Kajian Beberapa Sifat Dasar Batang Pinang (Areca catechu L.)

(1)

KAJIAN BEBERAPA SIFAT DASAR

BATANG PINANG (

Areca catechu

L.)

HASIL PENELITIAN

Oleh :

TRISNAWATI 051203021

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL HUTAN

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2009


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Kajian Beberapa Sifat Dasar Batang Pinang (Areca catechu L.)

Nama : Trisnawati NIM : 051203021 Departemen : Kehutanan

Program Studi : Teknologi Hasil Hutan

Disetujui oleh, Komisi Pembimbing

Ketua, Anggota,

Evalina Herawati S. Hut., M.Si Ridwanti Batubara, S. Hut., MP NIP. 197706272003122002 NIP. 197602152001122001

Mengetahui,

Ketua Departemen Kehutanan

Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, M.S. NIP. 196412282000121001


(3)

Judul Penelitian : Kajian Beberapa Sifat Dasar Batang Pinang (Areca catechu L.)

Nama : Trisnawati NIM : 051203021 Departemen : Kehutanan

Program Studi : Teknologi Hasil Hutan

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Evalina Herawati S. Hut., M.Si Ridwanti Batubara, S. Hut., MP

Ketua Anggota

Mengetahui,

Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, M.S. Ketua Departemen Kehutanan


(4)

ABSTRAK

TRISNAWATI: Kajian Beberapa Sifat Dasar Batang Pinang (Areca catechu L.). Dibimbing oleh EVALINA HERAWATI dan RIDWANTI BATUBARA.

Pinang merupakan salah satu tanaman palma yang hampir terdapat di seluruh wilayah Indonesia dan memiliki banyak kegunaan. Penelitian ini bertujuan untuk menyediakan informasi tentang sifat anatomis, sifat fisis, sifat mekanis dan keawetan alami batang pinang berdasarkan variasi kedalaman dan ketinggian batang. Pengujian sifat fisis dan mekanis berdasarkan British Standard

373-1975 dan pengujian keawetan alami berdasarkan SNI 01-7207-2006.

Struktur anatomis batang pinang didominasi oleh ikatan pembuluh dan parenkim. Kadar air basah batang pinang berkisar antara 218 – 622 %. Kerapatan batang pinang berkisar antara 0,12 – 1,07 gr/cm3. Variasi kisaran rata-rata penyusutan 3 arah (radial, tangensial, longitudinal) yaitu 1,6 – 44,0 %. Sifat mekanis batang pinang dilihat dari nilai Modulus of Elasticity (MOE) dan

Modulus of Rupture (MOR). Nilai rata-rata MOE sebesar 75513 Kgf/cm2 dan MOR sebesar 748 Kgf/cm2. Hasil uji keawetan alami batang pinang termasuk dalam kelas awet V.

Kata Kunci: Pinang, Sifat Anatomis, Sifat Fisis, Sifat Mekanis, Keawetan Alami.


(5)

ABSTRACT

TRISNAWATI: Study on Some Basic Properties of Areca Palm (Areca catechu

L.). Under the supervision of EVALINA HERAWATI and RIDWANTI BATUBARA.

Areca catechu L. is a kind palm trees that can be found almost every where in Indonesia and has many advantages. This research aims to provide the information about anatomical properties, physical properties, mechanical properties and natural durability of Areca catechu L. based on depth variety and height variety.Evaluation on physical and mechanical properties based on British Standard 373-1975 and evaluation on natural durability based on SNI 01-7207-2006.

Anatomical structure of Areca catechu L was dominated by vascular bundles and parenchyma. Wet moisture of Areca catechu L. palm was 218 – 622 %. Specific gravity was 0,12 – 1,07 gr/cm3. The average of swelling three direction (radial, tangential, longitudinal) was 1,6 – 44,0 %. Mechanical properties were seen from Modulus of Elasticity (MOE) value and Modulus of Rupture (MOR) value. The average of MOE was 75513 Kgf/cm2 and the average of MOE was 748 Kgf/cm2. The result of natural durability test was include in class V.

