penyelesaiannya melalui intervensi kebijakan. Seperti yang diutarakan sebelumnya para pembuat kebijakan sebenarnya mengalami kesulitan dalam merumuskan masalah yang ada di masyarakat, salah satu alasannya karena kealpaan atau tidak mampu dan mungkin tidak sadarnya masyarakat dalam mengidentifikasikan masalahnya sendiri.

   

  Rintangan yang dihadapi para aktor pembuat kebijakan yang paling utama adalah memang benar mengidentifikasi masalah dan merumuskan masalah yang ada di masyarakat. Masalah yang timbul dalam masyarakat sangat banyak, kompleks dan rumit. Yang menjadi titik kesulitannya adalah mampukah pembuat kebijakan ini melihat masalah dengan benar dan merumuskan msalah itu dengan benar pula. Faktanya, banyak sekali program – program yang telah dibuat dan dilaksanakan tidak sesuai dengan kebutuhan, dan di samping itu pula banyak masalah yang sudah muncul tiba – tiba “menghilang” di tengah jalan sehingga tidak dapat di proses menjadi sebuah kebijakan. Para pembuat kebijakan sering kali tidak mampu menemukan masalah – masalah yang ada dengan baik karena mereka sering terjebak ke dalam masalah yang sebenarnya masalah tersebut masih dalam bentuk “gejala masalah”. Kesalahan di dalam melihat dan mengidentifikasikan masalah akan berakibat salahnya perumusan masalah dan ini akan berakibat panjang pada fase – fase berikutnya(Islamy,2004: 81).

   

  Oleh karena itu, langkah yang benar- benar harus dilakukan oleh setiap pembuat kebijakan adalah dengan benar – benar mengidentifikasi masalah yang akan diselesaikan kemudian membuat perumusan yang jelas terhadap masalah tersebut. Jika benar – benar sudah teliti, maka masalah tersebut akan dimasukkan ke dalam agenda pemerintah untuk diproses lebih lanjut.

2.3.2. Proses Penyusunan Agenda

  Penyusunan agenda adalah langkah kedua dalam merumuskan kebijakan. Setelah para pembuat kebijakan dengan cermat mengidentifikasi masalah dan telah melahirkan perumusan masalah yang benar, maka masalah – masalah tersebut akan diolah dan dimasukkan ke agenda. Secara umum agenda kebijakan merupakan sebuah daftar permasalahan atau isu yang mendapat perhatian serius karena berbagai alasan sehingga diproses menjadi kebijakan. Menurut Cobb dan Elder, agenda dapat diklasifikasikan ke dalam dua tipe. Pertama, agenda yang bersifat sistematis. Jenis agenda ini mencakup seluruh isu yang umumnya diakui dan mendapat perhatian publik serta termasuk persoalan yang masuk di dalam yurisdiksi legitimasi pemerintah. Kedua,agenda yang bersifat institusional. Agenda ini mencakup seluruh isu – isu dimana para pembuat kebijakan yang untuk diagendakan, misalnya menjadi agenda legislatif dan eksekutif(Madany,2011: 24).

    Perlu untuk diketahui bahwa tidak semua masalah yang ada bisa diagendakan untuk dirumuskan kebijakannya. Ada beberapa faktor yang dapat menjadi faktor masalah – masalah itu bisa masuk ke dalam agenda pemerintah. Faktor – faktornya adalah :

    1.

  Apabila masalah tersebut dipandang dapat menimbulkan konflikantar kelompok masyarakat, sehingga masyarakat menuntut pemerintah untuk ambil tindakan guna menyelesaikan masalah tersebut   2. Timbulnya krisis atau peristiwa luar biasa yang menyangkut masalah tersebut.

  Setiap kejadian atau peristiwa luar biasa selalu memperoleh perhatian yang luas dari masyarakat, termasuk pembuat kebijakan, sehingga memaksa para pembuat kebijakan memperhatikan peristiwa atau kejadian tersebut dan mempertimbangkannya  

3. Adanya gerakan – gerakan protes dari satu kelompok lemah oleh kelompok –

  kelompok atas dikarenakan kepentingan kelompok atas

    4.

