Pengaruh Waktu Sakarifikasi pada Pembuatan Glukosa dari Subtrat Kulit Pinang (Areca catechu L.) Menggunakan Aspergillus Niger

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Pinang
Tumbuhan pinang (Areca catechu L.) adalah salah satu jenis palma atau
palem yang tumbuh dan tersebar luas di wilayah India, Malaysia, Taiwan,
Indonesia, dan negara Asia lainnya, baik secara individu maupun populasi serta
memiliki banyak kegunaan antara lain untuk dikonsumsi, bahan industri kosmetik,
kesehatan, dan bahan pewarna pada industri tekstil (Jaiswal et al.2011). Diantara
semua bahan serat alam, pinang merupakan suatu bahan yang menjanjikan karena
tidak mahal, secara bebas tersedia, dan berpotensi sebagai tanaman tahunan yang
sangat tinggi (Rajan et al. 2005).

Gambar 2.1 Foto Pohon Pinang

Gambar 2.2 Foto Kulit Pinang

Pinang (Areca catechu) merupakan tanaman yang sekeluarga dengan
kelapa. Salah satu jenis tumbuhan monokotil ini tergolong palem-paleman. Secara
rinci, sistematika pinang diuraikan berikut ini.
Divisi : Plantae
Kelas : Monokotil

Ordo : Arecales
Famili : Arecaceae atau Palmae (palem-paleman)
Genus : Areca
Species: Areca catechu

6

Universitas Sumatera Utara

Pinang hampir tersebar merata di hampir seluruh provinsi di Indonesia
dengan luas areal sangat bervariasi. Direktorat Jenderal Perkebunan mencatat ada
sekitar 15 propinsi yang paling potensial memproduksi pinang. Salah satu di
antaranya adalah Sumatera Barat (Sumbar). Data statistic Dinas Perkebunan Dati I
Sumbar di sebutkan tahun 1996 luas kebun pinang mencapai 1.443 ha dengan
produksi sekitar 493 ton dan tahun 1997 seluas 1.462 ha dengan produksi mencapai
587 ton. Dari beberapa propinsi yang potensial untuk perluasan areal dan produksi
pinang terdapat di daerah sentral produksi antara lain : Di Aceh (Aceh Utara, Aceh
Timur, Pidie); Sumatera Utara ( Langkat, Deli Serdang, Labuhan Batu); Sumatera
Barat ( Padang Pariaman, Agam, Lima Puluh Kota, Sawahlunto Sijunjung); Jambi
(Sarolangun Bangko); Bengkulu ( Bengkulu Selatan); Riau ( Indragiri Hilir); Jawa

Barat ( Tasikmalaya, Sumedang); Jawa Tengah (Banyumas, Purbalingga); Jawa
Timur (Jember, Situbondo, Bondowoso); NTB ( Bima, Lombok Barat, Dompu);
Kalimantan Barat (Kapuas Hulu, Sintang, Sanggau); dan Kalimantan Selatan
(Tabalong) (Toguan, 2000).
2.2 Struktur dan Komposisi Kulit Pinang
Kulit pinang menyumbang sekitar 60-80% dari total berat buah pinang.
Kulit pinang mengandung selulosa dengan variasi porsi hemiselulosa (35,0-64,8%),
lignin (13,0-26,0%), pectin dan protopektin (Rajan et al. 2005).
3.2.1

Selulosa

Selulosa adalah salah satu biopolimer yaitu polimer karbohidrat yang
tersusun atas D-glukopiranosa berikatan β(1→4) dengan jumlah berlimpah di
alam serta bersifat dapat diperbaharui, mudah terurai, tidak beracun. Senyawa
ini berbentuk seperti serabut, liat, tidak larut dalam air dan ditemukan didalam
dinding sel pelindung tumbuhan, terutama pada tangkai, batang, dahan dan
semua bagian berkayu dari jaringan tumbuhan. Strukturnya terdiri dari tiga
gugus hidroksi peranhidroglukosa menjadikan selulosa memiliki derajat
fungsionalitas yang tinggi. Sebagai materi yang diperbaharui, selulosa dan

turunannya dapat dipelajari dengan baik (Coffey et al. 1995).

