KETEROBSERVASIAN SISTEM DESKRIPTOR DISKRIT LINIER

  Jurnal Matematika UNAND Vol. 2 No. 3 Hal. 142 – 149

  ISSN : 2303–2910 Jurusan Matematika FMIPA UNAND c

KETEROBSERVASIAN SISTEM DESKRIPTOR DISKRIT

LINIER

DIANA SYAFRIDA

  

Program Studi Matematika,

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas,

Kampus UNAND Limau Manis Padang, Indonesia,

dianasyafrida.dsy@gmail.com

  Abstrak.

  Dalam penelitian ini akan dikaji keterobservasian sistem deskriptor diskrit

linier yang regular bebas waktu dengan matriks E adalah singular. Kajian ini dimulai

dari mendekomposisi sistem sehingga dapat direduksi menjadi dua subsistem, yaitu slow

subsystem dan fast subsystem. Selanjutnya, untuk menguji keterobservasian sistem akan

digunakan kriteria keterobservasian yang menggunakan slow subsystem.

Kata Kunci : Sistem deskriptor diskrit linier, metode dekomposisi standar, keterobser-

vasian sistem

1. Pendahuluan

  Diberikan suatu sistem deskriptor diskrit linier sebagai berikut: Ex ,

  (t + 1) = Ax(t) + Bu(t), x(0) = x y (t) = Cx(t), (1.1)

  n m

  di mana x = x(t) ∈ R menyatakan vektor keadaan (state), u = u(t) ∈ R

  p

  menyatakan vektor input dan y = y(t) ∈ R menyatakan vektor output. E, A ∈

  n×n n×m p×n

  R , B ∈ R , C ∈ R , dan t ∈ Z menyatakan waktu [5]. Jika matriks E +

  −

  1

  nonsingular, yaitu det(E) 6= 0, berarti E ada, maka sistem (1.1) dapat ditulis menjadi x (t + 1) = ¯ Ax (t) + ¯ Bu (t), y (t) = Cx(t), (1.2)

  − 1 −

1 A

  A, ¯ B B di mana ¯ = E = E . Sistem (1.2) disebut juga sistem normal. Jika ma-

  −

  1

  triks E singular, yaitu det(E) = 0, berarti E tidak ada, maka sistem (1.1) dapat didekomposisi dengan menunjukkan adanya matriks nonsingular P, Q sedemikian sehingga sistem (1.1) dapat direduksi menjadi dua subsistem, yaitu x

  1

1 x

  1 1 u

  (t + 1) = A (t) + B (t), y

  

1 x

  1 1 (t) = C (t), dan (1.3)

  N x

  2

  

2

2 u

  (t + 1) = x (t) + B (t),

  Keterobservasian Sistem Deskriptor Diskrit Linier 143 n n n × n n × m n × m p×n

  1

  2

  1

  

1

  1

  2

  1

  1

  2

  1

  1

  2

  1

  di mana x ∈ R , x ∈ R , A ∈ R , B ∈ R , B ∈ R , C ∈ R ,

  p×n n × n

  2

  2

  1

  2

  2 C 2 ∈ R , n 1 = deg det(sE−A), n 1 +n 2 = n, y = y +y , dan N ∈ R adalah

  matriks nilpotent dengan indeks nilpotensi h. Sistem (1.3) disebut slow subsystem (S

  1 ) dan sistem (1.4) disebut fast subsystem (S 2 ).

  Dalam [2] dinyatakan bahwa sistem (1.1) dikatakan terobservasi, bila terdapat suatu waktu t f > 0 sedemikian sehingga jika u(t) dan y(t) diberikan pada [0, t f ], maka x(0) = x dapat ditentukan. Definisi ini juga berlaku untuk sistem normal. Dalam berbagai permasalahan, penggunaan definisi ini untuk menentukan apakah suatu sistem terobservasi atau tidak adalah sulit. Kriteria berikut dapat digunakan untuk menentukan keterobservasian dari sistem normal [2]. Sistem normal (1.2)

  A sI − ¯ adalah terobservasi jika dan hanya jika rank = n, ∀ s ∈ C, dengan s

  C berhingga.

2. Solusi Sistem Deskriptor Diskrit Linier

  Sebelum menguji keterobservasian sistem deskriptor diskrit linier, terlebih dahulu perlu dilakukan dekomposisi terhadap sistem, seperti yang diberikan dalam teorema berikut. Teorema 2.1.

  Sistem (1.1) adalah regular jika dan hanya jika terdapat matriks

  n×n

  nonsingular Q, P ∈ R sedemikian sehingga I n O A

  1 O

1 QEP ,

  = dan QAP = (2.1) O N O I n

  2 × × n n n n

  1

  1

  2

  2

  1

  1

  2

  di mana A ∈ R , N ∈ R , n + n = n, dan matriks N adalah matriks nilpotent dengan indeks nilpotensi h. Bukti.

  (⇒) Misalkan sistem (1.1) regular. Maka det(sE − A) 6= 0 untuk suatu

  −

  1

  s ∈ R sehingga (sE − A) ada. Misalkan

  1

  − 1 −

  ˆ E = (sE − A) E dan ˆ A = (sE − A) A.

  Maka

  −

  

1

  ˆ A

  = (sE − A) (sE + A − sE),

  −

  1 E,

  = −I + s(sE − A) E = s ˆ − I.

  Karena E singular, maka ˆ E juga singular. Akibatnya, terdapat matriks nonsingular

  n×n

  T ∈ R sedemikian sehingga E

  1 O −

  1

  ˆ T ET = ,

  O E

  2

× ×

n n n n

  1

  1

  2

  2

  di mana E

  1 ∈ R adalah nonsingular dan E 2 ∈ R adalah nilpotent.

  2 s

  Akibatnya, (E − I) adalah nonsingular. Perhatikan kesamaan berikut

  144 Diana Syafrida −

  1

  untuk suatu α ∈ R. Kalikan kedua ruas (2.2) dengan (sE − A) , diperoleh E

  1 O − 1 −

  1

  (sE − A) (αE − A) = (α − s)T T + I. (2.3) O E

  2 Dapat dilihat bahwa (2.3) ekivalen dengan

  1 O − 1 − 1 (α − s)E + I n

  1 T .

  (sE − A) (αE − A)T = (2.4) O

  2

  2

  −(sE − I n ) + αE

  2 Selanjutnya, kalikan kedua ruas (2.4) dengan −

1 E O

  1

  ,

  −

  1 O (sE 2 − I n )

  2

  diperoleh

  −

  1 E O 1 − 1 −

  1 T

  (sE − A) (αE − A)T

  −

  1 O (sE 2 − I ) n

  2 −

  1 I n O sI n − E O

  1

  1

  1 .

  = α − (2.5)

  −

  1 O (sE 2 − I n ) E

  2 O

  I n

  2

  2 Tulis −

  1 E O 1 − 1 −

  1 Q T = (sE − A) dan P = T. −

1 O

  2

  (sE − I n )

  2

  sehingga persamaan (2.5) dapat ditulis sebagai

  I O A

  1 O

n

  1 Q (αE − A)P = α − ,

  O N O I

  n

  2 − 1 −

  1

2 E

  2

  1

  di mana N = (sE − I n ) dan A = sI n − E . Jadi, terdapat Q, P sehingga

  1

  2

  1 berlaku (2.1).

  (⇐) Misalkan terdapat matriks Q, P ∈ R sedemikian sehingga (2.1) berlaku.

1 Misalkan s 6∈ σ(A ). Tanpa mengurangi keumuman, misalkan s ∈ R. Maka

  1

  det(sI n − A ) 6= 0. Karena

  1

  det(sN − I n ) = det (−(I n − sN )) , dengan s 6= 0,

  2

  

2

n

  2

  1

  n n

  2

  

2

  s , = (−1) s

  n

  2

  , = (−1) (2.6) maka

  1

  −

1 −

1 − 1 −

  det(sE − A) = det(s Q QEP P − Q QAP P ),

  1

  − 1 −

  = det(Q ) det(s QEP − QAP ) det(P ),

  1

  − 1 n −

  2

  1

  = det(Q ) det(s I n − A ) (−1) det(P ),

  1 6= 0. Keterobservasian Sistem Deskriptor Diskrit Linier 145 n×n

  Berdasarkan Teorema 2.1 matriks E, A ∈ R dapat didekomposisi sedemikian sehingga

  I O A

  1 O − 1 n − 1 − 1 −

  1

1 E P P ,

  = Q dan A = Q O N O I

  n

  2 n×n untuk suatu matriks nonsingular P, Q ∈ R . n

  Misalkan x(t) = P z(t), untuk suatu z(t) ∈ R . Maka sistem (1.1) dapat ditulis menjadi EP z (t + 1) = AP z(t) + Bu(t), (2.7) y (t) = CP z(t). (2.8)

  Dengan mengalikan kedua ruas (2.7) dengan matriks nosingular Q, diperoleh QEP z (t + 1) = QAP z(t) + QBu(t), y (t) = CP z(t). (2.9)

  I O z

  1 A

  1 O z

  1 B

  1 n (t + 1) (t)

  = u (t), O N z

  • 1

  2 O I z

  2 B

  2

  (t + 1) n (t)

  2

  y (t) = C

  

1 C

2 z(t), (2.10)

  B

  1

  1 C

  

2

di mana QB = , dan CP = C .

  B

  2 Dari sistem (2.10) dapat dilihat bahwa sistem (1.1) dapat direduksi menjadi dua

  subsistem, yaitu: z

  1

1 z

  1 1 u

  (t + 1) = A (t) + B (t), y

  

1 z

  1 1 (t) = C (t), dan (2.11)

  N z

  2 z

  2 2 u

  (t + 1) = I n (t) + B (t),

  

2

  y

  

2 z

  2 2 (t) = C (t). (2.12)

  Solusi dari (2.11) adalah

  t−1

  X

  

t−j−1

t

  1

1 A B

  1

  z (t) = A

  1 z (0) + u (j), t = 0, 1, 2, · · · , (2.13)

  1 j=0

  sedangkan solusi (2.12) adalah

  h−1

  X

  j

2 N B 2 .

  u z

  (t) = − (t + j), t ∈ Z (2.14)

  • j=0

  ! P t−1 t−j−1

  t

  A

1 A B

  1 1 z (0) + u (j) 1 j=0

  x (t) = P .

  P h−1

  j

  u − N B

  2 (t + j)

j=0

  146 Diana Syafrida

3. Keterobservasian Sistem Deskriptor Diskrit Linier

  Teorema berikut akan digunakan untuk menguji apakah sistem (1.1) terobservasi atau tidak. Teorema 3.1.

  [4] Sistem (1.1) adalah terobservasi jika dan hanya jika sistem (2.11) adalah terobservasi.

  2

  2 Bukti. z (t) dapat ditentukan dari (2.14) untuk N, B , dan u(t). Sehingga sistem

  1

  (1.1) adalah terobservasi jika dan hanya jika z (t) dapat ditentukan dari (2.11) dan y

  2 z

  2

  (t) − C (t). Jadi, sistem (1.1) adalah terobservasi jika dan hanya jika sistem (2.11) adalah terobservasi.

  Teorema 3.2. [4] Pernyataan berikut adalah ekivalen. (1) Sistem (1.1) adalah terobservasi, sI

  1 n − A

  1 1 ,

  (2) Rank = n ∀ s ∈ C dengan s berhingga, C

  1

  sE − A (3) Rank = n, ∀ s ∈ C dengan s berhingga,

  C

1 T ker(C

  1

  (4) ker(sI − A ) ) = {0}, ∀ s ∈ C dengan s berhingga, T ker(C) = {0}, ∀ s ∈ C dengan s berhingga. (5) ker(sE − A) Bukti.

  (1) ⇔ (2) Jelas dari Bab I dan Teorema 3.1. sI n − A

  1

  1 1 ,

  (2) ⇒ (3) Misal rank = n ∀ s ∈ C dengan s berhingga. Akan ditunjukkan C

  1

  sE − A bahwa rank = n, ∀ s ∈ C dengan s berhingga. Perhatikan bahwa C sE − A sQEP − QAP rank ,

  = rank C CP

    sI

  1 O n − A

  1

    C

  1 O ,

  = rank O sN

  − I n sI − A

  1 n

  1

  = rank + rank sN − I n ,

  1

  2 C

  1

  2 Keterobservasian Sistem Deskriptor Diskrit Linier 147 (3) ⇒ (2) Perhatikan persamaan berikut.

    sI

  1 O n − A

  1

  sI n − A

  1

  1

  rank  O sN  ,

  • rank sN − I n = rank − I n

  2

  2 C

1 C

  1 C

  2

  sQEP − QAP ,

  = rank CP sE − A

  . = rank

  C Jadi, sI

  1

n − A sE − A

  1

  rank = rank − rank sN − I n

1 C

  2 C

  2 1 .