  Adanya peran media masa yang meliput akan adanya masalah-masalah yang timbul dimasyarakat, membuat ketertarikan para pembuat kebijakan untuk melihat dan kemungkinan besar akan diperhatikan pemerintah dan bisa masuk ke dalam agenda pemerintah(Islamy,2004: 87).

   

  Proses memasukkan masalah-masalah ke dalam agenda pemerintah seperti yang sudah diutarakan sebelumnya bukanlah pekerjaan yang ringan, tetapi justru merupakan pekerjaan yang rumit dan kompleks. Karena itu, harus dilihat tidak hanya dinamika prosesnya saja tetapi juga pada tataran interaksi dan peran dari golongan-golongan yang berpartisipasi, baik dari pemerintah maupun non pemerintah(masyarakat). Masalah yang ada di sekitar masyarakat cukup banyak, oleh karena itu para pembuat kebijakan harus memiliki kapasitas dan keterampilan yang memadai untuk memilih masalah mana duluan yang harus ditangani secara aktif dan serius.

2.3.3. Perumusan Usulan Kebijakan  

  Ini adalah proses ketiga dalam proses perumusan kebijakan. Setelah mengidentifikasi masalah yang ada lalu dimasukkan ke agenda pemerintah, maka langkah selanjutnya adalah merumuskan usulan kebijakan. Perumusan usulan kebijakan adalah kegiatan menyusun dan mengembangkan serangkaian tindakan-tindakan untuk pemecahan masalah. Yang termasuk ke dalam kegiatan ini adalah : mengidentifikasi alternatif, mendefenisikan dan merumuskan alternatif, menilai alternatif yang tersedia, dan memilih alternatif yang bagus atau yang paling mungkin untuk dilaksanakan.

   

  Kegiatan yang dilakukan adalah mengidentifikasi alternatif. Sebelum

  pertama

  pembuat kebijakan merumuskan usulan kebijakannya, maka terlebih dahulu harus mengidentifikasi alternatif – alternatif untuk kepentingan pemecahan masalah tersebut.

  Masalah-masalah umum yang sudah diidentifikasi sebelumnya dan sudah masuk ke dalam agenda pemerintah, harus diidentifikasi alternatif-alternatifnya untuk pemecahan masalah tersebut. Maksudnya adalah setiap masalah memiliki karakteristik masalahnya masing- masing. Oleh karena itu, sebelum mengusulkan kebijakan maka para pembuat kebijakan dituntut kreatif untuk mencari alternatif atau solusi untuk setiap masalah yang memiliki karakteristik yang berbeda. Identifikasi alternatif atau solusi yang benar dan jelas pada setiap alternatif kebijakan akan mempermudah proses perumusan alternatif tersebut. Kedua adalah mendefinisikan dan merumuskan alternatif atau solusi. Kegiatan mendefinisikan dan merumuskan alternatif ini bertujuan agar masing-masing alternatif yang telah dikumpulkan oleh para pembuat kebijakan semakin nampak dan jelas pengertiannya(defenisinya). Semakin jelas untuk mengerti tentang alternatif atau solusinya maka akan semakin mudah bagi pembuat kebijakan menilai dan mempertimbangkan aspek positif dan negatif dari masing – masng alternatif atau solusi yang sudah dibuat tersebut.

  

Ketiga adalah menilai alternatif. Menilai alternatif disini maksudnya adalah kegiatan pemberian bobot pada setiap alternatif, sehingga akan kelihatan untuk setiap alternatif yang mana yang memiliki bobot positif dan negatif dari alternatif agar para pembuat kebijakan bisa mengambil sikap untuk menentukan alternatif mana yang lebih memungkinkan untuk dipakai dengan indikatornya adalah alternatif ini benar-benar berfungsi dengan baik dan menguntungan semua pihak. Dan kegiatan keempat adalah memilih alternatif atau solusi yang terbaik(bagus) atau yang paling mungkin untuk dilaksanakan. Proses pemilihan alternatif atau solusi yang terbaik ini barulah dapat terlaksana setelah para pembuat kebijakan berhasil dalam melakukan penilaian terhadap alternatif-alternatif tersebut.

