Kedudukan Suaka Margasatwa Karang Gading Dan Langkat Timur Laut Sebagai Kawasan Konservasi Ditinjau Dari Segi Hukum Internasional Chapter III V

BAB III
BAGAIMANA PENGELOLAAN SUAKA MARGA SATWA SEBAGAI
KAWASAN KONSERVASI DALAM HUKUM INDONESIA

A. Perambahan Hutan Mangrove Menjadi Kebun Kelapa Sawit dan
Tambak Ikan.
Pertambahan penduduk yang meningkat pesat memunculkan berbagai
permasalahan dalam pembangunan, di antaranya adalah meningkatnya
kebutuhan akan ruang untuk pemenuhan berbagai kebutuhan hidup lahan
budidaya, perumahan, perindustrian dan kegiatan perkebunan lainnya. Upaya
pemenuhan kebutuhan yang meningkat menyebabkan tekanan terhadap ruang
dan sumberdaya alam masih sangat tergantung kepada pemanfaatan
sumberdaya alamnya, termasuk sumber daya hutan.
Kebutuhan masyarakat akan lahan perkebunan terus bertambah setiap
tahunnya, hal ini Pada umumnya usaha yang dilakukan oleh masyarakat adalah
membuka perkebunan tanaman tahunan seperti coklat (theobroma cacao),
kelapa sawit (elaeis gunieesis), gaharu (aquilaria malaccensis), dan masih
banyak lagi. Namun pada umumnya jenis tanaman yang banyak dikembangkan
dalam perkebunan adalah tanaman kelapa sawit. Pemilihan kelapa sawit
sebagai tanaman perkebunan dikarenakan tanaman ini memiliki daya tahan
yang kuat terhadap serangan penyakit, tidak banyak hama yang menyukai

karakteristik kelapa sawit yang keras, dari segi perawatan juga tidak terlalu
sulit, dapat bertahan hidup diberbagai jenis tanah yang ada di Indonesia, dan
harga jual serta permintaan pasar akan buahnya juga relatif tinggi.

25
Universitas Sumatera Utara

26

Kebutuhan akan lahan perkebunan kelapa sawit itulah yang mendorong
masyarakat untuk membuka lahan perkebunan di kawasan yang dilarang oleh
hukum, seperti yang terjadi pada kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading
dan Langkat Timur Laut. Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat
Timur ini merupakan salah satu bentuk pengelolaan kawasan konservasi di
tingkat genetik, spesies dan ekosistem. Kawasan ini berfungsi sebagai wilayah
penyangga kehidupan di sekitarnya. Akan tetapi saat ini, telah terjadi
kerusakan/gangguan yang disebabkan oleh illegal logging dan jual beli lahan
sehingga menurunkan fungsi pokok tersebut. Sebagaimana diketahui, kawasan
Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut ini merupakan
kawasan hutan mangrove di pesisir timur Sumatera Utara.

Berdasarkan data Harian Sumut Pos pada 2010, saat ini telah terjadi
kerusakan di dalam kawasan seluas 6.000 ha akibat illegal logging
(pembalakan) dan jual beli lahan, sedangkan upaya rehabilitasi kawasan yang
dilakukan baru sebesar 1.700 ha. Kemudian berdasarkan hasil studi yang
dilakukan oleh Purwoko (2009), telah terjadi perubahan luas hutan mangrove
pimer menjadi hutan mangrove sekunder sejak tahun 1989-2004 yang
diakibatkan banyaknya kegiatan pemanfaatan dan/atau eksploitasi selain
illegal, juga secara teknis dilakukan tidak lestari baik oleh pihak swasta mapun
oleh masyarakat di sekitar kawasan. Menurut Sinulingga (dalam Fitriana
Saragih, 2011), penyebab kerusakan yang terjadi di kawasan ini karena
kurangnya kesadaran hukum dari masyarakat sekitar. Menurut Purwoko (dalam
Fitriana Saragih, 2011) padahal di sisi lain, mereka menyadari bahwa
kerusakan yang terjadi di kawasan berdampak pada penurunan pendapatan

26
Universitas Sumatera Utara

27

masyarakat nelayan yang ada di sekitar kawasan. Selama ini sebagaian Suaka

Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut dirambah untuk kebun
kelapa sawit. Akibatnya, dari 15.765 hektar luas kawasan suaka margasatwa
tersebut, sekitar 4.361,2 hektar terdegradasi20.
Data-data tersebut belum termasuk kedalam perambahan lahan untuk
dijadikan tambak ikan oleh masyarakatkan ataupun oleh pihak swasta. Lokasi
pembukaan hutan mangrove terluas ada di Kabupaten Langkat seluas 2.413,20
Ha (39,79%)21. Beralihnya lahan kawasan suaka margasatwa menjadi tambak
ikan maupun udang di kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan
Langkat Timur Laut dapat merusak keseimbangan ekosistem suaka
margasatwa tersebut, terlebih lagi jika dilakukan secara masif dan tidak
memperhatikan kondisi yang dapat merusak biota asli. Menurut Purwoko
(dalam Fitriana Saragih, 2011) sekitar 664,07 hektar atau 8,7 % dari luas lahan
di kawasan suaka margasatwa pada tahun 2004 telah beralih fungsi menjadi
tambak ikan ataupun tambak udang. Perbandingan penggunaan lahan ini dapat
di lihat pada tabel berikut.

20

Mongabay.co.id, Ribuan Tanaman Sawit Dihancurkan dari Suaka Margasatwa Karang
Gading, diakses pada 17 Januari 2017

21
Syamsul Arifin, Upaya Penegakan Hukum Lingkungan Dalam Mewujudkan
Pembangunan Berwawasan Lingkungan Di Sumatera Utara, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2004.
Hal. 124

Universitas Sumatera Utara

28

Tabel 1.1. Penggunaan Lahan Tahun 1989 dan 2004 serta
Perubahan Lahan di Kawasan Hutan Mangrove Tahun 1989 dan
200422
Penggunaan
Lahan
Badan Air
Hutan mangrove
primer
Hutan mangrove
sekunder
Lahan kosong

Pemukiman
Tambak
Total

Tahun 1989

Tahun 2004

Perubahan Lahan
(1989-2004)
Luas
Proporsi
(Ha)
(%)
102,53
1,34

Luas
(Ha)
636,28


Proporsi
(%)
8,34

Luas
(Ha)
738,75

Proporsi
(%)
9,68

6.280,93

82,29

1.374,95

18,02


4.905,98

64,27

375,06

4,91

4.498,95

58,95

4.123,89

54,04

18,44

0,24


309,89

4,06

291,45

3,82

8,28

0,11

664,07

8,70

350,66

4,55


313,41

4,11

664,07

8,70

350,66

4,55

7.632,35

100,00

7.632,35

100,00


9.811,97

128,50

Sumber : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1/wah
apr20094%20(2).pdf

Kerusakan kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat
Timur Laut akibat illegal logging, deforestasi, dan peralihfungsian lahan dapat
mengganggu keberadaan kawasan suaka margasatwa tersebut dimasa yang
akan datang.

