Aplikasi Doktrin Essential Facilities Da

Aplikasi Doktrin Essential Facilities Dalam Praktek Penegakkan
Hukum Persaingan di Indonesia

Oleh :
Yudhi Priyo Amboro, S.H., M.Hum.1

Konsepsi Doktrin Essential Facilities
Doktrin Essential Facilities dikenal di dalam praktek persaingan usaha sejak
tahun 1912 dengan adanya putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat antara US
v.Terminal Railroad Assn of St. Louis. Kasus yang diputus oleh Mahkamah Agung
Amerika Serikat tersebut bercerita mengenai kartel perkeretaapian yang
memonopoli jalan kereta ke St. Louis, yang akhirnya dinyatakan oleh pengadilan
sebagai “a combination in restraint of trade”, dengan alasan bahwa tidak ada
alternatif jalan kereta api yang lain, dan adanya penolakan penggunaan jalan kereta
api itu yang dilakukan oleh perusahaan pesaing. Pengistilahan essential facilities
mulai digunakan dalam kasus Hecht v. Pro-Football, Inc. di tahun 1977, dimana
kasus tersebut bercerita mengenai tim sepakbola Amerika yang baru yang
menginginkan adanya akses untuk menggunakan stadium RFK di Washington.

1


Dosen Fakultas Hukum Universitas Internasional Batam

2

Pengadilan dalam kasus ini menggunakan istilah teori essential facility dan
menyamakannya dengan teori bottleneck2. Selain kasus-kasus di atas, pada
kenyataannya banyak kasus yang bermunculan di Amerika Serikat yang berkaitan
dengan Doktrin Essential Facilities. Meskipun perjalanan kasus yang berkaitan
dengan Doktrin Essential Facilities di Amerika Serikat telah cukup banyak, akan
tetapi pencapaian persamaan visi terhadap definisi doktrin ini ternyata masih
terkendala.
Definisi mengenai Doktrin Essential Facilities sangatlah beragam. Definisi
doktrin ini muncul seiring dengan perkembangan kasus yang ada berkaitan dengan
essential facilities, sehingga terkadang memunculkan pandangan pro dan kontra
mengenai definisi-definisi yang ada pada doktrin tersebut. Hal ini disebabkan karena
tidak ada kepastian pegangan di dalam praktek peradilan di Amerika Serikat
semenjak dikenalkannya Doktrin Essential Facilities pada tahun 1912. Sebagaimana
diuraikan di atas, bahwa doktrin ini berkembang di Amerika Serikat. Akan tetapi
fakta perkembangannya lebih berada diranah pengadilan tingkat bawah3, sehingga
pengistilahan essential facilities menjadi satu definisi yang pasti dan secara umum

diterima tidak dapat ditemukan. Pengadilan di tingkatan ini telah menemukan
bahwa Doktrin Essential Facilities mempunyai kecenderungan dapat diaplikasikan
terhadap keadaan tertentu yang bersifat “extraordinary” dimana pelaku usaha
2

David B. Albeck, Defining “Essential Facilities” After Trinko, diunduh dari
www.davidalbeck.com/writings/trinko.htm tanggal 1 Juni 2013.
3
Ibid.

3

menggunakan penguasaannya yang bersifat bottleneck untuk mengeliminasi
pesaingnya atau setidaknya potensi pesaingnya. Sebagai contoh dalam kasus MCI
Communications v. American Tel. & Tel. Co di tahun 1982, dimana meminta provider
telekomunikasi untuk menyediakan akses local service network kepada pesaingnya
dalam jasa telekomunikasi jarak jauh. Selain kecenderungan di atas, doktrin ini juga
dapat diaplikasikan pada pelaku usaha yang melakukan penguasaan berlebihan
terhadap aset yang menyediakan jasa supply yang sangat penting bagi pesaingnya
dan pelaku usaha tersebut melakukan penolakan untuk memberikan akses terhadap

