Tanggung Jawab Debitur Terhadap Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank

(1)

TANGGUNG JAWAB DEBITUR TERHADAP MUSNAHNYA

BENDA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN

KREDIT BANK

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh

NIM : 080200374 FERDINAND H. SIBORO

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TANGGUNG JAWAB DEBITUR TERHADAP MUSNAHNYA

BENDA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN

KREDIT BANK

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh

NIM : 080200374 FERDINAND H. SIBORO

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Ekonomi

(WINDHA, SH., M. Hum) NIP. 19750112200501 2002

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH

NIP. 19560329198601 1001 NIP. 19530312198303 1002 Ramli Siregar,SH, M.Hum


(3)

ABSTRAK

TANGGUNG JAWAB DEBITUR TERHADAP MUSNAHNYA

BENDA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN

KREDIT BANK

Ferdinand H Siboro** Bismar Nasution**

Ramli Siregar**

Skripsi yang berjudul “Tanggung Jawab Debitur Terhadap Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank” merumuskan 2 (dua) permasalahan pokok, yaitu : Bagaimana pengaturan tanggung jawab debitur terhadap benda jaminan fidusia yang musnah dalam suatu perjanjian kredit bank menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia; Bagaimana perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit bank terhadap masalah musnahnya benda jaminan fidusia.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaturan tanggung jawab debitur terhadap benda jaminan fidusia yang musnah dalam suatu perjanjian kredit bank menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia? Bagaimana perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit bank terhadap masalah musnahnya benda jaminan fidusia ?

Penelitian dalam kaitannya dengan penulisan skripsi ini termasuk jenis penelitian hukum normative, yaitu penelitian hukum yang didasarkan pada data sekunder. Dalam penelitian ini dipergunakan pendekatan-pendekatan perundang-undnagan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach).

Hasil penelitian skripsi ini diperoleh bahwa : 1 Tanggung jawab debitur terhadap benda jaminan fidusia yang musnah dalam suatu perjanjian kredit bank menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia debitur tetap bertanggung jawab mengembalikan pinjaman kredit walaupun benda jaminan fidusia tersebut diasuransikan maupun tidak diasuransikan; 2 Perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit bank terhadap masalah musnahnya benda jaminan fidusia sangat lemah karena jika terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak perlindungan hukum tidak berjalan secara efektif bagi pihak-pihak yang dirugikan.

Kata kunci : Tanggung jawab, musnahnya jaminan fidusia, perjanjian kredit bank

* Mahasiswa

** Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum USU ** Dosen Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum USU


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat serta perlindungan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Skripsi ini yang berjudul : “Tanggung Jawab Debitur Terhadap Musnahnya Benda Jaminan Fidusia dalam Perjanjian Kredit Bank”

Penulisan skripsi ini dimaksudkan sebagai salah satu persyaratan guna menyelesaikan studi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Meskipun telah berusaha semaksimal mungkin, penulis yakin skripsi ini masih jauh dari sempurna dan harapan, oleh karena keterbatasan ilmu pengetahuan, waktu, tenaga serta literatur bacaan. Namun dengan ketekunan, tekad dan rasa ingin tahu dalam pengembangan ilmu pengetahuan, akhirnya penulis dapat menyelesaikannya.

Penulis menyadari, bahwa skripsi ini dapat terselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak. Segala bantuan, budi baik dan uluran tangan berbagai pihak yang telah penulis terima baik dalam studi maupun dari tahap persiapan penulis sampai skripsi ini terwujud tidak mungkin disebutkan seluruhnya.

Rasa hormat dan terima kasih juga penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang telah mendorong dan membantu, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara antara lain kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, MH selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Windha, SH., M.Hum. selaku Ketua Jurusan Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(5)

3. Bapak Ramli Siregar, S.H. selaku Sekretaris Jurusan Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing II, dalam penulisan skripsi ini yang telah tulus ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam memberikan pengarahan, masukan-masukan serta kritik yang membangun selama proses penulisan skripsi ini.

4. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH selaku dosen pembimbing I dalam penulisan skripsi ini yang telah tulus ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam memberikan pengarahan, masukan-masukan serta kritik yang membangun selama proses penulisan skripsi ini.

5. Buat orang tua khususnya Ibu penulis Rayana br Situmorang yang telah mendidik dan membesarkan penulis dan juga telah memberikan dukungan dan motivasi baik itu materi maupun moril hingga penulis dapat menyelesaikan perkuliah ini.

6. Kepada teman-teman angkatan 2007 dan 2008 serta buat sahabat-sahabat karib penulis yang telah penulis anggap sebagai saudara kandung yang telah memberikan banyak kenangan indah selama dalam masa perkuliahan, .

7. Buat kakak dan adik-adik, dan orang-orang yang penulis cintai, terima kasih buat dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Di sadarinya kekurang sempurnaan penulisan skripsi ini, maka dengan kerendahan hati penulis menyambut masukan yang bermanfaat dari para pembaca sekalian untuk memberikan kritikan dan saran-saran yang membangun. Penulis berharap semoga penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat dan kontribusi positif bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan untuk perkembangan ilmu hukum jaminan pada khususnya.

Medan, 12 Oktober 2012 Penulis


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... .. iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... . 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Keaslian Penelitian ... 7

E. Metode Penelitian ... 7

F. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT DAN JAMINAN FIDUSIA ... 12

A. Perjanjian Kredit ... . 12

B. Jaminan Fidusia ... 31

BAB III TANGGUNG JAWAB DEBITUR TERHADAP BENDA JAMINAN FIDUSIA YANG MUSNAH DALAM PERJANJIAN KREDIT ... 67

A. Jenis-Jenis Jaminan ... 67

B. Perjanjian Kredit ... 68

C. Pendeskripsian Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit ... 69

D. Pengaturan Tentang Tanggung jawab Debitur Terhadap Benda Jaminan Yang Musnah Dalam Perjanjian Kredit ... 72


(7)

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA PIHAK

TERHADAP MUSNAHNYA BENDA JAMINAN FIDUSIA

DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK ... 79

A. Dasar Hukum Penyelesaian Masalah Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank... 79

B. Upaya Penyelesaian Masalah Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank ... 90

C. Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Terhadap Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank ... . 94

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 107

5.1 Kesimpulan ... . 107

5.2 Saran ... . 108 DAFTAR PUSTAKA


(8)

ABSTRAK

TANGGUNG JAWAB DEBITUR TERHADAP MUSNAHNYA

BENDA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN

KREDIT BANK

Ferdinand H Siboro** Bismar Nasution**

Ramli Siregar**

Skripsi yang berjudul “Tanggung Jawab Debitur Terhadap Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank” merumuskan 2 (dua) permasalahan pokok, yaitu : Bagaimana pengaturan tanggung jawab debitur terhadap benda jaminan fidusia yang musnah dalam suatu perjanjian kredit bank menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia; Bagaimana perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit bank terhadap masalah musnahnya benda jaminan fidusia.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaturan tanggung jawab debitur terhadap benda jaminan fidusia yang musnah dalam suatu perjanjian kredit bank menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia? Bagaimana perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit bank terhadap masalah musnahnya benda jaminan fidusia ?

Penelitian dalam kaitannya dengan penulisan skripsi ini termasuk jenis penelitian hukum normative, yaitu penelitian hukum yang didasarkan pada data sekunder. Dalam penelitian ini dipergunakan pendekatan-pendekatan perundang-undnagan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach).

Hasil penelitian skripsi ini diperoleh bahwa : 1 Tanggung jawab debitur terhadap benda jaminan fidusia yang musnah dalam suatu perjanjian kredit bank menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia debitur tetap bertanggung jawab mengembalikan pinjaman kredit walaupun benda jaminan fidusia tersebut diasuransikan maupun tidak diasuransikan; 2 Perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit bank terhadap masalah musnahnya benda jaminan fidusia sangat lemah karena jika terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak perlindungan hukum tidak berjalan secara efektif bagi pihak-pihak yang dirugikan.

Kata kunci : Tanggung jawab, musnahnya jaminan fidusia, perjanjian kredit bank

* Mahasiswa

** Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum USU ** Dosen Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum USU


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kegiatan perekonomian terus berlangsung di manapun dan oleh siapapun sebagai pelaku usaha, baik pribadi, badan hukum privat atau publik, bahkan oleh gabungan orang yang bukan badan hukum sekalipun. Tidak dapat disangkal bahwa kegiatan tersebut dilakukan oleh siapapun sebagai bagian dari upaya peningkatan perekonomian negara. Salah satu faktor yang menjadi modal penting untuk menjalankan dan mengembangkan suatu usaha ekonomi tersebut adalah dana atau uang. Dana atau uang yang dibutuhkan guna pelaksanaan dan pengembangan usaha dapat diperoleh dengan cara pinjaman atau kredit melalui jasa perbankan. Bagi kalangan pengusaha dan atau pelaku usaha, pinjam meminjam merupakan kegiatan yang mewarnai dinamika pengembangan usaha.

Kegiatan pinjam meminjam uang adalah kegiatan yang telah dilakukan sejak lama dalam kehidupan masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran. Dalam kegiatan pinjam meminjam uang yang terjadi di masyarakat dapat diperhatikan bahwa umumnya sering dipersyaratkan adanya penyerahan jaminan utang oleh pihak peminjam kepada pihak pemberi pinjaman. Jaminan utang dapat berupa barang (benda) sehingga merupakan jaminan kebendaan dan atau berupa janji penanggungan utang sehingga merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak kebendaannya kepada pemegang jaminan.


(10)

Berbagai lembaga keuangan, terutama bank konvensional, telah membantu pemenuhan kebutuhan dana bagi kegiatan perekonomian dengan memberikan pinjaman uang antara lain dalam bentuk kredit perbankan. Jasa perbankan memiliki peranan yang besar dalam mendorong perekonomian nasional.

Pada dasarnya, pemberian kredit oleh bank diberikan kepada siapa saja yang memiliki kemampuan untuk membayar kembali dengan syarat melalui suatu perjanjian utang piutang di antara kreditur dan debitur.1

Perjanjian kredit dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak ada pengaturannya apakah dibuat secara tertulis atau lisan, akan tetapi pada umumnya yang terjadi pada setiap bank adalah setiap debitur yang meminjam uang di bank harus mengajukan permohonan kredit yang diajukan secara tertulis kepada pihak bank, tanpa harus melihat berapa jumlah kredit yang diminta.

Perjanjian kredit yang dibuat oleh bank kepada debitur merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam pemberian kredit. Perjanjian kredit merupakan ikatan antara kreditur dan debitur yang isinya menentukan dan mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak sehubungan dengan pemberian kredit.

