2.1 KONSEP PERENCANAAN BIDANG CIPTA KARYA - DOCRPIJM 7e747d8ea3 BAB IIBAB 2 KONSEP PERENCANAAN BIDANG CIPTA KARYA FIX

BAB 2 KONSEP PERENCANAAN BIDANG CIPTA KARYA

2.1 KONSEP PERENCANAAN BIDANG CIPTA KARYA

  Dalam rangka mewujudkan kawasan permukiman yang layak huni dan berkelanjutan, konsep perencanaan pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya disusun dengan berlandaskan pada berbagai peraturan perundangan dan amanat perencanaan pembangunan. Untuk mewujudkan keterpaduan pembangunan permukiman, Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota perlu memahami arahan kebijakan tersebut, sebagai dasar perencanaan, pemrograman, dan pembiayaan pembangunan Bidang Cipta Karya.

Gambar 2.1 memaparkan konsep perencanaan pembangunan infrastruktur Bidang Cipta

  Karya, yang membagi amanat pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya dalam 4 (empat) bagian, yaitu amanat penataan ruang/spasial, amanat pembangunan nasional dan direktif presiden, amanat pembangunan Bidang Pekerjaan Umum, serta amanat internasional.

  Dalam pelaksanaannya, pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya dihadapkan pada beberapa isu strategis, antara lain bencana alam, perubahan iklim, kemiskinan, reformasi birokrasi, kepadatan penduduk perkotaan, pengarusutamaan gender, serta green economy. Di samping isu umum, terdapat juga permasalahan dan potensi pada masing-masing daerah, sehingga dukungan seluruh stakeholders pada penyusunan RPI2-JM Bidang Cipta Karya sangat diperlukan.

Gambar 2.1 Langkah Penyusunan RPI2-JM Bidang Cipta Karya Konsep Perencanaan Pembangunan Infrastruktur Bidang Cipta Karya

  

Sumber: Direktorat Bina Program, 2014

2.2 AMANAT PEMBANGUNAN NASIONAL TERKAIT BIDANG CIPTA KARYA

  Infrastruktur permukiman memiliki fungsi strategis dalam pembangunan nasional karena turut berperan serta dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi angka kemiskinan, maupun menjaga kelestarian lingkungan. Oleh sebab itu, Ditjen Cipta Karya berperan penting dalam implementasi amanat kebijakan pembangunan nasional.

2.2.1 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025

  RPJPN 2005-2025 yang ditetapkan melalui UU No. 17 Tahun 2007, merupakan dokumen perencanaan pembangunan jangka panjang sebagai arah dan prioritas pembangunan secara menyeluruh yang akan dilakukan secara bertahap dalam jangka waktu 2005-2025. Dalam dokumen tersebut, ditetapkan bahwa Visi Indonesia pada tahun 2025 adalah “Indonesia yang Mandiri, Maju,

  

Adil dan Makmur”. Dalam penjabarannya RPJPN mengamanatkan beberapa hal sebagai berikut

  dalam pembangunan bidang Cipta Karya, yaitu: a. Dalam mewujudkan Indonesia yang berdaya saing maka pembangunan dan penyediaan air minum dan sanitasi diarahkan untuk mewujudkan terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat serta kebutuhan sektor-sektor terkait lainnya, seperti industri, perdagangan, transportasi, pariwisata, dan jasa sebagai upaya mendorong pertumbuhan ekonomi. Pemenuhan kebutuhan tersebut dilakukan melalui pendekatan tanggap kebutuhan (demand responsive approach) dan pendekatan terpadu dengan sektor sumber daya alam dan lingkungan hidup, sumber daya air, serta kesehatan.

  b. Dalam mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan maka Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat yang berupa air minum dan sanitasi diarahkan pada (1) peningkatan kualitas pengelolaan aset (asset management) dalam penyediaan air minum dan sanitasi, (2) pemenuhan kebutuhan minimal air minum dan sanitasi dasar bagi masyarakat, (3) penyelenggaraan pelayanan air minum dan sanitasi yang kredibel dan profesional, dan (4) penyediaan sumber-sumber pembiayaan murah dalam pelayanan air minum dan sanitasi bagi masyarakat miskin.

  c. Salah satu sasaran dalam mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan adalah terpenuhinya kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana pendukungnya bagi seluruh masyarakat untuk mewujudkan kota tanpa permukiman kumuh. Peran pemerintah akan lebih difokuskan pada perumusan kebijakan pembangunan sarana dan prasarana, sementara peran swasta dalam penyediaan sarana dan prasarana akan makin ditingkatkan terutama untuk proyek-proyek yang bersifat komersial.

  d. Upaya perwujudan kota tanpa permukiman kumuh dilakukan pada setiap tahapan RPJMN, yaitu: RPJMN ke 2 (2010-2014) : Daya saing perekonomian ditingkatkan melalui percepatan

   pembangunan infrastruktur dengan lebih meningkatkan kerjasama antara pemerintah dan dunia usaha dalam pengembangan perumahan dan permukiman.

