Tentang Sastra Bandingan sosiologi sosiologi

je. ,



- - 5*

r

2005

jurnal kebudayaan

22

Redaktur Tamu: Manneke Budiman

Manneke Budiman

Tentang Sastra Bandingan

Nirwan Dewanto


Pembacaan Dekat atau Jauh? Melintasi Sastra
dan Seni Rupa

3

11

Tragedi Buah Apel: Seks dalam Karya

Lisabona Rahman

Ayu Utami dan Erica Jong

33

Ari Jogaiswara Adipurwawidjana,
Ambivalensi Naratif dan Transisi Sosial:

Lien Amalia, Lestari Manggong


Lady Chatterley's Lover dan The Satanic Verses

55

Gender dan "Asia": Shanghai Baby dan

Intan Paramaditha

Andrew andJoey

81

u

Dari Manuskrip ke Cetakan: Sastra Sunda

Mikihiro Moriyama

Paruh Kedua Abad Ke-19


105

Rilke dan Chairil: Etos Kerja.Terjemah,

Michael Rinaldo

Silang Tenia
Aquarini Priyatna Prabasmoro

Seks,Berahi, dan Cinta:Tiga Karya Nh. Dini

Melani Budianta

TigaWajah Julius Caesar: Gender dan Politik
dalam Terjemahan

Cerita-Cerita yang Mengembara

A. Zaim Rofiqi


121
155

175
197

I


S.Prinka (1947-2004)

OBITUARI

213

BIODATA




kalam 22

209

GAMBAR KULIT MUKA: Muhamad Yusuf, Perjanjian Politik Antara Kaum Brahmana dan Tunequl

Ametuns, cat akrilik, 70 x 140 cm, 2003-2005.

KREDIT GAMBAR: Enin Supriyanto (10, 80, 120, 143, 154, 174, 198, 212).

Tulisan Nirwan Dewanto (11-32), Lisabona Rahman (33-54), Intan Paramaditha (81-104), dan
Mikihiro Moriyama (105-119) berasal dari Konferensi Intemasional Kesusastraan XV Himpunan
Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI), 25-27 Agustus 2004, di Manado.

REDAKSI, NOMOR INI: Alex Supartono, Ayu Utami, Eko Endarmoko (sekretaris), Goenawan

Mohamad, Hasif Amini (ketua), Nirwan Dewanto, Sapardi Djoko Damono, Sitok Srengenge

DESAIN: Ari Prameswari. MANAJEMEN: Zulkifly Lubis. ALAMAT REDAKSI &TATA USAHA- Jl Utan
Kayu 68H, Jakarta 13120, Tel (021) 8573388 pes. 106, 141-147, Fax. (021) 8573387 Surat-e-


kalam@cbn.net.id. PENERBIT: Yayasan Kalam.

Memuat karya sastra dan karya telaah dari pelbagai disiplin, kalam adalah jurnal kebudayaan

yang menjadi bagian dari Komunitas Utan Kayu. kalam sangat menghargai cara pandang bam

dan gagasan segar. Kami tak membatasi diri dengan pokok dan aliran tertentu; kami terbuka

untuk pelbagai eksperimen penciptaan. kalam mengundang anda menulis. Harap anda
mengirim dalam bentuk cetakan, dalam disket, atau lewat surat-e. Untuk karya terjemahan,
harap menyertakan fotokopi dan sumbernya. Kami mengunoang juga para perupa membuat

kulit depan maupun gambar di halaman dalam. Jangan lupa menyertakan biodata anda yang

cukup lengkap (terutama kegiatan dan karya terbaru).

1

kalam 22


<

»

r

MANNEKE BUDIMAN

TENTANG SASTRA BANDINGAN

TV\HUN 1993, Susan Bassnett, seorang komparatis terkemuka, melontarkan pernyataan yang menantang soal sastra bandingan. la mem'aklunikan "mati"-nya sastra bandingan dengan mengatakan: "Today, compa
rative literature in one sense is dead"} Bassnett tidak bermaksud mengimdang
perbantahan karena apa yang ia lontarkan itu ada benarnya, terutama jika
yang dimaksud adalah praktik tradisional dalam membandingkan sastra
yang cenderung Erosentris, khususnya di "pnsat-pusat" disiplin sastra ban
dingan, seperti Prancis,Jerman, dan Amerika Serikat.

Di tempat-tenipat itu sastra bandingan sudah sangat berubah, baik dari
segi pemikiran maupun kelembagaan, karena beberapa sebab. Pertama, di

tempat-tempat yang pada mulanya tidak mengenal sastra bandingan sebagai
sebuah disiplin, kliususnya di Duiiia Ketiga, telah bermunculan banyak
"pusat" baru untuk kajian sastra bandingan. Mereka menangkap adanya peluang pemberdayaan diri lewat kajian bandingan atas teks-teks yang di Barat mungkin akan dianggap "Liyan" dan, oleh sebab itu, cenderung terpinggirkan.Jadi, kerja membandingkan sastra tak lagi dilakukan sebatas karya-karya sastra Eropa-Amerika atanpun di kedua benua itu saja.
Bagi sebagian pembaca, barangjcali ada satu hal lain yang mengusik di
samping pernyataan Susan Bassnett itu. Pendekatan yang saya gunakan un
tuk berbicara tentang sastra bandingan berada dalam konteks disiplin ilmiah
dan, dengan demikian, tak dapat dilepaskan dari metode dan institusi akademik. Sejarah perkembangan sastra bandingan di berbagai tempat jelas
memperlihatkan bahwa sastra bandingan bukan cunia perkara memban1 Susan Bassnett, Comparative Literature: A Critical Introduction (Oxford: Blackwell, 1993),
47.

kalam 22

3

s—;=»-

MANNEKE BUDIMAN

dingkan sebuah teks dengan teks lain sebagai suatu "kerja kesenian". De
ngan kata lain, suatu kajian bandingan bam diterima sebagai sebuah kerja

intelektual yang absah ketika ada kerangka konseptual-teoritis tertentu
yang dioperasikan. Konsekuensinya adalah tidak semua orang yang melakukan kerja bandingan atas dua teks sastra atau lebih dapat disebut sebagai
seorang komparatis.

Tentu saja, posisi itu dapat terus-menerus diperdebatkan. Namun, dalam
kerangka sinyaleinen Bassnett tentang "mati"-nya sastra bandingan, posisi

yang saya ambil itu semoga cukup masuk akal. Ini lalu membawa saya ke
alasan kedua terkait dengan gong "kematian" sastra bandingan tersebut.
Persoalan teori tumt berperan besar dalam membawa praktik sastra ban

dingan tradisional menuju ke titik kritis tersebut. Sebabnya adalah di negara-negaia berbahasa Inggris, dan bahkan mungkin juga di banyak tempat
lain, melemahnya sastra bandingan sebagai sebuah institusi akademik secara
keseluruhan dipicu pula oleh pengambilalihan kekuasaan atas teori oleh jurusan-jurusan sastra Inggris. Karena sejarah panjang imperialisme, jurusan-

jurusan sastra Inggris mengklaim bahwa mereka pun berhak atas wilayahwilayah budaya non-Barat yang, di mata para komparatis, dipandang seba
gai area mereka. Kajian bandingan atas sastra-sastra di bekas koloni Inggris
diyakini cukup sah dilakukan di jurusan sastra Inggris dan, karena keberterimaan suatu kajian utamanya diukur dari bagaimana suatu teori dioperasi
kan dalam pendekatan, otoritas atas teori pun tak lagi terletak di satu tangan.
Hal ketiga yang juga masih berkaitan dengan masalah teori dan turut


mempercepat kematian sastra bandingan yang Erosentris adalah munculnya
cultural studies. Dalam cultural studies, kebudayaan dikaji melalui berbagai macam teks, dan sastra tidak diperlakukan secara istimewa. Di lain pihak, ba

nyak teori yang selama ini digunakan dalam kajian sastra kemudian juga diRingsikan dalam cultural studies, tetapi dengan tujuan untuk berbicara ten
tang fenomena budaya nonsastra. Jadi, meskipun sastra bandingan menyediakan wadah bagi dialog antarteks dan antarbudaya, banyak porsi dari peranan tersebut yang diambil alih baik oleh studi sastra Inggris maupun cul
tural studies.

