BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah - Peralihan Mata Pencaharian Masyarakat dari Sektor Pertanian ke Sektor Pertambangan

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang masalah

  Dalam kehidupan sehari-hari manusia mempunyai kebutuhan yang harus di penuhinya untuk mempertahankan hidup. Kebutuhan ini bersumber dari dorongan- dorongan dalam dirinya sejak ia di lahirkan. Dorongan alamiah yang terdapat pada manusia baik dalam mempertahankan hidup ataupun mengembangkan diri termanifestasikan dalam pola tingkah laku yang terlihat jelas dari segala jenis aktifitas sehari-hari. Pola tingkah laku sehari-hari tersebut terkait lingkungan yang di tempatinya. Salah satu lingkungan yang ditempatinya adalah desa yang menyediakan segala kemungkinan bagi manusia untuk mengembangkan diri khususnya dalam bidang pertanian.

  Masyarakat pedesaan merupakan masyarakat tradisional yang terisolir dari pengaruh dunia luar(Raharjo,1999:47). Sistim sosial-ekonominya memiliki ciri khas tersendiri yang dilatar belakangi alam yang ada di sekelilingnya. Komposisi penduduknya relatif sedikit dan homogen serta sistim aktifitasnya hamper seluruhnya sector pertanian. Masyarakat yang khas mempfokuskan terhadap segi-segi ekonomi yang di pengaruhi oleh situasi dan kondisi serta letak geografi dan dalam relatif realita sehari-hari kurang berorientasi kepada sistim sosial ekonomi lebih dominan berpegang terhadap tradisi-tradisi lama.

  Sebagaimana telah di ketahui bahwa masyarakat baik arti mikro maupun makro didalamnya senantiasa terdapat lapisan-lapisan atau strata-strata secara hirarkis atau secara bertingkat atau berjenjang. Pembagian lapisan yang dimaksud didasarkan kepada beberapa aspek salah satunya adalah aspek sosial ekonomi.

  Kondisi sosial ekonomi baik secara individu atau kelompok tidak terpisahkan dari nilai-nilai tradisionalnya, bahkan nilai-nilai tradisionalnya yang berlaku dalam masyarakat tersebut dapat menjadi norma-norma yang dapat di operasionalkan menjadi landasan dan rambu-rambu pengamanan. Kehidupan sosial ekonomi seseorang menjadi salah satu indikator yang akan menentukan status sosial ekonominya dalam masyarakat. Keadaan sosial ekonomi menunjukkan kemampuan finansial yang dimiliki. Kondisi lingkungan alam juga akan sangat berpengaruh terhadap sistem ekonomi masyarakatnya paling tidak terhadap sistem mata pencahariannya.

  Apabila kita meletakkan Indonesia sebagai masyarakat yang majemuk maka didalam masyarakat Indonesia tersebut juga sudah terbentuk lapisan-lapisan di masyarakatnya. Pada masyarakat Indonesia yang menjadi dasar-dasar pembentukan pelapisan sosial adalah dilihat dari ukuran-ukuran atau kriteria yang menonjol sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial. Pada umumnya ukuran criteria itu dapat di bagi menjadi empat.

  Pertama, berupa ukuran kekayaan(materi atau kebendaan) dimana untuk penempatan anggota masyarakat kedalam lapisan-lapisan sosial yang ada yang mempunyai kekayaan lebih banyak terletak pada lapisan atas. Kedua, ukuran kekuasaan dan wewenang. Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati lapisan teratas dalam sistim pelapisan sosial yang ada. Ketiga, ukuran kehormatan. Hal ini sangat terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat. Keempat, ukuran ilmu pengetahuan yang sering dipakai oleh anggota- anggota masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati lapisan teratas dalam sistim pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan.

  Propinsi Bangka Belitung selain terkenal sebagai penghasil timah, juga dikenal sebagai penghasil lada putih (white papper) atau yang di dunia dikenal sebagai white muntok papper, dalam bahasa setempat (bahasa Bangka) dikenal dengan nama sahang. Di propinsi ini tanaman lada sangat banyak seperti tanaman padi di daerah sentra penghasil beras. Tanaman lada (Piper nigrum L.) merupakan salah satu komoditas tanaman rempah yang hanya dapat tumbuh di daerah tropis.

