Profil Kadar Homosistein Serum pada Pasien Vitiligo di RSUP H. Adam Malik Medan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Vitiligo
2.1.1. Sejarah dan definisi
Vitiligo pertama kali dikenal sejak lebih dari 3000 tahun yang lalu dari tulisantulisan Mesir dan Vedic. Zaman dahulu kala kelainan vitiligo ini masih sulit
dibedakan dari penyakit kusta. Asal mula istilah “vitiligo” tidak diketahui. Pada
pertengahan abad ke 16, Hieronymus Mercurialis menduga istilah vitiligo berasal dari
bahasa Latin yaitu kata "vitium" atau "vitellum" yang artinya cacat.20
Vitiligo
merupakan
kelainan
didapat
dengan
gambaran
bercak
depigmentasi asimtomatik pada kulit, membran mukosa atau rambut yang melibatkan
faktor genetik dan non genetik dengan karakteristik berupa destruksi melanosit
epidermis yang dimediasi oleh proses autoimun progresif. 1,2,4
2.1.2.
Epidemiologi
Prevalensi vitiligo berkisar antara 0,3-0,5% pada populasi diseluruh
dunia.2 Menurut Alikhan persentase prevalensi vitiligo adalah 0,l-8% dari penduduk
dunia yang menderita penyakit ini. 1
Prevalensi vitiligo terlihat konsisten di
antara beberapa populasi yang berbeda, yaitu : 0,38% pada ras Kaukasia, 0,34% pada
ras Afrokaribia, 0,46% pada ras India, dan walaupun jarang juga
dijumpai
pada
suku Han Tiongkok berkisar 0,093%.2 Prevalensi dan insidensi vitiligo sendiri
belum banyak diteliti di Indonesia. Rizal dan Lestari menemukan angka insidensi
vitiligo pada tahun 2001-2006 di RSUP Dr. M. Djamil Padang yaitu 0,46%.9
6
Universitas Sumatera Utara
7
Vitiligo dapat muncul pada berbagai usia, dengan usia rata-rata pada
pasien kaukasia adalah 24 tahun. 2 Di RSUP Dr. M. Djamil Padang, vitiligo paling
banyak dijumpai pada kelompok usia 21-30 tahun.9 Rahman et al menemukan
bahwa rata-rata usia pasien vitiligo di Bangladesh adalah 23 tahun.21
Vitiligo dapat terjadi baik pada pria maupun wanita. 1,2,4,21 Perbedaan insidensi
di beberapa penelitian mungkin lebih disebabkan karena perempuan tampak lebih
banyak mencari pengobatan.1,2
Vitiligo
dihubungkan
dengan
adanya
riwayat
keluarga
pada
lini
pertama. 2Biasanya vitiligo diwariskan bukan dengan pola Mendel namun merupakan
suatu kelainan poligenik. Saudara kembar monozigot dari pasien vitiligo sekitar 23%
akan mengalami hal yang sama.2
2.1.3. Etiologi dan patogenesis
Vitiligo
adalah
kelainan
multifaktorial,
poligenik
dengan
patogenesis kompleks yang belum dipahami dengan baik. Dari beberapa patogenesis
penyakit, yang paling diterima adalah faktor genetik dan non genetik saling
berinteraksi
untuk
mempengaruhi
fungsi
dan
kelangsungan
hidup melanosit,
yang akhirnya menyebabkan destruksi melanosit. Beberapa penulis lain mengemukakan
penjelasan-penjelasan termasuk di antaranya defek adhesi melanosit, kerusakan
neurogenik, kerusakan biokimia, autositotoksisitas dan lainnya.2,4,22
Universitas Sumatera Utara
8
2.1.3.1. Hipotesis genetik
Penelitian epidemiologis dalam skala besar telah menunjukan bahwa
kebanyakan kasus vitiligo terjadi secara sporadik, walaupun sekitar 15-25%
pasien memiliki satu atau lebih keluarga lini pertama yang juga terkena.
Umumnya kasus-kasus agregasi familial menunjukan pola non-Mendelian yang
mengesankan adanya penurunan multifaktorial dan poligenik yang berperan
penting dalam semua aspek patogenesis vitiligo. 2,4
Suatu penelitian di Eropa pada subjek pasien vitiligo dengan ras
kaukasia menemukan setidaknya 10 lokus berbeda yang berhubungan dengan
resiko terjadinya vitiligo generalisata. Tujuh di antara lokus ini
juga
dihubungkan dengan penyakit autoimun lainnya yaitu human leucocyte antigen
(HLA) kelas I, HLA kelas II, protein tyrosine phosphatase, non-receptor type
22 (PTPN22), lipoma-preferred partner (LPP), Interleukin-2 receptor, alpha
(IL2RA), ubiquitin associated and SH3 domain containing A (UBASH3A),
dan complement Clq Tumor Necrosis Factor-Related Protein 6 (C1QTNF6).
Dua lokus lainnya mengkode protein yang terlibat pada fungsi pertahanan tubuh,
yaitu: Arginine- Glutamic
Acid
Dipeptide
Repeats-Encoding
(RERE)
dan Granzyme B (GZMB). Selain itu peningkatan resiko vitiligo juga
dihubungkan dengan lokus tyrosinase (TYR) yang mengkode tirosinase, suatu
enzim yang berfungsi pada biosintesis melanin yang juga berperan sebagai
autoantigen utama pada vitiligo generalisata.2,23
Menurut Shaker d a n El-Tahlawi, mutasi genetik pada pasien vitiligo
dapat menyebabkan gangguan metabolisme homosistein. Hal ini menyebabkan
hiperhomosisteinemia yang diduga berhubungan dengan patogenesis vitiligo.
Universitas Sumatera Utara
9
Polimorfisme gen
methylenetetrahydrofolate reductase (MTHFR)
yang terletak pada kromosom 1p36.3 dan gen catalase (CAT) yaitu pada
kromosom 11p13 dikaitkan dengan hiperhomosisteinemia.12 Namun masih
diperlukan penelitian lanjutan untuk melihat pola mutasi yang terjadi. 15
2.1.3.2. Hipotesis autoimun
Vitiligo khususnya tipe generalisata secara luas dianggap sebagai
penyakit autoimun, dengan keterlibatan komponen humoral dan seluler dari
sistem imun bawaan dan adaptif.24 Keyakinan ini didukung oleh hasil penelitian
epidemiologi dan klinis. Karakteristik penyakit yang menguatkan hipotesis ini
antara lain yaitu kemampuannya untuk dapat relaps dan remisi yang biasanya
dijumpai pada penyakit autoimun, dapat membaik setelah terapi imunosupresif,
adanya pola sitokin proinflamasi tipe T helper-1 (Th-1), dijumpainya infiltrat
sel T pada daerah perilesi, dan terdapat sel T sitotoksik antimelanosit pada kulit
dan sirkulasi serta antibodi antimelanosit dalam sirkulasi. 25-28
Autoantibodi
yang
dijumpai
dengan
target
antigen
sistem
melanogenik disebut autoantibodi anti melanosit. Autoantibodi ini bersifat toksik
terhadap melanosit dan menghambat pembentukan melanin.24,26
antigen
Beberapa
target yaitu tirosinase, tyrosinase-related protein -1, dopachrome
tautomerase dan lainnya.24
Selain imunitas humoral, peran sistem kekebalan seluler pada vitiligo
juga telah diteliti. Pada tepi lesi vitiligo yang aktif dapat dijumpai infiltrat
inflamasi yang terdiri dari limfosit T sitotoksik. Sel-sel T ini mengekspresikan
pola sitokin tipe 1 yang memiliki aktivitas sitolisis terhadap sisa melanosit yang
Universitas Sumatera Utara
10
ada, melalui jalur granzyme / perforin.2 Homosistein sendiri diduga dapat
mengaktivasi NF-ĸB dan memproduksi IL-6 pada sistem imunitas.15
2.1.3.3. Hipotesis biokimia
Dijumpai beberapa bukti bahwa vitiligo adalah penyakit yang mengenai
keseluruhan epidermis, yang kemungkinan melibatkan abnormalitas biokimia
baik dari melanosit dan keratinosit. Kelainan morfologi dan fungsional spesifik
pada melanosit dan keratinosit vitiligo diduga memiliki latar belakang genetik.
