Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Gejala Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di 5 Posyandu Desa Tamansari Kecamatan Pangkalan Karawang Tahun 2013

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN GEJALA INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA DI 5 POSYANDU DESA TAMANSARI KECAMATAN PANGKALAN

KARAWANG TAHUN 2013

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

Oleh : RUDIANTO NIM : 109101000075

PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1434 H / 2013 M


(2)

(3)

(4)

(5)

iv

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN Skripsi, 25 Juli 2013

RUDIANTO, NIM : 109101000075

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Gejala Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di 5 Posyandu Desa Tamansari Kecamatan Pangkalan Karawang Tahun 2013

(xv + 107 halaman, 25 tabel, 2 bagan, 6 lampiran) ABSTRAK

ISPA Infeksi Saluran Pernapasan Akut merupakan salah satu penyakit yang sering terjadi pada balita. Di wilayah Puskesmas Pangkalan yang berada di sekitar industri batu kapur, ISPA masih berada diurutan pertama dari 10 penyakit lainnya. Debu yang berasal dari pembakaran batu kapur merupakan pencemar terhadap lingkungan yang perlu diwaspadai karena dapat mengganggu kesehatan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara status gizi, status imunisasi, PM10, suhu, kelembaban, racun nyamuk, kebiasaan merokok, bahan bakar memasak, luas ventilasi dan kepadatan hunian dengan gejala ISPA pada balita di desa tamansari dan dilaksanakan April-Juni 2013. Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional dengan desain cross sectional. Populasi dan sampel penelitian ini adalah balita yang berusia 1-59 bulan di 5 posyandu desa tamansari tahun 2013 yaitu 68 balita. Analisis data dilakukan dengan CI=95% secara univariat dan bivariat serta menggunakan uji chi square dan man whitney dengan α=0,05.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa proporsi balita ISPA sebesar 57,4%, status gizi kurang sebesar 10,3%, status imunisasi tidak lengkap sebesar 11,8%, rata-rata PM10 sebesar 162,50 µg/m3, rata-rata suhu 28,66 0C, rata-rata kelembaban 86,12%, racun nyamuk bakar sebesar 89,7%, kebiasaan anggota keluarga yang merokok didalam rumah sebesar 79,4%, yang menggunakan yang memakai kayu bakar sebesar 14,7%, luas ventilasi, kepadatan hunian, yang tidak memenuhi syarat sebesar 64,7%, 80,9%.

Faktor yang berhubungan dengan gejala ISPA pada balita pada penelitian ini adalah kepadatan hunia (p=0,032). Sedangkan status gizi, status imunisasi, PM10, suhu, kelembaban, racun nyamuk, kebiasaan merokok, bahan bakar memasak dan luas ventilasi : tidak berhubungan secara bermakna dengan gejala ISPA pada balita. Disarankan kepada puskesmas agar memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingan kesehatan rumah serta masyarakat perlu memperbaiki kondisi fisik rumah yang tidak memenuhi syarat.

Kata Kunci : ISPA, status gizi, status imunisasi, PM10, suhu, kelembaban, racun nyamuk, kebiasaan merokok, bahan bakar masak, luas ventilasi dan kepadatan hunian.


(6)

v

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM

Undergraduate thesis, 25 July 2013

RUDIANTO, NIM: 109101000075

FACTORS ASSOCIATED WITH SYMPTOMS OF RESPIRATORY INFECTIONS (ARI) IN TODDLERS AT THE CASTLE VILLAGE 5 SUB BASE TAMANSARI KARAWANG IN 2013

(xv + 107 Pages, 25 Table, 2 Charts, 6 Attachments) ABSTRACT

ARI Acute Respiratory Infection is a disease that often occurs in infants. Base health centers in areas that are around the limestone industry, ISPA still comes out the first of 10 other diseases. The soot from burning limestone is a pollutant to the environment that needs to watch out because it can be detrimental to health.

This study aims to determine the relationship between nutritional status, immunization status, PM10, temperature, humidity, mosquitoes toxins, smoking, cooking fuel, extensive ventilation and occupancy density with symptoms of respiratory infection in infants in the Castle and village conducted from April to June 2013. This type of research is an observational cross-sectional design. Population and sample of this study is that infants aged 1-59 months in 5 villages posyandu the Castle in 2013 that 68 toddlers. Data analysis was performed with 95% CI = univariate and bivariate and using chi square test and man whitney with α = 0.05.

These results indicate that the proportion of 57.4% toddlers ARI, malnutrition status of 10.3%, incomplete immunization status of 11.8%, an average of 162.50 μg/m3 of PM10, the average temperature is 28 , 66 0C, the average moisture 86.12%, mosquito poison by 89.7%, the smoking habits of family members in the home by 79.4%, which use the firewood of 14.7%, extensive venting, density residential, which does not qualify for 64.7%, 80.9%.

Factors associated with symptoms of respiratory infection in infants in this study were hunia density (p = 0.032). While nutritional status, immunization status, PM10, temperature, humidity, mosquitoes toxins, smoking, cooking fuel and extensive ventilation: not significantly associated with respiratory symptoms in toddlers. Recommended to the clinic in order to educate the public about the health interests of the community need to improve the physical condition of the home that do not qualify.

Keywords: respiratory infections, nutritional status, immunization status, PM10, temperature, humidity, mosquitoes toxins, smoking, cooking fuel, extensive ventilation and occupancy density.


(7)

vi

DATA RIWAYAT HIDUP PENULIS

Nama

TTL

Jenis kelamin Alamat asal

Agama

Status pernikahan Nomor Handphone Email

: Rudianto

: Lampung, 14 Desember 1989 : Laki-laki

: Jln. Merdeka Rt/Rw 007/002 Desa Pangkalan Panji Kab : Banyuasin 30753 Palembang

: Islam

: Akan Menikah : 087885918582

: Rudianto_wof@ymail.com

RIWAYAT PENDIDIKAN

2009 - Sekarang S1 - Kesehatan Masyarakat Peminatan Kesehatan Lingkungan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2006 - 2009 MAN 1 Pangkalan Balai Banyuasin

2003 - 2006 SMP Negeri 3 Banyuasin III Pulau Harapan 1997 - 2003 SD Negeri PP Langkan

PENGALAMAN MAGANG

Maret – April 2013 Dinas Kesehatan Kabupaten Karawang Bidang Penyehatan Lingkungan

2010 – 2013 Pemberdayaan Masyarakat Melalui Usaha Ternak Bebek Kalung Magelang Jawa Tengah


(8)

vii

PENGALAMAN KUNJUNGAN LAPANGAN

05-12-2011 PT. Chevron Company Oil and Gas Balikpapa Kalimantan Timur

07-12-2011 PT. PERTAMINA Unit 5 Balikpapa Kalimantan Timur 21-04-2012 PT. JOB Pertamina Petrochina Tuba Jawa timur 07-05-2012 PT. Chevron Gheothermal Indonesia Garut Jawa Barat 28-06-2012 PT. Suralaya Pembangkit Listrik Cilegon Banten

PENGALAMAN ORGANISASI

2004 – 2005 Anggota Pramuka SMP Negeri 3 Pulau Harapan 2006 – 2008 Anggota Paskibra MAN Pangkalan Balai

2006 - 2008 Staff Departemen Kewarga Negaraan OSIS MAN PABA 2010 - 2011 Staff Departemen Kemahasiswaan BEM FKIK UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta

2010 - 2011 Ketua Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) 1 Kecamatan Ciputat, Kabupaten Tangerang

2009 - Sekarang Anggota Envihsa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2009 - Sekarang Ketua Angkatan 2009 Mahasiswa Beasiswa Santri Jadi Dokter Sumatera Selatan


(9)

viii

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puji syukur Kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat serta nikmat-Nya kepada seluruh umatnya. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membimbing umatnya menuju jalan yang terang penuh Cahaya Illahi.

Alhamdulillah pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi “Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Gejala Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di 5 Posyandu Desa Tamansari

Kecamatan Pangkalan Karawang Tahun 2013” dengan baik dan penuh perjuangan.

Skripsi ini disusun dan disajikan sebagai persyaratan memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Teriringi doa, dengan segala kerendahan hati dan rasa syukur penulis memberikan ucapan terimakasih atas terselesaikannya skripsi ini kepada:

1. Skripsi ini aku persembahkan untuk kedua orang tuaku tercinta yang telah memberikan semangat, bimbingan dan doa yang tiada henti untuk lulus tepat waktu.

2. Kakak kandung (Suwarni Ningsih, Heri Susanto, Ida susanti, dan Septiarini) yang telah memberikan dukungan, bantuan dan semangat agar bisa lulus tepat waktu.


(10)

ix

3. Adik-adik kandungku (Fera Yuliana dan Tomi julianto) yang selalu memberikan semangat agar bisa lulus cepat.

4. Dini Asmiar, Am. Keb yang selalu memberikan dukungan, semangat dan doa agar bisa lulus cepat.

5. Dinas Pendidikan Sumatera Selatan yang telah memberikan beasiswa kuliah di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Ibu Febrianti, SP. Msi. Selaku kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Ibu Ela Laelasari, SKM, M.Kes selaku pembimbing I yang telah memberikan tuntunan dan bimbingan ilmu pengetahuan dalam penyusunan skripsi ini.

8. Ibu Dewi Utami Iriani, SKM, M.Kes, Ph.D selaku pembimbing II yang telah memberikan tutunan dan bimbingan ilmu pengetahuan dalam penyusunan skripsi ini.

9. Bapak Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku pembina peminatan kesehatan lingkungan Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

10. Nenek, Uwak dan Anisa yang telah banyak membantu dan memberikan izin untuk tinggal dalam pelaksanaan skripsi.

11. Temen-temen dan sahabatku mahasiswa beasiswa sumsel khususnya angkatan 2009 (Midun, Aan, Rifki, Desly, Zil, Putra, Kiki, Tika, Rafita,


(11)

x

Etika, Vita, Nurul, Rani, Susi, Maya, Ira, Seil, Fitri, Maharani, Ani, Inti, semangat dan sukses buat kita, Aamiin.

12. Teman-teman mahasiswa Kesehatan Lingkungan 2009 semangat dan sukses untuk kita semua, Aamiin.

13. Serta segenap pihak yang telah membantu dalam penyusun dalam menyelesaikan skripsi ini.

Hanya do’a yang dapat penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, semoga amal baiknya mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Amin.

Penulis sadar atas segala kekurangan dan keterbatasan yang ada. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran untuk skripsi ini demi kemajuan dimasa yang akan datang.

Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Jakarta, 25 Juli 2013


(12)

xi DAFTAR ISI

ABSTRAK... i

ABSTACT... ii

RIWAYAT HIDUP... iii

KATA PENGANTAR... v

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR BAGAN... xiv

DAFTAR LAMPIRAN... BAB I PENDAHULUAN... xv 1 A. Latar Belakang... 1 B. Rumusan Masalah... C. Pertanyaan Penelitian... D. Tujuan Penelitian... 1. Tujuan Umum... 2. Tujuan Khusus... E. Manfaat Penelitian... 1. Manfaat Bagi Puskesmas... 2. Manfaat Bagi Peneliti... 3. Manfaat Bagi Institusi Pendidikan... F. Ruang Lingkup Penelitian...