  Tercatat Indonesia merupakan salah satu negara penghasil lada terbesar selain Brazil, Vietnam, Srilanka, China dan Malaysia. lada merupakan komoditas penghasil devisa no-6 setelah karet, sawit, kopi, teh, dan coklat.

  Petani lada di pulau Bangka akhir-akhir ini mengalami kegundahan yang tidak menentu dikarenakan dengan harga jual yang tidak menentu, Di tahun 1990-an, ketika lada naik daun dan harganya 'gila-gilaan', petani lada di pulau ini menjadi OKB (orang kaya baru) mendadak. Bagaimana tidak, ketika itu dipasaran dunia harga lada putih mencapai Rp. 80.000,- - Rp. 120.000,- per kilogram. Bisa dibayangkan seandainya 1 orang petani memiliki 2 ton lada putih kering, berapa penghasilan petani tersebut. Selain sekarang ini harga jual yang tidak menentu dengan kisaran harga Rp. 25.000 sampai Rp. 30.000 rupiah per kilogram nya, petani juga di hadapkan dengan penyakit terhadap pohon lada itu sendiri, salah satunya yang sering terjadi adalah penyakit kuning yang menyerang daun hingga menjalar ke akar dari pohon lada itu sendiri yang sampai saat ini menjadi musuh utama dari para petani tersebut. Kendala yang dihadapi petani lada justru pada mahalnya harga pupuk. Pemupukan dilakukan sampai umur tanaman lada mencapai tiga tahun. Makin besar tanaman lada, semakin besar jumlah pupuk yang diperlukan. Jenis pupuk yang dibutuhkan adalah urea dan NPK. (Ian Sancin, dalam artikel kebun lada yang di tinggalkan, akses 20 maret 2010)

  Sejak tahun 2001, ketika Perda Kab. Bangka No.6 terbit, mulailah marak TI (Tambang Inkonvensional). Sebagian masyarakat seperti histeris menyambut Perda tersebut dan berusaha mencari kesempatan bergabung atau mendirikan TI-TI. Begitu asyiknya melihat hasil yang didapat sehingga tak peduli dengan segala aturan pertambangan, aturan keselamatan kerja, aturan lingkungan hidup, dan aturan administrasi dari Pemerintah Daerah. Maka seperti jamur di musim hujan berdiri tak terkendali TI tanpa izin, TI tanpa amdal dan TI tanpa reklamasi. Pemodal-pemodal besar dari luar Babel berdatangan, termasuk dari luar negeri, pekrja-pekrja TI berduyun-duyun datang dari luar Babel, dari kota Palembang, dari daerah-daerah transmigrasi Sumsel, dari Jambi, Lampung, Jakarta, dan Jawa/Madura. Konon kini ada 16.000 TI sebagian besar ilegal, ada 2000 alat berat (exscavator) yang mengobrak abrik muka bumi Bangka Belitung. Konon ini adalah jumlah exscavator terbesar di dunia dalam kawasan sebanding Bangka Belitung. Apa yang kemudaian kita saksikan adalah kehancuran lingkungan hidup, hutan lindung di babat habis, daerah aliran sungai (DAS) besar kecil dirusak, pantai wisata dan nelayan diobrak-abrik, kebun- kebun rakyat di intervensi serta jalan-jalan raya terancam erosi. Melalui media massa nyaris setiap hari ada korban tewas, baik TI darat maupun TI apung, tak ada yang diasuransikan nyawanya, kapal-kapal ferry datang hilir-mudik membawa exscavator bekas dari Palembang, Batam, dan Jakarta, lokalisasi pelacuran berkembang di sekitaran TI, anak-anak sekolah berhenti sekolah dan terjun ke TI, minuman energi dan alkohol mengalir dengan deras ke kawasan TI (Rusli Rachman, dalam buku Redupnya Hati Nurani: Catatan Hitam Putih Provinsi Kepulauan Bangka Belitung).

