STUDI FENOMENOLOGI PENGALAMAN KELUARGA DALAM MERAWAT REMAJA YANG MENGALAMI KEKERASAN SEKSUAL DI LPA JAWA BARAT

  

STUDI FENOMENOLOGI PENGALAMAN KELUARGA

DALAM MERAWAT REMAJA YANG MENGALAMI

KEKERASAN SEKSUAL DI LPA JAWA BARAT

Lesta Livolina S.*, Susanti Niman,**, Irine Monalisa***

  

ABSTRAK

  Penelitian ini dilatarbelakangi oleh tingginya angka kekerasan seksual pada remaja (52%) di Jawa Barat. Tujuan penelitian ini yaitu mendeskripsikan fenomena yang terjadi tentang pengalaman keluarga dalam merawat remaja yang mengalami kekerasan seksual. Keluarga merupakan lingkungan yang memberikan rasa kenyamanan, perhatian, penghargaan dan membantu anak remaja dengan sikap yang menerima kondisi apapun. Kekerasan seksual pada remaja merupakan bentuk kontak seksual atau bentuk lain yang tidak diinginkan secara seksual. Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi untuk memahami makna pengalaman keluarga dalam merawat remaja yang mengalami kekerasan seksual. Hasil penelitian ini didapatkan lima tema yaitu perasaan keluarga remaja mengalami kekerasan seksual, dampak psikologis remaja yang mengalami kekerasan seksual, dampak kekerasan seksual pada keluarga, peran keluarga dan fungsi keluarga dalam perawatan kesehatan. Perasaan keluarga yang mengetahui anak remajanya mengalami kekerasaan seksual antara lain sedih, marah dan kesal. Kesimpulan penelitian ini mengetahui pengalaman keluarga dalam merawat remaja yang mengalami kekerasan seksual. Peneliti menyarankan untuk meneliti lebih lanjut mengenai pengalaman anak yang mengalami kekerasan seksual.

  Kata kunci: remaja, kekerasan seksual

  Berkembangnya ilmu pengetahuan, PENDAHULUAN teknologi dan komunikasi dewasa saat ini,

  Masa remaja merupakan masa dimana

  berpengaruh terhadap perubahan sosial pada

  seseorang sedang ada pada masa yang

  semua aspek. Perubahan dipermudah

  penting di dalam kehidupannya yaitu

  dengan adanya kemajuan teknologi yang

  masa perpindahan dari masa anak-anak

  semakin canggih. Di zaman sekarang

  menuju dewasa. Remaja adalah tahapan teknologi yang semakin canggih membuat

  masyarakat mudah mengakses internet salah

  dimana seseorang sedang mengalami satunya situs-situs orang dewasa. masa perubahan baik dari segi emosi,

  Dimana dalam hal tersebut akan timbul

  tubuh, minat atau keinginan, pola tingkah

  rangsangan-rangsangan seks melalui

  laku, perilaku dan juga masalah lainnya berbagai sarana hiburan dan media massa. (Haryanto & Suarayasa, 2013).

  Perubahan-perubahan sosial tersebut

  Pada masa pubertas, remaja

  mempengaruhi pola kehidupan manusia

  mengalami banyak perubahan baik secara

  terutama bagi para generasi muda (remaja) fisik maupun psikis. maupun orang dewasa. Misalnya cara

  Perubahan fisik meliputi perubahan

  pandang, cara berpikir, cara bergaul, bahkan

  pada organ seksual, sedangkan secara pada perilaku seks mereka ( Nurudin, 2010). psikis terjadi perubahan sikap dan

  Faktor-faktor yang menyebabkan perilaku seksual yaitu remaja mulai terjadinya tindak kekerasan seksual yang menyukai lawan jenisnya. dialami oleh korban diantaranya adalah faktor kelalaian orang tua. Kelalaian orang tua yang tidak memperhatikan tumbuh kembang dan pergaulan remaja yang membuat subyek menjadi korban kekerasan seksual.

