Strategi DPW Partai Nasdem Sumut Dalam Memperoleh Suara Pada Pemilu 2014

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Setelah mengalami 17 tahun reformasi, Indonesia berhasil melewati

sejumlah halangan serius. Pemilihan umum yang bebas dan adil telah berlangsung
empat kali (1999, 2004, 2009 dan 2014) keberadaan wakil militer yang ditunjuk
dalam parlemen telah ditiadakan dan konstitusi kita telah disesuaikan dengan
persyaratan demokrasi. Sejak pertama sekali diperkenalkannya pemahaman
bahwa demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat, perdebatan mengenai makna
dan lingkup demokrasi hampir tidak pernah berhenti, terutama kaitannya dengan
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.1
Terdapat bermacam-macam istilah demokrasi. Ada yang dinamakan
Demokrasi Konstitusional, Demokrasi, Demokrasi Rakyat, Demokrasi Sovyet,
Demokrasi Pancasila dan sebagainya. Demokrasi yang dianut di Indonesia, yaitu
demokrasi berdasarkan Pancasila, masih dalam tahap perkembangan dan
mengenai sifat-sifat dan ciri-cirinya terdapat pelbagai tafsiran dan pandangan.
Tetapi yang tidak dapat disangkal ialah bahwa beberapa nilai pokok dari

demokrasi konstitusional cukup jelas tersirat di dalam Undang-Undang Dasar
1945 yang belum diamandemen.2
Demokrasi sendiri diyakini tumbuh dan berkembang dalam peradaban
yunani yang dimulai dengan munculnya negara kota (polis). Secara etimologi

1
2

R. Dahl, Demokrasi dan Para Pengkritiknya , Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1992, Hal. 57.
Ibid ., Robeth Dahl, hal.58.

1

Universitas Sumatera Utara

berasal dari gabungan dua kata yang berasal dari yunani, yakni demos yang
berakti rakyat dan kratos/cratein yang berarti pemerintah. Atau secara ringkas
demokrasi diartikan sebagai bentuk pemerintahan rakyat.3
Perubahan-perubahan ini sebagai konsekuensi logis yang mesti terjadi
senada dengan nilai dan prinsip-prinsip dari sistem demokrasi yang telah dipilih

Indonesia sebagai pengganti sistem otoritarian melalui gerakan reformasi ditahun
1998. Derasnya arus demokrasi di tahun 1998 telah membawa Indonesia kepada
babak baru dalam konteks penyelenggaraan negara yang sesuai dengan nilai dan
prinsip sistem demokrasi, pemilihan umum ditahun 1999 yang dilaksanakan
melalui asas langsung sebagai awal pertanda implementasi demokrasi dalam
aspek hadirnya partisipasi publik dalam menentukan pemimpin.
Pemilihan umum adalah salah satu instrument dalam demokrasi untuk
menyalurkan pendapat warga negara yang dilakukan berdasarkan serangkaian
proses hukum. Salah satu syarat pemerintahan demokratis adalah pemilu yang
bebas, dalam demokrasi terdapat hard power dan soft power , yang mana hard
power itu merupakan lembaga negara yang terdiri dari eksekutif, legislatif dan
yudikatif. Sedangkan soft power salah satunya adalah diselenggarakannya pemilu.
Adapun tujuan pemilu itu adalah sebagai bentuk mewujudkan demokrasi dan
sebagai alat ukur legitimasi sebuah rezim dan individu.4
Partai Politik dilihat sebagai sebuah “autonomous Groups that make
nominations and contest elections in the hope of eventually gaining and exercise

control the personnel and policies of goverment” dalam konteks ini, mereka
melihat bahwa tujuan utama dibentuknya partai politik adalah mendapatkan
3

4

Eko Prasetyo, Demokrasi Tidak Untuk Rakyat, Yogyakarta , Ressist Book, 2005, hal. 9.
Rahman Arifin, Sistem Politik Indonesia , Surabaya: SIC. 2002, hal. 191.

2

Universitas Sumatera Utara

kekuasaan dan melakukan kontrol terhadap orang-orang yang duduk dalam
pemerintahan sekaligus kebijakannya, partai politik sangat terkait dengan
kekuasaannya untuk membentuk dan mengontrol kebijakan publik. Selain itu,
partai politik juga diharapkan untuk independen dari pengaruh pemerintah, hal ini
tentunya menyiratkan tujuan agar partai politik bisa mengkritisi setiap kebijakan
dan tidak tergantung pada pemerintah yang dikritisi.5
Partai politik pada dasarnya adalah satu subsistem demokrasi yang terdapat
didalam masyarakat, karena partai poltik itu sendiri adalah wadah yang dapat
digunakan oleh masyarakat untuk menyalurkan aspirasi politik mereka terhadap
pemerintah yang berkuasa. Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik
adalah suatu kelompok yang terorganisir, yang anggota-anggotanya memiliki

orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah
memperoleh kekuasaan politik dan melalui kekuasaan itu, melaksanakan
kebijakan-kebijakan mereka. Dalam pandangan Sigmund Neumann memberikan
defenisi sebagai berikut :
“Partai politik adalah organisasi artikulasi yang terdiri dari perilakuperilaku politik yang aktif dalam masyarakat yaitu mereka yang
memusatkan perhatiannya pada menguasai kekuasaan pemerintah dan
yang bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat dengan beberapa
kelompok lain yang memiliki pandangan yang berbeda-beda. Dengan
demikian partai politik merupakan perantara besar yang
menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideology sosial dengan
lembaga-lembaga pemerintah yang resmi dan yang mengaitkannya
dengan aksi politik didalam masyarakat politik yang lebih luas” 6
Adapun fungsi partai politik adalah bagi pemerintah partai politik
bertindak sebagai alat pendengar, sedangkan bagi masyarakat sebagai alat

5

6

Ibid.,Rahman Arifin.,hal.192.

Eko Prasetyo.,Op.,Cit., hal. 35.

3

Universitas Sumatera Utara

pengeras suara. Jadi peran sebuah partai politik sebagai jembatan sangatlah
penting karena disatu pihak kebijakan pemerintah perlu dijelaskan kepada semua
kelompok masyarakat dan pihak lain pemerintah harus tanggap terhadap tuntutan
masyarakat.
Selain itu partai politik juga mempunya fungsi sebagai sarana sosialisasi
politik. Sosialisasi politik adalah proses dimana seseorang memperoleh
pandangan orientasi dan nilai-nilai dari masyarakat dimana mereka berada.
Namun tidak dapat disangkal ada kalanya partai mengutamakan kepentingan
partai diatas kepentingan nasional. Loyalitas yang diajarkan adalah loyalitas
kepada partai yang melebihi loyalitas kepada negara.
Partai politik juga berfungsi sebagai sarana rekrutmen politik dimana
rekrutmen politik adalah proses melalui mana partai mencari anggota baru dan
mengajak orang yang berbakat untuk berpartisipasi dalam proses politik. Dan
terakhir partai politik juga berfungsi sebagai sarana pengatur konflik (conflict

manajement).