Key Word: Areca catechu L., Anatomical Properties, Physical Properties, Mechanical Properties, Natural Durability


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Binjai pada tanggal 25 November 1986 dari ayahanda Rahmad Suprapto dan Ibunda Terimah. Penulis merupakan anak kesembilan dari sembilan bersaudara.

Pada tahun 1999 penulis lulus dari SD Negeri No. 027962 Binjai, tahun 2001 lulus dari SMP Negeri 7 Binjai, tahun 2005 lulus dari SMU Negeri 1 Binjai, dan pada tahun yang sama masuk ke Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur ujian tertulis Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Penulis memilih program studi Teknologi Hasil Hutan, Departemen Kehutanan.

Selama mengikuti perkuliahan penulis pernah menjadi asisten Pemanenan Hasil Hutan tahun 2008-2009. Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapang (PKL) di HPHTI PT. Sumatera Riang Lestari, Labuhan Batu, Sumatera Utara selama dua bulan. Pada bulan Februari 2009, penulis melakukan penelitian dengan judul ”Kajian Beberapa Sifat Dasar Batang Pinang (Areca catechu L.)” dibawah bimbingan ibu Evalina Herawati, S.Hut., M.Si dan ibu Ridwanti Batubara, S.Hut., MP.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan segala rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga hasil penelitian yang berjudul ”Kajian Beberapa Sifat Dasar Batang Pinang (Areca catechu L.)” dapat selesai dengan baik.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Evalina Herawati, S.Hut., M. Si dan Ibu Ridwanti Batubara, S. Hut., M.P selaku komisi pembimbing yang telah mengarahkan penulis dalam menyelesaikan hasil penelitian ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada kedua orang tua, kakak dan abang yang telah memberi dukungan, kasih sayang dan doanya kepada penulis serta teman-teman yang telah membantu dalam penulisan hasil penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih belum sempurna, oleh karena itu penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca. Atas kritikan dan sarannya penulis ucapkan terima kasih.


(8)

DAFTAR ISI

Hal.

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

RIWAYAT HIDUP... iii

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR... viii

DAFTAR LAMPIRAN... x

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Hipotesis Penelitian... 3

Kegunaan Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Pinang ... 4

Kandungan kimia pinang ... 4

Morfologi tumbuhan ... 5

Sifat Anatomis... 6

Ikatan pembuluh... 6

Parenkim ... 7

Serat ... 8

Sifat Fisis... 10

Kadar air... 10

Kerapatan ... 11

Penyusutan ... 12

Sifat Mekanis ... 13

Keawetan Alami Kayu ... 15

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ... 18

Bahan dan Alat Penelitian... 18

Prosedur Penelitian ... 19

Pengambilan bahan dan pembuatan contoh uji... 19

Pengujian sifat anatomis ... 21

Pengujian sifat fisis ... 23

Pengujian sifat mekanis... 24

Pengujian keawetan alami... 25

Analisa Data ... 27

HASIL DAN PEMBAHASAN... 28

Sifat Anatomis... 29

Ikatan pembuluh... 31

Parenkim ... 33

Serat ... 35

Sifat Fisis... 41

Kadar air... 41


(9)

Hal.

Kerapatan ... 45

Penyusutan Tiga Arah ... 48

Sifat Mekanis ... 51

Keawetan Alami... 55

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 59

Saran... 58

DAFTAR PUSTAKA... 60

LAMPIRAN... 63


(10)

DAFTAR TABEL

No. Hal.

