BAB III TINJAUAN TENTANG KEPAILITAN A. Pengertian Kepailitan - Kedudukan Benda Jaminan Yang Di Bebani Jaminan Fidusia Jika Terdapat Eksekusi Dalam Hal Debitur Pailit (Studi Bank CIMB Niaga Cabang Ir. H. Juanda Medan)

BAB III TINJAUAN TENTANG KEPAILITAN A. Pengertian Kepailitan Kepailitan dikenal oleh sebagian besar sistem hukum sebagai bagian dari

  ketentuan hukum yang berkaitan dengan hukum perusahaan. Dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pailit atau bangkrut antara lain adalah seseorang yang oleh suatu pengadilan dinyatakan bangkrut, dan aktivanya atau warisannya telah diperuntukan untuk membayar

  

  hutang-hutangnya Pengertian Kepailitan dapat dilihat pada Pasal 1 Butir 1 Undang-Undang

  Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Kepailitan, yaitu sebagai berikut : Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Pemberi fidusia pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur oleh Undang-Undang

   ini.

  Selain pengertian yang diberikan oleh Undang-Undang pengertian kepailitan dapat pula diambil dari beberapa pendapat yang diberikan oleh 42 Munir Fuady, Hukum Pailit 1998, dalam Teori dan Praktek, Cet. II, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2002, hal 8. beberapa ahli hukum, menurut Munir Fuady, Pailit atau bangkrut adalah suatu sita umum atas seluruh harta Debitur agar dicapainya perdamaian antara Debitur dan para kreditur atau agar harta tersebut dapat dibagi-bagi secara adil diantara para

   kreditur.

  Kartini Muljadi mengemukakan bahwa kepailitan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya dan untuk menghentikan sitaan terpisah dan/atau eksekusi terpisah oleh para kreditur dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan Debitur dapat dibagikan kepada semua kreditur,

  

  sesuai dengan hak masing-masing .Oleh Karena itu, dapat dikatakan pailit merupakan suatu keadaan yang menimpa seorang Debitur sebagai akibat ketidak mampuannya melunasi kewajiban pembayaran utangnya kepada para krediturnya.

  Kepailitan pada intinya merupakan sita umum berdasarkan Undang- Undang atas harta kekayaan debitur. Adapun tujuan-tujuan yang ingin dicapai dari

  

  kepailitan adalah : a.

  Melindungi para kreditur konkuren untuk memperoleh hak mereka sehubungan dengan berlakunya asas jaminan, bahwa “ semua harta kekayaan debitur baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang telah adamaupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi 44 jaminan bagi perikatan debitur”, yaitu dengan cara memberikan fasilitas 45 Munir Fuady, Op.Cit, hal. 1.

  Mulyadi, Kartini, Hakim Pengawas dan Kurator Dalam Kepailitan, Makalah Seminar Tentang Perubahan Atas UU Kepailitan, Jakarta : Pusat Pengajian Hukum, 1998. 46 Sutan Remy Syahdeini, Kepastian Hukum Terhadap Lembaga Fidusia Sebagai Upaya dan prosedur untuk merekadapat memenuhi tagihan-tagihannya terhadap debitur, asas tersebut dijamin oleh Pasal 1131 KUH Perdata.

  b.

  Menjamin agar pembagian harta kekayaan debitur di antara para kreditursesuai dengan asas pari passu (membagi secara proporsional harta kekayaan debitur kepada para kreditur konkuren atau unscured creditors berdasarkanperimbangan besarnya masing-masing kreditur tersebut) Asas tersebutdijamin oleh Pasal 1132 KUH Perdata.

  c.

  Mencegah agar debitur tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditur. Dengan dinyatakan pailit maka debitur tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengurus dan memindahkan harta kekayaannya yang status hukumnya sudah berubah menjadi harta pailit.

  d.

  Pada hukum kepailitan Amerika Serikat, hukum kepailitan memberikan perlindungan kepada debitur yang beritikad baik dari para krediturnya dengancara pembebasan utang. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa keapilitan merupakan kondisi yang dihadapi debitur, berupa penyitaan umum atas seluruh harta kekayaannya sebagai akibat dari ketidak mampuan melunasi kewajiban pembayaran utangnya, untuk dibagi-bagikan secara proporsional kepada para krediturnya.

  B. Pihak-Pihak Yang Terlibat Dalam Kepailitan

  Kepailitan sebagai salah satu upaya penyelesaian kewajiban pembayaran utang melibatkan beberapa pihak. Pihak-pihak yang terlibat dalam kepailitan tersebut bias timbul karena Undang-Undang, maupunkarena keterlibatan pihak yang merasa berkepentingan atas proses kepailitan, yaitu kreditur pemohonan pailit, debitur pemohon atau termohon pailit, kurator, hakim pengawas dan majelis hakim (Pengadilan) yang memutus perkara yang terkait dengan proses kepailitan.

  Pihak-pihak yang lain dapat terlibat dalam proses kepailitan termasuk menghadiri rapat-rapat kreditur, Appraisal (penilai jaminan) dan notaris jika diperlukan.

  C. Syarat Pengajuan Permohonan Kepailitan

  Syarat-syarat untuk dapat diajukan pailit dapat dilihat dari Pasal 2 ayat(1) Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang berbunyi sebagai berikut :

  Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih dari krediturnya. (Undang-Undang No 37 tahun 2004.

  Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan tersebut dapat disimpulkan bahwa pernyataan pailit terhadap seorang Debitur, dapat diajukan baik oleh debitur sendiri ataupun salah satu kreditur.

  a.

  Debitur yang diajukan permohonan pailit tersebut harus paling sedikit mempunyai dua kreditur, atau dengan kata lain harus mempunyai lebih dari satu kreditur.

  b.

  Debitur tersebut tidak membayar sedikitnya satu utang kepada salah satu Krediturnya.

  c.

  Utang yang tidak dibayar itu harus telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Syarat pengajuan kepailitan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

  Kepailitan tersebut nampaknya sangat mudah, Kreditur yang mengajukan kepailitan cukup membuktikan bahwa debitur mempunyai kewajiban hutang terhadap Kreditur lain disamping dirinya sendiri dan terdapat utang pada pemohon pailit yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, namun tidak dibayar oleh Debitur.

  Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Kreditur dalam ayat ini adalah baik Kreditur Konkuren, Kreditur Separitis maupun Kreditur Preferen.Khusus mengenai Kreditur Separitis dan Kreditur Preferen, mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaaan yang mereka miliki terhadap harta debitur dan haknya untuk didahulukan.

  Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal tersebut juga ditemukan bahwa yang dimaksud dengan “utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih” adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sangsi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan Pengadilan, Arbiter atau Majelis Arbitrase.

D. Sumber-Sumber Hukum Kepailitan

  Sumber Hukum Kepailitan di Indonesia mengacu pada : a. Kitab Undang-Undang Hukum perdat.

  b.

  Het Herziene Indonesische Reglement (HIR).

  c.

  Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

  Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa : “ Segala kebendaan, yang bergerak dan tak bergerak miliki debitur, baik yang sudah ada maupun yang aka nada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu”.

  Rumusan tersebut di atas menunjukan bahwa setiap tindakan yang dilakukan seseorang dalam lapangan harta kekayaaan selalu akan membawa akibat terhadap harta kekayaannya, baik yang bersifat menambah jumlah harta kekayaannya (kredit), maupun yang nantinya akan mengurangi jumlah harta

  Demikianlah harta kekayaan setiap orang akan selalu berada dalamkeadaan yang dinamis dan selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu. Setiap perjanjian maupun perikatan yang dibuat dapat mengakibatkan harta kekayaan seseorang bertambah atau berkurang, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa kebendaan yang merupakan harta kekayaan seseorang baik yang telah ada, maupun yang akan ada dikemudian hari akan selalu menjadi jaminan bagi perikatan orang tersebut dari waktu ke waktu.

  Jika ternyata bahwa dalam hubungan hukum harta kekayaan tersebut, sesoarang memiliki lebih dari satu kewajiban yang harus dipenuhi terhadap lebih dari satu orang yang berhak atas pemenuhan kewajiban tersebut, maka Pasal 1132 KUH Perdata menentukan bahwa setiap pihak atau kreditur yang berhak ataspemenuhan perikatan, haruslah mendapatkan pemenuhan perikatan dari harta kekayaan pihak yang berkewajiban (debitur) tersebut secara :

  a) Pari passu, yaitu secara bersama-sama memperoleh pelunasan, tanpa ada yang didahulukan.

  b) Pro rata atau proposional, yang dihitung berdasarkan pada besarnya piutang masing-masing dibandingkan terhadap piutang mereka secara keseluruhan, terhadap seluruh harta kekayaan debitur tersebut.

E. Tujuan Hukum Kepailitan

  Berdasarkan UU No.37 tahun 2004 maka tujuan UU Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang adalah : a.

  Untuk menghindari perebutan harta debitur apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditur yang menagih piutangnya dari debitur.

  b.

  Untuk menghindari ada kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitur tanpa memperhatikan kepentingan debitur atau para kreditur lainnya.

  c.

  Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditur atau debitur sendiri. Misalnya debitur berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa kreditur tertentu sehingga kreditur lainnya dirugikan atau adanya perbuatan curang dari debitur untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para kreditur.

  Sedangkan tujuan hukum kepailitan menurut Louis E. Levinthal dalam bukunya yang berjudul “The Early of bankrupicy Law” adalah : a.

  Untuk menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitur dan diantara nya para kreditur.

  b.

  Mencegah para debitur tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan para kreditur.

  c.

  Memberikan perlindungan kepada kreditur yang beritikad baik dari para krediturnya dangan cara memperoleh pembebasan hutang.

F. Kepailitan Harus Dinyatakan Dengan Putusan Hakim

  Berhubung pernyataan pailit terhadap debitur itu harus melalui proses pengadilan, maka segala sesuatu yang menyangkut tentang peristiwa pailit itu disebut dengan istilah kepailitan. Seseorang debitur yang berutang baru dapat dikatakan dalam keadaan pailit, apabila telah dinyatakan oleh hakim atau pengadilan dengan suatu keputusan hakim.Kewenang pengadilan untuk menjatuhkan putusan kepailitan itu telah ditentukan secara tegas dalam Pasal 2 UUK.

  Campur tangan pemerintah (Pembentuk Undang-Undang) sangat perlu, karena dengan demikian pengadilan dapat melakukan langkah-langkah preventif, dapat melakukan pensitaan umum (eksekusi missal) terhadap harta kekayaan

  

  debitur demi kepentingan para kreditur Dalam peraturan kepailitan yang lama disebutkan, bahwa pengadilan yang berwenang menjatuhkan putusan adalah read van justitie. Read van justitie merupakan lembaga peradilan yang diperuntukan bagi orang-orang Eropa (hakim, gubernemen), baik untuk daerah Jawa dan Madura hal ini diatur dalam Reglement

  

of de rechtterlijke organisatie en Hett Beleid der Justitie, atau disingkat RO.

  Tetapi read justitie dapat pula merupakan peradilan tingkat banding, terhadap perkara-perkara yang telah diputus, baik oleh Residentie-gerecht maupun oleh

   Landread

  47 Ronald Anderson business Law, South Western, Publising, 1999, hal. 510

  Dengan lahirnya UUK, maka pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutus permohonan kepailitan adalah sebuah pengadilan khusus dengan nama pengadilan niaga. Akan tetapi mengingat kebutuhan yang mendesak dan keterbatasan sumber dana sumber daya yang ada, maka untuk pertama kali pengadilan niaga didirikan di Jakarta Pusat dengan lingkup kewenangan yang mencakup seluruh wilayah Indonesia.

  Berbeda dari ketentuan sebelumnya, Pasal 1 UUK menegaskan bahwa paling sedikit harus ada dua kreditur dan debitur sedikitnya membayar satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Keharusan adanya sedikitnya dua kreditur adalah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1132 KUHPerdata dimana ditetapkan bahwa pada dasarnya pembagian kekayaan debitur antara para krediturnya harus dilakukan secara pari passu pro rata parte.