7

Universitas Sumatera Utara

Menurut Hans (1994) selulosa merupakan komponen dasar dari bahanbahan asal tumbuh-tumbuhan, dan produksi selulosa melampaui semua zat-zat
alamiah lain. Zat-zat yang menetap di dalam tanah dan sisa tumbuh-tumbuhan
yang dikembalikan ke dalam tanah, 40-70% terdiri dari selulosa. Selulosa dapat
diisolasi dari tanaman.Untuk mengoptimalkan pengambilan serat selulosa dari
beberapa tahapan metode pengisolasian dapat diaplikasikan, seperti metode
mekanis sederhana, campuran metode kimiawi dan mekanik, serta pendekatan
metode enzim.

CH OH

H

2


OH

O

H

H

O
O

H

H

O
H

OH


OH

H

H

H
H

O

H

H

OH

CH2OH

H


O

H
O

O
H

OH

O

O

H

CH2OH

OH


H

OH

CH2OH

Unit Selobiosa

Gambar 2.3 Struktur molekul selulosa (Widjaja, 2009)

Selulosa terdapat dalam tumbuhan sebagai bahan pembentuk dinding sel.
Serat kapas boleh dikatakan seluruhnya adalah selulosa. Dalam tubuh kita selulosa
tidak dapat dicernakan karena tidak mempunyai enzim yang dapat menguraikan
selulosa. Dengan asam encer tidak dapat terhidrolisis, tetapi oleh asam dengan
konsentrasi tinggi dapat terhidrolisis menjadi selobiosa dan D-glukosa. Selobiosa
adalah suatu disakarida yang terdiri atas dua molekul glukosa yang berikatan
glikosidik antara atom karbon 1 dengan atom karbon 4 ( poedjiadi, A. 2009).
Proses isolasi selulosa dari sabut buah pinang menggunakan metode
kimiawi meliputi tahap prehidrolisis, delignifikasi, pemutihan dan pengeringan.

Tahap delignifikasi dilakukan dengan larutan NaOH, karena larutan ini dapat

8

Universitas Sumatera Utara

menyerang dan merusak struktur lignin, bagian kristalin dan amorf, memisahkan
lignin serta menyebabkan penggembungan struktur selulosa (Enari, 1983).

Gambar 2.4 Hidrolisis Selulosa Dengan Enzim Selulase diperlukan (Asror,
K.2017)

2.2.2 Hemiselulosa
Hemiselulosa adalah struktur karbohidrat kompleks yang terdiri dari
polimer yang berbeda seperti pentosa (seperti xilosa dan arabinosa),
heksosa (seperti manosa, glukosa, dan galaktosa), dan asam gula.
Komponen dominan hemiselulosa dari kayu keras dan tanaman pertanian,
seperti rumput dan jerami adalah xilan, sementara untuk kayu lunak adalah
glukomanan (Fengel dan Wegner, 1984).
Hemiselulosa adalah polimer dengan rantai yang relative lebih pendek

dan bercabang, terdiri dari monomer-monomer seperti xilosa, arabinosa,
glukosa, manosa, dan galaktosa dengan struktur amorf (Bailey,1986).
Hemiselulosa berfungsi sebagai pendukung dinding sel dan sebagai
perekat.

9

Universitas Sumatera Utara

H

O
H
฀- xylosidase

Gambar 2.5 Struktur molekul hemiselulosa (Asror, K.2017)

Hemiselulosa berfungsi mendukung dalam dinding-dinding sel dan
sebagai


perekat.

