Perampasan dan Pengabaian Hak Rakyat ata

Perampasan dan Pengabaian Hak-Hak Rakyat
Atas Ruang dan Lingkungan Hidup di Jawa Barat1
Oleh Dadan Ramdan2

Krisis perampasan ‘Ruang Hidup’ (baca: ekologi) rakyat di Tatar Pasundan (Jawa Barat)
semakin memprihatinkan dan menambah catatan sejarah buruknya perlindungan dan penegakan
keadilan atas ruang dan lingkungan hidup. Krisis perampasan ruang hidup yang terjadi merupakan
kelanjutan dari tragedi perampasan ruang hidup rakyat sebelumnya yang belum terselesaikan.
Krisis ekologi ini dipastikan akan berdampak pada berkurangnya daya dukung dan tampung
lingkungan hidup, sekaligus mengancam pada keselamatan dan pengabaian hak-hak rakyat dari
sisi ekonomi, sosial, lingkungan dan budaya di bumi Jawa Barat.
Konsepsi Pemajuan Hak Dasar Rakyat atas “ Ruang Hidup “
Sebagaimana kita ketahui bersama, pijakan negara atas jaminan perlindungan hak-hak
rakyat sudah diatur dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 dan konstitusi Hak Asasi
Manusia. Perlindungan dan pemenuhan hak dasar rakyat sudah tegas diamanatkan UndangUndang Dasar 1945 Amandemen IV diantaranya dalam pasal-pasal berikut :
Pasal 28A mengatakan Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya.
Pasal 28B mengatakan, (1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah.
(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Pasal 28C mengatakan (1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi,
seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk
membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.

Dalam konteks perlindungan ruang hidup dan agraria, minimalnya ada lima UndangUndang yang menjadi pijakan negara dalam memenuhi dan menjamin hak asasi manusia baik sipil
politik maupun ekonomi, sosial dan budaya. Undang-Undang yang dimaksud diantaranya yaitu
Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No 11 tahun
2005 tentang kovenan internasional tentang hak ekonomi, sosial dan budaya, Undang-Undang No
26 Tahun 2007 tentang penataan ruang, Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999 Pasal 9 mengatakan :
(1) Setiap orang berhak untuk hidup, dan mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf
kehidupannya.
(2) Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.
(3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan hidup pasal 65 mengatakan :

(1) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi
manusia.

1

Catatan Kritis atas Krisis Perampasan Ruang Hidup dan Perlindungan Hak Atas Ruang dan Lingkungan Hidup di Jawa
Barat
2
Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat Periode 2011-2015

(2) Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses
partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
(3) Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau
kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup.
(4) Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(5) Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan
ingkungan hidup.
Pasal 66 bahkan secara tegas mengatakan bahwa Setiap orang yang memperjuangkan
hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun

digugat secara perdata.
Dalam Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang pasal 60 mengatakan
bahwa
Dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk:
a. mengetahui rencana tata ruang;
b. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang;
c. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan
pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang;
d. mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang di wilayahnya;
e. mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai
dengan
rencana tata ruang kepada pejabat berwenang; dan f. mengajukan gugatan ganti kerugian
kepada
pemerintah dan/atau pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang menimbulkan kerugian.
Dalam Undang Undang No 11 tahun 2005 memuat jaminan hak-hak warga negara
diantaranya:
1) Hak atas pekerjaan;
2) Hak mendapatkan program-program pelatihan teknis dan vokasional;

3) Hak untuk mendapatkan kenyamanan dan kondisi kerja yang baik;
4) Hak untuk membentuk serikat buruh;
5) Hak untuk menikmati jaminan sosial, termasuk asuransi sosial;
6) Hak untuk menikmati perlindungan pada saat dan setelah melahirkan;
7) Hak atas standar hidup layak, termasuk pangan, sandang, dan perumahan;
8) Hak untuk terbebas dari kelaparan;
9) Hak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tinggi;
10)Hak atas pendidikan, termasuk pendidikan dasar secara cuma-cuma;
11)Hak untuk berperan serta dalam kehidupan budaya dan menikmati keuntungan dari kemajuan
ilmu pengetahuan dan aplikasinya.
Selain pijakan di atas, Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang UUPA menjelaskan secara
pasti bagaimana negara harus menjamin pemenuhan hak rakyat secara ekonomi dan sosial seperti
air, tanah dan ruang angkasa secara adil dan berkelanjutan.
Fenomena Krisis “Ruang Hidup” Rakyat Jawa Barat
Fenomena krisis ‘Ruang Hidup “ di Jawa Barat dapat kita periksa dari beragam kasus ruang
dan lingkungan hidup yang setiap hari muncul baik yang terpublikasikan maupun yang tidak
terpublikasikan di media massa. Dari catatan WALHI Jawa Barat, setiap media dalam sehari
mempublikasikan minimalnya sekitar lima kasus lingkungan hidup/ruang hidup. Jika
diakumulasikan maka sepanjang tahun 2011 diperkirakan sekitar 10.800-an kasus lingkungan