Abnormalitas ultrastruktural keratinosit dari tepi lesi kulit vitiligo telah
dihubungkan dengan aktivitas mitokondria yang terganggu, dan dianggap
mempengaruhi
produksi
dari
faktor
pertumbuhan
melanosit
tertentu
yang mengatur kelangsungan hidup melanosit. Sebuah temuan biokimia yang
penting adalah peningkatan kadar hydrogen peroxide (H2O2) pada epidermis
daerah yang terkena, yang mungkin sebagian disebabkan oleh berkurangnya
kapasitas antioksidan enzimatik pada keratinosit dan melanosit. Pertahanan
antioksidan yang defektif membuat peningkatan kerentanan melanosit baik
terhadap sitotoksitas imunologik dan terhadap sitotoksitas yang diinduksi
oleh reactive oxygen species (ROS ).2,29-33
Secara umum stres oksidatif disebabkan oleh ketidakseimbangan
antara
produksi
ROS
dan
mendetoksifikasi zat reaktif
kemampuan
sistem
atau
memperbaiki
untuk
biologik
untuk
dapat
kerusakan
yang
dihasilkan. 34,35 ROS diproduksi sebagai produk sampingan proses melanogenesis
di dalam melanosit dan dikendalikan oleh beberapa enzim antioksidan di
epidermis seperti katalase dan glutation
peroksidase.29,30,32,35 Stres
oksidatif
diperkirakan merupakan awal peristiwa patogenik dalam terjadinya destruksi
Universitas Sumatera Utara
11
melanosit. 35 Pada stres oksidatif, tidak adanya aktivitas antioksidan yang
memadai menyebabkan terjadinya akumulasi berlebihan dari radikal bebas, yang
akan merusak zat seluler seperti protein, karbohidrat, deoxyribonucleic acid
(DNA) dan lipid. Pada vitiligo terjadi keadaan stres oksidatif dimana dijumpai
produksi berlebihan dari H2O2 yang bersifat
sitotoksik
terhadap
melanosit
melalui berbagai mekanisme. 28,32,34
Homosistein sendiri dihubungkan dengan pembentukan ROS yang
terjadi akibat oksidasi dari homosistein yang bersamaan dengan abnormalitas
biokimia lain misalnya biopterin. Hal ini akan berujung dengan terjadinya
destruksi melanosit yang akan mengakibatkan perubahan pigmentasi kulit.14
2.1.4
Gambaran klinis
Manifestasi
klinis
primer
dari
vitiligo
adalah
dijumpainya
makula berwarna putih susu dengan depigmentasi yang relatif homogen dan
berbatas tegas. Vitiligo dapat diklasiflkasikan menjadi tipe segmental dan
nonsegmental berdasarkan gambaran klinis khas dan riwayat alamiah. 2
Berdasarkan konsensus yang dibuat oleh Vitiligo European Taskforce (VETF)
pada saat konferensi International Pigment Cell Conference
vitiligo
tahun 2011,
nonsegmental memiliki karakteristik berupa makula depigmentasi
dengan berbagai ukuran yang sering melibatkan kedua sisi tubuh dan cenderung
simetris. 3 Vitiligo universalis, vulgaris, akrofasial, campuran, fokal, dan mukosal
termasuk dalam kelompok ini. Sedangkan vitiligo segmental memiliki
karakteristik berupa makula depigmentasi dengan distribusi dermatom unilateral
yang tidak melewati garis tengah tubuh. 2
Universitas Sumatera Utara
12
Umumnya vitiligo segmental sering mengenai anak-anak dan bercak
depigmentasi menetap selama bertahun-tahun namun tetap terlokalisir. Selain itu
pada vitiligo segmental sering melibatan sistem pigmentasi folikel rambut.2,3
Perbedaan antara vitiligo segmental dan nonsegmental dapat mempengaruhi
prognosis dalam hal resistensi untuk repigmentasi kembali.2-4,36-40
Terdapat beberapa skala penilaian yang dapat dilakukan untuk menilai
derajat keparahan vitiligo misalnya vitiligo area scoring index, vitiligo european
task
force
assessment,
vitiligo
disease
activity
score,
dan
potential
repigmentation index.40-43 Skoring ini dilakukan menilai luas daerah lesi,
aktivitas penyakit, dan residu pigmentasi.41-44
2.1.5
Diagnosis banding
Beberapa penyakit yang dapat didiagnosis banding dengan vitiligo yaitu
kelainan didapat seperti pityriasis versicolor , pityriasis alba , post-inflammatory
hypopigmentation , lichen sclerosus et atrophicus, morphea , sarcoidosis dan
leprosy sedangkan yang termasuk
kelainan bawaan antara lain nevus
depigmentosus, tuberous sclerosis, piebaldism, Vogt-Koyanagi’s syndrome ,
Wardeenburg’s syndrome dan Ziprkowski-Margolis’s syndrome .2,4
2.1.6
Diagnosis
Kriteria diagnostik umumnya melalui pemeriksaan klinis yaitu
berdasarkan temuan berupa lesi kulit akuisita, bercak berwarna putih berbatas
tegas pada kulit dan tidak ada berhubungan dengan inflamasi
serta
umumnya meluas secara sentrifugal.1-4,44 Vitiligo dapat diaksentuasi dengan
pemeriksaan lampu Wood, khususnya pada pasien dengan tipe kulit Fitzpatrick
Universitas Sumatera Utara
13
I dan II untuk melihat area yang terlibat. Pada tipe kulit yang lebih gelap, lampu
Wood dapat digunakan untuk melihat derajat depigmentasi pada masing-masing
individu.2,4
2.1.7
Histopatologi
Biopsi kulit jarang dibutuhkan untuk mengkonfirmasi diagnosis
vitiligo. 2 Secara umum, dari hasil pemeriksaan histopatologi menunjukan pada
lapisan epidermis lesi kulit tampak tidak memiliki. melanosit, dijumpai infiltrat
limfosit perivaskular dan perifolikular pada batas lesi awal vitiligo dan lesi aktif
yang konsisten dengan adanya proses imunitas seluler yang menghancurkan
melanosit secara in situ. Beberapa laporan menyatakan bahwa melanosit mungkin
tidak hilang sepenuhnya dari epidermis yang mengalami depigmentasi dan
melanosit residual
Penelitian
menjaga
kemampuan
untuk
mengembalikan
fungsi.
lebih lanjut dibutuhkan untuk mengklarifikasi isu yang sering
didebatkan ini. 2,26
2.1.8
Penatalaksanaan
Prinsip dasar penanganan vitiligo adalah memfasilitasi agar melanosit
aktif yang mampu bermigrasi dapat bertahan pada lesi depigmentasi untuk
selanjutnya mensintesis melanin. Repigmentasi ini sendiri dapat terjadi
secara spontan maupun
penatalaksanaan
oleh
karena
pengobatan.
