BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT DAN JAMINAN FIDUSIA A. Perjanjian Kredit 1. Pengertian Perjanjian Kredit - Tanggung Jawab Debitur Terhadap Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT DAN JAMINAN FIDUSIA A. Perjanjian Kredit

1. Pengertian Perjanjian Kredit

  Dalam sistem hukum Indonesia yang menganut sistem Eropa Kontinental

  (Civil Law Legal System), istilah kontrak dikenal dengan Perjanjian

(Overrenkomst) . Menurut Pasal 1313 BW (KUH Perdata), “Perjanjian adalah

  suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu

   orang lain atau lebih.

  Pengertian perjanjian sebagaimana diatur Pasal 1313 BW (KUH Perdata) tersebut dalam pandangan para sarjana mengandung kelemahan. Ketidak- sempurnaan dan tidak lengkap. Sehubungan dengan hal tersebut Mariam Darus Badrulzaman mengungkapkan :

  Para Sarjana Hukum Perdata umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat dalam ketentuan BW di atas adalah tidak lengkap dan pula terlalu luas. Tidak lengkap, karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu terlalu luas, karena dapat mencakup hal-hal yang mengenai janji kawin, yaitu perbuatan di lapangan hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga, namun istimewa sifatnya karena dikuasai oleh ketentuanketentuan tersendiri sehingga Buku

  III BW (KUH Perdata) secara langsung tidak berlaku terhadapnya. Juga mencakup perbuatan melawan hukum, sedangkan terhadap perbuatan

   melawan hukum ini tidak ada unsur persetujuannya.

13 Rai Widjaja, I G A, Dikutip dari Black Law Dictionary, Merancang Suatu Kontrak, Teori dan Praktek, ( Jakarta : Mega Poin, 2003), hal. 8.

  14 Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku II Hukum

Perikatan Dengan Penjelasan, (Bandung : Alumni, (selanjutnya disebut Mariam Darus

Badrulzaman I,1983), hal. 20.

  Menurut Abdulkadir Muhammad, kelemahan-kelemahan ketentuan Pasal 1313 BW (KUH Perdata) adalah sebagai berikut :

   a.

  Hanya menyangkut satu pihak. Jika dilihat rumusan ”satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata Kerja ”mengikatkan” mempunyai sifat hanya datang dari satu pihak saja. Seharusnya rumusannya itu harus saling mengikatkan diri sehingga ada consensus para pihak.

  b.

  Kata ”Perbuatan” termasuk tindakan melaksanakan pekerjaan tanpa kuasa (Zaakwaneming) yang tidak mengandung konsensus antara para pihak. Seharusnya digunakan kata ”persetujuan”.

  c.

  Pengertian ”perjanjian” dalam pasal tersebut mempunyai arti yang terlalu luas karena dapat juga mencakup kelangsungan perkawinan, janji kawin yang diatur dalam hukum keluarga. Padahal ”perjanjian” yang dimaksud oleh buku III hanya perjanjian yang bersifat kebendaan.

  d.

  Perumusan pasal tersebut tidak menyebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga tidak jelas untuk apa para pihak mengadakan perjanjian itu. Mengingat adanya kelemahan-kelemahan dari ketentuan Pasal 1313 BW

  (KUH Perdata), maka untuk memahami pengertian perjanjian, maka dipandang penting untuk mengetengahkan pengertian perjanjian yang dikemukakan oleh para sarjana. Pandangan sarjana dimaksud dapat dijadikan scbagai pembanding dan bahan analisis dalam memahami perjanjian secara lebih mendetail dan lengkap.

  Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan Hukum Kekayaan.

   Sedangkan Prof. R. Soebekti,

  merumuskan perjanjian ini adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.

  

  15 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung) Alumni, 1982) hal. 78. [

  Pendapat ini perlu mendapat perhatian dan penegasan, sebab tidak semua peristiwa itu akan menimbulkan adanya perjanjian, tetapi hanya peristiwa hukum 16 Ibid. 17 R. Soebekti I, Op. Cit, hal. 1.

  yang dapat menimbulkan perjanjian. R. Setiawan berpendapat perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

  

  terhadap satu orang atau lebih. Selanjutnya Sudikno Mertokusumo menyatakan : Hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dua pihak itu sepakat untuk menentukan peraturan atau kaidah atau hak dan kewajiban, yang mengikatkan mereka untuk ditaati dan dijalankan, kesepakatan itu adalah untuk menimbulkan akibat hukum, menimbulkan hak dan kewajiban dan kalau kesepakatan itu dilanggar maka ada

   akibat hukumnya, si pelanggar dapat dikenakan akibat hukum atau sanksi.

  Berdasarkan pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa perjanjian adalah peristiwa hukum yang telah disepakati oleh para pihak dalam rangka melaksanakan suatu hal dalam lapangan hukum kekayaan yang telah diatur menurut hukum. Perjanjian itu merupakan peristiwa yang menimbulkan suatu hubungan hukum di antara para pihak yang terlibat di dalamnya atau dikenal dengan perikatan (Verbintenis).

  Di dalam menyalurkan kredit kepada masyarakat, bank akan menuangkan dalam suatu perjanjian yang namanya perjanjian kredit. Sebelum memahami tentang perjanjian kredit, perlu diketahui terlebih dahulu apa itu kredit. Secara etimologi perkataan kredit berasal dari bahasa latin “Credere” yang berarti

  18 19 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung : Bina Cipta,1979) hal. 5.

  Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta : Liberty, 1999 (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo I), hal. 96. kepercayaan, sehingga berpijak dari arti kata tersebut. Dapat dikatakan bahwa

   pengertian dasar dari pemberian kredit adalah kepercayaan.

  Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal 1 butir 11, kredit adalah:

  ”Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.

  Dengan demikian, kredit bank adalah merupakan kredit yang diberikan bank kepada nasabahnya berdasarkan kepercayaan dengan menyerahkan sejumlah uang tertentu kepada debiturnya, untuk dipergunakan sesuai dengan tujuannya, dalam jangka waktu tertentu, dan dengan imbalan berupa bunga. Istilah perjanjian kredit berasal dari bahasa Inggris, yaitu contract credit. Dalam hukum Inggris,

   perjanjian kredit bank termasuk loan of money.