  RPJMN ke 3 (2015-2019) : Pemenuhan kebutuhan hunian bagi seluruh masyarakat terus  meningkat karena didukung oleh sistem pembiayaan perumahan jangka panjang dan berkelanjutan, efisien, dan akuntabel. Kondisi itu semakin mendorong terwujudnya kota tanpa permukiman kumuh. RPJMN ke 4 (2020-2024) : terpenuhinya kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan

   prasarana dan sarana pendukung sehingga terwujud kota tanpa permukiman kumuh.

2.2.2 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014

  RPJMN 2010-2014 yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2010 menyebutkan bahwa infrastruktur merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan sosial yang berkeadilan dengan mendorong partisipasi masyarakat Dalam rangka pemenuhan hak dasar untuk tempat tinggal dan lingkungan yang layak sesuai dengan UUD 1945 Pasal 28H, pemerintah memfasilitasi penyediaan perumahan bagi masyarakat berpendapatan rendah serta memberikan dukungan penyediaan prasarana dan sarana dasar permukiman, seperti air minum, air limbah, persampahan dan drainase.

  Dokumen RPJMN juga menetapkan sasaran pembangunan infrastruktur permukiman pada periode 2010-2014, yaitu: a. Tersedianya akses air minum bagi 70 % penduduk pada akhir tahun 2014, dengan perincian akses air minum perpipaan 32 persen dan akses air minum non-perpipaan terlindungi 38 %.

  b. Terwujudnya kondisi Stop Buang Air Besar Sembarangan (BABS) hingga akhir tahun 2014, yang ditandai dengan tersedianya akses terhadap sistem pengelolaan air limbah terpusat

  (off-site) bagi 10% total penduduk, baik melalui sistem pengelolaan air limbah terpusat skala

  kota sebesar 5% maupun sistem pengelolaan air limbah terpusat skala komunal sebesar 5 % serta penyediaan akses dan peningkatan kualitas sistem pengelolaan air limbah setempat

  (on-site) yang layak bagi 90 % total penduduk.

  c. Tersedianya akses terhadap pengelolaan sampah bagi 80 % rumah tangga di daerah perkotaan.

  d. Menurunnya luas genangan sebesar 22.500 Ha di 100 kawasan strategis perkotaan.

  Untuk mencapai sasaran tersebut maka kebijakan pembangunan diarahkan untuk meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap layanan air minum dan sanitasi yang memadai, melalui:

  a. Menyediakan perangkat peraturan di tingkat Pusat dan/atau Daerah,

  b. Memastikan ketersediaan air baku air minum,

  c. Meningkatkan prioritas pembangunan prasarana dan sarana permukiman,

  d. Meningkatkan kinerja manajemen penyelenggaraan air minum, penanganan air limbah, dan pengelolaan persampahan, e. Meningkatkan sistem perencanaan pembangunan air minum dan sanitasi,

  f. Meningkatkan cakupan pelayanan prasarana permukiman, g. Meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS),

  h. Mengembangkan alternatif sumber pendanaan bagi pembangunan infrastruktur, i. Meningkatkan keterlibatan masyarakat dan swasta, j. Mengurangi volume air limpasan, melalui penyediaan bidang resapan.

2.2.3 Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)

  Dalam rangka transformasi ekonomi menuju negara maju dengan pertumbuhan ekonomi 7-9 persen per tahun, Pemerintah menyusun MP3EI yang ditetapkan melalui Perpres No. 32 Tahun

  

2011. Dalam dokumen tersebut pembangunan setiap koridor ekonomi dilakukan sesuai tema

pembangunan masing-masing dengan prioritas pada kawasan perhatian investasi (KPI MP3EI).

  Ditjen Cipta Karya diharapkan dapat mendukung penyediaan infrastruktur permukiman pada KPI Prioritas untuk menunjang kegiatan ekonomi di kawasan tersebut. Kawasan Perhatian Investasi atau KPI dalam MP3EI adalah adalah satu atau lebih kegiatan ekonomi atau sentra produksi yang terikat atau terhubung dengan satu atau lebih faktor konektivitas dan SDM IPTEK. Pendekatan KPI dilakukan untuk mempermudah identifikasi, pemantauan, dan evaluasi atas kegiatan ekonomi atau sentra produksi yang terikat dengan faktor konektivitas dan SDM IPTEK yang sama.