  Kegiatan memilih alternatif atau solusi terbaik ini bukanlah semata-mata bersifat rasional tetapi juga emosional. Maksudnya, bahwa para pembuat kebijakan akan menilai alternatif kebijakan yang ada sebatas pada kemampuan rasionalitasnya ditambah lagi ia membuat pilihan alternatif ini bukan hanya untuk kepentingannya sendiri tetapi juga untuk kepentingan pihak – pihak lain yang berpengaruh(Islamy,2004: 92 -95).

   

  Jadi, suatu alternatif yang telah dipilih secara memuaskan akan menjadi suatu usulan kebijakan (policy proposal)yang sudah diantisipasi dan bisa dapat dilaksanakan.

   

  2.3.4. Pengesahan Kebijakan  

  Proses pembuatan kebijakan tidak dapat dipisahkan dengan proses pengesahan kebijakan. Kedua-duanya mempunyai hubungan yang sangat erat sekali, sehingga tidak mungkin dipisahkan. Sebagai suatu proses kolektif, pembuat keputusan/kebijakan akan berusaha sekuat tenaga untuk memenangkan mayoritas dalam forum pengesahan usulan kebijakan, sehingga pejabat atau badan pemberi pengesahan setuju untuk mengadopsi usulan kebijakan tersebut menjadi kebijakan yang telah disahkan dan berarti telah siap untuk dilaksanakan.

   

  Proses pengesahan kebijakan adalah proses penyesuaian dan penerimaan secara bersama terhadap prinsip – prinsip yang diakui dan diterima. Landasan utama untuk melakukan pengesahan itu adalah variabel – variabel sosial seperti sistem nilai masyarakat, ideologi negara, sistem politik dan sebagainya. Proses pengesahan kebijakan biasanya diawali dengan kegiatan persuasion dan bargaining. Persuasion diartikan sebagai usaha – usaha untuk meyakinkan orang lain tentang suatu kebenaran atau nilai kedudukan seseorang dan sehingga mereka mau menerimanya sebagai miliknya sendiri. Dalam usaha

  • – usaha untuk meyakinkan dan mencari dukungan orang lain, maka harus benar- benar berusaha meyakinkan orang lain tersebut bahwa pendapat kita itu benar,bermanfaat bagi masyarakat, sesuai dengan kebutuhan yang mendesak dan sebagainya, sehingga orang lain membenarkan pendapat itu dan mendukungnya. Sehingga dengan cara ini, pembuat kebijakan bisa menciptakan timbulnya suasana emosional yang sedemikian rupa sehingga si pengesah kebijakan atau badan pengesah kebijakan merasa yakin tentang perlunya segera mengesahkan kebijakan tersebut(Islamy,2004: 100).

    Kegiatan dalam proses pengesahan kebijakan selanjutnya yaitu bargaining.

  

Bargaining adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih yang mempunyai kekuasaan

  atau otoritas mengatur/menyesuaikan setidak-tidaknya sebagai tujuan-tujuan yang tidak mereka sepakati agar dapat merumuskan serangkaian tindakan yang dapat diterima bersama tetapi tidak perlu terlalu ideal bagi mereka. Yang termasuk kategori bargaining ini adalah : perjanjian (negotiation), saling memberi dan menerima (take and give), dan kompromi (compromise). Setelah dua kegiatan tersebut dilaksanakan, maka disahkanlah kebijakantersebut( http://legislasi.blogspot.com/ . Diakses pada tanggal 05 Desember 2012 pukul 14.03).  

  Dengan disahkannya kebijakan bukan berarti bahwa masalah yang dihadapi sudah selesai. Akan tetapi akan muncul masalah besar, yaitu apakah kebijakan yang sudah disahkan dengan melalui beberapa tahapan proses yang cukup sulit dapat langsung diterima oleh masyarakat dan diimplementasikan.