jasa supply dimaksud. Hal ini dapat dicontohkan dalam kasus Aspen Highlands Skiing
Corp. v. Aspen Skiing Co. di tahun 1984 yangmana mengaplikasikan doktrin ini
kepada keputusan resort ski untuk menghentikan kerjasamanya dengan pesaingnya
dalam melakukan penjualan tiket “multiarea” yang dapat memberikan kemudahan
bagi pelanggan untuk menjelajahi area ski tanpa dibatasi adanya kewilayahan resort
tertentu. Pengadilan ini menggambarkan bahwa tiket “multiarea” sebagai essential
facility, dengan menempatkan posisi pesaing keluar dari bisnis ski resort jika
dilakukan penghentian tiket “multiarea”, sehingga niat untuk melakukan monopoli
ini dinyatakan terbukti sebagai tanggungjawab antitrust bagi pengadilan.4
Jalan penyatuan pandangan terhadap definisi Doktrin Essential Facilities
masih terus berkembang. Sejak kasus MCI Communications Corp v. American Tel &
4

Robert Pitofsky, The Essential Facilities Doctrine Under United States Antitrust Law, paper untuk the
European Commission dalam rangka mendukung National Data Corporation dalam kasus essential
facitilities melawan IMS, Georgetown University Law Center, hlm 4-5.

4

Tel.Co di tahun 1982, unsur tuntutan dalam essential facilities sudah dapat

ditentukan dan menjadi formulasi di dekade berikutnya. Setidaknya dengan adanya
unsur-unsur ini, dapat ditentukan kemudian kelayakan definisi terhadap Doktrin
Essential Facilities. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut :5
1. Unsur “penguasaan terhadap essential facilities oleh pelaku usaha”
2. Unsur “pesaing yang pada kenyataannya atau secara patut tidak dapat
meniru atau menduplikasi essential facilities”
3. Unsur “penolakan untuk menggunakan fasilitas oleh pesaing”
4. Unsur “kelayakan untuk menyediakan fasilitas”

Selain itu, sebagaimana diungkap oleh Robert Pitofsky6, proses penyatuan
definisi Doktrin Essential Facilities juga masih mempunyai jalan yang panjang. Ia
menyatakan bahwa pengadilan Amerika Serikat mempunyai jalan yang sangat
panjang untuk mengenali ketentuan umum mengenai pelaku usaha yang tidak
mempunyai kewajiban untuk bersepakat dengan pesaingnya yangmana merupakan
subyek yang mempunyai kekecualiannya, yang selanjutnya dikenal dengan istilah
Doktrin Essential Facilities. Dalam kasus Twin Labs, Inc v. Weider Health & Fitness di
tahun 1990, juga dalam kasus Aspen Skiing Co. v. Aspen Highlands Skiing Corps. di
tahun 1984, Mahkamah Agung Amerika Serikat menyatakan bahwa hak untuk
5
6


David B. Albeck, Op.Cit.
Robert Pitofsky, Op.Cit., hlm 1.

5

menolak berhubungan usaha dengan pelaku usaha lainnya bukan berarti hak itu
melanggar. Dalam kasus Eastman Kodak Co. v.Image Technical Servs, Inc di tahun
1992, Mahkamah Agung Amerika Serikat menyatakan bahwa adalah hal yang benar
apabila pelaku usaha dapat menolak berhubungan usaha dengan pesaingnya. Akan
tetapi hak tersebut tidaklah bersifat absolut. Penolakan hanya dapat dilakukan
apabila terdapat alasan persaingan usaha yang legal. Bahkan di dalam kasus Lorain
Journal Co. v. United States di tahun 1951, Mahkamah Agung Amerika Serikat
menyatakan bahwa hak untuk menolak berhubungan usaha adalah bukan bersifat
absolut dan dapat dibebaskan oleh peraturan perundangan. Dalam beberapa
yurisprudensi tersebut, Robert Pitofsky berusaha menyimpulkan bahwa Doktrin
Essential Facilities merupakan bagian dari “refusal to deal” yangmana memberikan
pembatasan bagi pelaku usaha untuk menghalangi pesaing ataupun potensi pesaing
dari persaingan usaha. Dalam salah satu persidangan banding terdapat pandangan
bahwa Doktrin Essential Facilities membebankan tanggungjawab ketika pelaku