  MP3EI dapat menjadi acuan bagi badan usaha dalam menanamkan modal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Koordinasi pelaksanaan MP3EI dilakukan oleh Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025, yang selanjutnya disebut KP3EI. KP3EI mempunyai tugas: a. Melakukan koordinasi perencanaan dan pelaksanaan MP3EI

  b. Melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan MP3EI c. Menetapkan langkah-langkah dan kebijakan dalam rangka penyelesaian permasalahan dan hambatan pelaksanaan MP3EI MP3EI digagas untuk mempercepat dan memperluas pembangunan ekonomi melalui pengembangan 8 program utama, yang terdiri atas pertanian, pertambangan, energi, industri, kelautan, pariwisata, dan telematika, serta pengembangan kawasan strategis. Kedelapan program tersebut dibagi lagi ke dalam 22 kegiatan ekonomi utama (lihat gambar 2.2).

Gambar 2.2 Kegiatan Ekonomi Utama

  

Sumber: MP3KI Bappenas dan MP3EI Kemenkeu 2011

  Sedangkan strategi pengembangan 22 kegiatan ekonomi tersebut adalah mengintegrasikan tiga elemen utama, meliputi:

  1. Pengembangan potensi ekonomi wilayah di 6 Koridor Ekonomi Indonesia, yaitu: Koridor Ekonomi Sumatera, Koridor Ekonomi Jawa, Koridor Ekonomi Kalimantan, Koridor Ekonomi Sulawesi, Koridor Ekonomi Bali–Nusa Tenggara, dan Koridor Ekonomi Papua–Kepulauan Maluku

  2. Memperkuat konektivitas nasional yang terintegrasi secara lokal dan terhubung secara global (locally integrated, globally connected)

  3. Memperkuat kemampuan SDM dan IPTEK nasional untuk mendukung pengembangan program utama di setiap koridor ekonomi

  Dengan demikian pertumbuhan ekonomi akan makin terarah karena digenjot pada 8 program utama berbasis potensi nasional (yang terdiri dari 22 kegiatan ekonomi) dan berlangsung lintas wilayah di 6 koridor, terkoneksi, dan terintegrasi. Pada gilirannya strategi tersebut diharapkan menunjang penguatan kapasitas SDM dan penguasaannya terhadap pengembangan IPTEK.

  Adapun lokasi Kawasan Perhatian Investasi (KPI) Koridor Jawa yang ada di provinsi Jawa Timur adalah sebagai berikut

  Koridor KPI Koridor Ekonomi (KE) Jawa Banten

  DKI Jakarta Karawang Bekasi Purwakarta Cilacap Surabaya Gresik Lamongan Pasuruan

Gambar 2.3 Tema Pembangunan Masing-Masing Koridor Ekonomi

  

Sumber: MP3KI Bappenas dan MP3EI Kemenkeu 2011

2.2.4 Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengentasan Kemiskinan Indonesia

  Sesuai dengan agenda RPJMN 2010-2014, pertumbuhan ekonomi perlu diimbangi dengan upaya pembangunan yang inklusif dan berkeadilan. Untuk itu, telah ditetapkan MP3KI dimana semua upaya penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk mempercepat laju penurunan angka kemiskinan dan memperluas jangkauan penurunan tingkat kemiskinan di semua daerah dan di semua kelompok masyarakat. Dalam mencapai misi penanggulangan kemiskinan pada tahun 2025, MP3KI bertumpu pada sinergi dari tiga strategi utama, yaitu:

  a. Mewujudkan sistem perlindungan sosial nasional yang menyeluruh, terintegrasi,dan mampu melindungi masyarakat dari kerentanan dan goncangan b. Meningkatkan pelayanan dasar bagi penduduk miskin dan rentan sehingga dapat terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia di masa mendatang

  c. Mengembangkan penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood) masyarakat miskin dan rentan melalui berbagai kebijakan dan dukungan di tingkat lokal dan regional dengan memperhatikan aspek

  Kementerian Pekerjaan Umum, khususnya Ditjen Cipta Karya, berperan penting dalam pelaksanaan MP3KI, terutama terkait dengan pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat (PNPMPerkotaan/P2KP, PPIP, Pamsimas, Sanimas dsb) serta Program Pro Rakyat.

  MP3KI adalah affirmative action, sehingga pembangunan ekonomi yang terwujud tidak hanya Pro-growth, tetapi juga Pro-Poor, Pro-job dan Pro-environment; termasuk penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat miskin.

  Substansi yang melatarbelakangi perluasan pengurangan kemiskinan melalui MP3KI dapat dirangkum dalam 9 alasan, yaitu:

  1. Pertumbuhan penduduk yang besar (bisa jadi potensi, bisa juga jadi tantangan).

  2. Lahan usaha petani dan nelayan makin terbatas.

  3. Peluang dan pengembangan usaha si miskin amat terbatas.

  4. Urbanisasi memperparah kemiskinan perkotaan (slum and squatter).

  5. Rendahnya kualitas SDM usia muda.

  6. Rendahnya penyerapan kerja sector industri.

  7. Masih banyak daerah terisolir dengan akses pelayanan dasar yang rendah.

  8. Belum tersedianya jaminan sosial yang komprehensif.

  9. Masih terjadi marjinalisasi penduduk miskin, cacat, illegal, berpenyakit kronis, dan sebagainya.

Gambar 2.4 Kerangka Desain MP3KI

  