1. Penggolongan panjang serat... 9

2. Penggolongan diameter serat ... 9

3. Klasifikasi keawetan kayu ... 16

4. Pengaruh kondisi lingkungan terhadap umur pakai kayu pada setiap kelas keawetan kayu... 16

5. Klasifikasi ketahanan kayu terhadap serangan rayap... 26

6. Hasil pengukuran dimensi serat batang pinang... 40

7. Persyaratan kelas mutu pulp ... 40

8. Kelas kuat kayu berdasarkan kerapatan ... 47


(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal.

1. Pinang dan bagian-bagiannya ... 6

2. Pengambilan contoh uji berdasarkan ketinggian batang... 19

3. Pengambilan contoh uji berdasarkan variasi kedalaman ... 20

4. Perbedaan warna dari bagian tepi kulit, tengah, dan empulur ... 28

5. Perbedaan warna berdasarkan ketinggian pada bagian pangkal tepi kulit, tengah, dan ujung... 29

6. Ikatan pembuluh batang pinang bagian pangkal tepi kulit dan bagian ujung empulur ... 32

7. Parenkim batang pinang berdasarkan kedalaman batang, tepi kulit, tengah dan empulur ... 34

8. Variasi rata-rata panjang serat berdasarkan ketinggian batang pinang... 36

9. Variasi rata-rata diameter serat berdasarkan ketinggian batang pinang... 36

10. Variasi rata-rata diameter lumen serat berdasarkan ketinggian batang pinang ... 37

11. Variasi rata-rata tebal dinding serat berdasarkan ketinggian batang pinang... 39

12. Serat batang pinang ... 39

13. Variasi rata-rata kadar air basah berdasarkan ketinggian dan kedalaman batang pinang... 42

14. Variasi rata-rata kadar air kering udara berdasarkan ketinggian dan kedalaman batang pinang ... 44

15. Variasi rata-rata kerapatan berdasarkan ketinggian dan kedalaman batang pinang ... 45

16. Variasi rata-rata penyusutan berdasarkan ketinggian dan kedalaman batang pinang pada arah radial (a), longitudinal (b) dan tangensial (c)... 49

17. Variasi rata-rata modulus of elasticity berdasarkan ketinggian dan kedalaman batang pinang... 52


(12)

No. Hal. 18. Variasi rata-rata modulus of rupture berdasarkan ketinggian dan

kedalaman batang pinang... 53 19. Variasi rata-rata kehilangan berat berdasarkan ketinggian dan

kedalaman batang pinang... 55 20. Sampel uji kubur yang diserang oleh rayap ... 57


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal.

1. Hasil pengukuran serat batang pinang bagian pangkal (mikron)... 63

2. Hasil pengukuran serat batang pinang bagian tengah (mikron)... 64

3.Hasil pengukuran serat batang pinang bagian ujung (mikron) ... 65

4. Hasil perhitungan statistik kadar air basah (%)... 66

5. Hasil perhitungan statistik kadar air kering udara (%)... 67

6. Hasil perhitungan statistik kerapatan (gr/cm3)... 68

7. Hasil perhitungan statistik susut tangensial (%) ... 69

8. Hasil perhitungan statistik susut longitudinal (%) ... 70

9. Hasil perhitungan statistik susut radial (%) ... 71

10. Hasil perhitungan statistik MOE (Kgf/cm2)... 72

11. Hasil perhitungan statistik MOR (Kgf/cm2) ... 73


(14)

ABSTRAK

TRISNAWATI: Kajian Beberapa Sifat Dasar Batang Pinang (Areca catechu L.). Dibimbing oleh EVALINA HERAWATI dan RIDWANTI BATUBARA.

Pinang merupakan salah satu tanaman palma yang hampir terdapat di seluruh wilayah Indonesia dan memiliki banyak kegunaan. Penelitian ini bertujuan untuk menyediakan informasi tentang sifat anatomis, sifat fisis, sifat mekanis dan keawetan alami batang pinang berdasarkan variasi kedalaman dan ketinggian batang. Pengujian sifat fisis dan mekanis berdasarkan British Standard

373-1975 dan pengujian keawetan alami berdasarkan SNI 01-7207-2006.