Lebih parah lagi, lahirnya studi terjemahan Sebagai sebuah disiplin baru
yang mengklaim kemandirian dari studi bahasa ataupun studi sastra kian
membuat sastra bandingan kehilangan pamornya. Apakah sesungguhnya
hubungan antara penerjemahan dan sastra bandingan? Kita tentu ingat
4

kalam 22

TENTANG SASTRA BANDINGAN

bahwa kolonialisme juga membawa sejenis aktivitas baru dalam ilmu pengetahuan, khususnya dalam filologi atau kajian naskah lama. Banyak naskah klasik dari berbagai kebudayaan non-Eropa yang diterjemahkan ke da


lam bahasa-bahasa Barat selama berlangsungnya kolonialisme. Meskipun
ada bermacam-macam kepentingan dan motivasi dalam proyek besar pe
nerjemahan naskah-naskah klasik itu, pemikiran dominan yang melatarbe-

lakanginya kurang-lebih adalah pengukuhan superioritas Eropa atas Liyan
di luar dirinya.

Cara berpikir seperti ini sesungguhnya telah ada sejak masa Romawi

klasik dan tampaknya menjadi cikal bakal praktik sastra bandingan tradisional. Hugo Friedrich, dalam sebuah pidato di Heidelberg, memperlihatkan
bagaimana kecendemngan ini secara konsisten muncul dalam tradisi pener
jemahan di Eropa, paling tidak, hingga paruh pertama abad ke-18. la mengutip Saint Jerome, penerjemah kitab Septuagint dari bahasa Yunani ke
bahasa Latin, yang menyatakan bahwa seorang penerjemah memiliki hak
prerogatif seorang penakluk (iure victoris) untuk mengalihkan gagasan dari

bahasa asing ke bahasanya sendiri. Para intelektual Romawi kala itu juga
menempatkan teks terjemahan dalam kontestasi dengan teks asli, dan
tujuan penerjemahan adalah untuk melampaui teb asli itu. Dalam hal ini,
teks asli pun menjadi sumber pengayaan bagi bahasa sendiri.
Edward Said2 menunjukkan bahwa pola pikir semacam itu tidaklah

berhenti pada abad ke-18, melainkan berlanjut hingga ke abad-abad berikutnya. Terjemahan dilakukan bukan hanya untuk membandingkan baha

sa-bahasa Timur dengan bahasa-bahasa Barat, tetapi juga untuk mengenal
adat-istiadat, cara berpikir, tradisi, sejarah, dan agama orang Timur demi
mempertahankan superioritas Barat atas mereka. Gagasan ini disampaikan
oleh Lord Curzon dalam pidatonya di depanThe House ofLords di Parle-

men« Inggris, pada 1909. Lebih lanjut, Edward Fitzgerald, penerjemah se-

jumlah syair Parsi, dalam sebuah suratnya pada 1851 malah terang-terangan
mengatakan bahwa kerja penerjemahan atas sastra Parsi yang dilakukannya
adalah perkara sepele karena para penyair Parsi tidak cukup berkualitas dibandingkan dengan rekan sejawatnya di Barat. Upayanya menerjemahkan
teks-teks Parsi, katanya, justru akan memberi bobot seni yang lebih tinggi
kepada kesusastraan Parsi, yang dinilai masih "mentah" itu.
Edward W. Said, Orientalism (NewYork: Random House, 1978).
kalam 22

"•*•

MANNEKE BUDIMAN

Praktik sastra bandingan di Barat lahir dalam suasana intelektual seperti
itu dan, ketika sastra bandingan mulai mengalami pemapanan sebagai sebu
ah institusi akademik, ia pun menjadi bagian dari sebuah body of knowledge
mahabesar yang disebut orientalisme, bersama-sama dengan filologi, antropologi, dan studi-studi sastra nasional yang telah ada sebelumnya. Kelahiran kembali penerjemahan sebagai sebuah studi mandiri menjadi sebuah
institusi akademik, sudah barang tentu, membuat nasib sastra bandingan
menjadi kian tak menentu.(

Selanjutnya, ketika kesadaran akan pentingnya dialog antarbudaya makin
mengental bersama dengan datangnya masa pascakolonial dan kajian-kajian
sastra non-Barat mulai diperhitungkan dalam kerja sastra bandingan, posisi
teori pun menjadi semakin penting. Ini terjadi tidak hanya dalam sastra
bandingan, tetapi juga dalam kajian sastra di jurusan-jurusan sastra Inggris,
dalam cultural studies, dan juga dalam studi terjemahan. Mungkin ini sebabnya Steven Totosy de Zepetnek3 sangat berkepentingan untuk menegaskan
posisi sentral metode dalam penelitian sastra bandingan. Sastra bandingan,
menurutnya, perlu lebih terfokus pada upaya menjawab pertanyaan "bagaimana" ketimbang sekadar berkutat dengan pertanyaan "apa". Persaingan
dengan disiplin-disiplin sejenislah, antara lain, yang mendorong timbulnya
keterikatan dengan teori dan metode ini. Baginya, ketidakpedulian pada
metodologi telah mengakibatkan kegagalan sastra bandingan tradisional da
lam merangkul dan memahami sastra secara inter-, intra-, dan multi-disipliner. Akibatnya, studi sastra bandingan, atau bahkan studi sastra secara
umum, terancam kehilangan relevansinya.

Implikasi pernyataan tersebut jelas serius. Mengamati sastra dari luar teks
dianggap lebih penting daripada menghayatinya sebagai sebuah penga-

laman. Pendekatan yang bersifat "intuitif", bernada eseistik, dan penuh
dengan* ungkapan metaforik dalam inemperbincangkan sastra tak punya
tempat yang layak dalam skema ini. Pertanyaannya kemudian: di mana tem-

pat pembacaan dekat dan pembacaan jauh? Pembacaan dekat kerap diletakkan pada tataran pengalaman membaca dari dalam teks yang banyak
mengandalkan intuisi dan, akibatnya, derajat keilmiahannya kurang. Di lain
pihak, pembacaan jauh tak jarang dinilai terlalu teoritis, kurang memberiSteven Totosy de Zepetnek, Comparative Literature: Theory, Method, Application (Amster
dam dan Atlanta: Rodopi, 1998), 13.
6

kalam 22



r

TENTANG SASTRA BANDINGAN

kan kenikmatan penghayatan, dan terlalu asyik bermain-main di luar teks.

Dapatkah sastra bandingan, sebagai sebuah metode membaca sastra, berbicara
tentang pengalaman membaca secara rinci dan mendalam, sambil pada saat

yang sama secara metodologis dapat diterima keilmiahannya? Persoalan ini
membawa kita kembali ke "bagaimana" sastra bandingan semestinya dila-

kukan.Jika hal ini dapat dijawab dengan memuaskan, barangkali kita akan
lebih siap untuk kembali berhadapan dengan pertanyaan yang lebih hakiki:
apakah sastra bandingan itu?