usaha yang mempunyai penguasaan terhadap fasilitas penting (essential facilities)
melakukan penolakan kepada pelaku usaha lainnya untuk mendapatkan akses
terhadap fasilitas penting tersebut dan menyatakan bahwa pelaku usaha lain harus
mendapatkan akses itu sendiri dalam rangka bersaing dengan pelaku usaha
sebelumnya. Pandangan ini selanjutnya berkembang dalam kasus Alaska Airlines,
Inc. v. Unived Airlines, Inc di tahun 1991, dan juga Byars v. Bluff City News Co. di

6

tahun 1980, yangmana pengadilan berpendapat bahwa bisnis atau kelompok bisnis
yang mempunyai penguasaan terhadap fasilitas yang langka mempunyai kewajiban
untuk memberikan akses kepada pesaingnya. Dalam kasus Associated Press v.
United States di tahun 1945, dan juga kasus Hecht v. Pro-Football, Inc di tahun 1977,
pengadilan berpendapat bahwa fasilitas yang dikuasai oleh pelaku usaha yang tidak
dapat diperbanyak oleh pesaingnya, harus dibagikan dalam keadaan yang adil.7
Pandangan lain mengenai definisi Doktrin Essential Facilities, diungkap oleh David B.
Albeck8, yang mengartikan Doktrin Essential Facilities sebagai teori mengenai
kewajiban anti trust yang menyebutkan bahwa pelaku usaha ataupun kelompok
pelaku usaha melakukan penguasaan sumber daya tertentu yang terbatas dapat
dipaksa untuk membagikan sumber daya tertentu tersebut dengan pesaingnya.

Perkembangan doktrin ini ternyata tidak hanya terjadi di Amerika Serikat
saja, tetapi juga berkembang di Eropa. Konsepsi Doktrin Essential Facilities tidak jauh
berbeda dengan apa yang telah berkembang di Amerika Serikat. Perbedaannya
terletak pada konsepsi monopoli berdasarkan section 2 Sherman Act di Amerika
Serikat yang lebih umum daripada konsepsi penyalahgunaan posisi dominan
menurut pasal 82 EC Treaty di Eropa. Doktrin ini telah dimasukkan ke dalam
European Commision Law terutama di dalam pasal 82 EC Treaty, yang mengatur
larangan untuk melakukan penyalahgunaan posisi dominan dalam pasar umum.
7
8

Ibid., hlm 1-2.
David B. Albeck, Op.Cit.

7

Bahkan “refusal to deal” dapat dinyatakan sebagai bagian dari penyalahgunaan
posisi dominan berdasar pasal 82 EC Treaty tersebut. Dalam aplikasinya, European
Commision menciptakan suatu restriksi atau pembatasan atas Doktrin Essential
Facilities yangmana membatasi pada situasi dimana pemilik fasilitas menguasai lebih

dari posisi dominan. Restriksi ini disebut sebagai Bronner. Bronner mensyaratkan
fasilitas tersebut harus memang sangat diperlukan. Selain sebagai restriksi, pada
kenyataannya Bronner juga dapat digunakan sebagai tes yang mengarah pada
jawaban apakah “refusal to deal” akan mengarah pada monopoli terhadap pasar
hilir.9