2

Jasa perbankan dalam membantu bidang perekonomian bukanlah tanpa resiko. Resiko usaha yang terjadi di kalangan perbankan justru terutama menyangkut pemberian kredit. Pemberian kredit oleh bank pada dasarnya harus

1

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000) hal. 1.

2

Hermansyah, Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 68.


(11)

dilandasi keyakinan bank atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya.

Jaminan adalah merupakan sarana perlindungan bagi keamanan kreditur, yaitu kepastian atas pelunasan utang debitur atau pelaksanaan suatu prestasi oleh debitur atau oleh penjamin debitur. Keberadaan jaminan merupakan persyaratan untuk memperkecil resiko bank dalam menyalurkan kredit.

Terhadap barang atau benda milik debitur yang dijadikan jaminan, akan dibuat perjanjian pembebanannya yang disebut perjanjian jaminan. Perjanjian jaminan ini timbul karena adanya perjanjian pokok, yang berupa perjanjian pinjam meminjam atau perjanjian kredit. Tidak mungkin ada perjanjian jaminan tanpa adanya perjanjian pokoknya. Perjanjian jaminan tidak dapat berdiri sendiri, melainkan selalu mengikuti perjanjian pokoknya. Apabila perjanjian pokok berakhir, maka perjanjian jaminan juga akan berakhir atau hapus. Sifat perjanjian jaminan adalah merupakan perjanjian asesor (accessoir). Perjanjian jaminan merupakan perjanjian khusus yang dibuat oleh kreditur dengan debitur atau pihak ketiga yang membuat suatu janji dengan mengikatkan benda tertentu atau kesanggupan pihak ketiga dengan tujuan memberikan keamanan dan kepastian hukum pengembalian kredit atau pelaksanaan perjanjian pokok.3

Terhadap benda milik debitur yang dijadikan jaminan kredit, bisa berupa benda bergerak dan bisa pula benda tidak bergerak atau benda tetap. Apabila yang dijadikan jaminan kredit adalah benda tidak bergerak atau benda tetap, maka ketentuan undang-undang menetapkan pembebanan atau pengikatannya

3

Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Azas Pemisahan Horizontal, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 236.


(12)

menggunakan Hipotik atau Hak Tanggungan, sedangkan apabila yang dijadikan obyek jaminan itu adalah benda bergerak, maka pengikatannya bisa memakai Gadai atau Fidusia. Adanya pembagian benda-benda menjadi benda bergerak dan tidak bergerak, membawa konsekuensi berbedanya lembaga jaminan yang digunakan atau diterapkan, ketika benda-benda tersebut dijadikan jaminan utang.

Benda yang dijadikan jaminan kredit pada bank, di samping jaminan benda tidak bergerak seperti tanah, bangunan, kapal berukuran 20 meter kubik ke atas, kereta api termasuk mesin pabrik yang melekat dengan tanah juga jaminan benda bergerak seperti kendaraan bermotor. Meskipun demikian, pada umumnya benda bergerak yang digunakan sebagai jaminan kredit. Terkait dengan benda bergerak yang digunakan sebagai jaminan, umumnya debitur sebagai pemilik jaminan tetap ingin menguasai bendanya digunakan untuk menjalankan kegiatan usaha atau aktivitasnya. Dengan demikian, menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1992 tentang Jaminan Fidusia, lembaga jaminannya adalah fidusia. Pemberian fidusia dilakukan melalui proses yang disebut dengan ”Constitutum Prossesorium” (penyerahan kepemilikan benda tanpa menyerahkan fisik bendanya).4

Perjanjian kredit yang terjadi antara pihak bank dengan pihak debitur dalam prakteknya kadangkala terjadi tidak sesuai dengan keinginan para pihak. Perjanjian kredit tersebut dapat menimbulkan masalah yang tidak diinginkan. Benda jaminan yang diberikan oleh pihak debitur kepada pihak bank terutama pada benda jaminan seperti kendaraan bermotor, peralatan mesin yang dibebani

4

Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, selanjutnya disebut Munir Fuady I,2002) hal. 152.


(13)

jaminan fidusia ternyata musnah dan nilai dari benda bergerak tersebut setiap tahun akan menyusut. Musnahnya benda jaminan dapat disebabkan karena terjadi pencurian, kebakaran, dan lain-lain.

Pasal 25 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mengatur sebagai berikut :

(1) Jaminan Fidusia hapus karena hal-hal sebagai berikut : a. Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia;

b. Pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh penerima Fidusia; atau c. Musnahnya Benda yang menjadi Objek Jaminan Fidusia.

(2) Musnahnya Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia tidak menghapuskan klaim asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b.

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mengatur tentang pengecualian terhadap pembebanan jaminan atas benda atau piutang yang diperoleh dengan perjanjian jaminan tersendiri yaitu pada huruf (b) yaitu Jaminan Fidusia meliputi klaim asuransi, dalam hal benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia diasuransikan.

Jika mengkaji Pasal 25 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia tersebut di atas, maka tidak jelas atau adanya kekaburan pengaturan tentang indikator musnahnya jaminan fidusia dan lebih lanjut juga terjadi ketidakjelasan pengaturan tentang tanggung jawab pihak-pihak dalam perjanjian khususnya dalam hal perjanjian kredit di bank. Selain itu, tidak jelas perlindungan hukum bagi para pihak karena musnahnya jaminan fidusia. Dengan demikian, penting untuk melakukan penelitian terkait dengan adanya kekaburan norma (Vague van Normen) terhadap tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan fidusia dalam perjanjian kredit bank.


(14)

B. Perumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang masalah, sebagaimana disampaikan di atas, maka dapat dirumuskan dua pokok masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan tanggung jawab debitur terhadap benda jaminan fidusia yang musnah dalam suatu perjanjian kredit bank menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia ?

2. Bagaimana perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit bank terhadap masalah musnahnya benda jaminan fidusia ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui dan menjelaskan tanggung jawab debitur terhadap benda jaminan fidusia yang musnah dalam suatu perjanjian kredit menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

b. Untuk mengetahui dan menjelaskan perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit terhadap masalah musnahnya benda jaminan fidusia.

2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat positif bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya bidang hukum jaminan fidusia yang keberadaannya sangat dibutuhkan berkaitan dengan aktivitas lembaga keuangan bank.


(15)

b. Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berupa masukan bagi pemerintah maupun lembaga perbankan dalam rangka melaksanakan ketentuan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, terutama ketentuan yang menyangkut tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan fidusia dalam perjanjian kredit serta perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit bank.

D. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian di perpustakaan di Universitas Sumatera Utara dan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara bahwa judul tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan fidusia dalam perjanjian kredit bank belum pernah ada, sehingga penulis tertarik untuk meneliti tentang musnahnya benda jaminan fidusia.

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Peter Mahmud Marzuki berpendapat, penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Hal ini sesuai dengan karakter preskriptif ilmu hukum.5

Ada dua jenis penelitian hukum yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto, yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris atau

5


(16)

sosiologis.6 Jenis penelitian sehubungan dengan penyusunan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Philipus M Hadjon berpendapat bahwa jenis penelitian hukum normatif yaitu suatu penelitian yang terutama mengkaji ketentuan-ketentuan hukum positif maupun asas-asas hukum.7

2. Jenis Pendekatan

Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan yang bertujuan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang akan diteliti. Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan Undang-Undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).8

Berdasarkan permasalahan penelitian ini, maka penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), yakni dengan menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai bahan hukum primer. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.9 Penelitian ini juga menggunakan pendekatan konsep (conceptual approach). Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.10

6

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Rajawali Press, 1985 (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto III), hal 147.

7

Philipus M Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum, Makalah Penelitian Metode Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya : Universitas Airlangga,1997) hal.20.[

8

Peter Mahmud Marzuki,Op.Cit.hal.93.

9

Ibid

10


(17)

Dengan demikian, penelitian tentang pengaturan tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan fidusia dalam perjanjian kredit bank menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. 3. Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum penelitian ini berasal dari penelitian kepustakaan (Library Research). Penelitian kepustakaan ini dilakukan terhadap berbagai macam sumber bahan hukum yang dapat digolongkan atas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Pendapat Peter Mahmud Marzuki,bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundangundangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundangundangan dan putusan-putusan hakim.11

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

Bahan-bahan hukum primer dalam penelitian ini terdiri dari:

b. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia; c. Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Sedangkan bahan hukum sekunder merupakan semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.12

11

Ibid. hal.140.

Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, bahan hukum yang bersumber dari literatur-literatur, ju rnal ilmiah, dan lain-lain terkait dengan persoalan yang sementara dikaji. Selain itu dipergunakan juga bahan hukum penunjang seperti kamus.

12


(18)

4. Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara menginventarisir, mempelajari dan mendalami bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang terkait dengan penelitian ini. Bahan hukum yang diperoleh, dikumpulkan dengan menggunakan sistem kartu (Card System). Kemudian dilakukan pencatatan mengenai hal-hal yang dianggap penting dan berguna bagi penelitian yang dilakukan. Kartu-kartu diklasifikasikan atas kartu kutipan, kartu ikhtiar, dan kartu ulasan, serta menurut rencana sistematika skripsi. Kemudian diberikan identitas seperti : sumber bahan yang dikutip, dan halaman.

F. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Berisikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Keaslian Penelitian, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT

DAN JAMINAN FIDUSIA

Berisikan mengenai masalah Perjanjian Kredit Jaminan Fidusia

BAB III TANGGUNG JAWAB DEBITUR TERHADAP BENDA

JAMINAN FIDUSIA YANG MUSNAH DALAM PERJANJIAN KREDIT

Berisikan jenis-jenis jaminan, Perjanjian Kredit, Pendeskripsian Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit dan


(19)

Pengaturan Tentang Tanggung jawab Debitur Terhadap serta Benda Jaminan Yang Musnah Dalam Perjanjian Kredit

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA PIHAK

TERHADAP MUSNAHNYA BENDA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK

Pada bab ini akan membahas tentang Dasar Hukum Penyelesaian Masalah Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank, Upaya Penyelesaian Masalah Musnahnya Benda Jaminan dan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank serta Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Terhadap Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab isi berisikan tentang Kesimpulan dan Saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan


(20)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT DAN JAMINAN FIDUSIA

A. Perjanjian Kredit

1. Pengertian Perjanjian Kredit

Dalam sistem hukum Indonesia yang menganut sistem Eropa Kontinental (Civil Law Legal System), istilah kontrak dikenal dengan Perjanjian (Overrenkomst). Menurut Pasal 1313 BW (KUH Perdata), “Perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.13

Pengertian perjanjian sebagaimana diatur Pasal 1313 BW (KUH Perdata) tersebut dalam pandangan para sarjana mengandung kelemahan. Ketidak-sempurnaan dan tidak lengkap. Sehubungan dengan hal tersebut Mariam Darus Badrulzaman mengungkapkan :

Para Sarjana Hukum Perdata umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat dalam ketentuan BW di atas adalah tidak lengkap dan pula terlalu luas. Tidak lengkap, karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu terlalu luas, karena dapat mencakup hal-hal yang mengenai janji kawin, yaitu perbuatan di lapangan hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga, namun istimewa sifatnya karena dikuasai oleh ketentuanketentuan tersendiri sehingga Buku III BW (KUH Perdata) secara langsung tidak berlaku terhadapnya. Juga mencakup perbuatan melawan hukum, sedangkan terhadap perbuatan melawan hukum ini tidak ada unsur persetujuannya.14

13

Rai Widjaja, I G A, Dikutip dari Black Law Dictionary, Merancang Suatu Kontrak, Teori dan Praktek, (Jakarta : Mega Poin, 2003), hal. 8.