Dengan

derajat

polimerisasi

hanya

200,

maka

hemiselulosa akan terdegradasi lebih dahulu daripada selulosa (Widjaja,
2009).
2.2.3 Lignin
Lignin merupakan komponen makromolekul kayu ketiga yang berikatan
secara kovalen dengan selulosa dan hemiselulosa. Struktur molekul lignin sangat
berbeda bila dibandingkan dengan polisakarida, karena terdiri atas sistem aromatik

yang tersusun atas unit-unit fenil propane. Lignin ada dalam dinding sel maupun di
daerah antar sel (lamella tengah) dan menyebabkan kayu menjadi keras dan kaku
sehingga mampu menahan tekanan mekanis yang besar. Selama perkembangan sel,
lignin dimasukkan sebagai komponen terakhir dalam dinding sel, menembus di
antara fibril-fibril sehingga memperkuat dinding sel. Lignin tidak hanya diperoleh
dari bahan kayu ataupun limbahnya. Bahan non kayu seperti limbah padat hasil
pertanian merupakan bahan berlignoselulosa yang berpotensi menjadi salah satu
sumber lignin (Heradewi, 2007)
Lignin merupakan polimer alami yang paling melimpah di alam setelah
selulosa dan hemiselulosa. Tidak seperti selulosa dan hemiselulosa, meskipun
tersusun atas karbon, hydrogen dan oksigen, lignin bukanlah karbohidrat. Lignin
adalah heteropolimer yang kompleks dengan berat molekul tinggi. Lignin tersusun
10

Universitas Sumatera Utara

dari tiga jenis unit fenilpropana yang berbeda yaitu p-kumaril, koniferil, dan sinapil
alkohol.

Gambar 2.6 Struktur Molekul Lignin (Asror, K.2017)

Dibandingkan dengan selulosa atau hemiselulosa, pemecahan
lignin terjadi sangat lambat oleh jamur dan bakteri (Schlegel dan
Hans,1994). Lignin dapat dioksidasi oleh larutan alkali dan bahan
oksidator lain serta tahan terhadap proses hidrolisis oleh asamasam mineral
tetapi mudah larut dalam larutan sulfit dalam keadaan biasa. Selulosa
adalah penguat batang tanaman, lignoselulosa berfungsi melindungi
selulosa dari kerusakan kimiawi dan biologis, sedangkan hemiselulosa
adalah pengikat keduanya (Lee, 1992).
Lignoselulosa adalah polimer yang amorf dengan berat molekul yang
besar dan struktur yang kompleks. Lignoselulosa lebih tahan terhadap
serangan jamur, bakteri dan proses hidrolisis oleh asam (Widjaja, 2009).

11

Universitas Sumatera Utara

2.3 Delignifikasi
Pada limbah lignoselulosa terdapat lignin yang berperan sebagai
pelindung selulosa terhadap serangan enzim pemecah selulosa. Komposisi
kimia dan struktur yang demikian membuat bahan yang mengandung selulosa
bersifat kuat dan keras, sedangkan adanya ikatan hidrogen menyebabkan
selulosa tidak larut dalam air. Lignoselulosa perlu diberi perlakuan
delignifikasi untuk mengurangi atau menghilangkan hambatan-hambatan
tersebut. Perlakuan pendahuluan pada lignoselulosa dapat dilakukan secara
fisikawi, kimiawi, dan biologis. Perlakuan pendahuluan secara kimiawi yang
dapat dilakukan adalah perlakuan dengan asam, alkali, dan reagen pelarut
selulosa. Perlakuan delignifi kasi yang digunakan dalam penelitian ini berupa
perlakuan kimiawi menggunakan NaOH dengan pengaturan konsentrasi dan
lama perendaman substrat. NaOH dipilih karena larutan ini cukup efektif
dalam meningkatkan hasil hidrolisis, dan relatif lebih murah dibandingkan
dengan reagen kimia lainnya (Gunam, 2011)
Perlakuan awal ini dimaksudkan untuk memecah struktur kristalin
selulosa dan memisahkan lignin sehingga selulosa dapat terpisah, serta
meningkatkan porositas bahan. Rusaknya struktur kristal selulosa akan
mempermudah terurainya selulosa menjadi glukosa. Selain itu, hemiselulosa
turut terurai menjadi senyawa gula sederhana: glukosa, galaktosa, manosa,
heksosa, pentosa, xilosa dan arabinosa. Selanjutnya senyawa-senyawa gula
sederhana

tersebut

yang

akan

difermentasi

oleh

mikroorganisme

(Narayanaswamy et al. 2011).
Selulosa mengendap pada kondisi alkali sehingga dengan penambahan
NaOH, selulosa akan mengendap. Lignin dalam larutan NaOH akan membentuk
senyawa fenolat yang larut dalam air. Senyawa fenolat terbentuk maka ikatan
antara selulosa dengan lignin akan lepas sehingga diperoleh selulosa dalam keadaan
bebas lignin (Sarjono R dkk. 2012 ).