  Faktor rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku. Moralitas dan mentalitas yang tidak dapat bertumbuh dengan baik, membuat pelaku tidak dapat mengontrol nafsu atau perilakunya. Dan faktor ekonomi. Faktor ekonomi membuat pelaku dengan mudah memuluskan rencananya dengan memberikan iming- iming kepada korban yang menjadi target dari pelaku (Fuadi, 2011).

  Peneliti telah melakukan studi pendahuluan di LPA di Jawa Barat dan didapat data bahwa sebagian besar kejadian kekerasan yang didapat di LPA tersebut yaitu 144 kejadian kekerasan seksual yaitu berupa sodomi dengan jumlah 66 kejadian, 59 kejadian mengenai pencabulan, 8 kejadian pemerkosaan, dan kejadian lainnya berupa 11 kejadian penculikan dan lain-lain.

  Dan data usia korban yang mengalami kekerasan yaitu usia < 5 tahun 38 orang, usia 5- < 10 tahun 155 orang, 10

  • < 15 tahun 39 orang, 15 – 18 tahun 50 orang dan tidak diketahui usianya sebanyak 278 orang. Peneliti mendapat data dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan petugas didapat beberapa kasus ditangani LPA dari bulan Januari- Juni 2014 sebagian yang sudah ditangani dipulangkan ke keluarga masing-masing. Masa pendampingan di LPA berkisar 2-4 minggu tergantung dengan cara penyelesaian yang disepakati oleh keluarga dan pihak LPA.

  Remaja yang mengalami kekerasan seksual dapat mengalami trauma pada fisik maupun psikologis juga sosial dan lain-lain. Selain dampak psikologis seperti pengalaman keluarga yang melaporkan tindak kekerasan seksual yang terjadi pada anak remaja keluarga tersebut terdapat trauma secara fisik seperti contoh ada luka robekan di bagian kemaluannya yang menyebabkan anak remaja tersebut merasa kesakitan.

  Petugas LPA membantu keluarga tersebut seperti melaporkan tindakan tersebut ke pihak yang berwajib atau sesuai persetujuan antar keluarga dan LPA. Pengalaman keluarga yang anak remajanya mengalami trauma secara psikososial petugas LPA membantu penanganan dalam mengobati anggota keluarga tersebut kepada psikiater.

  Dampak kekerasan seksual pada keluarga remaja yang mengalami kekerasan seksual yaitu membuat keluarga merasa malu dan minder terhadap kejadian yang telah terjadi pada salah satu anggota keluarga yang mengalaminya. Keluarga khususnya ibu dari remaja tersebut merasa tak berharga dan tidak dapat bertanggungjawab dengan kejadian yang sudah terjadi. Ibunya merasa bagaimana cara ia dapat mengembalikan harga diri dan menerangkan apa yang telah terjadi pada remaja tersebut.

  Hasil yang didapat oleh peneliti selama studi pendahuluan membuat peneliti tertarik untuk meneliti tentang studi fenomenologi pengalaman keluarga dalam merawat remaja yang mengalami kekerasan seksual di Lembaga Perlindungan Anak Jawa Barat.

METODE PENELITIAN

  Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif deskriptif dengan pendekatan fenomenologi untuk mengetahui pengalaman keluarga dalam merawat remaja yang mengalami kekerasan seksual di Lembaga Perlindungan Anak Jawa Barat. Penelitian ini mengambil informan sebanyak 4 orang yang telah didpilih sesuai dengan kriteria inklusi. Instrumen dalam penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri, wawancara dilakukan secara mendalam dan bersifat semi terstruktur.

  HASIL DAN PEMBAHASAN a. Karakteristik Informan

  1. Key Informan

  Key informan adalah seorang

  wanita berumur 49 tahun yang bekerja sebagai kepala bagian hotline LPA Jabar sejak tahun 2002. Latar belakang pendidikannya adalah Sarjana program studi Pengembangan Sosial masyarakat (PSM). Key

  informan beragama Islam, suku

  Sunda, sudah menikah, dan memiliki 2 orang anak.