14

Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku II Hukum

Perikatan Dengan Penjelasan, (Bandung : Alumni, (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman I,1983), hal. 20.


(21)

Menurut Abdulkadir Muhammad, kelemahan-kelemahan ketentuan Pasal 1313 BW (KUH Perdata) adalah sebagai berikut :15

a. Hanya menyangkut satu pihak. Jika dilihat rumusan ”satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata Kerja ”mengikatkan” mempunyai sifat hanya datang dari satu pihak saja. Seharusnya rumusannya itu harus saling mengikatkan diri sehingga ada consensus para pihak.

b. Kata ”Perbuatan” termasuk tindakan melaksanakan pekerjaan tanpa kuasa (Zaakwaneming) yang tidak mengandung konsensus antara para pihak. Seharusnya digunakan kata ”persetujuan”.

c. Pengertian ”perjanjian” dalam pasal tersebut mempunyai arti yang terlalu luas karena dapat juga mencakup kelangsungan perkawinan, janji kawin yang diatur dalam hukum keluarga. Padahal ”perjanjian” yang dimaksud oleh buku III hanya perjanjian yang bersifat kebendaan.

d. Perumusan pasal tersebut tidak menyebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga tidak jelas untuk apa para pihak mengadakan perjanjian itu.

Mengingat adanya kelemahan-kelemahan dari ketentuan Pasal 1313 BW (KUH Perdata), maka untuk memahami pengertian perjanjian, maka dipandang penting untuk mengetengahkan pengertian perjanjian yang dikemukakan oleh para sarjana. Pandangan sarjana dimaksud dapat dijadikan scbagai pembanding dan bahan analisis dalam memahami perjanjian secara lebih mendetail dan lengkap.

Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan Hukum Kekayaan.16 Sedangkan Prof. R. Soebekti, merumuskan perjanjian ini adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.17

15

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung) Alumni, 1982) hal. 78.[

Pendapat ini perlu mendapat perhatian dan penegasan, sebab tidak semua peristiwa itu akan menimbulkan adanya perjanjian, tetapi hanya peristiwa hukum

16

Ibid.

17


(22)

yang dapat menimbulkan perjanjian. R. Setiawan berpendapat perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.18

Hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dua pihak itu sepakat untuk menentukan peraturan atau kaidah atau hak dan kewajiban, yang mengikatkan mereka untuk ditaati dan dijalankan, kesepakatan itu adalah untuk menimbulkan akibat hukum, menimbulkan hak dan kewajiban dan kalau kesepakatan itu dilanggar maka ada akibat hukumnya, si pelanggar dapat dikenakan akibat hukum atau sanksi.

Selanjutnya Sudikno Mertokusumo menyatakan :

19

Berdasarkan pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa perjanjian adalah peristiwa hukum yang telah disepakati oleh para pihak dalam rangka melaksanakan suatu hal dalam lapangan hukum kekayaan yang telah diatur menurut hukum. Perjanjian itu merupakan peristiwa yang menimbulkan suatu hubungan hukum di antara para pihak yang terlibat di dalamnya atau dikenal dengan perikatan (Verbintenis).

Di dalam menyalurkan kredit kepada masyarakat, bank akan menuangkan dalam suatu perjanjian yang namanya perjanjian kredit. Sebelum memahami tentang perjanjian kredit, perlu diketahui terlebih dahulu apa itu kredit. Secara etimologi perkataan kredit berasal dari bahasa latin “Credere” yang berarti

18

R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung : Bina Cipta,1979) hal. 5.

19

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta : Liberty, 1999 (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo I), hal. 96.


(23)

kepercayaan, sehingga berpijak dari arti kata tersebut. Dapat dikatakan bahwa pengertian dasar dari pemberian kredit adalah kepercayaan.20

Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal 1 butir 11, kredit adalah:

”Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.

Dengan demikian, kredit bank adalah merupakan kredit yang diberikan bank kepada nasabahnya berdasarkan kepercayaan dengan menyerahkan sejumlah uang tertentu kepada debiturnya, untuk dipergunakan sesuai dengan tujuannya, dalam jangka waktu tertentu, dan dengan imbalan berupa bunga. Istilah perjanjian kredit berasal dari bahasa Inggris, yaitu contract credit. Dalam hukum Inggris, perjanjian kredit bank termasuk loan of money.21

Istilah perjanjian kredit ditemukan dalam instruksi pemerintah dan berbagai surat edaran, antara lain:

1. Instruksi Presidium Kabinet Nomor 15/EKA/10/96, yang berisi instruksi kepada bank bahwa dalam memberikan kredit bentuk apapun, bank-bank wajib mempergunakan ”akad perjanjian kredit”;

2. Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I Nomor 2/539/UPK/Pemb/1996; dan

20

Bambang Sunggono, Pengantar Hukum Perbankan, (Jakarta : Mandar Maju, 1995) hal. 127.

21


(24)

3. Surat Edaran Bank Negara Indonesia Nomor 2/643/Pemb/1996 tentang Pedoman Kebijaksanaan di Bidang Perkreditan.

Dalam ketentuan itu tidak kita temukan pengertian perjanjian kredit. Namun, dalam Pasal 1 angka 3 Rancangan Undang-Undang tentang Perkreditan Perbankan, telah ditentukan pengertian perjanjian kredit. Perjanjian kredit adalah: ”Persetujuan dan atau kesepakatan yang dibuat bersama antara kreditur dan debitur atas sejumlah kredit dengan kondisi yang telah diperjanjikan, hal mana pihak debitur wajib untuk mengembalikan kredit yang telah diterima dalam jangka waktu tertentu disertai bunga dan biaya-biaya yang disepakati”.

Unsur-unsur yang terkandung dalam perjanjian kredit adalah : 1. Adanya persetujuan dan/atau kesepakatan;

2. Dibuat bersama antara kreditur dan debitur; 3. Adanya kewajiban debitur.

Kewajiban debitur adalah:

1. Mengembalikan kredit yang telah diterimanya; 2. Membayar bunga; dan

3. Biaya-biaya lainnya.

Para ahli juga memberikan pengertian perjanjian kredit. Sutarno mengartikan perjanjian kredit adalah:

”Perjanjian pokok atau perjanjian induk yang mengatur hak dan kewajiban antara kreditur dan debitur”.22

Definisi ini terlalu singkat karena hanya difokuskan pada hak dan kewajiban antara kreditur dan debitur, padahal dalam perjanjian kredit itu sendiri

22


(25)

yang paling prinsip adalah kesepakatan para pihak. Definisi lain dikemukakan Sutan Remy Syahdeini. Sutan Remy Syahdeini mengartikan perjanjian kredit adalah:

”Perjanjian bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai debitur mengenai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu yang mewajibkan nasabah debitur untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan”. 23

Definisi yang dikemukakan oleh Sutan Remy Syahdeini terlalu luas karena tidak hanya mengemukakan tentang hak dan kewajiban kreditur dan debitur, namun juga mengemukakan tentang ciri-ciri perjanjian kredit. Karena adanya kelemahan dari kedua definisi di atas, maka perlu dilengkapi dan disempurnakan. Menurut H. Salim HS yang diartikan dengan perjanjian kredit adalah:

”Perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur, di mana kreditur berkewajiban untuk memberikan uang atau kredit kepada debitur, dan debitur berkewajiban untuk membayar pokok dan bunga, serta biaya-biaya lainnya sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati antara keduanya”.24

Perjanjian kredit merupakan dasar kewenangan bank untuk dapat mengendalikan penggunaan kredit oleh nasabah. Yang menyangkut pemberian kreditnya, bank sangat berkepentingan dengan hal-hal yang menyangkut hak-hak bank dan kewajiban-kewajiban nasabah, baik pada saat sebelum kredit diberikan, selama kredit diberikan, dan setelah kredit jatuh tempo. Di dalam perjanjian kredit kepentingan-kepentingan bank yang demikian itu tetap terjaga. Namun meskipun

23

Sutan Remy Syahdeini, Op. Cit, hal. 14.

24

Salim, HS, Perkembangan Hukum Kontrak Diluar KUH Perdata, Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada, 2006, (selanjutnya disebut Salim HS I), hal. 80.


(26)

demikian, diharapkan hak-hak dan kepentingan nasabah sebagai pihak penerima kredit seyogyanya juga harus diberikan perhatian, dalam konteks perjanjian kredit dimaksud.

2. Sifat Perjanjian Kredit

Berbicara tentang sifat perjanjian kredit ada berbagai pendapat dari para sarjana dengan mengkaitkannya dengan ketentuan Pasal 1754 BW. Pasal 1754 BW menentukan sebagai berikut :

“Perjanjian pinjam rnengganti adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah ketentuan barang-barang yang menghabis karena pemakaian. dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”.