telah dirancang untuk mengurangi
Berbagai
terjadinya
strategi
destruksi
melanosit dan meningkatkan repopulasi melanosit. Mekanisme kerjanya dengan
cara menstimulasi penyembuhan melanosit dan dengan mereaktivasi melanosit
residual atau menstimulasi migrasi melanosit dari kulit atau folikel rambut yang
berdekatan. 2
Universitas Sumatera Utara
14
Terapi vitiligo yang tersedia saat ini antara lain berupa pengobatan
secara topikal, sistemik, terapi fisik dan pembedahan. Terapi topikal dengan
kortikosteroid
dan
inhibitor
kalsineurin
serta
penyinaran baik dengan
narrowband UVB atau sinar UVA yang dikombinasi dengan psoralen sistemik
merupakan terapi lini pertama untuk vitiligo. Adapun terapi lini kedua dari
vitiligo antara lain: kalsipotriol topikal, kombinasi penyinaran UVA dengan
psoralen topikal, penyinaran dengan laser excimer , kortikosteroid sistemik dan
pembedahan dengan graft atau transplantasi melanosit.2,4,5,36,45-47
Beberapa
penelitian
mencoba
melihat
manfaat
pemberian
suplementasi vitamin dalam penatalakasanaan vitiligo. Juhlin & Olsson
melakukan penelitian dengan menggabungkan 1 mg vitamin B l2 dan 5 mg asam
folat yang diminum dua kali sehari ditambah edukasi untuk berjemur di sinar
matahari dan mendapatkan hasil yang baik.17
Penelitian
lain
oleh
Don
et
al
dengan
broadband
UVB
dengan penambahan 500 mg vitamin C, 1 mg vitamin B12 dan 5 mg asam
folat yang diberikan dua kali sehari juga tampak menjanjikan. 18 Perbaikan
yang diperoleh dengan penambahan vitamin B12 dan asam folat pada vitiligo ini
diduga berhubungan dengan peranan keduanya dalam menurunkan kadar
homosistein, dimana kadar homosistein yang berlebihan dikaitkan dengan
etiopatogenesis vitiligo.17,18,48
Universitas Sumatera Utara
15
2.2
Homosistein
Butz dan du Vigneaud pertama kali menjabarkan mengenai homosistein
pada tahun 1932. Homosistein merupakan asam amino bersulfur yang
tidak membentuk protein.13 Metabolisme homosistein berada di persimpangan
antara dua jalur metabolik, yaitu: jalur remetilasi dan jalur transulfurasi. 12-14
Jalur remetilasi berperan dalam siklus sintesis metionin. Metionin
sendiri dapat diperoleh dari diet makanan atau dibentuk dari daur ulang
homosistein. Pada jalur remetilasi, homosistein mendapat gugus metil dari N-5methyltetrahydrofolate atau dari betaine untuk membentuk metionin. Reaksi dari
N-5-methyltetrahydrofolate terjadi pada semua jaringan dan sangat bergantung
pada vitamin B12, sedangkan reaksi dengan betaine yang terutama terjadi pada
liver tidak bergantung pada vitamin B12. Sejumlah metionin yang terbentuk lalu
diaktivasi oleh adenosine triphosphate untuk membentuk S-adenosylmethionine
(SAM).12-14
S-adenosylmethionine yang mengandung kelompok metil yang sangat
reaktif kemudian ditransferkan ke berbagai substrat akseptor, termasuk asam
nukleat DNA dan asam ribonukleat, protein, fosfolipid, myelin, polisakarida,
choline , katekolamin dan sejumlah besar molekul-molekul kecil. Reaksi metilasi
ini akan menghasilkan S-adenosyl-l-homocysteine (SAH) yang selanjutnya
dihidrolisis dengan reaksi reversibel menjadi homosistein yang kemudian
didaur ulang menjadi metionin dan SAM atau diarahkan ke jalur transulfur. 12-14
Secara
normal,
sekitar
50%
dari homosistein
yang terbentuk
akan diremetilasi. Sisa homosistein akan diubah melalui jalur transulfur menjadi
sistein dalam dua reaksi yang membutuhkan vitamin B6 sebagai kofaktor.
Universitas Sumatera Utara
16
Jalur
ini penting untuk sintesis glutation. Glutation melindungi banyak
komponen seluler dari kerusakan oksidatif. 12,13
Pada jalur transulfurasi, homosistein berkondensasi dengan serine untuk
membentuk sistationin melalui reaksi reversibel yang dikatalisis oleh enzim yang
mengandung pyridoxal-50-phosphate, yaitu cystathione synthase. Sistationin
yang terbentuk lalu dihidrolisis oleh enzim sistationase untuk membentuk sistein
dan ketobutirat. Sistein yang berlebihan lalu dioksidasi menjadi taurine atau
menjadi sulfat inorganik atau diekskresikan melalui urin. Dengan
selain
untuk
membentuk
sistein,
jalur
transulfurasi
demikian
secara efektif
mengkatabolisme homosistein berlebihan yang tidak dibutuhkan untuk transfer
gugus metil. 12,13
Tiga enzim
yang terlibat secara langsung dalam metabolisme
homosistein ini, yaitu: methionin synthase (MS), betaine homocysteine
methyltransferase dan cysthatione synthase (CBS). Vitamin B12 adalah kofaktor
MS
sedangkan
B6
merupakan
kofaktor
CBS.
Methyltetrahydrofolate
(methylTHF ) adalah substrat dalam reaksi yang diperantarai MS. Reaksi ini
juga penting bagi pembentukan folat aktif yang dibutuhkan untuk sintesis purin
dan timidin, maka dari itu penting juga bagi sintesis dan perbaikan.12,13
Kebanyakan jaringan bergantung pada gugus metil yang diturunkan
dari daur ulang homosistein yang diperantarai oleh MS. Reaksi ini secara tidak
langsung diregulasi oleh aktivitas MTHFR dimana enzim ini memediasi
pembentukan methylTHF . Enzim ini memiliki pengaruh yang besar secara tidak
langsung terhadap remetilasi homosistein.
12,13
Metabolisme homosistein secara
skematis dijabarkan pada gambar 2.1.
Universitas Sumatera Utara
17
Gambar 2. 1 Metabolisme homosistein (dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan
nomor 11)
Nilai normal kadar homosistein yang saat ini digunakan sebagai
referensi adalah 5-15 µmol/L.12 Ada beberapa hal yang mempengaruhi kadar
homositein antara lain genetik, kadar vitamin dalam darah, jenis kelamin, usia,
gaya hidup, obat-obatan, penyakit-penyakit hiperproliferasi, gagal ginjal dan
gagal jantung, serta diabetes mellitus. Pengaruh faktor-faktor tersebut dalam
kelainan yang berhubungan dengan homositein telah menjadi lahan penelitian
yang sangat aktif.12,13
Semakin banyaknya jumlah variasi gen yang meregulasi enzim
yang terlibat dalam metabolisme telah diidentifikasikan baru-baru ini. Sekitar 200
penelitian diterbitkan mengenai satu di antara enzim tersebut, yaitu suatu
polimorfisme
yang
mengakibatkan
menyebabkan
berkurangnya
bentuk
thermolabile
aktivitas enzim.12,49 Hal
ini
dari
MTHFR
mengakibatkan
peningkatan kadar homosistein rata-rata sekitar 25%.12
Universitas Sumatera Utara
18
Kadar rata-rata homosistein meningkat seiring berjalannya waktu.
Konsentrasi homosistein yang lebih tinggi yang dijumpai pada usia lanjut
mungkin terjadi karena faktor gaya hidup ditambah dengan adanya malabsorpsi
yang disebabkan gastritis, berkurangnya metabolisme, menurunnya fungsi ginjal
dan keadaan fisiologis lainnya yang sering terjadi seiring dengan peningkatan
usia.50
Kadar homosistein pada lelaki lebih tinggi dibandingkan pada wanita.