Ada 3 Teori yang mencoba menjelaskan asal usul partai politik, pertama
Teori kelembagaan yang melihat adanya hubungan antara parlemen awal dan
timbulnya partai poltik. Kedua teori situasi historik yang melihat timbulnya
paretai politik sebagai upaya sistem politik untuk mengatasi krisis yang timbul
dengan perubahan masyarakat secara luas. Ketiga, teori pembangunan yang
melihat partai politik sebagai sebuah produk modernisasi sosial ekonomi. 7
Selain

merekrut

didalam

tubuh

organisasi

partai


politik

perlu

dikembangkan sistem pendidikan dan kaderisasi kader-kadernya. Sistem

7

Ramlan Surbakti,Memahami Ilmu Politik, Jakarta : Kompas Gramedia, 2010, hal. 144.

4

Universitas Sumatera Utara

kaderisasi ini sangat penting mengingat perlu adanya transfer pengetahuan
(knowladge) politik, tidak hanya yang berkaitan dengan sejarah, misi, visi dan

strategi partai politik tetapi juga hal-hal yang terkaita dengan permasalahan
bangsa dan negara. Dalam sistem kaderisasi juga dapat dilakukan transfer
keterampilan dan keahlian berpolitik. Tugas utama yang diemban oleh partai

politik dalam hal ini adalah menghasilkan calon-calon pemimpin berkualitas
yang nantinya akan diadu dengan partai lain memalui mekanisme pemilu. Calon
pempon yang mampu menarik simpati dan perhatian masyarakat luas merupakan
aset yang berharga bagi partai politik, orang-orang memiliki potensi dan
kemampuan diberdayakan.
Sistem kaderiasasi perlu disertai dengan sistem transfaran yang
memberikan jaminan akses kepada semua kader yang meiliki potensi. Perlu juga
dimunculkan sistem persaingan yang sehat dan transfaran dalam tubuh organiasi
partai poltik, kader dan calon pemimpin harus dibiasakan dengan sistem
persaingan yang sehat dan transparan itu. Karena, dengan sistem persaingan yang
terbebas dari kolusi dan nepotisme inilah kaderisasi dapat melahirkan calon-calon
pemimpin berkualitas tinggi.8
Sejak reformasi partai-partai di Indonesia telah membentuk sistem
kepartain yang mirip kartel yakni: (1) Hilangnya peran ideologi partai sebagai
faktor penentu perilaku koalisi partai; (2) Sikap permisif dalam pembentukan
koalisi; (3) Tiadanya oposisi; (4) Hasil-hasil pemilu hampir-hampir tidak
berpengaruh dalam menentukan perilaku partai politik; dan (5) Kuatnya
kecenderungan partai untuk bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok

8


Firmanzah, Mengelola Partai Politik, Jakarta : Yayasan Obor, 2008, hal. 35.

5

Universitas Sumatera Utara

partai politik di Indonesia cenderung berkolusi ketimbang berkompetisi. Mereka
membentuk sebuah kelompok yang memiliki kecenderungan untuk melayani diri
sendiri dibandingkan secara individual mencoba mewakili beragam kepentingan
kolektif yang ada di masyarakat.9
Secara lebih fokus dan spesifik pada sistem election atau pemilihan umum
(Pemilu) legislatif di Indonesia mengalami perubahan mekanisme dalam
menentukan calon legislatif terpilih yakni dipemilu 1999 daan 2004 menyoblos
lambang partai politik dan bila memperoleh suara maka partai politik menentukan
aktor politik yang akan duduk sebagai anggota legilatifatau dengan berdasarkan
nomor urut, kemudian pada pemilu 2009 dan 2014 calon legislatif terpilih
berdasar pada suara terbanyak dan bukan berdasar nomor urut. Pergeseran sistem
dalam menentukan calon legislatif terpilih berasar pada suara terbanyak
menggambarkan hadirnya penguatan prinsip demokrasi dalam aspek representasi

aspirasi publik (konsituen).
Dengan telah menguatnya pembangunan demokrasi pada arah prosedural
dimekanisme penentuan calon terpilih anggota legislatif maka sudah semestinya
saat ini kita beranjak pada wacana menakar kualitas sistem rekrutmen aktor
politik di internal partai politik sehingga aktor-aktor politik yang menyandang
prediket calon legislatif adalah mereka-mereka yang memiliki kelayakan
setidaknya memahami politik dalam aspek arts (keilmuan teoritis), praxis
(pengalaman praktis) dan policy (pengetahuan proses dan teknik menyusun
regulasi).

9

Kuskridho Ambardi,Mengungkap Politik Kartel ( studi tentang kepartaian di Indonesia Era
reformasi). 2010. Kepustakaan Poopuler Gramedia, hal.3.

6

Universitas Sumatera Utara

Runtuhnya rezim orde baru membuat perubahan peta politik membuat

perubahan peta politik di Indonesia. Namun setelah berada dalam rezim yang
otoriter, tampaknya publik tidak terbiasa dengan persaingan yang sehat. Apalagi
menggunakan political marketing dalam pengertian yang ideal. Selama 4 kali
pemilu dimasa reformasi (1999, 2004, 2009 dan 2014) sangat minim memberikan
pelajaran kepada publik tentang persaingan yang sehat dan efisien. Kedepannya,
persaingan politik di Indonesia makin dilakukan secara bebas, tranparan dan
terbuka. Hal ini hampir dpat dipastikan kehadirannya. Pada saat itu partai politik
sebagai konsestan pemilu membutuhkan suatu metode yang dapat memfasilitasi
mereka dalam memasarkan gagasan politik, isu politik dan ideologi partai. Disaat
semakin seragamnya ideologi politik maka perlu dilakukan positioning untuk
membedakan satu partai dengan partai yang lainnya.
Bahkan saat ini, publik tidak lagi melihat bahwa ideologi menjadi alasan
untuk memilih. Menurut Firmanzah (2008) :
“apa pun ideologinya, yang penting apakah partai bisa membawa
bangsa dan negara mencapai kemajuan dengan program kerjanya.
Publik mengharapkan partai yang dapat menawarkan solusi terbaik
untuk masalah‐masalah kebangsaan dengan program kerja mereka.
Ikatan tradisional yaitu ideologi akan tergantikan dengan hal ‐hal
yang lebih bersifat pragmatis seiring dengan makin meningkatnya
jumlah pemilih non‐partisan. Saat ini makin banyak pemilih yang
tidak mengikatkan diri dengan suatu ideologi tertentu. Hal ini juga
banyak disebabkan oleh kekecewaan publik terhadap partai politik
dengan ideologi apapun yang dirasa tidak mampu menanggulangi
masalah‐masalah bangsa seperti korupsi”. 10
Pasca berakhirnya rezim orde baru dibawah kepemimpinan Presiden
Soeharto dalam konteks kepartaian ada tuntutan agar masyarakat mendapatkan
kesempatan untuk mendirikan partai, atas dasar itu pemerintah mengeluarkan UU
10

Firmanzah, Mengelola Partai Politik, Jakarta : Yayasan Obor, 2008, hal.35.

