Metode Pengolahan Data
METODE PENGOLAHAN DATA
1.1 Pengolahan Input Data Hujan
Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah data yang bersifat kontinyu dan data tersebut harus melewati proses uji untuk menentukan valid tidaknya data tersebut, selain itu model matematika yang digunakan juga akan diuji dengan beberapa metode uji.
Pengolahan data hujan dilakukan sampai menemukan data hujan yang digunakan untuk input ke dalam software. Software yang digunakan untuk penelitian ini adalah SWMM (Storm Water Mangement Model), sebuah simulasi dinamik mengenai model limpasan air hujan. Dalam hal ini akan digunakan untuk memodelkan limpasan air hujan yang akan masuk ke dalam saluran drainase di Kota Denpasar. Pemodelan yang diproses oleh software tersebut dapat memodelkan seluruh limpasan yang terjadi di permukaan secara aktual. Baik yang hanya melewati saluran ataupun yang diatur oleh pintu air bangunan bagi, penampung, dan lain sebagainya, ini akan mempermudah menganalisis penelitian sesuai dengan judul yakni Analisis Efektifitas Fungsi Saluran Irigasi sebagai Saluran Drainase di Kota Denpasar dengan Pendekatan Storm Water Management Model.
1.1.1 Uji Konsistensi Data Hujan
Umumnya pengujian konsistensi data dilakukan dengan double mass analysis, dengan menggambarkan besaran hujan komulatif stasiun yang diuji dengan besar hujan komulatif rata-rata dari beberapa stasiun acuan di sekitarnya. Ketidakkonsistenan data ditunjukkan oleh penyimpangan garisnya dari garis lurus, namun cara ini masih menimbulkan keraguan, seandainya beberapa stasiun acuan mempunyai data yang tidak konsisten. Cara lain yang dapat digunakan untuk uji konsistensi data hujan adalah RAPS (Rescaled Adjusted Partial Sum). Persamaannya adalah sebagai berikut (Sri Harto,1993) :
∗ = ∗ = ∑
�− ̅ , = , … ,
(2)
∗∗= ∗
� � = , , … ,
= ∑ �−̅
�=
Nilai statistik Q → Q = maks | ∗∗|dimana 0 ≤ k ≤ n
Nilai statistik R (range)
R = maks ∗∗ - min ∗∗, dimana 0 ≤ k ≤ n
Nilai statistik Q dan R diberikan dalam tabel berikut : Nilai Q/√ dan R/√
n Q/√ R/√
90% 95% 99% 90% 95% 99%
10 1,05 1,14 1,29 1,21 1,28 1,38
20 1,10 1,22 1,42 1,34 1,43 1,60
30 1,12 1,24 1,46 1,40 1,50 1,70
40 1,13 1,26 1,50 1,42 1,53 1,74
50 1,14 1,27 1,52 1,44 1,55 1,78
100 1,17 1,29 1,55 1,50 1,62 1,86
1,22 1,36 1,63 1,62 1,75 2,00
Sumber : Sri Harto,1993
1.1.2 Uji Kepanggahan (Consistency Test)
Satu seri data hujan untuk satu stasiun tertentu, dimungkinkan sifatnya tidak panggah (inconsistent). Data semacam ini tidak dapat langsung dianalisis, karena sebenarnya data di dalamnya berasal dari populasi yang berbeda. Ketidakpanggahan data seperti ini dapat saja terjadi karena beberapa sebab, yaitu : 1. Alat ukur yang diganti dengan spesifikasi yang berbeda. Atau alat yang sama
tetapi dipasang dengan patokan ukuran yang berbeda. 2. Alat ukur dipindahkan dari tempat semula.
3. Alat ukur sama, tempat tidak dipindahkan, akan tetapi lingkungan yang berubah, misalnya semula dipasang pada tempat yang ideal kemudian berubah karena ada bangunan atau pohon besar yang terlalu dekat.