5 6 7 7 7 8 8 9 9 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA...

A. Pengertian ISPA... B. Penyebab ISPA... C. Klasifikasi ISPA pada Balita... D. Mekanismes Terjadinya ISPA... E. Tanda dan Gejala ISPA... F. Masalah ISPA di Indonesia... G. Faktor Risiko ISPA...

11 11 12 15 17 17 19 22


(13)

xii

H. Karakteristik Balita... 1. Usia... 2. Status Gizi... 3. Status Imunisasi... I. Faktor Pendidikan Ibu... J. Sumber Polutan dalam Rumah... 1. Racun Nyamuk Bakar... 2. Aspa Rokok... 3. Bahan Bakar Masak... 4. PM10...

24 24 25 26 27 28 29 29 31 32 K. Sumber PM10... L. Nilai Ambang Batas PM10... M. Hubungan antara PM10 dengan ISPA... N. Suhu dan Kelembaban... O. Kondisi Lingkungan Rumah... 1. Luas Ventilasi... 2. Kepadatan Hunian...

32 32 34 35 36 36 38 P. Kerangka Teori... 38 BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL....

A. Kerangka Konsep... B. Defenisi Operasional... C. Hipotesis... BAB IV METODOLOGI PENELITIAN... A. Desain Penelitian... B. Lokasi dan Waktu... C. Populasi dan Sampel Penelitian... 1. Populasi... 2. Sampel... D. Teknik pengambilan sampel... E. Instrumen Penelitian... F. Metode dan Alat Pengumpulan Data...

40 40 42 47 48 48 48 48 48 49 50 51 51


(14)

xiii

1. Pengukuran PM10... 2. Termohygrometer... G. Pengumpulan Data... 1. Data Primer... 2. Data Sekunder... H. Pengolahan Data... 1. Editing... 2. Coding... 3. Entry Data... 4. Cleaning... I. Analisis Data... 1. Univariat... 2. Bivariat...

51 52 52 52 52 53 53 53 53 54 54 54 54 BAB V HASIL PENELITIAN...

A. Gambaran Desa Tamansari... B. Hasil Analisis Univariat... 1. Gambaran Kejadian ISPA... C. Gambaran Faktor Risiko Kejadian ISPA...

1. Gambaran Usia... 2. Gambaran Jenis kelamin... 3. Gambaran Status gizi... 4. Gambaran Status imunisasi... 5. Gambaran Pendidikan Ibu... 6. Gambaran PM10... 7. Gambaran Suhu... 8. Gambaran Kelembaban... 9. Gambaran Racun nyamuk... 10. Gambaran Kebiasaan merokok... 11. Gambaran Bahan bakar memasak... 12. Gambaran Luas ventilasi... 13. Gambaran Kepadatan hunian...

56 56 57 57 58 58 58 59 59 60 61 61 62 62 63 63 64 65


(15)

xiv

D. Hasil Analisi Bivariat... 1. Hubungan Status gizi dengan kejadian ISPA... 2. Hubungan Status imunisasi dengan kejadian ISPA... 3. Hubungan PM10 dengan kejadian ISPA... 4. Hubungan Suhu dengan kejadian ISPA... 5. Hubungan Kelembaban dengan Kejadian ISPA... 6. Hubungan Racun nyamuk dengan kejadian ISPA... 7. Hubungan Kebiasaan merokok dengan kejadian ISPA... 8. Hubungan Bahan bakar memasak dengan kejadian ISPA... 9. Hubungan Luas ventilasi dengan kejadian ISPA... 10. Hubungan Kepadatan hunian dengan kejadian ISPA... BAB VI PEMBAHASAN... A. Keterbatasan Penelitian... B. Analisis Univariat... 1. Gambaran Kejadian ISPA pada Balita... C. Analisis Bivariat... 1. Analisis Hubungan Status Gizi dengan Kejadian ISPA... 2. Analisis Hubungan Hubungan Status Imunisasi dengan

Kejadian ISPA... 3. Analisis Hubungan Hubungan PM10 dengan Kejadian ISPA... 4. Analisis Hubungan Hubungan Suhu dengan Kejadian ISPA... 5. Analisis Hubungan Hubungan Kelembaban dengan Kejadian ISPA... 6. Analisis Hubungan Hubungan Racun Nyamuk dengan Kejadian ISPA... 7. Analisis Hubungan Hubungan Kebiasaan Merokok dengan

Kejadian ISPA... 8. Analisis Hubungan Hubungan Bakar Bahan Memasak dengan

Kejadian ISPA... 9. Analisis Hubungan Hubungan Luas Ventilasi dengan Kejadian

ISPA... 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 77 77 77 77 79 79 81 84 86 88 90 92 95 98


(16)

xv

10. Analisis Hubungan Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian ISPA... BAB VII SIMPULAN DAN SARAN... A. Simpulan... B. Saran... 1. Bagi Responden... 2. Bagi Puskesmas... 3. Bagi Peneliti Lain... DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

100 104 104 106 106 106 107


(17)

xvi

DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Tabel Hal

Tabel 3.1 Definisi Operasional... 42

Tabel 5.1 Distribusi Kejadian ISPA... 57

Tabel 5.2 Distribusi Usia Balita... 58

Tabel 5.3 Distribusi Jenis Kelamin Balita... 58

Tabel 5.4 Distribusi Status Gizi Balita... 59

Tabel 5.5 Distribusi Status Imunisasi Balita... 59

Tabel 5.6 Distribusi Pendidikan Ibu Balita... 60

Tabel 5.7 Distribusi Rata-rata PM10 dalam Kamar Balita... 61

Tabel 5.8 Distribusi Rata-rata Suhu dalam Kamar Balita... 61

Tabel 5.9 Distribusi Rata-rata Kelembaban dalam Kamar Balita... 62

Tabel 5.10 Distribusi Pemakaian Racun Nyamuk Bakar... 62

Tabel 5.11 Distribusi Kebiasaan Merokok didalam Rumah... 63

Tabel 5.12 Distribusi Bahan Bakar Memasak... 63

Tabel 5.13 Distribusi Luas Ventilasi Kamar Balita... 64

Tabel 5.14 Distribusi Kepadatan Hunian Kamar Balita... 65

Tabel 5.15 Hubungan Status Gizi dengan Kejadian ISPA... 66

Tabel 5.16 Hubungan Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA... 67

Tabel 5.17 Hubungan PM10 dengan Kejadian ISPA... 68

Tabel 5.18 Hubungan Suhu dengan Kejadian ISPA... 69

Tabel 5.19 Hubungan Kelembaban denagn Kejadian ISPA... 70

Tabel 5.20 Hubungan Racun Nyamuk Bakar dengan Kejadian ISPA.. 71

Tabel 5.21 Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Kejadian ISPA... 72

Tabel 5.22 Hubungan Bahan Bakar Memasak dengan Kejadian ISPA. 73 Tabel 5.23 Hubungan Luas Ventilasi dengan Kejadian ISPA... 74

Tabel 5.24 Hubungan Kepadatan Hunia dengan Kejadian ISPA... 75


(18)

xvii

DAFTAR BAGAN

No. Bagan Judul Bagan Hal

Bagan 2.1 Bagan 2.2

Kerangka teori Kerangka Konsep

39 41


(19)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 6

Kuisoner

Hasil Analisis Statistik Foto-foto Dokumentasi

Data Kesakitan Puskesmas Pangkalan tahun 2012 Surat Izin Penelitian


(20)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia. Hampir empat juta orang meninggal setiap tahun. Tingkat mortalitas sangat tinggi pada bayi, anak-anak dan orang lanjut usia, terutama di negara dengan pendapatan per kapita rendah dan menengah. Begitu pula, ISPA merupakan salah satu penyebab utama rawat jalan dan rawat inap di fasilitas pelayanan kesehatan terutama pada bagian perawatan anak (WHO, 2008).

World Health Organization (WHO) memperkirakan insidens Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20% pertahun pada golongan usia balita. Menurut WHO ± 13 juta anak balita di dunia meninggal setiap tahun dan sebagian besar kematian tersebut terdapat di negara berkembang, dimana ISPA merupakan salah satu penyebab utama kematian dengan membunuh ± 4 juta anak balita setiap tahun (Depkes RI, 2001).

Proporsi kematian balita akibat Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKTR) 2007 sebesar 15 %. Sebagai kelompok penyakit, ISPA juga merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di sarana kesehatan, sebanyak 40% - 60%


(21)

kunjungan berobat di Puskesmas dan 15% - 30% kunjungan berobat di bagian rawat jalan dan rawat inap rumah sakit disebabkan oleh ISPA (Depkes RI, 2006).

Di Indonesia, ISPA selalu menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Selain itu ISPA juga sering berada pada daftar 10 besar penyakit terbanyak di rumah sakit. Survei mortalitas yang dilakukan oleh subdit ISPA tahun 2005 menempatkan ISPA atau Pneumonia sebagai penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan presentase 22,30% dari seluruh kematian balita (Rima, 2008).

Ada banyak faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA baik secara langsung maupun tidak langsung. Hasil penelitian yang dilakukan Charles (2005) menyebutkan bahwa asap rokok dari orang yang merokok dalam rumah serta pemakaian racun nyamuk bakar merupakan risiko yang bermakna dengan kejadian ISPA pada balita. Sedangkan Depkes (2002) menyebutkan bahwa faktor penyebab ISPA pada balita adalah berat badan bayi rendah (BBLR), status gizi buruk, status imunisasi yang tidak lengkap, kepadatan tempat tinggal dan lingkungan fisik.

Sedangkan menurut Hendrik L. Blum dalam Notoatmodjo (1996), faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit ISPA antara lain faktor lingkungan seperti kondisi fisik rumah (ventilasi udara, jenis lantai, jenis dinding, letak dapur, suhu, pencahayaan, kelembaban dan kepadatan hunian). Faktor perilaku seperti kebiasaan merokok anggota keluarga dalam rumah,


(22)

3

penggunaan obat nyamuk, jenis bahan bakar memasak, faktor pelayanan kesehatan seperti status imunisasi dan status gizi.

Lingkungan yang berpengaruh dalam proses terjadinya ISPA adalah lingkungan perumahan, dimana kualitas rumah berdampak terhadap kesehatan anggotanya. Kualitas rumah dapat dilihat dari jenis atap, jenis lantai, jenis dinding, kepadatan hunia dan jenis bahan bakar memasak yang diapaki. Faktor-faktor diatas diduga sebagai penyeba terjadinya ISPA (Depkes RI, 2003).