7

Universitas Sumatera Utara

No.2/1999 tentang partai politik. Perubahan yang didambakan adalah mendirikan
suatu sistem dimana partai-partai politik tidak mendominasi kehidupan politik
secara berlebihan, akan tetapi juga tidak memberikan peluang kepada eksekutif
untuk terlalu kuat. Sebaliknya, kekuatan eksekutif dan legislatif diharapkan
menjadi setara atau nevengeschikt sebagaimana diamanatkan didalam UUD 1945.
Pada pemilihan umum 1999 jumlah partai politik yang memenuhi syarat
menjadi peserta pemilu 48 partai politi, dimana perolehan suara enam besar dalam
pemilu 1999 yaitu: PDIP dengan 33,11% suara dan 153 kursi, Partai Golkar
dengan 25,97% suara dan 120 kursi, PPP 12,55% suara dan 58 kursi, PKB dengan
11,03% dan 51 kursi, PAN 7,35% suara dan 34 kursi, PBB dengan 2,81% suara
dan 13 kursi. Kemudian, Pada pemilihan umum 2004 yang lolos seleksi ada 24
partai. Dimana hasil pemilu 2004 enam besar yaitu Partai Golkar dengan 21,58%
suara dan 128 kursi, PDIP dengan 18,53 suara dan 109 kursi, PKB 10,57 suara
dan 52 kursi, PPP dengan 8,15% dan 58 kursi, Partai Demokrat 7,45% dan 57
kursi.11 Pemilu 2004 adalah pemilu pertama di Indonesia yang presiden dan wakil
presidennya dipilih langsung oleh rakyat. 12
Pada pemilu 2009 tercatat 44 Partai politik yang mengikuti pemilu dengan
rincian 38 Partai Nasional dan 6 Partai Lokal dimana pada pemilu 2009
dimenangkan oleh Partai Demokrat dengan merebut 20,85% suara disusul oleh
Partai Golkar 14,45%, PDIP 14,3%, PKS 7,88 %, PAN 6,1%, PPP 5,32%, PKB
4,94%, Gerindra 4,46% dan 3,77%. Pada pemilu mulai diberlakukan
Parlementary Theshold

11
12

sebesar 2,5% artinya setiap partai yang ingin

Ibid ., Miriam Budiardjo., hal. 45.
Hanta Yuda. 2010. Presidensialisme Setengah Hati. Jakarta: PT Gramedia Pustaka . Hal 66

8

Universitas Sumatera Utara

mendudukkan wakilnya di parlemen harus memiliki suara minimal 2,5% suara
nasional.13
Pada pemilu 2014 menurut UU No 2 tahun 2011 tentang perubahan atas
UU No.2 tentang partai Politik angka Parlementary Theshold (PT) dinaikkan
menjadi 3, 5%. Jumlah peserta pemilu pada pemilu 2014 adalah 12 Partai secara
nasional. Partai Nasional Demokrat (Nasdem) menjadi satu-satunya partai baru
yang lolos verifikasi. Selain lolos verifikasi yang telah ditentukan oleh Komisi
Pemilihan Umum (KPU), Partai Nasdem tentunya memiliki tantangan berikutnya
yaitu bagaimana bisa mencapai minimal suara nasional 3,5%. Hasilnya pada
pemilu 2014 Partai Nasional Demokrat berhasil memperoleh 8.402.812 suara
atau setara 6,72%. Dimana pada pemilu 2014 pemenang Pemilu adalah PDI
Perjuangan dengan 18,95 % disusul oleh Golkar 14,75%, Gerindra 11, 81%,
Partai Demokrat 10,9%, PKB 9,04%, PAN 7,59, PKS 6,79, PPP 6,55% dan
Hanura 5,26%. Bahkan suara Partai Nasional Demokrat berhasil mengalahkan
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan partai yang sudah
mengikuti pemilu sejak Orde baru.
Jumlah kader Partai Nasional Demokrat di Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) Republik Indonesia adalah 35 orang dimana dengan status sebagai partai
baru dan pertama kali mengikuti pemilu prestasi Nasional Demokrat tentunya
bagus dimana Provinsi Sumatera Utara yang memiliki wakil 30 di DPR RI
mampu menyumbang 3 wakil yang diwakili Prananda Paloh, Sahat Silaban dan
Ali Umri. Jumlah suara Partai Nasional di 3 Dapil yaitu Dapil 1 sebanyak
103.289 suara, Dapil Sumatera Utara II sebanyak 193.191 suara dan dapil III
13

Parliamentary threshold adalah ambang batas perolehan suara minimal partai politik dalam
pemilihan umum untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Ketentuan ini pertama kali diterapkan pada Pemilu 2009.

9

Universitas Sumatera Utara

sebanyak 115.968 Suara. Diluar pulau Jawa dapil Sumatera Utara merupakan
dapil terbanyak Partai Nasdem yang mendudukkan wakilnya di senayan. Total
suara Nasional Demokrat di Sumatera Utara adalah 412.444 suara. Ini artinya
Partai Nasional Demokrat (Nasdem) memiliki strategi khusus dalam memperoleh
suara pada Pemilu 2014 yang lalu dan berhasil memperoleh 6,72% suara secara
nasional.

1.2.

Perumusan Masalah
Demokrasi akan melahirkan yang namanya Pemilihan Umum (Pemilu).

Penjelasan konseptual terhadap pemilu dapat dilihat sebagai sarana demokrasi.
Dalam hubungan ini penyelenggaraan pemilu sebagai legitimasi terhadap suatu
pemerintahan yang demokratis yang berasal dari rakyat yang diberikan pada saat
itu. Di negara-negara yang demokratis, pemilu merupakan alat untuk memberikan
kesempatan kepada rakyat untuk ikut serta mempengaruhi kebijakan pemerintah
dan sistem politik yang berlaku. Perkembangan Demokrasi di Indonesia telah
mengalami pasang surut. Masalah pokok yang kita hadapi adalah bagaimana,
dalam masyarakat yang beraneka ragam pola budaya mempertinggi tingkat
kehidupan ekonomi disamping membina suatu kehidupan sosial dan politik yang
demokratis yang salah satu wujudnya dalam pemilihan umum.
Demokrasi pada prinsipnya merupakan sebuah ideologi yang menganut
niali-nilai kebebasan dan kesetaraan. Sudah banyak penelitian yang mengkaji
tentang strategi pemenangan partai politik dalam pemilihan umum. Partai Nasdem
merupakan satu-satunya partai politik baru yang lolos verifikasi dari Kemenhum
HAM setelah diberlakukannya UU No.2 Tahun 2011 Tentang perubahan atas UU
10

Universitas Sumatera Utara

No.2 Tentang partai politik. Dari 12 Partai politik yang berkompetisi dipemilu
2014 yang lalu hanya partai Nasional Demokrat yang lolos verifikasi dan
berstatus partai baru.
Selain telah lolos dari verifikasi yang telah ditentukan, agar suatu partai
politik dapat memenangkan pemilihan umum maka partai Nasional Demokrat
harus membuat metode tertentu untuk memperoleh dukungan yang luas dari para
pemilih. Partai Nasional Demokrat sebagai satu-satunya partai politik baru yang
lolos verifikasi akan melawan partai-partai lama yang tentunya lebih
berpengalaman dalam menghadapi pemilu.
Dalam hal ini Partai Nasdem tentu akan mempunyai strategi tersendiri
dalam meraih dukungan dari para pemilih. Hasilnya pada pemilu 2014 Partai
Nasional Demokrat berhasil memperoleh 8.402.812 suara

atau setara 6,72%

dimana partai Nasional Demokrat berhasil mendudukkan 35 orang di Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Dengan demikian penelitian ini
membahas tentang strategi Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Nasional
Demokrat Sumut dalam Memperoleh suara pada pemilu 2014.