hidup terjadi di kawasan bioregional Tatar Pasundan. Fenomena krisis ekologi mengemuka di
beberapa sektor penting diantaranya kehutanan, pertambangan, persampahan/limbah, penataan
ruang, sumber daya air dan wilayah kelola pesisir dan laut baik utara maupun selatan Jawa Barat.
Di sektor kehutanan, krisis ekologis dapat di tunjukan dengan semakin kritisnya ekologi
hutan baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Secara kualititatif, alih fungsi kawasan hutan baik
di kawasan konservasi, lindung dan produksi semakin marak terjadi dan mengancam
keberlangsungan keanekaragaman hayati, mengurangi pasokan ketersediaan air, longsor dan
banjir di musim penghujan. Berdasarkan laporan dari Kementrian Lingkungan Hidup Indonesia,
Indek Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) dari aspek tutupan hutan di Jawa Barat bernilai 38,69,
berada dalam indeks kualitas yang sangat rendah.
Secara kuantitatif, berdasarkan catatan WALHI Jawa Barat, praktik alih fungsi kawasan
hutan hingga tahun 2011 terakumulasi sekitar 95.000 hektar atau 10% dari total kawasan hutan
negara di Jawa Barat. Artinya jika rata-rata tegakan dalam 1 Ha adalah 1000 pohon maka sekitar
95 juta pohon lenyap dari hutan. Alih fungsi sebagian besar terjadi di kawasan hutan yang dikelola
oleh Perhutani melalui skema kerjasama operasional (KSO) dan pinjam pakai kawasan. Kegiatan
pertambangan mineral dan panas bumi baik terbuka maupun tertutup, wanawisata, pertanian
massal dan pembangunan infrastruktur menjadi penyumbang utama kerusakan hutan.
Sementara, berdasarkan data dari BPLHD Jawa Barat tahun 2010 saja sekitar 515.000 Ha kondisi
hutan masih berada dalam kondisi kritis dan belum terpulihkan.
Di samping itu, pendapatan negara dari sektor kehutanan di Jawa Barat belum secara

terbuka menjadi informasi publik. Kegiatan alih fungsi kawasan hutan menjadi pertambangan,
wanawisata, dan jenis usaha lainya menyimpan potensi korupsi dan kerugian negara yang cukup
besar. Berdasarkan kajian WALHI Jawa Barat, dari sekitar 18 perusahaan tambang di kabupaten
Bogor diperkirakan pendapatan sektor kehutanan yang dihasilkan sekitar Rp 78 milyar selama 5
tahun, artinya dari satu perusahaan potensi pendapatan negara bisa mencapai rata-rata 4 Milyar
dalam setahun.
Berdasarkan data yang dimiliki WALHI Jabar, tercatat sekitar 790 KSO dan pinjam pakai
kawasan hutan yang dilakukan oleh Perum Perhutani di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) di 15
Kabupaten/Kota di Jawa Barat dalam rentang 2007-2012. Artinya potensi pendapatan dari KSO
dan pinjam pakai kawasan jika diakumulasi rata-rata bisa mencapai Rp 3.160 milyar atau Rp 3,16
Trilyun. Bisa dipastikan betapa besarnya pendapatan dari sejumlah KSO dan pinjam pakai kawasan
hutan yang dikelola Perum Perhutani serta kerjasama-kerjasama yang dilakukan BBKSDA dan
Dinas Kehutanan di Jawa Barat.
Krisis ekologi di sektor pertambangan hingga akhir 2011, dapat ditunjukan dengan semakin
meluasnya praktik pertambangan galian pasir mencapai sekitar 25.000 ha, pertambangan mineral
galena, emas, mangan, karst dll mencapai sekitar 156.000 ha, pertambangan panas bumi di
wilayah hutan konservasi, lindung dan produksi yang mencapai sekitar 1200 ha serta peningkatan
kegiatan penambangan pasir besi yang terindikasi ilegal di selatan Jawa barat yang mencapai
3000-an ha.
Di sektor tata ruang, alih fungsi ruang dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya

semakin meluas seiring dengan pembangunan infrastruktur, pemukiman, perdagangan, hotel,
mall, jalan, bandara, waduk, PLTN dan sarana fisik lainnya. Perluasan perkebunan sawit juga
semakin meningkat dan dipastikan mengurangi luasan lahan konservasi /resapan di Jawa Barat.
Pembangunan yang membabi buta menjadi pemicu konversi lahan secara besar-besaran.
Di sektor persampahan, produksi limbah domestik dan industri semakin bertambah.
Tingkat konsumsi sekitar 44 juta rakyat Jawa Barat yang semakin besar akan berdampak pada
peningkatan produksi sampah domestik. Rata-rata produksi sampah tiap kabupaten/kota di Jawa
Barat sekitar 5 Juta liter/hari, berarti dalam setahun ini, volume sampah di Jawa Barat sekitar 130
Juta liter/perhari, jika diakumulasi dalam setahun maka sekitar 47.320 Juta liter/hari sampah
dihasilkan. Sedangkan yang bisa ditangani dengan baik hanya sekitar 20% dari total volume

sampah yang dihasilkan. Permasalahan tata kelola sampah komunal di Tempat Pembuangan Akhir
(TPA) dilakukan oleh propinsi dan kabupaten/kota di Jawa Barat juga masih buruk dan belum
terkelola sesuai dengan manajemen pengelolaan sampah yang lebih memperhatikan lingkungan
hidup dan keselamatan rakyat.
Selain sampah rumah tangga, produksi limbah cair, padat dan uap/gas dari pabrik /industri
juga semakin meningkat seiring dengan meningkatnya perkembangan industri di Jawa Barat.
Sekitar 93% emisi pencemar dihasilkan oleh kegiatan industri. Berdasarkan data Dinas ESDM
sekitar 226 perusahaan yang tersebar di 10 Kabupaten/Kota memakai dan memproduksi limbah
batu bara. Diperkirakan pada tahun ini, limbah batubara yang dihasilkan mencapai 3,5 juta ton,

meningkat dari tahun 2009 yang mencapai 3,29 ton. Kemudian, limbah cair dan gas yang
dihasilkan industri dan gas kendaraan bermotor dipastikan semakin meningkat. Peningkatan
jumlah kendaraan bermotor hingga tahun 2011 mencapai 5,8 Juta unit menjadi penyumbang
emisi dan pencemaran udara yang signifikan.
Di sektor sumber daya air yang memiliki kaitan dengan kualitas daerah aliran sungai di
Jawa Barat menunjukan kondisi yang memprihatinkan. Keseluruhan DAS di Jawa Barat berada
dalam kondisi kritis baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Secara kuantitatif sekitar 60%-80%
DAS penting (Citarum, Ciujung, Cisadane, Citanduy, Cimanuk, Ciwulan, Cisanggarung dll) berada
dalam situasi kritis. Berdasarkan laporan KLH, indeks kualitas air di Jawa Barat pada tahun 20092010 sekitar 15,33 berada di peringkat terendah diantara 33 propinsi di Indonesia. Dipastikan
angka ini tidak akan mengalami kenaikan malah sebaliknya akan mengalami penurunan seiring
dengan eksploitasi sumber daya air di Jawa Barat.
Fenomena krisis ekologis juga terjadi di wilayah pesisir dan laut baik utara maupun selatan
Jawa Barat. Di pesisir utara, alih fungsi kawasan mangrove, abrasi dan rob adalah fenomena krisis
ekologi yang belum terpulihkan. Kemudian, di pesisir selatan Jawa Barat, pembangunan
infrastruktur dan meluasnya aktivitas pertambangan pasir besi di pesisir selatan akan mengancam
tatanan ekologi sekitar 5840 ha wilayah pesisir dan laut selatan Jawa Barat. Keluarnya Surat
Edaran Gubernur tentang Moratorium Ijin Penambangan Pasir Besi tidak menjadi kekuatan hukum
pengendalian dan cenderung diabaikan oleh pemerintahan kabupaten di Jabar Selatan, Tim
Terpadu Pengendalian Penambangan Pasir Besi pun belum memberikan kontribusi dalam
menjalankan pengawasannya. Krisis di wilayah pesisir dan laut dipastikan akan mengancam