  Istilah perjanjian kredit ditemukan dalam instruksi pemerintah dan berbagai surat edaran, antara lain:

  1. Instruksi Presidium Kabinet Nomor 15/EKA/10/96, yang berisi instruksi kepada bank bahwa dalam memberikan kredit bentuk apapun, bank-bank wajib mempergunakan ”akad perjanjian kredit”; 2. Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I Nomor 2/539/UPK/Pemb/1996; dan 20 Bambang Sunggono, Pengantar Hukum Perbankan, (Jakarta : Mandar Maju, 1995) hal. 127. 21 Sutan Remy Syahdeini, Op. Cit, hal. 57.

3. Surat Edaran Bank Negara Indonesia Nomor 2/643/Pemb/1996 tentang Pedoman Kebijaksanaan di Bidang Perkreditan.

  Dalam ketentuan itu tidak kita temukan pengertian perjanjian kredit. Namun, dalam Pasal 1 angka 3 Rancangan Undang-Undang tentang Perkreditan Perbankan, telah ditentukan pengertian perjanjian kredit. Perjanjian kredit adalah:

  ”Persetujuan dan atau kesepakatan yang dibuat bersama antara kreditur dan debitur atas sejumlah kredit dengan kondisi yang telah diperjanjikan, hal mana pihak debitur wajib untuk mengembalikan kredit yang telah diterima dalam jangka waktu tertentu disertai bunga dan biaya-biaya yang disepakati”. Unsur-unsur yang terkandung dalam perjanjian kredit adalah : 1. Adanya persetujuan dan/atau kesepakatan; 2. Dibuat bersama antara kreditur dan debitur; 3. Adanya kewajiban debitur.

  Kewajiban debitur adalah: 1. Mengembalikan kredit yang telah diterimanya; 2. Membayar bunga; dan 3.

  Biaya-biaya lainnya.

  Para ahli juga memberikan pengertian perjanjian kredit. Sutarno mengartikan perjanjian kredit adalah: ”Perjanjian pokok atau perjanjian induk yang mengatur hak dan kewajiban antara kreditur dan debitur”.

22 Definisi ini terlalu singkat karena hanya difokuskan pada hak dan

  kewajiban antara kreditur dan debitur, padahal dalam perjanjian kredit itu sendiri 22 Sutarno, Op. Cit, hal. 6. yang paling prinsip adalah kesepakatan para pihak. Definisi lain dikemukakan Sutan Remy Syahdeini. Sutan Remy Syahdeini mengartikan perjanjian kredit adalah:

  ”Perjanjian bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai debitur mengenai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu yang mewajibkan nasabah debitur untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan”.

23 Definisi yang dikemukakan oleh Sutan Remy Syahdeini terlalu luas karena

  tidak hanya mengemukakan tentang hak dan kewajiban kreditur dan debitur, namun juga mengemukakan tentang ciri-ciri perjanjian kredit. Karena adanya kelemahan dari kedua definisi di atas, maka perlu dilengkapi dan disempurnakan. Menurut H. Salim HS yang diartikan dengan perjanjian kredit adalah:

  ”Perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur, di mana kreditur berkewajiban untuk memberikan uang atau kredit kepada debitur, dan debitur berkewajiban untuk membayar pokok dan bunga, serta biaya-biaya lainnya sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati antara keduanya”.

24 Perjanjian kredit merupakan dasar kewenangan bank untuk dapat

  mengendalikan penggunaan kredit oleh nasabah. Yang menyangkut pemberian kreditnya, bank sangat berkepentingan dengan hal-hal yang menyangkut hak-hak bank dan kewajiban-kewajiban nasabah, baik pada saat sebelum kredit diberikan, selama kredit diberikan, dan setelah kredit jatuh tempo. Di dalam perjanjian kredit kepentingan-kepentingan bank yang demikian itu tetap terjaga. Namun meskipun 23 Sutan Remy Syahdeini, Op. Cit, hal. 14. 24 Salim, HS, Perkembangan Hukum Kontrak Diluar KUH Perdata, Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada, 2006, (selanjutnya disebut Salim HS I), hal. 80.

  demikian, diharapkan hak-hak dan kepentingan nasabah sebagai pihak penerima kredit seyogyanya juga harus diberikan perhatian, dalam konteks perjanjian kredit dimaksud.

  2. Sifat Perjanjian Kredit

  Berbicara tentang sifat perjanjian kredit ada berbagai pendapat dari para sarjana dengan mengkaitkannya dengan ketentuan Pasal 1754 BW. Pasal 1754 BW menentukan sebagai berikut :

  “Perjanjian pinjam rnengganti adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah ketentuan barang-barang yang menghabis karena pemakaian. dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”.

  Selanjutnya dalam Pasal 1765 BW disebutkan, bahwa diperbolehkan memperjanjikan, bunga atau peminjaman uang atau lain barang yang menghabis karena pemakaian. Dari pengertian ini, terlihat bahwa unsur-unsur pinjam- meminjam adalah :

  1. Adanva persetujuan antara peminjam dengan yang memberi pinjaman; 2.

  Adanya suatu jumlah barang tertentu habis karena memberi pinjaman; 3. Pihak yang menerima pinjaman akan mengganti barang yang sama;

   4.

  Pinjaman wajib membayar bunga bila diperjanjikan.