48,51,53
Perbedaan di antara jenis kelamin ini dapat dijelaskan oleh status hormonal,
massa otot yang lebih besar pada laki-laki dan perbedaan gaya hidup di antara
wanita dan pria. Setelah menopause, perbedaan ini tidak dijumpai, namun
konsentrasi tetap lebih rendah pada wanita. Wanita hamil memiliki kadar
homosistein yang lebih rendah dibandingkan wanita yang tidak hamil, diduga
karena volume plasma yang lebih besar pada wanita hamil, peningkatan tingkat
metabolisme, dan filtrasi glomerulus.12
Merokok
memiliki
hubungan
yang
kuat
dengan
peningkatan
kadar homosistein. Efek merokok pada kadar homosistein juga semakin diperkuat
oleh adanya asupan alkohol yang tinggi, konsumsi kopi dan nutrisi yang
tidak memadai. Olahraga yang kurang, obesitas dan bahkan stres berhubungan
dengan peningkatan kadar homosistein. Maka dari itu faktor gaya hidup yang
tidak seha t mungkin menjadi penjelasan utama
homosistein yang moderat.
diperoleh
dari
Hal
ini
terjadinya
diilustrasikan
pada
peningkatan
data
yang
penelitian Norwegian Hordal. Ketika seseorang yang bukan
perokok dengan konsumsi kopi yang rendah dan asupan folat yang tinggi diteliti
secara terpisah, rata-rata konsentrasi homosistein lebih rendah 3,0-4,8 µmol/L.12
Universitas Sumatera Utara
19
Selain itu ada beberapa obat yang berinteraksi dengan metabolisme homosistein
yang menyebabkan
reduksi
absorbsi
kofaktor atau
peningkatan tingkat
katabolisme vitamin.12
2.3
Peran Homosistein dalam Vitiligo
Dikemukakan bahwa pasien vitiligo lebih cenderung rnengalami anemia
pernisiosa dan defisiensi vitamin B12. Asam folat dan vitamin B12 merupakan
kofaktor enzim homosistein metil transferase yang berfungsi dalam regenerasi
metionin dari homosistein pada siklus remetilasi. Defisiensi kedua vitamin
ini dapat menyebabkan keadaan hiperhomosisteinemia.18,19
Sabry et al menemukan rata-rata kadar homosistein serum pasien
vitiligo (17.77± 7.72 µmol/L) yang secara signifikan lebih tinggi dibanding
kontrol (11.81±3.41 µmol/L).54 Silverberg menemukan adanya peningkatan
kadar homosistein yang berbanding terbalik dengan kadar vitamin B12 pada
pasien vitiligo baru.55 Penelitian Sabry dan Silverberg sama-sama menemukan
adanya hubungan antara peningkatan kadar homosistein dan luas vitiligo.54,55
Sedangkan Ghalamkarpour menjumpai hal sebaliknya. 56
Tidak dijumpai
hubungan antara lama menderita penyakit dengan kadar homosistein. 18,53-56
Profil homosistein pada kelompok dengan lama penyakit 20 tahun ( 26,22 ± 9,21
µmol/L). 18 Singh et al menjumpai
kadar rerata homosistein pada
vitiligo
aktif yaitu 30.2± 6.5 µmol/L yang lebih tinggi daripada kontrol yaitu 23.1±1.9
µ mol/L.18 Hasil yang serupa
juga
didapati
oleh
Shaker
&
El-Tahlawi
yang menjumpai kadar homosistein serum (21.61 ± 13.8 µmol/L) yang lebih
Universitas Sumatera Utara
20
meningkat secara signifikan dibandingkan
µ mol/L).15
Karadag
et
al
dengan
kontrol
(13,1
±
4,8
juga menjumpai adanya perbedaan signifikan
antara kontrol (9,4 µmol/L ) dan pasien vitiligo (11,4 µmol/L).11
Hasil
ini
merupakan
hal
yang
logis
karena
metabolisme
homosistein bergantung pada asam folat dan vitamin B12, dimana keduanya
rendah pada pasien vitiligo. Kenaikan kadar homosistein dijumpai baik pada
penyakit yang aktif maupun stabil namun tidak pada pasien yang regresif, yang
menunjukan kemungkinan hubungan dengan vitiligo, setelah seluruh faktor yang
mungkin memepengaruhi telah dieksklusikan.15,18,54,55
Beberapa
teori
mungkin
dapat
menjelaskan
kemungkinan
pengaruh peningkatan homosistein terhadap melanosit pada pasien vitiligo.
Peningkatan kadar homosistein menyebabkan produksi ROS yang terbentuk
akibat oksidasi homosistein bersamaan dengan abnormalitas biokimia lainnya
pada vitiligo seperti metabolisme biopterin. Hal ini mengakibatkan terjadinya
stres oksidatif pada
inhibisi
melanosit,
akumulasi
proses detoksifikasi alamiah
bahan
melanositotoksik
yang akhirnya berkontribusi
dan
dalam
menghancurkan melanosit pada kulit vitiligo. Fakta bahwa asam folat memiliki
efek antioksidan pada vitiligo mendukung hipotesis ini. 15,18,54,55
Homosistein juga dapat menghambat enzim histidase dan tirosinase
kulit. Inhibisi ini terjadi kemungkinan melalui interaksi dengan tembaga pada
lokasi aktif enzim. Oleh karena itu, merupakan suatu hal yang mungkin bahwa
peningkatan homosistein lokal dapat mengganggu melanogenesis normal dan
memiliki peranan dalam patogenesis vitiligo. 11,15,19,49,56
Universitas Sumatera Utara
21
Terdapat
kemungkinan
hubungan
antara
gen
yang
meregulasi
metabolisme homosistein plasma dengan kerentanan terjadinya vitiligo. Salah
satu gen yang diduga berhubungan adalah gen CAT. Mutasi pada gen ini dapat
menyebabkan aktivitas katalase yang rendah yang dapat terdeteksi pada pasien
vitiligo.34 Gen lainnya yang disebut berperan adalah gen MTHFR yaitu gen
untuk enzim yang berperan dalam siklus remetilasi homosistein untuk menjadi
metionin. Adanya polimorfisme pada gen ini menyebabkan kegagalan sintesis
metionin yang mengakibatkan peningkatan kadar homosistein dalam darah.
Penelitian lebih lanjut mengenai pola mutasi gen masih perlu dilakukan. 15,57
Efek
yang
berbahaya
dari
hiperhomosisteinemia
juga
mungkin dikarenakan akibat reaksi homosistein dengan protein membentuk
disulfide. Hal ini mungkin karena konversi homosistein menjadi tiolakton yang
sangat reaktif yang dapat
bereaksi
dengan protein membentuk suatu
tambahan gugus nitro hydroxyl carbon monoxide, yang mempengaruhi protein
dan enzim tubuh. 15
Homosistein dikatakan memperantarai destruksi melanosit melalui
produksi IL-6 yang dapat meningkatkan ekspresi intercellular adhesion
molecule -1 yang merangsang melekatnya melanosit ke leukosit, menginduksi
aktivasi sel- B poliklonal, meningkatkan produksi autoantibodi.58 Selain itu
homosistein dapat merangsang aktivitas NF-KB yang diteliti dapat memodulasi
ekspresi pro- appoptosis p53 pada lesi vitiligo.59 Hal ini dapat menyebabkan
kerusakan melanosit pada vitiligo.58,59
Universitas Sumatera Utara
22
2.4 Kerangka Teori
Polimorfisme genetik
- Gen MTHFR kromosom 1p36.3
- Gen CAT kromosom 11p13
HOMOSISTEIN
Aktivasi NF-ĸB
↑pro apoptosis p53
↑ oksidasi
Produksi IL-6
Merangsang
melekatnya
melanosit ke
leukosit,
menginduksi
aktivitas sel
B poliklonal,
↑ produksi
autoantibodi
Destruksi melanosit
Hipotesis genetik
Usia, jenis kelamin,kadar vitamin dalam darah, gaya hidup, obat-obatan,
penyakit-penyakit hiperproliferasi, gagal ginjal, gagal jantung, diabetes mellitus.
Interaksi dengan
tembaga pada lokasi
aktif enzim tirosinase
Konversi menjadi
tiolakton
Produksi ROS
Bereaksi dengan
protein
Stres oksidatif
Akumulasi bahan
melanositotoksik
Inhibisi
detoksifikasi
alamiah
Inhibisi tirosinase
Membentuk disulfide
Mempengaruhi protein
dan enzim tirosinase
Destruksi melanosit
Hipotesis autoimun
Hipotesis biokimia
Etiopatogenesis vitiligo
Gambaran klinis: makula depigmentasi berbatas
tegas
Tipe klinis: segmental, nonsegmental
VITILIGO
Epidemiologi
Usia dewasa muda
Pria=wanita
Riwayat keluarga lini pertama
Gambar 2.2 Kerangka teori
Universitas Sumatera Utara
23
2.5. Kerangka Konsep
Vitiligo
Kadar homosistein serum
Jenis kelamin
Usia
Lama
mengalami
vitiligo
Riwayat keluarga
Tipe klinis
Gambar 2.3. Kerangka konsep
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Vitiligo
2.1.1. Sejarah dan definisi
Vitiligo pertama kali dikenal sejak lebih dari 3000 tahun yang lalu dari tulisantulisan Mesir dan Vedic. Zaman dahulu kala kelainan vitiligo ini masih sulit
dibedakan dari penyakit kusta. Asal mula istilah “vitiligo” tidak diketahui. Pada
pertengahan abad ke 16, Hieronymus Mercurialis menduga istilah vitiligo berasal dari
bahasa Latin yaitu kata "vitium" atau "vitellum" yang artinya cacat.20
Vitiligo
merupakan
kelainan
didapat
dengan
gambaran
bercak
depigmentasi asimtomatik pada kulit, membran mukosa atau rambut yang melibatkan
faktor genetik dan non genetik dengan karakteristik berupa destruksi melanosit
epidermis yang dimediasi oleh proses autoimun progresif. 1,2,4
2.1.2.