1.3.

Permasalahan Penelitian
Permasalahan penelitian ini adalah usaha untuk menetapkan masalah

dalam batasan penelitian yang akan diteliti. Permasalahan penelitian ini berguna
untuk mengidentifikasi faktor mana saja yang termasuk kedalam masalah
penelitian dan faktor mana saja yang tidak termasuk kedalam ruang penelitian
tersebut. Adapun permasalahan yang akan diteliti adalah mengkaji langkah-

11

Universitas Sumatera Utara

langkah Strategi DPW Partai Nasional Demokrat

Sumatera Utara dalam

memperoleh suara dalam Pemilihan Umum 2014 di Sumatera Utara.

1.4.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan antara lain :
1. Untuk mendeskripsikan Partai Nasional Demokrat dalam politik di
Sumatera Utara.
2. Untuk menganalisis langkah-langkah Strategi DPW Partai Nasional
Demokrat Sumatera Utara dalam memperoleh suara dalam Pemilihan
Umum 2104 di Sumatera Utara.

1.5.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain :

1. Secara teoritis, penelitian ini merupakan kajian ilmu politik yang
diharapkan

mampu

memberikan

kontribusi

pemikiran

mengenai

demokrasi, pemilu partai politik, strategi dan memberi solusi atas
permasalahan bangsa.
2. Secara Praktis, Penelitian ini diharapkan mampu memberi masukan pada
konsultan politik dalam menyusun strategi political marketing yang tepat
sesuai dengan electorate yang ingin di capai.
3. Kemudian, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
atau sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah
khazanah ilmu pengetahuan dalam Ilmu Politik, khususnya dalam hal yang
berkaitan dengan strategi partai baru dalam mengikuti pemilu.
12

Universitas Sumatera Utara

1.6.

Kerangka Teori

1.6.1. Teori Partai Politik
Partai politik adalah organisasi yang beroperasi dalam sistem politik. Dan
partai politik juga dianggap sebagai perwujudan atau lambang dari negara
modern. Maka tak heran bila hampir semua negara demokrasi maupun negara
komunis, negara maju maupun negara berkembang memiliki partai politik.
Sebuah definisi klasik mengenai partai politik diajukan Edmund Burke pada
tahun 1839 dalam tulisannya:
Thuoughts on the Cause of the Present Disconents. Burke
menyatakan bahwa, party is a body of men united, for promoting by
their joint endeavors the national interest, upon some particular
principle upon which they are all agreed. (partai politik adalah
lembaga yang terdiri atas orang-orang yang bersatu, untuk
mempromosikan kepentingan nasional bersama-sama, berdasar pada
prinsip-prinsip dan hal-hal yang mereka setujui).14

Selain Burke, Carl Friedrich mengajukan pengertiannya tentang partai
politik, yakni partai politik sebagai kelompok manusia yang terorganisasi secara
stabil dengan tujuan untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan dalam
pemerintahan bagi pemimpin materil dan ide kepada anggotanya. Sementara itu
Soltau menjelaskan partai politik sebagai yang sedikit banyak terorganisasikan,
yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik, dan memanfaatkan kekuasaannya
untuk kebijakan umum yang mereka buat. 15
Fungsi utama partai politik ialah mencari dan mempertahankan kekuasaan
guna mewujudan program-program yang disusun berdasarkan ideologi tertentu.
Berikut ini dikemukakan sejumlah fungsi partai politik:

14
15

Seta Basri, Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: Indie Book Corner, 2010, hal.117.
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo, 2010, hal. 148.

13

Universitas Sumatera Utara

Sosialisasi politik adalah proses pembentukan sikap dan orientasi politik
para anggota masyarakat. Melalui proses sosialiasasi politik inilah para anggota
masyarakat memperoleh sikap dan orientasi terhadap kehidupan politik yang
berlangsung dalam masyarakat. Proses ini berlangsung seumur hidup yang
diperoleh baik secara sengaja melalui pendidikan formal, nonformal dan informal
maupun secara tidak sengaja melalui kontak dan pengalaman sehari-hari, baik
dalam kehidupan keluarga dan tetangga maupun dalam kehidupan masyarakat.
Rekrutmen politik ialah seleksi dan pemilihan atau seleksi dan
pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah
peranan dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintahan pada khususnya.
Fungsi ini semakin besar porsinya manakala partai politik itu merupakan partai
tunggal seperti dalam sistem politik totaliter atau manakala partai ini merupakan
partai mayoritas dalam badan perwakilan rakyat sehingga berwenang membentuk
pemerintahan dalam sistem politik demokrasi. Fungsi rekrutmen merupakan
kelanjutan dari fungsi mencari dan mempertahankan kekuasaan. Selain itu, fungsi
rekrutmen politik sangat penting bagi kelangsungan sistem politik sebab tanpa elit
yang mampu melaksanakan peranannya, kelangsungan hidup sistem politik akan
terancam.
Partisipasi politik ialah kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi
proses pembuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan umum dan dalam ikut
menentukan pemimpin pemerintahan. Kegiatan yang dimaksud antara lain
mengajukan tuntutan, membayar pajak, melaksanakan keputusan, mengajukan
kritik dan koreksi atas pelaksanaan suatu kebijakan umum dan mendukung atau
menentang calon pemimpin tertentu, mengajukan alternatif pemimpin dan
14

Universitas Sumatera Utara

memilih wakil rakyat dalam pemilihan umum. Dalam hal ini, partai politik
mempunyai fungsi untuk membuka kesempatan, mendorong dan mengajak para
anggota dan anggota masyarakat yang lain untuk menggunakan partai politik
sebagai saluran kegiatan mempengaruhi proses politik. Jadi, partai politik
merupakan wadah partisipasi politik.
Dalam masyarakat, terdapat sejumlah kepentingan yang berbeda bahkan
acapkali bertentangan, seperti antara kehendak mendapatkan keuntungan
sebanyak-banyaknya dan kehendak untuk mendapatkan barang dan jasa dengan
harga murah tetapi mutu; antara kehendak untuk mencapai efisiensi dan
penerapan teknologi yang canggih, tetapi memerlukan tenaga kerja yang sedikit,
dengan kehendak untuk mendapatkan dan mempertahankan pekerjaan. Untuk
menampung dan memadukan berbagai kepentingan yang berbeda bahkan
bertentangan, maka partai politik dibentuk.
Komunikasi politik ialah proses penyampaian informasi mengenai politik
dari pemerintah kepada masyarakat dan dari masyarakat kepada pemerintah.
Dalam hal ini partai politik berfungsi sebagai komunikator politik yang tidak
hanya menyampaikan segala keputusan dan penjelasan pemerintah kepada
masyarakat sebagaimana diperankan oleh partai politik dinegara totaliter tetapi
juga menyampaikan aspirasi dan kepentingan berbagai kelompok masyarakat
kepada pemerintah. Keduanya dilaksanakan oleh partai-partai politik dalam
sistem politik demokrasi.
Dalam

melaksanakan

fungsi

ini

partai

politik

tidak

langsung

menyampaikan informasi dari pemerintah kepada masyarakat atau dari
masyarakat keperintah, tetapi merumuskan sedemikian rupa sehingga penerima
15