22

Agus Purwoko, Analisis Perubahan Fungsi Lahan di Kawasan Pesisir Dengan
Menggunakan Citra Satelit Berbasis Sistem Informasi Grafis (Studi Kasus di Kawasan Suaka
Marga Satwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut). 2009

Universitas Sumatera Utara


29

Gambar 1.1 Peta Wilayah Kerja Resort di SM Karang Gading dan
Langkat Timur Laut

Sumber : UPT Balai Besar KSDA Sumatera Utara Tahun 2016

Pengelolaan Kawasan Suaka Margasatwa Berdasarkan Hukum Nasional
Upaya-upaya

pencegahan

dan

penanggulangan

kerusakan

yang

diakibatkan aktivitas manusia di dalam kawasan suaka margasatwa telah
dilakukan oleh pemerintah seperti menertibkan kembali lahan yang telah rusak
dari kegiatan perkebunan, permukiman, dan tambak milik masyarakat maupun
pihak swasta dengan menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia mengenai UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam

Universitas Sumatera Utara

30

Hayati dan Ekosistemnya, PP No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka
Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Menurut Mahanani (2012), upaya
pelestarian kawasan suaka margasatwa dilaksanakan dalam bentuk kegiatan
berupa :
1. Perlindungan dan pengamanan kawasan.
2. Inventarisasi potensi pakan.
3. Penelitian dan pengembangan yang menunjang pelestarian.
4. Pembinaan habitat dan populasi satwa melalui kegiatan pembinaan
padang rumput, pembuatan fasilitas air minum dan atau tempat
berkubang dan mandi satwa, penanaman dan pemeliharaan pohonpohon pelindung dan pohon-pohon sumber makanan satwa,
penjarangan populasi satwa, penanaman tumbuhan atau satwa asli,
pemberantasan jenis tumbuhan dan satwa pengganggu.
Karena suaka margasatwa merupakan bagian dari ekosistem hutan yang
terlindungi, maka sudah sepantasnya dalam pengelolaan hutan tersebut harus
mengacu pada prinsip Pengelolaan Hutan dan Prinsip Kelestarian. Dengan
mengacu pada beberapa arahan penting GBHN 1993-1998 yang terkait dengan
lingkungan hidup dan kehutanan, yang menekankan agar fokus pengelolaan
hutan dan lingkungan tidak hanya pada manfaat ekonomi, melainkan lebih jauh
harus menjadi harapan dan amanat untuk meningkatkan :
1. Kesadaran akan pentingnya konservasi dan keanekaragaman alam
hayati.
2. Kepedulian sosial, peningkatan peran serta masyarakat dan
Pemerintah Daerah.

Universitas Sumatera Utara

31

3. Pemerataan kesejahteraan sosial ke seluruh wilayah Indonesia.
Sadar akan pentingnya kelestarian hutan bagi kehidupan sosial ekonomi
masyarakat banyak, maka isu pokok yang disampaikan oleh Presiden Republik
Indonesia di KTT Bumi 1992 adalah titik berat dari kebijakan di bidang
kehutanan 23 . Secara singkat butir-butir kelestarian tersebut dapat di uraikan
sebagai berikut :
1. Alokasi kawasan hutan yang mantap dengan pengelolaan yang
berencana.
2. Sistem ekspoitasi yang menjamin arus produksi yang berlanjut,
sesuai dengan teknis silvikultur yang berlaku umum untuk jenis
hutan tertentu.
3. Pengelolaan yang berwawasan lingkungan serta dapat memelihara
kelangsungan ekosistem dan keanekaragaman hayati.
4. Pengelolaan yang berdampak positif terhadap sosial-ekonomi
masyarakat.
5. Kelembagaan yang memadai untuk mengemban tugas tersebut.
Dalam ketentuan peralihan pasal 41 UU No. 5 Tahun 1990 dijelaskan,
bahwa hutan suaka alam dan taman wisata yang telah ditunjuk dan ditetapkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum berlakunya
undang-undang ini dianggap telah ditetapkan sebagai kawasan suaka alam dan
taman wisata alam berdasarkan undang-undang ini. Dalam penjelasan pasal ini
disebutkan berdasarkan Ordonasi Perlindungan Alam Tahun 1941 Stbl. 1941
Nomor 167 (Natuurbechermingsordonnantie 1941 Staatsblasd 1941 Nummer
Djamaludin Surjohadikusumo, “Eco-strategi Pengelolaan Hutan dan Daratan
Indonesia”, CV. Duta Rimba, Jakarta, 1993, hal. 156-160
23

Universitas Sumatera Utara

32

167) dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan
Umum Kehutanan telah ditetapkan hutan suaka alam dan taman wisata.
Mengenai kawasan suaka alam diatur dalam pasal 12 UU No. 5 Tahun
1990, terdiri dari :
1. Cagar Alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan
alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya
atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya
berlangsung secara alami.
2. Suaka Margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai
ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa
yang kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap
habitatnya.
Di dalam suaka margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut
dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan
ilmu pengetahuan, pendidikan, wisata terbatas, dan kegiatan lainnya yang
menunjang budi daya (pasal 17 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1990). Dalam
mengelola kawasan suaka margasatwa, haruslah di dahului dengan adanya
rencana pengelolaan kawasan cagar alam dan kawasan suaka margasatwa yang
disusun berdasarkan kajian aspek-aspek ekologi, teknis, ekonomis, dan sosial
budaya.
Rencana pengelolaan ini sekurang-kurangnya memuat beberapa hal
seperti24 :
a. Tujuan Pengelolan

24

Pasal 14 ayat 1 dan 2 PP No. 68 Tahun 1998

Universitas Sumatera Utara

33

b. Garis-garis besar kegiatan yang menunjang upaya perlindungan
c. Pengawetan, dan
d. Pemanfaatan Kawasan
Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan di dalam Suaka Margasatwa
Karang Gading dan Langkat Timur Laut seperti yang di uraikan dalam pasal 17
ayat (2) UU No. 5 Tahun 1990, dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 18
Peraturan Menteri LHK Tahun 2015 sebagai berikut25 :
1) Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam blok perlindungan
dalam Suaka Margasatwa meliputi :
a. Perlindungan dan pengamanan
b. Inventarisasi dan monitoring sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya
c. Pembinaan habitat dan populasi dalam rangka mempertahankan
keberadaan populasi hidupan liar
d. Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan
e. Pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam
f. Pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan terbatas untuk
menunjang kegiatan pada huruf b, huruf c, dan huruf d
2) Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam blok pemanfaatan di
Suaka Margasatwa meliputi :
a. Perlindungan dan pengamanan
b. Inventarisasi dan montoring sumber daya alam hayati dengan
ekosistemnya

25

Pasal 18 Peraturan Menteri LHK No. P.76/Menlhk-Setjen/2015

Universitas Sumatera Utara

34

c. Pembinaan habitat dan populasi dalam rangka mempertahankan
keberadaan populasi kehidupan liar
d. Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan
e. Pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam
f. Pemanfaatan kondisi lingkungan
g. Wisata alam terbatas
h. Pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan terbatas untuk
menunjang kegiatan pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
huruf e, huruf, dan huruf g
3) Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam blok rehabilitasi di
Suaka Margasatwa meliputi :
a. Perlindungan dan pengamanan
b. Inventarisasi dan monitoring sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya
c. Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan
d. Pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam
e. Pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya
f. Pemulihan ekosistem
g. Pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan terbatas untuk
menunjang kegiatan pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
huruf e, dan huruf f
4) Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam blok religi, budaya,
dan sejarah dalam Suaka Margasatwa meliputi :
a. Perlindungan dan pengamanan

Universitas Sumatera Utara

35

b. Inventarisasi

dan

monitoring

sumber

daya

alam

dan

ekosistemnya
c. Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan
d. Pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam
e. Pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya
f. Penyelenggaraan upacara adat
g. Pemeliharaan situs budaya dan sejarah
h. Pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan terbatas untuk
menunjang kegiatan pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
huruf e, huruf f dan huruf g
5) Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam blok khusus di
Suaka Margasatwa meliputi :
a. Perlindungan dan pengamanan
b. Inventarisasi

dan

monitoring

sumber

daya

alam

dan

ekosistemnya
c. Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan
d. Pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam
e. Pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya
f. Pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana berupa
telekomunikasi dan listrik, fasilitas transportasi dan lain-lain
yang bersifat strategis dan tidak dapat terelakan.