  Pada tahun 1999, melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 146/MPP/Kep/4/1999 mengenai pencabutan timah sebagai komoditas strategis, Bupati Bangka saat itu, Eko Maulana Ali yang sekarang adalah Gubernur Provinsi Bangka Belitung, memberikan izin bagi aktivitas-kativitas penambangan berskala kecil. Sejak saat itulah, aktivitas penambang liar atau tambang inkonvensional (TI) semakin tak terkendali. Dengan maraknya aktivitas-aktivitas penambangan liar ini secara tidak sadar dinilai sebagai pelampiasan penduduk Bangka Belitung atas kesenjangan sosial yang terjadi selama puluhan tahun sebelumnya. Sektor ini kini malah telah menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat yang mendatangkan hasil jutaan rupiah. Dan lebih dari 70 persen penduduk dari setiap desa di Bangka Belitung saat ini hidup dari tambang inkonvensional (TI) sendiri. Serta sektor ini kemudian malah menjadi salah satu penyumbang terbesar bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) disetiap daerahnya di Bangka Belitung

  Di desa Rambat sendiri proses seperti di atas sudah mulai tampak beberapa bulan terakhir, yang dahulunya mereka menanam lada sekarang sudah beralih menjadi penambang timah inkonvensional, walaupun tidak semua petani lada beralih untuk menjadi penambang timah tersebut.

  1.2. Perumusan Masalah

  Berdasarkan uraian yang telah di kemukakan di latar belakang masalah, yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana peralihan matapencaharian masyarakat Desa Ramba dari petani lada ke penambang timah inkonvensional dapat merubah status sosial-ekonomi masyarakat Desa Rambat?

  1.3.Tujuan Penelitian

  Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah peralihan matapencaharian dari petani lada ke penambang timah dapat meningkatkan status sosial-ekonomi masyarakat Desa Rambat.

  1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoritis

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah kajian yang akurat, sehingga dapat memberi sumbangan pemikiran bagi kalangan akademis dalam pendidikan khususnya, instansi pemerintah dalam melihat perkembangan masyrakat yang bermata pencaharian petani untuk memenuhi kebutuhannya.

1.4.2 Manfaat Praktis

  Yang menjadi manfaat praktis dari penelitian ini adalah untuk menambah referensi dari pada hasil penelitian dan dapat juga dijadikan sebagai bahan rujukan bagi peneliti berikutnya yang ingin mengetahui lebih dalam lagi terkait dengan penelitian sebelumnya.

1.5 Kerangka Teori

  1. Teori Perubahan Sosial Menurut sztomka, masyarakat senantiasa mengalami perubahan di semua tingkat kompleksitas internalnya. Dalam kajian sosiologis, perubahan dapat dilihat sebagai suatu yang dinamis dan tidak linear. Dengan kata lain, perubahan tidak terjadi secara linear. Perubahan social secara umum dapat diartikan sebagai suatu proses pergeseran atau berubahnya/tatanan didalam masyarakat, meliputi pola piker yang lebih inovatif, sikap, serta kehidupan sosialnya untuk mendapatkan penghidupan yang lebih bermartabat.

  Pada tingkat makro, terjadi perubahan ekonomi, politik, sedangkan ditingkat mezzo terjadi perubahan kelompok, komunitas, dan organisasi, dan ditingkat mikro sendiri terjadi perubahan interaksi, dan perilaku individual. Masyarakat bukan sebuah kekuatan fisik (entity), tetapi seperangkat proses yang saling terkait bertingkat ganda (Sztomka,2004)

  Alfred (dalam sztomka, 2004), menyebutkan masyarakat tidak boleh dibayangkan sebagai keadaan yang tetap, tetapi sebagai proses bukan objek semu yang kaku tetapi sebagai aliran peristiwa terus-menerus tiada henti. Diakui bahwa masyarakat (kelompok, komunitas, organisasi, bangsa) hanya dapat dikatakan ada sejauh dan selama terjadi sesuatu didalamnya, seperti adanya tindakan, perubahan, dan proses tertentu yang senantiasa bekerja. Sedangkan Farley mendefenisikan perubahan sosial sebagai perubahan pola prilaku, hubungan sosial, lembaga, dan struktur sosial pada waktu tertentu. Perubahan sosial dapat di bayangkan sebagai perubahan yang terjadi didalam atau mencakup sistem sosial. Oleh sebab itu, terdapat perbedaan antara keadaan sistem tertentu dalam jangka waktu berlainan.