Para komparatis—baik yang bergelut dengan teori maupun yang bergerak pada tataran praktik—percaya bahwa upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut hanyalah akan berujung pada kesia-siaan. Secara sederhana
dan minimalis, Bassnett mengemukakan bahwa sastra bandingan adalah

kajian interdisipliner atas teks-teks secara lintas budaya yang terfckus pada
pola-pola hubungan dalam sastra-sastra yang berbeda baik yang bersifat
lintas ruang maupun lintas waktu. Dikatakan minimalis karena ada banyak
praktik kajian sastra yang melibatkan lebih dari satu teks, tetapi tidak dilakukan secara lintas budaya, lintas ruang, ataupun lintas waktu. Tidak sulit

bagi kita untuk menerima kajian seperti ini sebagai sebuah kerja banding
an. Bahkan, kedua teks yang dibandingkan pun tidak hams teks sastra, di

jurusan-jurusan sastra bandingan di berbagai universitas sudah berlangsung
banyak kajian bandingan atas teks sastra dengan teks nonsastra.
Satu hal yang pasti berkaitan dengan pengertian yang ditawarkan Bass
nett itu adalah bahwa apa pun persoalannya, sastra bandingan adalah ten

tang relasi, dan bukan tentang esensi. Dan apabila aspek ini yang menjadi
lokus sentral sastra bandingan, maka dikotomi antara pembacaan dekat dan

pembacaan jauh mestinya tak lagi menjadi masalah besar sejauh keduanya
difiingsikan khususnya sebagai metode untuk mengungkapkan relasi-relasi
alih-alih esensi-esensi. Akar pemikiran ini sudah terlihat sejak tahun 1920an dalam Formalisme Rusia, terutama dalam gagasan-gagasan Yuri Tynya-

nov, dan masih terasa gaungnya pada masa kini dalam karya sejumlah sar-

jana, seperti dalam konsep polisistem Itamar Even-Zohar, seorang
teoritikus studi terjemahan dan Israel. Bila Tynyanov menyarankan bahwa
kajian atas bentuk sebuah teks dilakukan untuk melihat hubunganhubungan dalam sastra, maka Even-Zohar melihat sastra sebagai sebuah
sistem yang bersifat terbuka, historis, dan interpretif. Gagasan Even-Zohar
ini tetap berlaku bahkan jika kita percaya pada paradigma Saussurean yang
kalam 22

1
MANNEKE BUDIMAN

mengunci bahasa—komponen primer yang menjadi prasyarat bagi adanya
sastra—sebagai sebuah sistem tertutup. Dalam kerangka inilah peranan

sastra bandingan sebagai sarana pengaktian atas Liyan dan sarana dialog
dengan Liyan itu memperoleh ruang geraknya. Mestinya tak berlebihan
untuk dikatakan bahwa Tynyanov dan Even-Zohar telah meletakkan

fondasi penting bagi disiplin sastra bandingan yang lebih modern.

Seorang rahib yang hidup pada abad ke-12 berkata, "Orang yang masih
terikat pada tanah airnya adalah seorang pemula; orang yang merasa kerasan
di mana pun ia berada adalah seorang yang mahir; tetapi orang yang memandang seluruh dunia sebagai sebuah negeri asing adalah seorang ahli."
Dalam kaitan dengan konsep-konsep fundamental di atas, kata-kata

sang rahib menjadi penting. Sebabnya adalah bahwa, hingga saat ini,
masih kuat tertanam asumsi akan adanya suatu wacana yang utuh ten
tang sastra, yang dapat direkonstruksi melalui suatu kajian yang meto-

dologis dan ilmiah, meskipun ada keragaman dan kemajemukan fenomena dalam sastra. Sastra bandingan pun tak luput dari jerat pemikiran
semacam ini.

Memang betul bahwa pada Zaman Pertengahan dahulu sastra-sastra di

Eropa dapat dilihat sebagai bagian dari sebuah kesusastraan yang utuh dan

besar, terutama karena bahasa Latin di kala itu merupakan bahasa yang

umum digunakan dalam penciptaan sastra. Namun, mulai abad ke-19,

dengan berkembangnya studi-studi bandingan atas agama dan mitologi, pa
ra sarjana di Eropa mulai mengembangkan berbagai teori dan metode un

tuk melakukan hal yang sama di bidang sastra dari berbagai latar belakang
bahasa dan kebangsaan. Mungkin juga bukan suatu kebetulan bahwa, pada
kurun waktu yang kurang lebih sama, di Eropa lahir gagasan tentang nasionalisme.yang mendorong penegasan atas perbedaan satu bangsa dengan bangsa

lainnya di benua itu. Namun, tantangan terbesar yang dihadapi oleh cara ber
pikir dengan orientasi keutuhan ini datang dari bermunculannya sastra-sastra di
luar Eropa yang kajiannya lebih terfokus pada penggalian atas perbedaan daripada upaya pencarian kesamaan atau saling pengaruh. Ada atau tidaknya para-

digma atau orientasi ini sebagai semangat dan sasaran kerja bandingan dalam
sastra bisa saja dijadikan salah satu indikator untuk menentukan apa yang dapat
disebut kerja bandingan dan apa yang bukan pada masa kini.

Perjalanan sastra bandingan untuk menemukan dirinya dan menjelaskan
8

kalam 22

.

TENTANG SASTRA BANDINGAN

i

dirinya sendiri tampaknya masih panjang, meskipun kematiannya telah te-

lanjur diumumkan. Dikotomi antara kerja bandingan yang ilmiah dan kerja
bandingan yang populer, misalnya, adalah persoalan yang masih akan terns
membayangi para komparatis. Terlepas dari kehadiran teori dan metode
yang cenderung dominan dalam perkenibangan disiplin sastra bandingan
kini, jenis "akademisme" yang dipromosikan De Zepetnek tidak boleh dibiarkan menjadi perangkap. Dalam cakupannya yang paling luas, sastra ban
dingan mestinya juga mampu menjangkau "teks-teks" nonsastra, seperti
film, musik, fotografi, seni lukis, dan Iain-lain di samping berdialog dengan
bidang-bidang kehidupan kultural, seperti agama, teknologi, politik, dan lain-lain. Meskipun suatu metode membaca kedua jenis teks yang berbeda
spesies itu diperlukan, kelihatannya perlu ada batas yang jelas sejauh mana
seorang komparatis hams menguasai teori yang terkait dengan masing-masing jenis teks.

Persoalannya sama dengan yang menghantui dunia penerjemahan. Seca
ra ideal, seorang penerjemah hams menguasai dua bahasa dengan sama
sempurnanya bila hendak menerjemahkan sebuah teks dari satu bahasa ke

bahasa lain. Seorang komparatis pun menghadapi tuntutan yang sama.
Mampukah kondisi ideal ini dicapai tanpa mengakibatkan munculnya
komparatis yang spesialis, seperti halnya dengan penerjemah bilingual yang
spesialis? Padahal, semangat dasar sastra bandingan adalah keluasan dan ke-

terbukaan, bukan spesialisasi. Dan yang hendak diciptakan adalah komparatis-komparatis, bukan spesialis. Yang jelas, kerja bandingan tidak dapat dihentikan atau dikekang oleh pertimbangan-pertimbangan teoritis dan metodologis. Jika institusi-institusi akademik tempat disiplin sastra bandingan
selama ini berada membiarkan dirinya tems-menerus terpukau oleh dimensi teoritis, bisa-bisa mereka akan kehilangan sastra bandingan sama sekali untuk selama-lamanya karena para komparatis di luar dinding universi
tas lebih mampu menyikapi persoalan teori dan metode dengan lebih ringan hati dan kurang peduli.

kalam 22

NIRWAN DEWANTO

PEMBACAAN DEKAT ATAU JAUH?
Melintasi Sastra dan Seni Rupa

BERTOLAK dari pengalaman sendiri, saya dapat mengatakan bahwa
pembacaan dekat adalah sebuah keniscayaan bagi penulis maupun penelaah. Membaca sastra secara dekat adalah memisahkan ia dari riwayat pe-

ngarangnya, dari ranah yang melahirkannya, dari segenap kuasa yang melembagakannya.1 Hanya dengan pembacaan dekat kita dapat mengenali se
buah puisi atau sebuah novel sebagai pengetahuan sekaligus sumber pen-

ciptaan bam, dan bukan sebagai barang. Namun, tulisan ini bukanlah hen
dak mengukuhkan pengalaman itu, melainkan meragukannya. Maka, barangkali sebentar lagi, kita menyatakan betapa tak cukupnya pembacaan
dekat.