Industri batu kapur yang berada di desa Tamansari merupakan industri informal yang dikelola oleh masyarakat dan dalam pengolahannya masih bersifat tradisional, sehingga jenis polutan PM10 yang ada di udara berisiko terhadap kesehatan manusia. Efek terhadap kesehatan manusia dipengaruhi oleh intensitas dan lamanya keterpajanan, selain itu juga dipengaruhi oleh status kesehatan penduduk terpajan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa keadaan lingkungan udara yang kurang menguntungkan akan memperburuk kondisi kesehatan seseorang diperburuk lagi (Kusnoputran, 2000).

Penelitian Abdullah (2003) membuktikan bahwa status gizi, pemberian ASI, berat badan lahir (BBL), pendidikan ibu, kepadatan hunian, asap pembakaran, asap rokok, keadaan ventilasi dan letak dapur terhadap kejadian ISPA. Hasil penelitian Risa (2005) membuktikan bahwa kebiasaan membuka jendela rumah, jumlah anggota keluarga dan letak ternak kandang berhubungan dengan kejadian ISPA di Kecamatan Parung-Jawa Barat.


(23)

Kejadian ISPA di Propinsi Jawa Barat masih menjadi urutan pertama dibandingkan dengan penyakit lainnya yakni sebesar 33,44%, menurut Profil Kesehatan Jawa Barat tahun 2006, jumlah anak balita penderita ISPA di Jawa Barat mencapai 199.287 anak, dengan jumlah kematian akibat pneumonia pada bayi mencapai 63 orang dan pada anak balita mencapai 19 orang. Data Dinas Kabupaten Karawang menunjukkan bahwa jumlah penderita ISPA di Kabupaten Karawang pada Tahun 2009 adalah 6.476 kasus. Berdasarkan data Puskesmas Pangkalan Kecamatan Pangkalan menunjukkan bahwa ISPA merupakan penyakit infeksi yang paling sering diderita oleh masyarakat khususnya kelompok bayi dan anak-anak. ISPA menempati urutan pertama dalam daftar sepuluh penyakit tertinggi pada kelompok umur 1-4 tahun di wilayah kerja puskesmas pangkalan dengan presentase sebesar 54,50% (Laporan Tahunan Puskesmas Pangkalan 2012).

Berdasarkan uraian di atas, penyakit ISPA merupakan salah satu penyakit dengan angka kesakitan dan angka kematian yang cukup tinggi, sehingga dalam penanganannya diperlukan kesadaran yang tinggi baik dari masyarakat maupun petugas kesehatan, terutama tentang kondisi pencemaran udara di dalam rumah balita yang mempengaruhi kejadian ISPA yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan rumah dan karakteristik balita.

Dari data laporan puskesmas tahun 2012 maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan gejala ISPA pada balita di 5 Posyandu Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang, tahun 2013.


(24)

5

B. Rumusan Masalah

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu masalah kesehatan yang ada di Indonesia. Hal ini disebabkan karena masih tingginya angka kesakitan dan angka kematian karena ISPA pada bayi dan balita. Kejadian ISPA dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain yaitu sosial-ekonomi (pendapatan orang tua, pendidikan orang tua), status gizi, status imunisasi, tingkat pengetahuan ibu, kepadatan hunian, luas ventilasi, pemakaian racun nyamuk, kebiasaan merokok, bahan bakar memasak, suhu dan kelembapan.

Berdasarkan data laporan Puskesmas Pangkalan tahun 2012, menunjukkan bahwa penyakit ISPA merupakan penyakit infeksi yang paling sering diderita oleh masyarakat khususnya kelompok bayi dan balita ISPA menempati urutan pertama dalam daftar sepuluh penyakit tertinggi pada kelompok umur 1-4 tahun di wilayah kerja Puskesmas Pangkalan dengan presentase sebesar 54.50%.

Berdasarkan data inilah maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan judul faktor-faktor yang berhubungan dengan gejala ISPA pada balita di Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013.


(25)

C. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimanakah gambaran gejala ISPA pada balita di 5 posyandu Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang, tahun 2013? 2. Bagaimanakah gambaran karakteristik balita (usia, jenis kelamin, status

gizi, status imunisasi) di Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013?

3. Bagaimanakah gambaran pendidikan ibu di Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013?

4. Bagaimanakah gambaran kadar PM10 dalam rumah balita di Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013? 5. Bagaimanakah gambaran lingkungan fisik rumah (suhu, kelembaban,

pemakaian racun nyamuk, kebiasaan merokok, pemakaian bahan bakar memasak, luas ventilasi dan kepadatan penghuni) di Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013?

6. Apakah ada hubungan karakteristik balita (status gizi dan status imunisasi) dengan gejala ISPA pada balita di 5 posyandu Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013? 7. Apakah ada hubungan antara kadar PM10 dalam kamar dengan gejala

ISPA pada balita di 5 posyandu, Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013?

8. Ada hubungan antara lingkungan fisik rumah (suhu, kelembaban, pemakaian racun nyamuk, kebiasaan merokok, pemakaian bahan bakar memasak, luas ventilasi dan kepadatan hunian) dengan gejala ISPA pada


(26)

7

balita di 5 posyandu Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013?

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan gejala ISPA pada balita di 5 posyandu, Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013.

2. Tujuan Khusus

1. Diketahuinya gambaran gejala ISPA pada balita di 5 posyandu Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013. 2. Diketahuinya gambaran karakteristik balita (usia, jenis kelamin, status

gizi dan status imunisasi) di 5 posyandu Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013.

3. Diketahuinya gambaran pendidikan ibu balita di Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013.

4. Diketahuinya kadar PM10 dalam kamar balita di 5 posyandu Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013. 5. Diketahuinya gambaran lingkungan fisik rumah (suhu, kelembaban,

kebiasaan merokok, pemakaian racun nyamuk, pemakaian bahan bakar memasak, luas ventilasi dan kepadatan penghuni) di 5 posyandu


(27)

Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013.

6. Dikethuinya hubungan antara karakteristik balita (status gizi, status imunisasi) dengan kejadian ISPA pada balita di 5 posyandu Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013. 7. Diketahuinya hubungan antara kadar PM10 dalam kamar balita

dengan gejala ISPA di 5 posyandu Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013.

8. Diketahuinya hubungan antara lingkungan fisik rumah (suhu, kelembaban, pemakaian racun nyamuk, kebiasaan merokok, pemakaian bahan bakar memasak, luas ventilasi dan kepadatan penghuni) dengan gejala ISPA pada balita di 5 posyandu Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013.

E. Manfaat Penelitian

1. Puskesmas

Hasil penelitian ini digunakan sebagai masukan untuk menyusun perencanaan program program P2 ISPA dalam upaya pencegahan di Kecamatan Pangkalan khususnya dan daerah lain yang mempunyai masalah yang sama pada umumnya, sehingga angka kesakitan ISPA dapat dikurangi.


(28)

9

2. Manfaat Bagi Peneliti

Dapat meningkatkan pengetahuan dan mendapatkan kesempatan untuk mengaplikasikan teori yang telah didapatkan dalam operasional kesehatan lingkungan, serta sebagai bahan referensi yang dapat dijadikan bahan bacaan oleh peneliti selanjutnya.

3. Manfaat Bagi Institusi Pendidikan

Dapat dijadikan referensi mengenai bahaya paparan debu batu kapur terhadapat kesehatan manusia yang berada dikawasan sekitar industri batu kapur, khususnya untuk mahasiswa peminatan kesehatan lingkungan.

F. Ruang Lingkup

Penelitian ini mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan gejala ISPA pada balita di 5 posyandu desa tamansari, kecamatan pangkalan, kabupaten karawang tahun 2013, dilakukan oleh mahasiswa peminatan Kesehatan Lingkungan Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kegiatan penelitain ini dilaksanakan pada bulan April-Juni 2013 di desa tamansari. Populasi penelitian ini adalah seluruh balita yang berusia 1-59 bulan di 5 posyandu desa Tamansari, sedangkan sampel adalah balita yang dipilih secara random dengan menggunakan metode.


(29)

Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder, data primer dari instrument kuisioner, serta untuk mengetahui kosentrasi debu di udara dilakukan pengukuran dengan alat Environmental particulate monitor (EPAM) HOC 12 merek SKC, INC EPAM-5000, untuk mengetahui suhu dan kelembaban menggunakan alat Thermohygrometer.


(30)

11 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

Infeksi saluran pernapasan akut sering disalahartikan sebagai infeksi saluran pernapasan atas, yang benar adalah ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Infeksi Saluran Pernapasan Akut meliputi saluran pernapasan bagian atas dan saluran pernapasan bagian bawah. Infeksi saluran pernapasan akut adalah infeksi saluran pernapasan yang berlangsung sampai 14 hari, yang dimaksud dengan saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung sampai gelembung paru, beserta organ-organ disekitarnya seperti sinus, ruang telinga tengah dan selaput paru (Depkes RI, 2006).

Penyakit ISPA masih merupakan penyakit utama penyebab kesakitan dan kematian bayi dan balita. Keadaan ini berkaitan erat dengan berbagai kondisi yang melatarbelakanginya seperti malnutrisi juga kondisi lingkungan baik polusi di dalam rumah berupa asap maupun debu dan sebagainya (Depkes RI, 2006).

Infeksi saluran pernapasan akut yang diadaptasi dari istilah dalam Bahasa Inggris yaitu : Acute Respiratory Infection (ARI) mempunyai pengertian sebagai berikut (Depkes RI, 2005):

1) Infeksi adalah masuknya kuman atau pathogen ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.


(31)

2) Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung alveoli beserta organ adneksa seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Infeksi Saluran Pernapasan akut secara anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernapasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernapasan (repiratory tract).

3) Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari.

Sebagian besar dari infeksi saluran pernapasan hanya bersifat ringan seperti batuk pilek, demam dan tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotic, namun demikian anak akan menderita pneumonia bila infeksi paru ini tidak diobati dengan antibiotic dan dapat mengakibatkan kematian (Depkes RI, 2003).

Program Pemberantasan Penyakit (P2) ISPA membagi penyakit ISPA dalam 2 golongan yaitu pneumonia dan yang bukan pneumonia. Pneumonia dibagi atas derajat beratnya penyakit yaitu pneumonia berat dan pneumonia tidak berat. Penyakit batuk pilek seperti rhinitis, faringitis, tonsillitis dan penyakit jalan napas bagian atas lainnya digolongkan sebagai bukan pneumonia. Etiologi dari sebagian besar penyakit jalan napas bagian atas ini ialah virus dan tidak dibutuhkan terapi antibiotik. Faringitis oleh kuman Streptococcus jarang ditemukan pada balita. Bila ditemukan harus diobati dengan antibiotic penisilin, semua radang telinga akut harus mendapat


(32)

13

antibiotic. Infeksi Saluran Pernapasan Akut dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara pernapasan yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat ke saluran pernapasannya (Depkes RI, 2003).