Maka dari itu data hujan yang diperoleh diuji terlebih dahulu untuk mengetahui kepanggahannya, salah satunya dengan Van Neumann Ratio.
Menggunakan persamaan :
� =
∑�=− �− �+(3)
Dengan : ̅ = rata-rata nilai Yi
Apabila nilai N=2, maka deret tersebut disimpulkan panggah, sedangkan bila nilai N < 2 maka data tersebut tidak panggah (Sri Harto, 2000).
1.1.3 Hujan Rencana
Banjir rencana harus ditentukan berdasarkan curah hujan, dengan menetapkan curah hujan rencana. Untuk perencanaan gorong-gorong, jembatan, bendung, dan sebagainya di dalam sungai, yang diperlukan ialah besarnya puncak banjir yang harus disalurkan melalui bangunan tersebut. Jadi sebagai hujan rencana kita tetapkan curah hujan dengan masa ulang tertentu (Subarkah, 1980). 1. Penentuan Hujan Kawasan
Stasiun penakar hujan hanya memberikan kedalaman hujan di titik mana stasiun tersebut berada, sehingga hujan pada suatu luasan harus diperkirakan dari titik pengukuran tersebut. Apabila pada suatu daerah terdapat lebih dari satu stasiun pengukuran yang ditempatkan secara terpencar, hujan yang tercatat di masing-masing stasiun tidak sama. Dalam analisis hidrologi sering diperlukan untuk menentukan hujan rerata pada daerah tersebut, yang dapat dilakukan dengan tiga metode berikut yaitu : metode aritmatik, metode Poligon Thiessen, dan metode Isohyet.
Dari tiga metode tersebut metode yang paling mendekati adalah metode Polygon Thiessen, sehingga metode tersebut digunakan untuk menentukan hujan kawasan.
a) Metode Poligon Thiessen
Metode ini memperhitungkan bobot dari masing-masing stasiun yang mewakili luasan di sekitarnya. Pada suatu luasan di dalam DAS dianggap bahwa hujan adalah sama dengan yang terjadi pada stasiun terdekat, sehingga hujan yang tercatat pada suatu stasiun mewakili luasan tersebut. Metode ini digunakan apabila penyebaran stasiun hujan di daerah yang ditinjau tidak merata. Hitungan curah hujan rerata dilakukan dengan memperhitungkan daerah pengaruh dari setiap stasiun.
(4)
Gambar : Mengukur tinggi curah hujan metode Poligon Thiessen
=
++ +⋯++⋯+Dengan :
p = hujan rerata kawasan
p1,p2,...,pn = hujan pada stasiun 1,2,3,...,n
A1,A2,...,n = luas daerah yang mewakili stasiun 1,2,...,n
2. Penentuan Distribusi Frekuensi
Penentuan jenis distribusi frekuensi diperlukan untuk mengetahui suatu rangkaian data cocok untuk suatu sebaran tertentu dan tidak cocok untuk sebaran lain. Untuk mengetahui kecocokan terhadap suatu jenis sebaran tertentu, perlu dikaji terlebih dahulu ketentuan-ketentuan yang ada, yaitu :