12

Universitas Sumatera Utara

Lignin karbohidrat kompleks

Lignin

selulosa

Gambar 2.7 Skema kompleks karbohidrat lignin bereaksi dengan NaOH (He YF,
et al. 2008)

Gambar 2.8 Skema lignin bereaksi dengan NaOH (He YF, et al. 2008)

Larutan NaOH dapat meningkatkan penggembungan dan menurunkan
derajat kristalinitas selulosa pada tingkat tertentu, karena NaOH dapat memutuskan
ikatan hidrogen terutama ikatan inter-molekul selulosa. Putusnya ikatan hidrogen
terutama ikatan inter-molekul selulosa menyebabkan air yang diserap lebih banyak
sehingga NRA meningkat. Nilai retensi air yang tinggi menunjukkan bahwa
penyerapan air lebih banyak, hal ini berarti akan dapat meningkatkan penyerapan
enzim selulase ke dalam substrat selulosa. Disamping itu, enzim selulase sendiri
sangat membutuhkan air dalam menghidrolisis selulosa menjadi gula-gula
sederhana. Kondisi ini akan dapat membantu meningkatkan hasil sakari
fikasi
selulosa tersebut (Waluyo, 2011).

2.4 Enzim
Enzim merupakan protein sel hidup yang berperan sebagai biokatalisator
dalam proses biokimia, baik yang terjadi di dalam sel maupun di-luar sel. Enzim
merupakan katalisator sejati yang dapat meningkatkan kecepatan reaksi kimia
spesifik dengan nyata, suatu reaksi kimia akan berlangsung sangat lambat tanpa

13

Universitas Sumatera Utara

adanya enzim. Enzim tidak mampu mengubah titik keseimbangan dari reaksi yang
dikatalisisnya dan enzim juga tidak akan habis dipakai atau diubah secara permanen
oleh reaksi-reaksi tersebut (Lehninger, 1982).
Enzim merupakan suatu protein yang memiliki aktivitas biokimia sebagai
katalis suatu reaksi. Aktivitas enzim diperngaruhi oleh pH karena sifat ionik pada
gugus karboksil dan gugus aminonya (Purkan, 2015).
Menurut Poedjiadi (1994) enzim merupakan protein dengan struktur tiga
dimensi yang kompleks yang aktif di bawah kondisi khusus dan hanya dengan
substrat spesifik. Enzim adalah molekul biopolimer yang tersusun dari serangkaian
asam amino dalam komposisi dan susunan rantai yang teratur dan tetap. Sedangkan
menurut Waluyo (2007) enzim merupakan substansi yang ada dalam sel dalam
jumlah yang amat kecil dan mampu menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan
yang berkaitan dengan proses-proses seluler dan kehidupan. Enzim merupakan
produk protein sel hidup yang berperan sebagai biokatalisator dalam proses
biokimia, baik yang terjadi di dalam sel maupun di luar sel. Enzim berfungsi
sebagai biokatalisator dan menurunkan energy aktivasi (Hans, 1994). Enzim
merupakan katalisator sejati yang meningkatkan kecepatan reaksi kimia spesifik
dengan nyata, tanpa enzim, suatu reaksi kimia akan berlangsung amat lambat.
Enzim tidak dapat mengubah titik kesetimbangan reaksi yang dikatalisisnya; enzim
juga tidak akan habis dipakai atau diubah secara permanen oleh reaksi-reaksi
tersebut (Lehninger, 1982).
2.4.1 Enzim Selulase
Enzim selulase merupakan kumpulan dari beberapa enzim yang bekerja
bersama untuk hidrolisis selulosa. Mikroorganisme tertentu menghasilkan partikel
yang dinamakan selulosom. Menurut Waluyo (2007) enzim selulase adalah enzim
yang menguraikan selulosa (suatu polisakarida) menjadi selobiosa (suatu
disakarida). Enzim selulase berperan dalam hidrolisis selulosa dengan memecah
ikatan β-1,4-D-glikosida untuk menghasilkan oligosakarida maupun glukosa.
Endoglukanase menghidrolisis ikatan internal β-1,4-D-glikosida secara random
pada situs amorf dari rantai polisakarida selulosa untuk menghasilkan oligosakarida