Doktrin Essential Facilities Dalam Hukum Persaingan Usaha Indonesia
Sebagaimana dipaparkan di atas bahwa Doktrin Essential Facilities
merupakan bagian dari “refusal to deal” dalam persaingan usaha. Ciri khas dari
doktrin ini adalah penolakan terhadap pesaingnya oleh karena berkaitan dan adanya
fasilitas penting (essential facilities), jadi tidak hanya berkisar penolakan terhadap
pelaku usaha lain semata. Doktrin Essential Facilities dalam Hukum Persaingan
Usaha Indonesia termaktub di dalam Bab IV bagian ketiga, yang mengatur mengenai
penguasaan pasar, khususnya pasal 19 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Selain itu
doktrin ini juga memasuki jiwa dalam Bab V bagian pertama, khususnya pasal 25
9

James Kent Scholar dan Walter Gelhorn Prize, Essential Facilities in The European Union: Bronner
and Beyond, Columbia Journal of European Law, LLM Columbia Law School, Vol.10, 2004, hlm 1.


8

ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Pasal 19 Undang-Undang No. 5 Tahun
1999 mengatur bahwa pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa
kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
berupa:

a.
b.
c.
d.

menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan
kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan;
menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk
tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu;
membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada
pasar bersangkutan; atau
melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.


Sedangkan pasal 25 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 mengatur bahwa
Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun
tidak langsung untuk:

a.

b.
c.

menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah
dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang
bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau
membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau
menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk
memasuki pasar bersangkutan.

Di dalam kedua ketentuan di atas terdapat unsur “refusal to deal” yang
dapat diartikan sebagai penolakan, pembatasan, penghalang-halangan, penetapan


9

maupun pengakhiran kepada pelaku usaha lainnya. Meskipun di dalam kedua
ketentuan tersebut tidak dijelaskan dan disebutkan secara pasti mengenai hal
fasilitas yang penting dalam konteks “refusal to deal” ini, akan tetapi dengan
ketentuan yang umum seperti ini justru dapat menjerat pelaku usaha yang berupaya
melakukan larangan dalam Doktrin Essential Facilities. Selain itu, kedua ketentuan
ini menunjukkan hubungan yang erat, sehingga unsur Doktrin Essential Facilities
dapat masuk ke dalam kedua ketentuan tersebut. Hal ini sebenarnya telah
ditunjukkan dalam penerapan ketentuan mengenai Doktrin Essential Facilities di
Amerika Serikat yang cenderung mengaplikasikannya secara umum dan di Eropa
yang cenderung mengaplikasikannya dalam bentuk penyalahgunaan posisi dominan.
Hubungan diantara keduanya dapat dilihat dalam pandangan Susanti Adi Nugroho10
yang menyebutkan bentuk-bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang umum
terjadi dalam persaingan usaha yang salah satunya adalah menolak untuk
bertransaksi (refusal to deal). Dalam pandangannya, refusal to deal digambarkan
sebagai perusahaan dominan yang merupakan induk perusahaan (parent company),
yang menolak bertransaksi baik sebagai penjual maupun sebagai pembeli dengan
perusahaan lainnya dengan alasan di pasar akan menambah pesaing bagi anak
perusahaannya (subsidiary company). Begitu juga jika perusahaan dominan
melakukan hal tersebut karena alasan akan menambah pesaing bagi perusahaan
10

Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia: Dalam Teori dan Praktik serta
Penerapan Hukumnya, Penerbit Kencana, Jakarta, 2012, hlm 408.

10

yang tergabung dalam grup perusahaan mereka (company group). Dalam hal ini,
Penulis berpendapat bahwa konsep “refusal to deal” yang digambarkan oleh Susanti
Adi Nugroho di atas adalah konsep yang umum, belum secara spesifik menunjuk
fasilitas tertentu yang penting, sehingga kasus yang digambarkan di atas belum
tentu dapat disebut sebagai aplikasi dari Doktrin Essential Facilities.
Oleh karena Doktrin Essential Facilities juga terkait dengan fasilitas penting
yang menjadi salah satu unsurnya, dan pengaturan “refusal to deal” yang ada di
dalam pasal 19 dan pasal 25 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tidak
menunjuk khusus obyeknya, maka penentuan faktor essential facilities sangat
tergantung pada kasus yang dihadapi.

