Penguatan Kelembagaan Perbatasan Negara ok

DESAIN KEBIJAKAN LOKAL UNTUK PENGUATAN
KELEMBAGAAN DI KAWASAN PERBATASAN
NEGARA1
oleh Erdi2

Pendahuluan
Pada tanggal 17 Oktober 2013, saya diundang oleh Yasan Swadaya Dian
Khatulistiwa (YSDK) yang bermarkas di Pontianak untuk menjadi moderator dalam
seminar yang dilaksanakan atas kerjasam YSDK, BNPP, Kemitraan Untuk Tata
Pemerintahan Yang Baik dan BP2K Provinsi Kalbar dengan tema “Penguatan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Desa Pada Kawasan Perbatasan (RPJMDes
Perbatasan) Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas”. Seminar ini adalah
untuk membahas RPJMDes Perbatasan dari 5 Desa di wilayah perbatasan Negara,
yang tentunya telah disusun dengan keterlibatan multi pihak untuk pembangunan
kawasan perbatasan 20 tahun ke depan.
Tujuan dari seminar ini, selain mendapatkan masukan dari banyak pihak, juga
diharapkan sebagai model dari Sambas untuk dijadikan model implementasi best
practice bagi pengelolaan kawasan perbatasan di Indonesia pada umumnya dan
pengelolaan perbatasan darat pada khususnya, tetap dalam konteks NKRI. Dan,
seminar seperti ini, sebagaimana penuturan dari para pemakalah merupakan seminar
pertama yang mampu menghasilkan kolaborasi aktor dalam implementasi sebuah

kebijakan, yang dalam hal ini adalah perencanaan desa.
Di dalam seminar tersebut terungkap bahwa secara nyata selama ini,
pengelolaan kawasan perbatasan di Indonesia dilakukan secara terpisah. Meskipun
para pihak telah mengklaim bahwa program pembangunan yang dilaksanakan dan
disasarkan ke kawasan perbatasan telah melibatkan para pihak, tetapi di saat
implementasi selalu mengacu pada dominasi kementerian yang memiliki program
sehingga implementasi di lapangan lebih menonjolkan spesifikasi program
kelembagaan yang memiliki program tersebut. Ke depan, iklim implementasi seperti
ini sudah tidak model lagi karena pendekatan pembangunan saat ini adalah
pendekatan holistic (Friedman, 1997) yang memprioritaskan penyelesaian masalah.

1

2

Artikel dengan judul yang sama, telah dimuat pada Harian Equator Rakyat Kalbar pada
tanggal 17 dan 18 Januari 2004. Dalam versi lengkapnya, akan dimuat di Jurnal LIPI.
Erdi adalah Dosen FISIP UNTAN yang saat ini menjabat sebagai Ketua Program Studi
Ilmu Administrasi Negara. Selain itu, ybs juga mengajar di Program S2 Ilmu Sosial
UNTAN, IPDN Kampus Kalbar, MAP (S2) pada UPBJJ-UT Pontianak dan Ilmu

Pemerintahan (IP) Kerjasama FISIP UNTAN dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan
Barat. Sarjana satu dan sarjana dua diselesaikan di FISIP UNTAN pada tahun 1992 dan
2004; kemudian meneruskan studi ke Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas
Brawijaya (UB) dalam bidang Ilmu Administrasi Negara minat Kebijakan Publik. Pada
tahun 2011, menyelesaikan pendidikan doktornya dengan IPK 3,88 dalam masa studi 5
tahun 2 bulan.

Melalui RPJMDes Perbatasan, semua program dari berbagai kementerian dan
kelembagaan Negara dipersatukan sedemikian rupa menjadi rencana aksi yang tidak
lagi mencirikan kelembagaan atau kementerian tetapi kepentingan dan dignity bangsa
dalam kontek pembangunan nasional dan antara bangsa (Lenton et al, 2005 dan
Luban, 2007). Para pihak diminta untuk menginsertkan program yang dapat
diinsertkan ke dalam RPJMDes perbatasan itu dan dilakukan secara integral dalam
pembangunan kawasan perbatasan. Dengan metode ini, para pihak tidak lagi berteori
dan langsung bertindak dengan sekaligus mengakomodir kepentingan dan
keterlibatan masyarakat batas.
Sudahkah Keterlibatan Para Pihak Terjadi Di Perbatasan?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, saya mencoba mensitir pernyataan Kepala
Adat Kecamatan Sajingan Besar, Bapak Dinggah, yang saat ini sudah berusia sekitar
80-an tahun dan diusianya yang senja ini, Pak Ketua Adat masih menyisakan