14

Universitas Sumatera Utara

dan menambah ujung rantai yang baru, eksoglukanase menghidrolisis selulosa
dengan memotong rantai selulosa pada ujung untuk menghasilkan selobiosa atau
glukosa sebagai produk utama, dan glikosidase menghidrolisis selobiosa menjadi
glukosa untuk mengeliminasi penghambatan selobiosa. Fungsi terpenting dari
enzim adalah kemampuannya menurunkan energi aktivasi suatu reaksi kimia.
Kemampuan enzim dalam mendegradasi substrat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain konsentrasi enzim, konsentrasi substrat, pH serta temperatur (Lehninger,
1982).
2.5 Jamur Aspergilus Niger
Aspergillus Niger termasuk ke dalam kelas Ascomycetes, jamur ini mempunyai
miselium yang bersekat-sekat, pembiakan secara vegetative dilakukan dengan
konidia, sedangkan pembiakan secara generative dilakukan dengan spora-spora
yang dibentuk di dalam askus. Jamur Aspergillus ini kedapatan dimana-mana
sebagai saprofit. Koloni yang sudah menghasilkan spora warnanya menjadi coklat
kekuning-kuningan, kehijau-hijauan atau kehitam-hitaman; miselium yang semula
berwarna putih sudah tidak tampak lagi ( Dwidjoseputro 1998). Menurut ( Hans
1994) pada Asprgillus hifa ini berujung dengan sebuah gelembung, keluar dari
gelembung ini tumbuhlah sterigma. Pada sterigma ini muncul konidium-konidium
yang tersusun berurutan mirip untaian mutiara. Konidium-konidium ini berwarna
(hitam, coklat, kuning tua, hijau dan seterusnya) yang memberi warna tertentu pada
koloni cendawan. Aspergillus niger merupakan salah satu jenis kapang yang
mampu menghasilkan enzim selulase dengan baik. Pemilihan kapang tersebut pada
penelitian ini juga dikarenakan sifatnya yang relatif mudah tumbuh pada berbagai
jenis media. Kinerja Aspergillus niger semakin maksimal apabila ditumbuhkan
dalam waktu dan kondisi yang optimal pula. Karena semakin baik kualitas sel maka
jumlah enzim yang akan dihasilkan dalam metabolisme sel semakin banyak.
Selama pertumbuhan, sel-sel Aspergillus niger yang digunakan harus dalam
keadaan baru sehingga perlu dilakukan beberapa tahap untuk meremajakannya.
Pertama dimulai dengan meremajakan isolat Aspergillus niger dalam media padat.
Pertumbuhan Aspergillus niger ini diamati dengan munculnya spora berwarna
hitam yang mulai terlihat pada hari ketiga.

15

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.9 Biakan Aspergillus niger pada media padat selama 3 hari
(Purkan.2015)
Adapun ciri-ciri spesifik Aspergillus adalah :
1. Hifa septat dam miselium bercabang, sedangkan hifa yang muncul di
atas permukaan umumnya merupakan hifa ferti,
2. Koloni berkelompok,
3. Konidiofora septat atau nonseptat, muncul dari “ foot cell” yakni sel
miselium yang membengkak dan berdinding tebal,
4. Konidiofora membengkak menjadi vesikel pada ujungnya, membawa
sterigma dimana tumbuh konidia,
5. Sterigmata atau fialida biasanya sederhana, berwarna atau tidak
berwarna,
6. Beberapa spesies tumbuh baik pada suhu 370C atau lebih,
7. Konidia membentuk rantai yang berwarna hijau, coklat atau hitam
(Waluyo 2007).