  Para ahli mencoba untuk memberikan tafsiran terhadap Pasal 1754 KUH Perdata dan dikaitkan dengan perjanjian kredit bank. Hal ini disebabkan karena di 25 Sentosa Sembiring, Op. Cit, hal. 67. dalam KUH Perdata sendiri tidak kita temukan istilah perjanjian kredit. Bahkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 sendiri tidak mengenal istilah perjanjian kredit, yang ada hanya pengertian kredit. Dalam penjelasan Rancangan Undang-Undang Perkreditan Perbankan ditegaskan bahwa perjanjian bersifat konsensual dan riil, berbeda dengan perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang hanya bersifat riil. Marhainis Abdul Hay menyatakan sebagai berikut:

  “Ketentuan Pasal 1754 KUH Perdata tentang perjanjian pinjam mengganti,

  

  mempunyai pengertian yang identik dengan perjanjian kredit bank.” Subekti berpendapat bahwa dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diberikan atau diadakan. dalam semuanya itu pada hakekatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam meminjam sebagaimana diatur oleh BW, Pasal

  

  1754 sampai dengan Pasal 1769. Begitu pula menurut Muhammad Djumhana, bahwa perjanjian kredit menurut Hukum Perdata Indonesia adalah salah satu dari

  

  bentuk perjanjian pinjam meminjam seperti diatur Pasal 1754 BW. Dengan demikian, pembuatan suatu perjanjian kredit dapat mendasarkan kepada ketentuan-ketentuan yang ada pada BW maupun atas dasar kesepakatan para pihak. Hal yang sama dikemukakan pula oleh Madam Darus Badrulzaman :

  Dari rumusan yang terdapat di dalam Undang-Undang Perbankan 26 mengenai perjanjian kredit, dapat disimpuikan bahwa dasar perjanjian

  Marhainis Abdul Hay, Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta : Pradnya Paramitha, 1975) hal. 67. 27 R. Subekti, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Bandung : Alumni, 1978 (selanjutnva disebut Subekti II), hal. 13. 28 Muhammad Djumhana, Op. Cit, hal. 472. kredit adalah perjanjian pinjam-meminjam di dalam Kitab Undang-

   Undang Hukum Perdata Pasal 1754.

  Perjanjian pinjam-meminjam ini juga mengandung makna yang luas yaitu objeknya adalah benda yang menghabis jika verbruiklening termasuk di dalamnya uang. Berdasarkan perjanjian pinjam-meminjam ini, pihak penerima pinjaman menjadi pemilik yang dipinjam dan kemudian harus dikembalikan dengan jenis yang sama kepada pihak yang meminjamkan.

  Karenanya perjanjian kredit ini merupakan perjanjian yang bersifat riil, yaitu bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh “penyerahan” uang oleh

   bank kepada nasabah.

  Djuhaendah Hasan berpendapat lain, yaitu bahwa perjanjian kredit tidak tepat dikuasai oleh ketentuan Bab XIII Buku III KUHPerdata, sebab antara perjanjian pinjam-meminjam dengan perjanjian kredit terdapat beberapa perbedaan. Perbedaan antara perjanjian pinjam-meminjam dengan perjanjian kredit terletak pada beberapa hal, antara lain: a.

  Perjanjian kredit selalu bertujuan dan tujuan tersebut biasanya berkaitan dengan program pembangunan, biasanya dalam pemberian kredit sudah ditentukan tujuan penggunaan uang yang akan diterima, sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam tidak ada ketentuan tersebut dan debitur dapat menggunakan uangnya secara bebas.

  29 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Standar) Perkembangannya Di Indonesia (Pidato Pengukuhan Guru Besar) , Bandung : Alumni, 1981, (selanjutya disebut Mariam Darus Badrulzaman II), hal. 110-111. 30 Ibid b.

  Dalam perjanjian kredit sudah ditentukan bahwa pemberi kredit adalah bank atau lembaga pembiayaan (lihat ketentuan Pasal 1 ayat (12) UU Nomor 7 Tahun 1992) dan tidak dimungkinkan diberikan oleh individu, sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam pemberian pinjaman dapat oleh individu.

  c.

  Pengaturan yang berlaku bagi perjanjian kredit berbeda dengan perjanjian pinjam-meminjam. Bagi perjanjian pinjam-meminjam berlaku ketentuan umum dari Buku III dan Bab XIII Buku III KUHPerdata. Sedangkan bagi perjanjian kredit akan berlaku ketentuan dalam UUD 1945, ketentuan bidang ekonomi dalam GBHN, ketentuan umum KUHPerdata, UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Paket Kebijaksanaan Pemerintah Dalam Bidang Ekonomi terutama bidang Perbankan, Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI), dan sebagainya.

  d.

  Pada perjanjian kredit telah ditentukan bahwa pengembalian uang pinjaman itu harus disertai bunga, imbalan, atau pembagian hasil, sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam hanya berupa bunga saja dan bunga inipun baru ada apabila diperjanjikan.

  e.

  Pada perjanjian kredit bank harus mempunyai keyakinan akan kemampuan debitur akan pengembalian kredit yang diformulasikan dalam bentuk jaminan baik materiil maupun immaterial, sedangkan dalam perjanjian pinjam- meminjam jaminan merupakan pengamanan bagi kepastian pelunasan hutang dan inipun baru ada apabila diperjanjikan, dan jaminan itu hanya merupakan jaminan secara fisik atau materiil saja.

  Apapun yang merupakan pendapat dari para sarjana tentang sifat dari perjanjian kredit, namun tetap tidak bisa dilepaskan bahwa akar dari perjanjian kredit itu adalah perjanjian pinjam-meminjam. Seperti dirumuskan oleh Undang- Undang Perbankan tentang pengertian “kredit”, adalah; “. . ., berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminiam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu

   tertentu dengan pemberian bunga.

  Memahami sifat perjanjian kredit berbagai peraturan perlu ditelaah, seperti BW, Undang-Undang Perbankan dan ketentuan-ketentuan lainnya. Seperti disampaikan oleh Edy Putra Tje'Aman, untuk mengetahui sifat perjanjian kredit bank, tidak cukup hanya melihat KUH Perdata (BW dan Undang-Undang Perbankan saja, tetapi juga harus memperhatikan ketentuanketentuan yang

  

berlaku/dipakai dalam praktek perbankan.

3. Bentuk Perjanjian Kredit

  Menurut hukum, perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan atau tertulis, yang penting memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUHPerdata. Namun dari sudut pembuktian perjanjian secara lisan sulit untuk dijadikan sebagai alat bukti, karena hakekat pembuatan perjanjian adalah sebagai alat bukti bagi para pihak yang membuatnya. Dalam dunia modern yang komplek ini perjanjian lisan tentu sudah tidak dapat disarankan untuk digunakan meskipun secara teori diperbolehkan, karena lisan sulit dijadikan sebagai alat pembuktian bila terjadi masalah di

  31 32 Djuhaendah Hasan, Op. Cit, hal. 174.