keperkasaan dan selalu menjaga komitmen setia kepada NKRI. Dia mengatakan
kepada penulis bahwa:
“…sampai itok ari, hanya Presiden, Tuhan Yesus dan Malaikat yang belum
pernah datang dan berjanji dengan kamek, masyarakat Sajingan …. tapi ape
ade …. janji-janji tolen jak….. abis mereka balek dari sittok ….. tak ade apeape yang bisa kami harapkan agek ….. Syukur-syukur mereka datang
sekaligus mbawa bantuan …. Adelah yang ditinggal ….. mun ndak …..
tinggal omong jak. Saye tok dah ibboh melayan urang banyak yang datang …
datang … datang ….. mbuat acara ini, acara ittok …. macam-macam
acare…… tetap jak macam inik keadaan kamek di Sajingan ni. Untunglah
Pak Bupati dan Pak Gubernur tu baek hati ….. kamek dibuatkan jalan, diberik
listrik, ade lah peninggalan untuk masyarakat sittok.
[Sampai hari ini, hanya Presiden, Tuhan Yesus dan Malaikat yang
belum pernah datang dan berjanji dengan kami, masyarakat Sajingan.
Tetapi, apa yang ada? Mereka (yang dating itu hanya berjanji saja,
setelah kembali dari Sajingan, tak ada harapan yang dapat diharapkan
masyarakat. Syukur-syukur kalau mereka sekaligus membawa
bantuan, adalah yang ditinggalkan di desa, kalau hanya datang, ya
tinggal datang tanpa bantuan. Saya ini sudah risih melayani banyak
orang yang selalu datang dan menyelenggarakan berbagai macam
acara di Sajingan ini, tetap saja tidak merubah keadaan masyarakat di

Sajingan ini. Untunglah Pak Bupati dan Pak Gubernur kami adalah
orang baik, kami dibikinkan jalan dan difasilitasi listrik, adalah
peninggalan untuk masyarakat di sini].
Apa yang disampaikan oleh Pak Dinggah sebagaimana kutipan di atas
menunjukkan bahwa selama ini para pihak telah banyak yang terlibat dan
menawarkan berbagai program, namun berbagai program yang ditawarkan itu tidak
dilanjutkan menjadi implementasi yang terintegrasi dengan kepentingan masyarakat
sehingga tetap menyisakan berbagai persoalan di daerah perbatasan. Melalui RPJMDes
Perbatasan dan dibukanya ruang bagi para pihak untuk menginsertkan program ke
dalam RPJMDes tersebut diharapkan dapat menutupi semua kekecewaan yang selama
ini dirasakan oleh masyarakat perbatasan.
Saat ini, RPJMDes pada 5 Desa di Wilayah Perbatasan Sajingan Besar ini telah
disahkan oleh Desa dengan difasilitasi oleh para pihak sebagaimana penulis sebut di

awal sub Bab ini. Penguatan kelembagaan untuk desa di kawasan perbatasan ini tidak
cukup hanya dilakukan oleh pemerintah daerah seperti yang selama ini dilakukan.
Keterlibatan para pihak ini menjadi barometer kekuatan kelembagaan desa sehingga
masyarakat di Negara seberang tidak memandang remeh kekuatan masyarakat batas
yang seperti kehilangan atau lepas dari induknya. Tanpa dukungan dari banyak pihak,
maka masyarakat batas akan tetap lemah dan menjadi “bulan-bulanan” pihak lain.

Strategi Penguatan Kelembagaan Institusi dan Masyarakat Batas
Upaya memperkuat kelembagaan pada masyarakat batas dimaksud dapat
dilakukan melalui:
1. Menginsertkan program dan sekaligus pendanaan serta implementasi program bagi
penguatan ekonomi local, perbaikan kesehatan dan keberpihakan dalam bidang
pendidikan.
2. Menempatkan pribadi pejabat public yang secara aktual memiliki kekuasaan seperti
Bupati dan Gubernur serta figur lain yang memiliki koneksi luas untuk menjadi
pelindung dalam berbagai kegiatan pembangunan di wilayah perbatasan.
3. Sebagai kawasan yang kaya akan Sumber Daya Alam tetapi masih bermasalah
dalam Sumber Daya Manusia dan Infrastruktur, pembinaan unit produksi
masyarakat perbatasan yang memanfaatkan dan berbasis keunggulan local seperti
bidai, berbagai jenis ayaman dan produk alam dapat dilakukan dengan:
a. Meningkatkan akses permodalan dengan terlibatnya para pihak (bank dan
lembaga permodalan lain).
b. Menyediakan pendamping dari unsur pemerintah untuk ditempatkan di desa
atau kecamatan dan sekaligus melakukan pembinaan dan pendampingan secara
terus-menerus.
c. Peran pemerintah daerah dengan mengambil alih urusan pemasaran untuk
produk-produk tertentu yang disepakati bersama melalui kebijakan subsidi agar