Struktur anatomis batang pinang didominasi oleh ikatan pembuluh dan parenkim. Kadar air basah batang pinang berkisar antara 218 – 622 %. Kerapatan batang pinang berkisar antara 0,12 – 1,07 gr/cm3. Variasi kisaran rata-rata penyusutan 3 arah (radial, tangensial, longitudinal) yaitu 1,6 – 44,0 %. Sifat mekanis batang pinang dilihat dari nilai Modulus of Elasticity (MOE) dan

Modulus of Rupture (MOR). Nilai rata-rata MOE sebesar 75513 Kgf/cm2 dan MOR sebesar 748 Kgf/cm2. Hasil uji keawetan alami batang pinang termasuk dalam kelas awet V.

Kata Kunci: Pinang, Sifat Anatomis, Sifat Fisis, Sifat Mekanis, Keawetan Alami.


(15)

ABSTRACT

TRISNAWATI: Study on Some Basic Properties of Areca Palm (Areca catechu

L.). Under the supervision of EVALINA HERAWATI and RIDWANTI BATUBARA.

Areca catechu L. is a kind palm trees that can be found almost every where in Indonesia and has many advantages. This research aims to provide the information about anatomical properties, physical properties, mechanical properties and natural durability of Areca catechu L. based on depth variety and height variety.Evaluation on physical and mechanical properties based on British Standard 373-1975 and evaluation on natural durability based on SNI 01-7207-2006.

Anatomical structure of Areca catechu L was dominated by vascular bundles and parenchyma. Wet moisture of Areca catechu L. palm was 218 – 622 %. Specific gravity was 0,12 – 1,07 gr/cm3. The average of swelling three direction (radial, tangential, longitudinal) was 1,6 – 44,0 %. Mechanical properties were seen from Modulus of Elasticity (MOE) value and Modulus of Rupture (MOR) value. The average of MOE was 75513 Kgf/cm2 and the average of MOE was 748 Kgf/cm2. The result of natural durability test was include in class V.

Key Word: Areca catechu L., Anatomical Properties, Physical Properties, Mechanical Properties, Natural Durability


(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Semakin bertambahnya penduduk Indonesia maka kebutuhan kayu akan semakin meningkat (Iskandar, 2001). Seiring meningkatnya kebutuhan kayu tersebut maka industri-industri kayu pun semakin berkembang, namun banyak industri yang terpaksa tutup karena kekurangan bahan baku. Menurut Syumanda (2008) selama tahun 2006, kebutuhan kayu mencapai 96,19 juta m3 sementara kemampuan produksi hutan hanya 46,7 juta m3. Dengan figure ini dipastikan 30 juta meter kubik kayu ditebang secara illegal sehingga menciptakan angka deforestasi sebesar 2,6 juta ha. Belum termasuk kayu yang diselundupkan ke luar negeri yang diperkirakan mencapai 10 juta m3 setiap tahunnya.

Permintaan kayu yang semakin meningkat harus segera dicari jalan keluarnya untuk menekan kegiatan illegal logging sehingga tidak merusak hutan. Salah satu jalan keluar untuk memenuhi permintaan kayu adalah dengan mencari substitusi kayu. Menurut Dumanauw (1990) kayu adalah bahan organik yang memiliki beberapa sifat sekaligus yang tidak dimiliki oleh bahan lain. Jadi, substitusi kayu sebaiknya bahan-bahan yang memiliki sifat-sifat yang mirip dengan kayu. Salah satu bahan yang dapat dijadikan alternatif pengganti kayu adalah pinang (Areca catechu L.).