  2. Informan 1

  Informan 1 adalah seorang

  wanita berusia 42 tahun, yang merupakan ibu dari anak remaja laki-laki yang mengalami kekerasan seksual. Bekerja sebagai ibu rumah tangga. Agama Islam, pendidikan SMA. Remaja yang mengalami kekerasan seksual adalah anak bungsu dari

  3 bersaudara, berusia 11 tahun. Riwayat mengalami kekerasan seksual tahun 2014, mulai melapor ke LPA Jawa Barat pertama kali pada bulan Desember 2014 dan telah ditangani pihak LPA Jawa Barat selama lima bulan.

  3. Informan 2

  Informan 2 adalah seorang

  wanita berusia 38 tahun yang merupakan ibu dari anak remaja yang mengalami kekerasan seksual. Bekerja sebagai ibu rumah tangga. Agama Islam, pendidikan SMK. Remaja yang mengalami kekerasan seksual adalah anak satu-satunya yang berusia 12 tahun. Riwayat mengalami kekerasan seksual pada tahun 2015, mulai melapor ke LPA Jawa Barat pertama kali pada bulan Januari 2015 telah ditangani pihak LPA Jawa Barat selama empat bulan.

  4. Informan 3

  Informan 3 adalah seorang

  wanita berusia 47 tahun, yang merupakan ibu dari anak remaja yang mengalami kekerasan seksual. Bekerja sebagai ibu rumah tangga. Agama Islam, pendidikan diploma. Remaja yang mengalami kekerasan seksual adalah anak pertama dari 2 bersaudara, berusia 15 tahun. Riwayat mengalami kekerasan seksual pada tahun 2014, mulai melapor ke LPA Jawa Barat pertama kali pada bulan September 2015 telah ditangani pihak LPA Jawa Barat selama delapan bulan.

  5. Informan 4

  Informan 4 adalah seorang

  wanita berusia 32 tahun, yang merupakan ibu dari anak remaja yang mengalami kekerasan seksual. Bekerja sebagai karyawan. Agama Islam, pendidikan SMA. Remaja yang mengalami kekerasan seksual adalah anak pertama dari 2 bersaudara, berusia 12 tahun. Riwayat mengalami kekerasan seksual pada tahun 2015, mulai melapor ke LPA Jawa Barat pertama kali pada bulan Februari 2015 telah ditangani pihak LPA Jawa Barat selama dua bulan.

   Perasaan keluarga remaja mengalami kekerasan seksual.

  Perasaan pada keluarga yang mengalami kekerasan seksual pada

  keadaan batin yang biasa dirasakan menyebabkan gangguan psikis seperti, trauma, fobia, frustasi,

  rendah diri, takut, panik, sedih kecewa dan sebagainya, setelah terdapat perdarahan dan mengetahui anaknya tidak perawan lagi (Prakurso, 2006).

  Informan mengungkapkan perasaan sedih, kecewa, ingin marah, kesal dan campur aduk serta lainnya. Berdasarkan hasil penelitian ini informan menguraikan perasaan sedih, kecewa, ingin marah, kesal dan campur aduk tersebut sebagai respon saat mengetahui anak remajanya mengalami kekerasan seksual.

  Hal ini bisa dipahami karena perasaan sedih, kecewa, ingin marah, kesal dan campur aduk serta lainnya muncul jika terjadi stimulus pada kejadian yang mengejutkan terjadi pada anggota keluarga siapapun yang mengalaminya.

  Perasaan keluarga remaja mengalami kekerasan seksual menjadi tema yang menjawab penelitian tentang perasaan tidak nyaman.

  Perasaan dapat diartikan sebagai salah satu fungsi merasa

  bagi jiwa, seperti perasaan marah, sedih, bahagia, gembira, malas, bosan (Pujiastuti, 2013). Keadaan batin yang biasa dirasakan oleh keluarga dan anak remaja yang mengalami kekerasan seksual menyebabkan gangguan psikis seperti, trauma, fobia, frustasi,

B. Analisa Data dan Pembahasan 1.

  rendah diri, takut, panik, sedih kecewa dan sebagainya, setelah terdapat perdarahan dan mengetahui anaknya tidak perawan lagi (Prakurso, 2006).