Penyebab ISPA dapat berupa bakteri maupun virus. Di Indonesia, sebagian besar kematian pada balita dipicu karena adanya ISPA bagian bawah atau pneumonia. Infeksi saluran pernapasan akut menyerang jaringan paru-paru dan penderita cepat meninggal akibat pneumonia yang terlalu berat. Pada umumnya ISPA dibagi menjadi dua bagian yaitu ISPA bagian atas dan ISPA bagian bawah. Klasifikasi ISPA dapat diklasifikasikan menjadi:

1) Bukan pneumonia yang mencakup kelompok penderita balita dengan gejala batuk pilek (common cold) yang tidak diikuti oleh gejala peningkatan frekuensi napas dan tidak menunjukkan adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam.

2) Pneumonia berat dengan gejala batuk pilek pada balita disertai oleh peningkatan nafas cepat atau kesukaran bernafas (Depkes RI, 2000).

B. Penyebab ISPA

ISPA dapat disebabkan oleh banyak hal antara lain :

1) Menurut Nelson (2002), Virus penyebab ISPA meliputi virus parainfluenza, adenovirus, rhinovirus, koronavirus, koksakavirus A dan B, Streptokokus dan lain-lain.

2) Perilaku individu, seperti sanitasi fisik rumah, kurangnya ketersediaan air bersih (Depkes RI, 2005).


(33)

Untuk pencegahan ISPA dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu : a) Imunisasi

b) Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) polusi di dalam maupun di luar rumah

c) Mengatasi demam

d) Perbaikan makanan pendamping ASI

e) Penggunaan air bersih untuk kebersihan dan untuk minum

Menurut (Depkes RI, 2006) Penyebab ISPA terdiri dari lebih 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain dari genus Streptococcus, Stafilococcus, Pneumococcus, Haemophilus, Bordetella dan Corynebakterium. Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan

Miksovirus, Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus, Mikoplasma,

Herpesvirus. Berdasarkan penelitian di Pulau Lombok tahun 1997-2003 serta penelitian di berbagai negara yang dipublikasikan WHO, penyebab ISPA yang paling umum dan paling sering ditemukan pada balita adalah bakteri Streptococcus pneumoniae dan Haemophyllus influenzae.

Grup B Streptokokus dan gram negative bakteri Enteric merupakan penyebab yang paling umum pada neonatus dan merupakan transmisi vertikal dari ibu sewaktu persalinan. Penumonia pada neonatus berumur 3 minggu sampai 3 bulan yang paling sering adalah bakteri, biasanya bakteri Streptokokus Pneumoniae. Pada balita usia 4 bulan sampai 5 tahun, virus merupakan penyebab tersering dari pneumonia, yaitu Respiratory Synctyial


(34)

15

virus. Pada usia 5 tahun sampai dewasa pada umumnya penyebab pneumonia adalah bakteri (Depkes RI, 2003).

Menurut publikasi WHO penelitian yang dilakukan di berbagai negara berkembang juga menunjukkan bahwa Streptococcus Pneumoniae dan Haemophylus Influenzae merupakan bakteri yang selalu ditemukan dua pertiga dari hasil isolasi (73,9% aspirat paru dan 69,1% hasil isolasi dari spesimen darah). Sedangkan di negara maju, dewasa ini pneumonia pada anak umumnya disebabkan oleh virus. Di Indonesia, penelitian di Lombok 1997–2003 memperlihatkan usap tenggorok pada usia <2 tahun ditemukan

Streptococcus Pneumoniae (48%) dan Haemophylus Influenzae B (8%)

(Depkes RI, 2006).

C. Klasifikasi ISPA Pada Balita

Klasifikasi merupakan suatu kategori untuk menentukan tindakan yang akan diambil oleh tenaga kesehatan dan bukan sebagai diagnosis spesifik penyakit. Klasifikasi ini memungkinkan seseorang dengan cepat menentukan apakah kasus yang dihadapi adalah suatu penyakit serius atau bukan, apakah perlu dirujuk segera atau tidak. Klasifikasi sederhana berupa tanda dan gejala ISPA yang mudah dikenal untuk mengetahui tindakan selanjutnya apakah harus diberi antibiotika, dapat dirawat di rumah atau harus dirujuk ke Rumah Sakit. Dalam penentuan klasifikasi penyakit dibedakan atas kelompok untuk umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun dan kelompok umur di bawah 2 bulan. Kriteria atau entry Pedoman Pengendalian Penyakit


(35)

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (P2 ISPA) yang dilaksanakan Departemen Kesehatan untuk tenaga kesehatan (dokter, perawat, bidan pengelola P2 ISPA) dalam tatalaksana anak dengan batuk dan atau kesukaran bernapas (Depkes RI, 2007).

Adapun klasifikasi penyakit ISPA adalah sebagai berikut :

1) Untuk kelompok umur 2 bulan sampai < 5 tahun klasifikasi dibagi atas: pneumonia berat, pneumonia dan bukan pneumonia.

2) Untuk kelompok umur < 2 bulan klasifikasi dibagi atas: pneumonia berat dan bukan pneumonia. Dalam pendekatan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) klasifikasi pneumonia berat pada kelompok umur < 2 bulan adalah gangguan napas dan mungkin infeksi bakteri sistemik.

Klasifikasi pneumonia berat berdasarkan pada adanya batuk atau kesukaran bernapas disertai napas sesak atau tarikan dinding dada bagian bawah (chest indrawing) pada anak usia 2 tahun sampai < 5 tahun.

Klasifikasi bukan pneumonia mencakup kelompok penderita balita dengan batuk yang tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi napas dan tidak menunjukkan adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam. Dengan demikian klasifikasi bukan pneumonia mencakup penyakit ISPA lain di luar pneumonia seperti batuk pilek bukan pneumonia (common cold, pharingitis, tonsillitis, otitis) (Depkes RI, 2004).


(36)

17

D. Mekanisme Terjadinya ISPA

Menurut Lindawaty (2010) Saluran pernafasan dari hidung sampai bronkhus dilapisi oleh membran mukosa bersilia, udara yang masuk melalui rongga hidung disaring, dihangatkan dan dilembutkan. Partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut yang terdapat dalam hidung, sedangkan partikel debu yang halus akan terjerat dalam membran mukosa. Gerakan silia mendorong membran mukosa ke posterior ke rongga hidung dan ke arah superior menuju faring.

Secara umum efek pencemaran udara terhadap pernafasan dapat menyebabkan pergerakan silia hidung menjadi lambat dan kaku bahkan dapat berhenti sehingga tidak dapat membersihkan saluran pernafasan akibat iritasi oleh bahan pencemar. Produksi lendir akan meningkat sehingga menyebabkan penyempitan saluran pernafasan dan makrofage di saluran pernafasan. Akibat dari dua hal tersebut akan menyebabkan kesulitan bernafas sehingga benda asing tertarik dan bakteri tidak dapat dikeluarkan dari saluran pernafasan, hal ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran pernafasan (Mukono, 2008).

E. Tanda dan Gejala Klinis ISPA

Penyakit ISPA pada balita dapat menimbulkan bermacam-macam tanda dan gejala seperti batuk, kesulitan bernafas, sakit tenggorokan, pilek, sakit telinga dan demam. Berikut gejala ISPA dibagi menjadi 3 antara lain sebagai berikut :


(37)

Seseorang balita dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu atau lebih gejala-gejala sebagai beriku :

a) Batuk

b) Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (pada waktu berbicara atau menangis)

c) Pilek, yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung d) Panas atau demam, suhu badan lebih dari 37°C.

2) Gejala dari ISPA sedang

Seseorang balita dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala dari ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut : a) Pernapasan cepat (fast breathing) sesuai umur yaitu : untuk kelompok

umur kurang dari 2 bulan frekuensi nafas 60 kali per menit atau lebih untuk umur 2-<12 bulan dan 40 kali per menit atau lebih pada umur 12 bulan - < 5 tahun.

b) Suhu tubuh lebih dari 39°C c) Tenggorokan berwarna merah

d) Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak e) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga

f) Pernapasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur) 3) Gejala dari ISPA Berat

Seseorang balita dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejala-gejala ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala-gejala-gejala sebagai berikut :


(38)

19

a) Bibir atau kulit membiru

b) Anak tidak sadar atau kesadaran menurun

c) Pernapasan berbunyi seperti mengorok dan anak tampak gelisah d) Sela iga tetarik ke dalam pada waktu bernafas

e) Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba f) Tenggorokan berwarna merah

ISPA pada umumnya adalah infeksi bakteri pada berbagai area dalam saluran pernafasan, termasuk hidung, telinga tengah, pharynx, larynx, trachea, bronchi dan paru. Gejalanya dapat bervariasi, antara lain meliputi (WHO, 2009).

1) Batuk. 2) Sesak nafas.

3) Tenggorokan kering. 4) Hidung Tersumbat.

F. Masalah ISPA di Indonesia

Menurut Lindawaty (2010) Penyakit ISPA dan gangguan saluran pernafasan lain selalu menduduki peringkat pertama dari sepuluh penyakit terbanyak yang dilaporkan oleh pusat pelayanan kesehatan masyarakat seperti puskesmas, klinik dan rumah sakit. Diketahui bahwa penyebab terjadinya ISPA dan penyakit gangguan saluran pernapasan lain adalah rendahnya kualitas udara di dalam rumah dan atau di luar rumah baik secara biologis, fisik, maupun kimia. Hampir semua penyebab penyakit dan kematian yang


(39)

terkait dengan pencemaran udara tersebut tercatat dan dilaporkan oleh Departemen Kesehatan melalui rumah sakit, puskesmas, dinas kesehatan propinsi dan kota/kabupaten.

Program Pemberantasan Penyakit (P2) ISPA di Indonesia mulai tahun 1984, bersamaan dengan dilancarkannya pemberantasan penyakit ISPA di tingkat global oleh WHO. Pola tatalaksana ISPA tahun 1984 mengklasifikasikan penyakit ISPA dalam 3 tingkatan keparahan, yaitu: ISPA ringan, ISPA sedang, dan ISPA berat. Klasifikasi ini menggabungkan penyakit infeksi akut paru, infeksi akut ringan, dan infeksi tenggorokan pada anak dalam satu kesatuan.

Pada lokakarya ISPA Nasional tahun 1988 dalam Lindawaty (2010), disosialisasikan pola baru tatalaksana kasus ISPA. Tatalaksana pola baru ini selain menggunakan cara klasifikasi gejala penyakit yang praktis dan sederhana dengan tepat guna, juga memisahkan antara tatalaksana penyakit pneumonia dan tatalaksana penderita penyakit infeksi akut telinga dan tenggorokan.

Lokakarya Nasional ke 3 tahun 1990 di Cimacan telah menyepakati untuk menerapkan pola baru tatalaksana kasus ISPA di Indonesia dengan melakukan adaptasi sesuai dengan situasidan kondisi setempat. Dengan menerapkan pola ini, sejak tahun 1990 Pengendalian Penyakit ISPA menitikberatkan atau memfokuskan kegiatan penanggulangannya pada pneumonia balita, karena penyakit pernapasan merupakan penyebab yang


(40)

21

tertinggi kematian pada usia di bawah 5 tahun, dimana sebagian besar disebabkan karena pneumonia.