Universitas Sumatera Utara

36

B. Deforestasi Yang Terjadi Dalam Suaka Marga Satwa Menurut
Hukum Internasional.
Hutan merupakan unsur utama dalam kehidupan manusia sejak ribuan
tahun yang lalu. Hutan menyediakan segala hal kebutuhan hidup manusia
untuk memulai suatu peradaban yang dapat bertahan hingga ratusan tahun
kemudian. Dalam fungsinya, pandangan umum mengenai fungsi hutan
hanyalah sebatas kawasan luas dan liar yang menyediakan segala hal
kebutuhan manusia dan dapat di eksploitasi hingga kapan pun. Hasil hutan,
baik untuk dinikmati maupun untuk diusahakan, mengandung banyak manfaat
bagi kesinambungan kehidupan manusia dan mahluk lainnya.
Karena itu, hutan secara perlahan namun pasti, menyusut keberadaanya,
apabila pepohonan telah ditebang, kawasannya dirambah dan tidak cepat
dilakukan penanaman kembali. Bukit-bukit yang dulunya rimbun kehijauan
penuh tumbuhan yang beraneka ragam, kini gersang akibat perambahan hutan
dan pemanfaatan hasil hutan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Akibatnya bukan saja habitat satwa terganggu, namun juga ekosistem alam
turut berubah drastis, pada gilirannya nanti kehidupan manusia turut terancam
bahaya26.
Deforestasi adalah proses penghilangan hutan alam dengan cara
penebangan untuk diambil kayunya atau mengubah peruntukan lahan hutan
menjadi non-hutan. Bisa juga disebabkan oleh kebakaran hutan baik yang
disengaja atau terjadi secara alami. Deforestasi mengancam kehidupan umat
manusia dan spesies mahluk hidup lainnya. Sumbangan terbesar perubahan
26

Bambang Pamulardi, Pembangunan Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan,
PT. Raja Grafindo Persada, 1995, Jakarta, hal. 2

Universitas Sumatera Utara

37

iklim saat ini diakibatkan oleh deforestasi. Saat ini sekitar 30% daratan di
permukaan Bumi masih ditutupi oleh hutan. Namun penyusutan luas hutan
terjadi pada tingkat yang sangat menghawatirkan. Setiap tahun diperkirakan
12-15 hektar hutan lenyap dari muka bumi. Keadaan ini setara dengan
kehilangan hutan seluas 36 kali lapangan sepakbola setiap menit. Bila hal ini
dibiarkan dalam tempo kurang dari 100 tahun hutan akan lenyap dari Bumi.
Deforestasi terjadi baik di hutan temperate maupun di hutan hujan tropis.
Hanya saja saat ini dunia sangat menghawatirkan laju deforestasi yang terjadi
di hutan hujan tropis. Hal ini tidak terlepas dari penyusutan hutan hujan tropis
yang sangat besar. Padahal hutan tersebut berfungsi sebagai penyangga
kehidupan di Bumi yang kaya dengan keanekaragaman hayati dan menjadi
penyimpanan cadangan biomassa karbon paling besar. Negara-negara yang
memiliki hutan tropis tercatat mengalami deforestasi signifikan. Negara-negara
tersebut diantaranya Brasil, Indonesia, dan Republik Demokratik Kongo.
Indonesia merupakan negara dengan deforestasi paling parah di dunia. Bila
ditarik satu abad kebelakang, Indonesia telah kehilangan 15,79 juta hektar
hutan tropis. Luas ini hampir sepertiga dari luas wilayah Spanyol. Kerusakan
hutan juga dapat mengakibatkan hancurnya keragaman hayati yang tinggal
dihutan dan juga masyarakat sekitar hutan yang seringkali menimbulkan
konflik horizontal antara masyarakat dan pelaku usaha27.
Dampak yang akan diakibatkan apabila deforestasi yang terjadi pada
kawasan SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut ini adalah berkurangnya
27

Prof. Syamsul Arifin. 2016. Peranan Dan Fungsi Hukum Lingkungan Mengantisipasi
Dampak Perubahan Iklim Di Pantai Timur Sumatera Utara. Penelitian BPPTN USU. Dokumen
tidak dipublikasi.

Universitas Sumatera Utara

38

populasi burung migran yang terdapat pada kawasan ini. Diketahui bahwa ada
kurang lebih 13 jenis burung migran yang datang ke kawasan ini untuk
berkembang biak maupun singgah, beberapa di antaranya yaitu Gajahan timur
(Numenius arquata) dan Gajahan besar (Numenius madagascariensis). Serta
dijumpai 24 jenis burung dengan jenis yang dominan Cinenen kelabu
(Orthotomus ruficeps); pada habitat mangrove sekunder 19 jenis dengan jenis
dominan Cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps); tambak intensif 25 jenis
burung dengan jenis dominan Elang bondol (Haliastur indus); tambak
ekstensif 13 jenis dengan jenis dominan Elang bondol (Haliastur indus);
burung air 16 jenis dengan jenis yang dominan Kuntul perak (Egretta
intermedia) dan Kuntul besar (Egretta alba).
Apabila upaya penegakan terhadap deforestasi dan beralihfungsinya lahan
kawasan suaka margasatwa belum dapat dilakukan secara maksimal. Maka
bukan tidak mungkin populasi burung migran tersebut akan berkurang dan
meninggalkan kawasan SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut.
Salah satu regulasi Internasional yang secara khusus mengatur mengenai
deforestasi maupun degradasi hutan adalah REDD+, yaitu singkatan dari
Reducing Emissions from Deforestating and Forest Dergradation. Merupakan
suatu mekanisme global yang bertujuan untuk memperlambat perubahan iklim
dengan memberikan kompensasi kepada negara berkembang untuk melindungi
hutannya. Skema ini mulai menjadi prioritas sejak Papua Nugini dan Kosta
Rika menjabarkan proposal pengurangan emisi deforestasi pada diskusi
perubahan iklim pada tahun 2005. Indonesia sebagai salah satu negara
biodiversity maju memperjuangkan REDD pada Konvensi Perubahan Iklim di