  Sebuah penelitian dilakukan oleh Department of Human Service untuk mengetahui perasaan orang tua yang anak remajanya telah mengalami pelecehan seksual mengungkapkan perasaan mereka mengalami semacam berduka setelah peristiwa tersebut.

  Beberapa orang tua yang merupakan keluarga dari anak- anak yang mengalami kekerasan seksual menggambarkan perasaan berdukanya seperti bencana kematian yang datang tanpa melihat proses seseorang yang melewati masa kritisnya atau sekarat. Dari kejadian ini keluarga merasa sakit yang lama dengan terjadinya kejadian ini dan merasa tidak akan berakhir sampai di tingkat tertentu dalam kehidupan. Ada rasa banyak kerugian ketika seorang anak telah menjadi korban ( Departement of human service, 2013 ).

  Perasaan tidak nyaman yang dirasakan oleh informan dikarenakan mengetahui bahwa anak adalah korban yang mengalami kekerasan seksual. Penyebab lain yang ditemukan adalah tidak menerima bahwa anggota keluarganya yaitu anak remajanya merupakan korban yang mengalami kekerasan seksual. Kesedihan terlihat dengan ekspresi para orang tua yang menerangkan bahwa mereka suka menangis, dan hanya berdoa mengadu pada sang yang maha kuasa.

  Rentang waktu yang dirasakan beragam, ada yang kekecewaan atau kesedihannya menjadi keinginan untuk lebih selektif memperhatikan anak remajanya dalam mengawasi kesehariannya dan ada pula yang melaporkan hal tersebut pada pihak yang berwajib serta membawa anak remaja tersebut ke lembaga untuk diobati secara fisik maupun psikologisnya.

  Key informan mengatakan

  bahwa perasaan orangtua remaja yang mengalami kekerasan seksual pada awalnya sebagian besar pasti sedih atau kecewa. Perasaan sedih dikarenakan mengapa bisa hingga anak atau anggota keluarganya menjadi korban yang mengalami kekerasan seksual. Orang tua biasanya menceritakan rasa sedih karena si anaknya menceritakan pada orang tuanya hal apa yang sudah terjadi, setelah mengalami hal tersebut sehingga orang tua merasa gagal menjaga dan kurang mengawasi si anak remaja tersebut.

  

2.

Dampak kekerasan seksual pada keluarga.

  Dampak kekerasan seksual baik

  terhadap korban yaitu remaja yang mengalami kekerasan seksual dapat berupa secara luka fisik yang diterima oleh si korban seperti contoh luka robekan atau memar bekas pukulan atau tamparan karna faktor pemaksaan yang dilakukan sebelum melakukan tindak keinginan seksualitasnya yang disebut juga secara seksual, secara emosi dan spiritual. Dan dampak secara psikologis dan sosialnya bagaimanan ia dapat beradaptasi lagi dengan lingkunganya (Yantzi, 2009).

  Informan mengungkapkan dampak yang dialami remaja setelah menjadi korban kekerasan seksual jadi suka melamun, tidak mau bermain dengan temannya, tetapi ada pula yang masih mau bermain dengan temannya, nangis, beribadah, hal tersebut sebagai dampak dari anak remaja yang mengalami kekerasan seksual.

  Hal ini bisa dipahami karena dampak yang terjadi pada remaja yang mengalami kekerasan tersebut muncul jika terjadi stimulus pada kejadian yang mengejutkan terjadi pada remaja yang mengalaminya.

  Dampak psikologis remaja yang mengalami kekerasan seksual menjadi tema kedua yang menjawab penelitian tentang dampaknya.

  Dampak psikologis remaja yang mengalami kekerasan seksual dimaksudkan disini adalah hal yang menjadi akibat dari suatu yang telah terjadi pada si korban yang mengalami kekerasan seksual. Terdapat 4 informan yang menyatakan dampak yang terjadi setelah kejadian tersebut.