Aplikasi Doktrin Essential Facilities Dalam Kasus
Telah banyak kasus yang dipaparkan, terutama di negara asal Doktrin
Essential Facilities muncul, yaitu di Amerika Serikat, sebagaimana dipaparkan di atas.
Kasus-kasus tersebut telah banyak menggambarkan bahwa Doktrin Essential
Facilities telah berkembang dari kasus ke kasus, dan dari masa ke masa. Salah
satunya lagi adalah kasus Perusahaan Alumunium America (Alcoa) yang terjadi
sebelum Perang Dunia II. Dalam kasus ini, Alcoa merupakan satu-satunya
perusahaan nasional Amerika Serikat yang memproduksi batangan alumunium dari
biji alumunium. Alcoa dalam pasar Amerika menghadapi persaingan dari beberapa

11

perusahaan batangan alumunium yang melakukan daur ulang alumunium. Alcoa
memiliki posisi dominan yang memproduksi alumunium dengan teknologi yang telah
dipatenkan sehingga dengan teknologi tersebut Alcoa dapat memproduksi
alumunium dengan biaya yang relatif rendah. Alcoa memegang hak paten dan
dengan demikian teknik produksi Alcoa dilindungi oleh hak paten. Namun setelah
tahun 1909 hak paten tersebut telah kedaluwarsa dan Alcoa harus mempertahankan
posisi tersebut. Pemerintah mencoba menuntut Alcoa melakukan aksi monopoli
terhadap pasar batangan alumunium, karena Alcoa, dituduh melakukan pembelian
bauksit melebihi dari jumlah yang dibutuhkan oleh perusahaannya sehingga
menyebabkan perusahaan lain yang menjadi potensi pesaingnya tidak bisa
mendapatkan bahan dasar yang dibutuhkan untuk memproduksi batangan
alumunium. Pemerintah juga menyatakan bahwa Alcos telah menandatangani
kontrak dengan Perusahaan Listrik Publik (PLN Amerika Serikat) yangmana kontrak
tersebut didesain sedemikian rupa sehingga perusahaan yang bergerak sebagai
produsen batangan alumunium, yang menjadi saingan Alcoa, tidak bisa
mendapatkan listrik dengan harga yang murah. Karena untuk memproduksi
batangan alumunium, dibutuhkan listrik yang besar. Dalam pandangan pengadilan,
pemerintah dipandang tidak berhasil membuktikan bahwa Alcoa telah berupaya
untuk melakukan usaha-usaha untuk melanggengkan monopoli dibidang produksi
alumunium batangan. Namun demikian, pengadilan di Amerika Serikat menemukan

12

fakta bahwa Alcoa telah melakukan monopoli alumunium batangan yang dengan
demikian telah bertentangan dengan section 2 Sherman Act. Faktor yang
mendukung tuduhan tersebut adalah perluasan kapasitas produksi yang dilakukan
oleh Alcoa.11
Selain kasus Alcoa, aplikasi Doktrin Essential Facilities juga terjadi dalam
kasus hak siar liga Inggris yang telah diputus oleh KPPU dengan No. 03/KPPU-L/2008,
kasus Telkom SLI 001 yang telah diputus oleh KPPU dengan No. 02/KPPU-I/2004 dan
kasus JICT yang telah diputus oleh KPPU dengan No. 04/KPPU-I/2003. Dalam kasus
hak siar liga Inggris (BPL), komisi berpendapat bahwa siaran BPL dianggap sebagai
konten yang penting untuk pasar bersangkutan downstream, selain itu proses
perolehan hak eksklusif siaran BPL dilakukan dengan cara yang tidak kompetitif, dan
terdapat dampak anti persaingan pada pasar bersangkutan upstream dan/atau
downstream. Permasalahan di dalam kasus ini adalah cara menentukan hak siar liga
Inggris sebagai essential facilities, yang menurut Komisi ditentukan dari pasar yang
terbentuk. Sedangkan dalam kasus Telkom SLI 001, kaitannya dengan essential
facilities, secara umum komisi berpandangan bahwa jasa SLI 001 adalah essential
facilities, sehingga segala perbuatan yang mengarah pada “refusal to deal” yang
diatur di dalam pasal 19 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menjadi penghambat
bagi persaingan. Kasus JICT dalam kaitannya dengan Doktrin Essential Facilities,
11