Pinang merupakan salah satu tanaman palma yang terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia, terutama pulau Sumatera (Maskromo dan Miftaharrochman, 2007). Direktorat Jenderal Perkebunan mencatat ada sekitar 15 provinsi yang paling potensial memproduksi pinang. Salah satu di antaranya adalah Sumatera Barat (Sumbar). Data statistik Dinas Perkebunan Dati I Sumbar


(17)

dalam Sihombing (2000) disebutkan tahun 1996 luas kebun pinang mencapai 1.443 ha dengan produksi sekitar 493 ton dan tahun 1997 seluas 1.462 ha dengan produksi mencapai 587 ton (Sihombing, 2000).

Tanaman pinang adalah salah satu jenis palma yang memiliki banyak kegunaan antara lain sebagai bahan makanan, bahan industri kosmetika, kesehatan, dan bahan pewarna pada industri tekstil. Sihombing (2000) mengemukakan batang pinang telah dimanfaatkan oleh masyarakat dari dulu hingga sekarang sebagai bahan bangunan, jembatan, dan saluran air. Tanaman ini tersebar luas di wilayah Indonesia, baik secara individu maupun populasi, dan umumnya ditanam sebagai tanaman pagar atau pembatas kebun (Maskromo dan Miftahorrochman, 2007). Berbagai penelitian tentang pinang yang banyak dilakukan adalah terhadap buahnya saja. Penelitian-penelitian pemanfaatan buah pinang sebagai kosmetik ataupun obat-obatan telah banyak dilakukan. Namun penelitian sifat dasar batang pinang yang dimanfaatkan sebagai bahan bangunan maupun furniture belum banyak dilakukan.

Pemanfaatan suatu bahan akan dapat dilakukan secara maksimal bila sifat-sifat dasar bahan tersebut diketahui secara rinci. Menurut Dumanauw (1990) sebelum kayu dipergunakan sebagai bahan bangunan, industri kayu maupun untuk membuat perabot, sifat-sifat dasar kayu harus diketahui. Sifat dasar dimaksud antara lain yang bersangkutan dengan sifat anatomi, sifat fisis, sifat-sifat mekanik dan sifat-sifat-sifat-sifat kimia lainnya. Sifat-sifat-sifat dasar tersebut juga diduga mempengaruhi kekuatan, keuletan, kelenturan dan keawetan dari batang pinang, sehingga dapat diketahui apakah pinang dapat digunakan sebagai bahan bangunan dan industri atau tidak. Jadi, sifat dasar ini penting dipahami agar di dalam proses


(18)

pengolahan, pengangkutan maupun penggunaannya dapat dilakukan secara seksama sehingga tidak terjadi pengorbanan bahan, waktu, tenaga dan biaya yang sia-sia. Berdasarkan uraian di atas, untuk mengetahui sifat-sifat dasar yang mendukung berbagai penggunaan batang pinang, maka dilakukan penelitian mengenai Kajian Beberapa Sifat Dasar Batang Pinang (Areca catechu L.). Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengevaluasi sifat fisis batang pinang menurut ketinggian dan kedalaman batang meliputi: kadar air, berat jenis, dan penyusutan batang pinang.

2. Mengevaluasi sifat anatomi batang pinang yang meliputi: ikatan pembuluh, parenkim dan serat batang pinang.

3. Mengevaluasi sifat mekanis batang pinang yang meliputi MOE (Modulus of Elasticity) dan MOR (Modulus of Rupture).

4. Mengevaluasi keawetan alami batang pinang melalui uji kubur (Grave Yard Test).

Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh variasi kedalaman batang dan variasi ketinggian batang terhadap sifat fisis, anatomi, mekanis dan keawetan alami batang pinang.

Kegunaan Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah tersedianya data mengenai sifat dasar batang pinang (A. catechu L.) yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pemanfaatannya.