1. Menghitung parameter-parameter statistik Cs dan Ck, untuk menentukan macam analisis frekuensi yang dipakai.
2. Koefisien kepencengan/skewness (Cs) dihitung dengan persamaan :
=
− .∑ − ̅− − .3. Koefisien kepuncakan/curtosis (Ck) dihitung dengan persamaan :
=
− .∑ − ̅− − .4. Koefisien variansi (Cv) :
� =
̅(5)
Dimana :
n = jumlah data
̅ = rata-rata data hujan (mm)
S = simpangan baku (standar deviasi) X = data hujan (mm)
Dalam statistik dikenal beberapa jenis distribusi frekuensi dan yang banyak digunakan dalam hidrologi yaitu Distribusi Normal, Log Normal, Log Person Type III, dan Gumbel. Pada situasi tertentu, walaupun data yang diperkirakan mengikuti distribusi yang sudah dikonversi ke dalam bentuk logaritmis, ternyata kedekatan antara data dan teori tidak cukup kuat untuk menjustifikasi pemakaian distribusi Log Normal. Person telah mengembangkan serangkaian fungsi probabilitas yang dapat dipakai untuk hampir semua distribusi probabilitas empiris, dan masih tetap dipakai karena fleksibilitasnya (Suripin,2004). Jenis-jenis distribusi frekuensi adalah sebagai berikut :
a) Distribusi Normal
Distribusi normal atau kurva normal disebut pula distribusi Gauss. Fungsi densitas peluang normal (PDF =proba bility density function) yang paling dikenal adalah bentuk bell dan dikenal sebagai distribusi normal. PDF distribusi normal dapat dituliskan dalam bentuk rata-rata dan simpangan bakunya sebagai berikut :
=�√ � [− −�� ] − ∞ ≤ ≤ ∞
Keterangan :
P(X) = fungsi densitas peluang normal (ordinat kurva normal) X = variabel acak kontinu
� = rata-rata nilai X
� = simpangan baku dari nilai X
Analisis kurva normal cukup menggunakan prameter statistic � dan �. Bentuk kurvanya simetris terhadap X = �, dan grafiknya selalu di atas sumbu datar X, serta mendekati (berasimtut) sumbu datar X dan dimulai dari X=� + � dan = � − �. Nilai mean sama dengan median sama dengan modus. Nilai X mempunyai batas : −< < +.
(6)
b) Distribusi Log Normal
Jika variable Y=log X terdistribusi sevara normal, maka X dikatakan mengikuti distribusi Log Normal dapat dituliskan dalam bentuk rata-rata dan simpangan bakunya, sebagai berikut :
= �√ � [− −�� ] > Keterangan :
P(X) = peluang Log Normal X = nilai variat pengamatan � = nilai rata-rata populasi y � = deviasi standar nilai variat Y
Apabila nilai P(X) digambarkan pada kertas, maka peluang logaritmik akan merupakan persamaan garis lurus, sehingga dapat dinyatakan sebagai model matematik dengan persamaan:
= � + �
Yang dapat didekati dengan : = +
= −
Keterangan :
YT = perkiraan nilai yang diharapakan terjadi dengan periode ulang T
tahunan.
Y = nilai rata-rata hitung variat S = deviasi standar nilai variat, dan
KT = faktor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang atau periode ulang dan
tipe modal matematik distribusi peluang yang digunakan untuk analisis peluang.
c) Distribusi Log-Person Tipe III
Salah satu distribusi serangkaian distribusi yang dikembangkan Person yang menjadi perhatian ahli sumberdaya air adalah Log-Person Tipe III (LP.III). pada Log-Person Tipe III, parameter statistik yang diperlukan pada distribusi ini adalah harga rata-rata, standar deviasi, dan koefisien kepencengan. Untuk
(7)
menghitung banjir rencana dalam praktek, The Hydrology Comitee of The Water Resources Council, USA, menganjurkan pertama kali mentransformasi data ke nilai-nilai logaritmanya, kemudian menghitung parameter-parameter statistiknya.
Secara garis besar langkah-langkahnya adalah sebagai berikut (Soemarto,1995):
1) Ubahlah data banjir tahunan sebanyak n buah tersebut ke dalam harga logaritmanya (X1, X2,...,Xn menjadi log X1, X2,..., log Xn)
2) Hitung harga rata-ratanya dengan rumus :
� =
∑�= � � �3) Hitung harga simpangan baku dengan rumus :
= [
∑�= log �− �−
]
,
4) Hitung koefisien kepencengan dengan rumus :
=
∑�= log �−log− − .
5) Hitung logaritma hujan atau banjir dengan periode ulang T menggunakan rumus:
Log X
T= log X + K.