2.6 Sakarifikasi
Pada dasarnya, prinsip sakarifikasi adalah memutuskan rantai polimer bahan
menjadi unit-unit monomer yang lebih sederhana. Pemutusan rantai polimer
tersebut dapat dilakukan secara kimiawi (asam) dan enzimatis. fiSakari
kasi
enzimatis memiliki beberapa keuntungan dibandingkan sakarifi kasi asam, antara
lain: tidak terjadi degradasi gula hasil hidrolisis, kondisi proses yang lebih lunak
(suhu rendah), berpotensi memberikan hasil yang tinggi, dan biaya pemeliharaan
peralatan relatif rendah karena tidak ada bahan yang korosif. Proses produksi gula

16

Universitas Sumatera Utara

dapat dilakukan secara kimia maupun enzimatis dengan cara fermentasi
menggunakan Trichoderma, Aspergillus, dan Penicillium (Perez et al. 2002).
Pada tahap sakarifikasi, selulosa diubah menjadi selobiosa dan selanjutnya
menjadi gula-gula seperti glukosa. Sedikitnya ada tiga kelompok enzim yang
terlibat dalam proses hidrolisis enzimatis pada selulosa, yaitu 1) endoglukanase
yang bekerja pada wilayah serat selulosa yang mempunyai kristalinitas rendah
untuk memecah selulosa secara acak dan membentuk ujung rantai yang bebas, 2)
eksoglukanase atau selobiohidrolase yang mendegradasi lebih lanjut molekul
tersebut dengan memindahkan unitunit selobiosa dari ujung-ujung rantai yang
bebas, dan 3) β-glukosidase yang menghidrolisis selobiosa menjadi glukosa
(Hermiati et.al. 2010). Sakarifikasi sama hal nya dengan hidrolisis, hidrolisis
selulosa dapat dilakukan secara kimia maupun enzimatik yang bersumber dari
jamur berfilamen seperti Trichoderma reesei dan Aspergilus niger (Safaria, 2013).
Enzim memiliki kemampuan mengaktifkan senyawa lain secara spesifik dan dapat
meningkatkan kecepatan reaksi kimia. Enzim memiliki ukuran yang sangat besar
apabila dibandingkan dengan substrat gugus fungsional targetnya. Beberapa enzim
hanya terdiri dari polipeptida dan tidak mengandung gugus kimiawi selain asam
amino (Samsuri, 2007). Selulosa dapat dihidrolisis oleh enzim selulase sebagai
katalis menjadi glukosa dan selobiosa. Glukosa merupakan hasil hidrolisis
sempurna dari selulosa. Reaksinya dapat dijabarkan sebagai berikut.
Enzim Selulase (C6H10O5)n

→nC6H12O6

Hidrolisis selulosa menjadi glukosa secara konsisten melewati dua tahap
penting dalam sistem enzimatik, yaitu pemecahan ikatan glukosidik pada selulosa
menjadi selobiosa oleh β-1,4glukanase dan pemecahan ikatan β-1,4glukosidik pada
selobiosa menjadi glukosa oleh β-glukosidase (Fox, 1991). Pemutusan ikatan ini
akan menghasilkan oligosakarida, yang akhirnya diubah menjadi monomer glukosa
(Chaplin, 1994).
Proses menggunakan enzim biasanya lebih disukai daripada proses
menggunakan asam karena enzim bekerja lebih spesifik sehingga tidak
menghasilkan produk yang tidak diharapkan, dapat digunakan pada kondisi proses

17

Universitas Sumatera Utara

yang lebih ringan, dan lebih ramah lingkungan. Pada proses hidrolisis secara
enzimatik dapat digunakan enzim selulase atau enzim lainnya yang dapat memecah
selulosa menjadi monomer-monomernya. Aplikasi hidrolisis menggunakan enzim
secara sederhana dilakukan dengan mengganti tahap hidrolisis asam dengan tahap
hidrolisis enzim. Hidrolisis enzimatis memiliki beberapa keuntungan dibandingkan
hidrolisis asam, antara lain tidak terjadi degradasi gula hasil hidrolisis, kondisi
proses yang lebih lunak (pH sekitar 4,70-4,80 dan suhu 45–50°C), tidak terjadi
reaksi samping, lebih ramah lingkungan, dan tidak melibatkan bahan - bahan yang
bersifat korosif (Cheng & Timilsina, 2011. Beberapa kelemahan dari hidrolisis
enzimatis antara lain adalah membutuhkan waktu yang lebih lama, dan kerja enzim
dihambat oleh produk. Selain itu, enzim bekerja secara spesifik dan tidak bisa
menembus lignin yang mengikat selulosa dan hemiselulosa.
2.7 Uji Kualitatif dan Kuantitatif Glukosa
Glukosa