  Edy Putra The’Aman, Op. Cit, hal. 31 kemudian hari. Untuk itu setiap transaksi apapun seyogyanya dibuat tertulis yang digunakan sebagai alat bukti, termasuk perjanjian kredit.

  Dasar hukum perjanjian kredit secara tertulis dapat mengacu pada Pasal 1 ayat (11) UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan. Dalam pasal itu terdapat kata-kata : Penyediaan uang atau tagihan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa pemberian kredit harus dibuat perjanjian. Meskipun dalam pasal itu tidak ada penekanan perjanjian kredit harus dibuat secara tertulis namun menurut pendapat Sutarno dalam organisasi bisnis modern dan mapan maka untuk kepentingan administrasi yang rapi dan teratur dan demi kepentingan pembuktian sehingga pembuatan bukti tertulis dari suatu perbuatan hukum menjadi suatu keharusan, maka kesepakatan perjanjian kredit

   harus tertulis.

  Dasar hukum lain yang mengharuskan perjanjian kredit harus tertulis adalah instruksi Presidium Kabinet No. 15/EK/IN/10/1966 tanggal 10 Oktober 1966. Dalam instruksi tersebut ditegaskan “Dilarang melakukan pemberian kredit tanpa adanya perjanjian kredit yang jelas antara Bank dengan Debitur atau antara Bank Sentral dan Bank-Bank lainnya. Surat Bank Indonesia yang ditujukan kepada segenap Bank Devisa No. 03/1093/UPK/KPD tanggal 29 Desember 1970, khususnya butir 4 yang berbunyi untuk pemberian kredit harus dibuat surat perjanjian kredit. Dengan keputusan-keputusan tersebut, maka pemberian kredit oleh Bank kepada nasabah harus diiniat secara tertulis. Perjanjian kredit 33 Sutarno, Op. Cit, hal. 99. merupakan ikatan atau bukti tertulis antara bank dengan debitur, sehingga harus disusun dan dibuat sedemikian rupa agar setiap orang mudah untuk mengetahui bahwa perjanjian yang dibuat itu merupakan perjanjian kredit. Dalam praktek perbankan ada 2 (dua) bentuk perjanjian kredit, yaitu :

1. Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan

  Yang dimaksud dengan perjanjian kredit di bawah tangan adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat di antara

   mereka (bank dan nasabah), tanpa Notaris.

  Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan dinamakan akta di bawah tangan, artinya perjanjian yang disiapkan dan dibuat sendiri oleh Bank kemudian ditawarkan kepada Debitur untuk disepakati. Untuk mempermudah dan mempercepat kerja Bank, biasanya Bank sudah menyiapkan formulir perjanjian dalam bentuk standard (standaardform) yang isi, syarat-syarat dan ketentuannya disiapkan terlebih dahulu secara lengkap. Bentuk perjanjian kredit yang dibuat sendiri oleh Bank tersebut termasuk jenis Akta Di Bawah Tangan. Dalam rangka penandatanganan perjanjian kredit, formulir perjanjian kredit yang isinya sudah disiapkan Bank kemudian disodorkan kepada setiap calon-calon Debitur untuk diketahui dan dipahami mengenai syarat-syarat dan ketentuan pemberian kredit tersebut. Syarat-syarat dan ketentuan dalam formulir perjanjian kredit tidak pernah diperbincangkan atau dirundingkan atau dinegosiasikan dengan calon Debitur. Calon Debitur mau atau tidak mau dengan terpaksa atau sukarela harus menerima semua persyaratan yang 34 H.R. Daeng Naja, Op. Cit, hal. 185. tercantum dalam formulir perjanjian kredit. Seandainya calon Debitur melakukan protes atau tidak setuju terhadap pasal-pasal tertentu yang tercantum dalam formulir perjanjian kredit maka Kreditur tidak akan menerima protes tersebut karena isi perjanjian memang sudah disiapkan dalam bentuk cetakan oleh lembaga Bank itu sehingga bagi petugas Bank pun tidak bisa menanggapi usulan calon Debitur. Calon Debitur menyetujui atau menyepakati isi perjanjian kredit karena calon Debitur dalam posisi yang sangat membutuhkan kredit (posisi lemah) sehingga apapun persyaratan yang tercantum dalam formulir perjanjian kredit calon Debitur dapat menyetujui.

  Perjanjian kredit bank yang hanya dibuat secara di bawah tangan dalam beberapa hal mengandung kelemahan. Adapun kelemahannya adalah : a.

  Bahwa apabila suatu saat nanti terjadi wanprestasi oleh debitur, yang pada akhirnya akan diambil tindakan hukum melalui proses peradilan, maka apabila debitur yang bersangkutan menyangkali atau memungkiri tanda tangannya, akan berakibat mentahnya kekuatan hukum perjanjian kredit yang telah dibuat tersebut. Dalam Pasal 1877 KUH Perdata disebutkan bahwa jika seorang memungkiri tulisan atau tanda tangannya, hakim harus memerintahkan supaya kebenaran dari tulisan atau tanda tangan tersebut diperiksa di muka pengadilan.

  b.

  Bahwa oleh karena perjanjian ini dibuat hanya oleh para pihak, dimana formulirnya telah disediakan oleh bank (form standar/baku), maka bukan tidak mungkin terdapat kekurangan data-data yang seharusnya dilengkapi untuk suatu kepentingan pengikatan kredit/pemberian bank garansi. Bahkan, bukan tidak mungkin, atas dasar pelayanan, penandatanganan perjanjian dilakukan walaupun formulir perjanjian masih dalam bentuk blangko/kosong.

  Kelemahan-kelemahan ini pada akhirnya akan merugikan bank jika suatu saat berperkara dengan nasabahnya. Oleh sebab itu, pembuatan perjanjian kredit bank yang selama ini banyak dipraktekkan kalangan perbankan, perlu untuk

   ditinjau kembali, terutama bila melihat sisi-sisi kelemahannya tersebut.

  2. Perjanjian kredit yang dibuat dengan Akta Otentik (Akta Notaris) Yang dimaksud dengan perjanjian kredit Notaris, adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris.