Epidemiologi
Prevalensi vitiligo berkisar antara 0,3-0,5% pada populasi diseluruh
dunia.2 Menurut Alikhan persentase prevalensi vitiligo adalah 0,l-8% dari penduduk
dunia yang menderita penyakit ini. 1
Prevalensi vitiligo terlihat konsisten di
antara beberapa populasi yang berbeda, yaitu : 0,38% pada ras Kaukasia, 0,34% pada
ras Afrokaribia, 0,46% pada ras India, dan walaupun jarang juga
dijumpai
pada
suku Han Tiongkok berkisar 0,093%.2 Prevalensi dan insidensi vitiligo sendiri
belum banyak diteliti di Indonesia. Rizal dan Lestari menemukan angka insidensi
vitiligo pada tahun 2001-2006 di RSUP Dr. M. Djamil Padang yaitu 0,46%.9
6
Universitas Sumatera Utara
7
Vitiligo dapat muncul pada berbagai usia, dengan usia rata-rata pada
pasien kaukasia adalah 24 tahun. 2 Di RSUP Dr. M. Djamil Padang, vitiligo paling
banyak dijumpai pada kelompok usia 21-30 tahun.9 Rahman et al menemukan
bahwa rata-rata usia pasien vitiligo di Bangladesh adalah 23 tahun.21
Vitiligo dapat terjadi baik pada pria maupun wanita. 1,2,4,21 Perbedaan insidensi
di beberapa penelitian mungkin lebih disebabkan karena perempuan tampak lebih
banyak mencari pengobatan.1,2
Vitiligo
dihubungkan
dengan
adanya
riwayat
keluarga
pada
lini
pertama. 2Biasanya vitiligo diwariskan bukan dengan pola Mendel namun merupakan
suatu kelainan poligenik. Saudara kembar monozigot dari pasien vitiligo sekitar 23%
akan mengalami hal yang sama.2
2.1.3. Etiologi dan patogenesis
Vitiligo
adalah
kelainan
multifaktorial,
poligenik
dengan
patogenesis kompleks yang belum dipahami dengan baik. Dari beberapa patogenesis
penyakit, yang paling diterima adalah faktor genetik dan non genetik saling
berinteraksi
untuk
mempengaruhi
fungsi
dan
kelangsungan
hidup melanosit,
yang akhirnya menyebabkan destruksi melanosit. Beberapa penulis lain mengemukakan
penjelasan-penjelasan termasuk di antaranya defek adhesi melanosit, kerusakan
neurogenik, kerusakan biokimia, autositotoksisitas dan lainnya.2,4,22
Universitas Sumatera Utara
8
2.1.3.1. Hipotesis genetik
Penelitian epidemiologis dalam skala besar telah menunjukan bahwa
kebanyakan kasus vitiligo terjadi secara sporadik, walaupun sekitar 15-25%
pasien memiliki satu atau lebih keluarga lini pertama yang juga terkena.
Umumnya kasus-kasus agregasi familial menunjukan pola non-Mendelian yang
mengesankan adanya penurunan multifaktorial dan poligenik yang berperan
penting dalam semua aspek patogenesis vitiligo. 2,4
Suatu penelitian di Eropa pada subjek pasien vitiligo dengan ras
kaukasia menemukan setidaknya 10 lokus berbeda yang berhubungan dengan
resiko terjadinya vitiligo generalisata. Tujuh di antara lokus ini
juga
dihubungkan dengan penyakit autoimun lainnya yaitu human leucocyte antigen
(HLA) kelas I, HLA kelas II, protein tyrosine phosphatase, non-receptor type
22 (PTPN22), lipoma-preferred partner (LPP), Interleukin-2 receptor, alpha
(IL2RA), ubiquitin associated and SH3 domain containing A (UBASH3A),
dan complement Clq Tumor Necrosis Factor-Related Protein 6 (C1QTNF6).
Dua lokus lainnya mengkode protein yang terlibat pada fungsi pertahanan tubuh,
yaitu: Arginine- Glutamic
Acid
Dipeptide
Repeats-Encoding
(RERE)
dan Granzyme B (GZMB). Selain itu peningkatan resiko vitiligo juga
dihubungkan dengan lokus tyrosinase (TYR) yang mengkode tirosinase, suatu
enzim yang berfungsi pada biosintesis melanin yang juga berperan sebagai
autoantigen utama pada vitiligo generalisata.2,23
Menurut Shaker d a n El-Tahlawi, mutasi genetik pada pasien vitiligo
dapat menyebabkan gangguan metabolisme homosistein. Hal ini menyebabkan
hiperhomosisteinemia yang diduga berhubungan dengan patogenesis vitiligo.
Universitas Sumatera Utara
9
Polimorfisme gen
methylenetetrahydrofolate reductase (MTHFR)
yang terletak pada kromosom 1p36.3 dan gen catalase (CAT) yaitu pada
kromosom 11p13 dikaitkan dengan hiperhomosisteinemia.12 Namun masih
diperlukan penelitian lanjutan untuk melihat pola mutasi yang terjadi. 15
2.1.3.2. Hipotesis autoimun
Vitiligo khususnya tipe generalisata secara luas dianggap sebagai
penyakit autoimun, dengan keterlibatan komponen humoral dan seluler dari
sistem imun bawaan dan adaptif.24 Keyakinan ini didukung oleh hasil penelitian
epidemiologi dan klinis. Karakteristik penyakit yang menguatkan hipotesis ini
antara lain yaitu kemampuannya untuk dapat relaps dan remisi yang biasanya
dijumpai pada penyakit autoimun, dapat membaik setelah terapi imunosupresif,
adanya pola sitokin proinflamasi tipe T helper-1 (Th-1), dijumpainya infiltrat
sel T pada daerah perilesi, dan terdapat sel T sitotoksik antimelanosit pada kulit
dan sirkulasi serta antibodi antimelanosit dalam sirkulasi. 25-28
Autoantibodi
yang
dijumpai
dengan
target
antigen
sistem
melanogenik disebut autoantibodi anti melanosit. Autoantibodi ini bersifat toksik
terhadap melanosit dan menghambat pembentukan melanin.24,26
antigen
Beberapa
target yaitu tirosinase, tyrosinase-related protein -1, dopachrome
tautomerase dan lainnya.24
Selain imunitas humoral, peran sistem kekebalan seluler pada vitiligo
juga telah diteliti. Pada tepi lesi vitiligo yang aktif dapat dijumpai infiltrat
inflamasi yang terdiri dari limfosit T sitotoksik. Sel-sel T ini mengekspresikan
pola sitokin tipe 1 yang memiliki aktivitas sitolisis terhadap sisa melanosit yang
Universitas Sumatera Utara
10
ada, melalui jalur granzyme / perforin.2 Homosistein sendiri diduga dapat
mengaktivasi NF-ĸB dan memproduksi IL-6 pada sistem imunitas.15
2.1.3.3. Hipotesis biokimia
Dijumpai beberapa bukti bahwa vitiligo adalah penyakit yang mengenai
keseluruhan epidermis, yang kemungkinan melibatkan abnormalitas biokimia
baik dari melanosit dan keratinosit. Kelainan morfologi dan fungsional spesifik
pada melanosit dan keratinosit vitiligo diduga memiliki latar belakang genetik.
