A Hukum Pidana Materi Kuliah Semester 3 | FKPH GUIDE a hukum pidana

RUANG LINGKUP HUKUM
PIDANA
• Menentukan perbuatan yang dilarang disertai
dengan sanksi pidana;
• Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada
mereka yang melanggar larangan tersebut dapat
dikenai sanksi pidana sebagaimana yang telah
diancamkan;
• Menentukan dengan cara bagaimana sanksi
pidana itu dapat dikenakan.
1

• SKEMA HUKUM PIDANA
HP
MATERIAL

HUKUM
PIDANA

-Perbuatan
yang dilarang

-Sanksi pidana

HP FORMAL

HP UMUM
HP KHUSUS

SISTEMATIKA KUHP
KUHP TERDIRI DARI TIGA BUKU,
YAITU:

BUKU I : MENGATUR TENTANG KETENTUAN
UMUM TERDIRI DARI 9 BAB, TIAP BAB
TERDIRI DARI BERBAGAI PASAL YANG
JUMLAHNYA 103 PASAL (PASAL 1 S.D. 103)
BUKU II: MENGATUR TENTANG KEJAHATAN
TERDIRI DARI 31 BAB DAN 385 PASAL (PASAL
104 S.D. 448)
BUKU III: MENGATUR TENTANG PELANGGARAN
TERDIRI DARI 10 BAB YANG MEMUAT 82 PASAL

(PASAL 449 S.D. 569).

Sistematika
KUHP
Buku I
Aturan Umum
Pasal 1-103, Bab I - IX
Buku II
Kejahatan
Pasal 104 - 488
Bab X - XXXXI

Buku III
Pelanggaran
Pasal 489 - 569
Bab XXXXI XXXXXX

Hukum Pidana
Khusus
(Aturan Pidana

dalam UU di
luar KUHP)
UU Narkotika,
UU
Psikotropika,
UU Terorisme,
UU HAM, UU
KDRT, dll

4

SUMBER-SUMBER HUKUM
PIDANA DI INDONESIA
• KUHP (beserta UU
yang merubah &
menambahnya)
• UU Pidana di luar
KUHP
• Ketentuan Pidana
dalam Peraturan

perundangundangan nonpidana

PEMBAGIAN HUKUM PIDANA
HK. PIDANA
SUBYEKTIF

HK. PIDANA

(IUS PUNIENDI)

HUKUM
PIDANA

UMUM
HK. PIDANA
MATRIIL
HK. PIDANA

HK. PIDANA


KHUSUS

OBYEKTIF
(IUS PUNALE)
HK. PIDANA
FORMIL

H.P. MILITER
H.P. PAJAK

 Fungsi Hukum Pidana

1.
Secara umum hukum pidana berfungsi
mengatur dan menyelenggarakan kehidupan
masyarakat agar dapat tercipta dan
terpeliharanya ketertiban umum.
2.
Secara khusus sebagai bagian dari hukum
publik,

a. Melindungi kepentingan hukum,
b. Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam
rangka negara menjalankan fungsi perlindungan
atas berbagai kepentingan hukum;
c.
Mengatur dan membatasi kekuasaan negara
dalam rangka negara melaksanakan fungsi
perlindungan atas kepentingan hukum.

Hukum Pidana Materiel di
Indonesia
• Sumber utama: Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP)
• Berlaku di Indonesia sejak tahun 1946 (setelah
kemerdekaan RI) dengan UU Nomor 1 Tahun
1946.
• Merupakan warisan kolonial Belanda yang
diberlakukan di Indonesia sejak 1 Januari 1918.
• Sumber lain: UU khusus di luar KUHP: Korupsi,,

Narkotika, Pencucian uang, Terorisme, dll.

8

HUKUM PIDANA MATERIIL
SANKSI
PIDANA

PERTANGGUNG
JAWABAN
PIDANA

PERBUATAN
PIDANA

Tindak Pidana

9

SEJARAH PEMBENTUKAN KUHP

Crimineel Wetboek voor Het
Koninkrijk Holland

dibuat : 1795
berlaku : 1809-1811

Code Penal (Perancis,
Napoleon Bonaparte)

berlaku 1811-1886

Wetboek van Strafrecht
Nederlansch

dibuat : 1881
berlaku : 1886

Asas Konkordansi

Koninklijk Besluit (Titah Raja) No.