  Gerth dan Mills (dalam Soekanto, 1983) mengasumsikan beberapa hal, misalnya perihal pribadi-pribadi sebagai pelopor perubahan, dan faktor material serta spiritual yang menyebabkan terjadinya perubahan. Lebih lanjut menurut Soekanto, faktor-faktor yang menyebabkan perubahan adalah: a.

  Keinginan –keinginan secara sadar dan keputusan secara pribadi b. Sikap-sikap pribadi yang dipengaruhi oleh kondisi-kondisi yag berubah c. Perubahan struktural dan halangan struktural d. Pengaruh-pengaruh eksternal e. Pribadi-pribadi kelompok yang menonjol f. Unsur-unsur yang bergabung menjadi satu g.

  Peristiwa-peristiwa tertentu h. Munculnya tujuan bersama.

  Proses alih pekerjaan dapat ditinjau dari upaya perubahan yang dilakukan oleh mayarakat guna pencapaian tujuan-tujuan tertentu, karena masyarakat bersifat bersifat dinamis maka masyarakat mengalami perubahan, karena perubahan sosial merupakan proses yang selalu dialami oleh setiap masyarakat, perubahan yang dilakukan tidak terlepas dari perubahan kebudayaan. Suatu perubahan dapat terjadi karena faktor- faktor yang berasal dari dalam masyarakat ataupun dari luar masyarakat itu sendiri.

  Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan tidak selalu menghasilkan akibat-akibat yang sama. Adakalanya faktor tersebut hanya mengakibatkan terjadi perubahan kecil yang kurang berarti namun dapat juga terjadi sangat besar dan berarti.

  Proses perubahan didalam masyarakat terjadi karena manusia adalah mahluk yang berfikir dan bekerja. Disamping selalu senantiasa untuk memperbaiki nasibnya dan mendapatkan pekerjaan yang layak baginya, perubahan masyarakat juga berkeinginan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya seperti social, ekonomi, budaya, teknologi, dan lain-lain.

  Peralihan matapencaharian sebahagian masyarakat Desa Rambat dari sector Agraris ke Pertambangan di anggap merupakan kesempatan yang sangat berharga untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Karena keadaan menjadi petani sendiri dianggap sudah tidak terlalu menjanjikan seperti dahulu sehingga masyarakat beralih matapencaharian dari petani lada ke penambang timah untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik.

2. Teori Pilihan Rasional

  Weber menyatakan bahwa tindakan sosial berkaitan dengan interaksi sosial, sesuatu tidak akan dikatakan tindakan sosial jika individu tersebut tidak mempunyai tujuan dalam melakukan tindakan tersebut. Tindakan-tindakan sosial individu membentuk bangunan dasar untuk struktur-struktur sosial yang lebih besar, Weber meletakan dasar ini dengan distingsi-distingsi tipologis yang bergerak dari tingkat hubungan sosial ke tingkat keteraturan ekonomi dan sosial politik. (Johnson, 1994:226).

  Weber menggunakan konsep rasionalitas dalam kalsifikasinya mengenai tipe- tipe tindakan sosial. Tindakan sosial menurut Weber adalah pertimbangan sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan. Weber membagi rasionalisme tindakan kedalam empat macam yaitu rasionalitas instrumental, rasionalitas yang berorientasi nilai, tindakan rasional dan tindakan rasional afektif. Rasional instrumental sangat menekankan tujuan tindakan dan alat yang dipergunakan dengan adanya pertimbangan dan pilihan yang sadar dalam melakukan tindakan sosial. Dibandingakan rasionalitas instrumnatal, sifat rasionalitas yang berorientasi nilai yang penting adalah bahwa alat-alat hanya merupakan pertimbangan dan perhitungan yang sadar, tujuan-tujuannya sudah ada dalam hbungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolute atau nilai akhir baginya.