  Perjanjian kredit yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris yang dinamakan akta otentik atau akta notariil. Yang menyiapkan dan membuat perjanjian ini adalah seorang Notaris namun dalam praktek semua syarat dan ketentuan perjanjian kredit disiapkan oleh Bank kemudian diberikan kepada Notaris untuk dirumuskan dalam akta notariil. Memang Notaris dalam membuat perjanjian hanyalah merumuskan apa yang diinginkan para pihak dalam bentuk

   akta notariil atau akta otentik.

  Perjanjian kredit yang dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta otentik biasanya untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar dengan jangka waktu menengah atau panjang, seperti kredit investasi, kredit modal kerja. kredit sindikasi (kredit yang diberikan lebih dari satu Kreditur atau lebih dari satu Bank).

  Antara perjanjian kredit yang dibuat dengan Akta di bawah tangan dengan perjanjian kredit dengan akta otentik sudah barang tentu ada perbedaannya. Bila dilihat dari segi pembuktiannya, antara akta di bawah tangan dengan akta otentik memang berbeda. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, artinya akta otentik itu dianggap sah dan benar tanpa perlu membuktikan atau menyelidiki keabsahan tanda tangan pihak-pihak tersebut. 35 36 Ibid Sutarno, Op. Cit, hal. 100.

  Apabila suatu akta otentik diajukan sebagai alat bukti didepan Hakim, kemudian pihak lawan membantah akta otentik tersebut, maka pihak pembantah yang harus membuktikan kebenaran/bantahannya. Sebaliknya, jika tanda tangan pada akta di bawah tangan itu dipungkiri oleh pihak yang telah membubuhkan tanda tangan, maka pihak yang mengajukan akta di bawah tangah itu harus berusaha mencari alat-alat bukti lain yang membenarkan bahwa tanda tangan tadi dibubuhkan oleh pihak yang memungkiri.

4. Lahirnya Perjanjian Kredit

  Dalam praktek perbankan terdapat prinsip commanditer ingsverbod, yaitu : “adanya larangan bagi bank bahwa dengan adanya pemberian kredit, bank ikut

  

  menanggung resiko dari usaha nasabah”. Hal tersebut sesuai dengan asas tiada kredit tanpa jaminan.

  Dengan adanya prinsip atau asas tersebut di atas, menunjukkan pada kita bahwa di dalam perjanjian kredit akan selalu terkait dengan adanya perjanjian jaminan. Dalam praktek, penandatanganan perjanjian jaminan dilakukan bersamaan pada saat penandatanganan perjanjian kreditnya. Adanya perjanjian jaminan tersebut adalah karena adanya perjanjian kredit. Hal ini sesuai dengan sifat accessoir dari perjanjian jaminan. Di samping terkaitnya perjanjian jaminan di dalam perjanjian kredit, juga tidak akan terlepas dari kewajiban membayar bunga kredit.

37 Edy Putra The’Aman, Op. Cit, hal. 35.

  Di dalam praktek perbankan, bahwa dengan ditandatanganinya perjanjian

   kredit tidak berarti akan disertai dengan realisasi kredit atau pencairan kredit.

  Pemohon (calon nasabah) tidak akan dapat melakukan penarikan kredit, bila tidak ada pernyataan dari bank bahwa pemohon sudah boleh menarik kreditnya.

  Jadi pada saat dilakukannya penandatanganan perjanjian kredit, perjanjian kredit belum lahir. Apabila perjanjian kredit telah lahir pada saat dilakukannya penandatanganan perjanjian kredit, sedangkan pihak pemohon belum menerima kreditnya, maka hal ini adalah suatu kejanggalan, suatu ketidakadilan yang nyata.

  Sebab bila perjanjian kredit telah lahir pada saat dilakukannya penandatanganan perjanjian kredit, berarti perjanjian jaminannya pun telah lahir. Sedangkan pada saat itu pemohon belum menerima kreditnya, yang berarti pula belum mempunyai hutang. Hal ini adalah bertentangan dengan sifat accessoir dari perjanjian jaminan.

  Demikian pula halnya bila dikaitkan dengan kewajiban membayar bunga kredit. Bagaimana mungkin pemohon atau calon nasabah diwajibkan membayar bunga apabila ia sendiri belum menerima kreditnya.

5. Hapusnya Perjanjian Kredit

  Pasal 1319 BW (KUH Perdata) menetapkan semua perjanjian baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat di dalam bab kedua BW (KUH Perdata). Ini berarti perjanjian kredit yang merupakan perjanjian yang tidak

38 Ibid.

  dikenal di dalam KUH Perdata, juga harus tunduk pada ketentuan-ketentuan umum yang termuat di dalam Buku III KUH perdata.

  Karenanya Pasal 1381 BW (KUH Perdata) yang mengatur cara hapusnya perikatan dapat diberlakukan pula pada perjanjian kredit bank. Dari sepuluh cara yang disebutkan pada Pasal 1381 tadi, umumnya perjanjian kredit bank harus hapus atau berakhir karena hal-hal di bawah ini:

  1. Pembayaran Pembayaran (lunas) ini merupakan pemenuhan prestasi dari debitur, baik pembayaran utang pokok, bunga, denda maupun biaya-biaya lainnya yang wajib dibayar lunas oleh debitur. Pembayaran lunas ini, baik karena jatuh tempo kreditnya atau karena diharuskannya debitur melunasi kreditnya secara seketika dan sekaligus (opelbaarheid clause).

  2. Subrograsi (subrogatie)

  Pasal 1382 BW (KUH Perdata) menyebutkan kemungkinan pembayaran (pelunasan) utang dilakukan oleh pihak ketiga kepada pihak berpiutang (kreditur), sehingga terjadi penggantian kedudukan atau hak-hak kreditur oleh pihak ketiga. Inilah yang dinamakan dengan subrogasi. Jadi subrograsi ini terjadi karena adanya penggantian kedudukan atau hak-hak kreditur lama oleh kreditur baru dengan mengadakan pembayaran. Dengan adanya subrograsi, maka segala kedudukan atau hak-hak yang dipunyai kreditur lama beralih kepada pihak ketiga.