Sumber: MP3KI Bappenas dan MP3EI Kemenkeu 2011

  Tahapan Pelaksanaan MP3KI Periode 2013-2014:

   Percepatan pengurangan kemiskinan untuk mencapai target 8% - 10% pada tahun 2014

   Perbaikan pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan

   Pada kantong-kantong kemiskinan, sinergi lokasi dan waktu, serta perbaikan sasaran (seperti : Program Gerbang Kampung di Menko Kesra)

   Sustainable livelihood penguatan kegiatan usaha masyarakat miskin, termasuk membangun keterkaitan dengan MP3EI  Terbentuknya BPJS kesehatan pada tahun 2014 Periode 2015 – 2019:  Transformasi program-program pengurangan kemiskinan

   Peningkatan cakupan, terutama untuk Sistem Jaminan Sosial menuju universal coverage  Terbentuknya BPJS Tenaga Kerja 

  Penguatan sustainable livelihood Periode 2020-2025:

   Pemantapan sistem penanggulangan kemiskinan secara terpadu

   Sistem jaminan sosial mencapai universal coverage

Gambar 2.5 Skenario Tahapan Pelaksanaan MP3KI

  

Sumber: MP3KI Bappenas dan MP3EI Kemenkeu 2011

Gambar 2.6 Kolaborasi MP3EI dengan MP3KI Kawasan Ekonomi Khusus

  

Sumber: MP3KI Bappenas dan MP3EI Kemenkeu 2011 Dalam Undang-undang No. 39 Tahun 2009 menjelaskan bahwa Kawasan Ekonomi Khusus adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. KEK dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan geoekonomi dan geostrategi dan berfungsi untuk menampung kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing internasional. Di samping zona ekonomi, KEK juga dilengkapi zona fasilitas pendukung dan perumahan bagi pekerja. Ditjen Cipta Karya dalam hal ini diharapkan dapat mendukung infrastruktur permukiman pada kawasan tersebut sehingga menunjang kegiatan ekonomi di KEK.

  KEK merupakan kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. Fungsi KEK adalah untuk melakukan dan mengembangkan usaha di bidang perdagangan, jasa, industri, pertambangan dan energi, transportasi, maritim dan perikanan, pos dan telekomunikasi, pariwisata, dan bidang lain. Sesuai dengan hal tersebut, KEK terdiri atas satu atau beberapa Zona, antara lain Zona pengolahan ekspor, logistik, industri, pengembangan teknologi, pariwisata, dan energi yang kegiatannya dapat ditujukan untuk ekspor dan untuk dalam negeri.

  Kriteria yang harus dipenuhi agar suatu daerah dapat ditetapkan sebagai KEK adalah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah, tidak berpotensi mengganggu kawasan lindung, adanya dukungan dari pemerintah provinsi/kabupaten/kota dalam pengelolaan KEK, terletak pada posisi yang strategis atau mempunyai potensi sumber daya unggulan di bidang kelautan dan perikanan, perkebunan, pertambangan, dan pariwisata, serta mempunyai batas yang jelas, baik batas alam maupun batas buatan.

  Untuk menyelenggarakan KEK, dibentuk lembaga penyelenggara KEK yang terdiri atas Dewan Nasional di tingkat pusat dan Dewan Kawasan di tingkat provinsi. Dewan Kawasan membentuk Administrator KEK di setiap KEK untuk melaksanakan pelayanan, pengawasan, dan pengendalian operasionalisasi KEK. Kegiatan usaha di KEK dilakukan oleh Badan Usaha dan Pelaku Usaha.

  Fasilitas yang diberikan pada KEK ditujukan untuk meningkatkan daya saing agar lebih diminati oleh penanam modal. Fasilitas tersebut terdiri atas fasilitas fiskal, yang berupa perpajakan, kepabeanan dan cukai, pajak daerah dan retribusi daerah, dan fasilitas nonfiskal, yang berupa fasilitas pertanahan, perizinan, keimigrasian, investasi, dan ketenagakerjaan, serta fasilitas dan kemudahan lain yang dapat diberikan pada Zona di dalam KEK, yang akan diatur oleh instansi berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  Dalam hal pengawasan, ketentuan larangan tetap diberlakukan di KEK, seperti halnya daerah lain di Indonesia. Namun, untuk ketentuan pembatasan, diberikan kemudahan dalam sistem dan prosedur yang ditetapkan oleh Pemerintah dengan tetap mengutamakan pengawasan terhadap kemungkinan penyalahgunaan atau pemanfaatan KEK sebagai tempat melakukan tindak pidana ekonomi.