keberlangsungan perikanan dan kelautan dan keberlanjutan keselamatan kehidupan kaum
nelayan Jawa Barat.
.
Ancaman Krisis Perampasan “Ruang Hidup” Rakyat
Melihat fenomena dan kasus yang muncul, maka krisis ekologi atau perampasan ruang
hidup di Jawa Barat merupakan ancaman dan dipastikan akan menimbulkan dampak bagi
keberlanjutan kualitas kehidupan manusia secara ekologis, ekonomi, sosial dan budaya rakyat.
Ancaman krisis yang dimaksuda diantaranya :
Pertama, bencana ekologi disertai bencana alam yang akan mengancam keselamatan
kehidupan sekitar 44 juta rakyat Jawa Barat. Dampak bencana ekologis ini dapat ditunjukkan
dengan krisis rawan pangan karena gagal panen, kekeringan di musim kemarau, terbatasnya
ketersediaan air bersih untuk kebutuhan rumah tangga, peningkatan emisi, keterbatasan lahan,
terancamnya ketersedian perumahan, sandang dan keberlanjutan kesehatan, kemiskinan dan
berujung malapetaka kematian.
Dari catatan WALHI Jawa Barat sepanjang tahun 2011, beragam bencana alam dan ekologi
telah menewaskan sekitar 120 jiwa sedangkan frekuensi kejadian beragam bencana mencapai
2032 kali kejadian. Contoh kasus di Kabupaten Bogor misalnya, sejak Januari hingga Desember
2011, sebanyak 44 orang meninggal dunia. Sedangkan jumlah bencana di Bogor yang tercatat
sebanyak 332 kali. Krisis juga diperparah dengan pembiaran dan penelantaran pemerintah
propinsi dan kabupaten/kota terhadap warga korban beragam bencana (longsor, banjir, bajir


bandang, rob dll) yang tengah menjerit-jerit dan membutuhkan perlindungan. Kasus banjir di Jawa
Barat meluas hingga 14 kabupaten/kota.
Kedua, krisis ekologi telah berdampak pada semakin meluasnya sengketa dan perampasan
ruang hidup, agraria dan lingkungan hidup. Dari catatan WALHI Jawa Barat, sepanjang tahun 2011,
rata-rata sengketa lingkungan hidup dan konflik sumberdaya alam di setiap kabupaten/kota di
Jawa Barat mencapai 30-an kasus. Jika diakumulasi maka diperkirakan sekitar 720 kasus
sengketa/konflik ruang dan lingkungan hidup terjadi di tahun 2011. Hampir sekitar 80%, konflik
ruang dan lingkungan hidup memiliki kaitan erat dengan konflik agraria/pertanahan. Perkawinan
sengketa ruang agraria dan lingkungan hidup terjadi di seluruh kawasan bioregional Cekungan
Bandung, Ciayumajakuning, Purwasuka, Priangan Timur dan Pangandaran, Bodebekpunjur dan
wilayah Sukabumi dan sekitarnya.
Ketiga, ancaman konflik dan perampasan“ruang hidup” ekologi adalah terjadinya
kriminalisasi terhadap warga/rakyat sebagai korban. Dalam kebanyakan kasus dan sengketa ruang
dan lingkungan hidup yang ada, warga sebagai pihak korban harus berhadapan langsung dengan
pengusaha dan pemerintah di pihak lainnya. Ancaman kriminalisasi diawali dengan tindakan
represif, intimidasi, intervensi dari aparatus negara dan pihak pemodal/pengembang usaha
terhadap warga yang memperjuang lingkungan hidup yang sehat. Berdasarkan catatan WALHI
Jawa Barat, sekitar 18 orang telah menjadi korban kriminalisasi di tahun 2011. Berdasarkan
laporan dari LBH Bandung, tercatat sekitar 10 sengketa lingkungan yang berujung kriminalisasi