Selanjutnya dalam Pasal 1765 BW disebutkan, bahwa diperbolehkan memperjanjikan, bunga atau peminjaman uang atau lain barang yang menghabis karena pemakaian. Dari pengertian ini, terlihat bahwa unsur-unsur pinjam-meminjam adalah :

1. Adanva persetujuan antara peminjam dengan yang memberi pinjaman; 2. Adanya suatu jumlah barang tertentu habis karena memberi pinjaman; 3. Pihak yang menerima pinjaman akan mengganti barang yang sama; 4. Pinjaman wajib membayar bunga bila diperjanjikan.25

Para ahli mencoba untuk memberikan tafsiran terhadap Pasal 1754 KUH Perdata dan dikaitkan dengan perjanjian kredit bank. Hal ini disebabkan karena di

25


(27)

dalam KUH Perdata sendiri tidak kita temukan istilah perjanjian kredit. Bahkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 sendiri tidak mengenal istilah perjanjian kredit, yang ada hanya pengertian kredit. Dalam penjelasan Rancangan Undang-Undang Perkreditan Perbankan ditegaskan bahwa perjanjian bersifat konsensual dan riil, berbeda dengan perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang hanya bersifat riil. Marhainis Abdul Hay menyatakan sebagai berikut:

“Ketentuan Pasal 1754 KUH Perdata tentang perjanjian pinjam mengganti, mempunyai pengertian yang identik dengan perjanjian kredit bank.”26

Subekti berpendapat bahwa dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diberikan atau diadakan. dalam semuanya itu pada hakekatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam meminjam sebagaimana diatur oleh BW, Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769.

27

Begitu pula menurut Muhammad Djumhana, bahwa perjanjian kredit menurut Hukum Perdata Indonesia adalah salah satu dari bentuk perjanjian pinjam meminjam seperti diatur Pasal 1754 BW.28

Dari rumusan yang terdapat di dalam Undang-Undang Perbankan mengenai perjanjian kredit, dapat disimpuikan bahwa dasar perjanjian

Dengan demikian, pembuatan suatu perjanjian kredit dapat mendasarkan kepada ketentuan-ketentuan yang ada pada BW maupun atas dasar kesepakatan para pihak. Hal yang sama dikemukakan pula oleh Madam Darus Badrulzaman :

26

Marhainis Abdul Hay, Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta : Pradnya Paramitha, 1975) hal. 67.

27

R. Subekti, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum

Indonesia,Bandung :Alumni, 1978 (selanjutnva disebut Subekti II), hal. 13.

28


(28)

kredit adalah perjanjian pinjam-meminjam di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1754.29

Perjanjian pinjam-meminjam ini juga mengandung makna yang luas yaitu objeknya adalah benda yang menghabis jika verbruiklening termasuk di dalamnya uang. Berdasarkan perjanjian pinjam-meminjam ini, pihak penerima pinjaman menjadi pemilik yang dipinjam dan kemudian harus dikembalikan dengan jenis yang sama kepada pihak yang meminjamkan.

Karenanya perjanjian kredit ini merupakan perjanjian yang bersifat riil, yaitu bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh “penyerahan” uang oleh bank kepada nasabah.30

Djuhaendah Hasan berpendapat lain, yaitu bahwa perjanjian kredit tidak tepat dikuasai oleh ketentuan Bab XIII Buku III KUHPerdata, sebab antara perjanjian pinjam-meminjam dengan perjanjian kredit terdapat beberapa perbedaan. Perbedaan antara perjanjian pinjam-meminjam dengan perjanjian kredit terletak pada beberapa hal, antara lain:

a. Perjanjian kredit selalu bertujuan dan tujuan tersebut biasanya berkaitan dengan program pembangunan, biasanya dalam pemberian kredit sudah ditentukan tujuan penggunaan uang yang akan diterima, sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam tidak ada ketentuan tersebut dan debitur dapat menggunakan uangnya secara bebas.

29

Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Standar) Perkembangannya Di

Indonesia (Pidato Pengukuhan Guru Besar), Bandung : Alumni, 1981, (selanjutya disebut Mariam Darus Badrulzaman II), hal. 110-111.

30


(29)

b. Dalam perjanjian kredit sudah ditentukan bahwa pemberi kredit adalah bank atau lembaga pembiayaan (lihat ketentuan Pasal 1 ayat (12) UU Nomor 7 Tahun 1992) dan tidak dimungkinkan diberikan oleh individu, sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam pemberian pinjaman dapat oleh individu. c. Pengaturan yang berlaku bagi perjanjian kredit berbeda dengan perjanjian

pinjam-meminjam. Bagi perjanjian pinjam-meminjam berlaku ketentuan umum dari Buku III dan Bab XIII Buku III KUHPerdata. Sedangkan bagi perjanjian kredit akan berlaku ketentuan dalam UUD 1945, ketentuan bidang ekonomi dalam GBHN, ketentuan umum KUHPerdata, UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Paket Kebijaksanaan Pemerintah Dalam Bidang Ekonomi terutama bidang Perbankan, Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI), dan sebagainya.

d. Pada perjanjian kredit telah ditentukan bahwa pengembalian uang pinjaman itu harus disertai bunga, imbalan, atau pembagian hasil, sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam hanya berupa bunga saja dan bunga inipun baru ada apabila diperjanjikan.

e. Pada perjanjian kredit bank harus mempunyai keyakinan akan kemampuan debitur akan pengembalian kredit yang diformulasikan dalam bentuk jaminan baik materiil maupun immaterial, sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam jaminan merupakan pengamanan bagi kepastian pelunasan hutang dan inipun baru ada apabila diperjanjikan, dan jaminan itu hanya merupakan jaminan secara fisik atau materiil saja.


(30)

Apapun yang merupakan pendapat dari para sarjana tentang sifat dari perjanjian kredit, namun tetap tidak bisa dilepaskan bahwa akar dari perjanjian kredit itu adalah perjanjian pinjam-meminjam. Seperti dirumuskan oleh Undang-Undang Perbankan tentang pengertian “kredit”, adalah; “. . ., berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminiam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.31

Memahami sifat perjanjian kredit berbagai peraturan perlu ditelaah, seperti BW, Undang-Undang Perbankan dan ketentuan-ketentuan lainnya. Seperti disampaikan oleh Edy Putra Tje'Aman, untuk mengetahui sifat perjanjian kredit bank, tidak cukup hanya melihat KUH Perdata (BW dan Undang-Undang Perbankan saja, tetapi juga harus memperhatikan ketentuanketentuan yang berlaku/dipakai dalam praktek perbankan.32

3. Bentuk Perjanjian Kredit

Menurut hukum, perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan atau tertulis, yang penting memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUHPerdata. Namun dari sudut pembuktian perjanjian secara lisan sulit untuk dijadikan sebagai alat bukti, karena hakekat pembuatan perjanjian adalah sebagai alat bukti bagi para pihak yang membuatnya. Dalam dunia modern yang komplek ini perjanjian lisan tentu sudah tidak dapat disarankan untuk digunakan meskipun secara teori diperbolehkan, karena lisan sulit dijadikan sebagai alat pembuktian bila terjadi masalah di

31

Djuhaendah Hasan, Op. Cit, hal. 174.

32


(31)

kemudian hari. Untuk itu setiap transaksi apapun seyogyanya dibuat tertulis yang digunakan sebagai alat bukti, termasuk perjanjian kredit.

Dasar hukum perjanjian kredit secara tertulis dapat mengacu pada Pasal 1 ayat (11) UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan. Dalam pasal itu terdapat kata-kata : Penyediaan uang atau tagihan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa pemberian kredit harus dibuat perjanjian. Meskipun dalam pasal itu tidak ada penekanan perjanjian kredit harus dibuat secara tertulis namun menurut pendapat Sutarno dalam organisasi bisnis modern dan mapan maka untuk kepentingan administrasi yang rapi dan teratur dan demi kepentingan pembuktian sehingga pembuatan bukti tertulis dari suatu perbuatan hukum menjadi suatu keharusan, maka kesepakatan perjanjian kredit harus tertulis.33

Dasar hukum lain yang mengharuskan perjanjian kredit harus tertulis adalah instruksi Presidium Kabinet No. 15/EK/IN/10/1966 tanggal 10 Oktober 1966. Dalam instruksi tersebut ditegaskan “Dilarang melakukan pemberian kredit tanpa adanya perjanjian kredit yang jelas antara Bank dengan Debitur atau antara Bank Sentral dan Bank-Bank lainnya. Surat Bank Indonesia yang ditujukan kepada segenap Bank Devisa No. 03/1093/UPK/KPD tanggal 29 Desember 1970, khususnya butir 4 yang berbunyi untuk pemberian kredit harus dibuat surat perjanjian kredit. Dengan keputusan-keputusan tersebut, maka pemberian kredit oleh Bank kepada nasabah harus diiniat secara tertulis. Perjanjian kredit

33


(32)

merupakan ikatan atau bukti tertulis antara bank dengan debitur, sehingga harus disusun dan dibuat sedemikian rupa agar setiap orang mudah untuk mengetahui bahwa perjanjian yang dibuat itu merupakan perjanjian kredit. Dalam praktek perbankan ada 2 (dua) bentuk perjanjian kredit, yaitu :

1. Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan

Yang dimaksud dengan perjanjian kredit di bawah tangan adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat di antara mereka (bank dan nasabah), tanpa Notaris.34

Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan dinamakan akta di bawah tangan, artinya perjanjian yang disiapkan dan dibuat sendiri oleh Bank kemudian ditawarkan kepada Debitur untuk disepakati. Untuk mempermudah dan mempercepat kerja Bank, biasanya Bank sudah menyiapkan formulir perjanjian dalam bentuk standard (standaardform) yang isi, syarat-syarat dan ketentuannya disiapkan terlebih dahulu secara lengkap. Bentuk perjanjian kredit yang dibuat sendiri oleh Bank tersebut termasuk jenis Akta Di Bawah Tangan. Dalam rangka penandatanganan perjanjian kredit, formulir perjanjian kredit yang isinya sudah disiapkan Bank kemudian disodorkan kepada setiap calon-calon Debitur untuk diketahui dan dipahami mengenai syarat-syarat dan ketentuan pemberian kredit tersebut. Syarat-syarat dan ketentuan dalam formulir perjanjian kredit tidak pernah diperbincangkan atau dirundingkan atau dinegosiasikan dengan calon Debitur. Calon Debitur mau atau tidak mau dengan terpaksa atau sukarela harus menerima semua persyaratan yang

34


(33)

tercantum dalam formulir perjanjian kredit. Seandainya calon Debitur melakukan protes atau tidak setuju terhadap pasal-pasal tertentu yang tercantum dalam formulir perjanjian kredit maka Kreditur tidak akan menerima protes tersebut karena isi perjanjian memang sudah disiapkan dalam bentuk cetakan oleh lembaga Bank itu sehingga bagi petugas Bank pun tidak bisa menanggapi usulan calon Debitur. Calon Debitur menyetujui atau menyepakati isi perjanjian kredit karena calon Debitur dalam posisi yang sangat membutuhkan kredit (posisi lemah) sehingga apapun persyaratan yang tercantum dalam formulir perjanjian kredit calon Debitur dapat menyetujui.