3. Pembaharuan utang (novasi)

  Pembaruan utang terjadi dengan jalan mengganti utang lama dengan utang baru, debitur lama dengan debitur baru dan kreditur lama dengan kreditur baru. Dalam hal ini, bila utang lama diganti dengan utang baru terjadilah penggantian objek perjanjian yang disebut “novasi subjektif”. Di sini utang lama lenyap, dalam hal terjadi penggantian orangnya (subjeknya), maka jika diganti debiturnya, pembaruan ini disebut “novasi subjektif pasif”. Jika yang diganti itu krediturnya, pembaruan ini disebut “novasi subjektif aktif”. Dalam hal ini utang lama lenyap.

  Pada umumnya pembaruan utang yang terjadi di dalam dunia perbankan adalah denggan mengganti atau memperbarui perjanjian kredit bank yang ada.

  Dalam hal ini yang diganti adalah perjanjian kredit banknya dengan perjanjian kredit bank yang baru. Dengan terjadinya penggantian atau pembaruan perjanjian kredit, otomatis perjanjian kredit bank yang lama berakhir atau tidak berlaku.

  Pasal 1413 BW (KUH Perdata) menyebutkan tiga cara untuk melakukan novasi, yaitu :

  1. dengan membuat suatu perikatan utang baru yang mengganti perikatan utang lama yang dihapuskan karenanya;

  2. dengan cara expromissie, yakni mengganti debitur lama dengan debitur baru 3. mengganti debitur lama dengan debitur baru sebagai akibat suatu perjanjian baru yang diadakan;

  4. perjumpaan utang (kompensasi)

  Kompensasi adalah perjumpaan dua utang yang berupa benda-benda yang ditentukan menurut jenis (generieke ziken) yang dipunyai oleh dua orang atau pihak secara timbal balik, dimana masing-masing pihak berkedudukan baik sebagai kreditur maupun debitur terhadap orang lain, sampai jumlah terkecil yang

   ada di antara kedua utang tersebut.

  Dasar kompensasi ini disebutkan dalam Pasal 1425 BW (KUH Perdata). Dikatakan jika dua orang saling berhutang satu pada yang lain, maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan utang-piutang, dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan.

  Kondisi demikian itu dijalankan oleh bank dengan cara mengkompensasikan barang jaminan debitur dengan utangnya kepada bank, sebesar jumlah jaminan tersebut yang diambil alih tersebut.

B. Jaminan Fidusia

1. Pengertian dan Latar Belakang Lahirnya Jaminan Fidusia

  Sebelum kita membahas lebih jauh tentang pengertian jaminan fidusia hendaknya kita memahami pengertian jaminan. Dalam rangka pembangunan ekonomi diperlukan tersedianya dana, yang salah satunya adalah dalam bentuk

  

  kredit yang diberikan oleh lembaga perbankan. Dana yang berupa kredit itu diperlukan oleh debitur guna kepentingan pengembangan usaha atau keperluan lainnya. Penyaluran kredit kepada pelaku usaha selaku debitur sarat dengan resiko

  39 40 Rachmadi Usman, Op. Cit, hal. 279-280.

  M. Khoidin, Problematika Eksekusi Sertifikat Hak Tanggungan, (Yogyakarta : Laks Bank Pressindo, 2005) hal. 1. kemacetan. Oleh karena itu, bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat di antaranya :

  1. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit tanpa surat perjanjian tertulis; 2.

  Bank tidak diperkenankan memberikan kredit kepada usaha yang sejak semula telah diperhitungkan kurang sehat dan akan membawa kerugian;

  3. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit untuk pembelian saham dan

  modal kerja dalam rangka kegiatan jual beli saham, atau; 4. Memberikan kredit melampaui batas maksimum pemberian kredit (legal

   lending limit) .

  Mengingat hal-hal tersebut di atas, maka bank dalam memberikan kreditnya wajib memperoleh keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melaksanakan kewajibannya. Setelah kredit diberikan, bank juga wajib melakukan peninjauan ke lapangan dan pengikatan terhadap jaminan yang diserahkan oleh debitur sehingga jaminan yang diterima dapat memenuhi persyaratan dan kctcntuan yang berlaku. Untuk memperoleh keyakinan terhadap kemampuan dan kesanggupan debitur maka bank melakukan penilaian yang dikenal dengan the five c's of credit (5C) antara lain Character; Capital;

  Capacity; Collateral; Condition of economy .

  Berbagai aspek penilaian yang dilakukan bank tidak selalu dapat mencerminkan kinerja nasabah debitur di masa yang akan datang, maka pihak bank perlu berjaga-jaga terhadap resiko yang terburuk dari pelepasan kredit. Antisipasi terhadap kemungkinan macetnya pemenuhan kewajiban oleh nasabah 41 Muhammad Djumhana, Op. Cit, hal. 510. adalah kewajiban penyerahan jaminan sebelum dana diberikan kepada nasabah. Jaminan merupakan salah satu upaya untuk mengantisipasi risiko yang mungkin timbul dalam tenggang waktu antara pelepasan dan pelunasan kredit. Namun dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan tidak disebutkan lagi secara tegas mengenai kewajiban tersedianya jaminan atas kredit yang dimohonkan oleh debitur, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967.

  Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 menyebutkan : “Bank Umum tidak memberi kredit tanpa jaminan kepada siapapun juga”. Dalam kalimat tersebut tersirat bahwa siapapun yang ingin memperoleh kredit bank harus menyerahkan jaminan kepada bank. Terdapat perubahan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yaitu Pasal 8 yang menyebutkan bahwa ”Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan”.

  Sebenarnya dalam literatur hukum tidak dikenal istilah hukum jaminan, sebab kata recht dalam rangkaiannya sebagai zakerheidsrechten berarti ”hak”,

  

  sehingga zakerheidsrechten berarti hak-hak jaminan. Dengan demikian kalau mau merumuskan hukum jaminan, maka dapat dikatakan sebagai ketentuan- ketentuan hukum yang mengatur tentang jaminan pada umumnya, maksudnya

42 J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Bandung : Citra Aditya Bakti,2002 (selanjutnya disebut J. Satrio I), hal. 154.