  Dampak kekerasan seksual baik terhadap korban yaitu remaja yang mengalami kekerasan seksual dapat berupa secara luka fisik yang diterima oleh si korban seperti contoh luka robekan atau memar bekas pukulan atau tamparan karna faktor pemaksaan yang dilakukan sebelum melakukan tindak keinginan seksualitasnya yang disebut juga secara seksual, secara emosi dan spiritual. Dampak secara psikologis dan sosialnya adalah bagaimana ia dapat beradaptasi lagi dengan lingkunganya (Yantzi, 2009).

  Sebuah penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui dampak kekerasan seksual pada korban itu sendiri. Dampak kekerasan seksual pada remaja dapat berupa fisik, psikologis, maupun sosial. Dampak secara fisik dapat berupa luka atau robek pada selaput dara. Dampak psikologis meliputi trauma mental, ketakutan, malu, kecemasan bahkan keinginan atau percobaan bunuh diri.

  Dampak social misalnya perlakuan sinis dari masyarakat di sekelilingnya, ketakutan terlibat dalam pergaulan dan sebagainya (Orange & Brodwin, 2005)

  Dampak kekerasan seksual terhadap anak diantaranya adanya perasaan bersalah dan menyalahkan diri sendiri, bayangan kejadian dimana anak menerima kekerasan seksual, mimpi buruk, insomnia, takut hal yang berhubungan dengan penyalahgunaan (termasuk benda, bau, tempat, kunjungan dokter, dll), masalah harga diri, disfungsi seksual, sakit kronis, kecanduan, keinginan bunuh diri cedera, bunuh diri, keluhan somatik, depresi. Selain itu muncul gangguan- gangguan psikologis seperti pasca- trauma stress disorder, kecemasan, jiwa penyakit lain (termasuk gangguan kepribadian dan gangguan identitas disosiatif, kecenderungan untuk reviktimisasi di masa dewasa, bulimia nervosa, cedera fisik kepada anak) (Maslihah, 2013).

  3. Dampak kekerasan seksual pada keluarga.

  Penelitian ini juga menemukan hasil yang sama. Keempat informan menyatakan bahwa terdapat dampak dari kekerasan seksual tersebut yang dialami oleh si korban itu sendiri. Dampak kekerasan seksual itu seperti si korban suka melamun dalam satu hal atau kegiatan yang sedang dilakukan saat kesehariannya. Yang menyangkut pada gangguan secara psikologisnya yang menyelimuti dalam pikiran atau bayang-bayang yang pernah dialaminya.

  Hasil wawancara dengan key

  informan didapatkan bahwa memang rata-rata korban yang mengalami kekerasan seksual itu mendapatkan dampak dari sesuatu hal yang pernah dialami di masa lalunya. Adapun dampak yang dialaminya baik secara fisik maupun psikososial dengan memikirkan bagaimana cara bersosialisasi kembali dengan orang- orang yang ada di sekitar lingkungan si korban atau lain hal dan sebagainya.

  Dampak kekerasan seksual pada keluarga disini dimaksudkan adalah sebab akibat dari masa lalunya yang anggota keluarganya yaitu anak remajanya mengalami kekerasan seksual. Keluarga disini dapat berupa orang tua, kakak, adik, maupun keluarga besar. Dan terdapat

  4

  informan yang memiliki dampak dari

  kejadian anggota keluarganya yaitu anak remajanya sebagai korban yang mengalami kekerasan seksual.

  Sebuah penelitian mencari tahu tentang dampaknya itu sendiri terhadap keluarga si korban. Hasil yang didapat yaitu dampak lain pada keluarga juga dapat berupa bagaimana hubungan seorang ibu dengan anak remaja yang mengalami kekerasan seksual, namun untuk beberapa orang tua dan anak- anak mereka mengungkapan kekerasan dapat menyebabkan hubungan yang lebih kuat atau lebih dekat. Namun, hal itu dapat menyebabkan peningkatan ketidak percayaan dan kesulitan. Sebagai contoh banyak ibu-ibu dari anak perempuan yang telah mengalami pelecehan seksual oleh ayah mereka berjuang dengan berbagai konflik emosi. Meskipun seringkali sulit untuk mendiskusikan hal tersebut antar orangtua remaja tersebut ( Departement of human

  service, 2013 ).