SDimana :
XT = curah hujan dengan periode ulang T(tahun)
Log X = rata-rata log curah hujan harian maksimum G = faktor penyimpangan
Cs = koefisien penyimpangan S = simpangan baku
d) Distribusi Gumbel
Gumbel menggunakan harga ekstrim untuk menunjukkan bahwa dalam deret harga-harga ekstrim X1,X2,X3,...,Xn mempunyai fungsi distribusi eksponensial
ganda.
Xt = X+
SK
(8)
S = standar deviasi (simpangan baku) sampel.
Yt = reduced variate sebagai fungsi periode ulang T tahun.
= − {−
�−�}
Sn = reduced standard deviation yang tergantung dari jumlah data. Yn = reduced mean yang juga tergantung dari jumlah data.
1.1.4 Uji Distribusi Frekuensi
Diperlukan penguji parameter untuk menguji kecocokan distribusi frekuensi sampel data terhadap distribusi peluang yang diperkirakan dapat menggambarkan atau mewakili distribusi frekuensi tersebut. Pengujian parameter yang sering dipakai adalah Chi-Kuadrat dan Smirnov-Kolmogorof.
1) Uji Chi-Kuadrat
Uji Chi-Kuadrat dimaksudkan untuk menentukan apakah persamaan distribusi yang telah dipilih dapat mewakili distribusi statistik sampel data yang dianalisis. Pengambilan keputusan uji ini menggunakan parameter X2, yang dapat dihitung dengan rumus berikut.
ℎ
= ∑
�= �− ��Dengan :
Xh2 = parameter chi-kuadrat terhitung
G = jumlah sub kelompok
Oi = jumlah nilai pengamatan pada sub kelompok i Ei = jumlah nilai teoritis pada sub kelompok i
Jumlah kelas distribusi dihitung dengan persamaan Sturges :
= + , log
Dengan :
K = jumlah kelas
N = P = probabilitas = 99,9%
Derajat bebas (number of degrees of freedom) V = K-h-1
Dimana :
H = jumlah parameter = 2
(9)
a) Apabila peluang lebih dari 5%, maka persamaan distribusi yang digunakan dapat diterima.
b) Apabila peluang kurang dari 1% maka persamaan distribusi yang digunakan tidak dapat diterima.
c) Apabila peluang berada diantara 1-5% maka tidak mungkin mengambil keputusan (perlu data tambahan).
2) Uji Smirnov-Kolmogorov
Uji kecocokan Smirnov-Kolmogorov sering disebut juga uji kecocokan non-prametik, karena pengujiannya tidak menggunakan fungsi distribusi tertentu. Prosedur pelaksanaannya adalah sebagai berikut :
d) Urutkan data (dari besar ke kecil atau sebaliknya) dan tentukan besarnya peluang dari masing-masing data tersebut.
X1 = P(X1) X2 = P(X2)
X3 = P(X3), dan seterusnya.
e) Urutkan nilai masing-masing peluang teoritis dari hasil penggambaran data (persamaan distribusinya).
X1 = P’(X1) X2 = P’(X2)
X3 = P’(X3), dan seterusnya.
f) Dari kedua nilai peluang tersebut, tentukan selisih terbesarnya antar peluang pengamatan dengan peluang teoritis.
