Journal Asia Pasifik UTS 2013

JURNAL
IMPLIKASI KEBIJAKAN EKONOMI CHINA
TERHADAP PERTUMBUHAN ASIA TENGGARA

Disusun oleh :
Alfian Nurdiansyah
NIM. 10320006

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI
UNIVERSITAS RESPATI YOGYAKARTA
2013

Implikasi Kebijakan Ekonomi China terhadap Pertumbuhan Asia
Tenggara

Abstract
Tema artikel ini adalah Implikasi Kebijakan Ekonomi China terhadap Pertumbuhan Asia
Tenggara. Krisis finansial yang menimpa kawasan Asia serta tekanan akibat
pertumbuhan ekonomi China yang terus berlanjut telah mendorong ASEAN untuk lebih
mengutamakan stabilitas ekonomi domestik dan pertumbuhan ekonomi daripada

ancaman keamanan eksternal. Keterlibatan aktif China dalam program monitoring serta
bantuan jangka panjang menunjukkan niat baik China mencegah terulangnya krisis
serupa di Asia Tenggara masa mendatang. Menyadari semakin meningkatnya
keterkaitan antar negara, khususnya keterpurukan ekonomi akan berdampak negatif
terhadap negara terdekat maka negara-negara ASEAN menyepakati pentingnya
memperluas kerjasama dengan negara-negara Asia Timur salah satunya China. Alhasil,
kebijakan perdagangan bebas / Free Trade Area pun ditempuh oleh ASEAN dan China
dalam China - ASEAN Free Trade Area / CAFTA. Artikel ini mencoba menganalisis
apakah kebijakan ekonomi China dalam CAFTA ini memberikan pertumbuhan ekonomi
yang signifikan bagi Asia Tenggara.

Keyword: foreign policy, CAFTA, and economic growth

Pendahuluan
Krisis finansial yang menimpa kawasan Asia serta tekanan akibat pertumbuhan ekonomi
China yang terus berlanjut telah mendorong ASEAN untuk lebih mengutamakan
stabilitas ekonomi domestik dan pertumbuhan ekonomi daripada ancaman keamanan
eksternal. Sejak akhir 90’an kekhawatiran negara-negara kekhawatiran negara-negara
Asia Tenggara pada umumnya berkaitan dengan dampak pertumbuhan ekonomi China
yang mengancam negara di kawasan Asia Tenggara. Untuk mengurangi kekhawatiran

tersebut secara aktif China berusaha mengajukan berbagai proposal1 untuk memenuhi
kebutuhan negara-negara ASEAN akan stabilitas finansial, perdagangan dan investasi
dengan dalih merupakan kebutuhan nasional China pula untuk mempererat hubungan
ekonomi dengan ASEAN serta untuk memperkuat perekonomian negara-negara Asia
Tenggara. Dengan menekankan hasil yang saling menguntungkan, China menerapkan
kebijakan

guna

mengurangi

kekhawatiran

regional

dengan

meyakinkan

dan


membangkitkan optimisme di kalangan pemimpin ASEAN bahwa China yang semakin
kuat terbukti dapat mendorong pertumbuhan ekonomi serta kesejahteraan di Asia
Tenggara, sekaligus dapat pula mengurangi rasa ketidakpercayaan yang timbul di
dalamnya.
Namun demikian, apakah negara-negara Asia Tenggara dapat memperoleh keuntungan
dari kesempatan itu atau tidak, dengan menemukan peluang pasar atau meningkatkan
1

Salah satu proposal yang dinilai sangat penting yaitu proposal oleh Beijing untuk mengembangkan
sebuah ASEAN-China Free Trade Area / dikenal CAFTA yang diabadikan dalam kerangka perjanjian
kerjasama ekonomi yang lebih komprehensif (Framework Agreement on Comprehensive Economic
Cooperation) dan seiring berjalannya waktu PRC menandatangani ASEAN Treaty of Amity and
Cooperation (Haacke, Jurgen (2002) ‘Seeking Influence: China’s Diplomacy Toward ASEAN After the
Asian
Crisis’,
Asian
Perspective,
26:4:
13-52,

diakses
dari
http://eprints.lse.ac.uk/17077/1/Nationalism_and_Multilateralism_in_Chinese_
Foreign_Policy(LSERO).pdf

daya saing perdagangan serta peluang investasi tergantung sepenuhnya kepada kebijakan
perekonomian ASEAN sendiri. Keberadaan China – ASEAN Free Trade Agreement /
CAFTA menjalankan perdagangan bebas dimulai pada awal tahun 2010. Secara berkala,
barang ekspor China dipastikan terus membanjiri kawasan Asia Tenggara termasuk
Indonesia. Tulisan ini mencoba menganalisis bagaimana kebijakan ekonomi China di
Asia Tenggara dengan relevansi kesiapan Indonesia dalam menempuh CAFTA tersebut.
Hubungan Politik Luar Negeri China dan Asia Tenggara
Asia Tenggara merupakan daerah periferal China yang amat vital dari sudut keamanan
tradisional dan era reformasi ekonomi. Banyaknya contoh historis invasi kekuatan dari
wilayah periferal China menyusul runtuhnya beberapa dinasti dan internal chaos telah
menimbulkan ketakutan yang mendalam, meskipun secara tradisional terfokus kepada
kekuatan asing di utara dan barat. Dengan kedatangan armada laut Eropa pada abad ke19, menjadikan Asia Tenggara sebagai pangkalan strategis bagi kekuatan asing yang akan
menginvasi China. Dari perspektif China, Amerika Serikat dan Uni Soviet keduanya
menggunakan wilayah Asia Tenggara sebagai komponen penting dalam rencananya
untuk mengepung China selama era Perang Dingin. Adanya ancaman instabilitas di

wilayah perbatasannya menjadikan para pimpinan Republik China (China) merasakan
kebutuhan untuk merespon secara militer, walaupun harus mengorbankan kepentingan
modernisasi ekonominya. Setelah jatuhnya Uni Soviet dan terpaksa hengkang dari Asia
Tenggara, China berusaha untuk memelihara hubungan baik dengan wilayah tersebut dan
menghilangkan setiap insentif bagi wilayah yang bersangkutan yang dapat mengundang
kembali kekuatan utama untuk membebtuk koalisi anti-China. Adanya hubungan yang
erat antara Amerika Serikat dan Jepang, beberapa analis China berpendapat bahwa Asia

Tenggara akan membantu stabilitas lingkungan keamanan wilayah periferal China dan
memungkinkan China untuk fokus kepada pembangunan ekonomi selama “periode
kesempatan strategis” pada awal abad ke-21.2

Dengan potensi kekayaan sumber daya, investasi dan perdagangannya, Asia Tenggara
merupakan dan akan selalu menjadi penggerak penting dari modernisasi ekonomi China.
Kebijakan regional China terhadap stabilitas Asia Tenggara juga sangat penting karena
mayoritas perdagangan China, termasuk impor minyak bumi (BBM) melalui perairan
Asia Tenggara. China berharap meningkatnya interaksi ekonomi dengan kawasan Asia
Tenggara dapat membantu pertumbuhan di provinsi barat daya China seperti Yunnan,
Guangxi yang tertinggal secara ekonomi.