  Pemikiran dan mitos-mitos mengenai perkosaan menjadi stressor tersendiri bagi keluarga korban. Ketakutan dan rasa malu keluarga korban mengenai penerimaan dari masyarakat menjadi salah satu beban bagi keluarga korban. Ketakutan ini meliputi penerimaan dari masyarakat sekitar, penerimaan dari pihak sekolah, serta hubungan keluarga korban dengan teman laki-laki korban secara umum maupun secara khusus. Reaksi dari masyarakat dirasakan oleh keluarga korban pada saat ia sudah kembali ke rumahnya. Keluarga korban merasa malu untuk bertemu dengan tetangganya. Bahkan korban juga merasa malu untuk keluar rumah selama kurang lebih dua bulan (Ekandari, 2001).

  Peneliti juga menemukan bahwa 4

  informan mengatakan bahwa terdapat

  dampak pada keluarga yang mengalami kekerasan seksual. Para informan mengatakan bahwa dampaknya malu karena hal yang dialami salah satu anggota keluarganya merupakan aib keluarga. Orang tua merasa jika anak remajanya yang telah mengalami kekerasan seksual tidak akan memiliki masa depan yang cerah.

  Key informan mengatakan bahwa

  kekerasan seksual yang dialami anggota keluarganya yaitu anak remajanya sangat memiliki dampak pada keluarga itu sendiri. Mereka beranggapan bahwa hal tersebut adalah aib keluarga, sehingga mereka biasanya enggan untuk melaporkan hal tersebut ke pihak berwajib ataupun lembaga- lembaga anak.

4. Peran Keluarga

  Peran keluarga salah satunya peran dari ibu sebagai istri dari suami dan ibu dari anak-anak. Ibu memiliki peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh, pendidik bagi anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, dilain sisi ibu juga dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya (Kartikasari, 2013).

  Informan mengungkapkan peran keluarga dalam mengurus rumah tangga, mendidik, mengasuh, melindungi. Berdasarkan hasil penelitian ini informan menguraikan peran keluarga terutama ibu dalam mendidik, mengasuh menamni bermain pada anak remajanya mengalami kekerasan seksual.

  Hal ini bisa dipahami karena peran keluarga sangat penting diberikan kepada anak remaja yang mengalami kekerasan seksual. Peran keluarga menjadi tema ke empat yang menjawab penelitian ini.

  Peran keluarga disini dijelaskan sebagai dukungan dari keluarga itu sendiri terhadap remaja yang mengalami kekerasan seksual. Terdapat 4 informan yang mengatakan bahwa mereka melakukan peran keluarga sebagaimana mestinya.

  Sebuah penelitian dilakukan untuk mengetahui peran keluarga terhadap remaja yang mengalami kekerasan seksual pada korban itu sendiri. Peran keluarga salah satunya peran dari ibu sebagai

  istri dari suami dan ibu dari anak-anak. Ibu memiliki peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh, pendidik bagi anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, dilain sisi ibu juga dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya (Kartikasari, 2013).

  Keluarga memiliki peluang yang banyak untuk dapat mendampingi korban melewati masa-masa ‘kritis’ akibat perkosaan yang dialaminya. Mereka dapat memberikan dukungan dengan memberikan rasa aman kepada korban, menerima keadaan korban apa adanya, tidak menyalahkan korban atas apa yang telah terjadi padanya, bersikap tulus dalam berhubungan dengan korban baik secara verbal maupun nonverbal (Ekandari dkk, 2001).

  Hasil penelitian ini ditemukan terdapat 4 informan yang menyatakan bahwa mereka berperan dalam mendukung anak remajanya yang mengalami kekerasan seksual tersebut. Seperti mengasuh remaja juga menemani remajanya jika ingin bermain di rumah saja.

  Key informan mengatakan tidak

  terlalu tahu tentang peran keluarga yang didapatkan oleh remaja. Key

  informan mengungkapkan bahwa peran

  keluarga sangat penting. Peran keluarga dapat membangun pada aspek psikologis remajanya, dalam meningkatkan kepercayaan dirinya seperti menemani dalam setiap aktivitas remaja tersebut, bila dibutuhkan oleh remaja tersebut.