yang telah ditangani dari ratusan kasus sengketa perampasan ruang hidup yang ada.
Keempat, krisis ekologis juga secara kualitatif berdampak pada kualitas kesehatan manusia
itu sendiri. Kualitas kesehatan akan berpengaruh pada angka harapan hidup dan kematian
manusia. Ada korelasi yang nyata antara kualitas lingkungan hidup yang sehat dengan tingkat
harapan hidup manusia itu sendiri. Hal ini ditunjukan oleh meningkatnya kasus gizi buruk di
masyarakat yang berujung pada kematian.
Kelima, krisis ekologi berdampak pada konflik/sengketa sosial di masyarakat, selain
sengketa rakyat dengan pengusaha dan pengurus negara. Dari pengalaman penanganan kasus
ruang dan lingkungan hidup, konflik/sengketa sosial berupa pertengkaran antar keluarga,
tetangga, masyarakat, masyarakat adat di lokasi-lokasi yang berkasus. Bahkan konflik sosial di
masyarakat berujung kematian dan punahnya nilai-nilai kearifan lokal dan adat istiadat
masyarakat di seantero Tatar Pasundan
Faktor Utama Krisis Perampasan “Ruang Hidup”
Melihat fakta krisis ekologi yang terjadi, faktor utama krisis ekologi yang terjadi di Jawa
Barat tidak berbeda dengan kondisi sebelumnya, diantaranya:
Pertama, Persengkokolan penguasa negara dengan pengusaha/pemodal yang rakus dan
serakah di tingkat nasional dan daerah. Persengkongkolan ini dapat ditunjukan dengan adanya
produksi kebijakan pemerintah yang tidak memihak pada keadilan ekologi dan ruang hidup.
Produksi kebijakan pusat dan aturan di kementrian kehutanan, ESDM, Bappenas, pertanian,
perdagangan, industri serta pekerjaan umum yang secara terus menerus menjadi pemacu
terjadinya krisis perampasan ruang hidup dan ekologi di level lokal/daerah bahkan desa.
Produksi kebijakan ini ternyata tidak sejalan dengan konsepsi kebijakan Undang-Undang
Dasar 1945, UU tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU tentang Penataan
Ruang, Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang tentang Hak EKOSOB, dan
Undang-Undang tentang Ketentuan Peraturan Pokok-Pokok Agraria.
Produksi kebijakan di tingkat propinsi dan kabupaten/kota terus mengalir atas dalih
peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk kesejahteraan rakyat menjadi pemacu krisis
ekologi dalam bingkai otonomi daerah. Kebijakan otonomi daerah dijadikan alat keruk eksploitatif
sumber daya alam tanpa kendali kaidah lingkungan hidup seperti Kajian Lingkungan Hidup