Universitas Sumatera Utara

informasi dapat dengan mudah memahami dan kemudian memanfaatkannya
dengan sebaik-baiknya.
Pengendalian Konflik, Konflik yang dimaksud disini adalah dalam arti
luas, mulai dari perbedaan pendapat sampai pada pertikaian fisik antar individu
atau kelompok dalam masyarakat. Dalam negara demokrasi, setiap warga negara
atau kelompok masyarakat berhak menyampaikan dan memperjuangkan aspirasi
dan kepentingannya sehingga konflik merupakan gejala yang sukar dielakkan.
Partai politik sebagai salah satu lembaga demokrasi berfungsi untuk
mengendalikan konflik melalui cara berdialog dengan pihak-pihak yang berkonflik,
menampung dan memadukan berbagai aspirasi dan kepentingan dari pihak-pihak yang
berkonflik dan membawa permasalahan kedalam musyawarah badan perwakilan
rakyat untuk mendapatkan penyelesaian berupa keputusan politik. Kontrol politik ialah
kegiatan untuk menunjukkan kesalahan, kelemahan, dan penyimpangan dalam isi suatu
kebijakan atau dalam pelaksanaan kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh
pemerintah. Dalam melakukan suatu kontrol politik atau pengawasan, harus ada tolok
ukur yang jelas sehingga kegiatan itu bersifat objektif.
Tolak ukur suatu kontrol politik berupa nilai-nilai politik yang dianggap
ideal dan baik yang dijabarkan kedalam berbagai kebijakan atau peraturan
perundang-undangan. Tujuan kontrol politik adalah meluruskan kebijakan atau
pelaksanaan kebijakan yang menyimpang dan memperbaiki yang keliru sehingga
kebijakan dan pelaksanaannya sejalan dengan tolok ukur tersebut. Fungsi kontrol
ini merupakan salah satu mekanisme politik dalam sistem politik demokrasi untuk
memperbaiki dan memperbaharui dirinya secara terus menerus.16

16

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta : KPG, 2013, hal.34

16

Universitas Sumatera Utara

Setiap partai politik memiliki karakteristik yang berbeda. Menurut Richard
S.Katz ada beberapa tipologi partai politik yaitu Pertama, Partai Elit. Partai jenis
ini berbasis lokal, dengan sejumlah elit inti yang menjadi basis kekuatan partai.
Dukungan bagi partai elit ini bersumber pada hubungan client (anak buah) dari
elit-elit yang duduk di partai ini. Biasanya, elit yang duduk di kepemimpinan
partai memiliki status ekonomi dan jabatan yang terpandang. Partai ini juga
didasarkan pada pemimpin-pemimpin faksi dan elit politik yang biasanya
terbentuk didalam parlemen.
Partai jenis ini berbasiskan individu-individu yang jumlahnya besar, tetapi
kerap tersingkirkan dari kebijakan negara. Partai ini kerap memobilisasi massa
pendukungnya untuk kepentingan partai. Biasanya partai massa berbasiskan kelas
sosial tertentu, seperti “orang kecil”, tetapi juga bisa berbasis agama. Loyalitas
kepada partai lebih didasarkan pada identitas sosial partai daripada ideologi atau
kebijakan.
Kedua, Partai Massa. Partai jenis ini dipermukaan hampir sama dengan

partai massa. Namun perbedaannya dengan partai massa yang mendasar adalah
kalau partai massa mendasarkan diri pada kelas sosial tertentu.
Ketiga, Partai Catch-All mulai berpikir bahwa dirinya mewakili

kepentingan bangsa secara keseluruhan. Partai jenis ini berorientasi pada
pemenangan pemilu sehingga fleksibel untuk berganti-ganti isu setiap kali
kampanye. Partai Catch-All juga sering disebut sebagai Partai ElectoralProfessional atau Partai Rational-Efficient.
Keempat, Partai Kartel. Partai jenis ini muncul akibat berkurangnya

jumlah pemilih atau anggota partai. Kekurangan ini berakibat pada suara mereka
17

Universitas Sumatera Utara

ditingkat parlemen. Untuk mengatasinya, para pemimpin partai saling berkoalisi
untuk memperoleh kekuatan yang cukup untuk bertahan. Dari sisi Partai Kartel,
ideologi, janji pemilu, basis pemilih hampir sudah tidak memiliki arti lagi.
Kelima, Partai Integratif. Partai jenis ini berasal dari kelompok sosial

tertentu yang mencoba melakukan mobilisasi politik dan kegiatan partai. Mereka
membawakan kepentingan spesifik suatu kelompok. Mereka juga berusaha
membangun simpati dari setiap pemilih dan membuat mereka menjadi anggota
partai. Mereka melakukan propaganda yang dilakukan anggota secara sukarela,
berpartisipasi dalam bantuan-bantuan sosial.17

1.6.2. Teori Pencitraan
Pencitraan adalah salah satu bentuk komunikasi yang juga menuntut
kesamaan makna sebagai hasil akhirnya. Pelaku pencitraan berharap agar
masyarakat kemudian bisa memiliki kesan tentang diri, produk, perusahaan yang
dicitrakan sesuai dengan yang diharapkan. Pencitraan sangat terkait erat dengan
dimensi fisik, yaitu tempat berada. Seseorang akan mencitrakan diri secara
berbeda ketika berada di tempat yang berbeda. Pencitraan juga terkait erat dengan
dimensi sosial psikologis, yaitu lingkungan hubungan kejiwaan antara
komunikator dan komunikan. Seseorang akan mencitrakan dirinya berbeda ketika
berhubungan dengan orang dari status sosial ekonomi yang berbeda, tingkat
pendidikan berbeda, kedekatan emosional yang berbeda dan sebagainya. Terakhir,
pencitraan juga erat kaitannya dengan dimensi temporal, yaitu waktu dalam sehari

17

Seta Basri. Op.Cit. hal.122.