33,
15 Oktober 1915
berlaku : 1 Januari 1918
UU No. 1/ 1946 tentang
Wetboek van Strafrecht (WvS)
Peraturan Hukum Pidana
dapat dibaca “KUHP”
Indonesia
UU No. 73/1958 yang
memberlakukan UU No. 1/ 1946
10
untuk seluruh wilayah Indonesia

Wetboek van Strafrecht
Nederlansch Indie (WvSNI)

SEJARAH PEMBERLAKUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA
Tahun

Peristiwa


Selisih Waktu

1810

Code Penal diberlakukan di Perancis

1 tahun

1811

Code Penal diberlakukan di Belanda

56 tahun

1867

Wetboek van Strafrecht voor
Europeanen berlaku di Hindia-Belanda


6 tahun

1873

Wetboek van Strafrecht voor Inlander
diberlakukan di Hindia-Belanda

8 tahun

1881

Wetboek van Strafrecht disahkan di
Belanda

5 tahun

1886

Wetboek van Strafrecht diberlakukan di
Belanda

29 tahun

1915

Wetboek van Strafrecht NetherlandsIndie disahkan untuk Hindia-Belanda

3 tahun

1918

Wetboek van Strafrecht NetherlandsIndie diberlakukan di Hindia-Belanda

28 tahun

1946

Wetboek van Strafrecht NetherlandsIndie disebut sebagai KUHP Indonesia
Total : 136
tahun 11

SEJARAH HUKUM PIDANA
• Zaman penjajahan Belanda terdapat dualisme



hukum, yaitu:
Untuk orang Belanda/Eropah, berlaku mulai 1
January 1867
Untuk orang Indonesia/Timur asing, berlaku mulai 1
January 1873.
Tahun 1886 di negeri Belanda diberlakukan KUHP
baru yang sebagian besar mencontoh KUHP Jerman.
Tanggal 1 Januari 1918, dengan asas konkordansi,
KUHP Belanda itu diberlakukan untuk semua
penduduk Indonesia, dengan nama Wetboek van
Straftrech voor Netherlandsch Indie untuk Indonesia

SEJARAH HUKUM PIDANA
 Saat penjajahan Jepang, pemerintah Jepang tetap

memberlakukan Wetboek van Strafrech voor
Netherlandsch Indie untuk Indonesia.
 Saat Indonesia merdeka, dengan Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945, Wetboek van Strafrech voor
Netherlandsch Indie tsb dinyatakan pula tetap
berlaku.
 Dengan UU No.1 Tahun 1946 diadakan penegasan
tentang hukum pidana itu berlaku di Indonesia.
Namanya diubah menjadi Wetboek van Strafrech
(WvS) atau biasa disebut KUHP. Beberapa pasal
dihapuskan dan diciptakan beberapa delik baru yang
dimuat dalam Pasal IX s/d Pasal XVI.

SEJARAH HUKUM PIDANA
 Akan tetapi sejak berlakunya UU No.1 Tahun 1946

tidak semua daerah dikuasai secara de facto oleh
pemerintah RI, sehingga UU No.1 Tahun 1946 itu
tidak berlaku untuk daerah yg masih
dikuasai/diduduki oleh Belanda yg tetap
mempertahankan Wetboek van Strafrech voor
Netherlandsch Indie.
 Dengan UU No.1 Tahun 1946 tetan peraturan
hukum pidana berlaku untuk seluruh wilayah RI.

ASAS LEGALITAS
Asas legalitas diatur dalam pasal 1 ayat (1)

KUHP.
Asas legalitas menentukan bahwa tidak ada
perbuatan yang dilarang dan diancam pidana
jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam
perundang-undangan
Bahasa latin: Nullum delictum nulla poena
praevia lege (tidak ada pidana tanpa
peraturan terlebih dahulu).

Pasal 1 (1) KUHP:

“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas
kekuatan aturan pidana dalam perundangundangan yang telah ada sebelum perbuatan
dilakukan”.
Konsekuensi :
1. Tindak pidana harus disebutkan dalam peraturan

perundang-undangan.
Konsekuensi:
a.Yang tidak tercantum dalam undang-undang tidak dapat
dipidana.
b.Larangan analogi
2. UU itu harus ada sebelum terjadi tindak pidana.
Konsekuensi: aturan pidana tidak boleh berlaku surut (retro
aktif)

Asas legalitas
formil

16

TIGA PENGERTIAN YANG TERKANDUNG
DALAM ASAS LEGALITAS
Tidak ada perbuatan yang dilarang dan

diancam pidana kalau hal itu terlebih dahulu
belum dinyatakan dalam suatu aturan UU
Untuk menentukan adanya perbuatan pidana
tidak boleh digunakan analogi
Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh
berlaku surut.

SEJARAH ASAS LEGALITAS
Zaman Romawi sampai zaman Louis XVI di Perancis,
kesalahan seseorang ditentukan oleh raja
reaksi

• Montesqueau : L’esprit des Lois (1748)

• J.J. Rousseau : Du Contract Social (1762)
hasil

Revolusi Perancis (1789)
Pasal 8 Declaration des droits de L’homme et du
citoyen (1789)
Anselm
vonFeuerbach
Feuerbach
Anselm von
Lehrbuch
Lehrbuchdes
despeinlichen
peinlichenRecht
Recht
(1801)
(1801)
“nullum
“nullumdelictum
delictumnulla
nullapoena
poena
siena
sienapraevia
praevialege
legepoenali”
poenali”

Napoleon Bonaparte (Code Penal, 1810)

18

THE HISTORY OF LEGALITY PRINCIPLE
 The existence of legality principle is due to the

Rome period, there has been a crime which they
called criminal extra ordinaria, yaitu kejahatan
yang tidak disebut dalam UU. Dengan adanya
kejahatan extra ordinaria, maka dimungkinkan
untuk menggunakan hukum pidana secara
sewenang-wenang menurut kehendak dan
kebutuhan penguasa sendiri.