5. Fungsi Keluarga dalam perawatan kesehatan.

  Fungsi dari keluarga memberi dukungan dari berbagai pihak keluarga sangat dibutuhkan oleh korban dalam menghadapi masalah yang dialaminya. Dukungan dari pihak keluarga sebagai salah satu pihak yang dekat dengan korban sangat besar artinya dalam mendukung proses recovery korban (Ekandari dkk, 2001).

  Informan mengungkapkan fungsi keluarga yang diberikan pada remaja yang mengalami kekerasan seksual berupa dukungan secara psikologis, mengasuh, memberi dukungan, memberi perawatan kesehatan. Berdasarkan hasil penelitian ini informan menguraikan fungsi keluarga dengan memberi dukungan terhadap anak remajanya mengalami kekerasan seksual.

  Hal ini bisa dipahami karena fungsi keluarga sangat penting diberikan kepada anak remaja yang mengalami kekerasan seksual. Fungsi keluarga dalam perawatan kesehatan menjadi tema ke lima yang menjawab penelitian ini.

  Fungsi keluarga merupakan hasil dari struktur keluargan yang memiliki fungsi untuk mendukung remaja yang mengalami kekerasan seksual. Keempat informan memiliki fungsi keluarga yang juga dilakukan baik fungsi keluarga secara afektif maupun perawatan kesehatan.

  Sebuah penelitian dilakukan untuk mengetahui tentang fungsi keluarga pada remaja yang mengalami kekerasan seksual . Hasilnya adalah dukungan dari berbagai pihak keluarga sangat dibutuhkan oleh korban dalam menghadapi masalah yang dialaminya. Dukungan dari pihak keluarga sebagai salah satu pihak yang dekat dengan korban sangat besar artinya dalam mendukung proses recovery korban. Kedekatan secara fisik memiliki arti yang penting dalam proses penyembuhan korban. Perasaan aman dan tidak sendiri dalam menghadapi masalah yang dialaminya membuat korban merasa tenang. Perasaan ini muncul karena korban merasa memiliki tempat bergantung dan keluarga yang dapat diandalkan dalam menghadapi masalahnya.

  Kesediaan keluarga korban untuk membantu korban sepenuhnya membuat korban bangkit kembali. Meskipun ada keluarga yang mengalami kesulitan secara ekonomi akan tetapi mereka tetap mengusahakan biaya untuk pengobatan korban dan penyelesaian perkara kekerasan seksual tersebut (Ekandari dkk, 2001).

  Hasil penelitian ini ditemukan bahwa 3 informan menyatakan memiliki fungsi keluarga secara afektif seperti pemenuhan dalam kebutuhan secara psikososial, saling mengasuh dan memberikan cintakasih, serta saling menerima dan mendukung. Satu informan menyatakan fungsi keluarga secara perawatan kesehatan, untuk merawat anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan.

  Key informan mengatakan bahwa fungsi keluarga sangatlah penting terutama dalam dukungan secara fisik yang akan selalu ada menemani remaja yang mengalami kekerasan seksual.

  Secara psikologis anak juga didukung sebagai contoh membawa anak ke Lembaga Perlindungan Anak untuk dibawa ke psikolog yang bekerjasama dengan LPA ini dan bila memiliki luka secara fisik, fungsi dari keluarga juga mendukung dalam penyembuhannya seperti membawa ke rumah sakit terdekat.

  SIMPULAN

  Kekerasan/pelecehan seksual terhadap perempuan, Lex Societatis, Vol I Apr- Jun 2013 diperoleh 19 november 2014

  M.Farid Irsyadul, 2012, Dinamika

  2014

  dengan kejadian kekerasan pada anak di diperoleh 19 november

  Metti & Eky, 2013, Korelasi pola asuh

  dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, hlm.1. diperoleh, 19 november 2014

  Dalam Rancangan KUHP , ELSAM

  Eddyono, 2007, Perlindungan Anak

  Universitas Pendidikan Indonesia, diperoleh 22 Juni 2015 Melly Setyawati dan Supriyadi Widodo

  Therapy dalam identifikasi kasus kekerasan seksual terhadap anak.