adalah suatu aldoheksosa dan sering disebut dekstrosa karena

mempunyai sifat dapat memutar cahaya terpolarisasi kea rah kanan. Di alam,
glukosa terdapat dalam buah-buahan dan madu lebah. Dalam alam glukosa
dihasilkan dari reaksi antara karbondioksida dan air dengan bantuan sinar matahari
dan klorofil dalam daun. Proses ini disebut fotosintesis dan glukosa yang terbentuk
terus digunakan untuk pembentukan amilum atau selulosa ( Poedjiadi, A. 2009).
2.7.1 Uji Kualitatif Glukosa dengan Pereaksi Fehling
Pereaksi ini dapat direduksi selain oleh karbohidrat yang mempunyai sifat
mereduksi, juga dapat direduksi oleh reduktor lain. Pereaksi Fehling terdiri atas
dua larutan, yaitu larutan Fehling A dan larutan Fehling B. Larutan Fehling A
adalah larutan CuSO4 dalam air, sedangkan larutan Fehling B adalah larutan
garam KNatartrat dan NaOH dalam air. Kedua macam larutan ini disimpan
terpisah dan baru dicampur menjelang digunakan untuk memeriksa suatu
karbohidrat. Dalam pereaksi ini ion Cu++ direduksi menjadi ion Cu+ yang dalam
suasana basa akan diendapkan sebagai Cu2O.

18

Universitas Sumatera Utara

2 Cu+

+

2 OH-

→ Cu2O

+

H2O

Endapan
Dengan larutan glukosa 1%, pereaksi Fehling menghasilkan endapan berwarna
merah bata, sedangkan apabila digunakan larutan yang lebih encer misalnya
larutan glukosa 0,1%, endapan yang terjadi berwarna hijau kekuningan (
Poedjiadi, A. 2009).
2.7.2 Uji Kuantitatif Glukosa dengan Reagen DNS
Monosakarida dan beberapa disakarida mempunyai sifat dapat
mereduksi, terutama dalam suasana basa. Sifat sebagai reduktor ini dapat
digunakan untuk keperluan identifikasi karbohidrat maupun analisis kuantitatif.
Sifat mereduksi ini disebabkan oleh adanya gugus aldehida atau keton bebas
dalam molekul karbohidrat ( Poedjiadi, A. 2009).
Dinitrosalisilat membentuk senyawa yang dapat diukur absorbansinya pada
panjang gelombang 540-550 nm (Fuadi, AM dkk. 2015). Kadar glukosa
dihitung dengan mengukur absorbansi hasil fermentasi menggunakan
spektrofotometer uv-visible pada panjang gelombang 550 nm dengan metode
DNS (Dinitrosalicylic Acid) (Chukwuma et al. 2014). Pereaksi DNS umum
digunakan untuk mengukur gula reduksi oleh mikroba karena tingkat
ketelitiannya yang tinggi sehingga dapat diaplikasikan pada gula dengan kadar
kecil sekalipun (Mulyono dkk. 2009). Pereaksi DNS direduksi oleh gula
pereduksi menghasilkan asam amino-5nitrosalisilat. Hal ini ditandai dengan
perubahan warna larutan glukosa yang telah ditambahkan dengan larutan DNS
menjadi kuning kecoklatan. Banyaknya DNS yang tereduksi sebanding dengan
absorbansi. Hasil pengukuran larutan standar glukosa menunjukkan bahwa
semakin tinggi konsentrasi glukosa semakin tinggi pula absorbansi yang
diperoleh. Reaksi antara DNS dengan glukosa dapat digambarkan sebagai
berikut ( Rismawati dkk. 2016).

19

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.10 Reaksi Glukosa dengan DNS ( Rismawati dkk. 2016).

20

Universitas Sumatera Utara