  2.3.5. Pelaksanaan Kebijakan

   

  Perlu diketahui bersama bahwa sekali usulan kebijakan yang telah diterima dan disahkan oleh badan atau pihak yang berwenang mensahkannya maka kebijakan itu telah siap untuk diimplementasikan. Ada beberapa kebijakan yang bersifat “self-executing” yang artinya dengan dirumuskannya kebijakan tersebut maka kebijakan tersebut sekaligus langsung terimplementasikan. Contoh misalnya kebijakan negara yang mengakui secara formal penggantian lambang negara yang baru, lagu negara dan lain – lain. Tetapi jumlah kebijakan negara yang seperti ini tidaklah banyak. Kebanyakan kebijakan negara itu berbentuk seperti peraturan perundangan, ketentuan, ketetapan atau yang sejenis dengan itu(Islamy, 2004: 102).

   

  Untuk mengetahui lebih jauh tentang bentuk atau jenis – jenis kebijakan yang dibuat oleh pemerintah,maka berikut ini adalah kategorisasi kebijakan-kebijakan publik untuk masyarakat :

    1.

  Substantive policies   Substantive policies adalah kebijakan-kebijakan tentang apa yang akan/ingin dilakukan oleh pemerintah. Contoh : kebijakan luar negeri, perdagangan, perburuhan, pendidikan, energi, kesehatan, perumahan rakyat dan sebagainya

    2.

  Distributive,Re-Distributive, Regulatory, dan Self Regulatory Policies

    Distributive Policies adalah kebijakan-kebijakan yang berisikan tentang pemberian

  pelayanan – pelayanan atau keuntungan – keuntungan bagi sejumlah penduduk : individu – individu; kelompok; masyarakat - masyarakat tertentu. Re-Distributive

  Policies adalah kebijakan – kebijakan yang sengaja dilakukan oleh pemerintah

  untuk memindahkan pengalokasian kekayaan, pendapatan, pemilikan, beberapa kelompok penduduk dengan kelas – kelas tertentu, misalnya antara golongan mampu (the haves) dan tidak mampu(the havenots). Contoh dari kebijakan ini adalah tentang pembagian tanah untuk buruh tani; pembebasan tanah untuk kepentingan umum; pemberian dana kesejahteraan sosialdan sebagainya.

  Regulatory Policies adalah kebijakan – kebijakan tentang pengenaan pembatasan

  atau larangan – larangan atas tindakan seseorang atau sekelompok. Ini bersifat mengurangi kebebasan seseorang untuk berbuat sesuatu. Contoh dari kebijakan ini adalah kebijakan tentang larangan menyimpan senjata api, obat – obat terlarang dan lain – lain. Self Regulatory Policies adalah kebijakan – kebijakan tentang pembatasan atau pengawasan pada masalah – masalah tertentu bagi sekelompok orang. Self regulatory policies biasanya didukung oleh orang kelompok orang yang berkepentingan dengan kebijakan itu dan menjadikannya sebagai alat untuk melindungi kepentingan mereka sendiri. Contoh dari kebijakan ini adalah tentang pemberian izin kerja, surat izin mengemudi dan lain – lain

    3.

  Material Policies

   

  Material Policies adalah kebijakan-kebijakan tentang pengalokasian atau penyediaan sumber materi yang nyata atau kekuasaan yang hakiki bagi para penerimanya. Contoh dari kebijakan ini adalah tentang kewajiban para majikan untuk membayar upah buruh, kewajiban pemerintah untuk menyediakan rumah murah bagi warganya dan lain – lain.

    4.

  Collective Goods dan Private Goods Policies   Collective Goods Policies adalah kebijakan – kebijakan tentang penyediaan barang- adalah tentang keamanan nasional dan lain-lain. Private Goods Police adalah kebijakan-kebijakan tentang penyediaan barang atau pelayanan hanya bagi kepentingan perseorangan(privat) yang tersedia di pasar bebas dan orang yang memerlukannya harus membayar biaya tertentu. Contoh dari kebijakan ini adalah tempat – tempat hiburan, universitas, jalan tol, rumah sakit dan lain -lain.