Abnormalitas ultrastruktural keratinosit dari tepi lesi kulit vitiligo telah
dihubungkan dengan aktivitas mitokondria yang terganggu, dan dianggap
mempengaruhi
produksi
dari
faktor
pertumbuhan
melanosit
tertentu
yang mengatur kelangsungan hidup melanosit. Sebuah temuan biokimia yang
penting adalah peningkatan kadar hydrogen peroxide (H2O2) pada epidermis
daerah yang terkena, yang mungkin sebagian disebabkan oleh berkurangnya
kapasitas antioksidan enzimatik pada keratinosit dan melanosit. Pertahanan
antioksidan yang defektif membuat peningkatan kerentanan melanosit baik
terhadap sitotoksitas imunologik dan terhadap sitotoksitas yang diinduksi
oleh reactive oxygen species (ROS ).2,29-33
Secara umum stres oksidatif disebabkan oleh ketidakseimbangan
antara
produksi
ROS
dan
mendetoksifikasi zat reaktif
kemampuan
sistem
atau
memperbaiki
untuk
biologik
untuk
dapat
kerusakan
yang
dihasilkan. 34,35 ROS diproduksi sebagai produk sampingan proses melanogenesis
di dalam melanosit dan dikendalikan oleh beberapa enzim antioksidan di
epidermis seperti katalase dan glutation
peroksidase.29,30,32,35 Stres
oksidatif
diperkirakan merupakan awal peristiwa patogenik dalam terjadinya destruksi
Universitas Sumatera Utara
11
melanosit. 35 Pada stres oksidatif, tidak adanya aktivitas antioksidan yang
memadai menyebabkan terjadinya akumulasi berlebihan dari radikal bebas, yang
akan merusak zat seluler seperti protein, karbohidrat, deoxyribonucleic acid
(DNA) dan lipid. Pada vitiligo terjadi keadaan stres oksidatif dimana dijumpai
produksi berlebihan dari H2O2 yang bersifat
sitotoksik
terhadap
melanosit
melalui berbagai mekanisme. 28,32,34
Homosistein sendiri dihubungkan dengan pembentukan ROS yang
terjadi akibat oksidasi dari homosistein yang bersamaan dengan abnormalitas
biokimia lain misalnya biopterin. Hal ini akan berujung dengan terjadinya
destruksi melanosit yang akan mengakibatkan perubahan pigmentasi kulit.14
2.1.4
Gambaran klinis
Manifestasi
klinis
primer
dari
vitiligo
adalah
dijumpainya
makula berwarna putih susu dengan depigmentasi yang relatif homogen dan
berbatas tegas. Vitiligo dapat diklasiflkasikan menjadi tipe segmental dan
nonsegmental berdasarkan gambaran klinis khas dan riwayat alamiah. 2
Berdasarkan konsensus yang dibuat oleh Vitiligo European Taskforce (VETF)
pada saat konferensi International Pigment Cell Conference
vitiligo
tahun 2011,
nonsegmental memiliki karakteristik berupa makula depigmentasi
dengan berbagai ukuran yang sering melibatkan kedua sisi tubuh dan cenderung
simetris. 3 Vitiligo universalis, vulgaris, akrofasial, campuran, fokal, dan mukosal
termasuk dalam kelompok ini. Sedangkan vitiligo segmental memiliki
karakteristik berupa makula depigmentasi dengan distribusi dermatom unilateral
yang tidak melewati garis tengah tubuh. 2
Universitas Sumatera Utara
12
Umumnya vitiligo segmental sering mengenai anak-anak dan bercak
depigmentasi menetap selama bertahun-tahun namun tetap terlokalisir. Selain itu
pada vitiligo segmental sering melibatan sistem pigmentasi folikel rambut.2,3
Perbedaan antara vitiligo segmental dan nonsegmental dapat mempengaruhi
prognosis dalam hal resistensi untuk repigmentasi kembali.2-4,36-40
Terdapat beberapa skala penilaian yang dapat dilakukan untuk menilai
derajat keparahan vitiligo misalnya vitiligo area scoring index, vitiligo european
task
force
assessment,
vitiligo
disease
activity
score,
dan
potential
repigmentation index.40-43 Skoring ini dilakukan menilai luas daerah lesi,
aktivitas penyakit, dan residu pigmentasi.41-44
2.1.5
Diagnosis banding
Beberapa penyakit yang dapat didiagnosis banding dengan vitiligo yaitu
kelainan didapat seperti pityriasis versicolor , pityriasis alba , post-inflammatory
hypopigmentation , lichen sclerosus et atrophicus, morphea , sarcoidosis dan
leprosy sedangkan yang termasuk
kelainan bawaan antara lain nevus
depigmentosus, tuberous sclerosis, piebaldism, Vogt-Koyanagi’s syndrome ,
Wardeenburg’s syndrome dan Ziprkowski-Margolis’s syndrome .2,4
2.1.6
Diagnosis
Kriteria diagnostik umumnya melalui pemeriksaan klinis yaitu
berdasarkan temuan berupa lesi kulit akuisita, bercak berwarna putih berbatas
tegas pada kulit dan tidak ada berhubungan dengan inflamasi
serta
umumnya meluas secara sentrifugal.1-4,44 Vitiligo dapat diaksentuasi dengan
pemeriksaan lampu Wood, khususnya pada pasien dengan tipe kulit Fitzpatrick
Universitas Sumatera Utara
13
I dan II untuk melihat area yang terlibat. Pada tipe kulit yang lebih gelap, lampu
Wood dapat digunakan untuk melihat derajat depigmentasi pada masing-masing
individu.2,4
2.1.7
Histopatologi
Biopsi kulit jarang dibutuhkan untuk mengkonfirmasi diagnosis
vitiligo. 2 Secara umum, dari hasil pemeriksaan histopatologi menunjukan pada
lapisan epidermis lesi kulit tampak tidak memiliki. melanosit, dijumpai infiltrat
limfosit perivaskular dan perifolikular pada batas lesi awal vitiligo dan lesi aktif
yang konsisten dengan adanya proses imunitas seluler yang menghancurkan
melanosit secara in situ. Beberapa laporan menyatakan bahwa melanosit mungkin
tidak hilang sepenuhnya dari epidermis yang mengalami depigmentasi dan
melanosit residual
Penelitian
menjaga
kemampuan
untuk
mengembalikan
fungsi.
lebih lanjut dibutuhkan untuk mengklarifikasi isu yang sering
didebatkan ini. 2,26
2.1.8
Penatalaksanaan
Prinsip dasar penanganan vitiligo adalah memfasilitasi agar melanosit
aktif yang mampu bermigrasi dapat bertahan pada lesi depigmentasi untuk
selanjutnya mensintesis melanin. Repigmentasi ini sendiri dapat terjadi
secara spontan maupun
penatalaksanaan
oleh
karena
pengobatan.