2

Michael A. Glosny, “Heading toward a Win-Win Future? Recent Developments in China’s Policy
Toward Southeast Asia,”Asian Security, vol. 2, no. 1, 2006, 24-577iSa59nIn-29 s78e56c45urity,
Vol. 12, No. 01, February 2006:pp. 0.

Beberapa tahun terakhir beberapa analis berpendapat bahwa politik luar negeri China
terlampau fokus pada hubungannya dengan Amerika Serikat, serta menyarankan untuk
memberikan perhatian lebih kepada upaya untuk meningkatkan hubungan dengan negaranegara periferal China dan negara-negara Asia Timur lainnya. Langkah yang paling
efektif guna menghadapi tekanan asing adalah dengan membangun “lingkaran kerja sama
politik” dengan negara-negara periferal seperti negara-negara Asia Tenggara, yang akan
memperkuat posisi China di kawasan3.
Hubungan China dengan Asia Tenggara terdapat dua perspektif: Pertama, dari sudut
pandang negara tetangga di Asia Tenggara terdapat beban historis yang perlu
ditanggulangi bersama. Kedua, batas geografis Vietnam, Laos, dan Myanmar di bagian
barat daya dan selatan China, serta hubungan yang tidak pernah terputus antara China dan
Thailand di bidang perdagangan dan diplomasi sulit untuk diabaikan dalam waktu yang
cukup lama. Sebagian negara Asia Tenggara yang berbatasan langsung dengan China
serta memiliki sumber daya dan kemampuan interaksi internasional yang terbatas dan
sangat tergantung pada China dalam bidang ekonomi, seperti Myanmar, Kamboja dan

Laos akan menjalin hubungan dengan China seperti pada era prakolonial. Sementara
Vietnam yang memiliki sejarah perjuangan kemerdekaan yang panjang, termasuk dalam
melawan dominasi China dan lebih memilih keleluasaan untuk bergerak. Thailand akan
mengikuti gaya diplomasi klasiknya yang mengikuti situasi yang menguntungkan bagi
dirinya tanpa kehilangan interdependensinya. Berbagai upaya untuk membina hubungan
menemui berbagai kendala selama dekade ini namun tidak pernah terputus.

3

Shofi, Ratna, dkk.2011. “Ekonomi Politik Kemitraan ASEAN: Sebuah Potret Kerja Sama”,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal.124

Reformasi ekonomi telah mengantar China dari revolusi kebudayaan serta pemerintahan
yang otoriter menjadi kekuatan ekonomi baru dunia melalui prinsip ekonomi pasar yang
diterapkan Deng Xiaoping.4 Untuk melaksanakan kebijakan tersebut, pemerintah China
mengambil kebijakan “liberalisasi terbatas” di bidang ekonomi dan meningkatkan
hubungan dengan negara-negara maju (open door policy) untuk memperoleh modal dan
teknologi, serta berupaya menciptakan lingkungan yang damai di kawasan tetangganya,
termasuk ASEAN.5 Dengan melaksanakan kebijakan tersebut, para pemimpin China
bermaksud menjadikan China sebagai negara sosialis yang modern, kuat serta sejahtera

pada masa mendatang.6
Bangkitnya ekonomi China sekarang lebih dipandang sebagai peluang ketimbang
ancaman, ditambah dengan kebijakan luar negerinya yang semakin pragmatis, liberalisasi
ekonomi sambil mempertahankan dominasi partai komunis dan sekaligus mencerminkan
kemampuan China melancarkan diplomasi yang bisa meyakinkan tetangganya. Dengan
pertumbuhan ekonominya yang cepat China telah menjadi negara maju dengan revolusi
industri keduanya. Hubungan-hubungan ekonomi denggan rekan dagangnya selalu
surplus. Pendapatan Kotor Nasional per kapita mencapai 1,740 dolar AS. China juga
memangkas suku bunga secara ofensif di mana tahun 2006, suku bunganya hanya 0,27
persen.7 Negara-negara ASEAN menaruh harapan pertumbuhan ekonomi China yang
4

China melakukan modernisasi pembangunan dengan cara merangkul kelompok yang berbeda sejak Deng
Xiaoping membacakan buah pikirannya dalam pidato utama di Pleno Ketiga Sidang Komite Sentral
Kesebelas Partai Komunis China (PKC), 13 Desember 1978. Modernisasi Pembangunan tersebut meliputi
bidang-bidang: pertanian, industri, ilmu pengetahuan dan teknologi serta pertahanan. Dalam rangka
memantapkan pelaksanaan kebijakan modernisasi, kaum reformis di bawah Deng Xiaoping secara bertahap
memperkuat kedudukannya dengan menggeser kedudukan kaum konservatif.
5
China’s_Relations_with_ASEAN_Partners_in_the_21st_Century.pdf,

diakses
dari
http://unpan1.un.org/ pada 5 April 2013 pukul 19.11 WIB
6
David Shambaugh, “Power Shift: The Rise of China and Asia’s New Dynamics”, University of
California Press, 2005, 1-3
7
Bank Dunia, 2006

pesat, didukung oleh jumlah penduduk 1,3 miliar bisa menjadi engine of growth bagi
kawasan Asia. Pertumbuhan China akan menarik wilayah sekitarnya untuk ikut tumbuh.
Masuknya China ke WTO menjadi faktor tambahan dalam menarik investasi asing,
ekonomi China yang kuat diyakini akan meningkatkan kemampuan investasinya di luar
negeri, diperkuat dengan kebijakan pemerintahnya yang mendorong perusahaanperusahaan China untuk berinvestasi di luar negeri.
Hubungan formal ASEAN-China dimulai pada tahun 1991. Kedua pihak telah melakukan
banyak hal untuk mengisi dan mempererat hubungan di kawasan ini. Hubungan ASEANChina menyentuh berbagai bidang, mulai dari politik, keamanan, ekonomi, perdagangan,
dan sosial budaya. Banyak keberhasilan telah diraih, namun demikian masih banyak pula
hal yang memerlukan perhatian lebih lanjut. Hubungan ekonomi negara-negara ASEAN
dan China yang semakin erat turut mengubah iklim politik-keamanan di antara keduanya
menuju situasi yang semakin baik ketika China masih dalam tahap konsolidasi kekuatan