18

Universitas Sumatera Utara

ataupun periode tertentu. Seorang politisi akan mencitrakan diri berbeda dalam
masa kampanye dan sesudah terpilih.18
Pencitraan jika diuraikan dari akar katanya berasal dari kata citra ditambah
dengan awalan pe(n)- dan akhiran –an. Pemberian imbuhan pe- dan –an pada kata
benda mengakibatkan perubahan kata benda tersebut menjadi kata kerja. Sebagai
ilustrasi, pewarnaan. Berasal dari warna (kata benda) ditambah pe- dan –an.
Dimaknai sebagai sebuah proses memberikan atau menjadikan sesuatu menjadi
berwarna. Demikian pula pencitraan. Merupakan proses memberikan citra
terhadap sesuatu, bisa berupa produk, diri pribadi ataupun organisasi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian citra adalah: (1) kata
benda: gambar, rupa, gambaran; (2) gambaran yang dimiliki orang banyak
mengenai pribadi, perusahaan, organisasi, atau produk; (3) kesan mental atau
bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase atau kalimat dan
merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa atau puisi. Frank Jefkins
dalam bukunya Public Relations Technique, mengartikan citra sebagai kesan
seseorang atau individu tentang sesuatu yang muncul sebagai hasil dari
pengetahuan dan pengalamannya.
Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya, Psikologi Komunikasi menyebutkan
bahwa citra adalah penggambaran tentang realitas dan tidak harus sesuai dengan
realitas, citra adalah dunia menurut persepsi. Berdasarkan berbagai definisi citra
tersebut, dapat disimpulkan bahwa citra bukanlah sebuah benda berwujud
melainkan sesuatu yang ada dalam ranah kognitif seseorang. Oleh karena itu,
tidak berlebihan jika dikatakan bahwa citra adalah fragile commodity, komoditas
18

Frank Jefkins, Public Relations. Edisi Keempat , Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992, hal.67.

19

Universitas Sumatera Utara

yang rapuh, yang mudah rusak, karena citra sangat tergantung pada pemahaman
orang dan pengalaman orang tentang sesuatu.19
Citra adalah jumlah dari keyakinan-keyakinan, gambaran-gambaran dan
kesan-kesan yang dipunyai seseorang pada suatu objek. Sikap dan perilaku
seseorang terhadap objek dibentuk oleh citra objek tersebut. Dalam pandangan
Webster dalam Sutisna mendefinisikan citra sebagai gambaran mental atau
konsep tentang sesuatu. Sementara pengertian citra menurut Sutisna sendiri
adalah total persepsi terhadap suatu objek yang dibentuk dengan memproses
informasi dari berbagai sumber setiap waktu. Citra sebuah organisasi,
internasional maupun lokal merepresentasikan nilai-nilai konsumen. konsumen
potensial, konsumen yang hilang dan kelompok-kelompok masyarakat lain yang
mempunyai hubungan dengan organisasi.
Sementara menurut Terence A. Shimp citra merek dapat dianggap sebagai
jenis asosiasi yang muncul dalam benak konsumen ketika mengingat suatu merek
tertentu. Asosiasi tersebut secara sederhana dapat muncul dalam bentuk pemikiran
atau citra tertentu yang dikaitkan dengan suatu merek, sama halnya ketika kita
berpikir tentang orang lain. Asosiasi ini dapat dikonseptualisasi berdasarkan jenis,
dukungan, kekuatan, dan keunikan. Jenis asosiasi merek meliputi atribut, manfaat,
dan sikap. Atribut sendiri terdiri dari atribut yang tidak berhubungan dengan
produk, misalnya harga, pemakai dan citra penggunaan. Sedangkan manfaat
mencakup manfaat secara simbolis dan manfaat berdasarkan pengalaman.20

19

Soleh Soemirat dan Ardianto, Dasar-Dasar Public Relations. Bandung: Rosda, 2002, hal.10.
Kismiyati El Karimah dan Wahyudin, Filsafat dan Etika Komunikasi, Aspek Ontologis,
Epistemologis, dan Aksiologis dalam Memandang Ilmu Komunikasi. Bandung: Widya
Padjadjaran, 2010, hal.45.
20

20

Universitas Sumatera Utara

Saat ini, hampir semua pihak yang berkepentingan dengan opini publik
menyadari pentingnya mengelola citra. Seitel menyebutkan bahwa kebanyakan
perusahaan meyakini bahwa citra perusahaan yang positif adalah esensial, sukses
yang berkelanjutan dan dalam jangka panjang. Citra perusahaan yang positif
diyakini akan mendatangkan goodwill dari publik terhadap perusahaan dan
sebaliknya citra perusahaan yang buruk akan menjauhkan publik dari perusahaan.
Namun demikian, citra adalah fragile commodity. Jika tidak dikelola dengan
benar maka citra akan mudah sekali rusak, oleh karena itu meski citra adalah
kesan, perasaan atau gambaran publik tentang perusahaan namun perusahaan
tidak bisa membiarkan citra terbentuk dengan sendirinya. Citra positif harus
dibentuk melalui proses pencitraan yang tepat.
Pencitraan sesungguhnya telah dilakukan manusia seiring dengan
perkembangan

peradabannya.

Para

pemimpin

suku

primitif

misalnya,

berkepentingan menjaga reputasi mereka dengan melakukan pengawasan
terhadap para pengikutnya melalui penggunaan simbol, kekuatan, hal-hal yang
bersifat magis, tabu atau supranatural. Pada zaman Mesir Kuno, untuk
memelihara kesan publik akan keagungan rajanya maka didirikanlah bangunanbangunan semacam piramida dan spinx dan memposisikan raja sebagai tuhan.
Pada masa perkembangan peradaban Yunani dan Romawi, kesadaran akan
pentingnya opini publik dan pencitraan juga sangat kuat. Karya seni dan sastera
pada masa itu banyak diarahkan untuk menguatkan reputasi raja. Kaum
bangsawan istana umumnya adalah ahli-ahli persuasi dan retorika yang luar biasa.
Karya pidato Cicero, tulisan bersejarah Julius Caesar, bangunan-bangunan dan

21

Universitas Sumatera Utara

ritual saat itu banyak digunakan sebagai media pembentukan opini publik dan
pencitraan.
Lebih terperinci Frank Jefkins menguraikan citra menjadi lima kategori,
yaitu citra bayangan (mirror image), citra yang berlaku (current image), citra
yang diharapkan (wish image), citra perusahaan (corporate image) dan citra
majemuk (multiple image). Mirror image adalah citra yang dibayangkan (ada
dalam benak) orang dalam (diri pribadi) tentang kesan orang luar (orang lain)
terhadap dirinya atau organisasinya. Citra ini seringkali tidak tepat, karena hanya
merupakan ilusi. Current image, merupakan kebalikan dari citra bayangan. Citra
yang berlaku adalah citra yang sebenarnya yang ada pada pihak luar atau pihak
lain tentang diri atau organisasi kita. Dengan demikian tidak heran jika mirror
image bisa sangat bertolak belakang dengan current image tergantung jumlah

informasi yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Wish image, merupakan citra
yang diinginkan oleh pihak manajemen. Citra yang diharapkan inilah yang
umumnya kemudian diperjuangkan agar bisa terwujud. Corporate image,
merupakan citra organisasi secara keseluruhan.21
Citra ini terbentuk oleh banyak hal antara lain kinerja dan keberhasilan
perusahaan, hubungan yang baik dengan stakeholders dan sebagainya. Terakhir
adalah multiple image atau citra majemuk. Citra jenis ini muncul karena
perusahaan umumnya terdiri dari banyak komponen yang membangun. Bisa jadi
orang memiliki citra positif terhadap produk yang dihasilkan sebuah perusahaan
namun pada waktu yang bersamaan publik memberikan citra negatif terhadap
pelayanan yang diberikan oleh staf perusahaan.