  Selanjutnya Pasal 1 UUK menetapkan pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit dan terhadap siapa saja permohonan tersebut dapat diajukan.Yang menjadi persoalan ialah, apakah yang menjadi ukuran bagi keadaan tidak membayar/berhenti membayar tersebut? Hal ini tidak dijumpai perumusannya, baik di dalam Undang-Undang yuridprundensi, maupun pendapat para sarjana. Hanya ada pedoman umum yang disetujui oleh para pengarang, yaitu untuk pernyataan kepailitan tidak mampu untuk membayar utangnya dan tidak diperdulikan, apakah berhenti membayar itu sebagai akibat dari tidak dapat atau

   tidak mau membayar. Pembuktian tentang keadaan debitur yang berhenti membayar itu cukup dilakukan secara sederhana (sumir), artinya pengadilan di dalam memeriksa perkara kepailitan itu tidak perlu terikat dengan sistem pembuktian dan alat-alat bukti yang ditentukan dalam hukum acara perdata. Di dalam hukum acara perdata Pasal 164 HIR, Pasal 248 Rbg, Pasal 1866 KUHPerdata dikenal beberapa alat bukti, yaitu : a.

  Alat bukti tertulis b. Pembuktian dengan saksi c. Persangkaan-persangkaan d. Pengakuan e. Sumpah

  Selain itu masih dikenal beberapa alat bukti yang lain yaitu : a.

  Pemeriksaan setempat Pasal 1 53 HIR b. Keterangan ahli Pasal 154 HIR c. Pembukuan Perusahaan Pasal 138 HIR

  Pengetahuan hakim Pasal 78 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 . Tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang berdasarkan peraturan peralihan Undang-Undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung an Yurisprudensi. Semangat pemeriksaan secara sumir itu terlihat dalam Pasal 5 ayat (3) UUK yang dengan tegas disebutkan ”Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) telah terbukti.

  G.Akibat Hukum Putusan Pailit

  Pada umumnya setiap pengusaha takut dinyatakan pailit atau bangkrut oleh pengadilan kecuali dalam keadaan terpaksa, karena konsekuensi atau akibat hukumnya sangat berat. Ada beberapa akibat hukum dari pernyataan pailit. Secara

  

  umum antara lain:

  1. Boleh dilakukan kompensasi (Pasal 52, 53, 54)

  2. Kontrak timbal balik boleh dilanjutkan (Pasal 36)

  3. Berlaku penangguhan eksekusi (Pasal 56 a ayat 1)

  4. Berlaku Actio Paulina (Pasal 41)

  5. Berlaku sitaan umum atas seluruh harta debitur (Pasal 19, 20 56)

  6. Debitur kehilangan hak mengurus (Pasal 22) Sebagaimana dapat disimpulkan dari urutan terdahulu, yang menjadiobyek

  Undang-Undang kepailitan adalah Debitur, yaitu Debitur yang tidakmembayar utang-utangnya kepada para Krediturnya. Undang-Undang berbagai Negara membedakan antara aturan kepailitan bagi Debitur orang perorangan (individu) dan Debitur bukan perorangan atau badan hukum. 50 Joni Emirzon, Hukum Bisnis Indonesia, Penerbit Literata Lintas Media, Yogyakarta, 2007, hal.131.

BAB IV KEDUDUKAN BENDA JAMINAN YANG DI BEBANI JAMINAN FIDUSIA APABILA TERJADI EKSEKUSI DALAM HAL PEMBERI FIDUSIA PAILIT A. Kedudukan Benda Jaminan Fidusia Dengan Pailitnya Pemberi Fidusia Pada Bank CIMB Niaga Cabang Ir. H Juanda Medan Hukum jaminan yang bersumber dari KUHPerdata mengandung prinsip

  bahwa harta kekayaan debitur menjadi jaminan hutang untuk segala perikatan

  

  yang dibuatnya . Prinsip ini kurang memberikan perlindungan yang cukup aman bagi kreditur. Untuk menutupi adanya kelemahan itu, perlu diperjanjian secara khusus benda-benda tertentu dari debitur yang diikat sebagai jaminan utang. Hukum jaminan yang diperjanjikan adalah hipotik, hak tanggungan, gadai, fidusia, dan jaminan perorangan. Secara teoritis, jika seorang debitur pemberi fidusia wanprestasi, terhadap objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan eksekusi.

  Dalam hal eksekusi, kalau harga jual benda melebihi utang debitur, kreditur penerima fidusia wajib mengembalikan kelebihan sisa uang penjialan kepada debiturnya. Sebaliknya, jika hasil dari eksekusi benda jaminan itu tidak mencukupi untuk melunaskan utang debitur tersebut, debitur tetap harus

  

bertanggung jawab atas sisa utang tersebut .

  Dalam proses perjanjian Jaminan Fidusia pada PT. Bank CIMB Niaga cabang ,menurut Lia Erika, Mortage Officer PT. Bank CIMB Niaga Indonesia, Tbk Cabang Ir. H.Juanda Medan, lazim ditentukan bahwa dalam hal penjualan barang agunan bilamana ada sisanya, bank akan mengembalikan kepada debiturnya dan jika hasil penjualan tidak mencukupi, debitur tetap bertanggung jawab penuh untuk membayar sisa jumlah terutang kepada kreditur.

  Dari hasil wawancara yang telah di lakukan, sering menemukan adanya barang agunan yang ada sisanya jika dilakukan penjualan atas barang tersebut.

  Namun terkadang ada juga barang agunan tersebut yang dijual tidak memiliki sisanya.

  Kalau tidak mencukupi, bolehkah kreditur penerima fidusia meminta pertanggungjawaban harta kekayaan debitur yang lainnya byang tidak turut dijaminkan.Jika dibenarkan secara yuridis, apakah kedudukan kreditur penerima fidusia tersebut masih disebut sebagai kreditur preferen.

  Pertanyaan yuridis tersebut harus diberikan solusi hukumnya oleh hakim dengan pertimbangan hukum yang logis dan rasional, sehingga tidak merugikan kepentingan hukum debitur pemberi fidusia.Sebelum perkara ini sampai di putuskan oleh Pengadilan, jawaban atas permasalahan tersebut masih menimbulkan perbedaan pendapat.Menurut pihak Bank CIMB Niaga, apabila ternyata objek Jaminan Fidusia tidak mencukupi untuk membayar utang, bank dapat menyita barang-barang lain milik debitur. Selain Jaminan Fidusia, terkadang pihak bank meminta jaminan lainnya yang diikat dengan surat kuasa memasang hak tanggungan atau surat kuasa menjual atau hak tanggungan atas objek tanah belum bersertifikat, kapal laut, hak guna bangunan, hak milik atau jaminan

   bersifat perorangan .