Universitas Sumatera Utara

39

Bali

tahun

2007,

dimana

ide

tersebut

telah

berkembang

dengan

mengikutsertakan isu „degradasi hutan‟. Berbagai usul dan opsi penambahan
isu tentang agroforestri dan pertanian juga muncul. REDD berkembang jauh
lebiih jauh lagi menjadi wadah konservasi dan pengelolaan hutan secara lestari,
pemulihan hutan dan penghutanan kembali, serta peningkatan cadangan karbon
hutan.
Dengan cepat REDD+ menjdi faktor penting dalam berbagai negosiasi
internasional karena dianggap sabagi salah satu cara paling murah untuk
memperlambat laju perubahan iklim. Modelnya menganut prinsip “common
but differentiated responsibility”, dimana negara maju, yang menghasilkan
banyak emisi dalam proses industrialisasi dan untuk menopang gaya hidup,
menyediakan dana dan teknologi untuk negara berkembang sebagai bentuk
komitmen mengurangi dampak emisi karbon mereka. Tantangan-tangan besar
dalam mekanisme ini termasuk bagaimana mengukur karbon secara akurat,
bagaimana memastikan dana sampai ke komunitas hutan dengan transparan
dan efisien.
Dalam konvensi perubahan iklim terakhir di Cancun tahun 2010, dunia
telah sepakat untuk memasukan REDD+ dalam mekanisme yang akan berlaku
setelah Protol Kyoto berakhir di tahun 2012. Dana sudah mulai mengalir,
misalnya dari Norwegia yang berkomitmen untuk mengucurkan dana sampai
US$ 1 Miliar untuk Indonesia di bawah payung REDD+. Menurut Stern
Review (2006), dengan mengurangi deforestasi saja, kita bisa segera
mengurangi emisi karbon dengan dana yang sedikit. Mengapa demikian ?

Universitas Sumatera Utara

40

Karena deforestasi berkontribusi sebesar 5,8 miliar ton gas karbon
dioksida (CO2) atau setara dengan 18 persen dari emisi gas rumah kaca dunia
ke atmosfer setiap tahunnya. Hal ini yang mendorong dimasukannya skema
REDD (Reducin Emissions from Deforestating and Forest Degradation) dalam
skema penanggulangan perubahan iklim. Berikut beberapa kesepakatan dan
hasil pertemuan di tingkat Internasional :
a.

Protokol Kyoto di Kyoto, Jepang, Desember 1997
Benih REDD mulai ditanam dalam Protokol Kyoto, terutama di pasal 2
dan 3.

b. Kesepakatan Marakesh dari UNFCCC COP 7 di Marrakesh,
Maroko, Desember 2001
Perubahan tata guna lahan dan sektor kehutanan (LULUCF) mulai
dibicarakan lebih komprehensif dan mendorong kesepakatan bahwa
kegiatan terkait dengan sektor-sektor ini dapat dilaksanakan di negaranegara Annex 1.
c.

UNFCCC COP 11 di Montreal, Kanada, November 2005
Coalition for Rainforest Nations meminta dimasukannya agenda
tentang “pengurangan emisi dari deforestasi di negara berkembang :
pendekatan untuk mendorong tindakan”.

d. Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA)
SBSTA Sesi 24 di Bonn, Jerman, Mei 2006
REDD mulai dipertimbangkan dengan adanya pernyataan “perlunya
membahas pengurangan emisi dari deforestasi di negara-negara
berkembang sebagai bagian upaya mitigasi perubahan iklim”.

Universitas Sumatera Utara

41

e.

Kesepakatan dari UNFCCC COP 13 di Bali, Indonesia, Desember
2007
Konvensi Perubahan Iklim ini mengeluarkan dua keputusan penting
terkait REDD, yaitu Bali Action Plan, yang memberikan arahan
negosiasi Internasional selanjutnya untuk menuju kesepakatan pasca
Protokol

Kyoto. Serta

dimasukannya

pengurangan emisi

dari

deforestasi di negara berkembang sebagai salah satu pendekatan untuk
mendorong adanya tindakan dalam salah satu keputusannya.
f.

Subsidiary Body for Sci Scientific and Technological Advice (SBSTA)
SBSTA Sesi 29 dan UNFCCC COP 14 di Poznan, Polandia,
Desember 2008
Istilah REDD+ mulai diperkenalkan dalam SBTSA Sesi 29, yang
menyebutkan dalam laporannya “pengurangan emisi dari deforestasi
dan degradasi hutan di negara-negara berkembang, dan peran
konservasi, pengelolaan berkelanjutan dari hutan dan peningkatan stok
karbon di negara-negara berkembang”.

g. Tiga pertemuan di Bonn, Jerman, pertengahan 2009
Ketiga pertemuan tersebut mempersiapkan teks negosiasi yang akan
dipakai di UNFCCC COP 15 di Copenhagen, Denmark dan
memastikan bahwa naskah tersebut mencakup semua isu dan hal
penting terkait REDD+, seperti cakupan wilayah, hak-hak masyarakat
setempat, serta pengukuran dan laporan.

Universitas Sumatera Utara

42

h. Pertemuan Kelompok Kerja Ad-hoc Aksi Kerjasama Jangka
Panjang

(AWG-LCA)

Sesi

7

di

Bangkok,

Thailand,

September/Oktober 2009
Pada pertemuan ini, beberapa negara termasuk Brazil, India, Meksiko,
Swiss, dan Norwegia meminta pengamanan REDD+ diangkat dalam
perundingan di Barcelona, Spanyol, pada bulan November 2009.
i. Pertemuan Kelompok Kerja Ad-hoc Aksi Kerjasama Jangka
Panjang (AWG-LCA) di Barcelona, Spanyol, November 2009
Perundingan ini membicarakan 4 hal terkait REDD+ yaitu cakupan
wilayah, komunitas lokal, pengukuran dan pendanaan.
j. Kesepakatan Copenhagen dari UNFCCC COP 15 di Copenhagen,
Denmark, Desember 2009
Kesepakatan ini tidak menyebutkan REDD+ secara eksplisit, namun
mendeklarasikan “pembentukan suatu mekanisme secepatnya untuk
memungkinkan mobilisasi sumber daya financial dari negara maju
untuk mendukung usaha mengurangi emisi dari deforestasi dan
degradasi hutan serta untuk meningkatkan penyimpanan karbon”.
k. Kesepakatan Cancun dari UNFCCC COP 16 di Cancun, Meksiko,
Desember 2010
Kesepakatan cancun mengadopsi REDD+ dengan menggunakan
pendekatan bertahap termasuk kegiatan sub-nasional. Dokumen ini
juga mendefinisikan pengamanan REDD dengan komprehensif,
namun agenda pendanaan ditunda untuk dibicarakan pada tahun 2011.

Universitas Sumatera Utara

43

Hasil yang didapat oleh Indonesia berdasarkan kesepakatan dalam
Conference of Parties (COP 13 Desember 2007 di Bali dan COP 16 2010 di
Cancun Mexico) ruang lingkup REDD mendorong Indonesia untuk
menyiapkan berbagai aturan yang terkait dengan 4 hal yaitu 28 :
1. mengurangi deforestasi dan degradasi hutan.
2. masalah hak atas tanah (tenurial arrangements);
3. struktur pengelolaan hutan (forest governance);
4. partisipasi pemangku kepentingan yang efektif terutama peranan
masyarakat adat dan masyarakat.
Menurut Sri Rahayu (dalam Syamsul Arifin : 2016), tantangan ini
dilakukan oleh Indonesia karena Indonesia, berdasarkan data 2007 menjadi
kontributor terbesar disektor kehutanan.