ASAS LEGALITAS DALAM KONSEP KUHP
BARU
Pasal 5
(1)Tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana atau
dikenai tindakan, kecuali perbuatan yang
dilakukan merupakan tindak pidana menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku
pada saat perbuatan itu dilakukan.
(2)Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
tidak mengurangi berlakunya hukum yg hidup yg
menentukan bahwa menurut adat setempat
seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tsb
tidak diatur dalam peraturan perundangundangan.

PERBUATAN YANG DIANGGAP ‘JAHAT’
MENURUT HUKUM ADAT/AGAMA
Pasal 5 (3) sub b Undang-undang No. 1 Drt. 1951.
Pasal 27 ayat (1) Undang-undang No.4 Tahun
2004 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman

Asas legalitas materiel
RUU KUHP :
“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) (tentang
asas legalitas formil, pen.) tidak mengurangi berlakunya
hukum yang hidup yang menentukan bahwa menurut adat
setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan
tersebut tidak diatur dalam perundang-undangan.”
21

PERBUATAN PIDANA

FIGURE 1–1 Crime,Deviance, and Norm Violation. Although there
are many ways rules can be violated, only a select few offenses
are actually “criminal” acts.

ASAS LEX TEMPORIS
DELIKTI
tiap tindak pidana yang dilakukan
seseorang harus diadili menurut
ketentuan pidana yang berlaku saat itu
Jika terjadi perubahan perundangundangan pidana setelah tindak pidana
itu dilakukan maka dipakai ketentuan
yang paling meringankan terdakwa.

23

• RUU KUHP :
• 1.

Jika terdapat perubahan undang-undangan sesudah
perbuatan dilakukan, maka diterapkan peraturan
perundang-undangan yang paling menguntungkan.
• 2. Jika setelah putusan pemidanaan telah memperoleh
kekuatan hukum tetap
perbuatan yang dilakukan tidak
lagi merupakan tindak pidana menurut peraturan
perundang-undangan yang baru, maka narapidana
dikeluarkan dari lembaga pemasyarakatan.
• 3. Jika setelah putusan pemidanaan telah memperolej
kekuatan hukum tetap, perbuatan yang dilakukan
diancam dengan pidana yang lebih ringan menurut
peraturan perundang-undangan yang baru, maka
putusan pemidanaan tersebut disesuaikan dengan
batas-batas pidana menurut peraturan perundangundangan yang baru

ASAS BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
MENURUT TEMPAT (LOCUS DELIKTI)
Asas Teritorial

Perluasan

Aturan pidana dalam UU Indonesia berlaku bagi
setiap orang yang melakukan suatu tindak
pidana di wilayah Indonesia (Pasal 2 KUHP)

Pasal 3

kendaraan air

pesawat udara

Tindak Pidana Istilah
• Strafbaar feit
• Perbuatan pidana
• Peristiwa pidana
• Tindak pidana
• Delict / Delik
• Criminal act
• Jinayah

Tindak Pidana: Definisi
• Simons :

“kelakuan yg diancam dg pidana, yg bersifat 
melawan hukum yg berhubungan dg kesalahan & 
dilakukan oleh orang yg mampu bertanggung jawab”

• Van Hamel : “kelakuan manusia yg dirumuskan 
dalam UU, melawan hukum, yg patut dipidana & 
dilakukan dg kesalahan”

• Vos

: “suatu kelakuan manusia yg oleh per UU an diberi 
pidana; jadi suatu kelakuan manusia yg pada umumnya 
dilarang & diancam dengan pidana”

OBJEKTIF

sUBJEKTIF

SUATU TINDAKAN
(PERBUATAN) YANG
BERTENTANGAN DENGAN
HUKUM DAN
MENGINDAHKAN AKIBAT
YANG OLEH HUKUM
DILARANG DENGAN
ANCAMAN HUKUM.
ADAPUN YANG DIJADIKAN
TITIK UTAMA DARI
PENGERTIAN OBJEKTIF
ADALAH TINDAKANNYA.