  Teori pilihan rasional Coleman, memusatkan perhatian pada aktor dimana aktor dipandang sebagai menusia yang mempunyai tujuan atau mempunyai maksud artinya aktor mempunyai tujuan dan tindakan tertuju pada upaya untuk mencapai tujuan tersebut, aktorpun dipandang mempunyai pilihan atau nilai serta keperluan. Teori pilihan rasional tidak menghiraukan apa yang menjadi pilihan atau apa yang menjadi sumber pilihan aktor, yang penting adalah kenyataan bahwa tindakan dilakukan untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan tingkatan pilihan aktor. Gagasan dasar dalam teori pilihan rasional bahwa tindakan perseorangan mengarah pada suatu tujuan dan tujuan itu ditentukan oleh nilai atau pilihan.

3. Adaptasi

  Dalam rangka memenuhi beberapa syarat dasar manusia agar tetap dapat melangsungkan kehidupannya dalam lingkungan tempat tinggalnya di butuhkan adaptasi. Dalam hal ini manusia juga mempunyai pengetahuan kebudayaan yang dipakai sehubungan dalam menghadapi kebudayaan suku bangsa asal stempat.

  Pengetahuan itu tentunya banyak mendukung terhadap proses adaptasi (suharso,1997:48)

  Adaptasi itu sendiri pada hakekatnya adalah suatu proses untuk memenuhi syarat dasar untuk dapat melangsungkan hidup yaitu:

  1. syarat-syarat dasar alamiah- biologi(manusia harus makan, minum, menjaga kestabilan temperatur tubuhnya, menjaga berfungsinya organ-organ tubuh dakam hubungan harmonis dan secara menyeluruh dengan organ-organ lainnya)

  2. syarat-syarat dasar kejiwaan (manusia membutuhkan perasaan tentang yang jauh dari perasaan takut, keterpencilan, gelisah dan lain-lain)

  3. syarat-syarat dasar sosial (manusia membutuhkan hubungan untuk dapat melangsungkan keturunan untuk tidak terkucil, dapat belajar mengenai kebudayaannya, untuk dapat mempertahankan diri dari serangan musuh dan lain-lain) Soerjono Soekanto (Soekanto, 2000:10-11) memberikan beberapa batasan pengertian dari adaptasi sosial, yakni:

  1. proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan 2. penyesuaian terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketegangan 3. proses perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi yang berubah 4. mengubah agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan 5. memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan lingkungan dan system

  6. penyesuain budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi alamiah

  Dari batasan-batasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa adaptasi merupakan proses penyesuaian. Penyesuaian dari individu, kelompok, maupun unit sosial terhadap norma-norma, proses perubahan, ataupunsuatu kondisi yang diciptakan. Lebih lanjut tentang proses penyesuaian tersebut bahwa penyesuaian dilakukan dengan tujuan-tujuan tertentu diantaranya: a.

  Mengatasi halangan-halangan dari lingkungan b. Menyalurkan ketegangan sosial c. Mempertahankan kelanggengan kelompok atau unit sosial d. Bertahan hidup

  Proses perubahan dan penciptaan kondisi pada umumnya selalu dialami oleh masyarakat. Akses terhadap teknologi (informasi, telekomunikasi, dan transportasi) memungkinkan masyarakat untuk lebih cepat mengetahui serta menerima perubahan. Tidak mengherankan, jika masyarakat cenderung bersifat dinamis, terutama dalam hal penyesuaian karakteristik kehidupan sosial, yang meliputi:

1. Perubahan jumlah dan ukuran rumah tangga 2.

  Transisi atau peralihan lapangan pekerjaan 3. Penyesuaian dalam cara-cara pemenuhan kebutuhan 4. Perubahan peran serta individu dalam angkatan kerja 5. Peningkatan mobilitas penduduk

  Proses perubahan didalam masyarakat terjadi karena manusia adalah makhluk yang berfikir dan bekerja. Manusia disamping itu selalu senantiasa untuk berusaha untuk memperbaiki nasibnya dan mendapatkan pekerjaaan yang layak baginya, paling tidak untuk mempertahankan kehidupannya, perubahan masyarakat senantiasa keinginan manusia untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya, seperti sosial, ekonomi, budaya, teknologi, dan sebagainya.