ekonomi dan militernya. Pertumbuhan ekonomi China terutama adalah hasil dorongan
dari dalam negeri yang bisa menjadi kekuatan pendorong bagi pertumbuhan ekonomi di
wilayah ASEAN. Sebenarnya China tidak hanya sebagai lokomotif bagi perkembangan
ekonomi

regional,

tetapi

juga

mempengaruhi

perkembangan

dunia

termasuk

perkembangan kawasan. Pembentukan perdagangan bebas (FTA) dapat digunakan juga

sebagai benteng pertahanan terhadap kemungkinan munculnya sikap agresif dan
militeristik China terhadap kawasan Asia Tenggara secara keseluruhan. Dengan
demikian, perilaku China masih perlu diperhatikan, khususnya dalam kaitannya dengan
bidang keamanan.8
8

Dewi Fortuna Anwar, “Implikasi Politik-Keamanan ASEAN-China Free Trade Area”, dalam
Ratna Shofi Inayati (ed), ”ASEAN-China FTA: Akselerasi Menuju EAC?”, P2P-LIPI, Jakarta,
hal.100

Perkembangan penting lainnya adalah kesediaan China untuk menandatangani Treaty of
Amity and Cooperation (TAC)9, yang dianggap sebagai pengakuan China terhadap code
of conduct dan merupakan salah satu tonggak terpenting kerjasama ASEAN. Tanpa
terlalu banyak mempermasalahkan isi dan implikasinya, China menandatangani TAC
pada pertemuan puncak dengan ASEAN di Bali pada 2003. Walaupun ASEAN tidak
memiliki mekanisme ataupun kemampuan untuk memastikan bahwa setiap pihak yang
menandatangani TAC akan selalu menaati prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya,
kesediaan China untuk menjadi bagian dari TAC merupakan bagian dari terapan
confidence building measures (CBM) yang cukup penting dan efektif dalam
menghilangkan sebagian kekhawatiran ASEAN atas niat baik China.
Di samping itu, telah ditandatanginya Memorandum of Understanding (MoU) on
Cooperation in the Field of Non-Traditional Security Issues dalam kerja sama ASEANChina pada tahun 2004. Berbagai kesepakatan tersebut diharapkan dapat memperkuat
stabilitas kawasan sehingga memungkinkan pembangunan dilajutkan demi kesejahteraan
masyarakat ASEAN dan sekitarnya. Kerja sama ASEAN dipererat lagi dengan
mengadakan peringatan lima belas tahun ASEAN-China pada KTT Nanning tahun 2006
bertema “Tahun Persahabatan dan Kerjasama” (Year of Friendship and Cooperation
between ASEAN and China). Di bawah tema ini telah diselenggarakan beberapa kali
pertemuan dalam bentuk lecture series, yang dilakukan secara bergantian, baik di China
maupun negara-negara ASEAN. Selain pertemuan puncak antara para pemimpin ASEAN

9

Nationalism_and_Multilateralism_in_Chinese_Foreign_Policy(LSERO).pdf,
http://eprints.lse.ac.uk/ pada tanggal 5 April 2013 pukul 18.32

diakses

dari

dan China, KTT Nanning juga diisi dengan ASEAN-China Expo dan ASEAN-China
Bussiness Investment Summit.10
Pada dasarnya ASEAN dituntut lebih aktif di dalam menentukan arah kerjasama yang
saling menguntungkan. Hal-hal yang ingin dicapai antara lain yaitu memperbesar akses
pasar bagi ASEAN, meningkatkan investasi di kawasan, mempermudah perdagangan
jasa, dan mempersempit development gap guna mempercepat integrasi regional.
Kebijakan Ekonomi China dan Pertumbuhan Asia Tenggara
Tata politik dan ekonomi regional di Asia Timur telah mengalami transformasi yang
cukup signifikan sejak berakhirnya Perang Dingin. Satu hal yang sangat penting adalah
tumbuhnya pengaruh China di kawasan ini. Pertumbuhan ekonominya yang tetap tinggi
dan tidak terpengaruh dampak krisis yang menimpa Asia pada 1997 menjadikan China
sebagai motor penggerak di Asia Timur saat Jepang mulai menurun kekuatannya.
Kondisi ini tercipta tidak hanya karena pertumbuhan ekonomi China yang pesat rata-rata
9 persen pertahun, tetapi juga didukung berbagai faktor eksternal, antara lain
melemahnya kekuatan ekonomi Jepang akibat resesi panjang, hancurnya perekonomian
beberapa negara Asia akibat krisis ekonomi 1997-1998 yang sebelumnya tumbuh pesat,
beralihnya konsentrasi politik dan militer Amerika pada perang melawan terorisme dan
tantangan dari Korea Utara dalam masalah pengembangan nuklir serta dampak krisis
global dewasa ini. Semua elemen ini mendukung berkembangnya pengaruh China di
kawasan Asia Timur.11

10

11

J. Yu-Shek Cheng, “The ASEAN-China Free Trade Area: Genesis and Implications” Australian
Journal of International Affairs, Vol.58, no., 2004: hal.257-275
Yasmin Sungkar, “ASEAN-China FTA: Komitmen dan Implikasi Ekonomi”, dalam Ratna Shofi
Inayati (ed), “ASEAN-China FTA: Akselerasi menuju EAC?”, P2P-LIPI, Jakarta, 2006, hal.100