PERBUATAN SESEORANG
YANG BERAKIBAT TIDAK
DIKEHENDAKI OLEH
UNDANG-UNDANG. SIFAT
UNSUR INI
MENGUTAMAKAN ADANYA
PELAKU
(SEORANG/BEBERAPA
ORANG)

KONSEP PERBUATAN
PIDANA
PERBUATAN JAHAT (KEJAHATAN)
- Dalam arti kriminologis, sebagai
gejala masyarakat yang menyalahi
norma dasar.
- Dalam arti yuridis, melanggar
ketentuan UU
Istilah lain yang menunjuk pada
kejahatan:
- Perbuatan pidana
- Peristiwa pidana
- Tindak pidana
-

PERBUATAN PIDANA
 Perbuatan yang dilarang oleh suatu

aturan hukum, larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu bagi barangsiapa yang
melanggar larangan tsb.
- Larangan ditujukan pada perbuatan
- Ancaman ditujukan pada orang yg
melakukan

 Pengertian abstrak yang menunjuk pada

dua keadaan konkrit:
1. Adanya kejadian tertentu
2. Adanya orang yang berbuat, yang

PERBUATAN PIDANA
 AJARAN MONISME

Menggabungkan antara perbuatan
dengan pertanggungjawaban
pidana (kesalahan) orang yang
melakukan
 AJARAN DUALISME

Memisahkan antara perbuatan
dengan pertanggungjawaban
pidana (kesalahan) orang yang
melakukan.

PERBUATAN PIDANA
 Menurut Prof. Moeljatno yang

menganut ajaran dualisme,
untuk adanya criminal liability
(jadi untuk dapat dipidananya
seseorang) selain melakukan
perbuatan pidana orang itu
juga harus mempunyai
kesalahan.
 Actus non facit reum, nisi mens
sit rea.
 Geen straft zonder schuld
 An act does not make a person

UNSUR-UNSUR PERBUATAN
PIDANA
 Kelakuan dan akibat





(=perbuatan)
Hal ikhwal atau keadaan yang
menyertai perbuatan
Keadaan tambahan yang
memberatkan pidana
Unsur melawan hukum yang
objektif
Unsur melawan hukum yang
subjektif

MACAM-MACAM
PERBUATAN
PIDANA
  PERBUATAN  PIDANA  (DELIK)  FORMAL  (Pencurian  menurut 
Pasal 362 KUHP)
  DELIK  MATERIAL  (  suatu  perbuatan  pidana  yang  dilarang, 
yaitu akibat yang timbul dari perbuatan itu. Contoh: pembunuhan)
  DELIK  DOLUS  (perbuatan  pidana  yang  dilakukan  dengan 
sengaja. Contoh: pembunuhan berencana)
  DELIK  CULPA  (perbuatan  pidana  yang  tidak  disengaja,  karena 
kealpaannya mengakibatkan matinya seseorang).
DELIK  ADUAN  (sebelum  ada  pengaduan  belum  mrpkan  delik. 
Contoh: penghinaan).
  DELIK  POLITIK  (perbuatan  pidana  yg  ditujuukan  kepada 
keamanan negara. Contoh: pemberontakan).

TEKNIK MERUMUSKAN PERBUATAN
PIDANA
(1) Merumuskan unsur-unsur
perbuatan yang dilarang
(2) Memberikan kualifikasi
perbuatannya saja
(3) Merumuskan unsur-unsur
perbuatan yang dilarang dan
memberikan kualifikasi
perbuatannya

HUBUNGAN KAUSAL
 PENTINGNYA MEMPELAJARI TEORI

HUBUNGAN KAUSAL DALAM HUKUM
PIDANA:
1.UNTUK MENETAPKAN APA YANG
MENJADI SEBAB DARI SUATU AKIBAT
2.UNTUK MENETAPKAN SIAPA YANG
BERTANGGUNGJAWAB ATAS AKIBAT
TERSEBUT

HUBUNGAN KAUSAL
1. TEORI QUNDITIO SINE QUA NON
Musabab adalah tiap-tiap syarat yang
tidak dapat dihilangkan untuk
timbulnya akibat
Disebut juga teori equivalen
Tiap syarat adalah sama nilainya
karena tidak ada perbedaan antara
syarat dan musabab
Contoh: ada pelita yang menyala.
Siapa yang menjadi penyebab
menyalanya pelita tersebut?

HUBUNGAN KAUSAL
2. TEORI YANG MENGENERALISASI
- Musabab dari suatu kejadian adalah
syarat yang pada umumnya menurut
jalannya kejadian yang normal, dapat
menimbulkan akibat atau kejadian
tersebut
Yang dimaksud normal menurut Vos
adalah sepanjang terdakwa pribadi
mengetahui atau seharusnya
mengetahui keadaan-keadaan di
sekitar akibat.