unit produksi yang melibatkan masyarakat local tidak lagi pusing dengan
urusan pemasaran, tetapi lebih focus pada urusan perbaikan atas kualitas
produk.
Tiga langkah di atas dapat dimaknai sebagai upaya penguatan kelembagaan
yang dalam hal ini ditujukan untuk mengoptimalkan fungsi lokal sebagai wadah
untuk penerapan, pelestarian dan sekaligus pengembangan potensi masyarakat batas.
Melalui ketiga aktivitas di atas, selain masyarakat diberikan wewenang untuk
menggali sistem pengetahuan dan nilai-nilai fungsional yang dibutuhkan juga dapat
dipacu perkembangannya dengan keterlibatan banyak pihak di dalamnya secara satu
padu.
Desain Umum Kebijakan Lokal Untuk Perbatasan tanpa Konflik
Konflik akan selalu muncul dan akan selalu dapat ditemukan dalam semua
level kehidupan masyarakat. Dalam interaksi, semua pihak bersinggungan dan sering
malahirkan konflik. Belajar dari konflik yang kemudian disadari menghasilkan
kerugian para pihak akan memunculkan inisiatif meminimalisir kerugian itu. Caranya
adalah mengupayakan damai untuk kembali hidup bersama. Dalam konteks
demikian, konflik didefinisikan bukan saja dari aspek para pelaku, tetapi merupakan
sesuatu yang given dalam interaksi social (Chalid, 2005:102).
Saat ini di beberapa wilayah perbatasan Sajingan telah beroperasi perkebunan
kelapa sawit yang dimiliki oleh perkebunan swasta nasional (PBSN/Perkebunan Besar

Swasta Nasional) dan baru 3 perusahaan yang mendesain pelibatan masyarakat
sebagai petani plasma. Di sisi lain, kebun milik perusahaan telah berbuah pasir dengan

hanya mempekerjakan masyarakat dalam jumlah dan kapasitas terbatas. Kondisi saat
ini masih cukup kondusif karena perkebunan yang beroperasi di wilayah perbatasan
ini belum menampakkan penghasilan yang membuat masyarakat local tergiur untuk
terlibat. Namun, ke depan, kondisi ini perlu diantisipasi.
Konflik yang melibatkan banyak pihak terkait kelapa sawit telah terjadi di
banyak tempat. Sampai dengan Desember 2011, telah tercatat sebanyak 663 kasus
konflik perkebunan kelapa sawit (Andiko dan Iwan, 2012). Saya tidak ingin salah
dalam menarik kesimpulan ini. Namun, kasus (konflik) yang tercatat sebagaimana di
atas merupakan konsekwensi dari pembangunan sektor perkebunan kelapa sawit di
daerah yang tidak melibatkan masyarakat secara cukup atau proporsional. Banyak
factor yang menjadi penyebab yang kemudian berkembang dengan berbagai varian
sebab, akibat maupun dampak. Namun, case pemicunya adalah ketidak-adilan dan
ketidak-terlibatan masyarakat dalam industri perkebunan tersebut.
Paling tidak telah terdapat sebanyak 5 perusahaan perkebunan kelapa sawit
yang telah masuk ke Kecamatan Sajingan. Dari lima perusahaan itu, sebanyak 4
perusahaan telah beroperasi. Diskripsi lengkap mengenai kelima perusahaan tersebut
adalah tersebut pada Tabel 1.