  Menurut hasil wawancara yang telah di lakukan, kenyataan yang terjadi sebaliknya, pihak debitur beranggapan bahwa utang kredit tidak dapat melibatkan harta kekayaan lainnya, tetapi benda yang dijaminkan itu saja yang dapat dilakukan penyitaan.Seharusnya yang boleh dilakukan penyitaan dan diminta pertanggungjawaban hanya sebatas benda Jaminan Fidusia dengan alasan bahwa ketika membuat perjanjian kredit, pihak bank sudah dapat menaksir bahwa benda agunan lebih tinggi nilainya dari jumlah pinjaman yang diberikan.Setiap saat bank dapat mengontrol benda agunan dan debitur tetap membuat laporan secara berkala.

  Jadi,kalau ada benda Jaminan Fidusia tidak mencukupi untuk melunasi hutang, tentu ada sesuatu yang “tidak beres” di dalam hubungan hukum antara bank dan debiturnya adalah sesuatu yang tidak logis bahwa benda Jaminan Fidusia tidak mencukupi untuk menutupi pembayaran utang debitur karena pada saat perjanjian kredit dengan pengikatan Jaminan Fidusia, pihak bank telah

53 Wawancara dengan Lia Erika Mortage Officer PT. Bank CIMB Niaga, Cabang Ir. H

  Juanda Medan, Tanggal 10 Mei 2013 melakukan analisis faktor agunan terhadap nasabah debiturnya. Nilai agunan Jaminan Fidusia adalah lebih besar dari pinjaman kredit yang diberikan.

  Oleh karena itu tidak sepantasnya kreditur meminta penyitaanatas benda- benda lain milik debitur. Namun, asas hukum jaminan dan doktrin hukum perdata mengatakan bahwa semua harta debitur memikul beban untuk melunasi utangnya

   kepada kreditur, sampai terpenuhi seluruh pembayaran utang .

  Beberapa masalah dapat timbul kembali apabila benda Jaminan Fidusia merupakan milik orang lain. Dalam hukum perdata dikenal asas Nemo dat rule.

  Prinsip hukum ini juga berlaku di dalam hukum jaminan kebendaan, antara lain Jaminan Fidusia. Pemberi fidusia adalah orang yang memiliki benda jaminan dan memiliki kewenangan untuk menjaminkan benda itu kepada kreditur.Dalam praktek perjanjian kredit dengan Jaminan Fidusia dikatakan bahwa debitur pemilik benda jaminan.Bukti kepemilikan benda jaminan itu lazimnya diserahkan kepada kreditur sesuai dengan jenis benda jaminan. Contoh, Mobil dengan bukti kepemilikan yang diserahkan adalah BPKB.

  Bukti kepemilikan mesin-mesin adalah kuitansi dan faktur pembelian. Namun, dalam praktek pengadilan ditemukan kasus bahwa Jaminan Fidusia yang diserahkan kepada bank bukan milik debitur melainkan orang lain. Hal ini menimbulkan persoalan yuridis.Persoalan ini terletak kepada pengertian milik dari benda yang dijaminkan. Pemahaman milik dalam masyarakat bisnis dapat diartikan dalam dua hal, yaitu : 54 M. Yahya Harahap, “Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi BIdang Perdata”,

1. Debitur menguasai titel dari benda jaminan dan sekaligus menguasai benda secara fisik.

  2. Debitur menguasai benda jaminan secara fisik sedangkan secara yuridis debitur belum menjadi pemilik. Dikaitkan dengan hukum jaminan, saat debitur itu dianggap sebagai pemilik benda jaminan, atau dapatkah pemilik benda yang hanya menguasai benda jaminan secara fisik menjaminkan benda itu kepada bank untuk meminjam kredit. Dalam hal pemberi fidusia dinyatakan pailit oleh pengadilan Niaga, maka semua harta kekayaan debitur dinyatakan sebagai harta pailit, tak terkecuali termasuk juga benda Jaminan Fidusia yang haknya telah beralih kepada penerima Fidusia atau Kreditur pemegang Jaminan Fidusia, yang dalam kenyataannya secara fisik benda jaminan tersebut masih dikuasai oleh debitur. Terhadap harta pailit itu dilakukan likuidasi oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas yang ditunjuk oleh pengadilan Niaga.

  Dalam proses kepailitan, apabila pemberi fidusia (debitur) dinyatakan pailit oleh pengadilan Niaga, maka benda Jaminan Fidusia dapat dimohonkan oleh penerima fidusia pemegang Jaminan Fidusia kepada kurator untuk dipisahkan dari boedel pailit.Benda Jaminan Fidusia milik pemberi fidusia yang dinyatakan pailit tidak masuk dalam boedel pailit, dengan kata lain benda Jaminan Fidusia yang pemberi fidusia wanprestasi pun tidak dapat dimasukkan dalam boedel pailit.

  Jaminan Fidusia menurut Pasal 1 butir (1) UU Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam UUHT, yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.

  Dari definisi di atas, jelas bahwa fidusia di bedakan dari Jaminan Fidusia, dimana fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak kepemilikan dan Jaminan Fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk fidusia.Pengadilan hak kepemilikan atas benda yang menjadi objek jaminan hak kepemilikan atas suatu benda dengan melanjutkan penguasaan atas benda tersebut untuk kepentingan penerima Fidusia, dengan kata lain sebenarnya kedalam hanya merupakan suatu jaminan saja untuk suatu utang.

  Dalam perjanjian Jaminan Fidusia terjadi penyerahan hak milik secara kepercayaan kepada kreditur, namun secasra fisik benda tersebut tidak diserahkan kepada kreditur tetapi tetap ada pada debitur dengan suatu perjanjian bahwa debiturtidak lagi menguasai benda-benda tersebut sebagai pemilik tetapi sebagai penyimpan belaka.