C. Pemanfaatan dan Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Pulau Terluar
Menurut Hukum Nasional.
Kawasan SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut merupakan
kawasan suaka margasatwa yang sebagian besar merupakan kawasan hutan
bakau (magrove). Kawasan ini menjadi tempat tinggal sekaligus berkembang
biak hewan laut seperti udang, ikan, burung laut, serta kera ekor panjang.
Selain itu potensi bahari dari kawasan SM Karang Gading dan Langkat Timur
Laut ini dapat dikembangkan dan menjadi wisata yang berwawasan lingkungan
laut (eco marine tourism).
28

Prof. Syamsul Arifin. 2016. Peranan Dan Fungsi Hukum Lingkungan Mengantisipasi
Dampak Perubahan Iklim Di Pantai Timur Sumatera Utara. Penelitian BPPTN USU. Dokumen
tidak dipublikasi.

Universitas Sumatera Utara

44

Mengenai pemanfaatan dan pengelolaan kawasan pesisir dan pulau terluar
tersebut, selaras dengan visi terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana termaktub dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945),
“…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum…”. Visi tersebut lebih lanjut
dirumuskan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NKRI 1945 yang menyebutkan
bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Pasal tersebut menempatkan negara sebagai penguasa sumber daya alam untuk
kepentingan publik. Pengaturan ini berdasarkan anggapan bahwa, pemerintah
adalah pemegang mandat untuk melaksanakan kehidupan bernegara di
Indonesia29.
Dalam pemanfaatan dan pengelolaan lebih lanjut akan potensi bahari dan
pariwisata dalam kawasan SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut
tersebut, maka merujuk pada ketentuan UU No. No. 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Terluar jo UU No. 1 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Terluar, pasal 1 angka 4 30 :
“Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumber daya hayati,
sumber daya nonhayati; sumber daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan;
sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove
29

Yance Arizona, Penafsiran MK Terhadap Pasal 33 UUD 1945, (Padang, Fakultas
Hukum Universitas Andalas, 2007), hlm. 111.
30
Pasal 1 angka 4 UU No. No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Terluar jo UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Terluar

Universitas Sumatera Utara

45

dan biota laut lain; sumber daya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral
dasar laut; sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan
kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam,
permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan
dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di Wilayah Pesisir.”
Hutan Mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang
didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan
berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur (Bengen, 2000). Hutan
mangrove pada ekosistem pesisir merupakan zona peralihan antara ekosistem
darat dan laut, sehingga kewenangan pengelolaan mengharuskan keterlibatan
multi sektoral/instansi. Hal tersebut tergambar dari banyaknya pihak yang
berkepentingan dengan wilayah pesisir terutama dalam hal pemanfaatan hutan
mangrove sehingga memicu munculnya konflik yang tidak kunjung selesai.
Sektor-sektor tersebut antara lain, yaitu sektor perikanan, perhubungan,
industri dan perdagangan, pertambangan, kehutanan, permukiman dan
pariwisata yang berdampak pada kondisi sosial ekonomi masyarakat. Selain itu
terdapatnya populasi 13 jenis burung migran juga turut menambah
keanekargaman fauna dikawasan SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut,
yang apabila dapat dikelola dengan baik akan berkembang menjadi daya jual
wisata berbasis lingkungan yang dapat mendorong peningkatan edukasi kepada
masyarakat tentang pentingnya kawasan SM Karang Gading dan Langkat
Timur Laut dan kesadartahuan kawasan konservasi bagi pembangunan dimasa
yang akan datang.

Universitas Sumatera Utara

46

Berdasarkan penjelasan diatas, kawasan SM Karang Gading dan Langkat
Timur Laut yang seluruhnya merupakan kawasan hutan bakau (mangrove) dan
memiliki kekayaan hayati maupun non hayati yang terkandung di dalamnya
dapat dimanfaatkan dan dikelola secara maksimal.
Tujuan pengelolaan tersebut harus sesuai dengan instruksi pasal 431 yaitu :
a. melindungi, mengonservasi, merehabilitasi,

memanfaatkan, dan

memperkaya Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta sistem
ekologisnya secara berkelanjutan;
b. menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan
Pemerintah Daerah dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan PulauPulau Kecil;
c. memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta
mendorong inisiatif Masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan, dan
keberkelanjutan; dan
d. meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya Masyarakat melalui
peran serta Masyarakat dalam pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil.
Dalam hal mengelola kawasan pesisir tersebut, antara pemerintah daerah
dalam hal ini memiliki tanggung jawab yang besar, karena kewenangan
mengelola kawasan pesisir beralih menjadi tanggung jawab pemerintah daerah
selain urusan migas. Dalam penjelasan pasal 27 ayat (2) UU No. 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah dikatakan, kewenangan tersebut meliputi :

31

Opcit hal. 49

Universitas Sumatera Utara

47

a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut di
luar minyak dan gas bumi;
b. pengaturan administratif;
c. pengaturan tata ruang;
d. ikut serta dalam memelihara keamanan di laut; dan
e. ikut serta dalam mempertahankan kedaulatan negara.
Meskipun kewenangan tersebut beralih ke pemerintah daerah, namun
setiap kebijakan maupun kegiatan yang akan dilakukan pemerintah daerah
haruslah diintegrasikan antara, (a) pemerintah dan pemerintah daerah, (b)
antar-pemerintah daerah, (c) antar sektor, (d) antara pemerintah, dunia usaha,
dan masyarakat, (e) antara ekosistem darat dan ekosistem laut, (f) antara ilmu
pengetahuan dan prinsip-prinsip manajemen. Pengelolaan kawasan pesisir
tersebut haruslah secara continu dan sesuai dengan tujuan pengelolaan kawasan
pesisir yang diamanatkan UU No. 27 Tahun 2007 jo UU No. 1 Tahun 2014
agar dapat dimanfaatkan tidak hanya dari segi ekonomi semata, melainkan dari
segi konservasi, dan sosial-budaya.
Pemanfaatan kawasan pesisir tersebut harus tetap berpegang pada prinsip
pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pemanfaatan secara
lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan :
1. Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam
2. Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar32
Yang dimaksud dengan kondisi lingkungan adalah potensi kawasan berupa
ekosistem, keadaan iklim, fenomena alam, kekhasan jenis tumbuhan dan satwa
32