Ibid., hlm 396-397.

13

secara umum komisi berpandangan bahwa produksi pelayanan bongkar muat
petikemas merupakan essential facilities, sehingga perbuatan yang mengarah pada
“refusal to deal” dalam pasal 19 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dan
penyalahgunaan posisi dominan dapat dikatakan menghambat persaingan.
Di dalam kasus-kasus di atas, terlihat beberapa hal yang perlu digarisbawahi
sebagai bagian dalam aplikasi Doktrin Essential Facilities. Pertama, adalah
penerapan hak paten yang memberikan hak eksklusif bagi pemegangnya, sehingga
dapat mengakibatkan potensi “refusal to deal” berkaitan dengan essential facilities.
Jika batangan alumunium diasumsikan sebagai essential facility, sehingga Alco
mempunyai akses yang lebih murah untuk melakukan produksi batangan
alumunium, karena teknologi yang dimilikinya dengan hak paten tersebut. Atau jika
teknologi SLI 001 didapatkan dengan hak paten, akan memberikan eksklusifitas
Telkom dalam penguasaan teknologi saluran telepon internasional. Dengan
demikian, Alco dan Telkom akan dapat lebih eksis menjalankan bisnisnya daripada
perusahaan lain, oleh karena biaya produksinya lebih murah daripada perusahaan
lain. Sedangkan disatu sisi, penyebab dari produksi murah adalah teknologi yang
telah mempunyai hak paten, dan oleh karenanya tidak dapat dimiliki atau dikuasai
oleh pihak lain, kecuali Alco maupun Telkom memberikan lisensi untuk itu.
Penerapan hak eksklusif dari hak kekayaan intelektual dilindungi oleh hukum,
termasuk juga hukum Indonesia. Karena perlindungan ini, maka menyebabkan

14

aplikasi Doktrin Essential Facilities menjadi kabur ketika berhadapan dengan hak
atas kekayaan intelektual. Artinya, oleh karena adanya hak atas kekayaan intelektual
tersebut mengakibatkan

Doktrin

Essential Facilities

menjadi tidak dapat

diberlakukan. Secara sederhana dapat digambarkan bahwa pelaku usaha yang
tadinya tertuduh karena pelanggaran Doktrin Essential Facilities, menjadi bebas dari
tuduhan karena adanya hak atas kekayaan intelektual. Justru Robert Pitofsky12
mengingatkan bahwa hak atas kekayaan intelektual tersebut dapat menjadi alasan
pembenaran terhadap aplikasi Doktrin Essential Facilities, meskipun di dalamnya
telah terpenuhi unsur “penguasaan terhadap essential facilities oleh pelaku usaha”,
unsur “pesaing yang pada kenyataannya atau secara patut tidak dapat meniru atau
menduplikasi essential facilities”, unsur “penolakan untuk menggunakan fasilitas
oleh pesaing”, dan unsur “kelayakan untuk menyediakan fasilitas”. Sehingga kasus
semacam ini, sangat direkomendasikan oleh the United States antitrust enforcement
agencies untuk tetap diberlakukannya Doktrin Essential Facilities, meskipun kasus
tersebut mempunyai kandungan hak atas kekayaan intelektualnya.
Kedua, adalah penentuan essential facilities dalam kasus. Untuk dapat
menentukan sesuatu tersebut termasuk kategori fasilitas penting (essential fasilities)
di dalam kasus sangat tidak mudah, mengingat peraturan penetapan seperti itu
belum tercipta, apalagi dalam praktek di Indonesia.
12

Robert Pitofsky, Op.Cit., hlm 25.