Gambar 1
Map of China and Southeast Asia

Pada saat krisis moneter terjadi di Asia, kondisi China sarat dengan korupsi dan
kapitalisme perkoncoan namun tidak terseret ke dalam krisis. Pada saat negara Asia lain
dipaksa menaikkan suku bunga dalam situasi krisis, China tetap bisa bebas menurunkan
suku bunganya tanpa harus cemas mata uangnya akan terdevaluasi, meskipun negara ini
menerapkan sistem nilai tukar tetap (fixed). Hal ini disebabkan karena mata uang yuan
tidak konvertibel, akibat diterapkannya kebijakan pengendalian nilai tukar mata uang.
Memang prosedur kerja yang diterapkan dalam pengendalian nilai tukar tersebut dapat
kecolongan dan membuka peluang terjadinya korupsi. Namun, tidak menghalangi China
melancarkan manuver kebijakan tersebut yang sangat dibutuhkan untuk dapat

membangun kembali perekonomian Asia. Sampai saat ini sustainability dari proses
reformasi ekonomi China tampak berjalan dengan lancar dan cukup berhasil. Yang
menarik bahwa proses reformasi ekonomi China dapat dilaksanakan tanpa mengubah
sistem politiknya.12
Para analis menyadari potensi China untuk tumbuh dengan menoleh pada pasar
domestiknya yang luas, sumber daya manusia yang melimpah, standar teknologi yang
relatif tinggi untuk negara berkembang, dan prospektif menarik menarik modal asing
khususnya yang berasal dari orang-orang China perantauan. Setelah negara ini lebih
terbuka, investasi berdatangan dari seluruh dunia. Perusahaan-perusahaan seperti Oracle,
Microsoft, IBM, Intel mendirikan pusat-pusat riset di China dengan menggunakan teknisi
China untuk pengembangan produk jangka panjang. Dalam bidang teknologi, tidak dapat
dipungkiri bahwa China tergolong lebih maju dibandingkan dengan negara Asia lainnya.
China juga mengklaim sebagai pemimpin di bidang tertentu seperti digital media, voicerecognition dan voice-synthetis technology.13
Guna mewujudkan tekadnya untuk memperkuat perekonomiannya, China lebih
berkepentingan menjalin hubungan yang lebih erat dengan ASEAN. Tahun 2000 GDP
China sebesar GDP China sebesar 1,08 triliun dolar AS, terpaut jauh dari Jepang yang
mencapai 4,14 triliun dolar AS (tahun 2001) dan Amerika Serikat 8,35 triliun dolar AS
(tahun 1999). Tetapi China bersemangat membuat target bahwa dalam 20 tahun ke depan
GDP-nya akan mampu menyamai Jepang, menjadi sekitar lima triliun dolar AS.
Pertumbuhan 8-9 persen per tahun selama ini adalah salah satu bukti tekadnya di dalam
12

Afadlal, dkk.2011. “Ekonomi Politik Kemitraan ASEAN: Sebuah Potret Kerja Sama”, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, hal.133
13
Rene L. Pattiradjawane,” China sebagai Jangkar Regionalisme”, Kompas, 19 Desember 2005

mewujudkan target GDP yang dikehendaki. Untuk itu berbagai berbagai kebijakan dan
cara ditempuh China di dalam mengantisipasi berbagai faktor eksternal maupun internal.
Faktor eksternal, China menjalin hubungan bersahabat dengan negara-negara lain.14
Dengan ASEAN, China bersikap lunak dan bersahabat. Pada 1994 China menjadi mitra
dalam ASEAN Regional Forum (ARF), dan sejak 1996 menjadi mitra dialog ASEAN.
Sedangkan faktor internalnya: Para pemimpin China mentransformasikan modal,
kesempatan untuk mendorong elit dan masyarakatnya bersikap produktif dan
mengerjakan berbagai hal dalam standar internasional. Karenanya berbagai acara dan
events internasional digelar di China seperti Asian Games tahun 2003, Olimpiade tahun
2008 dan Pameran Dunia tahun 2010. Rakyat China memperkuat diri dengan bekerja
keras. Akibatnya negeri ini bagaikan pabrik raksasa karena semua orang mau dan
berusaha untuk bekerja keras memproduksi barang. Kini China adalah negara paling
produktif di seluruh dunia, dan hasilnya dapat dilihat di pasaran dunia, di samping itu
desain dan harga dibuat menarik sehingga prosuk-produk China bisa bersaing dengan
produk negara-negara lain.15 Barang-barang dari China membanjiri negara-negara di
seluruh dunia termasuk Indonesia. Di setiap sudut pasar Indonesia, produk China berani
bersaing karena murah, seperti sepeda motor, AC, tekstil, dan mebel. Kini banyak
pengusaha dalam negeri Indonesia terancam serbuan barang-barang dari China.16

14

Basis kebijakan hubungan luar negeri China adalah lima prinsip hidup berdampingan secara damai
seperti terkandung dalam konferensi Asia Afrika 1955, hubungan diplomatik secara internasional China
selalu memegang prinsip ini. Sebetulnya prinsip hubungan luar negeri sama dengan Indonesia yaitu bebas
dan aktif dan mengutamakan perdamaian.” Dari hasil wawancara Mr Tan Weiwen, Councellor for Trade
and Commerce, Kedutaan Besar Republik Rakyat China, di Jakarta, 29 Juni 2006. Diambil dari Afadlal,
dkk.2011. “Ekonomi Politik Kemitraan ASEAN: Sebuah Potret Kerja Sama”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
hal.134
15
Dharmawan, Bagus, 2006. “Cermin dari China; Geliat Sang Naga di Era Globalisasi”. Jakarta:
PT. Kompas Media Nusantara
16
Rene L. Pattiradjawane,” China sebagai Jangkar Regionalisme”, Kompas, 19 Desember 2005

Pembangunan pesat China menjanjikan keuntungan karena pasti membutuhkan bahan
baku dan energi dari negara-negara ASEAN. Selain pasar bahan baku, China juga
merupakan pasar potensial bagi produk-produk dari ASEAN.17 Namun, kebutuhan nyata
untuk menopang integrasi ekonomi dan perdagangan bebas tampaknya belum sejelas dan
sekuat seperti kebutuhan riil China. Sebagai produsen bahan baku dan energi negara
ASEAN akan diuntungkan, tetapii sebagai produsen barang-barang manufaktur, China
akan lebih diuntungkan daripada ASEAN.
Bagaimana negara-negara ASEAN menangkap peluang dari China? Negara-negara
ASEAN sudah lama mengidealkan integrasi ekonomi dan perdagangan bebas sebagai alat
untuk meningkatkan daya saing yang merupakan tuntutan bagi terwujudnya pertumbuhan
ekonomi, untuk mengurangi kemiskinan dan mewujudkan pembangunan yang setara dan
inklusif di dalam ASEAN dan dengan negara-negara mitra. Total nilai ekspor yang
menggunakan fasilitas CEPT sebagai skema penurunan bea masuk AFTA (2007) di
Thailand dan Malaysia adalah senilai 11,8 miliar dolar Amerika. Porsinya mencapai 25,7
persen dari total ekspor (kecuali Singapura yang sejak awal tidak dikenai bea masuk
selain sebagian produk alkohol termasuk item-item yang bertarif nol berdasarkan dengan
MFN sebagai mitra ekspor), merupakan nilai tertinggi sejak 1998.18
Ekspor tujuan China oleh Thailand dan Malaysia dengan fasilitas FTA ASEAN-China
adalah senilai 3,4 miliar dolar Amerika, yaitu mencapai 10,8 persen dari total nilai ekspor
tujuan China dari kedua negara. Dalam perdagangan komoditi pertanian dan perikanan,