Karya yang kita telaah atau kita jadikan model pada dasarnp adalah karya

yang kita gandrungi—bila tak, mengapa kita mesti memilih karya tersebut di
antara lautan karya di dunia ini? Tapi kegandrungan tidaklah cukup, balikan
' menjerumuskan, kalau bukan melumpuhkan.Tak puas dengan hanya terpesona

kepada sebuah puisi, misalnya, kita memilih untuk terhisap habis ke dalamnya,
menukik ke seratnya, menghisap daging-dan-darah kata; tak percaya bahwa puisi
itu benar-benar memukau, kita mencoba mengulitinya.

1 Seorang pembaca dekat dapat diibaratkan dengan pencicip anggur yang harus mam

pu mengenali mutu si minuman tanpa tahu apa mereknya, berapa harganya, dari
mana asalnya, dan berapa umurnya. "All wines are blind-tasted," begitu kata majalah

Wine Spectator, menegaskan caranya dalam membuat peringkat anggur dari seluruh
dunia. Perbandingan yang melebih-lebihkan ini layaklah diketengahkan di sini ketika
banyak penelaah sastra kita tak mampu membaca—menilai—teks tanpa tertaklukkan
lebih dulu oleh publikasi atau keterangan apa pun perihal si teks dan si penulis, dan
oleh teori sastra.

kalam 22

11

NIRWAN DEWANTO

Mungkin sekali kita gagal, karena puisi itu tak berinti, melainkan utuhpadu belaka. Usaha kita untuk menyingkapkan tatanya hanya membuat la
ta sekadar merasa bagaimana ia menggelincir dengan dahsyat dan mesra dari

semantika dan gramatika. Barangkali kita sekadar tahu bahwa puisi itu sempurna karena tak sebuah kata atau tanda baca pun mubazir di dalamnya.

Puisi itu pun menjadi milik suatu tradisi sekaligus memperbaruinya, pa
ling tidak menyegarkannya. Puisi itu, dengan segenap kelengkapan kosabentuknya, menjadi tak terelakkan bagi para produsen sastra yang kemudian. Tanpa pembacaan dekat, si produsen hanya mampu melakukan pengulangan, yaitu penciptaan pada tarafyang lebih rendah.
Akan tetapi, tanpa pengetahuan, bahkan penguasaan, akan khazanah tra
disi yang melatarinya, pembacaan dekat tampaknya tak bisa terlalu dekat,

bahkan mungkin mustahil. Makna yang melimpah-ruah dari puisi itu ha
nya dimungkinkan jika ia bermain tangkap-dan-lari dengan sang tradisi.
Dengan kata lain, ia adalah aspek tradisi yang paling berakar sekaligus pa
ling subversifkepadanya. Pembacaan dekat adalah pengujian terhadap sebu
ah tradisi melalui karya yang (akan) menjadi komponennya.
Pembacaan dekat hendak menyingkapkan bagaimana serincinya kualitas

sastra bisa terselenggara. Kita hendak membuktikan bahwa kekuatan karya
itulah yang menggandrungkan kita, bukan sebaliknya. Bahwa unsur-unsur

kasatmatanya sendirilah yang membuat kita memperlakukannya sebagai sejenis organisme yang punya nalar tersendiri. Kita hendak mengejar pola
hubungan antar-anasir yang mencerminkan keseluruhan atau kebulatan

karya. Adapun pengejaran yang boleh jadi tak berujung ini—lantaran karya
itu adalah organisme yang tak hendak takluk kepada penalaran maupun
kepekaan kita—bisa berhenti sejenak karena dua hal: kita tak bisa menahan
diri membuat karya lain berdasarkan pembacaan kita; atau kita membaca

hasil pembacaan dekat orang lain yang lebih tajam, lebih masuk akal.
Tentu saja pembacaan dekat bukanlah sebuah metode; ia justru memer-

lukan metode. Kegandrungan terhadap sesuatu, apalagi terhadap buah ciptaan, hanya merupakan kondisi awal dan sama sekali bukan segala-galanya;
cinta bisa menyesatkan, maka kita perlu mencurigai cinta itu sendiri supaya

kita mampu menempuh jalan yang benar, meskiruntuk sebentar waktu saja
(ya, lain kali kita bisa berganti jalan, yaitu jalan yang lebih benar).
Wawasan teori boleh jadi adalah sarana yang ampuh untuk menajamkan
kecurigaan itu, meski teori seni, misalnya, tak hams selalu tersurat dalam
12

kalam 22

PEMBACAAN DEKAT ATAU JAUH?

tinjauan kita. Sayang sekali bahwa terjemahan Inggris pembacaan dekat
adalah close reading, istilah yang telanjur dikedepankan oleh mazhab Kritik
Baru:2 pembacaan yang kerap dikecam sebagai pembacaan apolitis lantaran
penabalannya akan karya sastra, khususnya puisi, sebagai struktur otonom.
Sekarang kita tahu bahwa pembacaan dekat sama sekali tidaklah untuk
menegakkan otonomi semacam itu. Namun, bila dalam pengamatan biasa
saja kita memisahkan obyek dari latar yang mengepungnya, pembacaan de
kat meradikalkan pemisahan ini. Tanpa itu, kita tak akan mampu mengungkai hubungan antar-elemen dalam sang obyek—atau kita hanya mengenalinya, secara mekanistik pula, sebagai sekadar bagian dari sang latar.
Pada suatu titik nanti, kita akan mampu mengenali latar itu kembali di da
lam karya itu sendiri.

Pembahasan yang sejak awal tak berniat menyingkap segi dalaman karya
seni—katakanlah, pembahasan yang berpretensi melebur seni ke lingkup
sosial dan sejarahnya—itulah yang telanjur populer di kampung halaman
kita sebagai pembahasan kontekstual. Padahal sebentuk formalisme sama
sekali tidak mengosongkan bentuk dari muatan politik: sebaliknya, ia hen
dak membuktikan bahwa bentuklah yang meradikalkan isi.

Tanpa pembacaan dekat—dengan kata lain, menjadi "kontekstualis"—
kita hanya menjadi semu-kiri; sementara itu, bila kita membaca setiap kata
di dalam sebuah puisi demi menyingkap segala kemungkinan konotasinya,
boleh jadi kita akan menjadi kiri radikal. Kita tak dapat begitu saja menyungkupkan pra-anggapan sosial-politik ke dalam teks kecuali kita hen
dak menggunakan atau nienundukkan si teks demi pamrih politis yang
dangkal. Sebaliknya, kitalah yang mesti menyingkapkan daya subversif dari
balik kompleksitasnya: daya yang sanggup memberi kita gambaran dunia
yang baru.