Tabel 1
Perusahaan Perkebunan Sawit Yang Beroperasi di Kecamatan Saingan
Keadaan Januari 2014

No
1
2
3
4
5

Nama Perusahaan
PT. Wahyu Hijau Semesta (WHS)
PT. Kaliauk Mas Perkasa (KMP)
PT. Teluk Keramat (TK)
PT. Allau Kuning (AK)
PT. Tsjafioeddin (TO)1)

TOTAL dan RATA-RATA


Luas (Ha)
Pengarahan

Rencana Plasma (Ha)

12.000
5095
2000
1000
2080

Luas
(Ha)
1000
450
400
200
0

(Prosentase)

8,83
8,83
20.00
20.00
0

22.175

2050

16.25

Sumber: Camat Sajingan, diolah kembali oleh penulis. 2014
1)

Belum ada operasi

Dari tabel di atas, rencana pembangunan kebun plasma baru mulai akan
dilakukan setelah melalui proses panjang dan telah pernah penulis singgung saat
seminasi tanggal 17 Oktober 2013 yang lalu bahwa Pemerintah Daerah harus

mendesak perusahaan perkebunan untuk membangun kebun plasma untuk rakyat
berdasarkan pola 80:20 dengan tidak boleh ditawar kurang sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Pertanian RI No. 26/2007 tentang Pedoman Perizinan Perkebunan.
Dengan ketentuan ini, petani mendapat pengelolaan sebesar 20 persen lewat
kewajiban perusahaan membangun kebun plasma. Pola yang akan dipilih perusahaan:
KKPA, Pir-Trans dan lain sebagainya, dapat didiskusikan kepada rakyat dan
pemerintah setempat.

Dari tabel di atas, terlihat bahwa masih terdapat sebanyak 2 perusahaan
yang belum memenuhi ketentuan Peraturan Menteri Pertanian RI No. 26/2007
dan oleh karena itu, keduanya perlu mempertimbangkan kembali penambahan
quota kebun plasma untuk rakyat. Kekurangan itu, dapat dilihat pada Tabel 2
berikut ini.

ini:
Tabel 2
Jumlah Ideal Luasan Pembangunan Kebun Plasma pada PBSN
di Wilayah Perbatasan Sajingan Besar 2014

No
1
2
3
4
5

Nama Perusahaan

Rencana
Plasma

Jumlah Plasma Ideal
Luas (Ha)

+/- (Ha)

1000
450
400
200
0

2400
1019
400
200
416

(1400)
(569)
Cukup
Cukup
(416)

TOTAL IDEAL KEBUN PLASMA

4435

(2385)

PT. Wahyu Hijau Semesta (WHS)
PT. Kaliauk Mas Perkasa (KMP)
PT. Teluk Keramat (TK)
PT. Allau Kuning (AK)
PT. Tsjafioeddin (TO)

Sumber: Rekayasa Penulis berdasarkan Permentan RI No. 26/2007, 2014
Berdasarkan informasi dari beberapa sumber di Desa Kaliauk dan
Sebunga, kesepakatan dengan pihak perusahaan telah pun dibuat dan
disepakati dengan komposisi sebagaimana tersebut dalam tabel di atas.
Namun, apapun alasannya, komitmen perusahaan untuk membangunakan
sebanyak 20% kebun plasma patut ditagih kembali, tidak hanya oleh
masyarakat tetapi juga oleh pemerintah daerah. Hal ini dilakukan untuk
menghindari perusahaan dari sangkaan hukum ketata-negaraan di
kemudian hari oleh berbagai pihak yang berada di luar konteks masyarakat
perbatasan.
Desain Kebijakan Umum Ke Depan: Lesson Learned Kebijakan
Selama ini, alokasi kebun plasma kepada petani selalu diberikan
hanya kepada penduduk, yang dalam kontek ini disebut Kepala Keluarga
(KK). Bilamana jumlah KK yang akan dibagikan kebun di wilayah
perbatasan ini sudah tercakup semua, maka perlu dipertimbangkan
kebijakan lain. Sebagai kawasan perbatasan, tentu perlakuannya juga harus
lain dan perlakuan yang lain ini diharapkan memperhatikan kontek
pemberdayaan masyarakat perbatasan itu sendiri.
Salah satu kebijakan khusus yang dapat ditempuh oleh pemerintah
adalah mendistribusikan jatah kebun plasma tersebut kepada institusi lokal
di tingkat desa dan kecamatan. Selama ini, dimanapun di Indonesia, belum
ada perusahaan yang mengakomodir institusi desa untuk dibagikan kebun
plasma. Antara masyarakat dengan institusi desa seakan tidak terhubung,
padahal keduanya adalah saling memiliki.
Diawali di wilayah perbatasan ini, adalah menjadi lebih baik
bilamana perusahaan juga mengakomodir kepentingan institusi desa
dengan mengalokasikan kebun inti atau membangunkan kebun plasma
dengan pengelolaan inti kepada institusi desa agar institusi ini
mendapatkan pendapatan yang berkepanjangan bagi pembiayaan
operasional kelembagaan. Institusi yang patut dipertimbangkan untuk
memperolah jatah kebun plasma yang terintegrasi ke dalam kebun inti
antara lain adalah rumah ibadah (mesjid dan gereja); Kantor Desa, Sekolah