HUBUNGAN KAUSAL
 Menurut Simons, musabab adalah

tiap-tiap kelakuan yang menurut
garis-garis umum mengenai
pengalaman manusia patut diadakan
kemungkinan bahwa karena
kelakuan itu sendiri dapat
ditimbulkan akibat
 Menurut Pompe, musabab adalah hal
yang mencenderung atau yang
mengandung kekuatan untuk
menimbulkan akibat di dalam

HUBUNGAN KAUSAL
3. TEORI YANG MENGINDIVIDUALISASI
Di dalam rangkaian syarat-syarat
yang tidak dapat dihilangkan untuk
timbulnya akibat, lalu dicari syarat
manakah yang dalam keadaan
tertentu itu, yang paling banyak
membantu untuk terjadinya akibat.
Contoh:
- A menganiaya B; sewaktu hendak
pergi ke dokter, B mengalami

HUBUNGAN KAUSAL
- Seorang bapak meninggalkan
senapan dalam mobil dengan
anaknya. Anaknya main senapan dan
terkena orang yang lewat hingga
orang itu mati
- A dan B menjaga S yang gila. A
pergi dan B tertidur. S keluar rumah
dan membakar rumah tetangga
- Seorang bapak membolehkan
anaknya belajar naik sepeda motor di
jalan raya. Si anak menabrak

PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA

ASAS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
- TIDAK DIPIDANA JIKA TIDAK ADA KESALAHAN
- GEEN STRAFT ZONDER SCHULD
- ACTUS NON FACIT REUM NISI MENS SIT REA
- ORANG TIDAK MUNGKIN DIPERTANGGUNG-

JAWABKAN (DIJATUHI PIDANA) KALAU DIA
TIDAK MELAKUKAN PERBUATAN PIDANA. TETAPI
MESKIPUN MELAKUKAN PERBUATAN PIDANA,
TIDAK SELALU DIA DAPAT DIPIDANA

KESALAHAN
 KESENGAJAAN (DOLUS, OPZET)

KENAPA MELAKUKAN PERBUATAN
PADAHAL DIA MENGERTI (MENGETAHUI)
SIFAT JELEKNYA PERBUATAN TERSEBUT
 KEALPAAN (CULPA, SCHULD)
KENAPA TIDAK MENJALANKAN
KEWAJIBAN-KEWAJIBAN YANG
SEHARUSNYA (SEPATUTNYA) DILAKUKAN
OLEHNYA, SEHINGGA KARENANYA
MASYARAKAT DIRUGIKAN.

KESALAHAN
SYARAT ADANYA KESALAHAN (MENURUT
PROF. MOELJATNO)
 PERTAMA: ADANYA KEADAAN PSIKIS
(BATIN) YANG TERTENTU;
 KEDUA: ADANYA HUBUNGAN YANG
TERTENTU ANTARA KEADAAN BATIN
TERSEBUT DENGAN PERBUATAN YANG
DILAKUKAN, HINGGA MENIMBULKAN
CELAAN TADI.

KEMAMPUAN BERTANGGUNG
JAWAB
 KEMAMPUAN UNTUK MEMBEDAKAN

ANTARA PERBUATAN YANG BAIK DAN
YANG BURUK; YANG SESUAI HUKUM
DAN YANG MELAWAN HUKUM ---FAKTOR AKAL
 KEMAMPUAN UNTUK MENENTUKAN
KEHENDAKNYA MENURUT KEINSAFAN
TENTANG BAIK BURUKNYA PERBUATAN
TADI ---- FAKTOR PERASAAN ATAU
KEHENDAK

KESENGAJAAN
SESEORANG YANG MELAKUKAN
PERBUATAN DENGAN MENGETAHUI DAN
MENGHENDAKI
- TEORI KEHENDAK: KESENGAJAAN

ADALAH KEHENDAK YANG DIARAHKAN
PADA TERWUJUDNYA PERBUATAN
SEPERTI DIRUMUSKAN DALAM WET
- TEORI PENGETAHUAN: TERDAKWA

MENGETAHUI, MENGINSAFI, DAN

CORAK KESENGAJAAN
 KESENGAJAAN SEBAGAI KEPASTIAN
 KESENGAJAAN SEBAGAI

KEMUNGKINAN (DOLUS EVENTUALIS):
(1) TERDAKWA MENGETAHUI
KEMUNGKINAN ADANYA AKIBAT
KEADAAN YG MERUPAKAN DELIK; (2)
SIKAPNYA TERHADAP KEMUNGKINAN
ITU ANDAIKAN SUNGGUH TIMBUL,
IALAH APA BOLEH BUAT.

GEEN STRAF ZONDER SCHULD
(TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN)
PASAL 6 AYAT (2) UU NO 4 TAHUN 2004 TENTANG
KEKUASAAN KEHAKIMAN:
TIDAK SEORANG PUN DAPAT DIJATUHI PIDANA,
KECUALI APABILA PENGADILAN, KARENA ALAT
PEMBUKTIAN YANG SAH MENURUT UNDANGUNDANG, MENDAPAT KEYAKINAN BAHWA
SESEORANG YANG DIANGGAP DAPAT
BERTANGGUNG JAWAB, TELAH BERSALAH ATAS
PERBUATAN YANG DIDAKWAKAN ATAS DIRINYA.
 