  Dalam hal debitur dinyatakan pailit oleh pengadilan Niaga, maka semua harta kekayaan debitur dinyatakan sebagai harta pailit. Terhadap harta pailit itu di lakukan likuidasi oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas yang ditunjuk oleh Pengadilan Niaga. Pasal 19 UU kepailitan, kekayaan debitur yang dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan Niaga, meliputi seluruh kekayaan siberutang pada saat pernyataan pailit beserta segala apa yang diperoleh selama kepailitan.

  Dalam proses kepailitan, apabila pemberi Fidusia (debitur) dinyatakan pailit oleh pengadilan Niaga, maka benda Jaminan Fidusia dapat dimohonkan oleh penerima Fidusia atau kreditur pemegang jaminan didusia kepada kurator untuk dipisahkan dari boedel pailit. Tanpa adanya bukti pembebanan atas jaminan terhadap suatu objek boedel kepailitan, maka tidaklah dapat dikatakan bahwa suatu objek tersebut termasuk dalam jaminan khusus, termasuk Jaminan Fidusia.

  Salah satu atau lebih boedel kepailitan dimungkinkan dapat dikategorikan menjadi objek jaminan khusus seperti fidusia, apabila benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia telah didaftarkan pada kantor pendaftaran Fidusia.

B. Kedudukan Penerima Fidusia ( Kreditur ) Pemegang Jaminan Fidusia

  

Yang Pemberi Fidusianya Pailit Pada Bank CIMB Niaga Cabang Ir. H

Juanda Medan

  Di dalam kenyataannya sebelum pernyataan pailit hak-hak debitur untuk melakukan semua tindakan hukum berkenaan dengan kenyatannya yang harus di hormati dengan memperhatikan semua hak-hak kontraktual serta kewajiban dari debitur menurut peraturan Undang-Undangan. Pada saat pengadilan mengucapkan putusan kepailitan dalam sidang yang terbuka untuk umum terhadap debitur, hak dan kewajiban si pailit beralih kepada kurator untuk mengurus dan menguasai boedelnya. Akan tetapi si pailit masih berhak melakukan tindakan-tindakan atas harta kekayaannya sepanjang menbawa keuntungan bagi boedelnya.

  Pemaksaan seorang debitur yang telah dinyatakan pailit oleh pengadilan Niaga untuk segera melepaskan hak pengurusan terhadap harta-hartanya, jika debitur tersebut perseorangan atau pun pemilik/pengurus debitur korporasi adalah harus dijelaskan pada pemberi fidusia pailit tersebut tentang akibat kepailitan yang meletakkan aset-aset debitur dalam penyitaan umum atau berpindahnya hak pengurusan dalam pemberesan aset-aset debitur tersebut dinyatakan pailit Pasal 12 Ayat (1) Undang-Undang kepailitan.

  Benda Jaminan Fidusia milik pemberi fidusia yang dinyatakan pailit tidak masuk dalam boedel pailit, dengan kata lain benda Jaminan Fidusia yang pemberi (debitur) wanprestasi pun tidak dapat dimasukkan oleh boedel pailit. Secara umum akibat pernyataan pailit adalah sebagai berikut : a.

  Kekayaan pemberi fidusia pailit yang masuk harta pailit merupakan sitaan umum atas harta pihak yang dinyatakan pailit. Menurut Pasal 21 Undang- Undang Kepailitan , harta pailit meliputi seluruh kekayaan debitur pada waktu putusan pailit di ucapkan serta segala kekayaan yang diperoleh pemberi fidusia pailit selama kepailitan.

  b.

  Kepailitan semata-mata hanya mengenai harta pailit dan tidak mengenai diri pribadi pemberi fidusia pailit. c.

  Pemberi fidusia pailit demi hukum kehilangan hak untuk mengurus dan menguasai kekayaan yang termasuk harta pailit sejak hari putusan pailit diucapkan.

  d.

  Segala perikatan debitur yang timbul sesudah putusan pailitdi ucapkan tidak dapat dibayar dari harta pailit kecuali jika menguntungkan harta pailit.

  e.

  Harta pailit diurus dan dikuasai kurator untuk kepentingan semua para kreditur, debitur, hakim pengawas pemimpin dan menguasai pelaksanaan jalannya kepailitan.

  f.

  Tuntutan dan gugatan mengenai hak dan kewajiban harta diajukan oleh atau terhadap kurator.

  g.

  Semua tuntutan atau yang bertujan mendapatkan pelunasan suatu perikatan dari harta paili, dan dari harta debitur sendiri selama kepailitan harus diajukan dengan syarta melaporkannya untuk dicocokkan.

  h.

  Menurut ketentuan Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57 dan Pasal 58 UU Kepailitan, setiap kreditur yang memegang hak tanggungan, hak gadai, atau hak agunan atas kebendaan lainnya dapat mengesekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Jadi kreditur pemegang hak jaminan (Hipotik, Hak Tanggungan, Hak Gadai, Fidusia) tidak terpengaruh oleh putusanpernyataan pailit. Pasal ini sejalan dengan ketentuan mengenai, dan dengan demikian mengakui hak separatis pemegang jaminan sebagaimana ditentukan oleh KUHPerdata. i.

  Hak eksekusi kreditur yang dijamin sebagaimana disebut dalam Pasal 55 ayat(1) Undang-Undang Kepailitan dan pihak ke tiga untuk menurut harta nya yang berada di dalam penguasaan pemberi fidusia pailit ataupun kurator ditangguhkan maksimum untuk 90 hari setelah putusan pailit diucapkan. Lia Erika, Mortage Officer PT. Bank CIMB Niaga Indonesia, Tbk Cabang

  Ir. H. Juanda Medan mengatakanpada dasarnya kedudukan kreditur adalah sama, karena mereka mempunyai hak yang sama atas hasil eksekusi boedel pailit sesuai dengan besarnya tagihan mereka masing-masing. Pihak-pihak yang dapat

  

  mengajukan permohonan pailit adalah : a.

  Debitur itu sendiri yang memiliki dua atau lebih kreditur, melihat ketentuan itu maka berate debitur yang hanya memiliki seorang kreditur tidak dapat mengajukan permohonan kepailitan.

  b.

  Seorang kreditur atau lebih, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama- sama. Jika kreditur itu adalah satu-satunya kreditur maka permohonan kepailitan itu tidak dapat diajukan oleh kreditur.

  c.