D maksimum = (P(Xn))-(P’(Xn))
g) Berdasarkan tabel nilai kritis (Smirnov-Kolmogorof test) tentukan harga Do dari lampiran berikut :
Nilai Kritis Do untuk Uji Smirnov-Kolmogorov
N Derajat Kepercayaan ( α )
0,20 0,10 0,05 0,01
5 0,45 0,51 0,56 0,67
10 0,32 0,37 0,41 0,49
15 0,27 0,30 0,34 0,40
20 0,23 0,26 0,29 0,36
25 0,21 0,24 0,27 0,32
30 0,19 0,22 0,24 0,29
(10)
40 0,17 0,19 0,21 0,25
45 0,16 0,18 0,20 0,24
50 0,15 0,17 0,19 0,23
N > 50 ,
� , �, , �, , �, ,
Sumber : Suripin,2004
1.1.5 Analisis Intensitas Hujan
Intensitas hujan adalah tinggi atau kedalaman air hujan per satuan waktu. Sifat umum hujan adalah makin singkat hujan berlangsung, intensitasnya cenderung makin tinggi dan makin besar periode ulangnya makin tinggi pula intensitasnya. Hubungan anatar intensitas, lama hujan, dan frekuensi hujan biasanya dinyatakan dalam lengkung Intensitas Durasi Frekuensi (kurva IDF/Intensity Duration Frequency Curve). Diperlukan data hujan jangka pendek, misalnya 5 menit, 10 menit, 30 menit, 60 menit, dan jam-jaman untuk membentuk lengkung IDF. Data hujan jenis ini hanya dapat diperoleh dari pos penakar hujan otomatis. Selanjutnya, berdasarkan data hujan jangka pendek tersebut lengkung IDF dapat dibuat dengan salah satu dari beberapa persamaan berikut (Suripin, 2004).
1) Rumus Tallbot (1881)
Rumus ini banyak digunakan karena mudah diterapkan dan tetapan-tetapan a dan b ditentukan dengan harga-harga yang terukur.
=
�+ Dimana :I = Intensitas hujan (mm/jam). t = lamanya hujan (jam).
a dan b = konstanta yang tergantung pada lamanya hujan yang terjadi di DAS.
=
∑[ .�].∑[ ]−∑[ .�].∑[ ]∑[ ]−[∑ ](11)
2) Rumus Sherman (1905)
Rumus ini cocok digunakan untuk jangka waktu curah hujan yang lamanya lebih dari 2 jam.
=
�Dimana :
I = intensitas hujan (mm/jam) t = lamanya hujan (jam) n = konstanta
log =
∑ log .∑[log �] −∑[log �.log ] ∑ log �∑[log �] −[∑ log �]=
∑ log .∑ log �− .∑[log �.log ]∑[log �] −[∑ log �]3) Rumus Ishiguro (1953)
=
√�+Dimana :
I = intensitas hujan (mm/jam) t = lamanya hujan (jam)
=
∑[ .√�] ∑[ ]−∑[ .√�] ∑.∑[ ]−[∑ ]=
∑ .∑[ .√�]−[ .√�].∑[ ]−[∑ ]Apabila data hujan jangka pendek tidak tersedia, yang ada hanya data hujan harian, maka intensitas hujan dapat dihitung dengan rumus Mononobe.
=
[
�]
Dimana :
(12)
t = lamanya hujan (jam)
R24 = curah hujan maksimum harian (selama 24 jam (mm))
1.1.6 Analisis Debit Rencana
Metode rasional yang umum dipakai untuk memperkirakan laju aliran permukaan puncak adalah metode Rasional USSCS (1973). Metode ini sangat simple dan mudah penggunaannya, namun penggunaannya terbatas untuk DAS-DAS ukuran kecil yaitu kurang dari 300 ha (Goldman et.al,1986). Karena model ini merupakan model kotak hitam, maka tidak dapat menerangkan hubungan curah hujan dan aliran permukaan dalam bentuk hidrograf. Persamaan matematik metode rasional dalam satuan metrik (Mulvaney,1874 dalam Suripin,2004).