    5.

  Liberal dan Conservative Policies   Liberal Policies adalah kebijakan yang menganjurkan pemerintah untuk mengadaka perubahan-perubahan sosial terutama yang diarahkan untuk memperbesar hak-hak persamaan. Kebijakan ini menghendaki agar pemerintah mengadakan koreksi terhadap ketidakadilan dan kelemahan yang ada pada aturan-aturan sosial, meningkatkan ekonomi dan program kesejahteraan. Conservative Policies adalah

      Kebalikan dari liberal policies. Kebijakan conservative cenderung mementingkan

  Kepentingan penguasa dan produsen Tugas dan kewajiban pemerintah bukan hanya sekedar merumuskan dan mengesahkan sebuah kebijakan saja, tetapi pemerintah juga memiliki peran dalam hal pelaksanaan kebijakan yang sudah dibuat tersebut. Pemerintah harus benar-benar mendesiminasikan kebijakan yang sudah dibuat kepada seluruh masyarakat. Oleh karena itu pemerintah harus memanfaatkan sumber daya yang ada seperti media massa baik milik pemerintah maupun milik swasta untuk membangun komunikasi kepada masyarakat – masyarakat tentang kebijakan – kebijakan yang sudah dibuat pemerintah. Jadi kalau proses desiminasi kebijakan digarap dengan baik maka pelaksanaan kebijakan tersebut akan menjadi lebih efektif dan akan dapat menambah kelancaran proses implementasi kebijakan tersebut nantinya.

  Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang paling sulit dalam siklus keseluruhan kebijakan. Karena disini masalah-masalah yang kadang tidak dijumpai dalam konsep, akan muncul pada saat pengimplementasiannya. Implementasi kebijakan sesungguhnya tidaklah sekadar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan- keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi,melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. Di sini Grindle (1980) telah meramalkan, bahwa dalam setiap implementasi kebijakan pemerintah pasti dihadapkan pada banyak kendala, utamanya yang berasal dari lingkungan (konteks) di mana kebijakan itu akan diimplementasikan.

  Untuk mengkaji lebih baik suatu implementasi kebijakan, maka perlu diketahui variabel dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Untuk itu, diperlukan suatu model implementasi kebijakan guna menyederhanakan pemahaman konsep suatu implementasi kebijakan. Ada begitu banyak model – model implementasi kebijakan yang dikembangkan oleh pakar sosial dan beberapa model dibawah ini dikembangkan oleh beberapa pakar sosial sebagai alat untuk mengkaji apa – apa saja bentuk (jenis) implementasi kebijakan, apa – apa saja variabelnya serta syarat – syarat agar implementasinya bisa menjadi berhasil secara sempurna.

2.4.1. Model Van Meter dan Van Horn

  Model implementasi kebijakan yang dirumuskan Van Meter dan Van Horn disebut denganA Model of the Policy Implementation. Proses implementasi ini merupakan sebuah abstraksi atau performansi suatu pengejawantahan kebijakan yang pada dasarnya secara sengaja dilakukan untuk meraih kinerja implementasi kebijakan yang tinggi yang berlangsung dalam hubungan berbagai variabel. Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linear dari keputusan politik, pelaksana dan kinerja kebijakan publik. Model ini menjelaskan bahwa kinerja kebijakan dipengaruhi oleh beberapa variabel yang saling berkaitan, variable-variabel tersebut yaitu :

  1. Ukuran dan tujuan kebijakan Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya dari ukuran dan tujuan kebijakan yang bersifat realistis dengan sosio-kultur yang ada di level pelaksana kebijakan.

  2. Sumber daya Keberhasilan implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Selain sumber daya manusia, sumber daya finansial dan waktu menjadi perhitungan penting dalam keberhasilan implementasi kebijakan

  3. Karakteristik organisasi pelaksana

   Hal ini meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat