Tugas Hukum Internasional yang bener nic

ARTIKEL
Gatra No.49 Beredar Kamis, 8 Oktober 2009

Bencana Minyak di Laut Timor
Zulfikar,

40 tahun, baru pulang melaut,
Senin dua pekan lalu. Pria asal Oesapa,
Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), itu
telah seminggu di atas perahu motor
Nirwana-2 bersama delapan temannya.
Seperti nelayan tradisional Oesepa lainnya,
ia biasa berburu ikan di Laut Timor.
Berbeda dari perjalanan yang lalu, kali ini
Zulfikar dan kawan-kawan tidak cukup
beruntung. Dia terpaksa pulang dengan
hasil tangkapan tidak memadai. “Ikan-ikan
menghilang. Laut kami dipenuhi minyak,”
Zulfikar berkeluh kesah. “Ketika kami
menyelam, bau minyak sangat terasa dan
badan

kami
menjadi
licin,”
ia
menambahkan. Ia juga mengaku melihat
banyak ikan mati mengambang.

Zulfikar dan ribuan nelayan tradisional
NTT lainnya menjadi korban pencemaran
laut akibat tumpahan minyak Australia di
Laut Timor. Hampir dua bulan sejak 21
Agustus lalu, ribuan barel minyak mentah
terus membanjiri kawasan laut itu sebagai
buntut meledaknya instalasi pengeboran
minyak The Montara Well Head Platform,
instalasi pengeboran milik Australia yang
berada di Blok West Atlas. Lokasi ladang
minyak itu berjarak sekitar 690 kilometer
sebelah barat Darwin dan 250 kilometer di
barat laut Truscott, Australia Barat. Pascaledakan, ladang minyak yang dioperasikan

PTT
Exploration
and
Production
Australasia (PTTEP), sebuah perusahaan
minyak asal Thailand, itu terus
memuntahkan sekitar 500.000 liter minyak
setiap hari di wilayah perairan Timor.
Hingga berita ini ditulis, tumpahannya
terus melebar, membentuk kawah yang
bibirnya merasuk jauh ke perairan
Indonesia.
Nelayan lokal mengungkapkan, tumpahan
minyak itu kini berada 70 mil dari
Kolbano,
wilayah
pantai
selatan
Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).
Menurut gambar udara yang disiarkan

stasiun televisi ABC, tumpahan minyak itu
mengalir seperti anak sungai dan membuat
jalur berkelok-kelok di laut. Tumpahan ini
lalu dibawa arus hingga menyebar ke
mana-mana. Menurut catatan Departemen
Perhubungan (Dephub) yang kapalkapalnya melakukan patroli di kawasan
itu, butiran kecil minyak (small patches
weathered oil) telah memasuki wilayah
zona ekonomi eksklusif Indonesia pada
posisi 110 50-LS, 1250 10-BT, 10 hari
setelah ledakan. Sebulan setelah ledakan,
pemantau aerial surveillance Dephub

mencatat, sebagian tumpahan minyak telah
berada pada lokasi 51 mil laut sebelah
tenggara Pulau Rote. Ketua Yayasan
Peduli Timor Barat, Ferdi Tanoni, khawatir
pencemaran minyak itu berdampak buruk
pada ekosistem di Laut Timor dalam
jangka panjang. Masyarakat yang tinggal

di Timor Barat, Rote-Ndao, Sabu, dan Alor
bisa kehilangan ikan untuk dikonsumsi
karena tercemar minyak. Pasalnya, letak
ladang minyak Montara yang sebagian
besar sahamnya dimiliki mantan Presiden
Thailand, Thaksin Sinawatra, itu lebih
dekat dengan gugusan Pulau Pasir, yang
menjadi tempat nelayan tradisional
Indonesia mencari ikan.
Sekretaris Itjen Perhubungan Laut
Dephub,
Bobby
R.
Mamahit,
mengungkapkan bahwa Australia terikat
perjanjian tentang pencegahan dan
penanggulangan tumpahan minyak yang
ditandatangani pada 3 Oktober 1996.
Dalam perjanjian ini disebutkan, negara itu
harus melakukan upaya pembersihan bila

pengeboran minyaknya di Laut Timor
mengalami kecelakaan. Pada saat ini,
Ditjen
Perhubungan
Laut
Dephub
berkoordinasi
dengan
Otoritas
Keselamatan Maritim Australia (AMSA)
dan Kedutaan Besar Australia di Jakarta
untuk aksi mitigasi. Aksi pertama Australia
adalah melepas tiga kapal oil containment
recovery dan menyemprotkan dispersant
melalui udara. AMSA setiap hari
menerbangkan dua Hercules C-130 yang
terbang dari Darwin, Australia Utara,
untuk menyemprotkan dispersant ke Laut
Timor. Dispersant, yang punya berat jenis
tinggi, akan mengikat minyak mentah dan

membuatnya tenggelam. Surat yang
dilayangkan AMSA menyatakan, tipe dan
jenis tumpahan minyak itu tidak akan
merusak lingkungan laut Indonesia.
Namun kenyataannya tidak demikian.
Pantauan lembaga lingkungan Pemerintah
Australia sendiri menemukan sejumlah
satwa laut –termasuk kura-kura– yang
sakit, bahkan ada satwa laut yang mati.

Ferdi
Tanoni
memasalahkan
cara
penanganan yang dilakukan Australia.
Semprotan dispersant itu punya efek
menenggelamkan minyak mentah ke dasar
laut. Langkah ini mungkin saja
menyelamatkan ikan permukaan dan
burung-burung, tapi akan membahayakan

ikan dan biota laut yang ada di kedalaman
dan terumbu karang. Ilmuwan Australia,
Jamie Oliver, menyayangkan langkah itu
dan menilainya sebagai pemecahan
masalah yang memunculkan masalah baru.
Karena itu, Ferdi Tanoni meminta
Pemerintah Indonesia tidak meremehkan
masalah ini. Sikap serius pemerintah
sangat dinanti. “Diplomasinya harus
maksimal. Bila mungkin, batalkan seluruh
perjanjian RI-Australia yang dibuat di Laut
Timor sejak 1971-1997, yang hanya
menguntungkan Australia,” katanya.
Wartawan Gatra di Kupang melaporkan
bahwa
dampak
tumpahan
minyak
Australia di Laut Timor itu mulai terasa di
NTT. Terutama di Pantai Nunkolo dan

Kolbano, Kabupaten TTS, dan Pulau Rote,
yang
berbatasan
langsung
dengan
Australia. Selain menumpuknya ikan yang
mati terbawa arus, daun-daun pohon
mangrove di sekitar kawasan itu pun mulai
mengering. “Semula, kami mengira ada
yang menangkap ikan dengan cara
membuang potas,” kata Paulus Mnane,
seorang warga Kolbano. Beberapa warga
yang sempat makan ikan yang tercemar
mengaku kena diare dan menderita bintikbintik merah di kulit. Padahal, di pesisir
NTT, polutannya tidak kelihatan jelas.
Namun bodi perahu para nelayan di
Papela, Kecamatan Rote Timur, Kabupaten
Rote-Ndao, tampak ditempeli minyak.
Pemeritah Provinsi NTT telah membentuk
pos

komando
untuk
memantau
pencemaran Laut Timor itu. Langkah
pertama yang dilakukan adalah memantau
biota di garis perbatasan laut. Tim ini
melibatkan Dinas Perhubungan, Dinas
Perikanan dan Kelautan, serta Pangkalan
Utama TNI-AL Kupang. “Tim itu sudah
menyisir perairan Kolbano dan Nunkolo,

Kabupaten TTS, dan perairan Rote yang
berbatasan langsung dengan Australia,”
kata Gubernur NTT, Frans Lebu Raya.
Instansi terkait, seperti Dinas Kesehatan,
juga diinstruksikan untuk memeriksa
warga yang kena penyakit yang diduga
sebagai dampak tumpahan minyak itu.
Di Australia, masalah ini menjadi tema
utama perdebatan di gedung parlemen di

Canberra. Juru bicara PTTEP Australasia,
Mike Groves, awalnya mengatakan bahwa
tumpahan minyak itu hanya sepanjang 15
kilometer dan melebar hingga 30 meter.
Namun klaim ini dinilai terlalu
mengecilkan. Sebab AMSA mencatat,
pada hari ke-10, tumpahan minyak
melebar hingga 6.000 kilometer persegi.
Senator Rachel Siewart dan Ketua Partai
Hijau di parlemen, Senator Bob Brown,
meminta PTTEP Australasia secara
transparan melaporkan akibatnya dan
melakukan langkah-langkah yang cepat.
Pakar
geologi
Andang
Bachtiar
menyatakan
bahwa
pencemaran

lingkungan tidak terhindarkan, karena
ratusan ribu barel minyak menumpahi
lautan. Untuk mengatasinya, sumur itu
harus dimatikan, yakni menutupnya
dengan lumpur atau semen melalui
pengeboran samping. Ini bukanlah
pekerjaan mudah. Prosesnya butuh waktu
setidaknya empat bulan. Bila situasinya
lebih sulit, proses ini bisa makan waktu
bertahun-tahun.
Pemerintah Australia telah menempatkan
drilling rig tambahan milik West Triton
Australia di dekat Montara Well Head
Platform, untuk melakukan pengeboran
relief well yang akan memotong original
well pada kedalaman 2,6 kilometer di
bawah permukaan laut dan melakukan
injeksi heavy mud. Aksi ini dimulai pada
14 September dan selesai pada 8 Oktober.
Mujib Rahman, Antonius Un Taolin,
dan Syamsul Hidayat

BAB I
IDENTIFIKASI MASALAH

Peristiwa meledaknya instalasi pengeboran minyak The Montara Well Head Platform,
milik Australia ini, menyebabkan penumpahan minyak yang melebar hingga mencapai
kawasan perairan Indonesia sehingga pencemaran laut tak terhindarkan lagi. Lokasi ladang
minyak yang berada di Blok West Atlas ini itu berjarak sekitar 690 kilometer sebelah barat
Darwin dan 250 kilometer di barat laut Truscott, Australia Barat. Akibatnya, pencemaran ini
menimbulkan berbagai permasalahan baik bagi pemerintah Australia maupun Indonesia
khususnya warga di Nusa Tenggara Timur yaitu warga yang terkena dampak dari tumpahan
minyak tersebut. Salah satu akibatnya adalah bahwa pencemaran tersebut telah menimbulkan
kerugian terhadap aktivitas nelayan karena banyak ikan yang mati sehingga nelayan tidak
mendapatkan penghasilan. Pencemaran ini sekaligus juga menggangggu kehidupan biotabiota laut baik ikan, terumbu karang, maupun hutan mangrove yang ada didalam kawasan
perairan indonesia. Selain itu warga disekitar perairan yang tercemar juga ikut menanggung
kerugian karena banyak nelayan yang terkena diare akibat memakan hasil ikan yang sudah
tercemar oleh tumpahan minyak tersebut, sehingga para wargapun tidak bisa melakukan
aktivitasnya seperti biasa.
Dalam menanggulangi masalah ini, pemerintah Australia maupun Indonesia memiliki
hak dan kewajiban masing-masing yang harus dilakukan. Pemerintah indonesia berhak untuk
mendapat ganti kerugian karena dampak pencemaran tersebut dapat menghambat dan
mengurangi hasil perekonomian negara sedangkan kewajiban pemerintah Indonesia adalah
melakukan upaya hukum yang tegas untuk melindungi warga negara Indonesia yang terkena
dampak pencemaran tersebut. Pemerintah Australia pun juga mempunyai hak dan kewajiban
yang sama. Hak pemerintah Australia adalah melakukan klarifikasi, pembenaran, maupun
penyangkalan apakah tumpahan minyak tersebut benar-benar mencemari perairan Indonesia
atau tidak. Dan apabila pencemaran tersebut benar-benar terbukti, maka secara otomatis
pihak pemerintah Australia berkewajiban mengganti kerugian sesuai dengan dampak yang
ditimbulkan.
Untuk menanggulangi permasalahan ini, pemerintah Indonesia memiliki kewenangan
hukum untuk melakukan langkah-langkah diplomatik dengan pemerintah Australia. Langkah-

langkah yang ditempuh dapat melalui teguran terlebih dahulu, kemudian dapat melalui
perjanjian, dan jika masih belum adanya tanggapan, maka dapat melakukan gugatan dan
penuntutan terhadap Mahkamah Internasional. Sebelumnya, pemerintah Australia masih
terikat perjanjian bilateral dengan pemerintah Indonesia tentang pencegahan dan
penanggulangan tumpahan minyak yang ditandatangani pada 3 Oktober 1996 Dalam
perjanjian ini disebutkan, negara itu harus melakukan upaya pembersihan bila pengeboran
minyaknya di Laut Timor mengalami kecelakaan.
Pihak Australia juga telah melakukan beberapa cara untuk menanggulangi
pencemaran ini, aksi pertama Australia adalah melepas tiga kapal oil containment recovery
dan menyemprotkan dispersant melalui udara. Dispersant ini punya berat jenis tinggi,
sehingga akan mengikat minyak mentah dan membuatnya tenggelam Tetapi banyak kalangan
yang memasalahkan cara penanganan yang dilakukan Australia. Semprotan dispersant itu
punya efek menenggelamkan minyak mentah ke dasar laut. Langkah ini mungkin saja
menyelamatkan ikan permukaan dan burung-burung, tapi akan membahayakan ikan dan biota
laut yang ada di kedalaman dan terumbu karang. Ilmuwan Australia, Jamie Oliver,
menyayangkan langkah itu dan menilainya sebagai pemecahan masalah yang memunculkan
masalah baru. Oleh karena itu, pihak pemerintah Indonesia harus menanggapi masalah ini
secara serius dan menuntut pertanggung jawaban negara kepada pihak Australia. Kalau
memang mungkin, seluruh perjanjian RI-Australia yang dibuat di Laut Timor sejak 19711997 harus dibatalkan, karena perjanjian ini hanya menguntungkan pihak Australia saja.

BAB II
PERMASALAHAN

Dewasa ini dengan semakin majunya teknologi serta meningkatnya kegiatan-kegiatan
ekonomi yang terkait di dalamnya penggunaan lingkungan-lingkungan secara langsung
ataupun tidak langsung telah membuat masyarakat semakin peka terhadap adanya perusakan
lingkungan yang berdampak merugikan terhadap negara lainnya. Karenanya pula dalam hal
timbulnya kerugian terhadap negara lain, tanggung jawab negara ini lahir. Di samping itu
penghormatan terhadap hak-hak orang lain menjadi semakin penting didasarkan pada adanya
prinsip kedaulatan negara dan prinsip hormat-menghormati wilayah negara lain.
Seperti contoh artikel yang telah kami bahas sebelumnya menunjukkan bahwa kasus
penumpahan minyak tersebut berhubungan dengan lahirnya tanggung jawab Negara yang
berkenaan dengan lingkungan. Hal ini telah ditetapkan dalam pasal 194 ayat (2) Konvensi
Hukum Laut tahun 1982, yang isinya menyebutkan bahwa negara-negara harus mengambil
segala tindakan yang perlu untuk menjamin agar kegiatan-kegiatan yang berada di bawah
juridiksi atau pengawasan mereka dilakukan dengan cara sedemikian rupa, sehingga tidak
mencemari wilayah negara lain atau lingkungannya. Pasal ini menetapkan pula agar
pencemaran yang timbul dari tindakan dan kegiatan di wilayah juridiksi atau pengawasannya
tidak menyebar ke daerah-daerah yang ada di bawah pelaksanaan hak-hak kedaulatan
mereka. Dengan adanya pasal yang telah ditentukan ini, pemerintah Australia seharusnya
bertanggung jawab dengan melakukan berbagai tindakan pencegahan dan pananggulangan
yang efektif agar penumpahan minyak tersebut tidak menyebar ke daerah-daerah yang lain
dan mengganti kerugian sesuai dengan dampak yang ditimbulkan. Tetapi yang kita tahu,
pemerintah Australia masih melakukan penyemprotkan dispersant melalui udara yang
mempunyai efek menenggelamkan minyak mentah ke dasar laut. Langkah ini mungkin saja
menyelamatkan ikan permukaan dan burung-burung, tapi akan membahayakan ikan dan biota
laut yang ada di kedalaman dan terumbu karang. Sehingga penanganan ini tidak
menyelesaikan permasalahan tetapi malah menimbulkan permasalahan yang baru. Jadi,
diperlukan suatu bentuk-bentuk pertanggungjawaban yang lebih efektif yang seharusnya
dilakukan pemerintah Australia terhadap permasalahan pencemaran minyak ini baik berupa
ganti kerugian maupun penyelesaian sengketa sesuai dengan prinsip-prinsip hukum
internasional yang berlaku.

BAB III
PEMBAHASAN

A. Latar Belakang adanya Tanggung Jawab Negara
Latar belakang timbulnya tanggung jawab negara dalam hukum internasional yaitu
bahwa tidak ada satu negara pun yang dapat menikmati hak-haknya tanpa menghormati hakhak negara lain. Tanggung jawab negara dalam hukum internasional merujuk pada
pertanggung jawaban antara suatu negara terhadap negara yang lain, akan ketidaktaatanya
memenuhi kewajiban yang di tentukan oleh sistem hukum internasional. Suatu negara dapat
meminta pertanggungjawaban kerugian bagi negara tergugat itu sendiri. Seperti misalnya,
pelanggaran kewajiban perjanjian atau bagi kerugian terhadap warga negara, Negara tergugat
atau hak milik mereka. Negara tidak dapat menghindarkan diri dari tanggungjawab dengan
meminta baik pengaturan ataupun penghapusan UU domestiknya.
Tanggung jawab negara merupakan prinsip fundamental (dasar) hukum internasional.
Seperti dikemukakan Shaw.yang menjadi karakteristik penting adanya tanggung jawab
negara ini bergantung pada faktor-faktor dasar berikut ini, yaitu: Pertama, adanya suatu
kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua negara tertentu. Kedua, adanya suatu
kelalaian atau perbuatan yang melanggar kewajiban hukum internasional tersebut yang
melahirkan tanggung jawab negara,dan Ketiga, adanya kerusakan atau kerugian sebagai
akibat adanya tindakan yang melanggar hukum atau kelalaian
B. Aturan Pertanggung jawaban Negara
Hukum Internasional mengenal dua macam aturan, primary rules dan secondary
rules. Primary rules merupakan seperangkat aturan internasional yang mendefinisikan hak
dan kewajiban Negara, yang tertuang dalam bentuk traktat, hukum kebiasaan internasional
dan instrument lainnya. Secondary rules adalah seperangkat aturan yang mendefinisikan
kapan, bagaimana dan apa akibat hukum apabila primary rules itu dilanggar oleh Negara.
Secondary rules inilah yang disebut dengan The Law of State Responsibility, diadopsi oleh

International Law Commission dalam sesinya yang ke 53, tahun 2001 lalu. Jadi, Negara dapat
saja dimintai pertanggungjawabannya atas tindakan-tindakan Private Persons. Walaupun
individu-individu ini bukanlah organ atau pejabat Negara, Namun, apabila tindakantindakannya dibarengi oleh serangkaian kealpaan dari Negara, maka, Negara dapat dimintai
pertanggungjawabannya
Dalam putusan pengadilan oleh hakim Huber menegaskan bahwa tanggung jawab ini
merupukan konsekuensi logis dari adanya suatu hak. Hak-hak yang mempunyai sifat
internasional tersangkut didalamnya tanggung jawab internasional. Tnggung jawab ini
melahirkan kewajiban untuk mengganti kerugian manakala suatu negara tidak memenuhi
kewajibannya. Dalam kasus ini, pemerintah australia dianggap bertanggung jawab terhadap
pencemaran laut akibat tumpahan minyak Australia di Laut Timor. Sehingga perlu adanya
pendefinisian ganti kerugian menurut hukum Internasional yang berlaku
C. Ganti Kerugian
Penggantian kerugian yang pantas (appropriate compensation) dapat dilakukan
dengan 3 hal yaitu Adequate, Prompt, and Effective. Adequate (memadai) berarti bahwa
jumlah ganti ruginya adalah mempunyai nilai yang sama dengan usahanya, ditambah dengan
bunganya sampai keputusan pengadilan dikeluarkan.. Prompt (cepat) berarti pembayaran
dilakukan dalam cash / tunai yang dibayarkan secepat mungkin. Effective, berarti bahwa
pihak yang menerima pembayaran tersebut harus dapat memanfaatkannya dengan baik.
Menurut Schwarenberger, kompensasi (ganti rugi) dapat berupa monetary
compensation (ganti rugi dalam bentuk sejumlah uang), atau berupa satisfaction (kepuasan),
yaitu ganti rugi dalam bentuk, misalnya saja, permintaan maaf yang biasanya dimintakan
untuk kerugian-kerugian non-material atau moral (kepribadian) suatu Negara. Monetary
Compensation dapat terdiri dari:
a. Penggantian biaya pada waktu keputusan pengadilan dikeluarkan, meskipun jumlah
penggantian tersebut menjadi lebih besar dari nilai pada waktu perbuatan melawan
hukum oleh Negara lain terjadi.
b. Kerugian tak langsung (indirect damages). Sepanjang kerugian ini mempunyai kaitan
yang langsung dengan tindakan tidak sah tersebut

c. Hilangnya keuntungan yang diharapkan, sepanjang keuntungan tersebut mungkin
dalam situasi atau perkembangan yang normal
d. Pembayaran terhadap kerugianatas bunga yang hilang karena adanya tindakan
melawan hokum.
Brownlie mendefinisikan satisfaction ini adalah setiap upaya yang dilakukan oleh si
pelanggar suatu kewajiban untuk mengganti kerugian menurut hukum kebiasaan atau suatu
perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang bersangkutan, yang bukan berupa restitution
(restituti/pemulihan) atau compensation. Misalnya, permohonan maaf dan penyesalan,
pengiriman tubuh jenazah, jika memang ada korban meninggal,menghukum orang yang
melakukan pembunuhan, dll. Pembayaran ganti rugi dapat juga diberikan untuk kerugian
nonmaterial. Misalnya saja ganti ruginya tidak didasarkan kepada nilai kerugian yang
ditanggung, tetapi semata-mata karena adanya penghinaan (indignity).
D. Penyelesaian Sengketa
Dalam penyelesaian sengketa masalah ini, diperlukan beberapa teori yang mendasari.
Diantaranya adalah adanya Teori Kesalahan. Sehubungan dengan pembahasan tentang
tanggung jawab Negara yang dikaitkan dengan teori kesalahan, maka dalam doktrin Hukum
Internasional terdapat dua teori tentang kesalahan Negara yang membahas tentang apakah
tanggung jawab Negara terhadap tindakannya yang melanggar hukum atau kelalaiannya itu
mutlak atau apakah perlu adanya pembuktian kesalahan atau nilai/kehendak dari tindakan
pejabat atau agen Negara.
Teori pertama, yaitu teori obyektif atau disebut juga teori resiko. Menurut teori ini,
tanggung jawab Negara adalah mutlak (strict). Menurut teori ini, jika seorang pejabat atau
agen Negara telah melakukan tindakan yang mengakibatkan kerugian terhadap orang lain,
maka negaranya bertanggung jawab menurut Hukum Inetrnasional tanpa dibuktikan apakah
tindakan tersebut dilaksanakan dengan maksud baik atau jahat. Teori kedua adalah teori
subjektif atau teori kesalahan. Menurut teori ini tanggung jawab Negara ditentukan oleh
adanya unsur kesalahan (dolus) atau kelalaian (culpa) pada poejabat atau agen Negara yang
bersangkutan.
Selain itu, sebelum lahirnya tanggung jawab ini, hokum kebiasaan internasional
menetapkan bahwa sebelum diajukannya klaim/tuntutan ke pengadilan internasional,

langkah-langkah penyelesaian sengketa (local remediesI yang tersedia atau yang diberikan
oleh Negara tersebut harus terlebih dahulu ditempuh (exhausted). Tindakan ini dilakukan
baik untuk memberikan kesempatan kepada Negara itu untuk memperbaiki kesalahannya
menurut sistem hukumnya dan untuk mengurangi tuntutan-tuntutan internasional. Ketentuan
Local remedies ini tidak berlaku manakala suatu Negara telah bersalah terhadap pelanggaran
langsung hukum internasional yang menyebabkan kerugian terhadap Negara lainnya.
Menurut hasil penelitian Starke, terdapat prinsip-prinsip diterapkannya local
remedies, antara lain:
a. Suatu upaya penyelesaian setempat (local remedies) dianggap tidak cukup dan
tidak perlu dipergunakan jika pengadilan setempat tampaknya tidak menunjukkan
akan memberikan ganti kerugian.
b. Seortang penuntut tidak perlu melakukan penyelesaian setempat manakala upaya
tersebut tidak ada
c. Apabila

kerugian

tersebut

disebabkan

oleh

tindakan-tindakan

eksekutif

pemerintah setempat yang tidak tunduk kepada juridiksinya pengadilan setempat.
d. Negara-negara dapat menyatakan bahwa upaya penyelesaian setempat dapat
diindahkan, meskipun tidaklah jelas apakah suatu perjanjian yang dibuat di antara
Negara-negara yang bersengketa untuk membawa kasusnya diselesaikan melalui
arbitrase merupakan pengindahan local remedies secara diam-diam.

DAFTAR PUSTAKA
Adolf, Huala. 1991, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional. Jakarta: CV. Rajawali
Wallace, Rebecca M.M.. 1986, Hukum Internasional. Semarang: IKIP Semarang Press.

TANGGUNG JAWAB NEGARA
Disusun Oleh :
Kelompok 3
1. Pingky Sapta A.S

(0810110050)

2. Rahmat Januartono

(0810110053)

3. Farida Charolina

(0810110128)

4. Gradhin Renita L.

(0810110137)

5. Hasibatul Isniar S.P.S (0810110139)

Kelas : A

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2009