Pasal 26 UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya

Universitas Sumatera Utara

48

serta peninggalan budaya dalam kawasan tersebut. Pengertian pemanfaatan ini
adalah memanfaatkan potensi yang ada dalam suatu ekosistem yang karena
keunikannya mempunyai daya tarik untuk pariwisata. Demikian pula untuk
peninggalan budaya yang dapat digunakan sebagai objek pariwisata. Dalam
pemanfaatan kondisi lingkungan dan jenis tumuhan serta satwa liar harus
dilakukan dengan tetap menjaga keseimbangan populasi dengan habitatnya,
kelangsungan potensi, daya dukung, dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa liar.
Dalam hal pemanfaatan kawasan pesisir tersebut, setiap orang (natuurlijk
person), badan hukum yang berdiri berdasarkan hukum Indonesia, dan
koperasi yang dibentuk masyarakat yang melakukan pemanfaatan tersebut
harus memiliki Izin Lokasi. Izin Lokasi tersebut yang akan menjadi dasar
pemberian Izin Pengelolaan, pemberian izin lokasi tersebut diberikan
berdasarkan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sebelum
izin lokasi tersebut diberikan, haruslah mempertimbangkan kelestarian
ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, masyarakat, nelayan tradisional,
kepentingan nasional, dan hak lintas damai bagi kapal asing. Hanya saja izin
lokasi tersebut tidak dapat diberikan pada zona inti di kawasan konservasi, alur
laut, kawasan pelabuhan, dan pantai umum. Beberapa kegiatan yang
diwajibkan untuk memiliki izin pengelolaan tersebut antara lain, (a) produksi
garam, (b) biofarmakologi laut, (c) bioteknologi laut, (d) pemanfaatan air laut
selain energi, (e) wisata bahari, (f) pemasangan pipa dan kabel bawah laut, dan
(g) pengangkatan benda muatan kapal tenggelam.

Universitas Sumatera Utara

49

Salah satu potensi yang dapat dimanfaatkan dalam kawasan SM Karang
Gading dan Langkat adalah kawasan hutan mangrove. Dengan menjadikan
kawasan wisata terbatas yang berwawasan lingkungan laut (eco marine
tourism), edukasi dan ilmu pengetahuan, serta sosial budaya. Keunikan dari
karakteristik hutan mangrove adalah hutan ini merupakan zona peralihan antara
ekosistem darat dan laut33, dimana bisa kita lihat bahwa jenis tumbuhan dan
hewan yang tinggal pada kawasan ini beraneka macam dan telah beradabtasi
dengan habitat air payau. Seperti tumbuhan bakau atau mangrove (rhizopora
sp) yang dapat hidup dilingkungan air payau. Hal ini disebabkan karena adanya
pelumpuran yang mengakibatkan kurangnya abrasi tanah, salinitas tanahnya
yang tinggi, serta mengalami daur penggenangan oleh pasang-surut air laut.
Hanya sedikit jenis tumbuhan yang bertahan hidup di tempat semacam ini, dan
jenis-jenis ini kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah melewati
proses adaptasi dan evolusi. Keberadaan tanaman ini merupakan indikator
dimana suatu ekosistem kawasan pesisir masih sangat terjaga baik
keberadaanya, dengan adanya hutan bakau maka juga turut menjadi tempat
tinggal hewan-hewan yang memiliki nilai ekonomis tinggi, seperti kepiting
bakau, udang, ikan, dan sidat.
Selain itu hutan bakau juga dapat menjadi benteng alami dari bencana
tsunami, mencegah terjadi abrasi, menjadi rumah berbagai burung laut dan
hewan air payau, serta tempat pembesaran (nursery ground) banyak jenis ikan
laut. Melihat potensi yang begitu besar dari kawasan SM Karang Gading dan

33

Jurnal Aditya Irawan, dan Nilam Sari. 2008. Study on the Implication of UU RI No 27
Tahun 2007 on Coastal Region and Isles Management on Mangrove Forest Management
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 5 No. 3

Universitas Sumatera Utara

50

Langkat Timur Laut yang mayoritas merupakan kawasan hutan bakau. Maka
pariwisata terbatas yang berbasis eco marine tourism dapat dilakukan dalam
SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut.

Kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut
Sebagai Salah Satu Kawasan Wisata Alam Bahari Berbasis Lingkungan
(Eco Marine Tourism)34
Keistimewaan SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut tidak hanya
terletak pada fungsinya sebagai kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas
berupa

keanekaragaman dan/atau keunikan jenis satwa

yang untuk

kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.
Ekosistem hutannya yang masih alami juga menjadikannya sebagai penyangga
dan penahan dari abrasi air laut maupun ketika terjadi tsunami, yang tetap
memiliki

posisi

strategis

yang

harus

dijaga

eksistensinya,

dengan

memanfaatkan dan mengembangkan segala potensi alam yang ada disana
sebagai salah satu destinasi wisata bahari berbasis lingkungan atau sebagai eco
marine tourism, di samping posisinya sebagai kawasan konservasi yang harus
dijaga keberadaanya. Eco Marine Tourism terdiri dari tiga kosa kata bahasa
Inggris. Eco

35

adalah kata yang memiliki makna berhubungan dengan

lingkungan. Sedangkan marine 36 berarti segala yang berhubungan dengan

34

Arif. 2016. Pengelolaan Pulau Berhala Serdang Bedagai Sebagai Kawasan Strategis
Nasional Dalam Mewujudkan Eco Marine Tourism. Penelitian BPPTN USU. Dokumen tidak
dipublikasi.
35
Eco dalam kamus Oxford adalah combining form (in nouns, adjective and adverbs)
connected with the environment.lihatOxford Advance Learner’s Dictionary, hlm. 465.
36
Marine dalam kamus Oxford adalah connected with the sea and creatures and plants
that live there. lihatOxford Advance Learner’s Dictionary, hlm. 907.

Universitas Sumatera Utara

51

laut/bahari. Sedangkan tourism 37 yang berarti pariwisata, yakni kegiatan
mengunjungi tempat tertentu untuk rekreasi. Dengan kata lain, eco marine
tourism adalah pariwisata bahari yang berwawasan lingkungan.
Dari penjelasan diatas, eco marine tourism adalah suatu konsep pariwisata
bahari yang berkelanjutan, baik dalam perjalanan maupun pengelolaannya,
dengan menjaga lingkungan alami dan mengedepankan kepentingan kearifan
lokal, salah satunya masyarakat setempat.

Salah satu dasar dalam

memanfaatkan kawasan SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut sebagai
kawasan wisata adalah melalui pasal 17 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1990 yang
menyebutkan di dalam suaka margasatwa dapat dilakukan kegiatan untuk
kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan,
wisata terbatas,dan kegiatan lainnya yang menunjang budi daya 38, yang diatur
lebih lanjut kedalam pasal 18 ayat (2) huruf g Peraturan Menteri LHK Tahun
2015 yang menyebutkan bahwa “kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan
dalam blok pemanfaatan di Suaka Margasatwa salah satunya adalah wisata
alam terbatas”. Yang dimaksud wisata terbatas adalah suatu kegiatan untuk
mengunjungi, melihat dan menikmati keindahan alam di suaka margasatwa
dengan persyaratan tertentu.39
Yang kemudian dalam huruf h dijelaskan lebih lanjut dibutuhkan
pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan terbatas untuk menunjang
kegiatan, salah satunya yang diatur dalam huruf g. Dimana tujuan dari

37

Tourism dalam kamus Oxford adalah the business activity connected with providing
accommodation, services and entertainment for people who are visiting a place for pleasure.
lihatOxford Advance Learner’s Dictionary, hlm. 1580.
38
Bambang Pamulardi, Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan., Ibid
hal. 192
39
Ibid Hal. 192