Pada tahun 1997 WHO mempublikasikan tatalaksana penderita balita dengan menggunakan pendekatan Integrated Management Childhood Illness (IMC) atau Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) yang sekaligus merupakan model tatalaksana kasus untuk berbagai penyakit anak, yaitu ISPA, diare, malaria, campak, gizi kurang dan kecacingan.

Review Nasional Pelaksana MTBS tahun 2003 menyepakati perlunya MTBS dilaksanakan diseluruh Puskesmas di Indonesia. Namun dalam penerapannya, untuk memperoleh jaminan pelayanan MTBS yang berkualitas dan mencakup sasaran yang luas ternyata memerlukan dukungan sumber daya yang sangat besar, baik untuk biaya pelatihan, proses pelaksanaannya di puskesmas maupun untuk monitoring dan pembinaan yang berkualitas, teratur dan berkelanjutan.

Belum meratanya ketersediaan sumber daya yang memadai menyebabkan pelaksanaan MTBS di daerah tersendat-sendat dan mengalami banyak hambatan. Bagi kabupaten/kota yang belum mampu melatih dan melaksanakan MTBS di puskesmas dan tetap harus menyediakan pelayanan kesehatan yang bermutu bagi balita ISPA maka dapat memilih menggunakan prosedur Tatalaksana Standar Penyakit ISPA.

Prosedur lama ini, sejak awal dipublikasikan pada tahun 1988 tidak sepenuhnya ditinggalkan karena memiliki kelebihan yaitu membutuhkan biaya yang relative lebih murah dalam penyelengaraan pelatihan maupun


(41)

pelaksanaan sehari-hari dipuskesmas. Tetapi harus disadari bahwa prosedur ini memiliki beberapa kekurangan dalam hal keterpaduan dengan penyakit lain jika dibandingkan dengan MTBS.

Proporsi penyakit sistem pernapasan sebagai penyebab penyakit kematian pada bayi dan balita berdasarkan hasil ekstrapolasi dari Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001 menunjukkan hasil bahwa angka kematian balita akibat penyakit pernapasan adalah 4,9/1000 balita. Sekitar 80 – 90% dari kematian ini disebabkan oleh pneumonia. Sedangkan berdasarkan hasil Surkenas 2001 proporsi kematian karena sistem pernapasan pada bayi (usia<1 tahun) sebesar 23,9% di Jawa-bali, 15,8% di Sumatera serta 42,6% di kawasan Timur Indonesia. Pada anak balita (usia 1 – 5 tahun) sebesar 16,7% di Jawa-bali, 29,4% di Sumatera, 30,3% di kawasan Timur Indonesia. Berdasarkan tempat tinggal, penyakit pernapasan lebih tinggi di pedesaan yaitu 14,5% dibandingkan dengan perkotaan sebesar 9,0% (Depkes RI, 2003).

Dari hasil Survey Mortalitas Subdit ISPA Departemen Kesehatan RI tahun 2005 yang dilakukan di 10 propinsi menunjukkan bahwa pneumonia masih merupakan penyebab kematian tertinggi pada balita (22,5%). Angka cakupan penemuan penderita pneumonia balita dari tahun ke tahun tidak menunjukkan adanya peningkatan yang berarti. Mulai tahun 2005, dalam penentuan target Cakupan Penemuan Penderita Penumonia Balita, ditetapkan angka 5% dari jumlah penduduk balita (target sebelumnya adalah 10% jumlah penduduk balita). Hal ini berdasarkan hasil Survey Morbiditas Subdit


(42)

23

ISPA Departemen Kesehatan RI tahun 2004 bahwa angka insiden balita batuk dengan napas cepat dalam dua minggu sebelum survey sebesar 5,12% (Depkes RI, 2005).

G. Faktor Risiko ISPA

Bukti substansial menunjukkan bahwa faktor risiko yang berkontribusi terhadap insiden ISPA adalah kurangnya pemberian ASI eksklusif, kurang gizi, polusi udara dalam ruangan, berat lahir rendah, kepadatan hunian dan kurangnya imunisasi campak. ISPA menyebabkan sekitar 19% dari seluruh kematian pada anak-anak usia kurang dari 5 tahun, dan lebih dari 70% terjadi di Sahara Afrika dan Asia Tenggara (WHO, 2008).

Berdasarkan hasil penelitian dari berbagai faktor termasuk Indonesia dan berbagai publikasi ilmiah, dilaporkan faktor resiko penyebab ISPA baik untuk meningkatkan insiden (morbiditas) maupun kematian (mortalitas) akibat ISPA. Faktor risiko yang meningkatkan insiden ISPA adalah umur <2 bulan, laki-laki, gizi kurang, berat badan lahir rendah, tidak dapat ASI memadai, polusi udara, kepadatan tempat tinggal, imunisasi yang tidak memadai, membendung anak (menyelimuti berlebihan), defisiensi vitamin A, pemberian makanan tambahan terlalu dini, ventilasi rumah kurang (Depkes RI, 2004).

Faktor risiko yang meningkatkan angka kematian ISPA adalah umur <2 bulan, tingkat sosial ekonomi rendah, kurang gizi, berat badan lahir rendah, tingkat pendidikan ibu yang rendah, tingkat jangkauan pelayanan kesehatan


(43)

yang rendah, kepadatan tempat tinggal, imunisasi kurang memadai, menderita penyakit kronis, aspek kepercayaan setempat dalam praktek pencarian pengobatan yang salah (Depkes R.I, 2004).

H. Karakteistik Balita

1. Usia

Balita berumur 0-24 bulan merupakan kelompok umur yang sangat rentan terhadap berbagai penyakit infeksi dan membutuhkan zat gizi yang relative tinggi dibandingkan dengan kelompok umur lain. Umur sangat berpengaruh terhadap kejadian ISPA, bayi lebih mudah terkena ISPA dan lebih berisiko dibandingkan dengan anak balita. Hal ini disebabkan imunitas yang belum sempurna. Dalam analisis gizi balita, data SUSENAS 1989-1999 disebutkan bahwa kelompok umur 6-17 bulan dan 6-23 bulan merupakan saat pertumbuhan kritis, dimana kegagalan tumbuh (growth failure) umumnya terjadi pada anak-anak di Negara berkembang karena masalah gizi. Anak balita pada kelompok umur di bawah 2 tahun menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi pada tahun 1995 dan 1998 dibanding tahun 1989 dan 1992. Disebutkan pula bahwa proses pertumbuhan yang sangat cepat terjadi hanya pada 2 tahun pertama kehidupan manusia, sehingga pada proses pertumbuhan tersebut dibutuhkan zat gizi yang optimal (Jahari dkk, 2000).


(44)

25

2. Status Gizi

Menurut Arisma (2004) Status gizi masyarakat biasanya digambarkan dengan masalah gizi yang dialami oleh golongan masyarakat rawan gizi. Kurang Energi Protein (KEP) merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia, disamping kurang vitamin A, anemia gizi dan gangguan akibat kekurangan iodium. Status gizi balita dipengaruhi oleh pola asuh anak yang tidak memadai karena kurangnya pengetahuan, ketrampilan ibu mengenai gizi serta imunisasi dan pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai. Balita dengan keadaan gizi buruk dan gizi kurang (malnutrisi) lebih mudah terkena infeksi dibandingkan dengan balita dengan gizi baik, hal ini disebabkan kurangnya daya tahan tubuh balita. Anak balita dengan status gizi kurang mempunyai risiko menderita pneumonia 3,3 kali dibandingkan dengan balita dengan status gizi baik (Sudirman, 2003).

Status gizi balita sampai dengan tingkat malnutrisi dapat diukur menurut berbagai pendekatan, salah satunya adalah pendekatan antropometri. Untuk bayi dan anak-anak dapat dipakai salah satu dari empat macam indikator antropometri, yaitu berat badan menurut umur (weight-for-age), tinggi badan menurut umur (height- for- age), berat badan menurut tinggi badan (weight for height), dan lingkar lengan atas (mid upper arm circumference). Masing-masing indikator itu memberikan penjelasan tentang status gizi bayi dan anak-anak. Indikator protein energy malnutrition (PEM) yang paling sering dipakai adalah berat badan menurut umur. Nilai rendah angka indikator berat badan menurut umur


(45)

(WAZ) mencerminkan terjadinya adaptasi anak terhadap gangguan gizi jangka panjang dan jangka pendek (Utomo, 1996).

Sedangkan standar baku yang digunakan dalam penentuan status gizi anak balita pada KMS, berdasarkan hasil kesepakatan diskusi yang diselenggarakan oleh Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI), bekerjasama dengan UNICEF Indonesia dan LIPI, yaitu (Departemen Kesehatan, 2000):

a. Gizi baik, bila ada kenaikan berat badan dengan bertambahnya umur balita, angka/nilai berat badan dan umur balita di dalam kurva hijau pada KMS.

b. Gizi buruk, bila tidak ada kenaikan berat badan dengan bertambahnya umur balita, angka/nilai berat badan dan umur balita di luar kurva hijau pada KMS.

3. Status Imunisasi

Sistem imun adalah suatu sistem dalam tubuh yang terdiri dari sel-sel serta produk zat-zat yang dihasilkannya, yang bekerja sama secara kolektif dan terkoordinir untuk melawan benda asing seperti kuman-kuman penyakit atau racun yang masuk ke dalam tubuh. Kuman disebut antigen. Pada saat pertama kali antigen masuk ke dalam tubuh, maka sebagai reaksinya tubuh akan membuat zat anti yang disebut dengan antibodi. Pada umumnya, reaksi pertama tubuh untuk membentuk antibody tidak terlalu kuat, karena tubuh belum beradaptasi. Tetapi pada reaksi yang


(46)

27

ke-2, ke-3 dan seterusnya, tubuh sudah mempunyai memori untuk mengenali antigen tersebut sehingga pembentukan antibody terjadi dalam waktu yang lebih cepat dan dalam jumlah yang lebih banyak. Itulah sebabnya, pada beberapa jenis penyakit yang dianggap berbahaya, dilakukan tindakan imunisasi atau vaksinasi. Hal ini dimaksudkan sebagai tindakan pencegahan agar tubuh tidak terjangkit penyakit tersebut, atau seandainya terkena pun, tidak akan menimbulkan akibat yang fatal (Lindawaty, 2010).

Imunisasi dasar meliputi DPT 3 kali, Polio 3 kali, BCG 1 kali dan campak 1 kali diberikan kepada balita sebelum berumur 1 tahun. Balita yang mendapatkan imunisasi dasar secara lengkap dan teratur akan mengurangi angka kesakitan dan kematian bayi sebesar 80-90% (Purwana, 1999).