  Dengan berlakunya Undang-Undang ini, diharapkan terdapat satu kesatuan pengaturan mengenai kawasan khusus di bidang ekonomi yang ada di Indonesia dengan memberi kesempatan kepada Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang dibentuk berdasarkan Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4053) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 44 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang Menjadi Undang- Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4775) untuk diusulkan menjadi KEK, baik dalam jangka waktu maupun setelah berakhirnya jangka waktu yang telah ditetapkan. Dengan berlakunya Undang- Undang ini, tidak terjadi lagi pembentukan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.

2.2.5 Direktif Presiden Program Pembangunan Berkeadilan

  Dalam Inpres No. 3 Tahun 2010, Presiden RI mengarahkan seluruh Kementerian, Gubernur, Walikota/Bupati, untuk menjalankan program pembangunan berkeadilan yang meliputi Program pro rakyat, Keadilan untuk semua, dan Program Pencapaian MDGs. Ditjen Cipta Karya memiliki peranan penting dalam pelaksanaan Program Pro Rakyat terutama program air bersih untuk rakyat dan program peningkatan kehidupan masyarakat perkotaan. Sedangkan dalam pencapaian MDGs, Ditjen Cipta Karya berperan dalam peningkatan akses pelayanan air minum dan sanitasi yang layak serta pengurangan permukiman kumuh.

  1. Program pro rakyat, memfokuskan pada:

   Program penurunan angka kematian anak  Program kesehatan ibu

  Terbangunnya sarana dan prasarana air baku

  Meningkatnya kapasitas dan layanan air baku untuk penyediaan air

  pengelolaan sumber daya air Penyediaan dan pengelolaan air baku

Tabel 2.1 Rencana Tindak Upaya Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium No. Program Tindakan Sasaran Keluaran

   Program pendukung percepatan pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Dari ketiga program pembangunan tersebut, program pembangunan di bidang Cipta Karya tertuang didalam program pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium. Adapun program-program pembangunan bidang Cipta Karya yang tertuang didalam Rencana tindak upaya pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium dapat dilihat pada tabel berikut:

   Program pengendalian HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya  Program penjaminan kelestarian lingkungan hidup

   Program pencapaian pendidikan dasar untuk semua  Program pencapaian kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan

   Program penanggulangan kemiskinan berbasis keluarga  Program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat

  3. Program pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs), memfokuskan pada:  Program pemberantasan kemiskinan dan kelaparan

   Program keadilan di bidang reformasi hukum dan peradilan  Program keadilan bagi kelompok miskin dan terpinggirkan

   Program keadilan di bidang ketenagakerjaan  Program keadilan di bidang bantuan hukum

   Program keadilan bagi anak  Program keadilan bagi perempuan

  2. Program keadilan untuk semua, memfokuskan pada:

   Program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha mikro dan kecil

1. Program

  No. Program Tindakan Sasaran Keluaran

  minum

  2. Program

  1. Pengaturan, Meningkatnya

  1. Terfasilitasinya pembinaan dan pembinaan, pelayanan air kawasan perkotaan pengembangan pengawasan, minum terhadap yang terlayani air infrastruktur pengembangan sumber MBR di minum permukiman pembiayaan dan pola perkotaan dan

  2. Terfasilitasinya investasi, serta perdesaan kawasan perkotaan pengembangan sistem yang terlayani air penyediaan air minum minum

  2. Pengaturan, Meningkatnya

  1. Terlayaninya pembinaan, pelayanan kawasan dengan pengawasan, infrastruktur air infrastruktur air pengembangan sumber limbah limbah melalui sistem pembiayaan dan pola off-site investasi, serta

  2. Terlayaninya pengembangan kawasan dengan infrastruktur sanitasi dan infrastruktur air persampahan limbah melalui sistem on-site

  3. Peningkatan Peningkatan akses Meningkatnya

  1. Jumlah desa yang akses penduduk sanitasi dasar yang layak akses penduduk melaksanakan terhadap sanitasi terhadap sanitasi Sanitasi Total dasar yang layak dasar Berbasis Masyarakat

  2. Jumlah desa yang melaksanakan Community led total sanitation

  • *) keluaran dapat disesuaikan berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan secara berkala

2.3 PERATURAN PERUNDANGAN BIDANG PU/CIPTA KARYA

  Ditjen Cipta Karya dalam melakukan tugas dan fungsinya selalu dilandasi peraturan perundangan yang terkait dengan bidang Cipta Karya, antara lain UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, UU No. 7 tahun 2008 tentang Sumber Daya Air, dan UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Persampahan.