Doktrin Essential Facilities

15

mempunyai tujuan untuk mencegah pelaku usaha melakukan penguasaan yang
berlebihan pada aset penting dan melakukan perbuatan melawan hukum yang
mengakibatkan tidak adanya pesaing. Dalam salah satu pernyataan pengadilan di
Amerika Serikat didapatkan suatu adagium bahwa perusahaan yang mempunyai
kekuatan untuk menguasai secara berlebihan terhadap fasilitas penting tidak
diperkenankan untuk menolak ketersediaan akses kepada pihak lain terhadap
fasilitas tersebut, dimana tidak ada alasan bisnis yang dapat dipertanggungjawabkan
secara hukum untuk melakukan penolakan itu.13 Dalam hal suatu fasilitas itu
merupakan fasilitas yang sangat penting bagi persaingan usaha dan fasilitas tersebut
merupakan hal yang jarang dan “extraordinary”, serta tidak ada alasan pembenaran
bisnis, dan adanya bukti niat untuk menciderai pesaingnya, maka fasilitas semacam
ini dapat terkategori sebagai fasilitas penting yang dimaksud di dalam Doktrin
Essential Facilities.14 Setidaknya pandangan Robert Pitofsky di atas dapat dijadikan
acuan sebagai bagian dalam menentukan essential facilities. Selain pandangan
Robert Pitofsky itu, adanya ketidakmampuan pesaing untuk menduplikasi fasilitas
tersebut menjadi unsur yang menentukan di dalam essential facilities, sebagaimana
dipaparkan dalam kasus-kasus sebelumnya. Untuk itu, perlu juga memasukan unsur
“ketidakmampuan pesaing dalam menduplikasi fasilitas” ke dalam penentuan
essential fasilities.
13
14

Ibid., hlm 10.
Ibid., hlm 25.

16

Ketiga, adalah penetapan standar unsur sehingga dapat mengaplikasi Doktrin
Essential Facilities dalam praktek, terutama praktek penegakkan hukum persaingan
usaha di Indonesia. Sebagaimana telah dipaparkan di atas, bahwa setelah adanya
kasus MCI Communications Corp v. American Tel & Tel.Co di tahun 1982, unsur
tuntutan dalam essential facilities sudah dapat ditentukan. Unsur-unsur tersebut
adalah unsur “penguasaan terhadap essential facilities oleh pelaku usaha”, unsur
“pesaing yang pada kenyataannya atau secara patut tidak dapat meniru atau
menduplikasi essential facilities”, unsur “penolakan untuk menggunakan fasilitas
oleh pesaing” dan unsur “kelayakan untuk menyediakan fasilitas”

15

. Setidaknya

keempat unsur yang telah dipaparkan ini dapat menjadi standar awal bagi
terlaksananya Doktrin Essential Facilities dalam mengukur suatu kasus. Standar ini
patut ditambah dan disesuaikan dengan jalur ketetapan yang telah disepakati oleh
founding fathers Indonesia. Jalur ketetapan yang utama adalah Pancasila dan jalur
ketetapan selanjutnya adalah UUD 1945 beserta perubahannya. Berkaitan dengan
perekonomian negara Indonesia, penerapan sila kelima Pancasila “Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia” telah merasuk pada ketentuan pasal 33 UUD 1945.
Prinsip ini mengajarkan bahwa kesejahteraan yang dianut oleh sila kelima Pancasila
menekankan pentingnya peran negara dalam menyelenggarakan barang dan jasa
yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mengembangkan partisipasi serta
15

David B. Albeck, Op.Cit.