17

Development_of_ChinaASEAN_Trade_and_Economic_Relations_From_Regional_Perspective,pdf,
diakses
dari
http://www.eaber.org/sites/default/files/documents/IAPS_Zhao_2007_02.pdf, pada 5 April 2013
pukul 20.13 WIB
18
Buku Putih perdagangan dan Investasi JETRO, Edisi 2008

ASEAN-China FTA banyak yang dimanfaatkan. Porsi ASEAN dalam impor China untuk
produk pertanian dan perikanan meningkat menjadi 18,1 persen pada 2007, dari sebesar
13,9 persen pada saat sebelum berlakunya FTA pada 2003. Begitu juga impor Thailand
dari China juga meningkat menjadi 11,0 persen dari 7,8 persen, sementara Malaysia
meningkat menjadi 19,5 persen dari 14,8 persen.19
ASEAN – China FTA
Krisis finansial Asia yang menimpa Thailand pada 1997 dan menyebar ke seluruh
wilayah Asia Tenggara menunjukkan bahwa langkah awal ke arah pembentukan ASEAN
FTA belum mampu melindungi negara-negara kawasan terhadap bahaya akibat fluktuasi
nilai tukar dan tingkat suku bunga perbankan yang diakibatkan oleh arus globalisasi.
Bantuan jangka pendek China yang diberikan selama krisis finansial menunjukkan
peranan yang konstruktif guna menolong Asia Tenggara untuk menghadapi krisis
tersebut. Keterlibatan aktif China dalam program monitoring serta bantuan jangka
panjang menunjukkan niat baik China guna mencegah terulangnya krisis serupa di masa
mendatang. Bantuan serta kontribusi China yang diberikan oleh IMF mamupun pinjaman
dan bantuan bilateral telah melampaui ekspektasi negara-negara ASEAN. Penghargaan
mereka semakin bertambah atas sikap penolakan China untuk mendevaluasi mata
uangnya yaitu yuan yang dapat mencegah berlanjutnya gelombang devaluasi yang dapat
menyebabkan kerugian lebih besar terhadap ASEAN. Para pejabat China ingin
menunjukkan hal tersebut sebagai suatu tindakan yang bertanggung jawab dan tidak
mementingkan diri sendiri untuk kebaikan pihak lain, meskipun upayanya untuk
mencegah terjadinya krisis finasial yang lebih buruk merupakan kepentingan mereka pula
19

Shofi, Ratna, dkk.2011. “Ekonomi Politik Kemitraan ASEAN: Sebuah Potret Kerja Sama”,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal.137-138

karena akan merugikan perekonomian China, sebagaimana komentar Sekjen ASEAN saat
itu, Rudolfo Severino, “China is really emerging from this smeeling good”.20
Walaupun China menentang dibangunnya Asian Monetary Fund pada 1997 karena
dibentuk atas inisiatif Jepang dan karena China secara relatif terlindung dari serangan
spekulatif, akan tetapi negara-negara di Asia Tenggara secara aktif mendukungnya
karena dianggap dapat melindungi Asia terhadap ancaman krisis di masa mendatang.
Meskipun hasilnya masih relatif terhadap lingkupnya, partisipasi aktif China guna
mengubah arsitektur finansial regional telah membantu memperdalam hubungan China
ASEAN dan menunjukkan bahwa China tidak hanya berkeinginan untuk mengambil
tindakan jangka pendek untuk membantu perekonomian ASEAN, tetapi juga bekerja
untuk mendesain ulang arsitektur ekonomi regional guna lebih melindungi ASEAN
terhadap ancaman eksternal di masa depan.
Menyadari semakin meningkatnya keterkaitan antarnegara, khususnya keterpurukan
ekonomi akan berdampak negatif terhadap negara terdekat maka negara-negara ASEAN
menyepakati pentingnya memperluas kerja sama dengan negara-negara di Asia Timur
seperti Jepang, Korea Selatan dan China dalam ASEAN Plus Three (+3). Pertemuan
ASEAN+3 yang pertama, diselenggarakan pada Desember 1997 di Kuala Lumpur,
meliputi banyak diskusi masalah-masalah finansial dan moneter. Pertemuan tahunan itu
mengawali pembentukan ASEAN Plus Three Surveillance Process dan ASEAN Plus
Three Warning System, yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan monitoring dan
sharing informasi regional guna mengurangi risiko krisis di masa depan.

20

Michael A. Glosny, “Heading toward a Win-Win Future? Recent Developments in China’s Policy
Toward Southeast Asia,”Asian Security, vol.2, No. 01, February 2006: pp. 0.

Hambatan tarif di kawasan Asia Pasifik dimana terbangun jaringan produksi perusahaan
China semakin tidak ada, sehingga pengembangan usaha dengan pertimbangan FTA
semakin penting.21 Kerja sama ASEAN-China FTA pertama kali dikemukakan oleh
Perdana Menteri China Zhu Rongji dalam ASEAN+3 Meeting di Singapura November
2000 dan pada ASEAN-China Economic Cooperation Meeting pada Agustus 2001.
Usulan serupa juga dikemukakan oleh pemerintah Singapura, sementara negara-negara
ASEAN lainnya menentang pembentukan ASEAN-China FTA tersebut. Mereka
cenderung lebih mendukung pembentukan FTA yang mencakup wilayah yang lebih luas
termasuk Jepang dan Korea Selatan. Namun kedua negara tersebut saat itu belum siap.
Pada 2001 China mengusulkan adanya perdagangan bebas antara ASEAN dan China.
Pada waktu itu China mengusulkan suatu kawasan perdagangan bebas (Free Trade Area)
dengan ASEAN dalam konsep The China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA / ACFTA),
yang ditargetkan akan terwujud pada tahun 2010. Kesepakatan ACFTA ditandatangani
bersama pada KTT ASEAN di Vientiane, Laos tahun 2001. Apabila ACFTA dapat
diberlakukan dengan lancar, hambatan tarif dan non-tarif akan dicabut dari 6 negara
ASEAN (Brunei, Indonesia, Malaysia, Philipina, Singapura, dan Thailand) pada 2010
dan dari negara CMLV (Cambodia, Laos, Myanmar dan Vietnam) pada 2015.22
Hal ini merupakan seuatu perkembangan yang besar karena kedua wilayah tersebut
mencakup populasi penduduk sejumlah 1,7 miliar dengan GDP gabungan sebesar 2
triliun dolar AS. China merupakan mitra terbesar ke-6 bagi ASEAN di bidang
perdagangan dengan volume perdagangan sebesar 5 persen dari total perdagangan
21