Alasan Penghapus
Pidana
Alasan Pemaaf
(sisi sobyektif)  pelakunya







Tidak dapat
dipertanggungjawabkan (Pasal
44)
Daya paksa (overmacht)
dalam Pasal 48 (setiap
kekuatan, setiap paksaan atau
tekanan yang tak dapat
ditahan)
Pembelaan terpaksa yang
melampaui batas dikarenakan
kegoncangan jiwa yang hebat
(noodweer exces) dalam Pasal
49 ayat (2)
Melaksanakan perintah
jabatan yang diberikan oleh
penguasa yang berwenang

Alasan Pembenar
(sisi obyektif)  perbuatannya




Menjalankan peraturan
undang-undang (Pasal
50)
Pembelaan terpaksa dari
serangan atau ancaman
yang melawan hukum,
yang dilakukan untuk diri
sendiri atau orang lain,
kehormatan kesusilaan
atau harta benda sendiri
maupun orang lain
(noodweer) dalam Pasal
49 ayat (1)
49

• Alasan pembenar
(rechtsvaardigingsgronden):
menghapuskan sifat melawan
hukumnya perbuatan, sehingga
menjadi perbuatan yg benar
• Alasan pemaaf
(schulduitsluitingsgronden):
menghapus sifat kesalahan
terdakwa meski perbuatannya
bersifat melawan hukum tapi tidak

• Alasan penghapus Penuntutan
(onvervolgbaarheid): pernyataan
tidak menuntut karena tidak dapat
diterima oleh badan penuntut umum,
karena konflik kepentingan dengan
lebih mengutamakan
kemanfaatannya untuk tidak
menuntut

Alasan Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana
1. Tidak adanya pengaduan pada delik-delik aduan
Aturan umum delik aduan  Pasal 72-75
Aturan khusus delik aduan 
• Pasal 284 (perzinahan)
• Pasal 332 (melarikan wanita)
2. Dituntut untuk kedua kalinya

Ne bis in idem

Pasal 76:
a. telah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap
b. orang terhadap siapa putusan itu dijatuhkan adalah sama
c. perbuatan yang dituntut adalah sama dengan yang pernah diputus
terdahulu
3. Matinya terdakwa (Pasal 77)

52

4. Daluwarsa (Pasal 78)
a. pelanggaran dan kejahatan percetakan  1 tahun
b. kejahatan yang diancam dengan denda, kurungan atau penjara
maksimal 3 tahun  6 tahun
c. kejahatan yang diancam pidana penjara >3 tahun  12 tahun
d. kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau seumur
hidup  18 tahun

5. Ada pembayaran denda maksimum kepada pejabat tertentu untuk
pelanggaran yang hanya diancam dengan denda saja (Pasal 82).

6. Abolisi atau amnesti

53

Alasan Hapusnya Kewenangan Menjalankan Pidana
1. Matinya terpidana (Pasal 83)
2. Daluwarsa (Pasal 84-85)
a. pelanggaran  2 tahun
b. kejahatan percetakan  5 tahun
c. kejahatan lainnya = daluwarsa penuntutan ditambah 1/3
d. pidana mati tidak ada daluwarsa
3. Grasi
RUU KUHP

1. terpidana meninggal dunia.
2. Presiden memberikan amnesti atau grasi yang
berupa pembebasan terpidana dari kewajiban
menjalankan pidana.
3. kedaluwarsa.

54

Usaha Pembaharuan Hukum Pidana Nasional
Pembaharuan Struktur
Hukum Pidana

Pembaharuan Materi
Hukum Pidana

Pembaharuan Hukum
Pidana Formil

Pembaharuan Hukum
Pidana Materiel

Secara Parsial

Di Dalam KUHP
UU 1/1946, UU 20/1946,
UU 8/1951,
UU 73/1958, UU 1/1960,
UU 16/Prp/1960,
UU 18/Prp/1960, UU
1/1965, UU 7/1974,
UU 4/1976, UU 27/1999

Di Luar KUHP

Pembaharuan Kultur
Hukum Pidana

Pembaharuan Hukum
Pelaksanaan Pidana

Secara Global/Universal

RUU KUHP

UU 7/1951, UU 20/2001,
UU 22/1997,
UU 5/1997, UU 23/1997,
UU 25/2003,
UU 15/2003
55

DELIK-DELIK KHUSUS (BIJONDERE DELICTEN)
ANCAMAN HUKUMAN PIDANA ITU DITUNJUKAN
TERHADAP:

JIWA
SESEORANG

BENDA

TUBUH

KEHORMATAN

TINGKAH
LAKU
TERHADAP
SUSUNAN
KETURUNAN
DAN
PERKAWINAN

KEMERDEKAAN
PRIBADI

TINGKAH LAKU
TERHADAP
KESUSILAAN

MACAM-MACAM PIDANA
PASAL 10
KUHP
 P. Mati

 P. Penjara
 P. Kurungan
 P. Denda

PIDANA 
POKOK

PIDANA
TAMBAHAN:
1.Pencabutan hakhak tertentu;
2.Perampasan/
penyitaan barangbarang tertentu;
3.Pengumuman
putusan hakim