Universitas Sumatera Utara

52

pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan ini bertujuan untuk
mendukung kegiatan wisata alam terbatas, mendukung fungsi pengawasan
terhadap kawasan suaka margasatwa, memberikan akses kemudahan bagi
petugas Polhut (Polisi Hutan) maupun masyarakat sekitar yang secara swadaya
turut membantu meringankan pekerjaan petugas Polhut. Fasilitas yang dapat
dibangun bisa berupa pembuatan jalan yang menggantung diatas tanah, pos
pengamatan disejumlah titik, fasilitas karantina, fasilitas edukasi, dan fasilitas
sanitasi.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
BAGAIMANA PERLINDUNGAN HUKUM INTERNASIONAL DALAM
PENGELOLAAN SUAKA MARGASATWA KARANG GADING DAN
LANGKAT TIMUR LAUT (KGLTL) SEBAGAI KAWASAN
KONSERVASI LINGKUNGAN HIDUP GLOBAL
A. Langkah - Langkah Konservasi Kawasan Hutan Menurut Hukum
Internasional.
Berdasarkan pada ketentuan pasal 8 Konvensi Keanekaragaman Hayati
mengenai Konservasi in-situ40 menyebutkan sebagai berikut :
a. Mengembangkan sistem kawasan lindung atau kawasan yang
memerlukan

penanganan

khusus

untuk

mengkonservasi

keanekaragaman hayati;
b. Mengembangkan pedoman untuk penyeleksian, pendirian, dan
pengelolaan

kawasan

lindung

memerlukan

upaya-upaya

atau

khusus

kawasan-kawasan
untuk

yang

mengkonservasikan

keanekaragaman hayati;
c. Mengatur atau mengelola sumber daya hayati yang penting bagi
konservasi keanekaragaman hayati baik di dalam maupun di luar
kawasan lindung, dengan maksud menjamin konservasi dan
pemanfaatan secara berkelanjutannya;
d. Memajukan perlindungan ekosistem, habitat alami dan pemeliharaan
populasi yang berdaya hidup dari spesies di dalam lingkungan
alaminya;
40

Pasal 8 Konvensi Keanekaragaman Hayati Tahun 1992

53
Universitas Sumatera Utara

54

e. Memajukan pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan
di kawasan lindung dengan maksud untuk dapat lebih melindungi
kawasan-kawasan ini;
f. Merehabilitasi dan memulihkan ekosistem yang rusak dan mendorong
pemulihan jenis-jenis terancam, di antaranya melalui pengembangan
dan pelaksanaan rencana-rencana atau strategi pengelolan lainnya;
g. Mengembangkan

atau

memelihara

cara-cara

untuk

mengatu,

mengelola atau mengendalikan risiko yang berkaitan dengan
penggunaan

dan

bioteknologi,

yang

pelepasan

organisme

termodifikasi

mungkin

mempunyai

dampak

hasil

lingkungan

merugikan, yang dapat memperngaruhi konservasi dan pemanfaatan
secara berkelanjutan keanekaragaman hayati, dengan memperhatikan
pula risiko terhadap kesehatan manusia;
h. Mencegah masukanya serta mengendalikan atau membasmi jenis-jenis
asing yang mengancam ekosistem, habitat atau spesies;
i. Mengusahakan terciptanya kondisi yang diperlukan untuk keselarasan
antara pemanfaatan kini dan konservasi keanekaragaman hayati serta
pemanfaatan secara berkelanjutan komponen-komponennya;
j. Tergantung

perundang-undangan

nasionalnya,

menghormati,

melindungi dan mempertahankan pengetahuan, inovasi-inovasi dan
praktik-praktik masyarakat asli dan lokal yang mencerminkan gaya
hidup yang berciri tradisional, sesuai dengan konservasi dan
pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati dan
memajukan penerapannya secara lebih luas dengan persetujuan dan

54
Universitas Sumatera Utara

55

keterlibatan pemilik pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktik-praktik
tersebut semacam itu dan mendorong pembagian yang adil
keuntungan yang dihasilkan dari pendayagunaan pengetahuan,
inovasi-inovasi dan praktik-praktik semacam itu;
k. Mengembangkan

atau

mempertahankan

perundang-undangan

diperlukan dan/atau peraturan-peraturan bagi perlindungan jenis-jenis
dan populasi terancam;
l. Mengatur atau mengelola proses dan kategori kegiatan yang sesuai,
bila akibat yang nyata-nyata merugikan terhadap keanekaragaman
hayati telah ditentukan seperti tersebut dalam pasal 7; dan
m. Bekerja sama dalam penyediaan dana dan dukungan lainnya untuk
konservasi in-situ yang dirumuskan dalam sub-sub ayat (a) sampai (l)
di atas, terutama bagi negara-negara berkembang.
Melalui ketentuan dalam pasal 8 Konvensi Keanekaragaman Hayati ini,
langkah-langkah konservasi dilakukan dengan menyerahkan kedaulatan
pengelolaan dan perlindungan kawasan terlindungi kepada negara tersebut.
Serta dapat berkerjasama dengan negara lain maupun NGO dalam hal
pendanaan, pertukaran informasi dan teknologi, maupun pemanfaatan
bioteknologi yang dapat dikembangkan dari kawasan terlindungi tersebut.
Tidak hanya itu, konvensi ini mengamanahkan bahwa suatu negara dapat
membentuk peraturan perundang-undanganya dalam melakukan upaya
konservasi (huruf k). Pengakuan terhadap adat istiadat masyarakat asli/lokal
dalam memanfaatkan dan mengelolan kawasan konservasi in-situ dilindungi
dan dihormati berdasarkan ketentuan konvensi ini.

Universitas Sumatera Utara

56

Langkah-langkah konservasi yang lebih spesifik di atur oleh ketentuan
IUCN (International for the Conservation of Nature and Natural Resources)
yang biasa disebut dengan IUCN Red List of Threatened Species atau disingkat
IUC Red List, yaitu daftar status kelangkaan suatu spesies. Dalam pengambilan
langkah konservasi menurut IUCN, haruslah dilakukan suatu kegiatan yaitu
mengevaluasi dan menetapkan kriteria-kriteria status kelangkaan suatu spesies.
Kriteria ini relevan untuk semua spesies flora dan fauna di dunia. Tujuannya
adalah untuk memperingatkan betapa pentingnya masalah konservasi kepada
publik dan pembuat kebijakan untuk menolong komunitas internasional dalam
memperbaiki status kelangkaan spesies.
Kategori kriteria status konservasi dalam IUCN Red List melalui aturan
yang baru yaitu versi 3.1 (diperbarui 2001) meliputi :
1. Extinct (EX; Punah).
Merupakan status konservasi yang diberikan kepada spesies yang
terbukti (tidak ada keraguan lagi) bahwa individu terakhir spesies
tersebut sudah mati. Dalam IUCN tercatat 723 hewan dan 86
tumbuhan yang berstatus punah.
2. Extinct in the Wild (EW; Punah di Alam).
Merupakan status konservasi yang diberikan kepada spesies yang
hanya diketahui berada di tempat penangkaran atau diluar habitat
alami mereka. Dalam IUCN Red List mencatat 38 hewan dan 28
tumbuhan yang berstatus Extinct in the Wild.