I. Faktor Pendidikan Ibu

Pendidikan ibu sangat berpengaruh terhadap ketepatan dan ketelitian dalam pencegahan dan pengelolaan penyakit yang terjadi pada anak balitanya. Tingkat pendidikan ibu, dalam hal ini lebih dikaitkan dengan kemampuan seorang ibu yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi pada umumnya memiliki pengetahuan yang lebih luas, sehingga dapat lebih mudah dalam menyerap dan menerima informasi serta aktif berperan serta dalam mengatasi masalah kesehatannya dan keluarganya. Saran dan pesan kesehatan yang disampaikan oleh berbagai media atau petugas kesehatan akan mudah


(47)

dimengerti oleh ibu yang berpendidikan tinggi dibandingkan ibu dengan tingkat pendidikan rendah (Depkes RI, 2000).

J. Sumber Polutan Dalam Rumah

Menurut Mukono (1997) dalam Lindawaty (2010) Kualitas udara dipengaruhi oleh adanya bahan polutan di udara. Polutan di dalam rumah kadarnya berbeda dengan bahan polutan di luar rumah. Peningkatan bahan polutan di dalam ruangan dapat pula berasal dari sumber polutan di dalam rumah seperti asap rokok, asap dapur dan pemakaian obat nyamuk.

Faktor lingkungan tingkat rumah tangga yang berkaitan dengan pencemaran udara di rumah tangga seperti yang diungkapkan oleh Stephen & Harpam, 1991 (dalam Handajani, 1996, Safwan, 2003) ialah: 1) Kepadatan dalam rumah, 2) Merokok, 3) Jenis bahan bakar, 4) Ventilasi rumah, 5) Kelembaban dalam rumah, 6) Debu rumah.

Kualitas udara pemukiman meliputi udara dalam rumah dan udara di sekitar pemukiman. Di dalam rumah kualitas udara berkaitan dengan ventilasi dan kegiatan penghuni di dalamnya. Dengan bertambahnya jumlah penduduk di pemukiman perkotaan, menyebabkan tingginya kepadatan bangunan sehingga sulit untuk membuat ventilasi oleh Ehlers, 1976 (dalam Safwan, 2003). Dapat dijelaskan dibawah ini:


(48)

29

1. Racun Nyamuk Bakar

Untuk pengendalian dan pemberantasan nyamuk dalam rumah sebagian keluarga menggunakan bahan insektisida berupa obat nyamuk semprot dan obat nyamuk bakar. Obat nyamuk bakar biasanya digunakan untuk mengendalikan nyamuk dari dalam rumah tetapi disisi lain asap obat nyamuk dapat menjadi sumber pencemaran udara dalam rumah, yang sangat membahayakan kesehatan yaitu gangguan saluran pernapasan karena obat nyamuk jika dibakar mengandung bahan SO2 (sebutan dari

bahan berbahaya (octachloroprophyl ether) dapat mengeluarkan bischlorometyl ether atau BCME yang walaupun dalam kondisi rendah dapat menyebabkan batuk, iritasi hidung, tenggorokan bengkak dan perdarahan (Depkes R.I, 2002).

Beberapa studi yang dilakukan pada anak-anak di Malaysia terdapat peningkatan prevalensi ISPA pada rumah yang menggunakan obat nyamuk bakar. Hal ini sejalan dengan penelitian Wattimena (2004) menyatakan kejadian ISPA pada balita sebesar 7,11 kali dibandingkan dengan rumah yang tidak menggunakan obat nyamuk bakar.

2. Asap Rokok

Sumber asap rokok di dalam ruangan lebih membahayakan daripada di luar ruangan karena sebagian besar orang menghabiskan 60%-90% waktunya selama satu hari penuh (24 jam) di dalam ruangan. Asap rokok yang dikeluarkan seorang perokok umumnya mengandung zat-zat


(49)

yang berbahaya antara lain tar yang mengandung bahan kimia beracun dapat merusak sel paru- paru dan menyebabkan sakit kanker, karbon monoksida (CO) sebagai gas beracun yang mengakibatkan berkurangnya kemampuan darah membawa oksigen, nikotin merupakan zat kimia perangsang yang dapat merusak jantung dan sirkulasi darah serta membuat pemakai nikotin kecanduan (Kusnoputranto & Susanna, 2000).

Semua studi mengenai polusi udara dalam ruang oleh asap rokok menunjukkan bahwa asap rokok merupakan bahaya utama terhadap kesehatan. Campuran asap tersebut lebih dari 4000 jenis senyawa, banyak diantaranya telah terbukti bersifat racun atau menimbulkan kanker pada manusia dan sebagian besar adalah bahan iritan yang kuat.

Sebanyak 43 zat karsinogen telah diidentifikasi, termasuk diantaranya: nitrosamines, benza pyrene, cadmium, nikel dan zinc. Karbon monoksida, nitrogen oksida dan partikulat juga merupakan beberapa diantara bahan-bahan beracun yang terkandung dalam rokok (Kusnoputranto, 2000).

Laporan penelitian menunjukkan bahwa orang yang merokok dan orang yang tinggal dengannya akan menerima pajanan yang lebih besar dari ultrafine partikel dan komponen environment tobacco smokes lainnya dibandingkan orang yang bukan perokok, oleh karena itu hal ini dapat merupakan faktorresiko dari timbulnya gejala-gejala gangguan pernapasan dan penyakit pernapasan pada anak-anak, terutama anak- anak kecil serta orang tua perokok berhubungan dengan terjadinya penurunanfungsi


(50)

paru-31

paru pada anak-anak dan kerusakan paru-paru yang tidak dapat diobati (Sneddon et al., 1990).

3. Jenis Bahan Bakar Memasak

Penggunaan bahan bakar dalam rumah tangga untuk beberapa keperluan seperti memasak dan penerangan biasanya dapat memberi pengaruh terhadap kualitas kesehatan lingkungan rumah. Pemakaian bahan bakar tradisional seperti kayu bakar, arang dan lainnya serta bahan minyak tanah, sering menghasilkan pembakaran kurang sempurna sehingga banyak menimbulkan sisa pembakaran yang dapat mempengaruhi kesehatan. Apabila penghawaan rumah tidak baik dan tidak ada lubang asap di dapur untuk mengeluarkan asap dan partikel-partikel debu dari dapur, maka asap akan memenuhi ruangan dan menyebabkan sirkulasi udara di dalam ruangan tidak baik. Apalagi ibu-ibu sering masak sambil menggendong anaknya, asap akan memperparah penderita sakit pernapasan terutama pada balita dan lansia. Sedapat mungkin menggunakan bahan bakar yangtidak menimbulkan pencemaran udara indoor atau sisa pembakarannya dapat disalurkan ke luar rumah. Yang terbaik jenis bahan bakar untuk memasak tentu saja listrik, tetapi terlalu mahal (Soewasti, S.S., dkk 2000).


(51)

4. Partikulat PM 10

PM10 adalah partikulat padat dan cair yang melayang di udara dengan nilai media ukuran diameter aerodinamik 10 mikron. Partikulat 10 mikron mempunyai beberapa nama lain, yaitu PM10 sebagai inhalable particles, respirable particulate, respirable dust dan inhalable dust. PM10 memang merupakan kelompok partikulat yang dapat diinhalasi, tetapi karena ukurannya, PM10 lebih spesifik merupakan partikulat yang respirable dan prediktor kesehatan yang baik (Koren, 2003).

K. Sumber Partikulat (PM10)

Partikulat PM10 secara alami berasal dari tanah, bakteri, virus, jamur, ragi, serbuk sari serta partikulat garam dan evaporasi air laut. Sedangkan dari aktifitas manusia, partikulat dihasilkan dari penggunaan kendaraan bermotor, hasil pembakaran, proses industri dan tenaga listrik. Partikulat PM10 dihasilkan secara langsung dari emisi mesin diesel, industri pertanian, aktifitas di jalan, reaksi fotokimia yang melibatkan polutan (misalnya: hasil pembakaran mesin kendaraan bermotor, pembangkit tenaga listrik dan ketel uap industri).

Sumber partikulat sesuai dengan ukuran diameter selengkapnya adalah sebagai berikut (US.EPA, 2004):

1) Partikulat sangat halus/ultrafine (diameter ≤0,1 µm), berasal dari hasil pembakaran hasil transformasi SO2 dan campuran organik di atmosfir


(52)

33

2) Partikulat mode akumulasi (diameter 0,1 µm s/d 3 µm), berasal dari hasil pembakaran batubara, minyak, bensin, solar dan kayu bakar, hasil transformasi NOx, SO2 dan campuran organic, serta hasil proses pada

temperature tinggi (peleburan logam, pabrik baja).

3) Partikulat kasar/coarse (>3 µm), berasal dari resuspensi partikulat industri, jejak tanah di atas jalan raya, suspensi dari kegiatan yang mempengaruhi tanah (pertanian, pertambangan dan jalan tak beraspal), kegiatan konstruksi dan penghancuran, pembakaran minyak dan batubara yang tidak terkendali,percikan air laut serta sumber biologi.

L. Nilai Ambang Batas Partikulat (PM10)

Nilai ambang batas PM10 yang dipersyaratkan oleh WHO saat ini adalah sebesar 20 µg/m3 untuk rata-rata pajanan tahunan dan 50 µg/m3 untuk rata-rata pajanan harian selama 24 jam (WHO, 2005). Sedangkan baku mutu udara ambient di DKI Jakarta berdasarkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 551 tahun 2001 untuk PM10 adalah sebesar 150 µg/Nm3 dalam waktu pengukuran selama 24 jam (Gubernur Provinsi DKI Jakarta, 2001).

Nilai batas konsentrasi PM10 di udara untuk melindungi kesehatan masyarakat yaitu 70 µg/m3 (WHO, 1987 dalam Purwana, 1999). Hal ini sesuai hasil penelitian yang menunjukkan tinggi konsentrasi PM10 paling sensitif dan spesifik untuk menduga terjadinya gangguan pernapasan adalah 70 µg/m3 (Purwana, 2005).


(53)

M. Hubungan Antara PM10 Dengan ISPA

PM10 dapat digunakan sebagai indikator perubahan nilai PEFR yang lebih baik dibandingkan PM 2,5, hal ini karena deposisi partikel yang lebih besar (PM10) terjadi pada saluran pernafasan bagian atas, yang kemudian mengaktifasi sekresi mucus dan menimbulkan konstruksi saluran pernafasan serta pada akhirnyamenurunkan nilai PEFR (Katiyar, et al., 2004).

Berbagai studi epidemiologi yang mempelajari hubungan antara pajanan PM10 terhadap gangguan saluran pernafasan telah banyak dilakukan, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:

Berdasarkan Penelitian Farieda (2009) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kadar PM10 dalam rumah dengan kejadian ISPA (p <0,05) pada balita yang dipengaruhi oleh ventilasi dalam rumah, kepadatan hunian dan lubang asap dapur.