Qt = 0,2778 C.I.A Dimana :
Qt = laju aliran permukaan (debit) teoritis (m3/detik) C = koefisien aliran permukaan (0 ≤ C ≤ 1)
I = intensitas hujan (mm/jam) A = luas DAS (km2)
1.1.7 Waktu Konsentrasi (tc)
Waktu konsentrasi suatu DAS adalah waktu yang diperlukan oleh air hujan yang jatuh untuk mengalir dari titik terjauh sampai ke tempat keluaran DAS (titik kontrol) setelah tanah menjadi jenuh dan depresi-depresi kecil terpenuhi. Dalam hal ini diasumsikan bahwa jika durasi hujan sama dengan waktu konsentrasi, maka setiap bagian DAS secara serentak telah menyumbangkan aliran terhadap titik kontrol. Salah satu metode untuk memperkirakan waktu konsentrasi adalah rumus yang dikembangkan oleh Kirpich (1940), yaitu :
=
, ×�× ,=
�∆� ��
Dimana :
(13)
L : panjang lintasan aliran di atas permukaan lahan (m) S : kemiringan rata-rata saluran
∆ : selisih ketinggian antara tempat terjauh dan tempat pengamatan (m) Rumus ini digunakan untuk kondisi DAS yang dari hulu hingga hilir memiliki saluran air, seperti tampak pada gambar 2.4 :
Gambar: Kondisi DAS dengan tc
1.2 Penentuan Parameter Hidraulika
Aliran air dalam suatu saluran dapat berupa aliran saluran terbuka maupun aliran pipa. Kedua jenis aliran tersebut sama dalam banyak hal, namun berbeda dalam satu hal penting. Menurut Chow (1989), aliran saluran terbuka harus memiliki permukaan bebas (free surface), sedangkan aliran pipa tidak demikian karena air harus mengisi seluruh saluran. Meskipun kedua jenis aliran itu hampir sama, penyelesaian masalah aliran dalam saluran terbuka jauh lebih sulit dibandingkan dengan aliran pipa tekan. Kondisi saluran terbuka yang rumit berdasarkan kenyataan bahwa kedudukan permukaan cenderung berubah sesuai waktu dan ruang, dan juga bahwa kedalaman aliran, debit, kemiringan dasar saluran dan permukaan bebas adalah tergantung satu sama lain.
(14)
1.2.1 Penampang Saluran
Penampang hidrolik terbaik adalah penampang yang mempunyai keliling basah terkecil pada luas penampang tertentu yang akan memberikan aliran yang maksimum atau penampang saluran yang memberikan luas penampang aliran (penampang basah) terkecil pada debit aliran tertentu dimana bentuk penampang saluran akan dapat berpengaruh terhadap besarnya debit aliran yang dapat diangkut atau dialirkan oleh saluran (Chow,1959 ; Suripin,2004).
Menurut Suripin (2004), bentuk-bentuk penampang saluran yang ekonomis adalah sebagai berikut :
1) Penampang berbentuk persegi paling ekonomis
Pada penampang melintang saluran berbentuk persegi, dengan lebar dasar (B), kedalaman air (h), seperti yang terlihat pada gambar, luas penampang basah (A), jari-jari hidraulik (R), dan keliling basah (P) dapat dituliskan persamaan sebagai berikut :
= . ℎ
= + ℎ
= =
+ ℎℎ(15)
Dalam hal ini, bentuk penampang melintang persegi yang paling ekonomis adalah jika kedalaman air setengah dari lebar dasar saluran, atau jari-jari hidrauliknya setengah dari kedalaman air.
2) Penampang berbentuk trapesium paling ekonomis
Luas penampang melintang (A) dan keliling basah (P), saluran yang berpenampang melintang berbentuk trapesium, dengan lebar dasar (B), kedalaman air (h), dan kemiringan talud 1 : m (seperti gambar). Dapat dituliskan persamaan sebagai berikut :
= + . ℎ . ℎ
= + ℎ√ +
Gambar : Penampang melintang trapesium
Dalam hal ini penampang trapesium yang paling efisien adalah jika kemiringan dindingnya m = (1/√3) atau θ = 60°. Trapesium yang berbentuk berupa setengah segi enam beraturan (heksagonal).
Untuk saluran sekunder yang menuju pembuang utama sub sistem Tukad Kelandis merupakan saluran berbentuk trapesium, sedangkan yang akan direncanakan yaitu menggunakan perpaduan precast persegi dengan dasar trapesium untuk memperkecil koefisien kekasaran.
(16)
1.2.2 Kekasaran Dinding Saluran
Rumus kecepatan menurut Manning (1889) :
� =
⁄ ⁄Keterangan :
R = jari-jari hidrolik (m) V = kecepatan aliran (m/dt)
I = kemiringan memanjang dasar saluran
n = koefisien kekasaran menurut Manning yang besarnya tergantung dari bahan dinding saluran yang dipakai.