  Maslihah, Sri. (2013). Jurnal Play

  diperoleh 8 Juni 2015 Marcheyla Sumera (2012), Perbuatan

  Berdasarkan hasil penelitian dan analisa data yang telah dilakukan oleh peneliti, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: Pengalaman keluarga dalam merawat remaja yang mengalami kekerasan seksual di LPA Jawa Barat terangkum dalam keempat informan dan ditemukan lima tema dari pernyataan tersebut, yaitu perasaan keluarga remaja mengalami kekerasan seksual, dampak psikologis remaja yang mengalami kekerasan seksual, dampak kekerasan seksual pada keluarga, peran keluarga dan fungsi keluarga dalam perawatan kesehatan.

  Yuridis tentang Urgensi Perlindungan Hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana pemerkosaan. Malang

  (Jurnal) diperoleh 19 november 2014 Kartika, Vina. (2013). Jurnal Tinjauan

  Pengetahuan Tentang pacaran dengan perilaku seks pranikah pada remaja kelas X di UPTD SMA Negri 1 Gurah Kabupaten Kediri

  Mada, diperoleh 22 Juni 2015 Indah,Yuli, Dian, (2013), Hubungan

  Ekandari, dkk. (2001).Jurnal Psikologi Perkosaan, dampak, dan alternatif penyembuhannya. Universitas Gajah

  PenelitianKeperawatan (Pedoman Melaksanakan & Menerapkan Hasil Penelitian)

  Diperoleh 19 november 2014 Dharma, Kelana. (2014). Metodologi

  kesadaran akan kerentanan diri dan mekanisme coping pada perempuan pekerja malam di tempat hiburan karaoke wilayah Jakarta barat.

  Astuti Rina, (2011), (jurnal)Hubungan

  Peneliti menyarankan bagi Lembaga Perlindungan Anak Jawa Barat, untuk keluarga yang sudah dalam proses pemulihan, agar bisa tetap dilakukan pertemuan berkala dalam proses penyembuhan atau pemulihannya. Peneliti menyarankan untuk meneliti lebih lanjut mengenai pengalaman anak yang mengalami kekerasan seksual. Peneliti menyarankan untuk meneliti pada korban yang kejadiannya baru dalam jangka waktu dekat, agar mendapat respon non verbal secara nyata.

  SARAN

DAFTAR PUSTAKA

  Penerapan Moral di kalangan remaja, Jawa timur,

  Pawestri & Setyowati, (2012),

  Gambaran Perilaku seksual pranikah pada mahasiswa pelaku seks pranikah di Universitas X Semarang , jurnal Semarang

  diperoleh 19 november 2014 Potter and Perry. (2009). Buku Ajar

  Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, Dan Praktik.Edisi 4.Volume

  1.Alih Bahasa : Yasmin Asih, dkk. Jakarta : EGC

  Prakuso, Bambang. (2006). Kasus

  Kesehatan Seks: Hukum atau

  Antar Kota: Universitas Keadilan?. Michigan, diperoleh 8 Juni 2015

  Prof.Dr.Moleong. Lexy. MA, (2010), Metode Penelitian Kualitatif ,

  Bandung, Rosada Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo (2010), Metode

  Penelitian Kesehatan, Jakarta:

  Rineka Cipta Pujiastuti, Ani. (2013).Gejala Perasaan. [online] available from Universitas Unindra PGRI, diperoleh 22 Juni 2015

  Rizal Haryanto & Ketut Suarayasa, (2013), Perilaku Seksual Pranikah

  pada siswa SMA Negri 1 Palu

  diperoleh 19 november 2014 Soetjiningsih, (2007). Tumbuh Kembang

  Remaja dan m Permasalahannya. CV Agung Seto. Jakarta.

  Sugiyono,Prof.Dr.(2012), Metode

  Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: alfabeta

  Yantzi, Mark. (2009). Kekerasan

  Seksual & Pemulihan. Jakarta: BPK

  Gunung Mulia, diperoleh 8 Juni 2015