Perjanjian kredit bank yang hanya dibuat secara di bawah tangan dalam beberapa hal mengandung kelemahan. Adapun kelemahannya adalah :

a. Bahwa apabila suatu saat nanti terjadi wanprestasi oleh debitur, yang pada akhirnya akan diambil tindakan hukum melalui proses peradilan, maka apabila debitur yang bersangkutan menyangkali atau memungkiri tanda tangannya, akan berakibat mentahnya kekuatan hukum perjanjian kredit yang telah dibuat tersebut. Dalam Pasal 1877 KUH Perdata disebutkan bahwa jika seorang memungkiri tulisan atau tanda tangannya, hakim harus memerintahkan supaya kebenaran dari tulisan atau tanda tangan tersebut diperiksa di muka pengadilan.

b. Bahwa oleh karena perjanjian ini dibuat hanya oleh para pihak, dimana formulirnya telah disediakan oleh bank (form standar/baku), maka bukan tidak mungkin terdapat kekurangan data-data yang seharusnya dilengkapi untuk suatu kepentingan pengikatan kredit/pemberian bank garansi. Bahkan, bukan tidak mungkin, atas dasar pelayanan, penandatanganan perjanjian dilakukan walaupun formulir perjanjian masih dalam bentuk blangko/kosong.

Kelemahan-kelemahan ini pada akhirnya akan merugikan bank jika suatu saat berperkara dengan nasabahnya. Oleh sebab itu, pembuatan perjanjian kredit


(34)

bank yang selama ini banyak dipraktekkan kalangan perbankan, perlu untuk ditinjau kembali, terutama bila melihat sisi-sisi kelemahannya tersebut.35

2. Perjanjian kredit yang dibuat dengan Akta Otentik (Akta Notaris) Yang dimaksud dengan perjanjian kredit Notaris, adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris.

Perjanjian kredit yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris yang dinamakan akta otentik atau akta notariil. Yang menyiapkan dan membuat perjanjian ini adalah seorang Notaris namun dalam praktek semua syarat dan ketentuan perjanjian kredit disiapkan oleh Bank kemudian diberikan kepada Notaris untuk dirumuskan dalam akta notariil. Memang Notaris dalam membuat perjanjian hanyalah merumuskan apa yang diinginkan para pihak dalam bentuk akta notariil atau akta otentik.36

Perjanjian kredit yang dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta otentik biasanya untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar dengan jangka waktu menengah atau panjang, seperti kredit investasi, kredit modal kerja. kredit sindikasi (kredit yang diberikan lebih dari satu Kreditur atau lebih dari satu Bank). Antara perjanjian kredit yang dibuat dengan Akta di bawah tangan dengan perjanjian kredit dengan akta otentik sudah barang tentu ada perbedaannya. Bila dilihat dari segi pembuktiannya, antara akta di bawah tangan dengan akta otentik memang berbeda. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, artinya akta otentik itu dianggap sah dan benar tanpa perlu membuktikan atau menyelidiki keabsahan tanda tangan pihak-pihak tersebut.

35

Ibid

36


(35)

Apabila suatu akta otentik diajukan sebagai alat bukti didepan Hakim, kemudian pihak lawan membantah akta otentik tersebut, maka pihak pembantah yang harus membuktikan kebenaran/bantahannya. Sebaliknya, jika tanda tangan pada akta di bawah tangan itu dipungkiri oleh pihak yang telah membubuhkan tanda tangan, maka pihak yang mengajukan akta di bawah tangah itu harus berusaha mencari alat-alat bukti lain yang membenarkan bahwa tanda tangan tadi dibubuhkan oleh pihak yang memungkiri.

4. Lahirnya Perjanjian Kredit

Dalam praktek perbankan terdapat prinsip commanditer ingsverbod, yaitu : “adanya larangan bagi bank bahwa dengan adanya pemberian kredit, bank ikut menanggung resiko dari usaha nasabah”.37

Dengan adanya prinsip atau asas tersebut di atas, menunjukkan pada kita bahwa di dalam perjanjian kredit akan selalu terkait dengan adanya perjanjian jaminan. Dalam praktek, penandatanganan perjanjian jaminan dilakukan bersamaan pada saat penandatanganan perjanjian kreditnya. Adanya perjanjian jaminan tersebut adalah karena adanya perjanjian kredit. Hal ini sesuai dengan sifat accessoir dari perjanjian jaminan. Di samping terkaitnya perjanjian jaminan di dalam perjanjian kredit, juga tidak akan terlepas dari kewajiban membayar bunga kredit.

Hal tersebut sesuai dengan asas tiada kredit tanpa jaminan.

37


(36)

Di dalam praktek perbankan, bahwa dengan ditandatanganinya perjanjian kredit tidak berarti akan disertai dengan realisasi kredit atau pencairan kredit.38

Jadi pada saat dilakukannya penandatanganan perjanjian kredit, perjanjian kredit belum lahir. Apabila perjanjian kredit telah lahir pada saat dilakukannya penandatanganan perjanjian kredit, sedangkan pihak pemohon belum menerima kreditnya, maka hal ini adalah suatu kejanggalan, suatu ketidakadilan yang nyata. Sebab bila perjanjian kredit telah lahir pada saat dilakukannya penandatanganan perjanjian kredit, berarti perjanjian jaminannya pun telah lahir. Sedangkan pada saat itu pemohon belum menerima kreditnya, yang berarti pula belum mempunyai hutang. Hal ini adalah bertentangan dengan sifat accessoir dari perjanjian jaminan.

Pemohon (calon nasabah) tidak akan dapat melakukan penarikan kredit, bila tidak ada pernyataan dari bank bahwa pemohon sudah boleh menarik kreditnya.

Demikian pula halnya bila dikaitkan dengan kewajiban membayar bunga kredit. Bagaimana mungkin pemohon atau calon nasabah diwajibkan membayar bunga apabila ia sendiri belum menerima kreditnya.

5. Hapusnya Perjanjian Kredit

Pasal 1319 BW (KUH Perdata) menetapkan semua perjanjian baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat di dalam bab kedua BW (KUH Perdata). Ini berarti perjanjian kredit yang merupakan perjanjian yang tidak

38


(37)

dikenal di dalam KUH Perdata, juga harus tunduk pada ketentuan-ketentuan umum yang termuat di dalam Buku III KUH perdata.

Karenanya Pasal 1381 BW (KUH Perdata) yang mengatur cara hapusnya perikatan dapat diberlakukan pula pada perjanjian kredit bank. Dari sepuluh cara yang disebutkan pada Pasal 1381 tadi, umumnya perjanjian kredit bank harus hapus atau berakhir karena hal-hal di bawah ini:

1. Pembayaran

Pembayaran (lunas) ini merupakan pemenuhan prestasi dari debitur, baik pembayaran utang pokok, bunga, denda maupun biaya-biaya lainnya yang wajib dibayar lunas oleh debitur. Pembayaran lunas ini, baik karena jatuh tempo kreditnya atau karena diharuskannya debitur melunasi kreditnya secara seketika dan sekaligus (opelbaarheid clause).

2. Subrograsi (subrogatie)

Pasal 1382 BW (KUH Perdata) menyebutkan kemungkinan pembayaran (pelunasan) utang dilakukan oleh pihak ketiga kepada pihak berpiutang (kreditur), sehingga terjadi penggantian kedudukan atau hak-hak kreditur oleh pihak ketiga. Inilah yang dinamakan dengan subrogasi. Jadi subrograsi ini terjadi karena adanya penggantian kedudukan atau hak-hak kreditur lama oleh kreditur baru dengan mengadakan pembayaran. Dengan adanya subrograsi, maka segala kedudukan atau hak-hak yang dipunyai kreditur lama beralih kepada pihak ketiga.


(38)

3. Pembaharuan utang (novasi)

Pembaruan utang terjadi dengan jalan mengganti utang lama dengan utang baru, debitur lama dengan debitur baru dan kreditur lama dengan kreditur baru. Dalam hal ini, bila utang lama diganti dengan utang baru terjadilah penggantian objek perjanjian yang disebut “novasi subjektif”. Di sini utang lama lenyap, dalam hal terjadi penggantian orangnya (subjeknya), maka jika diganti debiturnya, pembaruan ini disebut “novasi subjektif pasif”. Jika yang diganti itu krediturnya, pembaruan ini disebut “novasi subjektif aktif”. Dalam hal ini utang lama lenyap.

Pada umumnya pembaruan utang yang terjadi di dalam dunia perbankan adalah denggan mengganti atau memperbarui perjanjian kredit bank yang ada. Dalam hal ini yang diganti adalah perjanjian kredit banknya dengan perjanjian kredit bank yang baru. Dengan terjadinya penggantian atau pembaruan perjanjian kredit, otomatis perjanjian kredit bank yang lama berakhir atau tidak berlaku.

Pasal 1413 BW (KUH Perdata) menyebutkan tiga cara untuk melakukan novasi, yaitu :

1. dengan membuat suatu perikatan utang baru yang mengganti perikatan utang lama yang dihapuskan karenanya;

2. dengan cara expromissie, yakni mengganti debitur lama dengan debitur baru 3. mengganti debitur lama dengan debitur baru sebagai akibat suatu perjanjian

baru yang diadakan;


(39)

Kompensasi adalah perjumpaan dua utang yang berupa benda-benda yang ditentukan menurut jenis (generieke ziken) yang dipunyai oleh dua orang atau pihak secara timbal balik, dimana masing-masing pihak berkedudukan baik sebagai kreditur maupun debitur terhadap orang lain, sampai jumlah terkecil yang ada di antara kedua utang tersebut.39

Dasar kompensasi ini disebutkan dalam Pasal 1425 BW (KUH Perdata). Dikatakan jika dua orang saling berhutang satu pada yang lain, maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan utang-piutang, dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan.

Kondisi demikian itu dijalankan oleh bank dengan cara mengkompensasikan barang jaminan debitur dengan utangnya kepada bank, sebesar jumlah jaminan tersebut yang diambil alih tersebut.

B. Jaminan Fidusia

1. Pengertian dan Latar Belakang Lahirnya Jaminan Fidusia

Sebelum kita membahas lebih jauh tentang pengertian jaminan fidusia hendaknya kita memahami pengertian jaminan. Dalam rangka pembangunan ekonomi diperlukan tersedianya dana, yang salah satunya adalah dalam bentuk kredit yang diberikan oleh lembaga perbankan.40

39

Rachmadi Usman, Op. Cit, hal. 279-280.