Pidana Mati
• Dijalankan oleh algojo dengan cara digantung (Pasal 11)
• Diubah dengan “tembak mati” (UU No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan
Peradilan Umum dan Militer)

Pidana Penjara

seumur hidup
sementara/waktu tertentu
• 1 hari - 15 tahun
• 20 th jika ada alternatif mati/seumur
hidup/waktu tertentu tu ada
pembarengan/pengulangan

58

Pidana Percobaan

• dipidana penjara/kurungan maksimal 1
tahun, bukan kurungan pengganti
• tidak melakukan tindak pidana lagi sebelum
masa percobaan habis
• mengganti segala kerugian

Pelepasan Bersyarat • telah menjalani 2/3 lama pidana, minimal 9
bulan
• syarat umum: tidak mengulangi tindak
pidana dan perbuatan lain yang tidak baik
• jika terpidana melanggar syarat, pelepasan
bersyarat dapat dicabut

59

Pidana Kurungan

• minimal 1 hari, maksimal 1 tahun
• jika ada pembarengan, pengulangan, atau
dilakukan oleh pejabat maka maksimal 1
tahun 4 bulan

Pidana Penjara

Pidana Kurungan

• maksimal 15/20 tahun

• maksimal 1 tahun

• Diberlakukan bagi pelaku tindak
pidana berat/kejahatan

• Diberlakukan bagi pelaku tindak
pidana ringan/pelanggaran

• Tidak dapat diberlakukan sebagai
pengganti pidana denda

• Dapat diberlakukan sebagai
pengganti pidana denda

• Tidak memiliki hak pistole

• Memiliki hak pistole (memperbaiki
nasib selama di dalam kurungan)
60

Pidana Denda

• minimal Rp. 3,75
• jika tidak dibayar dapat diganti kurungan
pengganti
• kurungan pengganti minimal 1 hari maksimal 6
bulan. Tapi jika ada perbarengan, pengulangan,
atau dilakukan pejabat maka maksimal 8 bulan
• persamaan denda dan kurungan, Rp 7,50/kurang
= 1 hari, jika lebih dari Rp 7,50 maka dilipatkan.
Sisanya dihitung 1 hari

61

Penjatuhan Pidana
(Sentencing)

• Upaya yang sah
• Yang dilandasi oleh hukum
• Untuk mengenakan
nestapa/penderitaan
• Pada seseorang yang melalui
proses peradilan pidana
• Terbukti secara sah dan
meyakinkan
• Bersalah melakukan suatu tindak
pidana

Pidana (Punishment)






Nestapa/derita
Yang dengan sengaja
Dikenakan pada seseoarng
Oleh negara
Melalui proses peradilan pidana

Proses Peradilan Pidana
(the Criminal Justice Process)
• Struktur, fungsi dan proses
pengambilan keputusan
• Oleh sejumlah lembaga (kepolisian,
kejaksaan, pengadilan dan lembaga
pemasyarakatan
• Yang berkenaan dengan penanganan
dan pengendalian
• Kejahatan dan pelaku kejahatan

Tindak
Pidana
(delict)
Tertangkap Tangan
(ambtshalve)

Ps. 1 Butir 4 – 5 jo
Ps. 4 – 5 jo
Ps. 102 – 105 KUHAP

Penyelidikan

Penyidikan
Ps. 14 b jo Ps. 110 Ay
(3) – (4) jo. Ps. 138
KUHAP

Prapenuntutan

Penuntutan

Laporan
(aangifte)

Ps. 1 Butir 24
KUHAP

Ps. 1 Butir 1 – 3 jo
Ps. 6 – 12 jo
Ps. 106 – 136 KUHAP

Vooronderzoek

Ps. 1 Butir 25
KUHAP

Pengaduan
(klacht)

Ps. 1 Butir 6 – 7 jo
Ps. 13 – 15 jo
Ps. 137 – 144 KUHAP

Ps. 1 Butir 8 – 9 jo
Ps. 145 – 232 KUHAP

Praperadilan
Peradilan
(Sidang
Pengadilan)

Eksekusi

Eindonderzoek

Ps. 1 Butir 10 jo
Ps. 77 – 83 KUHAP

Jaksa
Penuntut Umum

Tahap I

Terdakwa /
Penasihat Hukum

Sidang
Dibuka

Eksepsi

Tanggapan (Replik)

Tanggapan
(Duplik)

Sidang
Pertama

Dakwaan

Hakim/
Majelis Hakim

Pemeriksaan Bukti











Saksi A Charge
Ahli
Surat
Barang Bukti

Pemeriksaan
Terdakwa

Requisitor
(Tuntutan Pidana)
Replik

Saksi A Decharge
Ahli
Surat
Barang Bukti
Pleidooi
(Pembelaan)
Duplik

Sidang Tuntutan
& Pembelaan

Tahap III

Pemeriksaan Bukti

Sidang
Pembuktian

Tahap II

Putusan Sela

Pernyataan Sikap:
- Menerima
- Pikir-pikir
- Upaya Hukum

Putusan
Sidang Ditutup

Pernyataan Sikap:
- Menerima
- Pikir-pikir
- Upaya Hukum

Sidang
Putusan

Tahap IV

(Musyawarah hakim, penilaian fakta,
penerapan hukum, dan penerapan sanksi)