  

  jaminan tagihan kreditur atas hutang debitur. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ketentuan umum tentang jaminan diletakkan dalam pasal 1131 sampai dengan pasal 1138. Dalam pasal-pasal tersebut diatur prinsip tanggung jawab seorang debitur terhadap hutang-hutangnya dan juga kedudukan semua

   kreditur atas tagihan yang dipunyai olehnya terhadap debiturnya.

  Dalam Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit, bahwa yang dimaksud dengan jaminan adalah suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan. Sutarno menyatakan, jaminan adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai mudah untuk diuangkan yang diikat dengan janji sebagai jaminan untuk pembayaran dari utang debitur berdasarkan perjanjian kredit yang dibuat oleh kreditur dan

  

  debitur. Selanjutnya Pasal 1 ayat (23) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan juga menyebutkan agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Hal penting dalam penyerahan agunan ini adalah keabsahan secara yuridis di perjanjian pengikatan agunan. Pihak bank harus yakin bahwa agunan atau jaminan yang telah diserahkan telah

   berdasarkan perjanjian yang sah secara yuridis.

  43 J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996) (selanjutnya disebut J. Satrio II), hal. 4. 44 45 J. Satrio I, Op. Cit. 46 Sutarno, Op. Cit, hal. 142.

  Sri Susilo, Sigit Triandaru & Totok Budi S, 2000, Bank & Lembaga Keuangan Lain, Salemba Empat, Jakarta, hal. 73. Kredit yang didukung dengan jaminan disebut secured loans, dengan menggunakan jaminan dalam penyaluran kredit dapat meyakinkan bank akan kemampuan debitur dalam pengembalian utangnya, sedangkan kredit yang tidak didukung dengan jaminan disebut unsecured loans, pemberian kredit ini yaitu dengan mempertimbangkan bonafiditas dan prospek usaha debitur. Kredit tanpa adanya jaminan sangat membahayakan posisi bank, mengingat jika nasabah mengalami kemacetan pembayaran maka akan sulit menutupi kerugian terhadap kredit yang disalurkan. Dengan adanya harta debitur yang dijadikan jaminan atas utangnya dapat menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi

   kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.

  Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa jaminan sebagai sarana perlindungan bagi keamanan kreditur yaitu memberikan kepastian akan pelunasan utang debitur sesuai dengan perjanjian kredit. Jaminan dapat menutupi segala resiko terhadap kemungkinan macetnya suatu kredit baik yang ada unsur kesengajaan atau tidak. Oleh karena itu, selain benda yang menjadi objek jaminan kredit diikat dengan asuransi tertentu, penilaian jaminan kredit haruslah teliti jangan sampai terjadi sengketa, palsu, dan sebagainya.

   Istilah Fidusia berasal dari kata ”fides” yang berarti kepercayaan.

  Hubungan hukum yang terjadi antara kreditur dengan debitur merupakan hubungan hukum yang berdasarkan atas kepercayaan. Istilah fidusia sudah lama dikenal dalam bahasa Indonesia dan merupakan istilah resmi dalam dunia hukum 47 Hartono Hadisoeprapto, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Yogyakarta :Liberty, hal. 50. 48 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Op. Cit, hal. 113.

   di Indonesia.

  74 Undang-Undang Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 juga menggunakan istilah ”fidusia”. Namun terkadang, untuk fidusia ini juga dikenal dengan istilah ”Penyerahan Hak Milik Secara Kepercayaan”. Dalam terminologi Belandanya sering disebut dengan Fiduciare Eigendom Overdracht, sedangkan dalam bahasa Inggrisnya sering disebut dengan istilah Fiduciary Transfer of

50 Ownership .

  Jaminan fidusia ini lahir karena adanya kebutuhan dalam praktek untuk menjaminkan barang bergerak tetapi tanpa penyerahan barang secara fisik.

  Mengingat lembaga gadai mensyaratkan adanya penyerahan benda maka dicarikanlah jalan untuk dapat menjaminkan barang bergerak tanpa penyerahan fisik barang tersebut. Akhirnya muncullah suatu rekayasa untuk memenuhi kepentingan dalam praktek tersebut yaitu dengan jalan pemberian jaminan fidusia.

  Jaminan fidusia ini akhirnya diterima dalam praktek dan diakui oleh

  

  yurisprudensi, baik di Belanda maupun di Indonesia. Rekayasa hukum tersebut dilakukan lewat bentuk globalnya yang disebut dengan "Constitutum

  Posessorium" (penyerahan kepemilikan benda tanpa menyerahkan fisik benda

  sama sekali). Agar sahnya peralihan hak dalam kontruksi hukum tentang fidusia

  

  ini, haruslah memenuhi syarat-syarat antara lain : a. terdapat perjanjian yang bersifat zakelijk b. adanya titel untuk suatu peralihan hak 49 Munir Fuady, Jaminan Fidusia, Bandung : Citra Aditya Bakti,2003 (selanjutnya disebut Munir Fuady II), hal. 3. 50 51 Ibid Ibid.

  52 Sri Soedewi Masjchoen, Sofwan, Hukum Jaminan Di Indonesia, Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, ( Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional,1980) hal. 27.

  c.

adanya kewenangan untuk menguasai benda dari orang yang menyerahkan

  benda d. cara tertentu untuk penyerahan yaitu dengan cara constitutum posessorium bagi benda bergerak yang berwujud, atau dengan cessie untuk hutang piutang.

  Berkaitan dengan Fidusia dan Jaminan Fidusia, dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia memberikan pengertian mengenai masing-masing tersebut:

  Pasal 1 butir 1: Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.

  Pasal 1 butir 2 : Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka unsur-unsur fidusia dalam upaya pemberian hak jaminan kepada kreditur dengan tujuan :

1. Sebagai agunan

  Sebagai agunan menunjuk ciri umum dari hak jaminan, bahwa pengalihan hak milik terhadap suatu benda hanya diperuntukkan sebagai agunan atau jaminan kredit, konsepsi pengalihan hak milik dengan kepcrcayaan dalam jaminan fidusia, adalah semata-mata untuk mcmbcrikan jaminan kepastian pengembalian kredit, sebagai perlindungan bagi keamanan kreditur. Memang apabila dilihat lebih jauh terhadap konstruksi jaminan fidusia akan membingungkan dan dapat menimbulkan salah tafsir apabila dikaitkan dengan unsur dari pengertian fidusia tentang ”pengalihan hak milik” yang sering ditafsirkan bahwa penerima jaminan fidusia semestinya menjadi pemilik atas benda yang bersangkutan. Apabila ditinjau lebih jauh riwayat sebenarnya merupakan penyelundupan atas ketentuan gadai yang diatur pada Pasal 1152 ayat (1) KUH Perdata untuk membedakan dari gadai berdasarkan kebutuhan praktek hukum jaminan. Karena hukum merupakan suatu sistem yang tidak memungkinkan untuk adanya pertentangan sehingga digunakan istilah pengalihan hak milik untuk membedakan dengan gadai.