17

emansipasi di bidang ekonomi dengan semangat kekeluargaan. Hal ini yang
membedakan antara paham kapitalisme ekonomi dengan ekonomi berbasis
Pancasila, dimana di dalam paham kapitalisme tidak ada tempat bagi keadilan sosial
karena ekonomi diserahkan pada mekanisme pasar semata.16

Kesimpulan
Sebagaimana dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa penentuan
essential facilities menjadi topik awal bagi pengimplementasian doktrin ini kepada
suatu kasus di Indonesia, dan selanjutnya pengimplementasian kasus terhadap
unsur “penguasaan terhadap essential facilities oleh pelaku usaha”, unsur “pesaing
yang pada kenyataannya atau secara patut tidak dapat meniru atau menduplikasi
essential facilities”, unsur “penolakan untuk menggunakan fasilitas oleh pesaing”
dan unsur “kelayakan untuk menyediakan fasilitas” yang menjadi ruang lingkup
Doktrin Essential Facilities berdasar kesesuaian Indonesianisasi. Sebagai tolok
ukurnya, standar unsur tersebut setidaknya harus dapat menjawab pertanyaan
“kapan pelaku usaha yang memiliki fasilitas mempunyai kewajiban untuk “deal”
dengan pihak lain?”17 dan “kapan “refusal to deal” dapat dijustifikasikan?”18

16

Antonius Widyarsono, Peta Permasalahan Pancasila Dewasa Ini, Jurnal Filsafat Driyarkara, Jakarta,
Tahun XXXII no.3/2011, hlm 7-8.
17
James Kent Scholar dan Walter Gelhorn Prize, Op.Cit., hlm 30.
18
Ibid., hlm 33.

18

Penerapan Doktrin Essential Facilities dalam penegakkan hukum di
Indonesia, masih perlu mendapatkan kejelasan, mengingat konsepsi essential
facilities masih belum mempunyai ketetapan yang tegas di dalam peraturan yang
ada. Dalam rangka mengimplementasikan doktrin ini, langkah “jurisprudence”
maupun “leglisasi” perlu dipercepat, sehingga arah Doktrin Essential Facilities
beserta segala ruang lingkupnya menjadi jelas dan pasti. Yang dimaksud
jurisprudence disini adalah dengan memberikan putusan yang tepat dan jelas,
khusus untuk menegaskan ruang lingkup Doktrin Essential Facilities dalam kasus,
sehingga putusan ini dapat menjadi acuan bagi kasus-kasus yang berkaitan dengan
essential facilities lainnya dikemudian hari. Sedangkan yang dimaksud legislasi
adalah dengan melalui proses pembentukan peraturan perundang-undangan,
termasuk juga pembentukan pedoman oleh KPPU.

19

Daftar Pustaka
Buku dan Jurnal
Adi Nugroho, Susanti, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia: Dalam Teori dan Praktik serta
Penerapan Hukumnya, Penerbit Kencana, Jakarta, 2012.
B.

Albeck, David, Defining “Essential Facilities” After Trinko,
www.davidalbeck.com/writings/trinko.htm, tanggal 1 Juni 2013.

diunduh

dari

Pitofsky, Robert, The Essential Facilities Doctrine Under United States Antitrust Law, paper
untuk the European Commission dalam rangka mendukung National Data
Corporation dalam kasus essential facitilities melawan IMS, Georgetown University
Law Center.
Scholar, James Kent, dan Walter Gelhorn Prize, Essential Facilities in The European Union:
Bronner and Beyond, Columbia Journal of European Law, LLM Columbia Law School,
Vol.10, 2004.
Widyarsono, Antonius, Peta Permasalahan Pancasila Dewasa Ini, Jurnal Filsafat Driyarkara,
Jakarta, Tahun XXXII no.3/2011.

Peraturan Perundang-undangan
Sherman Act 1890
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999