22

China ASEAN Plus Three Cooperation” www.aseansec.org/16581.htm, diakses pada 5 April
2013 pukul 20.31 WIB
http:// www.cafta.org.cn/, diakses pada 5 April 2013 pukul 20.49 WIB

ASEAN. Sedangkan ASEAN merupakan mitra dagang terbesar ke-5 bagi China. 23
Rencana ASEAN-China FTA diprioritaskan pada bidang-bidang pertanian, teknologi
informasi, pengembangan sumber daya manusia, investasi dan sub-region Sungai
Mekong.24 Setelah melalui enam tahap negosiasi, kesepuluh Kepala Negara ASEAN dan
China berhasil menandatangani kesepakatan di Phnom Penh pada Desember 2002 guna
melanjutkan program penurunan dan penghapusan tarif bea masuk yang dilaksanakan
dalam tiga tahap: 1) Early Harvest Program (EHP) yang telah dimulai 1 Januari 2004; 2)
Normal Track yang dimulai implementasi penurunan tarifnya pada 1 Juli 2005; 3)
Sensitive Track tahun 2012 tarif maksimun 20 persen serta Highly Sensitive Track tahun
2015 tarif maksimun 50 persen.25 Pada saat itu, tarif lebih dari 600 produk, terutama
pertanian meliputi 10 persen dari seluruh produk yang diperdagangkan diantara kedua
pihak telah diturunkan hingga 0 persen. Di dalam kerangka Agreement ASEAN-China
Comprehensive Economic Cooperation, China mengurangi tarif impor bagi produk
ASEAN beberapa tahun sebelum memberlakukan hal yang sama dan membuka pasar
mereka bagi produk ekspor China. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan ASEAN
keuntungan ekspor terhadap terhadap produk China dan memberikan kesempatan bagi
produsen ASEAN agar lebih efisien dan produktif. Para pejabat ASEAN juga berharap
23

http://www.kabarbisnis.com/, diakses pada 5 April 2013 pukul 20.54 WIB
Mohammed Aslam, “Impact of ASEAN-China FTA on ASEAN Economies”, The Indonesian
Quarterly, vol xxxi, no.3, 2003, hal. 332-339
25
Dengan keuntungan kepada anggota WTO lainnya, ACFTA akan membantu menyingkirkan
kekhawatiran ASEAN terhadap adanya persaingan dagang dengan pemberian akses khusus ASEAN ke
pasar China. China juga menyetujui “early harvest arrangement” yang akan menginginkan liberalisasi
lebih awal. Kebijakan “early harvest arrangement” itu dianggap sebagai salah satu contoh dari fleksibilitas
China dalam melakukan negosiasi, Ada pula yang mengaitkannya dengan “konsesi” yang telah diberikan
China dalam batas waktu yang ditawarkan kepada ASEAN. Sebagian besar analis dan pimpinan China
fokus pada hasil perjanjian yang saling menguntungkan serta menekankan pada kesediaan China untuk
berkorban guna menghilangkan kekhawatiran ASEAN guna membantu mendorong pertumbuhan ekonomi
lebih lanjut. China telah bersedia menanggung defisit perdagangan yang cukup besar dengan negara-negara
ASEAN-6, guna membantu mereka memulihkan diri dari krisis finansial dengan mengekspor ke pasar
China, meskipun negara-negara lainnya sering komplain tentang adanya ketidakseimbangan dalam
perdagangan. Lihat juga, Studies Unit, Bureau for Economic Integration, ASEAN Secretariat, 18 Januari
2005 dan Departemen Perdagangan- Ditjen Kerja sama Perdagangan Internasional, Jakarta, 2005

24

China dapat menjadi importir utama bagi produk-produk ASEAN. Pada pertemuan
tersebut, mantan Sekjen ASEAN Rodolfo Severino menyatakan bahwa ASEAN-China
FTA akan memberikan dampak secara keseluruhan bagi kedua belah pihak. Apabila
liberalisasi perdagangan atas barang dan jasa yang direncanakan dapat terwujud tahun
2012, maka wilayah ini akan merupakan kawasan perdagangan bebas terbesar di dunia
dengan perkiraan total perdagangan sebesar 1,23 triliun dolar AS.26
Lebih Lanjut, penghapusan hambatan perdagangan antara ASEAN dan China
sebagaimana yang diusulkan akan mampu menurunkan biaya dan meningkatkan efisiensi
ekonomi FTA serta mendorong ke arah spesialisasi produk yang lebih besar berdasarkan
atas keuntungan komparatif. Kegiatan perdagangan akan timbul apabila beberapa produk
domestik dari salah satu anggota FTA digantikan oleh produk impor yang lebih murah
dari anggota FTA lainnya. Hal ini akan menimbulkan pendapatan nyata dari kedua
kawasan pada saat sumber daya mengalir ke sektor-sektor di mana mereka dapat
digunakan secara lebih efisien dan produktif.
Perdagangan luar negeri merupakan faktor pendorong utama dari perkembangan ekonomi
China dan negara-negara ASEAN. Namun demikian ASEAN lebih tergantung kepada
sektor ekspor China. Dengan kenyataan tersebut jelas bahwa China berada di pihak yang
lebih diuntungkan dengan adanya ASEAN-China FTA karena ekspornya lebih besar
dibandingkan dengan ekspor ASEAN ke China. Lagipula dari sudut pandang
perdagangan internasional, terdapat persaingan yang ketat di antara China dan ASEAN