  Jaksa atau penuntut umum.

  Bentuk awal dari fidusia adalah fidusia cum creditore.Penyerahan hak milik pada fidusia ini terjadi segala sempurna, sehingga penerima fidusia

55 Wawancara dengan Lia Erika Mortage Officer PT. Bank CIMB Niaga, Cabang Ir. H

  

  (kreditur) berkedudukan sebagai pemilik yang sempurna juga. Hal senada juga, di sampaikan oleh Dr.A. Veenhoven yang menyatakan: “dimana sebagai pemilik tentunya saja ia bebas berbuat apapun terhadap barang yang dimilikinya, hanya saja berdasarkan fides ia berkewajuban mengembalikan hak milik atas barang tersebut kepada debitur pemberi fidusia, apabila pihak yang belakangan ini telah melunasi hutangnya kepada kreditur”.

  Lebih dari pada itu tidak ada pembatasan-pembatasan lain dalam hubungan fidusia cum crediture.Hak milik disini bersifat semprna yang terbatas, karena digantungkan pada syarat tertentu.Untuk pemilik fidusia, hak miliknya digunakan pada syarat putus. Hak miliknya yang sempurna baru lahir jika pemberi

   fidusia tidak memenuhi kewajibannya ( wanprestasi).

  Kebebasan berkontrak merupakan salah satu hal yang sangat penting apabila untuk membuat suatu perjanjian, dimana dengan adanya kebebasan berkontrak akan terciptanya suatu keadilan. Kebebasan berkontrak hanya dapat mencapai keadilan, jika para pihak memiliki kedudukan yang seimbang.Karena jika tidak adanya keseimbangan maka kontrak tersebut dpat menjadi tidak seimbang terhadap kedudukan para pihak.

  Di dalam kedudukan yang tidak seimbang itu terjadi bila pihak yang kuat dapat memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lemah, sehingga pihak yang lemah hanya mengikuti saja syarat-syarat kontrak yang diajukan kepadanya.

56 Marulak Pardede dan Badan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Op. Cit., hal 29.

  Syarat lainnya adalah kekuasaan tersebut digunakan untuk memaksakan kehendak sehingga membawa keuntungan kepadanya.

  Kreditur pada Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang Jaminan Fidusia yaitu pihak yang memounyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang. Dalam hal ini kreditur yang dimaksud adalah bank dan nasabah sebagai kreditur. Dari segi kaca mata hukum, hubungan antara nasabah dengan bank yaitu hubungan kontraktual. Hubungan yang paling utama dan lazim antara bank dan nasabah adalah hubungan kontraktual terhadap nasabah debitur, hubungan kontraktual tersebut berdasarkan suatu kontrak yang dibuat antara nasabah sebagai debitur.

  Hukum kontrak yang menjadi dasar terhadap hubungan antara bank dengan nasabah sebagai debitur bersumber dari ketentuan-ketentuan KUHPerdata tentang kontrak. Sebab menurut Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sahberkekuatan sama dengan Undang-Undang bagi kedudukan kedua belah pihak.

  Pada perjanjian kredit pada PT. Bank CIMB Niaga, Tbk Cabang Ir. H. Juanda Medan, yang memuat serangkaian klausula atau convenat, dimana sebagaian besar dari klausula merupakan upaya untuk melindungi pihak kreditur dalam pemberian kredit. Dalam perjanjian kredit antara bank dengan nasabahnya, bank sering sekali memintakan jaminan kepada debiturnya sebagai jaminan atas kredit yang dipinjamnya maka benda jaminannya akan di eksekusi oleh bank

   tersebut.

  Dari hasil wawancara yang telah di lakukan dalam bank meminta jaminan kepada debiturnya itu banyak terjadi dalam sistem perkreditan yang ada pada bank, dan begitu juga para debitornya yang juga telah memahami maksud dan tujuan dari di mintakannya jaminan tersebut kepada debitor itu sendiri.

  Sebagaimana diatur di dalam Pasal 55 Undang-Undang Kepailitan mengakui hak separatis dari pemegang hak jaminan sebagaiman yang telah ditentukan oleh KUHPerdata. Pencantuman Pasal 55 Undang-Undang Kepailitan ini sangat penting bagi kepentingan dan pemberian perlindungan kepada kreditur.

  Menurut Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan, apabila penagihan kreditur pemegang hak jaminan adalah suatu piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 dan 127 Undang-Undang Kepailitan, maka kreditur pemegang hak jaminan diperkenankan untuk berbuat demikian hanya sesudah piutang tersebutdicocokkan yang dilakukan dengan maksud untuk mengambil pelunasan atau jumlah piutang yang telah diakui dalam pencocokan utang-piutang tersebut.

  Menurut ketentuan hukum yang menentukan terjadinya keadaan yang disebut dengan automatic stay, yaitu keadaan status quo bagi debitur dan para kreditur, biasanya diberikan setelah debitur dinyatakan pailit oleh pengadilan, tetapi justru selama berlangsungnya pemeriksaan pailit oleh pengadilan yaitu

58 Wawancara dengan Chairun bagian Legal Officer Officer PT. Bank CIMB Niaga,

  sejak permohonan pailit didaftarkan di pengadilan atau pada saat negosiasi antara kreditur dan debitur dalam likuidasi terhadap pailit.