Dana yang berupa kredit itu diperlukan oleh debitur guna kepentingan pengembangan usaha atau keperluan lainnya. Penyaluran kredit kepada pelaku usaha selaku debitur sarat dengan resiko

40

M. Khoidin, Problematika Eksekusi Sertifikat Hak Tanggungan, (Yogyakarta : Laks Bank Pressindo, 2005) hal. 1.


(40)

kemacetan. Oleh karena itu, bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat di antaranya :

1. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit tanpa surat perjanjian tertulis; 2. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit kepada usaha yang sejak semula

telah diperhitungkan kurang sehat dan akan membawa kerugian;

3. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit untuk pembelian saham dan modal kerja dalam rangka kegiatan jual beli saham, atau;

4. Memberikan kredit melampaui batas maksimum pemberian kredit (legal lending limit).41

Mengingat hal-hal tersebut di atas, maka bank dalam memberikan kreditnya wajib memperoleh keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melaksanakan kewajibannya. Setelah kredit diberikan, bank juga wajib melakukan peninjauan ke lapangan dan pengikatan terhadap jaminan yang diserahkan oleh debitur sehingga jaminan yang diterima dapat memenuhi persyaratan dan kctcntuan yang berlaku. Untuk memperoleh keyakinan terhadap kemampuan dan kesanggupan debitur maka bank melakukan penilaian yang dikenal dengan the five c's of credit (5C) antara lain Character; Capital; Capacity; Collateral; Condition of economy.

Berbagai aspek penilaian yang dilakukan bank tidak selalu dapat mencerminkan kinerja nasabah debitur di masa yang akan datang, maka pihak bank perlu berjaga-jaga terhadap resiko yang terburuk dari pelepasan kredit. Antisipasi terhadap kemungkinan macetnya pemenuhan kewajiban oleh nasabah

41


(41)

adalah kewajiban penyerahan jaminan sebelum dana diberikan kepada nasabah. Jaminan merupakan salah satu upaya untuk mengantisipasi risiko yang mungkin timbul dalam tenggang waktu antara pelepasan dan pelunasan kredit. Namun dalam Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan tidak disebutkan lagi secara tegas mengenai kewajiban tersedianya jaminan atas kredit yang dimohonkan oleh debitur, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967.

Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 menyebutkan : “Bank Umum tidak memberi kredit tanpa jaminan kepada siapapun juga”. Dalam kalimat tersebut tersirat bahwa siapapun yang ingin memperoleh kredit bank harus menyerahkan jaminan kepada bank. Terdapat perubahan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yaitu Pasal 8 yang menyebutkan bahwa ”Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan”.

Sebenarnya dalam literatur hukum tidak dikenal istilah hukum jaminan, sebab kata recht dalam rangkaiannya sebagai zakerheidsrechten berarti ”hak”, sehingga zakerheidsrechten berarti hak-hak jaminan.42

42

J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Bandung : Citra Aditya Bakti,2002 (selanjutnya disebut J. Satrio I), hal. 154.

Dengan demikian kalau mau merumuskan hukum jaminan, maka dapat dikatakan sebagai ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang jaminan pada umumnya, maksudnya


(42)

jaminan tagihan kreditur atas hutang debitur.43 Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ketentuan umum tentang jaminan diletakkan dalam pasal 1131 sampai dengan pasal 1138. Dalam pasal-pasal tersebut diatur prinsip tanggung jawab seorang debitur terhadap hutang-hutangnya dan juga kedudukan semua kreditur atas tagihan yang dipunyai olehnya terhadap debiturnya.44

Dalam Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit, bahwa yang dimaksud dengan jaminan adalah suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan. Sutarno menyatakan, jaminan adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai mudah untuk diuangkan yang diikat dengan janji sebagai jaminan untuk pembayaran dari utang debitur berdasarkan perjanjian kredit yang dibuat oleh kreditur dan debitur.45 Selanjutnya Pasal 1 ayat (23) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan juga menyebutkan agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Hal penting dalam penyerahan agunan ini adalah keabsahan secara yuridis di perjanjian pengikatan agunan. Pihak bank harus yakin bahwa agunan atau jaminan yang telah diserahkan telah berdasarkan perjanjian yang sah secara yuridis. 46

43

J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996) (selanjutnya disebut J. Satrio II), hal. 4.

44

J. Satrio I, Op. Cit.

45

Sutarno, Op. Cit, hal. 142.

46

Sri Susilo, Sigit Triandaru & Totok Budi S, 2000, Bank & Lembaga Keuangan Lain,


(43)

Kredit yang didukung dengan jaminan disebut secured loans, dengan menggunakan jaminan dalam penyaluran kredit dapat meyakinkan bank akan kemampuan debitur dalam pengembalian utangnya, sedangkan kredit yang tidak didukung dengan jaminan disebut unsecured loans, pemberian kredit ini yaitu dengan mempertimbangkan bonafiditas dan prospek usaha debitur. Kredit tanpa adanya jaminan sangat membahayakan posisi bank, mengingat jika nasabah mengalami kemacetan pembayaran maka akan sulit menutupi kerugian terhadap kredit yang disalurkan. Dengan adanya harta debitur yang dijadikan jaminan atas utangnya dapat menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.47

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa jaminan sebagai sarana perlindungan bagi keamanan kreditur yaitu memberikan kepastian akan pelunasan utang debitur sesuai dengan perjanjian kredit. Jaminan dapat menutupi segala resiko terhadap kemungkinan macetnya suatu kredit baik yang ada unsur kesengajaan atau tidak. Oleh karena itu, selain benda yang menjadi objek jaminan kredit diikat dengan asuransi tertentu, penilaian jaminan kredit haruslah teliti jangan sampai terjadi sengketa, palsu, dan sebagainya.

Istilah Fidusia berasal dari kata ”fides” yang berarti kepercayaan.48

47

Hartono Hadisoeprapto, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan,

Yogyakarta :Liberty, hal. 50.

Hubungan hukum yang terjadi antara kreditur dengan debitur merupakan hubungan hukum yang berdasarkan atas kepercayaan. Istilah fidusia sudah lama dikenal dalam bahasa Indonesia dan merupakan istilah resmi dalam dunia hukum

48


(44)

di Indonesia.4974 Undang-Undang Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 juga menggunakan istilah ”fidusia”. Namun terkadang, untuk fidusia ini juga dikenal dengan istilah ”Penyerahan Hak Milik Secara Kepercayaan”. Dalam terminologi Belandanya sering disebut dengan Fiduciare Eigendom Overdracht, sedangkan dalam bahasa Inggrisnya sering disebut dengan istilah Fiduciary Transfer of Ownership.50

Jaminan fidusia ini lahir karena adanya kebutuhan dalam praktek untuk menjaminkan barang bergerak tetapi tanpa penyerahan barang secara fisik. Mengingat lembaga gadai mensyaratkan adanya penyerahan benda maka dicarikanlah jalan untuk dapat menjaminkan barang bergerak tanpa penyerahan fisik barang tersebut. Akhirnya muncullah suatu rekayasa untuk memenuhi kepentingan dalam praktek tersebut yaitu dengan jalan pemberian jaminan fidusia. Jaminan fidusia ini akhirnya diterima dalam praktek dan diakui oleh yurisprudensi, baik di Belanda maupun di Indonesia.51 Rekayasa hukum tersebut dilakukan lewat bentuk globalnya yang disebut dengan "Constitutum Posessorium" (penyerahan kepemilikan benda tanpa menyerahkan fisik benda sama sekali). Agar sahnya peralihan hak dalam kontruksi hukum tentang fidusia ini, haruslah memenuhi syarat-syarat antara lain :52

a. terdapat perjanjian yang bersifat zakelijk b. adanya titel untuk suatu peralihan hak

49

Munir Fuady, Jaminan Fidusia, Bandung : Citra Aditya Bakti,2003 (selanjutnya disebut Munir Fuady II), hal. 3.

50

Ibid

51

Ibid. 52

Sri Soedewi Masjchoen, Sofwan, Hukum Jaminan Di Indonesia, Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, (Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional,1980) hal. 27.


(45)

c. adanya kewenangan untuk menguasai benda dari orang yang menyerahkan benda

d. cara tertentu untuk penyerahan yaitu dengan cara constitutum posessorium bagi benda bergerak yang berwujud, atau dengan cessie untuk hutang piutang.

Berkaitan dengan Fidusia dan Jaminan Fidusia, dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia memberikan pengertian mengenai masing-masing tersebut:

Pasal 1 butir 1:

Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.

Pasal 1 butir 2 :

Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka unsur-unsur fidusia dalam upaya pemberian hak jaminan kepada kreditur dengan tujuan :

1. Sebagai agunan

Sebagai agunan menunjuk ciri umum dari hak jaminan, bahwa pengalihan hak milik terhadap suatu benda hanya diperuntukkan sebagai agunan atau jaminan kredit, konsepsi pengalihan hak milik dengan kepcrcayaan dalam jaminan fidusia, adalah semata-mata untuk mcmbcrikan jaminan kepastian pengembalian kredit, sebagai perlindungan bagi keamanan kreditur. Memang


(46)

apabila dilihat lebih jauh terhadap konstruksi jaminan fidusia akan membingungkan dan dapat menimbulkan salah tafsir apabila dikaitkan dengan unsur dari pengertian fidusia tentang ”pengalihan hak milik” yang sering ditafsirkan bahwa penerima jaminan fidusia semestinya menjadi pemilik atas benda yang bersangkutan. Apabila ditinjau lebih jauh riwayat sebenarnya merupakan penyelundupan atas ketentuan gadai yang diatur pada Pasal 1152 ayat (1) KUH Perdata untuk membedakan dari gadai berdasarkan kebutuhan praktek hukum jaminan. Karena hukum merupakan suatu sistem yang tidak memungkinkan untuk adanya pertentangan sehingga digunakan istilah pengalihan hak milik untuk membedakan dengan gadai.

2. Untuk kepentingan pelunasan tertentu

Unsur ini menunjuk pada penjelasan bahwa pemberian jaminan fidusia memiliki tujuan yang sama dengan jaminan lainnya yaitu untuk jaminan agar debitur memenuhi kewajibannya yaitu dalam pelunasan utang tertentu. Dengan demikian terlihat bahwa perjanjian pokoknya adalah hutang piutang dan perjanjian pemberian jaminan fidusianya sebagai perjanjian tambahan (accessoir). Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 4 Undang-Undang Jaminan Fidusia yang menyatakan : ”Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi. Sedangkan ciri perjanjian tambahan (accessoir) adalah perjanjian tersebut tidak dapat berdiri sendiri, kemudian berakhirnya adalah tergantung pada berakhirnya perjanjian pokoknya.