(swasta dan negeri) pada semua level yang ada di lima wilayah di desa
perbatasan se Kecamatan Sajingan Besar; Kantor Kecamatan; Kantor
institusi vertical yang beroperasi di wilayah perbatasan (antara lain Kantor
Agama, TNI, Polri, Bea Cukai dan Karantina) dan Lembaga Adat Desa serta
Lembaga Adat Kecamatan. Dengan mengalokasikan kebun seluas 2 Ha
kepada institusi ini, selain perusahaan dapat menjaga kepentingan
masyarakat, juga dapat menyebabkan terlindunginya keamanan dan
kepentingan perusahaan yang terintegrasi ke dalam kepentingan
masyarakat. Dengan demikian, urusan keamanan tidak lagi hanya menjadi
domain perusahaan tetapi telah dipindahkan kepada masyarakat dan
masyarakat akan menjaga stabilitas keamanan kebun inti karena terdapat
kepentingan mereka di sana yang tidak lagi dapat ditentukan batas-batas
demarkasinya.
Dengan kebijakan ini, rasanya tidak sulit dilakukan oleh perusahaan
daripada dilakukan oleh perusahaan untuk mengakomodir kepentingankepentingan personal pejabat yang keberlangsungannya yang sangat
terbatas oleh durasi waktu. Dengan mengakomodir kepentingan
masyarakat melalui institusi local, kepentingan masyarakat dan perusahaan
menjadi terintegrasi dalam jangka waktu yang tidak terbatas ke depannya.
Dan, bilamana kelima perusahaan sebagaimana tersebut pada table 1
di atas, dapat melakukannya dengan baik, maka itulah best practice yang
dapat disebarkan ke daerah lain dalam kontek pengelolaan perbatasan
darat di Indonesia dan bahkan menjadi best practice dalam
mengintegrasikan kepentingan berbagai pihak ke dalam satu aksi.
Mudahan, Gubernur Kalbar dan Bupati Sambas kembali dapat
melakukan sesuatu yang spektakuler seperti yang dilakukan Pak Gubernur
dalam mendobrak elektrifikasi kawasan perbatasan, meskipun harus
“melawan kebijakan nasional” untuk implementasi best practice dari bumi
the Heart of Boerneo agar memberi manfaat yang lebih banyak kepada
masyarakat dan institusi lokal di kawasan perbatasan.
Dengan kewenangan yang dimilikinya dan pengaruh personal yang
mengakar dan merakyat, Gubernur Kalbar saya yakini “mampu
menggulirkan kebijakan baik ini” untuk menata kawasan perbatasan yang
berada di wilayah hukum Provinsi Kalimantan Barat secara lebih
bermartabat. Amin!
Referensi
Andiko dan Norman Jiwan. 2012. Panduan Dasar bagi Aktifis dan
Masyarakat: Memahami dan Memantau Pelaksanaan Peraturan dan
Hukum oleh Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia.
Sawit Watch, Januari: Jakarta

6

Baplan, 2001. Rencana Strategis Pengelolaan dan Pengamanan Kawasan
Hutan Perbatasan tahun 2005 – 2010. BAPLAN. Jakarta.
Chalid, Pheni. 2005. Otonomi Daerah: Masalah, Pemberdayaan dan Konflik.
Kemitraan: Jakarta.
Colechester, Marcus dan Sophi Chao. 2013. Konflik atau Mufakat? Sektor
Kelapa Sawit di Persimpangan Jalan. Sawit Watch dan TuK
INDONESIA: Jakarta.
Friedman, Myles I. 1997. Improving the Quality of Life: A Holistic Scientific
Strategy. Frager, Westport, Connecticut. London.
Green. David G. 2005. Reinventing Civil Society. Civitas: London
Lenton, Roberto, Albert M. Wright and Kristen Lewis. Health, Dignity and
Development: What Will It Take?: UN Millennium Project. Eartscan:
London.
Luban, David. 2007. Legal Ethic and Human Dignity. Cambridge Studies in
Philosopy and Law. Cambridge University Press: Cambirdge.
Thornton, Stephen. 2009. Richard Crossman and The Welfare State: Pioneer
of Welfare, Provision and Labour, Politics in Post-War Britain. Tauris
Acedemic Studies: London.

Page 7 of 7