telah dirancang untuk mengurangi
Berbagai
terjadinya
strategi
destruksi
melanosit dan meningkatkan repopulasi melanosit. Mekanisme kerjanya dengan
cara menstimulasi penyembuhan melanosit dan dengan mereaktivasi melanosit
residual atau menstimulasi migrasi melanosit dari kulit atau folikel rambut yang
berdekatan. 2
Universitas Sumatera Utara
14
Terapi vitiligo yang tersedia saat ini antara lain berupa pengobatan
secara topikal, sistemik, terapi fisik dan pembedahan. Terapi topikal dengan
kortikosteroid
dan
inhibitor
kalsineurin
serta
penyinaran baik dengan
narrowband UVB atau sinar UVA yang dikombinasi dengan psoralen sistemik
merupakan terapi lini pertama untuk vitiligo. Adapun terapi lini kedua dari
vitiligo antara lain: kalsipotriol topikal, kombinasi penyinaran UVA dengan
psoralen topikal, penyinaran dengan laser excimer , kortikosteroid sistemik dan
pembedahan dengan graft atau transplantasi melanosit.2,4,5,36,45-47
Beberapa
penelitian
mencoba
melihat
manfaat
pemberian
suplementasi vitamin dalam penatalakasanaan vitiligo. Juhlin & Olsson
melakukan penelitian dengan menggabungkan 1 mg vitamin B l2 dan 5 mg asam
folat yang diminum dua kali sehari ditambah edukasi untuk berjemur di sinar
matahari dan mendapatkan hasil yang baik.17
Penelitian
lain
oleh
Don
et
al
dengan
broadband
UVB
dengan penambahan 500 mg vitamin C, 1 mg vitamin B12 dan 5 mg asam
folat yang diberikan dua kali sehari juga tampak menjanjikan. 18 Perbaikan
yang diperoleh dengan penambahan vitamin B12 dan asam folat pada vitiligo ini
diduga berhubungan dengan peranan keduanya dalam menurunkan kadar
homosistein, dimana kadar homosistein yang berlebihan dikaitkan dengan
etiopatogenesis vitiligo.17,18,48
Universitas Sumatera Utara
15
2.2
Homosistein
Butz dan du Vigneaud pertama kali menjabarkan mengenai homosistein
pada tahun 1932. Homosistein merupakan asam amino bersulfur yang
tidak membentuk protein.13 Metabolisme homosistein berada di persimpangan
antara dua jalur metabolik, yaitu: jalur remetilasi dan jalur transulfurasi. 12-14
Jalur remetilasi berperan dalam siklus sintesis metionin. Metionin
sendiri dapat diperoleh dari diet makanan atau dibentuk dari daur ulang
homosistein. Pada jalur remetilasi, homosistein mendapat gugus metil dari N-5methyltetrahydrofolate atau dari betaine untuk membentuk metionin. Reaksi dari
N-5-methyltetrahydrofolate terjadi pada semua jaringan dan sangat bergantung
pada vitamin B12, sedangkan reaksi dengan betaine yang terutama terjadi pada
liver tidak bergantung pada vitamin B12. Sejumlah metionin yang terbentuk lalu
diaktivasi oleh adenosine triphosphate untuk membentuk S-adenosylmethionine
(SAM).12-14
S-adenosylmethionine yang mengandung kelompok metil yang sangat
reaktif kemudian ditransferkan ke berbagai substrat akseptor, termasuk asam
nukleat DNA dan asam ribonukleat, protein, fosfolipid, myelin, polisakarida,
choline , katekolamin dan sejumlah besar molekul-molekul kecil. Reaksi metilasi
ini akan menghasilkan S-adenosyl-l-homocysteine (SAH) yang selanjutnya
dihidrolisis dengan reaksi reversibel menjadi homosistein yang kemudian
didaur ulang menjadi metionin dan SAM atau diarahkan ke jalur transulfur. 12-14
Secara
normal,
sekitar
50%
dari homosistein
yang terbentuk
akan diremetilasi. Sisa homosistein akan diubah melalui jalur transulfur menjadi
sistein dalam dua reaksi yang membutuhkan vitamin B6 sebagai kofaktor.
Universitas Sumatera Utara
16
Jalur
ini penting untuk sintesis glutation. Glutation melindungi banyak
komponen seluler dari kerusakan oksidatif. 12,13
Pada jalur transulfurasi, homosistein berkondensasi dengan serine untuk
membentuk sistationin melalui reaksi reversibel yang dikatalisis oleh enzim yang
mengandung pyridoxal-50-phosphate, yaitu cystathione synthase. Sistationin
yang terbentuk lalu dihidrolisis oleh enzim sistationase untuk membentuk sistein
dan ketobutirat. Sistein yang berlebihan lalu dioksidasi menjadi taurine atau
menjadi sulfat inorganik atau diekskresikan melalui urin. Dengan
selain
untuk
membentuk
sistein,
jalur
transulfurasi
demikian
secara efektif
mengkatabolisme homosistein berlebihan yang tidak dibutuhkan untuk transfer
gugus metil. 12,13
Tiga enzim
yang terlibat secara langsung dalam metabolisme
homosistein ini, yaitu: methionin synthase (MS), betaine homocysteine
methyltransferase dan cysthatione synthase (CBS). Vitamin B12 adalah kofaktor
MS
sedangkan
B6
merupakan
kofaktor
CBS.
Methyltetrahydrofolate
(methylTHF ) adalah substrat dalam reaksi yang diperantarai MS. Reaksi ini
juga penting bagi pembentukan folat aktif yang dibutuhkan untuk sintesis purin
dan timidin, maka dari itu penting juga bagi sintesis dan perbaikan.12,13
Kebanyakan jaringan bergantung pada gugus metil yang diturunkan
dari daur ulang homosistein yang diperantarai oleh MS. Reaksi ini secara tidak
langsung diregulasi oleh aktivitas MTHFR dimana enzim ini memediasi
pembentukan methylTHF . Enzim ini memiliki pengaruh yang besar secara tidak
langsung terhadap remetilasi homosistein.
12,13
Metabolisme homosistein secara
skematis dijabarkan pada gambar 2.1.
Universitas Sumatera Utara
17
Gambar 2. 1 Metabolisme homosistein (dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan
nomor 11)
Nilai normal kadar homosistein yang saat ini digunakan sebagai
referensi adalah 5-15 µmol/L.12 Ada beberapa hal yang mempengaruhi kadar
homositein antara lain genetik, kadar vitamin dalam darah, jenis kelamin, usia,
gaya hidup, obat-obatan, penyakit-penyakit hiperproliferasi, gagal ginjal dan
gagal jantung, serta diabetes mellitus. Pengaruh faktor-faktor tersebut dalam
kelainan yang berhubungan dengan homositein telah menjadi lahan penelitian
yang sangat aktif.12,13
Semakin banyaknya jumlah variasi gen yang meregulasi enzim
yang terlibat dalam metabolisme telah diidentifikasikan baru-baru ini. Sekitar 200
penelitian diterbitkan mengenai satu di antara enzim tersebut, yaitu suatu
polimorfisme
yang
mengakibatkan
menyebabkan
berkurangnya
bentuk
thermolabile
aktivitas enzim.12,49 Hal
ini
dari
MTHFR
mengakibatkan
peningkatan kadar homosistein rata-rata sekitar 25%.12
Universitas Sumatera Utara
18
Kadar rata-rata homosistein meningkat seiring berjalannya waktu.
Konsentrasi homosistein yang lebih tinggi yang dijumpai pada usia lanjut
mungkin terjadi karena faktor gaya hidup ditambah dengan adanya malabsorpsi
yang disebabkan gastritis, berkurangnya metabolisme, menurunnya fungsi ginjal
dan keadaan fisiologis lainnya yang sering terjadi seiring dengan peningkatan
usia.50
Kadar homosistein pada lelaki lebih tinggi dibandingkan pada wanita.