  

C. Eksekusi Hak Jaminan Fidusia Di Dalam Kepailitan Pada Bank CIMB

Niaga Cabang Ir. H Juanda Medan

1. Pengambilan Kembali Barang Jaminan

  Berbicara soal eksekusi mau tidak mau harus memperkenalkan tentang alasan eksekusi itu sendiri. Dengan membicarakan hal itu maka harus di uraikan tentang adanya titel eksekutorial, dalam praktek titel eksekutorial tersebut sering diartikan dengan judul eksekutorial. Menurut ketentuan UUF, eksekusi dapat dilakukan apabila debitur wanprestasi dan pemberi fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia. Jika pemberi fidusia tidak menyerahkan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia pada waktu eksekusi dilaksanakan, penerima fidusia berhak mengambil benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dan apabila perlu dapat meminta bantuan pihak yang berwenang

  Menurut Lia Erika, Mortage Officer PT. Bank CIMB Niaga Indonesia, Tbk Cabang Ir. H.Juanda Medan, pemakaian istilah “eksekusi” dalam hal terjadinya kredit macet, dalam pembayaran angsuran oleh penerima

   59 Wawancara dengan Lia Erika Mortage Officer PT. Bank CIMB Niaga, Cabang Ir. H Dari hasil wawancara yang telah di lakukan dengan memakai istilah “penarikan” adalah tidak tepat, sebab yang dilakukan oleh PT. Bank CIMB Niaga sebagai pemberi fasilitas/kreditur adalah mengambil barang jaminan sesuai dengan klausul perjanjian yang telah terlebih dahulu disepakati sebelumnya yang diatur dalam Pasal 4 (Perjanjian Pembiayaan konsumen) tentang Hak dan Kewajiban atas Barang Jaminan.

  Eksekusi menurut Pasal 29 Undang-Undang No 42 Tahun 1999, eksekusi adalah pelaksanaan titel eksekutorial oleh penerima fidusia, berarti eksekusi langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui Pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut. Jelas disini bahwa pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia berdasarkan titel eksekutorial adalah benda yang dibebani Jaminan Fidusia wajib didaftarkan.

  Sesuai Pasal 11 ayat 1 Undang-Undang No 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, pembeban dimaksud adalah diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Pembebanan dengan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta Jaminan Fidusia, lebih lanjut dalam Pasal 37 ayat (3) jika dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dilakukan penyelesaian, maka perjanjian Jaminan Fidusia tersebut bukan merupakan hak agunan atas kebendaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No 42tahun 1999 dan tidak mempunyai titel eksekutorial berdasarkan Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat(1) dicantumkan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.

  Aplikasi kredit yang diberikan oleh PT. Bank CIMB Niaga sebagai pemberi fasilitas, selain Perjanjian Pokok ( Perjanjian Pembiayaan Konsumen ) yang juga telah disediakan klausula baku perjanjian pemberiaan Jaminan Fidusia yang merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian konsumen Pasal 4 ayat (3) Perjanjian Pembiayaan Konsumen.

  Menurut Pasal 4 Undang-Undang Jaminan Fidusia nomor 42 tahun 1999 Jaminan Fidusia yang merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok bukan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi, yang merupakan uraian tentang Identitas Pihak Pemberi dan Penerima Fidusia, data perjanjian pokok yang dijamin fidusia, uraian mengenai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia, nilai penjaminan dan nilai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia, yang dalam pendaftaran fidusia dilakukan oleh penerima jaminan atau penerima fidusia untuk di daftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusiadi Wilayah kerja Kantor Pendaftaran Fidusia di Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia.

  Seperti yang di terapkan di dalam peraturan Perjanjian Pengikatan Jaminan Fidusia di Bank CIMB Niaga yang terdapat dalam Pasal 13 tentang Perjanjian Pemberian Jaminan Fidusia yang dikatakan bahwa biaya yang berkenaan dengan pembuatan perjanjian ini maupun dalam melaksanakan ketentuan dlam perjanjian ini menjadi tanggungan dan harus dibayar oleh penerima fasilitas atau pemberi jaminan, demikian pula biaya pendaftaran fidusia ini di Kantor Pendaftaran Fidusia. Dengan tidak memenuhi ketentuan di dalam Undang- Undang 42 tahun

  1999 tentang Jaminan Fidusia, maka perjanjian pemberian Jaminan Fidusia yang disediakan dan yang ditandatangani oleh Pemberi Fasilitas atau Penerima Fasilitas hanya sebagai akta di bawah tangan yang tidak membatalkan perjanjian pokok

   yaitu perjanjian pembiayaan konsumen.

  Dalam Pasal 4 ayat (3) Hak dan Kewajiban atas barang jaminan dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen PT. Bank CIMB Niaga menegaskan bahwa ketentuan jaminan tersebut akan di atur secara terpisah dalam perjanjian pemberian Jaminan Fidusia yang di buat dalam bentuk dan cara yang ditentukan oleh Pemberi Fasilitas, yang merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian ini, dengan pembuatan perjanjian pokok tentang hutang atau kredit tersebut yang menimbulkan hak dan kewajiban antara Penerima Fasilitas dapat dibuat secara dibawah tangan atau dibuat oleh notaris harus di

  

  Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Fidusia No 42 tahun 1999, dalam rangka pembuatan akta pembebanan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris dan dalam bahasa Indonesia.Dengan memperhatikan Pasal tersebut di atas walau tidak dibuat dengan akta Notaris dan tidak di daftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia, istilah eksekusi tetap melekat pada pengambilan kembali barang jaminan mobil akibat terjadinya wanprestasi penerima fasilitas.Pada Pasal 196 HIR dan Pasal 208 Rbg, Eksekusi pembayaran sejumlah

  60 61 Aplikasi Perjanjian Pengikatan Jaminan Fidusia PT. Bank CIMB Niaga Wawancara Pihak Bank di wakili oleh Customer Service PT. Bank CIMB Niaga,

  

  uang , baik dari penerima fasilitas maupun dari pihak lain, kecuali barang jaminan tersebut dijadikan barang bukti dalam Pengadilan.

  Eksekusi pembayaran uang yaitu membayar sejumlah uang dilakukan kepada penerima fasilitas yang melakukan wanprestasi, yaitu terhadap barang jaminan yang dikuasainya dengan cara pengambilan kembali dari penerima fasilitas atau yang menyerahkan barang jaminan, sebagai catatan dalam Surat Berita Acara Serah Terima Barang Jaminan (BASTBJ), apabila dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah serah terima barang jaminan tersebut tidak diselesaikan, maka akan dilakukan penjualan barang jaminan guna penyelesaian seluruh sisa utang penerima fasilitas kepada pemberi fasilitas.

  Apabila penerima fasilitas atau yang menyerahkan barang jaminan menyelesaikan pembayaran seluruh sisa hutangnya, dapat berupa pelunasan keseluruhan sisa utang atau dengan pemberian kebijakan, yaitu membayar maju angsuran beberapa kali bersama dengan denda dan ditambah biaya yang timbul dari pengambilan kembali barang jaminan, biasa disebut dengan Back To Current Account Revieble (BTCA).