Penelitian Situmorang, (2003) di Kelurahan Cakung Timur, Jakarta Timur menyatakan bahwa kejadian ISPA pada balita yang tinggal di dalam rumah yang konsentrasi PM10 lebih dari 70 µg/m3 adalah 6,1 kali dibanding balita yang tinggal di rumah yang konsentrasi PM10 kurang atau sama dengan 70 µg/m3. Dengan mengontrol faktor ventilasi rumah dan status gizi balita maka angka risiko tersebut akan berkurang menjadi 4,25 kali.


(54)

35

N. Suhu dan Kelembaban

Udara segar berguna untuk menjaga temperature dan kelembaban dalam kamar. Umumnya temperature kamar 22ºC-30ºC. Suhu udara dalam ruangan berhubungan dengan faktor kenyamanan dalam ruangan. Suhu udara yang tinggi menyebabkan tubuh akan kehilangan garam dan air sehingga akan terjadi kejang dan atau kram dan akan mengalami metabolisme dan sirkulasi darah.

Pada lingkungan yang ada di dalam ruangan, sekitar 25% dari panas tubuh diemisikan oleh transpirasi. Sebagai temperatur udara ambient dan meningkatnya aktifitas metabolisme, transpirasi ditandai dengan tingginya kelembaban relative, sehingga menghasilkan panas yang tidak nyaman. Dengan kata lain udara kering pada temperature rendah sampai dengan normal membuat kehilangan transpirasi dan mengakibatkan dehidrasi (Pudjiastuti, dkk,1998).

Pengaturan kelembaban sangat penting dalam ruangan.Kelembaban yang tinggi dan debu dapat menyebabkan berkembangbiaknya organisme pathogen maupun organisme yang bersifat allergen serta pelepasan formaldehid dari material bangunan. Sedangkan tingkat kelembaban yang terlalu rendah dapat menyebabkan kekeringan/iritasi pada membrane mukosa, iritasi mata dan gangguan sinus. Rumah hendaknya menjadi tempat untuk menyimpan udara yang segar dengan suhu udara yang nyaman berkisar antara 18ºC-30ºC, sedangkan kelembaban berkisar antara 40ºC-70ºC (Depkes RI, 1999).


(55)

O. Kondisi Lingkungan Rumah

1. Luas Ventilasi

Untuk memungkinkan pergantian udara secara lancar diperlukan minimum luas lubang ventilasi tetap 5% luas lantai, dan jika ditambah dengan luas lubang yang dapat memasukkan udara lainnya (celah pintu/jendela, lubang anyaman bambu dan sebagainya) menjadi berjumlah 10% luas lantai. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan proses sirkulasi udara dalam rumah berjalan tidak normal serta udara dalam rumah terasa panas, diperberat lagi apabila rumah padat penghuni akan menyebabkan kurangnya O2 (oksigen) dalam rumah sehingga kadar CO2 yang bersifat

racun bagi penghuni rumah menjadi meningkat. Sirkulasi udara rumah yang baik akan mengurangi kadar partikulat, sebaliknya apabila ventilasi tidak memenuhi syarat menyebabkan peningkatan kadar partikulat di dalam ruangan. Selain itu ventilasi yang baik dapat membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri terutama bakteri pathogen karena melalui ventilasi selalu terjadi pertukaran aliran udara yang terus-menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan rumah selalu tetap pada kelembaban (humidity) yang optimum. Udara yang masuk sebaiknya udara yang bersih dan bukan udara yang mengandung debu atau bau (Soewasti, S.S., dkk, 2000).

Disamping itu tidak cukupnya luas ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadi proses penguapan


(56)

37

cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban akan merupakan media yang baik untuk bakteri. Ventilasi dalam ruangan harus memenuhi persyaratan antara lain (Sanropie, 1991):

1) Luas lubang ventilasi yang tetap atau permanent dan lubang ventilasi insidentil, berjumlah 10% dari luas lantai.

2) Udara yang masuk harus udara bersih, tidak dicemari oleh asap dari pembakaran sampah, asap pabrik, asap knalpot kendaraan, debu dan lain-lain.

3) Aliran udara jangan menyebabkan orang masuk angin.

4) Penempatan ventilasi diusahakan berhadapan antara dua dinding ruangan.

5) Kelembaban udara jangan terlalu tinggi dan jangan terlalu rendah. Ventilasi dapat digolongkan dalam dua sistem antara lain ventilasi alamiah ialah ventilasi yang terjadi secara alamiah ialah ventilasi yang terjadi secaraalamiah dimana udara masuk ke dalam ruangan melalui jendela, pintu ataupun lubang angin yang sengaja dibuat untuk itu. Ventilasi buatan ialah ventilasi yang dibuat dari alat khusus untuk pengaliran udara misalnya mesin penghisap udara (exhaust ventilation) dan penyejuk ruangan (air conditioning). Ventilasi yang baik dengan ukuran 10-20% dari luas lantai dapat mempertahankan suhu optimum 22- 24ºC dan kelembaban 60% (Kusnoputranto dan Susana, 2000).


(57)

2. Kepadatan Hunian

Berkembangnya industri-industri di suatu daerah akan menyebabkan urbanisasi penduduk, sehingga penduduk di daerah industri tersebut akan semakin padat. Hal ini akan mengakibatkan keadaan perumahan yang padat dan kondisi bangunan yang tidak memadai. Kondisi demikian sangat mempengaruhi kesehatan penghuni rumah di daerah tersebut. Persyaratan kepadatan hunian dinyatakan dalam m2 per orang. Rumah dikatakan padat penghuninya apabila perbandingan luas lantai seluruh ruangan rumah dengan jumlah penghuni kecil lebih dari 10 m2/orang, sedangkan ukuran yang dipakai untuk luas lantai ruang tidur minimal 3 m2 per orang dan untuk mencegah penularan penyakit (misalnya penyakit pernapasan) jarak antara tepi tempat tidur yang satu dengan yang lain minimum 90 cm (Depkes RI, 2002).

Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni lebih dari 2 orang, kecuali untuk suami, istri, serta balita dibawah umur 2 tahun yang biasanya masih membutuhkan kehadiran orang tuanya. Apabila ada salah satuanggota keluarga yang terkena penyakit terutama penyakit saluran pernapasan sebaiknya jangan tidur sekamar dengan anggota keluarga yang lain.

P. KerangkaTeori

Berdasarkan beberapa teori dan hasil-hasil penelitian terdahulu. Adapun kerangka penelitian dapat dilihat pada bagan:


(58)

39

Bagan 2.1.Kerangka Teori

Sumber :Stephen dan Harpan (1991) dalam Handajani (1996) dan Safwan (2003), Hendrik L. Blum dalam Notoatmodjo (1996), Mukono (1997), Situmorang

(2003), Depkes, RI (2004), WHO (2008). Status Sosial

-Pendidikan ibu -Pendapatan keluarga Kondisi Lingkungan Rumah

-Luas Ventilasi -Kepadatan Penghuni -Suhu

-kelembaban

Karakteristik Balita -Umur

-Jenis Kelamin -Status Gizi -Status Imunisasi

ISPA Sumber Polutan

-PM 10

-Kebiasaan Merokok -Pemakaian Racun Nyamuk


(59)

40 BAB III

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka teori diatas, maka kerangka konsep yang dibuat peneliti dalam penelitian ini dimana variabel dependen dalam penelitian ini yaitu gejala ISPA, sedangkan variabel independen dalam penelitian ini adalah status gizi, status imunisasi, PM10, suhu, kelembaban, racun nyamuk bakar, kebiasaan merokok, bahan bakar memasak, luas ventilasi dan kepadatan hunian. Sedangkan variabel yang tidak diteliti pada penelitian ini yaitu :

1. Usia

Pada penelitian ini usia tidak diteliti karena dari beberapa referensi dan penelitian lain tidak bibahas mengenai usia.

2. Jenis Kelamin

Pada penelitian ini jenis kelamin tidak diteliti karena berdasarkan penelitian dan teori tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dan kejadian ISPA semua memiliki risiko yang sama antara laki-laki dan perempuan.

3. Pendapatan keluarga

Dalam penelitian ini pendapatan keluarga tidak diteliti karena keterbatasan peneliti.


(60)

41

Berdasarkan kerangka teori yang ada dan keterbatasan maka kerangka konsep yang digunakan dalam penelitain ini dapat dilihat pada bagan 3.1. berikut ini:

Bagan 3.1 Kerangka Konsep

Gejala ISPA Status gizi

Kelembaban Status Imunisasi

Suhu

Racun Nyamuk Bakar

Kebiasaan Merokok

Bahan Bakar Masak PM 10

Luas Ventilasi


(61)

No Veriabel Definisi Cara Ukur Alat ukur Skala Ukur

Hasil Ukur

1 Gejala ISPA Anak balita umur 1-59 bulan yang menderita gangguan saluran pernafasan yang berhubungan dengan gejala ISPA dalam kurun waktu 2 minggu terakhir meliputi batuk, pilek, sakit telinga dengan atau tanpa demam/panas (Depkes, 2007).

Wawancara Kuisioner Nominal 0. Iya

1. Tidak

2 Status Gizi Keadaan gizi balita yang diukur secaraantropometri berdasarkan indeks BB/U (Berat badan (Kg) per Umur (Bulan) sesuai standar baku WHO-NCHS

Pengukuran dan melihat kartu KMS

Panjang Badan (baby length

board), alat

ukur tinggi badan/vertical measures (microtoise)

Ordinal 0. Gizi Kurang (< - 2,0 SD s/d – 3 SD) 1. Gizi baik ( > -2,0 SD


(62)

43 No Veriabel Definisi Cara Ukur Alat ukur Skala

Ukur

Hasil Ukur

3 Status Imunisasi

Riwayat imunisasi BCG, DPT, Polio, Hepatitis dan campak yang diperoleh oleh balita dapat dilihat pada KMS atau catatan status kunjungan ke puskesmas atau fasilitas kesehatan lainnya.