(47)

3. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lain dari pelunasan atau kewajiban debitur (pemberi jaminan fidusia). Unsur ini menunjukkan bahwa kreditur penerima fidusia akan mempunyai posisi lebih baik di depan hukum dalam penagihan, demikian pula apabila terjadi eksekusi terhadap benda jaminan fidusia, maka kedudukannya lebih diutamakan atau didahulukan daripada kreditur lainnya dalam mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi dari benda jaminan fidusia. Hal demikian dinamakan hak preferen.

Dalam perkembangannya di zaman Romawi, ada dua bentuk jaminan fidusia yaitu fiducia cum amino dan fiducia cum creditore. Keduanya timbul dari perjanjian yang disebut pactum fiduciae yang kemudian diikuti dengan penyerahan hak.53 Fiducia cum amino contracta yang artinya janji kepercayaan yang dibuat dengan teman. Lembaga ini sering digunakan dalam hal seorang pemilik suatu benda harus mengadakan perjalanan keluar kota dan sehubungan dengan itu menitipkan kepemilikan benda tersebut kepada teman dengan janji bahwa teman akan mengembalikan benda tersebut jika pemiliknya sudah kembali dari perjalanannya. Dalam fiducia cum amino contracta ini kewenangan diserahkan kepada pihak pcnerima akan tetapi kepentingan tetap ada pada pihak pemberi.54

Fiducia cum creditore contracta berarti janji kepercayaan yang dibuat dengan debitur, bahwa debitur akan mengalihkan suatu benda kepada kreditur sebagai suatu jaminan utang dengan kesepakatan bahwa kreditur akan

53

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Loc. Cit.

54


(48)

mengalihkan kembali benda jaminan tersebut apabila utang debitur sudah dibayar lunas, karena debitur bertindak dengan kepercayaan, hubungan seperti ini dinamakan hubungan yang didasarkan atas fides atau hubungan fiduciair.55

Timbulnya fiducia cum creditore ini disebabkan adanya suatu kebutuhan akan hukum jaminan yang belum diatur oleh konstruksi hukum. Dengan fiducia cum creditore ini maka kewenangan yang dimiliki kreditur akan lebih besar yaitu sebagai pemilik atas barang yang dialihkan sebagai jaminan. Debitur percaya bahwa kreditur tidak akan menyalahgunakan wewenang yang diberikan itu. Kekuatannya hanya terbatas pada kepercayaan dan secara moral saja dan bukan kekuatan hukum. Debitur tidak akan dapat berbuat apa-apa jika kreditur tidak mau mengembalikan hak milik atas barang yang diserahkan sebagai jaminan itu. Hal ini merupakan kelemahan fidusia pada bentuk awalnya jika dibandingkan dengan sistem hukum jaminan yang kita kenal sekarang.56

55

J. Satrio II, Op. Cit, hal 166.

Karena kelemahan itu maka ketika gadai dan hipotek berkembang sebagai hak-hak jaminan serta adanya hukum tertulis yang mengaturnya, akhirnya fidusia hilang dari Hukum Romawi. Ketika negara-negara Eropa Kontinental seperti Perancis dan Belanda mengadopsi hukum Romawi, dalam hukum Romawi lembaga fidusia sudah lenyap sehingga dalam Burgerlijk Wetboek (BW) tidak dikenal lembaga fidusia, yang diatur hanya hipotek (hak tanggungan) dan pand (gadai). Baru kemudian terasa lagi kebutuhan dalam praktek hukum di negeri Belanda sehingga lembaga fidusia dimunculkan lagi dalam praktek dan diakui oleh yurisprudensi. Lahirnya lembaga fidusia di negeri Belanda tidak terlepas dari kebutuhan dan keadaan perekonomian pada saat

56

R. Soebekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Bandung : Alumni, 1978 (selanjutnya disebut R. Soebekti III), hal. 29.


(49)

itu. Pada abad 19, di negeri Belanda terjadi kemerosotan hasil panen, sehingga perusahaan pertanian sangat membutuhkan modal. Lembaga hipotik tidak dapat diandalkan saat itu karena petani memiliki tanah yang sangat terbatas, apalagi lembaga gadai, para petani tidak dapat menyerahkan barang-barang pertanian yang justru sangat dibutuhkan untuk proses produksi pertaniannya. Hal yang sama juga berlaku untuk wilayah Hindia Belanda (Indonesia) saat itu. Dengan keadaan seperti itu, di negeri Belanda saat itu ada usaha-usaha untuk menanggulangi masalah tersebut antara lain dengan jalan memformulasi pinjaman dalam bentuk bank-bank koperasi. Di Indonesia (Hindia Belanda) saat itu ditanggulangi dengan cara mengintrodusir jaminan hutang dalam bentuk “ikatan panen” (oogstverband). Oogstverband adalah suatu jaminan untuk pinjaman uang, yang diberikan atas panen yang akan diperoleh dari suatu perkebunan (teh, kopi, dan sebagainya) berdasarkan Koninklijk Besluit tanggal 24 Januari 1886 (Stbl. 1886-57).57 Dari pengertian oogstverband, ada 3 (tiga) hal yang cukup penting harus diketahui yaitu pertama, oogstverband sebagai lembaga jaminan memiliki karakter kebendaan (zakenlijke caracter) berarti lembaga oogstverband mempunyai sifat-sifat kebendaan antara lain haknya dapat dipertahankan terhadap siapapun juga, hak mengikuti bendanya ditangan siapapun benda itu berada dan mudah dieksekusi; kedua, objek oogstverband adalah hasil-hasil pertanian yang belum dipetik beserta perusahaan serta peralatan yang dipakai untuk mengolah hasil pertanian; ketiga, hakikat oogstverband.58

57

Ibid

Atas satu panenan hanya dapat berlaku satu oogstverband, apabila ada beberapa maka yang berlaku hanya yang pertama

58


(50)

diletakkannya sedangkan yang kemudian dapat berlaku apabila yang pertama telah hapus sebagai suatu jaminan (accesoir) tentunya oogstverband ini hapus kalau utangnya telah dibayar. Menurut R. Soebekti, kelemahan dari lembaga ini adalah bahwa Oogstverband hapus apabila hasil panen yang dijadikan jaminan musnah.59

Bentuk jaminan “ikatan panen atau bank-bank koperasi” di dalam pratek dirasakan tidak memadai sehingga yang terjadi saat itu adalah perkembangan kebutuhan perekonomian lebih cepat dibandingkan perkembangan hukum perkreditan dan jaminan. Di samping itu hukum positif saat itu tidak mengatur mengenai jaminan utang terhadap benda bergerak (gadai) tanpa penyerahan barangnya.

Keberadaan fidusia di Indonesia diakui oleh yurisprudensi berdasarkan keputusan Hooggerechtsh of (HGH) tanggal 18 Agustus 1932, kasusnya sebagai berikut : Pedro Clignett meminjam uang dari Bataafsche Petroeum Maatschappij (BPM) dengan jaminan hak milik atas sebuah mobil secara kepercayaan. Clignett tetap menguasai mobil itu atas dasar perjanjian pinjam pakai yang akan berakhir jika Clignett lalai membayar utangnya dan mobil tersebut akan diambil oleh BPM. Ketika Clignett benar-benar lalai, BPM menuntut penyerahan mobil dari Clignett, namun ditolaknya dengan alasan bahwa perjanjian yang dibuat itu tidak sah. Menurut Clignett, jaminan yang ada adalah gadai, tetapi karena barang gadai tetap berada dalam penguasaan debitur maka gadai tersebut tidak sah. Dalam putusannya HGH menolak alasan Clignett karena perjanjian yang dibuat bukanlah

59


(51)

gadai melainkan fidusia yang telah diakui oleh Hoge Raad dalam Bier Brouwerij Arrest. Clignett diwajibkan menyerahkan jaminan tersebut kepada BPM.60

Setelah putusan BPM tersebut, baik Mahkamah Agung zaman Hindia Belanda (HGH) maupun Mahkamah Agung (pengadilan tingkat bawahan) di zaman kemerdekaan telah pula memberikan beberapa putusan yang antara lain menyimpulkan :

1. Lembaga fidusia hanya diperuntukkan terhadap benda bergerak (Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya tanggal 22 Maret 1951)

2. Membenarkan pengikatan fidusia sepanjang mengenai percetakan dan gedung perkantoran (Putusan Mahkamah Agung No. 372/K/Sip/1970 tanggal 1 September 1971)

3. Menegaskan bahwa kreditur pemilik fidusia (atas besi beton dan semen) bukanlah pemilik yang sebenarnya tetapi hanya sebagai pemegang jaminan hutang saja, sehingga jika hutang tidak dibayar, pihak kreditur tidak dapat langsung memiliki (mendaku) benda tersebut (Putusan Mahkamah Agung No. 1500/K/Sip/1978 tanggal 2 Februari 1980).

Walaupun sudah diputuskan bahwa objek jaminan fidusia berupa benda bergerak, namun dalam praktek untuk benda-benda tidak bergerak juga digunakan sebagai jaminan fidusia. Apalagi dengan berlakunya Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, perbedaan benda bergerak dengan benda tidak bergerak menjadi kabur karena dalam UUPA tersebut menggunakan pembedaan berdasarkan tanah dan bukan tanah. Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 42

60


(52)

Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, maka yang menjadi objek jaminan fidusia menjadi jelas.

2. Dasar Hukum Jaminan Fidusia

Perkembangan dan penggunaan fidusia semakin meluas, terutama setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Selain benda bergerak, fidusia dapat pula dibebankan di atas tanah-tanah yang tidak dapat dijaminkan melalui hipotik, seperti hak pakai dan hak sewa. Mengenai hak pakai secara tegas Undang-Undang Pokok Agraria tidak mengaturnya walaupun memiliki nilai ekonomis yang tinggi untuk dijadikan sebagai jaminan hutang.61

Seminar Nasional tentang Fidusia, menurut para ahli hukum mempermasalahkan apakah persoalan fidusia dibiarkan hidup dalam bentuk hukum tidak tertulis atau cukup hanya diatur dalam yurisprudensi atau dikukuhkan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Pengertian fidusia yang tercantum dalam Pasal 1 angka 8 membawa perubahan yuridis yang cukup berarti dalam perkembangan jaminan fidusia. Selanjutnya Pasal 12 dengan tegas mengatur bahwa satuan rumah susun dapat dijaminkan dengan ikatan fidusia, kalau tanah milik bersama di atas mana rumah susun itu berdiri berstatus Hak Pakai Milik Negara. Pengakuan fidusia juga diikuti oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Pemukiman dan Perumahan mengatur pemilikan rumah sebagai objek jaminan fidusia berdasarkan asas pemisahan horisontal terlepas dari hak atas tanahnya. Pengaturan jaminan fidusia

61

Parlindungan A.P, Komentar Atas Undang – Undang Pokok Agraria, Bandung : Mandar Maju, 1988 hal. 200.