2.3.1 UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman

  UU Perumahan dan Kawasan Permukiman membagi tugas dan kewenangan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Pemerintah Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan permukiman mempunyai tugas: a. Menyusun dan melaksanakan kebijakan dan strategi pada tingkat kabupaten/kota di bidang perumahan dan kawasan permukiman dengan berpedoman pada kebijakan dan strategi nasional dan provinsi.

  b. Menyusun dan rencana pembangunan dan pengembangan perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.

  c. Menyelenggarakan fungsi operasionalisasi dan koordinasi terhadap pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota dalam penyediaan rumah, perumahan, permukiman, lingkungan hunian, dan kawasan permukiman.

  d. Melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan peraturan perundang- undangan, kebijakan, strategi, serta program di bidang perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.

  e. Melaksanakan kebijakan dan strategi pada tingkat kabupaten/kota.

  f. Melaksanakan melaksanakan peraturan perundang-undangan serta kebijakan dan strategi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.

  g. Melaksanakan peningkatan kualitas perumahan dan permukiman.

  h. Melaksanakan kebijakan dan strategi provinsi dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman berpedoman pada kebijakan nasional. i. Melaksanakan pengelolaan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan dan kawasan permukiman. j. Mengawasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dan provinsi di bidang perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota. k. Menetapkan lokasi Kasiba dan Lisiba.

  Adapun wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menjalankan tugasnya yaitu:

  a. Menyusun dan menyediakan basis data perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.

  b. Menyusun dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan bidang perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota. c. Memberdayakan pemangku kepentingan dalam bidang perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.

  d. Melaksanakan sinkronisasi dan sosialisasi peraturan perundang-undangan serta kebijakan dan strategi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.

  e. Mencadangkan atau menyediakan tanah untuk pembangunan perumahan dan permukiman bagi MBR.

  f. Menyediakan prasarana dan sarana pembangunan perumahan bagi MBR pada tingkat kabupaten/kota.

  g. Memfasilitasi kerja sama pada tingkat kabupaten/kota antara pemerintah kabupaten/kota dan badan hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman.

  h. Menetapkan lokasi perumahan dan permukiman sebagai perumahan kumuh dan permukiman kumuh pada tingkat kabupaten/kota. i. Memfasilitasi peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh pada tingkat kabupaten/kota.

  Di samping mengatur tugas dan wewenang, UU ini juga mengatur penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, pemeliharaan dan perbaikan, pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh, penyediaan tanah pendanaan dan pembiayaan, hak kewajiban dan peran masyarakat.

  UU ini mendefinisikan permukiman kumuh sebagai permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat. Untuk itu perlu dilakukan upaya pencegahan, terdiri dari pengawasan, pengendalian, dan pemberdayaan masyarakat, serta upaya peningkatan kualitas permukiman, yaitu pemugaran, peremajaan, dan permukiman kembali.

2.3.2 UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung

  Undang-Undang Bangunan Gedung menjelaskan bahwa penyelenggaraan bangunan gedung adalah kegiatan pembangunan yang meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian, dan pembongkaran. Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung. Persyaratan administratif meliputi persyaratan status hak atas tanah, status kepemilikan bangunan gedung, dan izin mendirikan bangunan. Sedangkan persyaratan teknis meliputi persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan bangunan gedung. Persyaratan tata bangunan meliputi persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung, arsitektur bangunan gedung, dan persyaratan pengendalian dampak lingkungan, yang ditetapkan melalui Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL).

  Di samping itu, peraturan tersebut juga mengatur beberapa hal sebagai berikut:

  a. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya harus mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan gedung, ruang terbuka hijau yang seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungannya. Di samping itu, sistem penghawaan, pencahayaan, dan pengkondisian udara dilakukan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip penghematan energi dalam bangunan gedung (amanat green building).

  b. Bangunan gedung dan lingkungannya yang ditetapkan sebagai cagar budaya sesuai dengan peraturan perundang-undangan harus dilindungi dan dilestarikan. Pelaksanaan perbaikan, pemugaran, perlindungan, serta pemeliharaan atas bangunan gedung dan lingkungannya hanya dapat dilakukan sepanjang tidak mengubah nilai dan/atau karakter cagar budaya yang dikandungnya.

  c. Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia merupakan keharusan bagi semua bangunan gedung.

  2.3.3 UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

  UU Sumber Daya Air pada dasarnya mengatur pengelolaan sumber daya air, termasuk didalamnya pemanfaatan untuk air minum. Dalam hal ini, negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif.

  Pemenuhan kebutuhan air baku untuk air minum rumah tangga dilakukan dengan pengembangan sistem penyediaan air minum dimana Badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah menjadi penyelenggaranya. Air minum rumah tangga tersebut merupakan air dengan standar dapat langsung diminum tanpa harus dimasak terlebih dahulu dan dinyatakan sehat menurut hasil pengujian mikrobiologi Selain itu, diamanatkan pengembangan sistem penyediaan air minum diselenggarakan secara terpadu dengan pengembangan prasarana dan sarana sanitasi.