21

Ibid., Kismiyati El Karimah dan Wahyudin, hal.45.

22

Universitas Sumatera Utara

Pada dasarnya, setiap orang atau perusahaan menginginkan citra yang
sesuai dengan harapannya. Oleh karena itu, mereka akan berusaha mengarahkan
agar keempat jenis citra lainnya (mirror image, current image, corporate image,
maupun multiple image) dapat memenuhi harapan mereka dengan cara melakukan
pembentukan citra atau pencitraan.
Dalam konteks pencitraan, ketika kita membuat simpulan sementara atas
pertanyaan pertama, bahwa pencitraan adalah proses untuk mendapatkan citra
sesuai dengan harapan kita. Pencitraan adalah kesan yang timbul karena
pemahaman atas sesuatu. Pemahaman itu sangat tergantung pada jumlah
informasi yang dimiliki ataupun pengalaman yang dimiliki terhadap sesuatu itu.
Sebagai ilustrasi, seorang adik akan memberikan kesan positif terhadap
kakaknya yang menjadi pengamen jalanan, karena dia tahu persis bahwa
kakaknya melakukan pekerjaan itu secara halal untuk membantu kebutuhan
keluarganya. Sementara para pengendara jalan akan memberikan kesan negatif
karena hanya mengetahui sedikit bahwa pengamen itu sudah mengganggu
pengguna jalan.22
Berdasarkan ilustrasi tersebut, dapat dibuat simpulan bahwa kunci dari
pencitraan terletak pada proses kognitif, bagaimana membuatpublik memahami diri
kita atau perusahaan kita sesuai dengan yang kita harapkan. Untuk itu perlu
diberikan informasi yang lengkap dan memadai sehingga mereka bisa memiliki
pemahaman yang benar tentang diri dan perusahaan kita Pencitraan adalah upaya
untuk membangun kesan publik (citra) terhadap diri atau perusahaan sesuai dengan
harapan diri atau perusahaan itu sendiri (ontologis). Citra diperoleh melalui
22

Moore, Frazier. Humas, Membangun Citra Dengan Komunikasi . Bandung: Rosda, 2004, hal.12.

23

Universitas Sumatera Utara

pemahaman yang baik dari publik terhadap obyek yang dicitrakan. Oleh karena itu
pencitraan dilakukan dengan memberikan informasimaupun pengalaman yang
memadai kepada publik tentang obyek pencitraan (epistemologis). Nilai atau
kegunaan pencitraan bisa bersifat subyektif

maupun obyektif tergantung

pandangan filsafatnya. Pencitraan bisa menjadi negatif jika hanya dilaksanakan
dengan prinsip spin doctor atau machiavellis, yaitu memelintir informasi hanya
supaya obyek pencitraan “tampak” bagus. Oleh karena itu, seyogyanya pencitraan
tetap dilaksanakan dengan menggunakan prinsip kehumasan yang memperhatikan
integritas dan berorientasi pada kepentingan publik.

1.6.3. Teori Kampanye
Kampanye politik adalah periode yang diberikan oleh panitia pemilu
kepada semua kontestan baik partai politik atau perorangan untuk memaparkan
program-program kerja dan mempengaruhi opini publik sekaligus memobilisasi
masyarakat agar memberikan suara kepada mereka. Kampanye merupakan
kegiatan mempersuasi pemilih yang bertujuan untuk meningkatkan elektabilitas
dan popularitas. Kampanye pada prinsipnya merupakan suatu proses kegiatan
komunikasi individu atau kelompok yang dilakukan secara terlembaga dan
bertujuan untuk menciptakan suatu efek atau dampak tertentu. Kampanye sebagai
serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan untuk
menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara
berkelanjutan pada kurun waktu tertentu.23

23

Venus, Antar, 2004, Manajemen Kampanye , Bandung:Remaja Rosda Karya, hal.7.

24

Universitas Sumatera Utara

Kampanye pada prinsipnya merupakan suatu proses kegiatan komunikasi
individu atau kelompok yang dilakukan secara terlembaga dan bertujuan untuk
menciptakan suatu efek atau dampak tertentu. Rogers dan Storey (1987)
mendefinisikan kampanye sebagai “serangkaian tindakan komunikasi yang
terencana dengan tujuan untuk menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar
khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kur un waktu tertentu”. 24

Kampanye memberikan sebuah tindakan yang bertujuan mendapatkan
pencapaian dukungan, usaha kampanye bisa dilakukan oleh peorangan atau
sekelompok orang yang terorganisir untuk melakukan pencapaian suatu proses
pengambilan keputusan didalam suatu kelompok, kampanye biasa juga dilakukan
guna memengaruhi, penghambatan, pembelokan pecapaian. Dalam sistem politik
demokrasi, kampanye politis berdaya mengacu pada kampanye elektoral
pencapaian dukungan, dimana wakil terpilih atau referenda diputuskan.
Selain itu terdapat pula jenis-jenis kampanye menurut Leslie B. Snyde yaitu:
1. Product Oriented Campaigns
Kampanye yang berorientasi pada produk, umumnya terjadi di lingkungan
bisnis, berorientasi komersial, seperti peluncuran produk baru. Kampanye
ini biasanya sekaligus bermuatan kepentingan untuk membangun citra
positif terhadap produk barang yang diperkenalkan ke publiknya.
2. Candidate Oriented Campaigns
Kampanye ini berorientasi pada kandidat, umumnya dimotivasi karena
hasrat untuk kepentingan politik. Contoh: Kampanye Pemilu, Kampanye
Penggalangan dana bagi partai politik.

24

Firmanzah,Op.,Cit, Hal.271.

25

Universitas Sumatera Utara

3. Ideologically or cause oriented campaigns
Jenis kampanye ini berorientasi pada tujuan-tujuan yang bersifat khusus
dan seringkali berdimensi sosial atau Social Change Campaigns (Kotler),
yakni kampanye yang ditujukan untuk menangani masalah-masalah sosial
melalui perubahan sikap dan perilaku publik yang terkait. Contoh:
Kampanye AIDS, Keluarga Berencana dan Donor Darah.
4. Jenis Kampanye yang sifatnya menyerang (attacking campaign)
Kampanye jenis ini terdiri dari Kampanye Negatif (Negatif campaign)
dan Kampanye Hitam (Black Campaign). Dimana Negatif Campaign
merupakan kampanye yang sifatnya menyerang pihak lain melalui
sejumlah data atau fakta yang bisa diverifikasi dan diperdebatkan
sementara Black campaign yaitu Kampanye yang bersifat buruk atau jahat
dengan cara menjatuhkan lawan politik untuk mendapatkan keuntungan.25
Kampanye politik merupakan sebuah proses penciptaan, penciptaan ulang,
dan pengalihan lambang signifikan secara berkesinambungan melalui komunikasi.
Kampanye menggabungkan partisipasi aktif dari yang melakukan kampanye dan
pemberi suara, yang melakukan kampanye berusaha mengatur kesan pemberi
suara (khalayak) tentang mereka dengan mengungkapkan lambang-lambang yang
oleh mereka diharapkan akan menghimbau para pemilih. Media yang digunakan
oleh para pelaku kampanye, promotor dan jurnalis akan memainkan peran dalam
media turut menciptakan dan memodifikasi lambang-lambang signifikan.26

25

Cahyono Faried, 2004, Pemilu 2004 Transisi Demokrasi dan Kekerasan , Yogyakarta:CSPS,
hal.14.
26
Ibid.,hal.16.