  = n − n = n sE − A (3) ⇔ (5) Rank = n, ∀ s ∈ C dengan s berhingga jika dan hanya jika

  C sE − A ker = {0}. Karena

  C \ sE − A ker = {0} = ker(sE − A) ker(C),

  C sE − A maka rank = n, ∀ s ∈ C dengan s berhingga jika dan hanya jika

  C T ker(C) = {0}. ker(sE − A) (2) ⇔ (4) Dapat dibuktikan dengan mengikuti penalaran bukti (3) ⇔ (5).

4. Contoh

  Diberikan sistem deskriptor diskrit linier Ex

  (t + 1) = Ax(t) + Bu(t), y (t) = Cx(t). (4.1) di mana

        0 1 0 1 0 0 1 0 1 0 1

        E = 0 −1 0 , A = 0 1 0 , B = 0 0 , C = .

  1 1 −1 0 0 1 0 1 0 0 1 Akan diperiksa apakah sistem ini terobservasi atau tidak.

    s −1

  2

  0 −s − 1 0 −1 s

    det(sE − A) = det = s + s.

  Pilih s = 1, diperoleh   s

  −1   det 0 −s − 1 0 = 2 6= 0.

  148 Diana Syafrida

  Selanjutnya, 

  1 

  0 −

  2

  1

  ˆ E   .

  =

  2

  1

  1

  2 Karena setiap matriks bujursangkar similar dengan suatu matriks Jordan, maka n×n

  terdapat matriks nonsingular T ∈ R sedemikian sehingga 

  1 

  0 0

  1 −

  2 E

  1

  ˆ T ET   ,

  = = 0 1 0

  

2

  0 E 0 0 0  

  −1 0 1

  1

  2

  1 = , E 2 = 0, dan T = 1 0 0 . Dengan menggunakan (2.5)

    di mana E

  0 1 −1 1 0 diperoleh

      0 −1 0 −1 0 1     Q = 0 −1 1 dan P = T = 1 0 0 .

  1 1 0 −1 1 0 Kemudian,

        1 0 0 −1 0 0 0 0 QEP   , QAP   , QB   ,

  = 0 1 0 = 0 0 0 = 0 1 0 0 0 0 0 1 1 0 dan

  −2 1 1 CP . = 1 −1 1

  Dengan menggunakan (2.1) diperoleh −1 0 1 0

  A

1 , I .

  = n = 1, N = 0, I n =

  2

  1

  0 0 0 1 Kemudian 0 0 −2 1

  1 B

  1 , B

  2 1 , C 2 .

  = = 1 0 , C = = 0 1 1 −1

  1 Berdasarkan Teorema 3.2,  

  2  

  1

  sI − A

  1   rank

  1 ,

  = rank = 2 = n  

  C

  1

  −2 1 1 −1 sehingga sistem adalah terobservasi.

  Jika digunakan bagian ke-3 dari Teorema 3.2, diperoleh  

  −1 1 0   0 −2 0   sE − A   rank

  = rank 0 −1 1 = 3.

    C

    1 0 1 Keterobservasian Sistem Deskriptor Diskrit Linier 149

  Jika digunakan bagian ke-4 dari Teorema 3.2, diperoleh  

  2 \

   

  1

  1 sI − A  

  1

  1 ker(sI − A ) ker(C ) = ker = ker = {0}.

    C

  1 −2 1

  1 −1 Jika digunakan bagian ke-5 dari Teorema 3.2, diperoleh

    −1 1 0

      ker(sE − A) ker(C) = ker 0 −1 1 = {0},     1 0 1

    0 −2 0 \

  1 1 0 sehingga sistem terobservasi. Jadi, sistem (4.1) terobservasi.

5. Ucapan Terima kasih

  Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Muhafzan, Bapak Dr. Admi Nazra, Ibu Dr. Lyra Yulianti, Ibu Arrival Rince Putri, MT, M.Si yang telah mem- berikan masukan dan saran sehingga paper ini dapat diselesaikan dengan baik.

  Daftar Pustaka [1] Anton, H. 1991. Aljabar Linier Elementer, Edisi Kedelapan-Jilid 1. Erlangga,

  Jakarta [2] Duan, G. R. 2010. Analysis and Design of Descriptor Linear System. Springer. New York

  [3] Meyer, C. D. 2000. Matrix Analysis and Applied Linear Algebra. SIAM, New York [4] Kaczorek, T. 1992. Linear Control Systems. Vol. 1. Research Studies Press Ltd.

  England [5] Dai, Liyi. 1989. Singular Control Systems. Springer. New York