Wawancara KMS Nominal 0. Tidak lengkap (Imunisasi kurang dari

salah satu sesuai dengan umur balita) 1. Lengkap (Imunisasi sesuai dengan Umur balita saat penelitian). 4 Partikulat

Debu (PM 10) dalam rumah

Ukuran sewaktu konsentrasi partikulat berukuran maksimum 10 mikron dalam satuan µm/m3 diruangan balita sering tidur. Hasil ukur dibandingkan dengan kadar debu total (TSP) sebesar 150 µg/m3. Dengan perkiraan kadar PM10 = 40% TSP. Maka kadar PM 10 maksimal dalam rumah adalah 70 µg/m3 (Kepmenkes, 1999)

Pengukuran langsung


(63)

5 Suhu Temperatur udara dalam ruanga dengan tingkat kenyamanan berkisar antara 180 -300 C (Kepmenkes,1999)

Pengukuran Termometer Rasio 0 C

6 Kelembaban Jumlah uap air di udara dalam rumah dan dinyatakan dalam persen berkisar antara 40%-70% (Kepmenkes 1999)

Pengukuran Hygrometer Rasio %

7 Racun

Nyamuk Bakar

Jenis obat nyamuk yang dipakai di dalam rumah yang mengandung senyawa kimia dan partikulat yang dilepaskan ke udara ketika digunakan termasuk obat nyamuk bakar (Depkes, RI, 2002)

Wawancara dan observasi

Kuisioner Nominal 0. Ada (memakai racun nyamuk bakar)

1. Tidak ada (tidak memakai racun nyamuk bakar)

8 Kebiasaan Merokok

Penghuni tetap yang mempunyai kebiasaan merokok didalam rumah, yang tinggal serumah dengan balita (Depkes, 2005)

Wawancara Kuisioner Nominal 0. Ada 1. Tidak Ada


(64)

45 No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Skala

Ukur

Hasil ukur

9 Bahan Bakar Memasak

Jenis Bahan bakar yang dipergunakan untuk keperluan rumah tangga sehari-hari (memasak, penerangan dan sebagainya). Jenis bahan bakar dibedakan menjadi kayu bakar, minyak tanah, dan gas. Pada waktu anggota keluarga menggunakan minyak tanah saat memasak dianggap ada asap pencemaran dalam rumah dan pada waktu anggota keluarga menggunakan kompor gas saat memasak dianggap tidak ada asap dalam rumah (Soewati,S.S, dkk,2000).

Wawancara dan observasi

Kuisioner Ordinal 0. Tidak Memenuhi Syarat (TMS)(Ada asap pencemar/kayu bakar dan minyak tanah). 1. Memenuhi Syarat

(MS)(Tidak ada asap pencemar/gas).

10 Luas Ventilasi Rumah

Perbandingan luas lantai kamar dengan luas jendela dan lubang angin kamar balita sering tidur untuk aliran udara dari dalam kamar keluar kamar atau sebaliknya. Sesuai dengan Kepmenkes (1999) yaitu minimum 10 % dari luar lantai kamar.

Wawancara, observasi dan

pengukuran

Meteran dan kuisioner

Ordinal 0. Tidak memenuhi syarat (< 10% luas lantai) 1. Memenuhi syarat (>


(65)

11 Kepadatan hunian

Perbandingan luas lantai rumah (m2) dengan jumlah orang penghuni rumah>minimal yang dianjurkan 10 m2/ orang (Kepmenkes, 1999)

Pengukuran dan wawancara

Kuisioner dan meteran

Ordinal 0. Tidak memenuhi syarat (<10 m2/orang).

1. Memenuhi syarat (> 10 m2/ orang)


(66)

47

C. Hipotesis

1. Ada hubungan antara (status gizi, status imunisasi) dengan gejala ISPA pada balita di 5 posyandu Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013.

2. Ada hubungan antara kadar PM10 dengan gejala ISPA pada balita di 5 posyandu Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013.

3. Ada hubungan antara (suhu, kelembaban, racun nyamuk bakar, kebiasaan merokok, bahan bakar memasak, luas ventilasi dan kepadatan hunian) dengan gejala ISPA pada balita di 5 psyandu Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013.


(67)

48 BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian dengan metode analitik observasional dengan desain studi cross sectional yaitu penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan gejala ISPA pada balita. Dalam penelitian ini variabel sebab atau risiko dan akibat atau kasus yang terjadi pada objek penelitian diukur atau disebut juga

variabel dependent dan independent akan dikumpulakn dalam waktu

bersamaan dan secara langsung (Notoatmodjo, S, 2010).

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini bertempat di 5 posyandu Desa Tamansari Kecamatan Pangkalan Kabupaten Karawang Jawa Barat. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juni 2013.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan dari unit di dalam pengamatan yang akan peneliti lakukan. Populasi dalam penelitian ini adalah semua jumlah balita yang berada di 5 posyandu Desa Tamansari Kecamatan Pangkalan Kabupaten Karawang.


(68)

49

2. Sampel

Besar sampel penelitian ditentukan menggunakan uji hipotesis beda 2 proporsi dengan rumus sebagai berikut (Ariawan, 1998) :

Keterangan :

n = Jumlah sampel yang diteliti

Zα = Tingkat kemaknaan α (untuk α = 0,05 adalah 1,96) Zβ = Kekuatan Uji = 80 %

P = Rata- rata pada populasi

P1 = proporsi status gizi kurang dengan gejala ISPA = 74,5% = 0.745

P2= proporsi status gizi baik dengan gejala ISPA = 54,3%= 0.54,3

Berdasarkan hasil perhitungan diatas maka sampel yang dibutuhkan sebanyak 68 responden.


(69)

D. Teknik Pengambilan Sampel

Dalam penelitian ini digunakan teknik pengambilan sampel secara tidak acak (non probability sampling) dengan metode purposive sampling yaitu suatu metode pengambilan sampel ditentukan oleh orang yang telah mengenal betul populasi yang akan diteliti (Notoatmojo, 2010).

Puskesmas Pangkalan memiliki wilayah kerja sebanyak 5 posyandu. Pengambilan sampel secara purposive sampling adalah dengan mengambil sampel di seluruh posyandu yang berada di Desa Tamansari dan akan dipilih secara tidak acak. Kemudian anak balita yang datang di 5 posyandu yang terkena sampel tersebut adalah anak balita yang akan diteliti.

Dalam penelitian ini responden harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan oleh peneliti. Adapun kriteria sampel sebagai berikut :

1. Responden dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki balita berumur 1-59 bulan atau yang mengasuh balita tersebut.

2. Bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Pangkalan, Kecamatan Pangkalan Kabupaten Karawang, Wilayah yang dimaksud merupakan posyandu yang berada di Desa Tamansari.


(70)

51

E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Environmental Particulate Monitor EPAM (HOC 12 merek SKC, INC

EPAM-5000, alat yang digunakan untuk pengetahui kosentrasi PM10. 2. Kuisioner

Berupa pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh data atau informasi tentang karakteristik balita dan status kesehatan balita serta kondisi rumah balita.

3. Termohygrometer digunakan untuk mengetahui tingkat kelembaban dan suhu kamar balita.

F. Metode dan Alat Pengumpulan Data

1. Pengukuran PM10

Alat yang digunakan untuk mengukur kadar PM10 adalah EPAM-5000, langkah-langkah mengoperasikan EPAM-5000:

a. Nyalakan mesin dengan menekan tombol ON b. Masukkan Regen PM 10

c. Pilih sampel size (PM10) d. Pilih calibration (90 detik) e. Tempatkan alat dikamar balita


(71)

2. Termohygrometer

Alat yang digunakan untuk mengukur suhu dan kelembaban ruang kamar balita, langkah-langkah

a. Nyalakan alat

b. Tempatkan alat pada kamar balita selama 15 menit

G. Pengumpulan Data

Jenis data dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data primer dan data sekunder:

a. Data Primer

Data primer dalam penelitian ini yakni berupa data yang diperoleh secara langsung dari orang tua balita mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan gejala ISPA seperti status gizi, status imunisasi, racun nyamuk bakar, kebiasaan merokok, bahan bakar masak, kepadatan hunian dilakukan dengan pengisian kuisioner, sedangkan PM10, suhu dan kelembaban menggunakan dengan melakukan pengukuran menggunakan alat EPAM-5000, dan alat Termohygrometer.

b. Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung oleh peneliti atau dari penelusuran dokumen kesakitan di Puskesmas Pangkalan,


(72)

53

catatan, dan laporan dari Dinas Kesehatan Karawang, serta data dari Kelurahan Tamansari.

H. Pengolahan Data

a. Editing

Editing sebelum data diolah, data tersebut perlu diedit terlebih dahulu dengan tujuan untuk mengkoreksi data yang meliputi kelengkapan pengisian kuisioner, konsistensi atas jawaban dan kesalahan jawaban pada kuisioner. Sehingga dapat diperbaiki jika dirasakan ada kesalahan atau keraguan data.

b. Coding

Coding merupakan kegiatan memberikan kode pada jawaban

kuisioner yang ada untuk mempermudah proses pengolahan dalam komputerisasi. Mengkode jawaban adalah merubah data berbentuk huruf menjadi data berbentuk angka. Pada proses coding ini, variabel independen, dependen akan diberi kode untuk memudahkan dalam menganalisanya.

c. Entry data

Entry data adalah data yang telah dikode tersebut kemudian dimasukkan dalam program komputer untuk selanjutnya akan dioleh.


(73)

d. Cleaning

Cleaning data adalah proses pengecekan kembali data yang sudah dientry apakah ada kesalahan atau tidak. Tahapan cleaning data terdiri dari mengetahui missing data, mengetahui variasi data dan mengetahui konsistensi data.

I. Analisis

a. Univariat

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui distribusi, frekuensi dan presentase masing-masing variabel yang dianalisis dari tabel distribusi. Variabel tersebut meliputi variabel gejala ISPA pada balita, status gizi, status imunisasi, PM10, suhu, kelembaban, racun nyamuk bakar, kebiasaan merokok, bahan bakar memasak, luas ventilasi dan kepadatan hunian yang mempengaruhi gejala ISPA serta gambaran gejala ISPA pada balita.

b. Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk mencari hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Untuk mencari hubungan antara variabel status gizi, status imunisasi, racun nyamuk bakar, kebiasaan merokok, bahan bakar memasak, luas ventilasi dan kepadatan hunian yang mempengaruhi gejala ISPA menggunakan uji Chi-Square


(1)

DOKUMENTASI PENGUMPULAN DATA PRIMER

Foto Proses Wawancara Dan Pemilihan Sampel

Foto Penimbangan Dan Pengukuran Tinggi Badan Balita


(2)

Foto Kondisi Rumah Responden


(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Pangaribuan Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2012

0 58 123

Hubungan Paparan Asap Rumah Tangga dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut Bagian Atas pada Balita di Puskesmas Tegal Sari-Medan Tahun 2014

2 115 78

Hubungan Status Imunisasi dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut Pada Balita Sakit (1-5 tahun) di Puskesmas Teladan Medan Tahun 2014

1 46 60

Analisa Kecenderungan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Ispa) Pada Bayi Dan Balita Tahun 2000-2004 Untuk Peramalan Pada Tahun 2005-2009 Di Kabupaten Simalungun

0 37 101

Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Gejala ISPA Pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014

11 43 164

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA) BAGIAN ATAS PADA BALITA DI DESA NGRUNDUL KECAMATAN KEBONARUM KABUPATEN KLATEN

0 5 10

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BANYUDONO 1 KABUPATEN BOYOLAL

0 2 16

HUBUNGAN LAMA PEMBERIAN ASI DENGAN KEJADIAN ISPA (INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT) PADA BALITA USIA 2-5 Hubungan Lama Pemberian Asi Dengan Kejadian ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) Pada Balita Usia 2-5 Tahun Di Posyandu Kecamatan Kartasura.

0 2 15

PERBANDINGAN KEJADIAN ISPA BALITA PADA K

0 0 11

1 FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MINANGA KOTA MANADO

0 0 10