48,51,53
Perbedaan di antara jenis kelamin ini dapat dijelaskan oleh status hormonal,
massa otot yang lebih besar pada laki-laki dan perbedaan gaya hidup di antara
wanita dan pria. Setelah menopause, perbedaan ini tidak dijumpai, namun
konsentrasi tetap lebih rendah pada wanita. Wanita hamil memiliki kadar
homosistein yang lebih rendah dibandingkan wanita yang tidak hamil, diduga
karena volume plasma yang lebih besar pada wanita hamil, peningkatan tingkat
metabolisme, dan filtrasi glomerulus.12
Merokok
memiliki
hubungan
yang
kuat
dengan
peningkatan
kadar homosistein. Efek merokok pada kadar homosistein juga semakin diperkuat
oleh adanya asupan alkohol yang tinggi, konsumsi kopi dan nutrisi yang
tidak memadai. Olahraga yang kurang, obesitas dan bahkan stres berhubungan
dengan peningkatan kadar homosistein. Maka dari itu faktor gaya hidup yang
tidak seha t mungkin menjadi penjelasan utama
homosistein yang moderat.
diperoleh
dari
Hal
ini
terjadinya
diilustrasikan
pada
peningkatan
data
yang
penelitian Norwegian Hordal. Ketika seseorang yang bukan
perokok dengan konsumsi kopi yang rendah dan asupan folat yang tinggi diteliti
secara terpisah, rata-rata konsentrasi homosistein lebih rendah 3,0-4,8 µmol/L.12
Universitas Sumatera Utara
19
Selain itu ada beberapa obat yang berinteraksi dengan metabolisme homosistein
yang menyebabkan
reduksi
absorbsi
kofaktor atau
peningkatan tingkat
katabolisme vitamin.12
2.3
Peran Homosistein dalam Vitiligo
Dikemukakan bahwa pasien vitiligo lebih cenderung rnengalami anemia
pernisiosa dan defisiensi vitamin B12. Asam folat dan vitamin B12 merupakan
kofaktor enzim homosistein metil transferase yang berfungsi dalam regenerasi
metionin dari homosistein pada siklus remetilasi. Defisiensi kedua vitamin
ini dapat menyebabkan keadaan hiperhomosisteinemia.18,19
Sabry et al menemukan rata-rata kadar homosistein serum pasien
vitiligo (17.77± 7.72 µmol/L) yang secara signifikan lebih tinggi dibanding
kontrol (11.81±3.41 µmol/L).54 Silverberg menemukan adanya peningkatan
kadar homosistein yang berbanding terbalik dengan kadar vitamin B12 pada
pasien vitiligo baru.55 Penelitian Sabry dan Silverberg sama-sama menemukan
adanya hubungan antara peningkatan kadar homosistein dan luas vitiligo.54,55
Sedangkan Ghalamkarpour menjumpai hal sebaliknya. 56
Tidak dijumpai
hubungan antara lama menderita penyakit dengan kadar homosistein. 18,53-56
Profil homosistein pada kelompok dengan lama penyakit 20 tahun ( 26,22 ± 9,21
µmol/L). 18 Singh et al menjumpai
kadar rerata homosistein pada
vitiligo
aktif yaitu 30.2± 6.5 µmol/L yang lebih tinggi daripada kontrol yaitu 23.1±1.9
µ mol/L.18 Hasil yang serupa
juga
didapati
oleh
Shaker
&
El-Tahlawi
yang menjumpai kadar homosistein serum (21.61 ± 13.8 µmol/L) yang lebih
Universitas Sumatera Utara
20
meningkat secara signifikan dibandingkan
µ mol/L).15
Karadag
et
al
dengan
kontrol
(13,1
±
4,8
juga menjumpai adanya perbedaan signifikan
antara kontrol (9,4 µmol/L ) dan pasien vitiligo (11,4 µmol/L).11
Hasil
ini
merupakan
hal
yang
logis
karena
metabolisme
homosistein bergantung pada asam folat dan vitamin B12, dimana keduanya
rendah pada pasien vitiligo. Kenaikan kadar homosistein dijumpai baik pada
penyakit yang aktif maupun stabil namun tidak pada pasien yang regresif, yang
menunjukan kemungkinan hubungan dengan vitiligo, setelah seluruh faktor yang
mungkin memepengaruhi telah dieksklusikan.15,18,54,55
Beberapa
teori
mungkin
dapat
menjelaskan
kemungkinan
pengaruh peningkatan homosistein terhadap melanosit pada pasien vitiligo.
Peningkatan kadar homosistein menyebabkan produksi ROS yang terbentuk
akibat oksidasi homosistein bersamaan dengan abnormalitas biokimia lainnya
pada vitiligo seperti metabolisme biopterin. Hal ini mengakibatkan terjadinya
stres oksidatif pada
inhibisi
melanosit,
akumulasi
proses detoksifikasi alamiah
bahan
melanositotoksik
yang akhirnya berkontribusi
dan
dalam
menghancurkan melanosit pada kulit vitiligo. Fakta bahwa asam folat memiliki
efek antioksidan pada vitiligo mendukung hipotesis ini. 15,18,54,55
Homosistein juga dapat menghambat enzim histidase dan tirosinase
kulit. Inhibisi ini terjadi kemungkinan melalui interaksi dengan tembaga pada
lokasi aktif enzim. Oleh karena itu, merupakan suatu hal yang mungkin bahwa
peningkatan homosistein lokal dapat mengganggu melanogenesis normal dan
memiliki peranan dalam patogenesis vitiligo. 11,15,19,49,56
Universitas Sumatera Utara
21
Terdapat
kemungkinan
hubungan
antara
gen
yang
meregulasi
metabolisme homosistein plasma dengan kerentanan terjadinya vitiligo. Salah
satu gen yang diduga berhubungan adalah gen CAT. Mutasi pada gen ini dapat
menyebabkan aktivitas katalase yang rendah yang dapat terdeteksi pada pasien
vitiligo.34 Gen lainnya yang disebut berperan adalah gen MTHFR yaitu gen
untuk enzim yang berperan dalam siklus remetilasi homosistein untuk menjadi
metionin. Adanya polimorfisme pada gen ini menyebabkan kegagalan sintesis
metionin yang mengakibatkan peningkatan kadar homosistein dalam darah.
Penelitian lebih lanjut mengenai pola mutasi gen masih perlu dilakukan. 15,57
Efek
yang
berbahaya
dari
hiperhomosisteinemia
juga
mungkin dikarenakan akibat reaksi homosistein dengan protein membentuk
disulfide. Hal ini mungkin karena konversi homosistein menjadi tiolakton yang
sangat reaktif yang dapat
bereaksi
dengan protein membentuk suatu
tambahan gugus nitro hydroxyl carbon monoxide, yang mempengaruhi protein
dan enzim tubuh. 15
Homosistein dikatakan memperantarai destruksi melanosit melalui
produksi IL-6 yang dapat meningkatkan ekspresi intercellular adhesion
molecule -1 yang merangsang melekatnya melanosit ke leukosit, menginduksi
aktivasi sel- B poliklonal, meningkatkan produksi autoantibodi.58 Selain itu
homosistein dapat merangsang aktivitas NF-KB yang diteliti dapat memodulasi
ekspresi pro- appoptosis p53 pada lesi vitiligo.59 Hal ini dapat menyebabkan
kerusakan melanosit pada vitiligo.58,59
Universitas Sumatera Utara
22
2.4 Kerangka Teori
Polimorfisme genetik
- Gen MTHFR kromosom 1p36.3
- Gen CAT kromosom 11p13
HOMOSISTEIN
Aktivasi NF-ĸB
↑pro apoptosis p53
↑ oksidasi
Produksi IL-6
Merangsang
melekatnya
melanosit ke
leukosit,
menginduksi
aktivitas sel
B poliklonal,
↑ produksi
autoantibodi
Destruksi melanosit
Hipotesis genetik
Usia, jenis kelamin,kadar vitamin dalam darah, gaya hidup, obat-obatan,
penyakit-penyakit hiperproliferasi, gagal ginjal, gagal jantung, diabetes mellitus.
Interaksi dengan
tembaga pada lokasi
aktif enzim tirosinase
Konversi menjadi
tiolakton
Produksi ROS
Bereaksi dengan
protein
Stres oksidatif
Akumulasi bahan
melanositotoksik
Inhibisi
detoksifikasi
alamiah
Inhibisi tirosinase
Membentuk disulfide
Mempengaruhi protein
dan enzim tirosinase
Destruksi melanosit
Hipotesis autoimun
Hipotesis biokimia
Etiopatogenesis vitiligo
Gambaran klinis: makula depigmentasi berbatas
tegas
Tipe klinis: segmental, nonsegmental
VITILIGO
Epidemiologi
Usia dewasa muda
Pria=wanita
Riwayat keluarga lini pertama
Gambar 2.2 Kerangka teori
Universitas Sumatera Utara
23
2.5. Kerangka Konsep
Vitiligo
Kadar homosistein serum
Jenis kelamin
Usia
Lama
mengalami
vitiligo
Riwayat keluarga
Tipe klinis
Gambar 2.3. Kerangka konsep
Universitas Sumatera Utara