1.6. Defenisi Konsep

  Konsep merupakan istilah atau defenisi yang di pergunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, kelompok, atau individu yang menjadi pusat perhatian sosial(singarimbun:1995:37). Agar memperoleh pembatasan yang jelas dari setiap konsep yang diteliti, maka penulis mengemukakan defenisi konsep sebagai berikut:

1.6.1. Petani Lada

  Orang yang melakukan kegiatan menanam lada sebagai hasil kebunnya, dengan kebun atau tanah yang status kepemilikannya di miliki sendiri.

  1.6.2. Penambang

  Orang yang melakukan kegiatan tambang di tanahnya sendiri ataupun bekerja kepada pemilik tambang.

  1.6.3. Peralihan Matapencaharian

  Adalah suatu proses pergantian pekerjaan dengan maksud untuk menaikkan pendapatan atau mempertahankan kesejahteraan yang sudah didapat. Tujuan alih pekerjaan dilatarbelakangi oleh keinginan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik di samping itu adanya perbaikan pendapatan akan dapat pula meningkatkan kemampuan mereka untuk memperoleh kesejahteraan. Dalam penelitian ini peralihan yang dimaksud adalah proses peralihan mata pencaharian masyarakat Desa Tebing dari petani lada ke penambang timah Inkonvensional guna meningkatkan pendapatan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat Desa Tebing.

  1.6.4. Status Sosial-Ekonomi

  Status sosial ekonomi merupakan kedudukan yang di akui secara sosial dan ekonomi yang menempatkan seseorang dalam struktur masyarakat, pemberian posisi ini disertai pula dengan seperangkat hak dan kewajiban yang harus dimainkan oleh si pembawa status. Dalam penelitian ini status sosial ekonomi yang dimaksud adalah keadaan ekonomi dan tingkat kesejahteraan masyarakat Desa Tebing setelah melakukan peralihan mata pencaharian.

  1.6.5. Timah Inkonvensional

  Sebutan dari hasil pertambangan timah, yang mana dikarenakan proses pertambangan nya dilakukan dengan kepemilikan alat secara individu bukan hasil timah yang didapat oleh perusahaan yang telah ada di kep.Bangka Belitung.

1.7. Operasional Variabel

  Yang dimaksud dengan defenisi operasional ialah suatu defenisi yang didasarkan pada karakteristik yang dapat di observasi dari apa yang sedang di defenisikan atau mengubah konsep-konsep yang berupa konstruk dengan kata-kata yang menggambarkan perilaku atau gejala yang dapat diamati dan dapat diuji dan ditentukan kebenarannya oleh orang lain.

  Berdasarkan paparan diatas, maka yang menjadi variable bebas(x)

  

(independent variable) adalah peralihan mata pencaharian dari petani lada ke

  penambang timah dengan indicator 1.

  Aktivitas sehari-hari dari penambang timah 2. Pengetahuan tentang ; pemeliharaan

  Sedangkan variable terikat(Y) dalam penelitian ini adalah status social- ekonomi masyarakat dengan indicator

1. Pendapatan 2.

  Pengeluaran 3. Kebutuhan hidup

  Untuk memudahkan pemahaman relasi antara variabel penelitian ini, maka pada bagian ini digunakan bagan operasional variabel sebagai berikut

  1.7.1. Bagan Operasional Variabel

  Variabel Bebas (X) Peralihan Mata Pencaharian dari petani lada ke

  Variabel Antara Motivasi Variabel Terikat Sosial Ekonomi masyarakat

  • Aktifitas sehari-hari
  • Jenis Kelamin

    Umur

    Pendidikan

    Tindakan untuk melakukan sesuatu baik secara positf maupun secara negatif
  • Pendapatan ; besarnya penapatan sebelum dan sesudah dan setelah adanya peralihan
  • Pengetahuan ; Pemeliharaan
  • Pengeluaran • Kebutuhan • penghargaan