Strategis (KLHS), Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), Rencana Pengelolaan
Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) dan nilai-nilai kearifan lokal.
Kebijakan RTRW bukan menjadi instrumen yang memberikan jaminan perlindungan ruang
dan lingkungan hidup, namun menjadi pintu masuk perijinan pembangunan dan pengrusakan
lingkungan hidup yang masif. Padahal, semua kabupaten/kota di Jawa Barat memiliki potensi
rawan dan rentan terjadinya beragam bencana ekologi.
Kedua, penegakan hukum dan pengawasan ruang dan lingkungan masih lemah yang
dijalankan aparatus negara. Indikasi lemahnya penegakan hukum ruang dan lingkungan dapat
ditunjukkan dengan lemahnya kapasitas PPNS dalam melakukan pengawasan dan penyidikan
kasus lingkungan hidup baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara kuantitatif, jumlah PPNS
rata-rata setiap kabupaten/kota hanya memiliki 3-4 orang. Secara kualitatif, PPNS juga memiliki
kapasitas yang rendah dari sisi komitmen, integritas dan kompetensi.
Kondisi yang sama juga dialami oleh institusi kepolisian dan pengadilan. Rendahnya
kapasitas penyidik kepolisian, kejaksaan dan kehakiman memahami secara komprehensif hukum
tata ruang dan lingkungan hidup menjadi indikasi penegakan hukum lingkungan tidak berjalan.
Dari catatan yang ada, dari 20 kasus pengrusakan ruang dan lingkungan yang dilakukan oleh
pengusaha/pemodal yang masuk ruang pengadilan, hanya 3 kasus yang dimenangkan di
persidangan. Situasi ini menunjukkan bahwa keadilan ruang dan lingkungan belum secara sejati
ditegakkan. Salah satu kasus yang mengerikan, ketika warga desa kampung Pangguh Desa
Ibun, pencari kayu bakar di hutan harus menjalani tahanan dan persidangan sementara negara
membiarkan ratusan pemodal/pengusaha yang melakukan pengrusakan lingkungan hidup
(pencemaran, pembabat hutan, pelanggar tata ruang) yang jelas-jelas melanggar tata ruang
dan lingkungan hidup tidak diseret ke pengadilan.
Ketiga, masih rendahnya alokasi anggaran sektor lingkungan hidup untuk memulihkan
krisis lingkungan hidup yang terjadi di daerah. Semisal di tahun 2011, APBD Propinsi Jawa Barat
hanya menganggarkan sekitar Rp 9 sampai 14 milyar atau hanya kisaran 1% dari total belanja
setiap tahun untuk pemulihan dan pengelolaan lingkungan. Di kabupaten/kota rata-rata belanja
untuk sektor lingkungan hidup hanya 2-3 milyar atau 0,6 sampai 1% dari total belanja. Jumlah
anggaran ini tidak sebanding dengan tingkat kerusakan dan potensi kerusakan lingkungan hidup
akibat eksploitasi sumber daya alam yang dijalankan. Sementara, tingkat realisasi anggaran di
tingkat daerahpun berkisar antara 75-80 persen, sehingga sisa anggaran rata-rata yang tidak
terserap sekitar 20 persen per tahun.
Keempat, belum terkelolanya aktivasi kesadaran dan partisipasi komunitas dan para pihak
yang berpartisipasi nyata dalam memperbaiki lingkungan hidup di Jawa Barat. Rendahnya upaya
pemajuan kesadaran dan partisipasi masyarakat merupakan faktor determinan yang berkontribusi
nyata dalam memajukan kualitas lingkungan hidup. Rendahnya kesadaran masyarakat akan ruang
dan lingkungan hidup disebabkan oleh terbatasnya akses informasi atas kebijakan perencanaan
ruang dan lingkungan hidup serta pengelolaan lingkungan di pelbagai sektor. Namun, meluasnya
praktik komunitas dan para pihak lainnya secara swadaya dalam melindungi ruang dan lingkungan
hidup menunjukkan perubahan positif yang bisa dikelola secara kolektif.
Agenda Pemulihan Hak Rakyat, Solusi Yang Harus dijalankan
Melihat konsepsi aturan pemenuhan hak atas ruang hidup yang dijelaskan sebelumnya,
begitu terang bahwa negara wajib menjamin pemenuhan hak dasar warga baik sipil politik
maupun ekonomi, sosial dan budaya rakyat Indonesia. Namun, pengalaman, realitas krisis
kehidupan yang menimpa rakyat justru tak sejalan dengan agenda perlindungan, pemajuan
keadilan dan pemenuhan hak-hak dasar rakyat yang menimpa sebagian besar rakyat di negeri ini,
begitu pun rakyat Jawa Barat.
Belajar dari pengalaman terjadinya krisis perampasan ruang hidup yang terjadi khususnya
di Jawa Barat, maka agenda pemulihan hak (dasar) rakyat harus segera dijalankan. Artinya

pengurus negara di semua level pemerintahan harus segera menjalankan agenda pemulihan hak
dasar rakyat dengan menjalankan dan mengoperasionalkan kerangka Konstitusi Negara dan
Kelima Undang-Undang yang memihak perlindungan dan pemajuan keadilan dan hak-hak dasar
rakyat secara utuh dan konsisten.
Pemerintahan dan Pemerintahan Daerah harus secara progresif menjalankan agenda
pemulihan dengan memproduksi kebijakan dan program pembangunan yang sejalan dengan
upaya pemenuhan hak-hak dasar warga. Menjalankan kebijakan pemulihan hak dasar rakyat
berarti bekerja untuk rakyat banyak, wujud kesetiaan dan kemanusiaan menuju keselamatan dan
kemakmuran.
Kekuasaan bukan alat penguasa untuk bersengkongkol dengan pengusaha atau pemodal
yang rakus dan serakah demi kepentingan pribadi atau sekelompok dan segolongan manusia.
Kekuasaan adalah ruang untuk menjalankan hukum tertinggi yaitu keselamatan dan kemakmuran
seperti yang diungkapkan Filsuf Cicero. Kesetiaan pada rakyat banyak dan tertindas adalah salah
satu tangga keberhasilan sebuah pemerintahan dan pemimpin yang adil adalah pemimpin yang
menghargai kemanusiaan.

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

GANGGUAN PICA(Studi Tentang Etiologi dan Kondisi Psikologis)

4 75 2