2. Untuk kepentingan pelunasan tertentu

  Unsur ini menunjuk pada penjelasan bahwa pemberian jaminan fidusia memiliki tujuan yang sama dengan jaminan lainnya yaitu untuk jaminan agar debitur memenuhi kewajibannya yaitu dalam pelunasan utang tertentu. Dengan demikian terlihat bahwa perjanjian pokoknya adalah hutang piutang dan perjanjian pemberian jaminan fidusianya sebagai perjanjian tambahan (accessoir). Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 4 Undang-Undang Jaminan Fidusia yang menyatakan : ”Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi. Sedangkan ciri perjanjian tambahan (accessoir) adalah perjanjian tersebut tidak dapat berdiri sendiri, kemudian berakhirnya adalah tergantung pada berakhirnya perjanjian pokoknya.

3. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lain dari pelunasan atau kewajiban debitur (pemberi jaminan fidusia).

  Unsur ini menunjukkan bahwa kreditur penerima fidusia akan mempunyai posisi lebih baik di depan hukum dalam penagihan, demikian pula apabila terjadi eksekusi terhadap benda jaminan fidusia, maka kedudukannya lebih diutamakan atau didahulukan daripada kreditur lainnya dalam mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi dari benda jaminan fidusia. Hal demikian dinamakan hak preferen.

  Dalam perkembangannya di zaman Romawi, ada dua bentuk jaminan fidusia yaitu fiducia cum amino dan fiducia cum creditore. Keduanya timbul dari perjanjian yang disebut pactum fiduciae yang kemudian diikuti dengan

  

  penyerahan hak. Fiducia cum amino contracta yang artinya janji kepercayaan yang dibuat dengan teman. Lembaga ini sering digunakan dalam hal seorang pemilik suatu benda harus mengadakan perjalanan keluar kota dan sehubungan dengan itu menitipkan kepemilikan benda tersebut kepada teman dengan janji bahwa teman akan mengembalikan benda tersebut jika pemiliknya sudah kembali dari perjalanannya. Dalam fiducia cum amino contracta ini kewenangan diserahkan kepada pihak pcnerima akan tetapi kepentingan tetap ada pada pihak

   pemberi.

  Fiducia cum creditore contracta berarti janji kepercayaan yang dibuat

  dengan debitur, bahwa debitur akan mengalihkan suatu benda kepada kreditur sebagai suatu jaminan utang dengan kesepakatan bahwa kreditur akan 53 54 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Loc. Cit.

  Ibid , hal. 115. mengalihkan kembali benda jaminan tersebut apabila utang debitur sudah dibayar lunas, karena debitur bertindak dengan kepercayaan, hubungan seperti ini

   dinamakan hubungan yang didasarkan atas fides atau hubungan fiduciair.

  Timbulnya fiducia cum creditore ini disebabkan adanya suatu kebutuhan akan hukum jaminan yang belum diatur oleh konstruksi hukum. Dengan fiducia

  cum creditore ini maka kewenangan yang dimiliki kreditur akan lebih besar yaitu

  sebagai pemilik atas barang yang dialihkan sebagai jaminan. Debitur percaya bahwa kreditur tidak akan menyalahgunakan wewenang yang diberikan itu.

Dokumen yang terkait

Tanggung Jawab Debitur Terhadap Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank

11 194 119

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT BANK DAN KREDIT MACET A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kredit Bank 1. Pengertian Perjanjian Kredit - Tanggung Jawab Hukum Bank Dalam Menyelesaikan Kredit Macet (Studi pada Bank Rakyat Indonesia Cabang Kaba

0 1 34

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian - Pergantian Debitur Pada Perjanjian Jual-Beli Mobil Secara Kredit Di Pt. Daya Adicipta Wihaya Di Medan

0 0 34

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT A. Pengertian Perjanjian - Perlindungan Hukum Perjanjian Kredit dengan Jaminan Surat Keputusan Pengangkatan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Medan (Studi Bank Sumut Pusat)

0 0 24

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian 1. Pengertian Umum Perjanjian - Perlindungan Hukum Kreditur Pemegang Jaminan Berupa Hak Tanggungan Yang Mengalami Force Majeure Dalam Perjanjian Kredit

0 0 25

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT SERTA ASPEK HUKUM JAMINAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian dan Perjanjian Kredit Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukum Perjanjian - Tinjauan Yuridis Terhadap Penyelesaian Kredit Bermasalah Dalam Pinja

0 0 40

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT DAN HUKUM JAMINAN PADA UMUMNYA A. Pengertian dan Jenis-Jenis Perjanjian Kredit - Tinjauan Yuridis Tentang Pemberian Kredit Oleh Bank Dengan Deposito Berjangka Sebagai Jaminan/Back To Back (Studi Pada Bank Bri

0 0 38

BAB II ASPEK – ASPEK HUKUM DALAM AKTA PERJANJIAN KREDIT A. Pengertian Kredit dan Perjanjian Kredit - Chapter II (568.1Kb)

0 0 36

BAB II PERJANJIAN KREDIT BANK A. Pengertian dan Landasan Hukum 1. Pengertian Kredit - Aspek Hukum yang Harus Dipenuhi dalam Perjanjian Kredit Bank dengan Jaminan Hak Tanggungan Studi pada Bank Danamon Simpan Pinjam Unit Petisah)

0 0 28

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BANK DAN PERJANJIAN KREDIT BANK A. Pengertian dan Sejarah Bank 1. Pengertian Bank - Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Atas Pemberian Perjanjian Kredit (Studi Pada Bank BNI 46 Medan)

0 0 40