  2.3.4 UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah

  UU No. 18 Tahun 2008 menyebutkan bahwa pengelolaan sampah bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya. Pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga dilakukan dengan pengurangan sampah, dan penanganan sampah. Upaya pengurangan sampah dilakukan dengan pembatasan timbulan sampah, pendauran ulang sampah, dan pemanfaatan kembali sampah. Sedangkan kegiatan penanganan sampah meliputi:

  a. pemilahan dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai dengan jenis, jumlah, dan/atau sifat sampah, b. pengumpulan dalam bentuk pengambilan dan pemindahan sampah dari sumber sampah ke tempat penampungan sementara atau tempat pengolahan sampah terpadu, c. pengangkutan dalam bentuk membawa sampah dari sumber dan/atau dari tempat penampungan sampah sementara atau dari tempat pengolahan sampah terpadu menuju ke tempat pemrosesan akhir,

  d. pengolahan dalam bentuk mengubah karakteristik,komposisi, dan jumlah sampah,

  e. pemrosesan akhir sampah dalam bentuk pengembalian sampah dan/atau residu hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman.

  Undang-undang tersebut juga melarang pembuangan sampah secara terbuka di tempat pemrosesan akhir. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah harus menutup tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka dan mengembangkan TPA dengan sistem controlled landfill ataupun sanitary landfill.

2.3.5 UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun

  Dalam memenuhi kebutuhan hunian yang layak, Ditjen Cipta Karya turut serta dalam pembangunan Rusunawa yang dilakukan berdasarkan UU No. 20 Tahun 2011. Dalam undang- undang tersebut Rumah susun didefinisikan sebagai bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Peraturan ini juga mengatur perihal pembinaan, perencanaan, pembangunan, penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan, pengelolaan, peningkatan kualitas, pengendalian, kelembagaan, tugas dan wewenang, hak dan kewajiban, pendanaan dan sistem pembiayaan, dan peran masyarakat.

2.4 AMANAT INTERNASIONAL

  Pemerintah Indonesia secara aktif terlibat dalam dialog internasional dan perumusan kesepakatan bersama di bidang permukiman. Beberapa amanat internasional yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kebijakan dan program bidang Cipta Karya meliputi Agenda Habitat, Konferensi Rio+20, Millenium Development Goals, serta Agenda Pembangunan Pasca 2015.

  2.4.1 Agenda Habitat

  Pada tahun 1996, di Kota Istanbul Turki diselenggarakan Konferensi Habitat II sebagai kelanjutan dari Konferensi Habitat I di Vancouver tahun 1976. Konferensi tersebut menghasilkan Agenda Habitat, yaitu dokumen kesepakatan prinsip dan sasaran pembangunan permukiman yang menjadi panduan bagi negara-negara dunia dalam menciptakan permukiman yang layak dan berkelanjutan.

  Salah satu pesan inti yang menjadi komitmen negara-negara dunia, termasuk Indonesia, adalah penyediaan tempat hunian yang layak bagi seluruh masyarakat tanpa terkecuali, serta meningkatkan akses air minum, sanitasi, dan pelayanan dasar terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan kelompok rentan.

  2.4.2 Konferensi Rio+20

  Pada Juni 2012, di Kota Rio de Janeiro, Brazil, diselenggarakan KTT Pembangunan Berkelanjutan atau lebih dikenal dengan KTT Rio+20. Konferensi tersebut menyepakati dokumen

  

The Future We Want yang menjadi arahan bagi pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di tingkat

  global, regional, dan nasional. Dokumen memuat kesepahaman pandangan terhadap masa depan yang diharapkan oleh dunia (common vision) dan penguatan komitmen untuk menuju pembangunan berkelanjutan dengan memperkuat penerapan Rio Declaration 1992 dan Johannesburg Plan of Implementation 2002.

  Dalam dokumen The Future We Want, terdapat 3 (tiga) isu utama bagi pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, yaitu: (i) Ekonomi Hijau dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan, (ii) pengembangan kerangka kelembagaan pembangunan berkelanjutan tingkat global, serta (iii) kerangka aksi dan instrument pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Kerangka aksi tersebut termasuk penyusunan Sustainable Development Goals (SDGs) post-2015 yang mencakup 3 pilar pembangunan berkelanjutan secara inklusif, yang terinspirasi dari penerapan Millennium Development Goals (MDGs). Bagi Indonesia, dokumen ini akan menjadi rujukan dalam pelaksanaan rencana pembangunan nasional secara konkrit, termasuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2014-2019, dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (2005-2025).

  2.4.3 Millenium Development Goals

  Pada tahun 2000, Indonesia bersama 189 negara lain menyepakati Deklarasi Millenium sebagai bagian dari komitmen untuk memenuhi tujuan dan sasaran pembangunan millennium (Millenium Development Goals). Konsisten dengan itu, Pemerintah Indonesia telah mengarusutamakan MDGs dalam pembangunan sejak tahap perencanaan sampai pelaksanaannya sebagaimana dinyatakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014 serta Rencana Kerja Tahunan berikut dokumen penganggarannya.