(53)

secara parsial dalam kedua Undang-Undang tersebut dirasakan kurang memadai dan belum sempurna untuk menjawab tantangan perkembangan hukum masyarakat khususnya dalam lalu lintas perkreditan. Memperhatikan keadaan seperti itu, maka kemudian diterbitkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Kehadiran Undang-Undang ini diharapkan dapat menjawab segala permasalahan hukum yang menyangkut lembaga jaminan fidusia. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia telah ada peraturan yang berkaitan dengan fidusia. Pertama, Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman yang menentukan bahwa rumah-rumah yang dibangun di atas tanah yang dimiliki oleh pihak lain dapat dibebani dengan jaminan fidusia. Kedua, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, mengatur mengenai hak milik atas satuan rumah susun yang dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani fidusia jika tanahnya tanah hak pakai atau tanah negara. Kedua peraturan dimaksud sudah tidak memadai lagi dan tidak memberikan jaminan kepastian hukum bila dilihat dari segi perkembangan penggunaan jaminan fidusia yang semakin meningkat. Kehadiran Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dimaksudkan untuk menampung kebutuhan masyarakat mengenai pengaturan jaminan fidusia sebagai salah satu sarana untuk membantu kegiatan usaha dan untuk memberi kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan.


(54)

Dengan diundangkannya undang-undang jaminan fidusia memberikan kepastian hukum mengenai pemberian kredit dengan jaminan benda bergerak yang masih dalam penguasaan debitur atau pemberi fidusia. Undang-Undang tentang jaminan fidusia tersebut sangat lama ditunggu masyarakat perbankan bertujuan memberikan ketentuan hukum yang jelas dan lengkap mengenai lembaga jaminan fidusia sehingga dapat membantu dunia usaha untuk mendapatkan dana dari perbankan dengan jaminan benda bergerak yang masih dikuasai debitur. Menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan (kreditur dan debitur) dalam menyediakan pendanaan dengan jaminan fidusia.

Dalam suatu Undang-Undang, kepastian hukum meliputi dua hal, yakni : pertama, kepastian perumusan norma dan prinsip hukum yang tidak bertentangan satu dengan yang lainnya baik dari pasal-pasal Undang-Undang itu secara keseluruhan maupun kaitannya dengan pasal-pasal lainnya yang berada di luar Undang-Undang tersebut. Kedua, kepastian dalam melaksanakan norma-norma dan prinsip-prinsip hukum undang-undang tersebut. Jika perumusan norma dan prinsip hukum itu sudah memiliki kepastian hukum tetapi hanya berlaku secara yuridis saja dalam arti hanya demi Undang-Undang semata-mata, berarti kepastian hukum itu tidak pernah menyentuh kepada masyarakatnya. Dengan perkataan lain, peraturan hukum yang demikian disebut dengan norma hukum yang mati (doodregel) atau hanya sebagai penghias yuridis dalam kehidupan manusia.62

62


(1)

menunjang kondisi bisnis yang mempunyai filosofi waktu adalah uang (time is money).

5. Akta jaminan fidusia yang seharusnya didaftarkan ternyata di dalam kenyataannya sebagian besar tidak didaftarkan ke kantor pendaftaran fidusia (KPF).

Dengan tujuan ingin menciptakan keteraturan dan memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha dengan menjadikan jaminan fidusia sebagai salah satu sumber pembiayaan guna menunjang dinamika kegiatan usaha, ternyata yang terjadi sebaliknya, yaitu ketidakteraturan dan ketidakpastian hukum atau legal uncertainty. Jika terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak, perlindungan hukum tidak dapat berjalan secara efektif bagi pihak-pihak yang memerlukannya atau pihak yang dirugikan.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan atas permasalahan yang dikemukakan untuk diteliti, maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Pengaturan tanggung jawab debitur terhadap benda jaminan fidusia yang musnah dalam suatu perjanjian kredit bank menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 adalah debitur tetap bertanggung jawab mengembalikan pinjaman kredit walaupun benda jaminan fidusia tersebut diasuransikan maupun tidak diasuransikan. Jika benda jaminan fidusia diasuransikan maka akan dilunasi oleh perusahaan asuransi dimana benda jaminan fidusia diasuransikan sesuai dengan isi perjanjian, jika benda jaminan fidusia tidak diasuransikan maka debitur bertanggung jawab penuh mengembalikan pinjaman kredit.

2. Perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit baik terhadap masalah musnahnya benda jaminan fidusia sangat lemah. Hadirnya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak dengan menjadikan jaminan fidusia sebagai salah satu sumber pembiayaan guna menunjang dinamika kegiatan usaha ternyata yang terjadi sebaliknya, yaitu ketidakteraturan dan ketidakpastian hukum atau ”legal uncertainty”.


(3)

B. Saran

1. Setiap benda yang menjadi objek jaminan fidusia seharusnya diasuransikan terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi musnahnya benda jaminan, dimana dengan musnahnya benda jaminan tersebut tidak menghapuskan piutang yang belum dihapus.

2. Diharapkan kepada DPR agar merevisi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dimana dapat dikatakan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia saat ini hanya memenuhi aspek yuridis saja sementara aspek moral, aspek sosial dan aspek filosofi belum terpenuhi.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung) Alumni, 1982 Chaidir Ali, Badan Hukum, Bandung : Alumni, 1976

Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Azas Pemisahan Horizontal, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1996.

D.H.M. Meuwissen, 1985, Rechtsteorie dalam Van Apeldoorn’s Inleiding Tot De Studie Van Het Jamiederlandse Recht, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle

Badrulzaman, Mariam Darus, Perjanjian Baku (Standar) Perkembangannya Di Indonesia (Pidato Pengukuhan Guru Besar), Bandung : Alumni, 1981

_______________________, 2000, Beberapa Permasalahan Hukum Hak Jaminan, Makalah disampaikan dalam Seminar Sosialisasi UUNo.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, diselenggarakan oleh BPHN Departemen Hukum dan Perundang-undangan RI Bekerjasama dengan PT. Bank Mandiri (Persero), Jakarta, 9-10 Mei 2000.

________________________, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Bandung : Alumni 1983

Fuady, Munir, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

___________, Jaminan Fidusia, Bandung : Citra Aditya Bakti,2003.

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000.

Hermansyah, Hukum Perbankan Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003

Hadisoeprapto, Hartono, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Yogyakarta :Liberty.2001.

H.S. Salim, Perkembangan Hukum Kontrak Diluar KUH Perdata, Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada, 2006.


(5)

_________, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004

Isnaeni, Mochamad, Hipotik Pesawat Udara di Indonesia, Surabaya : CV. Dharma Muda, 1996.

Marhainis Abdul Hay, Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta : Pradnya Paramitha, 1975

Satrio, J, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Bandung : Citra Aditya Bakti,2002.

______, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996.

_______ Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.2007.

Sunggono, Bambang, Pengantar Hukum Perbankan, Jakarta : Mandar Maju, 1995

_____________________, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku II Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Bandung,1983.

Khoidin, M., Problematika Eksekusi Sertifikat Hak Tanggungan, Yogyakarta : Laks Bank Pressindo, 2005.

Kamelo Tan, Hukum Jaminan Fidusia, Bandung : Alumni, 2004.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta : Prenada Media, 2005.

Philipus M Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum, Makalah Penelitian Metode Penelitian Hukum Normatif, Surabaya : Universitas Airlangga,1997

Parlindungan A.P, Komentar Atas Undang–Undang Pokok Agraria, Bandung : Mandar Maju, 1988

Rai Widjaja, I G A, Dikutip dari Black Law Dictionary, Merancang Suatu Kontrak, Teori dan Praktek, (Jakarta : Mega Poin, 2003).

Setiawan, R, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung : Bina Cipta,1979.

Subekti, R, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia,Bandung : Alumni, 1978


(6)

__________, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Bandung : Alumni, 1978

Soekanto, Soerjono, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Rajawali Press, 1985.

Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan dan Perundang-Undangannya di Indonesia, Universitas Gajah Mada, Jakarta : Gunung Agung, 1970

___________________, Mengenal Hukum, (Yogyakarta : Liberty, 1999.

Sri Susilo, Sigit Triandaru & Totok Budi S, Bank & Lembaga Keuangan Lain, Salemba Empat, Jakarta.2000.

Sri Soedewi Masjchoen, Sofwan, Hukum Jaminan Di Indonesia, Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional,1980.

___________________, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta : Liberty, 1988.

Suyatno, Thomas, Kelembagaan Perbankan, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,1993

B. Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Fidusia

Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan


Dokumen yang terkait

Kekuatan Eksekutorial Sertifikat Jaminan Fidusia Terhadap Objek Jaminan Dalam Kepailitan

5 41 117

Tanggung jawab debitur atas musnahnya benda jaminan fidusia dalam perjanjian kredit : analisis putusan MA nomor 2914K/Pdt/2001.

1 19 101

TANGGUNG JAWAB PEMBERI FIDUSIA/DEBITUR DALAM PERJANJIAN JAMINAN FIDUSIA ATAS MUSNAHNYA OBYEK FIDUSIA DI TANGAN DEBITUR KARENA OVERMACHT (Analisis Putusan MA Nomor : 2914 K/Pdt/2001).

0 3 9

SKRIPSI TANGGUNG JAWAB PEMBERI FIDUSIA/DEBITUR DALAM PERJANJIAN JAMINAN FIDUSIA ATAS MUSNAHNYA OBYEK FIDUSIA DI TANGAN DEBITUR KARENA OVERMACHT (Analisis Putusan MA Nomor : 2914 K/Pdt/2001).

0 3 10

TANGGUNG JAWAB DEBITUR TERHADAP MUSNAHNYA BENDA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK | TRISNADEWI | Krettha Dyatmika 374 698 1 SM

0 0 15

BAB II PENGIKATAN JAMINAN FIDUSIA DALAM SUATU PERJANJIAN KREDIT BANK A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kredit - Tanggung Jawab Debitur Terhadap Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank

0 0 54

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tanggung Jawab Debitur Terhadap Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank

0 0 27

TANGGUNG JAWAB DEBITUR TERHADAP MUSNAHNYA BENDA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK

0 0 13

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT DAN JAMINAN FIDUSIA A. Perjanjian Kredit 1. Pengertian Perjanjian Kredit - Tanggung Jawab Debitur Terhadap Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank

0 2 55

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Tanggung Jawab Debitur Terhadap Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank

0 1 11