26

Ibid, lihat juga Pertumbuhan Perdagangan ASEAN-China dalam http://internasional.kompas.com/,
diakses pada 5 April pukul 21.32 WIB

terutama dalam dua aspek yaitu: 1) aspek penetrasi pasar internasional dan 2) aspek
persaingan dalam produk.27
Perkembangan hubungan ASEAN-China dalam beberapa tahun belakangan ini bergerak
cepat terutama bila dibandingkan dengan sekitar 17 tahun yang lalu. Terkait dengan
pengembangan hubungan yang dilakukan oleh para pesaingnya seperti Amerika Serikat
dan Jepang dengan ASEAN oleh China sendiri berusaha untuk tidak meningkatkan
hubungannya dengan ASEAN terlalu cepat dan terlalu dalam, karena hal itu dapat
memberikan kesan bahwa China terlalu memaksakan kehendaknya.28
Persaingan perdagangan antara ASEAN dan China menunjukkan bahwa, negara-negara
ASEAN sangat khawatir bahwa dengan rendahnya ongkos produksi di China dan
kemungkinan meningkatnya efisiensi setelah bergabung dalam WTO, pasar domestik
mereka dibanjiri barang-barang murah produksi China dan mereka tidak akan mampu
bersaing dengan produk China di pasar lainnya. Kepedulian mereka terhadap terhadap
persaingan dagang sangatlah besar karena adanya overlap yang luas antara ekspor China
dan ASEAN, khususnya dalam produk manufaktur. Akhir-akhir ini ASEAN telah banyak
kehilangan pangsa pasar di Amerika Serikat dan Jepang. Meskipun Amerika Serikat dan
Uni Eropa menerapkan pembatasan kuota untuk memelihara pangsa pasa tekstil dan dan
pakaian ASEAN, namun negara-negara ASEAN tetap khawatir apabila pembatasan kuota
itu suatu saat dihapus, mereka akan kehilangan pangsa pasar yang lebih luar. Daripada
mencoba meyakinkan negara-negara ASEAN bahwa kekhawatiran tersebut tidak benar
adanya, para akademisi China lebih memilih mengakuinya secara terbuka akan hal itu,
dan para pimpinan China telah mengajukan kebijakan ekonomi yang ditujukan khusus
27
28

“China-Peaceful Rise in Light and Shadow”, East Asian Strategic Review, 2005, hal. 104-106
Ibid

terhadap kekhawatiran ASEAN tersebut, guna memperbaiki situasi perekonomian
ASEAN dan menunjukkan bahwa pertumbuhan China tidak harus menjadi ancaman bagi
ASEAN.29
Pertumbuhan ekonomi China telah mendatangkan pertumbuhan yang sangat signifikan
dalam perdagangan bilateral China-ASEAN, serta pasar yang akan semakin berkembang
bagi produk-produk ASEAN. Tabel-1 menunjukkan kenaikan yang mencengangkan
dalam perdagangan bilateral, termasuk kenaikan 400 persen dalam total perdagangan
antara 1997 dan 2004. Meskipun perdagangan bilateral diawali dalam jumlah yang sangat
rendah, yakni sebesar 7,28 miliar dolar AS pada 1990, dan hanya meliputi sebagian kecil
dari total perdagangan China, namun kenaikan perdagangan bilateral itu telah
meningkatkan integrasi di antara kedua pihak serta memperlihatkan bahwa pertumbuhan
ekonomi China dapat membantu mendorong pertumbuhan perekonomian ASEAN.

TABEL 1
Perkembangan Total Perdagangan ASEAN-China
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
Total perdagangan
25,1
23,6
27,2
39,4
41,8
54,8
78,2
dlm $US bn
(%)
(-5,9)
(15,3) (44,9) (6,1)
(31,1) (42,7) (35,4)
China Total
7,7
7,3
7,5
8,3
8,2
8,8
9,2
Perdagangan
Kerjasama dengan
ASEAN-10 (%)
Sumber: International Monetary Fund, Direction of Trade Statistics Yearbook, 2005

29

Michael A. Glosny, 2006, Ibid

2004
105,9
9,2

Hubungan Ekonomi ASEAN-China dari perdagangan bilateral, mencapai 20,8 persen per
tahun dari 1990-2003. Di tahun 2001 angka itu adalah 30 persen, sedangkan di tahun
2003 ia mencapai 78,3 miliar dolar AS, suatu peningkatan sebesar 42,9 persen dari tahun
sebelumnya. Di tahun 2004 angka itu meningkat lagi melebihi 109,9 miliar dolar AS
dengan angka pertumbuhan sebesar hampir 40 persen. ASEAN menjadi mitra dagang
nomor empat terbesar di China, dan China merupakan mitra dagang ASEAN nomor
empat sesudah Uni Eropa 911,5%), Jepang (13,7%), dan Amerika Serikat (14%). Pangsa
China dalam total perdagangan ASEAN tumbuh dari 2,1 persen ditahun 1994 menjadi 7
persen di tahun 200330
Pada pertemuan ASEAN+3 di Vientianne, para pihak telah menandatangani beberapa
kesepakatan yang dilajutkan ke pertemuan ASEAN-China di Nusa Dua Bali Oktober
2003, dimana telah dijalin kemitraan yang strategis untuk mencapai perdamaian dan
kemakmuran bersama. Kesepakatan tersebut ditandai dengan ditandatanganinya
Deklarasi

Bersama

Kemitraan

Strategis

untuk

Perdamaian

dan

Kemakmuran

(Declaration on Strategic Partnership for Peace and Prosperity) oleh Perdana Menteri
China Wen Jiaobao dengan 10 negara anggota ASEAN. Dalam deklarasi disebutkan,
bidang politik: akan memperdalam pemahaman serta persahabatan antara rakyat ASEA
dan China, kedua pihak akan memainkan peran dialog dan mekanisme konsultasi pada
berbagai tingkatan.31 Di bidang ekonomi: perkuatan pasar dan jaminan momentum
pertumbuhan yang pesat pada hubungan ekonomi dan perdagangan ASEAN-China.
Selanjutnya, ASEAN-China Free Trade Zone menjadi tulang punggung kerja sama
30

31

Raul L. Cordenillo, The Economic Benefits to ASEAN of the ASEAN-China Free Trade Area
9ACFTA). 2005, Hal.45-50
Studies Unit, Bureau fo Economic Integration, ASEAN Secretariat, 18 Januari 2005 diambil
dalam buku Afadlal, dkk.2011. “Ekonomi Politik Kemitraan ASEAN: Sebuah Potret Kerja
Sama”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal.151

keduanya menuju 2010 yang kerja samanya di Vientianne, Laos tahun 2004. Proses
negosiasi ASEAN-China FTA terus bergulir hingga saat ini. Dalam kaitan ini, telah
ditandatangani perjanjian perdagangan barang (Trade in Goods/TIG Agreement)32 pada
KTT ASEAN-China Ke-8 bulan November 2004.
TABEL 2
Perdagangan Negara-negara ASEAN dan China, 2004-2008
(Nilai dalam juta US$)
Nama Negara
2004
2005
Brunei Darussalam
243
234
Kamboja
12
15
Indonesia
4,605
6,662
Laos
1
4
Malaysia
8,634
9,465
Myanmar
75
119
Filipina
2,653
4,077
Singapura
15,321
19,770
Thailand
7,098
9,083
Vietnam
2,711
2,828
ASEAN Export
41,352
52,258
Brunei Darussalam
87
94
Kamboja
337
430
Indonesia
4,101
5,843
Laos
89
185
Malaysia
11,353
14,361
Myanmar
351
286
Filipina
2,659
2,973
Singapura
16,137
20,527
Thailand
8,183
11,116
Vietnam
4,416
5,322
ASEAN Export
47,714
61,136
Sumber: ASEAN Trade Statistics Database (Juli 2009)