I3emikianlah, supaya kegandrungan dan heroisme tak menjerumuskan,
kita memerlukan metode. Barangkali anda segera bertanya, apakah saya
hendak mengilmiahkan amalan sastra, lebih khusus lagi hendak menyarankan, barangkali setengah memaksakan, pengguiiaan teori untuk nienerangi
r

2

"Wlxatever critical affiliations we may proclaim, we are all New Critics, in that it requires a
strenuous effort to escape notions ofthe autonomy ofthe literary work, the importance ofdemon

strating its unity, and the requirement of 'close reading'. "Lihat Jonathan Culler, "Beyond
Interpretation," The Pursuit ofSigns (London: Roudedge, 2001 [1981]), 3.
kalam 22

13

NIRWAN DEWANTO

dan menggalakkan telaah dan penciptaan? Bila saya belum bisa menjawab
tegas sekarang, perkenankan saya mengemukakan contoh.
Para penyair kita yang terbaik, misalnya, membaca para pendahulunya
dengan sangat anipuh—dengan cara tertentu: mereka menemukan puitika
di sana, sehingga mampu membuat persajakan terdahulu itu sebagai hipogram. Tanpa metode demikian, tak akan sanggup para penyair itu melampaui, kalau bukan membunuh, sang ayah primal.
Beberapa waktu lalu saya pernah mengatakan perlunya naratologi agar
keterampilan para penulis cerita kita terselamatkan3; menyadari bahwa para
penulis kita hanya bisa terhisap oleh cerita realis atau cerita "absurd" tanpa
bergulat dengan bentuk (yaitu bentuk-bentuk yang sungguh kaya tak terhingga di khazanah sastra dunia mutakhir), saya bayangkan telaah tentang
tata naratif akan menyumbang banyak pada penciptaan berikutnya.

Memang, naratologi belum terselenggara di kampung halaman kita, tapi

kini saya bisa mengatakan bahwa novel-novel kita yang paling menarik da
ri, katakanlah, enam tahun terakliir dibuat dengan kesadaran akan bentuk

yang setajam-tajamnya, dan ini setidaknya niembuktikan para novelis itu
menulis berdasarkan—untuk mengutip Subagio Sastrowardoyo—bukan
bakat alam, melalnkan intelektualisme. Buat saya, intelektualisme dalam

penciptaan sastra adalah kesadaran tentang bentuk, kalau bukan wawasan
teori.

Tentulah semua ini tak berarti bahwa seorang pesastra harus mendasar-

kan dirinya secara sadar pada teori tertentu. Namun,jika ia menyadari bah
wa karya sastra bukanlah sekadar benda melainkan problem—tepatnya ob

yek yang diliputi interes dan pengetahuan tertentu sehingga tak ada lagi
yang obyektif tentangnya—ia tak akan puas dengan cara baca yang lazim,
yang hanya berdasarkan akal sehat.

Ia akan mencari cara baca yang sungguh lain, yang majenun, yang bisa

membuatnya tergerak melecehkan hasil pembacaannya sendiri. Sesungguhnya, pembaca luar biasa yang diharapkannya itu bernama kritikus atau ilmuwan sastra. Akan tetapi, bila pembacaannya sendiri atas sejumlah karya
terdahulu bisa menyingkapkan tata makna yang baru, tetapi ia tak pandai
3 Baca tulisan saya "Masih Perlukah Sejarah Sastra?" di lembar Bentara, Kompas, 4 Maret
2000—dimuat kembali dalam J. B. Kristanto dan Nirwan Ahmad Arsuka, ed., EseiEsei Bentara 2002 (Jakarta: Penerbit Kompas, 2002), 184-196.
aa

kalam 22

T3K

7—:——

PEMBACAAN DEKAT ATAU JAUH?

atau tak berminat memmuskannya, ia "hanya" akan menulis ciptaan yang
mencerminkan tcmuannya; adalah ilmtiwan sastra yang mesti membahasakan kembali temuan-itu.

Seorang ilmuwan sastra memang bertugas menibangun interpretasi sas
tra berdasarkan teori yang dikuasainya (atau menguasainya), tetapi saya tak
percaya bahwa •interpretasi demikian bisa terpisah dari penilaian. Benar
bahwa sang ilmuwan hams menyuratkan metoda untuk menjamin agar
pengamatannya tak ternodai oleh sclera pribadi, yang berarti bahwa dia tak
boleh terjebak oleh pembacaan permukaan yang dibimbing oleh akal
warasnya belaka. .

Bagi saya, pertautannya dengan teori tertentu mencerminkan pandangan dunianya, sejarahnya, "hasrat berkuasa"-nya, serta dorongannya yang tersembunyi untuk meragukan segala niuatan dalam dirinya.Jangan lupa bah
wa Viktor Sliklovsky salah satu pendasar teori sastra modern, menegakkan
telaah aspek formal karya sastra justru dengan pikiran bahwa "hanya bentuk-bentuk artistik baru yang dapat memulihkan kesadaran manusia terha
dap dunia."
Melihat amalan teori sastra di kampung halaman kita, sejenak mungkin
kita berbahagia: betapa dekatnya kita dengan perkenibangan terbaru di
khazanah dunia mutakhir. Sebentar kemudian. kita melihat perluasan gejala
ini dengan was-was, antara lain karena sang pengguna teori menjadi seka
dar penghatal jargon yang, sengaja atau tidak, menumpulkan kepekaan ter

hadap karya yang akan ditelaahnya. Kita perlu meneliti kenapa pengguiiaan
teori menjadi adat global.

SAYA belum lagi menggariskan batas-batas pembacaan dekat, meski sejak
awal saya katakan bahwa tanpa pengetahuan, bahkan penguasaan, akan
khazanah tradisi yang mendasari si karya, pembacaan dekat tampaknya tak
bisa terlalu dekat, barangkali juga mustaliil. Bila saja tradisi itu bernama sas
tra (berbahasa) Indonesia, dan bila segala perangkat dari situ tidak bisa lagi
menyinari karya yang saya geluti, maka saya mulai meragukan bahwa pem
bacaan dekat adalah segala-galanya.
Saya tak bisa lagi niemperlawankan atau mengaitkan buah-ciptaan kita
dengan tradisinya sendiri, karena dengan cara itu saya hanya mempertahankan keterbatasan karya itu sekaligus lingkup pandangan saya sendiri. Mera
gukan esensi sastra yang diwariskan sejarah nasional, saya akan pergi ke pelkalam22

15

NIRWAN DEWANTO

bagai khazanah lain, kalau mungkin ke seluruh dunia, untuk menyerap, ka
lau bukan menyelami, bentuk-bentuk yang hidup dari sana. Bertanya-tanya
apakah sebuah bahasa terikat kepada bangsa ataukah umat manusia, kita
hendak mencari kesepadanan sastra'kita dengan sastra-sastra lain. Dari sinilah studi bandingan mulai.