Universitas Sumatera Utara

57

3. Critically Endangered (CR; Kritis).
Merupakan status konservasi yang diberikan kepada spesies yang
mengahadapi resiko kepunahan di waktu dekat. Dalam IUCN Red
List tercatat 1.742 hewan dan 1.577 tumbuhan yang berstatus kritis.
4. Endangered (EN; Genting atau Terancam).
Merupakan status konservasi yang diberikan kepada spesies yang
sedang menghadapi resiko kepunahan di alam liar yang tinggi pada
waktu yang akan datang. Dalam IUCN Red List tercatat 2.573
hewan dan 2.316 tumbuhan yang berstatus terancam.
5. Vulnurable (VU; Rentan).
Merupakan status konservasi yang diberikan kepada spesies yang
sedang menghadapi resiko kepunahan di alam liar pada waktu yang
akan datang. Dalam IUCN Red List tercatat 4.467 hewan dan 4.607
tumbuhan berstatus rentan.
6. Near Threatened (NT; Hampir Terancam).
Merupakan status konservasi yang diberikan kepada spesies yang
mungkin berada dalam keadaan terancam atau mendekati terancam
kepunahan, meski tidak masuk ke dalam status terancam. Dalam
IUCN Red List tercatat 2.574 hewan dan 1.076 tumbuhan berstatus
hampir terancam.
7. Least Concern (LC; Berisiko Rendah).
Merupakan kategori IUCN yang diberikan untuk spesies yang telah
di evaluasi namun tidak masuk ke dalam ketegori manapun. Dalam

Universitas Sumatera Utara

58

IUCN Red List tercatat 17.535 hewan dan 1.488 tumbuhan yang
berstatus ini.
8. Data Deficient (DD; Informasi Kurang).
Sebuah takson dinyatakan “informasi kurang” ketika informasi
yang ada kurang memadai untuk membuat perkiraan akan risiko
kepunahannya berdasarkan distribusi dan status populasi. Dalam
IUCN Red List tercatat 5.813 hewan dan 735 tumbuhan berstatus
informasi kurang.
9. Not Evaluated (NE; Belum Dievaluasi).
Sebuah takson dinyatakan “belum dievaluasi” ketika tidak
dievaluasi untuk kriteria-kriteria di atas.
Pengelolaan konservasi sumber daya alam hayati di Indonesia dalam UU
No. 5 tahun 1990 sangat dipengaruhi oleh Strategi Konservasi Dunia IUCN.
Kategorisasi Kawasan Konservasi IUCN ini lalu diadopsi di dalam UU 5
Tahun 1990, walau tidak seutuhnya. Hanya sayangnya konsep IUCN dalam
membangun Kawasan Konservasi lebih banyak mengadopsi situasi di negara
maju sehingga tidak sepenuhnya cocok untuk negara berkembang seperti
Indonesia.

Universitas Sumatera Utara

59

Tabel 1.2. Perbedaan Kategori Kawasan Konservasi Menurut IUCN dan
UU No. 5 Tahun 199041
IUCN

UU No. 5 Tahun 1990

Strict Reserves

Cagar Alam

National Park

Suaka Margasatwa

Nature Monument

Taman Nasional

Species Management

Taman Wisata Alam

Protect Land/Sea Scapes

Taman Hutan Raya

Managed Resources

Sumber : Konservasi Indonesia, Sebuah Potret Pengeloaan & Kebijakan,
2008, hal. 39

Melalui kriteria status konservasi berdasarkan IUCN tersebut, maka
langkah selanjutnya adalah menyusun manajemen pengelolaan kawasan
konservasi sesuai dengan aturan hukum masing-masing negara. Penggunaan
ketentuan IUCN Red List tersebut bukan merupakan ketentuan yang mengikat
bagi setiap negara di dunia dalam mengelola keanekaragaman hayatinya.
Ketentuan ini hanya merupakan saran yang dapat diikuti dan diaplikasikan
dalam hukum nasional masing-masing negara.
Berdasarkan kriteria tersebut, maka kawasan hutan mangrove SM Karang
Gading dan Langkat Timur Laut termasuk dalam kategori kriteria Near
Threatened atau hampir terancam. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor,

41

Tim Pokja Kebijakan Konservasi, Konservasi Indonesia, Sebuah Potret Pengelolaan
dan Kebijakan, Perpustakaan Nasional, 2008, Hal. 39

Universitas Sumatera Utara

60

seperti penebangan hutan mangrove, beralihfungsinya lahan suaka margasatwa,
hingga pemukiman dan persawahan. Akibatnya daya dukung lingkungan SM
Karang Gading dan Langkat Timur Laut menjadi berkurang, sehingga
menyebabkan berkurangnya populasi burung, terutama burung migran yang
datang setiap tahunnya untuk berkembang biak dan mencari makan di kawasan
suaka margasatwa. Tidak hanya itu, populasi hutan mangrove dalam SM
Karang Gading dan Langkat Timur Laut juga berkurang dan mengakibatkan
percepatan erosi air laut ke daratan, yang akan mengakibatkan tenggelamnya
kawasan disekitar suaka marg

Dokumen yang terkait

Analisis Cadangan Karbon pada Penggunaan Lahan Tambak, Pemukiman, dan Lahan Kosong di Kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut, Sumatera Utara

2 43 75

Tingkat Kerusakan Dan Potensi Karbon Tersimpan Hutan Mangrove Di Kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut I Kabupaten Deli Serdang

2 65 91

Analisis Perubahan Fungsi Lahan Di Kawasan Pesisir Dengan Menggunakan Citra Satelit Berbasis Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus Di Kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading Dan Langkat Timur Laut)

1 62 6

Studi Kesadaran Hukum Masyarakat Kaitannya Dengan Faktor Penyebab Gangguan Kerusakan Kawasan Hutan Suaka Margasatwa Karang Gading Dan Langkat Timur Laut

1 35 128

Kedudukan Suaka Margasatwa Karang Gading Dan Langkat Timur Laut Sebagai Kawasan Konservasi Ditinjau Dari Segi Hukum Internasional

0 0 13

Kedudukan Suaka Margasatwa Karang Gading Dan Langkat Timur Laut Sebagai Kawasan Konservasi Ditinjau Dari Segi Hukum Internasional

0 0 1

Kedudukan Suaka Margasatwa Karang Gading Dan Langkat Timur Laut Sebagai Kawasan Konservasi Ditinjau Dari Segi Hukum Internasional

0 1 13

Kedudukan Suaka Margasatwa Karang Gading Dan Langkat Timur Laut Sebagai Kawasan Konservasi Ditinjau Dari Segi Hukum Internasional

0 0 11

Kedudukan Suaka Margasatwa Karang Gading Dan Langkat Timur Laut Sebagai Kawasan Konservasi Ditinjau Dari Segi Hukum Internasional

0 0 6

ANALISIS CADANGAN KARBON PADA PENGGUNAAN LAHAN TAMBAK, PERMUKIMAN, DAN LAHAN KOSONG DI SUAKA MARGASATWA KARANG GADING DAN LANGKAT TIMUR LAUT, SUMATERA UTARA

0 0 13