Apabila bentuk rumus Manning diubah menjadi rumus Chezy maka besarnya C adalah sebagai berikut :
=
⁄6 Keterangan :C = koefisien Chezy ( ⁄ R = jari-jari hidrolik (m)
n = koefisien kekasaran menurut Manning
1.2.3 Kapasitas Saluran
Perhitungan hidraulika digunakan untuk menganalisa dimensi penampang berdasarkan kapasitas maksimum saluran. penentuan dimensi saluran baik yang ada (eksisting) atau yang direncanakan, berdasarkan debit maksimum yang akan dialirkan (Suripin,2004).
Rumus kapasitas salura yang digunakan adalah :
= . �
Dimana :
Qsal = debit banjir saluran (m3/dt) A = luas penampang basah (m2) V = kecepatan rata-rata (m/dt)
(17)
1.3 Proses Input Data ke dalam Software SWMM
Storm Water Management Model (SWMM) merupakan model simulasi hujanaliran (rainfall-runoff) yang digunakan untuk simulasi kuantitas maupun kualitas limpasan permukaan dari daerah perkotaan. Limpasan permukaan dihasilkan dari daerah tangkapan hujan yang menerima hujan. Beban limpasan permukaan tersebut kemudian dialirkan melalui sistem saluran pipa, saluran terbuka, tampungan, pompa, dan sebagainya. SWMM menghitung kuantitas dan kualitas limpasan permukaan dari setiap daerah tangkapan hujan, dan debit aliran, kedalaman aliran, dan kualitas air di setiap pipa dan saluran selama periode simulasi.
Input data SWMM barupa data hujan atau limpasan di setiap saluran, dalam sebuah pemodelan SWMM dapat memproses data gambar yang kita dapat modelkan di dalam software ini. Perhitungan yang telah dilakukan sebelumnya menjadi input air hujan terhadap SWMM yang akan digunakan.
(18)
Gambar : Data Input (Hujan Jam-Jam an)
Kemudian selanjutnya masing-masing daerah yang akan dianalisis, akan diberikan symbol-simbol berupa node dan symbol yang menerangkan daerah yang diwakilkan. Setelah semua input selesai dimasukkan, maka harus diitentukan analisis yang dilakukan untuk waktu tertentu atau dengan jangka waktu tertentu.
(19)
Selain dalam bentu gambar, output akan diproses dalam bentuk grafik yang akan menunjukkan prilaku saluran jika dilewati dengan debit rencana atau limpasan dalam periode tertentu sehingga kita dapat mengetahui apakah saluran tersebut masih efektif atau tidak.
(1)
1.2.1 Penampang Saluran
Penampang hidrolik terbaik adalah penampang yang mempunyai keliling basah terkecil pada luas penampang tertentu yang akan memberikan aliran yang maksimum atau penampang saluran yang memberikan luas penampang aliran (penampang basah) terkecil pada debit aliran tertentu dimana bentuk penampang saluran akan dapat berpengaruh terhadap besarnya debit aliran yang dapat diangkut atau dialirkan oleh saluran (Chow,1959 ; Suripin,2004).
Menurut Suripin (2004), bentuk-bentuk penampang saluran yang ekonomis adalah sebagai berikut :
1) Penampang berbentuk persegi paling ekonomis
Pada penampang melintang saluran berbentuk persegi, dengan lebar dasar (B), kedalaman air (h), seperti yang terlihat pada gambar, luas penampang basah (A), jari-jari hidraulik (R), dan keliling basah (P) dapat dituliskan persamaan sebagai berikut :
= . ℎ = + ℎ
= =
+ ℎℎ(2)
Dalam hal ini, bentuk penampang melintang persegi yang paling ekonomis adalah jika kedalaman air setengah dari lebar dasar saluran, atau jari-jari hidrauliknya setengah dari kedalaman air.