Seorang penulis menemukan puitika pada sejumlah pendahulunya bu
kan hanya karena ia mampu mempertentangkan mereka dengan tradisi
yang melingkupi mereka, tetapi juga karena ia sanggup mengambil jarak
dengan tradisi itu seraya menyerap tradisi-tradisi lain. Ia tak mungkin
menghidupi bahasa. hanya dengan atavisme atau nasionalisnie sebab bahasa

sesungguhnya didasari nalar—dan adakah nalar yang tak universal?
Pembandingan pada akhirnya akan membuat kita mampu mengenali
kekayaan dan kemiskinan kita. Hujan batu di kampung sendiri tak lagi le
bih baik daripada hujan emas di negeri orang. Bila saya mengenali kekerabatan antara puisi Sapardi Djoko Damono dan puisi Cina Klasik yang pernah diterjemahkannya, dan bila saya menemukan hesitation effect pada novel
Nukila Amal sebagaimana pada cerita pendek Borges dan teori sastra Todorov, itu berarti saya tak lagi menyandarkan diri pada pembacaan dekat.
Memang, saya pernah mengira bahwa saya mampu membaca dekat-dekat karya terjemahan, seakan sama dekat dengan karya dalam bahasa kita
sendiri.Ternyata tidak. Sebab saya tak membaca dalam bahasa aslinya (kecu-

ali itu bahasa Inggris), dan terjemahan tak bukan adalah sebentuk pengkhianatan—pengalihan dari khazanah yang sata ke khazanah lain. Dengan
kata lain, kompetensi saya berakhir: saya tergantung kepada kerja oranglain,
yaitu para penerjemah.

Dan bukan hanya itu. Pilihan saya terhadap karya-karya tertentu itu se
sungguhnya ditentukan oleh bagaimana tradisi demikian disajikan oleh ah-

li-ahli fcersangkutan dan bagaimana ia dikemas oleh industri budaya global.
Ternyata kita tak pergi ke seluruh dunia, sebab dunia itulah—sebagian
dunia yang diunggulkan—yang mendesakkan diri kepada kita. Pada dasarnya kita tergantung kepada hasil pembacaan orang lain ketika kita mencoba
melintasi batas budaya kita sendiri.

Sebaliknya, kita juga perlu mengenali batas tradisi kita sendiri supaya ki

ta tak terkungkung olehnya. Pembacaan dekat, jika benar-benar berlang
sung, akan mengantarkan kita pada kenyataan bahwa karya yang unggul tak
cukup dikembalikan kepada tradisinya sendiri: sebab kaidah atau perangkat
16

kalam 22

PEMBACAAN DEKAT ATAU JAUH?

tradisi itu tak meniungkinkan penjelasan yang memadai tentang si karya.
Karya itu akan berbicara dengan lebih baik, jauh lebih baik, kepada kita
jika kita menggunakan perangkat dari khazanah lain.Kesanggupan kita un
tuk mencerna khazanah lain barangkali saja dilandasi oleh kesadaran bahwa

khazanah kita sendiri sudah berhenti sebagai pengetahuan—lihatlah, para
penciptanya hanya memperlakukannya sebagai pemberi resep, bukan? Me
ngenali batas tradisi kita sendiri adalah memberinya wawasan konseptual,
kalau bukan wawasan teoritis, agar ia tak lagi bersifat tradisional.
Namun, sekali lagi, sebagai peziarah (yang mulai merasa beradat global)
terhadap pelbagai khazanah lain, ternyata kita tergantung kepada hasil pem
bacaan orang lain. Kita menemukan, misalnya, Borges, dekonsfruksi, atau
teori tentang akhir seni, bukan lantaran kita bergerak sendiri ke khazanahkhazanah itu, tetapi lantaran itulah yang didesakkan oleh arus global ke
kampung halaman kita.

Betapapun dekat dan titi-teliti saya membaca teks-teks itu, yang bisa
mengubah pelbagai pendirian saya yang niendasar, yang saya hadapi pada
dasarnya adalah hasil temuan, terjemahan, konstruksi, interpretasi, tawaran,
dan mungkin desakan, dari pihak yang tak saya pilih sendiri. Saya melakukan bukan lagi pembacaan dekat, tetapi pembacaan jauh.
Franco Moretti4 niemperkenalkan istilah pembacaanjauh, distant reading,
kepada kita. Menurut ia, sastra di sekitar kita"- adalah sistem planeter. Menggemakan kembali istilah sastra dunia, Wcltliteratur, yang dikedepankan
Goethe serta Engels dan Marx pada abad ke-19, ia menyatakan bahwa sasaran penelitian "kita" adalah sastra dunia, bukan lagi (sekadar) sastra ban
dingan. Namun, jika di buana ini terdapat beratus bahasa dan sastra, bagai
mana kita melakukan penelitian itu?
Moretti bicara kepada para komparatis, mereka yang bertugas menyidik
keterl}ubungan atau keterbandingan sastra berbagai kliazanah. Ia meniusatkan pembicaraannya pada novel, bentuk yang dari arah ptisat, yaitu kliaza
nah Inggris-Prancis, mendesak dan berevolusi ke seluruh jagad. Tekanan

Franco Moretti, "Conjectures on World Literature," New Left Review 1, JanuariFebruari 2000. Selanjutnya ditulis "Conjectures on World Literature". Terima kasih
kepada Bambang Agung, yang dengan polemiknya dengan "Masih Perlukah Sejarah
Sastra?" menunjukkan jalan ke tulisan Moretti. Baca tulisannya "Sastra Nasional, Sastra
Dunia," Koran Tempo Minggu, 7 & 14 Desember 2003.
kalam 22

17

NIRWAN DEWANTO

'



sang pusat selalu berusaha membuat khazanah novel dunia—sistem dunia
itu—seragam, tetapi tak kuasa menghilangkan kebedaan.

Sastra dunia, kata Moretti, adalah sistem yang satu tetapi timpang. Perbandingan pada dasarnya adalah cara untuk melihat bagaimana sintesis ter-

jadi antara bentuk asing, bahan lokal, dan bentuk lokal—lebih tepat lagi
antara plot asing, karakter-karakter lokal, dan suara naratif lokal. Demikian-

lah, penelitian kliazanah novel dunia akan menyingkapkan bagaimana hegemoni kuasa-simbolik dan reaksi terhadapnya niuncul dalam pelbagai
bentuk.5

Untuk mengenali sistem dunia, seorang komparatis mau tak mau harus
mengamalkan pembacaan jauh, sebab pembacaan dekat hanya termaktub

dalam kompetensinya sendiri—sebab ia, selaku komparatis, hanya mengua
sai satu-dua sastra nasional belaka. Ia terpaksa tergantung kepada pembaca
an orang lain atas pelbagai sastra nasional, sebagaimana dicontohkan Mo
retti sendiri.

Membaca banyak dan lebih banyak lagi, kata Moretti, jelaslah bukan ja
lan keluar. Seseorang bahkan hanya membaca sebagian kecil dari khazanah
bahasa yang dikuasainya, jangankan karya-karya dari khazanah lain. Maka
sastra dunia bukanlah obyek, melainkan masalah, yaitu masalah yang meminta metode baru, konsep baru. Pembacaan jauh adalah mengambil jarak
dengan teks: makin ambisius proyek pembacaan kita, makin jauh jarak yang
mesti diambil.

Demikianlah seorang komparatis, atau seorang pembaca sastra (sebagai
sistem) dunia, menjalankan kerangka konseptual, yang tak lain adalah kain
perca yang terbuat dari pelbagai nset orang lain tanpa pembacaan langsung

ke dalam teks tunggal. Bagi Moretti, telaah sastra dunia pada dasarnya
adalah "kerja sama" antara para pakar sastra nasional. Tanpa pembacaan jauh
secjemikian itu, kita tak akan mengerti sang sistem dalam keseluruhannya.
Namun, dengan begitu pula, kita akan menerima sistem itu juga sebagai
suatu system oj variations ketika perkecualian atau variasi dari khazanah

novel Eropa Barat dapat ditangkap sebagai perlawanan atau pengelakan ter
hadap desakan atau hegemoni sang pusat.