26

Universitas Sumatera Utara

Penetapan strategi dalam kampanye politik merupakan langkah krusial
yang memerlukan penanganan secara hati-hati, sebab jika penetapan strategi salah
atau keliru hasil yang diperoleh bisa fatal, terutama kerugian dari segi waktu,
materi dan tenaga. Tujuan akhir dalam kampanye pemilihan kepala daerah adalah
untuk membawa calon kepala daerah yang didukung oleh tim kampanye
politiknya menduduki jabatan kepala daerah yang diperebutkan melalui
mekanisme pemilihan secara langsung oleh masyarakat. Agar tujuan akhir
tersebut dapat dicapai, diperlukan strategi yang disebut dengan strategi
komunikasi dalam konteks kampanye politik. Terdapat empat jenis strategi
komunikasi dalam konteks kampanye politik yaitu:27
1. Penetapan komunikator
Sebagai pelaku utama dalam aktivitas komunikasi, komunikator
memegang peranan yang sangat penting. Untuk itu, seorang komunikator
yang

akan

bertindak

sebagai

juru

kampanye

harus

terampil

berkomunikasi, kaya ide serta penuh dengan daya kreativitas.
2. Menetapkan target sasaran
Dalam studi komunikasi target sasaran di sebut juga dengan khalayak.
Memahami masyarakat, terutama yang akan menjadi target sasaran dalam
kampanye, merupakan hal yang sangat penting. Sebab semua aktivitas
komunikasi kampanye diarahkan kepada mereka. Mereka lah yang
menentukan berhasil atau tidaknya suatu kampanye sebab bagaimana pun
besar biaya, waktu dan tenaga yang di keluar kan untuk mempengaruhi

27

Hafied Cangara, Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi. Jakarta: Rajawali Press.
2009, hal.271.

27

Universitas Sumatera Utara

mereka, namun jika mereka tidak mau memberi suara kepada partai atau
calon yang diperkenalkan, kampanye akan sia-sia.
3. Menyusun pesan-pesan kampanye
Untuk mengelola dan manyusun pesan yang mengena dan efektif, perlu di
perhati kan beberapa hal, yaitu: (a) harus menguasai lebih dahulu pesan
yang

disampaikan,

termasuk

struktur

penyusunan.

(b)

mampu

mengemukakan argumentasi secara logis. Sehingga harus mempunyai
alasan berupa fakta dan pendapat yang mendukung materi yang di sajikan.
(c) memiliki kemampuan untuk membuat intonasi bahasa (vocal) serta
gerakan-gerakan tubuh yang dapat menarik perhatian pendengar. (d)
memiliki kemampuan membumbui pesan berupa humor untuk menarik
perhatian pendengar.
4. Pemilihan media Bentuk-bentuk media
Pemilihan media Bentuk-bentuk media meliputi media cetak, media
elektronik, media luar ruangan, media ruang kecil dan saluran tatap muka
langsung dengan masyarakat.

1.6.4. Studi Terdahulu
Penelitian ini pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari penelitianpenelitian terdahulu yang pernah dilakukan. Penelitian terdahulu menjadi rujukan
dan pembanding dalam penelitian ini. Ada beberapa penelitian terdahulu yang
dapat dijadikan acuan dalam penelitian ini. Penelitian tersebut tentang “Strategi
pemenangan Partai Keadilan Sejahtera pada pemilu legislatif 2004 (studi di

kabupaten kepulauan sula Provinsi maluku Utara” yang dilakukan oleh Samad
28

Universitas Sumatera Utara

Umarama dalam Tesisnya di Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga memaparkan
Partai Keadilan Sejahtera memiliki basis massa yang kuat pada pemilu legislatif
2004 di Kabupaten Kepulauan Sula, ternyata berhasil memperoleh suara yang
signifikan dan menduduki tempat ketiga setelah partai Golkar dan PDIP.
Banyak pihak menilai bahwa basis dukungan Partai Keadilan Sejahtera
adalah kalangan Islam kota terdidik, ternyata dukungan Partai Keadilan Sejahtera
di Kabupaten Kepulauan Sula sebagian besar berasal dari daerah yang tergolong
bukan daerah perkotaan dan tingkat pendidikan masyarakatnya tidak terlalu
tinggi. Selain itu Partai Keadilan Sejahtera minim dukungan tokoh-tokoh
berpengaruh terhadap masyarakat, karena tokoh-tokoh yang telah lama mengakar
sudah terserap kepartai-partai besar.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi yang digunakan adalah
perpaduan dari konsep manejmen pemasaran dengan konsep politik yang
disesuaikan dengan karakteristik situasi dan kondisi masyarakat Kepulauan Sula
yang terdiri dari tahapan perencanaan, meliputi, positioning, segmentasi dan
targeting yang merupakan penerapan langsung dari program partai pada pemilu
yang terdiri dari direct marketing, gerilya marketing dan logika menjaring massa.
Logika menjaring massa ini meliputi: Logika ketokohan, logoka agama/ideologi,
logika jaringan, logika pragmatisme, logika sosial budaya dan logika media.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dominan kemenangan Partai
Keadilan Sejahtera adalah selain faktor ketokohan juga termasuk faktor Ideologi.
Partai ini pada kenyataannya didukung oleh kaum Muslim dan oleh ketokohan
para Ustad dan Da'i yang menjadi kader dan aktifis partai. Kedepan, untuk
memperkuat posisi partai ditengah masyarakat yang plural maka langkah kongkrit
29

Universitas Sumatera Utara

yang harus diambil adalah dengan menggeser secara bertahap loyalitas kepada
tokoh menjadi loyalitas kepada partai. Pergeseran ini bertujuan untuk
menumbuhkan loyalitas masyarakat pada partai dan bukan pada tokoh.
Penelitian berikutnya adalah Penelitian yang dilakukan oleh Sutanto pada
tahun 2011 dengan Judul “Strategi Partai Demokrat dalam pemenangan pemilu
Legislatif 2009 Kota Semarang” di Fakultas Ilmu sosial Universitas negeri
Semarang dimana Sutanto memaparkan Partai politik dan kandidat perlu
memikirkan strategi yang dapat menentukan kemenangan untuk meraih kursi
kekuasaan tersebut. Seperti halnya dengan Partai Demokrat yang baru dua kali
mengikuti pemilu, keluar sebagai peraih suara mayoritas secara nasional
mengungguli peserta pemilu lainya.
Tujuan penelitian ini : Pertama, mengetahui strategi yang digunakan
Partai Demokrat dalam pemilu legislatif 2009 di Kota Semarang, Kedua,
mengetahui kendala-kendala yang dihadapi Partai Demokrat dalam menerapkan
strateginya dalam pemilu legislatif 2009 Di Kota Semarang. Penelitian ini
menggunakan metode kualitatif.
Lokasi penelitian di K