2) Penampang berbentuk trapesium paling ekonomis
Luas penampang melintang (A) dan keliling basah (P), saluran yang berpenampang melintang berbentuk trapesium, dengan lebar dasar (B), kedalaman air (h), dan kemiringan talud 1 : m (seperti gambar). Dapat dituliskan persamaan sebagai berikut :
= + . ℎ . ℎ
= + ℎ√ +
Gambar : Penampang melintang trapesium
Dalam hal ini penampang trapesium yang paling efisien adalah jika kemiringan dindingnya m = (1/√3) atau θ = 60°. Trapesium yang berbentuk berupa setengah segi enam beraturan (heksagonal).
Untuk saluran sekunder yang menuju pembuang utama sub sistem Tukad Kelandis merupakan saluran berbentuk trapesium, sedangkan yang akan direncanakan yaitu menggunakan perpaduan precast persegi dengan dasar trapesium untuk memperkecil koefisien kekasaran.
(3)
1.2.2 Kekasaran Dinding Saluran
Rumus kecepatan menurut Manning (1889) :
� =
⁄ ⁄Keterangan :
R = jari-jari hidrolik (m) V = kecepatan aliran (m/dt)
I = kemiringan memanjang dasar saluran
n = koefisien kekasaran menurut Manning yang besarnya tergantung dari bahan dinding saluran yang dipakai.
Apabila bentuk rumus Manning diubah menjadi rumus Chezy maka besarnya C adalah sebagai berikut :
=
⁄6 Keterangan :C = koefisien Chezy ( ⁄ R = jari-jari hidrolik (m)
n = koefisien kekasaran menurut Manning
1.2.3 Kapasitas Saluran
Perhitungan hidraulika digunakan untuk menganalisa dimensi penampang berdasarkan kapasitas maksimum saluran. penentuan dimensi saluran baik yang ada (eksisting) atau yang direncanakan, berdasarkan debit maksimum yang akan dialirkan (Suripin,2004).
Rumus kapasitas salura yang digunakan adalah :
= . �
Dimana :Qsal = debit banjir saluran (m3/dt) A = luas penampang basah (m2) V = kecepatan rata-rata (m/dt)
(4)
1.3 Proses Input Data ke dalam Software SWMM
Storm Water Management Model (SWMM) merupakan model simulasi hujanaliran (rainfall-runoff) yang digunakan untuk simulasi kuantitas maupun kualitas limpasan permukaan dari daerah perkotaan. Limpasan permukaan dihasilkan dari daerah tangkapan hujan yang menerima hujan. Beban limpasan permukaan tersebut kemudian dialirkan melalui sistem saluran pipa, saluran terbuka, tampungan, pompa, dan sebagainya. SWMM menghitung kuantitas dan kualitas limpasan permukaan dari setiap daerah tangkapan hujan, dan debit aliran, kedalaman aliran, dan kualitas air di setiap pipa dan saluran selama periode simulasi.
Input data SWMM barupa data hujan atau limpasan di setiap saluran, dalam sebuah pemodelan SWMM dapat memproses data gambar yang kita dapat modelkan di dalam software ini. Perhitungan yang telah dilakukan sebelumnya menjadi input air hujan terhadap SWMM yang akan digunakan.
(5)
Gambar : Data Input (Hujan Jam-Jam an)
Kemudian selanjutnya masing-masing daerah yang akan dianalisis, akan diberikan symbol-simbol berupa node dan symbol yang menerangkan daerah yang diwakilkan. Setelah semua input selesai dimasukkan, maka harus diitentukan analisis yang dilakukan untuk waktu tertentu atau dengan jangka waktu tertentu.
(6)
Selain dalam bentu gambar, output akan diproses dalam bentuk grafik yang akan menunjukkan prilaku saluran jika dilewati dengan debit rencana atau limpasan dalam periode tertentu sehingga kita dapat mengetahui apakah saluran tersebut masih efektif atau tidak.