  Sesuai tugas dan fungsinya, Ditjen Cipta Karya memiliki kepentingan dalam pemenuhan target 7C yaitu menurunkan hingga setengahnya proporsi rumah tangga tanpa akses berkelanjutan terhadap sumber air minum layak dan fasilitas sanitasi dasar layak hingga tahun 2015. Di bidang air minum, cakupan pelayan air minum saat ini (2013) adalah 61,83%, sedangkan target cakupan pelayanan adalah 68,87% yang perlu dicapai pada tahun 2015. Di samping itu, akses sanitasi yang layak saat ini baru mencapai 58,60%, masih kurang dibandingkan target 2015 yaitu 62,41%. Selain itu, Ditjen Cipta Karya juga turut berperan serta dalam pemenuhan target 7D yaitu mencapai peningkatan yang signifikan dalam kehidupan penduduk miskin di permukiman kumuh (minimal 100 juta) pada tahun 2020. Pemerintah Indonesia menargetkan luas permukiman kumuh 6%, padahal data terakhir (2009) proporsi penduduk kumuh mencapai 12,57%.

  Untuk memenuhi target MDGs di bidang permukiman, diperlukan perhatian khusus dari seluruh pemangku kepentingan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Oleh karena itu, pemerintah kabupaten/kota perlu melakukan optimalisasi kegiatan penyediaan infrastruktur permukiman dalam rangka percepatan pencapaian target MDGs.

  2.4.4 Agenda Pembangunan Pasca 2015

  Pada Juli 2012, Sekjen PBB membentuk sebuah Panel Tingkat Tinggi untuk memberi masukan kerangka kerja agenda pembangunan global pasca 2015. Panel ini diketuai bersama oleh Presiden Indonesia, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Ellen Johnson Sirleaf dari Liberia, dan Perdana Menteri David Cameron dari Inggris, dan beranggotakan 24 orang dari berbagai negara. Pada Mei 2013, panel tersebut mempublikasikan laporannya kepada Sekretaris Jenderal PBB berjudul “A New Global Partnership: Eradicate Poverty and Transform Economies Through Sustainable Development”. Isinya adalah rekomendasi arahan kebijakan pembangunan global pasca-2015 yang dirumuskan berdasarkan tantangan pembangunan baru, sekaligus pelajaran yang diambil dari implementasi MDGs.

  Dalam dokumen tersebut, dijabarkan 12 sasaran indikatif pembangunan global pasca 2015, sebagai berikut: a. Mengakhiri kemiskinan.

  b. Memberdayakan perempuan dan anak serta mencapai kesetaraan gender.

  c. Menyediakan pendidikan yang berkualitas dan pembelajaran seumur hidup.

  d. Menjamin kehidupan yang sehat.

  e. Memastikan ketahanan pangan dan gizi yang baik.

  f. Mencapai akses universal ke Air Minum dan Sanitasi.

  g. Menjamin energi yang berkelanjutan.

  h. Menciptakan lapangan kerja, mata pencaharian berkelanjutan, dan pertumbuhan berkeadilan. i. Mengelola aset sumber daya alam secara berkelanjutan. j. Memastikan tata kelola yang baik dan kelembagaan yang efektif. k. Memastikan masyarakat yang stabil dan damai. l. Menciptakan sebuah lingkungan pemungkin global dan mendorong. m. Pembiayaan jangka panjang.

  Dari sasaran indikatif tersebut, Ditjen Cipta karya berkepentingan dalam pencapaian sasaran 6 yaitu mencapai akses universal ke air minum dan sanitasi. Adapun target yang diusulkan dalam pencapaian sasaran tersebut adalah:

  a. Menyediakan akses universal terhadap air minum yang aman di rumah, dan di sekolah, puskesmas, dan kamp pengungsi, b. Mengakhiri buang air besar sembarangan dan memastikan akses universal ke sanitasi di sekolah dan di tempat kerja, dan meningkatkan akses sanitasi di rumah tangga sebanyak x%, c. Menyesuaikan kuantitas air baku (freshwater withdrawals) dengan pasokan air minum, serta meningkatkan efisiensi air untuk pertanian sebanyak x%, industri sebanyak y% dan daerah- daerah perkotaan sebanyak z%,

  d. Mendaur ulang atau mengolah semua limbah cair dari daerah perkotaan dan dari industri sebelum dilepaskan.

  Selain memperhatikan sasaran dan target indikatif, dokumen laporan tersebut juga menekankan pentingnya kemitraan baik secara global maupun lokal antar pemangku kepentingan pembangunan. Kemitraan yang dimaksud memiliki prinsip inklusif, terbuka, dan akuntabel dimana seluruh pihak duduk bersama-sama untuk bekerja bukan tentang bantuan saja, melainkan juga mendiskusikan kerangka kebijakan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.