  Hal tersebut bukan merupakan eksekusi tapi hanya mengambil kembali sita jaminan. Jika tidak diberikan BTCA tersebut, maka terhadap barang jaminan dapat langsung dilakukan eksekusi guna membayar utang melalui eksekusi lelang atau melakukan penjualan barang jaminan kepada pihak ketiga menurut cara dan harga yang dianggap baik oleh penerima kuasa atau pemberi fasilitas, sebgaimana 62 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Jogyakarta: Liberty, diperjanjikan dalam surat kuasa penarikan dan asuransi kendaraan yang merupakan bagian dari perjanjian pembiayaan konsumen

   .

2. Langkah-Langkah Sebelum Mengambil Barang Jaminan

  Menurut Lia Erika, Mortage Officer PT. Bank CIMB Niaga Indonesia, Tbk Cabang Ir. H. Juanda Medan langkah yang harus dilakukan adalah dengan Proses Desk Call ataupun dengan cara menelpon customer untuk membertahukan tentang waktu pembayaran angsuran yang telah jatuh tempo, ataupun dengan cara mengunjungi atau mendatangi customer untuk mengingatkan (bagi yang tidak memiliki telpon), melakukan penagihan, mengirimkan surat peringatan 1 (satu) dan 2 (dua)

   a.

  Mengingat waktu pembayaran angsuran yang telah jatuh tempo dengan menelpon atau dengan cara mengirim SMS, dilakukan terhadap penerima fasilitas yang memasukkan nomor telponnya dalam aplikasi kredit, yang mengalami keterlambatan pembayaran 1 (satu) sampai 2 (dua) hari, bagi yang tidak memiliki telpon yaitu dengan mengunjungi untuk mengingatkan.

  , dengan ketentuan sebagai berikut : b.

  Apabila masih tidak ada juga tanggapan dari penerima fasilitas dalam 1 dan 2 hari tersebut, maka hari ke 3 nya Dept Account Revieble (AR) menugaskan Collector untuk melakukan penagihan secara langsung 63 Aplikasi kredit PT. Bank CIMB Niaga 64 Wawancara dengan Lia Erika Mortage Officer PT. Bank CIMB Niaga, Cabang Ir. H

  terhadap penerima fasilitas, penagihan ini maksimal 4 kali kunjungan dilakukan dalam 1 bulan.

  c.

  Apabila kembali tidak dilakukan pembayaran, Dept Account Revieble (AR) melalui collectornya mengirimkan peringatan pertama, yang batas waktunya diberikan 7 hari kerja kepada penerima fasilitas untuk melakukan pembayaran, namun apabila peringatan pertama tadi tidak ditanggapi, maka Dept Account Revieble (AR) melalui collectornya mengirimkan lagi peringatan yang kedua yang batas waktunya 7 hari kerja. Dan apabila masih tidak ditanggapi dan dilakukan pembayaran nya, penerima fasilitas masih diberikan kesempatan melakukan pembayaran sebelum masuk Over Due (OD) kurang dari 60 hari keterlambatan, tetapi jika Over Due (OD) lebih dari 60 hari keterlambatan, secara sistem penerima fasilitas tersebut masuk dalam kredit macet atauyang biasa disebut dengan “kredit bermasalah” yang dalam istilah pembukuan lembaga pembiayaan dikenal dengan “non-performing loan” (NPL).

3. Pelaksanaan pengambilan kembali barang jaminan.

  Setelah menerima kasus pelimpahan khusus atau pelimpahan otomatis surat tugas/surat kuasa, dokumen primer dan optional, Remedial field atau DC dari dept remedial, tersebut langsung mendatangi alamat yang ada dalam data remedial card untuk mengambil barang jaminan menarikan jika barang jaminan ada maka langsung diambil dan dibawa ke Kantor Bank CIMB Niaga, sedangkan apabila barang jaminan tidak ada atau sudah dialihkan maka Remedial field atau DC akan meminta penerima fasilitas menjelaskan kemana barang jaminan dialihkan untuk kemudian sesuai perjanjian dimnta untuk menyerahkan barang

   jaminan tersebut .

  Menurut Pasal 197 ayat (5) HIR atau pasal 209 ayat (4) RBG pejabat yang menjalankan eksekusi diperintahkan secara tegas untuk membuat “berita acara” eksekusi. Keabsahan formal eksekusi hanya dapat dibuktikan dengan berita acara dan harus disaksikan dan ditandatangani oleh pihak yang menjalankan eksekusi dan dua orang saksi dianggaptidak sah, karena belum memenuhi syarat formal cara menjalankan eksekusi. Apalagi keikutsertaan tereksekusi menandatangani sangat penting artinya, sebagai alat untuk mematahkan tuduhan dikemudian hari.

4. Proses Lanjutan Setelah Penarikan Barang Jaminan

  Remedial field atau DC wajib menyerahkan Unit kendaraan hasil penarikannya ke kantor Bank CIMB Niaga dalam waktu 1x24 jam, kecuali dalam hal khusus dan dapat dibuktikannya kebenarannya, misalnya keamanan Bank CIMB Niaga dan memberikan laporan atas hasil kunjungan berdasarkan surat tugas atau surat kuasa yang diterimanya. Setelah barang jaminan tiba di kantor Bank CIMB Niaga.

65 Wawancara dengan Lia Erika Mortage Officer PT. Bank CIMB Niaga, Cabang Ir. H

  Remedial akan mengirimkan surat pemberitahuan ke penerima fasilitas untuk melunasi seluruh hutangnya di Bank CIMB Niaga tenggang waktu yang diberikan 7 hari dari tanggal penyerahan kendaraan dan penerima fasilitas dapat memohon perpanjangan waktu selama 6 hari kerja, ini diberikan terkait kebijakan

  

  apabila customer ada permasalahan musibah , jika sampai batas waktu yang diberikan penerima fasilitas belum melunasi maka akan dilakukan reproses atau proses aktiva yang dikuasai (WD). Namun dalam waktu 7 di tambah dengan 6 hari berikutnya, pemberi fasilitas memberikan 2 proses kepada penerima fasilitas, yaitu: a.