3

18

"The one-and-unequal literary system is not just an external work here, it doesn't remain out
side the text: it's embedded well into its form." Lihat"Conjectures on World Literature."
kalam 22

-

i

PEMBACAAN DEKAT ATAU JAUH?

Setelah bertahun-tahun menganggap bahwa sastra nasional kita tidak la
gi cukup sebagai dasar telaah maupun penciptaan, setelah mengusahakan
sejumlah penjelajahan" ke sastra-sastra lain yang kini mempakan alternatif
terhadap khazanah Amerika Utara dan Eropa Barat, saya masih merasa tesis
Moretti tentang sastra-sebagai-sistem dunia sebagai program yang tak
terjangkau.
Sekiranya peta morfologi sastra dunia tersaji di hadapan kita, dan peta
itu senantiasa nienunjukkan pasang naik dan pasang surut kuasa simboHk
pada pelbagai kliazanah nasional, barangkali terlalu asyik kita menunggu di
titik-titik mana lagi akan ada penyimpangan atau perlawanan terhadap sang
pusat. Anda tak dapat membuat atau menelaah novel jika anda berkonfrontasi dengan seluruh dunia, bukan?

Penciptaan mesti kembali kepada pembacaan dekat, kepada sekumpulan
kecil karya terpilih yang bisa mengilhanikan bentuk secocoknya. Mungkin
berdasarkan Utopia Moretti, atau sekadar berdasarkan peluang yang disediakan globahsme, kita mencuri sejumlah btiah ciptaan atau wawasan teori, te
tapi pada saat hasil curian itu sudah berada di laboratorium kita, kita melupakan seluruh dunia.

Namun, Moretti telah menyadarkan kita bahwa selama ini kita bukan
hanya melakukan pembacaan dekat: ketergantungan kita kepada terjemah
an dan telaah orang lain pada dasarnya adalah pembacaan jauh. Misalnya,
saya bukan hanya membaca Borges melalui terjemahan Inggris dan Indo
nesia, melainkan juga melalui Emir Rodriguez Monegal tentang biografi
literer Borges, Paul de Man danJohn Barth tentang strategi naratifnya, dan
Roberto Gonzalez Echevarria tentang naratologi Amerika Selatan.
Barangkali juga saya hanya membaca segelintir puisi Polandia dalam
terjemahan, tetapi saya kemudian lebih tertarik kepada sebentang luas
lanskap sastra Polandia yang disajikan Czeslaw Milosz dalam Tlie History of
Polish Literature. Dan bila kini saya mengenal seni rupa Thailand mutakhir
dengan lebih baik, misalnya, sesungguhnya saya terdorong lebih dulu oleh
ulasan Apinan Pohsyananda, kritikus-kurator dari negeri itu. Semua itu pa
da dasarnya adalah pembacaan jauh. Setelah Moretti, pembacaan dekat tak
cukup lagi. Atau, pembacaan jauh harus dilakukan sesadar-sadarnya.
Bila dengan sistem sastra dunia Moretti mengingatkan kita akan timpangnya hubungan kuasa simbolik antara wilayah pusat dan pinggiran—
sistem sastra dunia kurang-lebih setara dengan sistem kapitalisme global—
kalam 22

19

-i—'

—*

'.I

w

1

NIRWAN DEWANTO

maka, bagi saya, setiap pembacaan, jauh atau dekat, mestinya menyadari
keterbatasan pilihan. Jika saja penciptaan adalah upaya untuk memiuhkan
atau melampaui kondisi obyektif, bahan-bahan yang tersedia sesungguhnya
adalah yang disodorkan oleh industri budaya global.
Globalisme sesungguhnya adalah Anglo-globalisme, seperti diingatkan
oleh Jonathan Arac,'' yakni bahasa Inggris dalam budaya berlaku Sebagaimana dolar dalam ekonomi: sang alat yang meneijemahkan pengetahuan dari
yang lokal ke yang global, juga sebaliknya. Dan ini bukan berarti bahwa
kita hanya mungkin menjangkau pelbagai khazanah melalui terjemahan
Inggris. Sebagaimana saya katakan, cara mereka memandang dunia seakanakan cara kita juga: yang partikular menjadi seakan-akan universal.
Namun, adat global demikian tak dapat dibalikkan dengan semangat
mencari teori yang berakar dari kampung halaman sendiri, kecuali kita
hendak memercayai orientalisme baru yang dibiakkan kaum pribumi. Kita
hanya perlu bercuriga bahwa segenap teori sastra dan karya sastra yang menentukan amalan pembacaan kita sesungguhnya adalah yang sudah ditapis
dengan sistematis oleh dunia akademi Amerika Utara.
Saya tak ingin mendramatisasi gambaran tentang kekuatan adidaya yang
bekerja dalam dunia pemikiran kita, tetapi saya katakan di sini bahwa perilaku dalam menyerap arus dominan di kalangan intelektual setara dengan
apa yang terjadi dalam budaya massa kita. Kita hanya mungkin menyerap
model, bentuk, gaya, pandangan dari wilayah pusat yang sesunggulinya
mengabaikan ciptaan kita. Itnlah yang disebut Moretti sebagai sistem yang
satu tetapi tak setara.
Pertanyaan buat kita: kapankah kita bisa niengganggu, kalau bukan
mengubah, bahkan membalikkan, hegemoni simbolik ini? Moretti menyarankan (atau memimpikan) kerja sama di antara pakar-pakar sastra nasional

untuk menerang-jelaskan sistem sastra dunia; setidaknya seorang komparatis
mesti melakukan sintesis terhadap pelbagai telaah sastra nasional. Akankah
kita menunggu seorang komparatis yang bisa berlaku adil terhadap sastrasastra nasional yang selama ini terabaikan, termasuk sastra kita?
Betapa jauh panggang dari api. Saya belum melihat sungguh-sungguh
adanya peluang itu dalam studi sastra di mana-mana; saya baru melihat bah

wa sang komparatis sendiri tak percaya bahwa langkahnya bisa menggun6 Jonathan Arac, "Anglo-Globalism?", New Left Revieiv 16,Juli-Agustus 2002.
20

kalam 22

i

PEMBACAAN DEKAT ATAU JAUH?

cangkan sistem dunia yang dilukiskannya. Moretti sendiri dalam tulisannya
yang kemudian mengatakan, teori-teori hanya menjelaskan ketidaksetaraan,
tetapi tidak bisa menghapuskannya.7

Mungkin kita bertanya, untuk a*pa telaah yang tak berseluk dengan pen
ciptaan—abstraksi yang berpisah dan perubahan? Bila Moretti berkata
bahwa sudut pandang perbandingan selalu lebih baik, dalam arti membe-

baskan kita dari kepicikan dan kesatu-sisian, saya percaya itu pun baik bu
kan hanya untuk pengkaji tapi juga untuk pencipta. Tidak ada yang lebih
mustahak dalam cara memandang sastra nasional kita kecuali selalu menyandingkannya dengan sastra-sastra lain.

Di titik ini perkenankanlah saya menyeberang sejenak ke ranah seni ru-

pa, untuk membuktikan bahwa ranah ini mengamalkan apa yang dihasrat-

kan Moretti, tetapi tak terjadi di ranah sastra sendiri: gangguan terhadap sis

tem dunia, kerja sama di antara penelaah khazanah nasional, pe'ncarian al

ternatif terhadap hegemoni kuasa simbolik, dan lekatnya telaah dengan
penciptaan. Dengan kata lain, sistem global itu lebih nyata bagi orang seni
rupa, dan itu memberikan contoh kepada kita bagaimana bertarung dan
bermain dengannya.