2006
174
13
8,344
1
11,391
133
4,628
26,472
10,840
3,015
65,010
120
516
6,637
23
15,543
397
3,647
27,185
13,578
7,306
74,951

2007
201
11
8,897
35
15,443
475
5,750
28,925
14,873
3,336
77,945
157
653
8,616
43
18,897
564
4,001
31,908
16,184
12,148
93,173

2008
0
13
11,637
15
18,422
499
5,467
29,082
15,931
4,491
85,558
171
933
15,247
131
18,646
671
4,250
31,583
19,936
15,545
107,114

Tabel 2 menunjukkan total perdagangan antara China-ASEAN mengalami defisit bagi
ASEAN dengan nilai impor yang lebih besar dibanding ekspor ASEAN ke China
sepanjang kurun waktu 2004-2008. Defisit perdagangan tersebut semakin membesar dari
tahun ke tahun, dari sekitar 6 miliar sampai mencapai 22 miliar dolar AS pada 2008. Hal
32

http://www.asean.org/, diakses pada 5 April 2013 pukul 21.48 WIB

itu mengindikasikan ketidakseimbangan potensi dalam berbagai bidang, seperti
pengelolaan sumber daya alam, manajemen dan teknologi produksi, di samping pula
adanya dukungan penuh Pemerintah China berupa insentif fiskal dan permodalan
terhadap pengembangan industri kecil dan menengah.
Dari proses penyusunan dan penandatanganan perjanjian tersebut, tampaknya China lebih
bersemangat dan berharap mendapat keuntungan dari perjanjian ASEAN-China. Dari
kenyataan tersebut terkesan bahwa ASEAN lebih bernilai strategis bagi China
dibandingkan dengan nilai strategis China bagi ASEAN. Namun, persaingan dalam
menarik modal merupakan kecemasan bagi negara-negara ASEAN, karena daya tarik
China jelas jauh lebih kuat bagi investor asing. Kekhawatiran ini mendapat tanggapan
positif dari China sehingga terbentuk zona perdagangan bebas (free trade zone) antara
China-ASEAN.

Penutup
ASEAN-China FTA menjalankan perdagangan bebas mulai awal tahun 2010. Barang
ekspor China dipastikan, akan lebih membanjiri di kawasan ini. Sepanjang krisis finansial
global, ekspor China terimbas karena pasar tempat mereka menjual barang tidak dapat
menyerap barang China. Hasilnya ekspor China turun 18,8 persen. Namun, pada 2009,
pangsa pasar produk China terus bertambah karena penjualan dari negara lain juga
menurun tajam. Produk ekspor China yang terus membanjiri negara lain mendapat
keluhan dari negara-negara yang bekerja sama dengannya, bahkan Amerika Serikat,

Eropa dan Jepang tidak luput dari membanjirnya produk China yang sangat murah. Tidak
ada negara yang bersaing dengan China karena barang-barangnya terlalu murah. China
telah membuat kebijakan yang tidak resmi tentang pematokan kurs yuan terhadap dolar
AS sejak 2008 untuk membuat produknya semakin kompetitif.
Pertumbuhan ekonomi China telah mendatangkan pertumbuhan yang sangat signifikan
dalam perdagangan bilateral China-ASEAN, serta pasar yang akan semakin berkembang
bagi produk-produk ASEAN. Tabel-1 menunjukkan kenaikan yang mencengangkan
dalam perdagangan bilateral, termasuk kenaikan 400 persen dalam total perdagangan
antara 1997 dan 2004. Meskipun perdagangan bilateral diawali dalam jumlah yang sangat
rendah, yakni sebesar 7,28 miliar dolar AS pada 1990, dan hanya meliputi sebagian kecil
dari total perdagangan China, namun kenaikan perdagangan bilateral itu telah
meningkatkan integrasi di antara kedua pihak serta memperlihatkan bahwa pertumbuhan
ekonomi China dapat membantu mendorong pertumbuhan perekonomian ASEAN.
Namun, persaingan perdagangan antara ASEAN dan China menunjukkan bahwa, negaranegara ASEAN sangat khawatir bahwa dengan rendahnya ongkos produksi di China dan
kemungkinan meningkatnya efisiensi setelah bergabung dalam WTO, pasar domestik
mereka dibanjiri barang-barang murah produksi China dan mereka tidak akan mampu
bersaing dengan produk China di pasar lainnya. Daripada mencoba meyakinkan negaranegara ASEAN bahwa kekhawatiran tersebut tidak benar adanya, para akademisi China
lebih memilih mengakuinya secara terbuka akan hal itu, dan para pimpinan China telah
mengajukan kebijakan ekonomi yang ditujukan khusus terhadap kekhawatiran ASEAN
tersebut, guna memperbaiki situasi perekonomian ASEAN dan menunjukkan bahwa
pertumbuhan China tidak harus menjadi ancaman bagi ASEAN.

Dari proses penyusunan dan penandatanganan perjanjian tersebut, terlihat bahwa China
lebih bersemangat dan berharap mendapat keuntungan dari perjanjian ASEAN-China.
Dari kenyataan tersebut terkesan bahwa ASEAN lebih bernilai strategis bagi China
dibandingkan dengan nilai strategis China bagi ASEAN. Keuntungan dari perjanjian
ACFTA yang lebih menguntungkan China tersebut ditunjukkan terlihat jelas pada Tabel2.

DAFTAR PUSTAKA

Shofi, Ratna, dkk.2011. “Ekonomi Politik Kemitraan ASEAN: Sebuah Potret Kerja
Sama”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Dharmawan, Bagus, 2006. “Cermin dari China; Geliat Sang Naga di Era Globalisasi”.
Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara
Development_of_China_ASEAN_Trade_and_Economic_Relations_From_Regional_Per
spective,pdf,
Nationalism_and_Multilateralism_in_Chinese_Foreign_Policy(LSERO).pdf
http://www.eaber.org/, diakses pada 5 April 2013
http://eprints.lse.ac.uk/ diakses pada pada tanggal 5 April 2013
http:// www.cafta.org.cn/, diakses pada 5 April 2013

http://www.asean.org/, diakses pada 5 April 2013