Mengapa pidana perlu
dijatuhkan?
• KELOMPOK KONSEKUENSIALIS
Pidana dijatuhkan bila benar-benar
ada konsekuensi positif yang
mengikutinya:
 Membawa kebaikan
 Mencegah kejadian yang lebih buruk
 Tidak ada alternatif lain yang setara
efeknya

KELOMPOK NON-KONSEKUENSIALIS
 Pidana merupakan respons yang
patut (appropriate response)
terhadap tindak pidana
 Karena pelaku sudah melanggar
norma yang berlaku
 Karenanya pidana harus
proporsional

DOKTRIN PEMIDANAAN
• TEORI RETRIBUTIVE
Penjahat layak dihukum
Sesuai dengan cerminan perasaan
kolektif masyarakat
Menyatukan masyarakat melawan
penjahat
Harus dilihat dalam konteks sosial
budaya

• TEORI DITERRENCE
Konsep aliran klasik
Reaksi terhadap pemidanaan yang
semena-mena
 Utilitarian, forward looking
 Manusia itu rasional
 General deterrence



TEORI REHABILITASI
Individualisasi pemidanaan
Tekanan pada
treatment/pembinaan/memperbaiki
pelaku
 Anti-punishment
 Model medis



TEORI INTEGRATIF
Multi fungsi pemidanaan:
 Membuat pelaku menderita
 Mencegah terjadinya tindak pidana
 Memperbaiki pelaku

Perkembangan Teori
1. Retributif Pemidanaan
 Pidana adalah akibat mutlak yang
harus ada sebagai suatu pembalasan
pada pelaku tindak pidana
 Sanksi pidana adalah pemberian
derita dan petugas dinyatakan gagal
bila penderitaan tidak dirasakan oleh
terpidana
 dapat dibedakan menjadi:
 retributif yang negatif

…..lanjutan

2. Deterrence
 Pidana dijatuhkan dengan tujuan untuk
pencegahan
 dapat dibedakan menjadi:
general deterrence
special deterrence
3. Rehabilitasi
Pidana dijatuhkan untuk mereformasi
atau memperbaiki pelaku

sering dimasukkan ke dalam sub
kelompok deterrence, padahal dalam
kajian kriminologi latar belakang ke dua
teori pemidanaan ini berbeda; sehingga
dalam pandangan deterrence pelaku
adalah orang bersalah yang harus
dijerakan supaya tidak mengulangi
tindak pidana, sedangkan rehabilitasi
memandang seorang pelaku tindak
pidana sebagai orang yang perlu
ditolong

4. Incapacitation
 membatasi orang dari masyarakat
selama waktu tertentu dengan tujuan
perlindungan terhadap masyarakat pada
umumnya
 Ditujukan untuk pelaku TP yang sangat
berbahaya bagi masyarakat
 Andrew Ashworth, pendekatan
incapacitation :
 hanya dijatuhkan terhadap pelaku yang
membahayakan masyarakat
 bentuk sanksinya adalah mengisolasi
atau memisahkan pelaku dari

…..lanjutan

5. Resosialisasi
 Melihat bahwa pemidanaan dengan
cara desosialisasi (memisahkan pelaku
dari kehidupan sosial masyarakat dan
membatasinya untuk dapat
berkomunikasi dengan masyarakat)
dapat menghancurkan pelaku
 Resosialisasi adalah proses yang
mengakomodasi dan memenuhi
kebutuhan pelaku tindak pidana akan
kebutuhan sosialnya, yaitu kebutuhan

6. Reparasi, Restitusi dan Kompensasi
 Fokus perhatian bukan hanya pada pelaku
atau masyarakat; tetapi mulai perhatikan
korban sebagai bagian yang penting untuk
dipertimbangkan dalam penjatuhan pidana
 reparasi:
- the act of making amends for a wrong
- compensation for benefits derived from a
wrong done to another
- compensation or reparation for the loss
caused to another
 restitusi: return or restoration of some
specific thing to its rightful owner or status
 kompensasi: payment of damages, or

• Hybrid Theory (Teori Integratif)
 Berangkat dari kenyataan bahwa masingmasing teori sangat sulit untuk dipilahpilah secara tersendiri dalam prakteknya.
Dengan penerapan satu pidana terdapat
lebih dari satu teori yang tercakup di
dalammya
 Packer: pidana merupakan suatu
kebutuhan yang juga merupakan bentuk
kontrol sosial yang disesalkan, karena ia
mengenakan derita atas nama tujuantujuan yang pencapaiannya merupakan
kemungkinan
 Oleh karena itu, dalam praktek bisa jadi