Sebacaimana novel dalam paparan Moretti, seni rupa modern kita—"seni

rupa atas" dalam istilah Sanento Yuliman—adalah "seni rupa yang dalam

kelahiran dan pertumbuhannya sangat dipengaruhi oleh faktor yang
memancar dari negeri berindustri maju."R MenurutJim Supangkat, hampir
semua seni rupa modern di luar Eropa-Amerika menghadapi "dominasi
wacana seni rupa modern melalui prinsip universalisme, yang percaya
hanya ada satu seni rupa modern dunia dengan satu sistem nilai."9
Penentang yang gigih seringkali mengatakan bahwa modernisme tidak

lam adalah internasionalisme gaya lama yang memandang seni rupa dari lu
ar wilayah inti sebagai cecabang yang rendah diri dari seni rupa modern
Franco Moretti, "More Conjectures", New Left Review 20, Maret-April 2003..

Sanento Yuliman, "Dua Seni Rupa," Dm Seni Rupa, ed.Asikin Hasan (Jakarta:Yayasan
Kalam, 2001), 24-31.

Jim Supangkat, "Membaca Modernitas Indonesia dalam Representasi Budaya pada
Seni Rupa," katalog pameran dalam rangka peresmian Galeri Nasional Indonesia, 8
Mei-8Juni 1999.

kalam 22

?1

—7—

NIRWAN DEWANTO

Barat. Namun, para kritikus seni rupa dari wilayah pusat maupun wilayah
pinggiran tak sekadar menggainbarkan modernisme sebagai sistem yang sa
tu tetapi tak setara (jika istilah Moretti bisa digunakan di sini), melainkan
juga berusaha mengubahnya.
Setidaknya, mereka melakukan tawar-menawar tiada henti dengan pu-

sat-pusat lama. InternasionaHsme bam: bangkitnya sang lain, the other, yakni
apa yang dulu dianggap pinggiran, terbelakang, lokal, terjajah. Moretti
mencandra gerakan satu, arah, yakni dari pusat ke pinggiran. Namun, orang

seni rupa (mencoba) mendesakkan arus dari pinggiran ke pusat, dan juga
dari pinggiran ke pinggiran.

Pada suatu saat, proses tawar-menawar itu terbaca sebagai perlawanan
yang heroik: kritikus menganggap diri sebagai aktivis budaya yang melucuti
sistem kuasa-pengetahuan dalam amalan seni rupa; it is time for the centre to
be sent in exile, kata kritikus-kurator Cina Daratan Hou Hanru.1" Pada saat

lain, proses itu terasa lebih moderat. Bila bahasa Inggris digunakan di selu
ruh dunia dengan sekian banyak aksen lokal. dan yang beraksen itu tak le
bih rendah daripada Oxford English, begitu pula seni global sekarang —art
with an accent,kzte kurator-kritikus indonesiajim Supangkat.11

Pusat-pusat lama niembuka diri, sejalan dengan perubahan kondisi kapitalisme global. Dahulu sang pusat niengambil bahan mentah dari wilayah
pinggiran, mengolahnya menjadi produk akliir dan melemparkannya kem
bali ke seluruh dunia; kini (sebagian) wilayah pinggiran bisa mendesakkan
produk akhir, dari pakaian sampai komputer, ke wilayah pusat. Bersama

arus barang-barang itu, kuasa simbolik juga menuntut kesetimbangan baru,
tata baru.

Saya pernah mengatakan bahwa pluralisme pada dasarnya adalah prinsip
yang dijalankan industri, khususnya industri kebudayaan.12 Keseragaman
bukan hanya menjenuhkan pasar, tetapi juga mematikan daya cipta industri
itu sendiri. Penghormatan kepada potensi lokal di seluruh buana adalah ja
lan nienuju pemanfaatan dan komodifikasinya. Hal ini berlaku dalam pel10 Hou Hanru, "Out of the Centre," dalam On the Mid-Ground, Yu Hsiao-Hwei, ed.,
(Hongkong:Timezone 8,2002), 40-53.
\

1' Jim Supangkat, "Art with AnAccent," dalam Interpellations, katalog pameran CP Open
Bieannale 2003 di Jakarta.
12 Nirwan Dewanto, "InternasionaHsme Baru, Kelisanan Baru," Catatan Akhir Tahun

Dunia dan Kita, Kompas, 20 Desember 2003.
22

kalam 22

•-

PEMBACAAN DEKAT ATAU JAUH?

bagai medan industri budaya: sepakbola, hamburger, lagu pop, kesusastraan,
mode, seni rupa, dan seterusnya.

Internasionalisme.baru: hadirnya pelbagai kliazanah nasional atau regio
nal sebagai kliazanah alternatifdi wilayah pusat. Dan bila sang penaja adalah
pusat lama yang telah membuka diri, kliazanah alternatif hams bisa mene-

rangkan sejaraJmya sendiri—bila tidak, yang terjadi adalah orientalisme ba
ru, bukan? Maka pameran di New York yang menampilkan seni rupa kontemporer dari, misalnya,Thailand, India, Indonesia, Korea Selatan, dan Fili-

pina, pada dasarnya niena'nipilkan amalan pembacaan kurator-kritikus dari
kliazanah masing-masing.l3

InternasionaHsme baru: juga tumbuhnya pusat-pusat baru, misalnya, di
Jepang, Korea Selatan, Cina Daratan, dan Afrika Selatan, yang masing-masing hendak menampilkan politik pembacaan yang khas, berbeda, terhadap
seni rupa mutakhir. Biennale maupun triennale di sana pada dasarnya hendak
nienyajikan "pemandangan dari dalam", yang memungkinkan setiap kura
tor-kritikus dari pelbagai kliazanah nasional mempunyai peluang lebih baik
dalam menentang kuasa simbolik sejagad.
Para kurator ini pada akhirnya menjadi "komparatis" di medan inter-

nasional. Bila komparatis di bidang sastra mulai dengan pandangan yang

"netral dan obyektif" berdasarkan kompetensi kebahasaan masing-niasing
dan hanya bergerak ke lingkup sastra dunia ketika pembacaan dekat tak cu
kup lagi, maka para "komparatis" di bidang seni rupa sejak awal menjalankan pandangan yang memihak.
Bahu-membahu antara para kurator dari pelbagai khazanah nasional se

karang sudah begitu lazim—ya, berterima kasihlah kepada pusat-pusat lama
maupun baru yang sungguh menyadari kondisi pascakolonial. Fasih mengamalkan ternia dan pendekatan yang sedang hangat di lingkaran akadeniis
Amenka Utara, para kurator itu pada gilirannya sanggup menggulirkan
13 Misalnya saja pameran Contemporary Art in Asia: Traditions/Tensions di New York
pada 1996, dengan penaja utama the Asia Society. Pameran yang menghadirkan Thai
land, India, Indonesia, Filipina, Korea Selatan, dan India ini diantar oleh kurator

nasional masing-masing, antara lam Jim Supangkat; kurator utama adalah Apinan
Pohsyananda (Thailand). Juga pameran Inside Out: Ntw Chinese Art di New York,
San Francisco, dan Seattle pada 1999, dengan penaja yang sama. Pameran yang meng

hadirkan Cina Daratan, Taiwan, dan Hongkong ini juga diantar oleh kurator masingmasing, antara lain Gao Minglu dan Hou Hanru.
kalam 22

23

:

NIRWAN DEWANTO

arus dari pinggiran ke pinggiran. Berkat merekalah, seni rupa kita bisa
membandingkan diri dengan, dan menyerap, khazanah-khazanah Thailand,
Filipina, dan C