(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Pinang

Pinang merupakan tanaman yang sekeluarga dengan kelapa. Salah satu jenis tumbuhan monokotil ini tergolong palem-paleman. Secara rinci, sistematika pinang diuraikan sebagai berikut:

Divisi : Plantae

Kelas : Monokotil

Ordo : Arecales

Famili : Arecaceae atau Palmae

Genus : Areca

Spesies : Areca catechu L (Sihombing, 2000)

Kandungan kimia pinang

Biji buah pinang mengandung alkaloid, seperti arekolin (C8H13NO2),

arekolidine, arekalin, guvakolin, guvasine dan isoguvasine, tanin terkondensasi, tannin terhidrolisis, flavon, senyawa fenolik, asam galat, getah, lignin, minyak menguap dan tidak menguap, serta garam (Wang dkk. 1996 dalam Maskromo dan Miftahorrochman 2007). Nonaka (1989) dalam Maskromo dan Miftahorrochman (2007) menyebutkan bahwa biji buah pinang mengandung proantosianidin, yaitu suatu tannin terkondensasi yang termasuk dalam golongan flavonoid. Proantosianidin mempunyai efek antibakteri, antivirus, antikarsinogenik, anti-inflamasi, anti-alergi, dan vasodilatasi (Fine 2000 dalam Maskromo dan Miftahorrochman 2007). Tanaman pinang berpotensi antikanker karena memiliki


(20)

efek antioksidan, dan antimutagenik (Wang dkk. 1996 dalam Maskromo dan Miftahorrochman 2007).

Leigh (2003) dalam Maskromo dan Miftahorrochman (2007) menyatakan batang pinang mengandung beberapa kandungan yang sama dengan buahnya. Batang pinang mengandung alkaloid, tanin, kanji, resin, karbohidrat, dan arekolin. Menurut Nugroho dkk. (2004) batang kelapa bagian atas dan bagian dalam banyak mengandung gula dan pati sehingga proses ekstraksi membuat sebagian gula dan pati akan terlarut. Distribusi holoselulosa pada kelapa baik secara longitudinal maupun lateral memiliki kecenderungan tidak beraturan.

Morfologi tumbuhan

Pinang merupakan tanaman famili palmae yang dapat mencapai tinggi 15 - 20 m dengan batang tegak lurus bergaris tengah 15 cm. Buahnya berkecambah setelah 1,5 bulan dan 4 bulan kemudian mempunyai jambul daun-daun kecil yang belum terbuka. Pembentukan batang baru terjadi setelah 2 tahun dan berbuah pada umur 5-8 tahun tergantung keadaan tanah. Tanaman ini berbunga pada awal dan akhir musim hujan dan memiliki masa hidup 25-30 tahun. Biji buah berwarna kecoklatan sampai coklat kemerahan, agak berlekuk-lekuk dengan warna yang lebih muda. Pada bidang irisan biji tampak perisperm berwarna coklat tua dengan lipatan tidak beraturan menembus endosperm yang berwarna agak keputihan (Depkes RI, 1989).


(21)

Gambar 1. Pinang dan bagian-bagiannya Sumber: http://www.wikipedia.co.id/pinang

Sifat Anatomis

Sifat anatomi kayu merupakan sifat dasar yang ada dalam kayu yang harus diketahui, baik bentuk serat, pori-pori, dan lainnya yang dapat memudahkan dalam kegiatan identifikasi jenis kayu. Menurut Butterfield dan Meylan (1980) dalam Rahayu (2001) kayu kelapa disusun oleh tiga elemen utama yaitu ikatan pembuluh yang terdiri dari serat sklerenkim dan pembuluh. Ikatan serat dan jaringan dasar berupa sel-sel bersifat parenkimatis sangat penting pada batang palmae.

Ikatan pembuluh

Ikatan pembuluh tersebar secara acak pada jaringan dasar dan merupakan jaringan pertumbuhan secara lateral namun tidak terjadi penambahan jumlah sel-sel lateral, sehingga penambahan diameternya tidak sebesar pada dikotil. Hal ini dapat dilihat pada batang kelapa yang berbentuk silindris, sedangkan ikatan


(22)

pembuluh pada dikotil membentuk lingkaran yang memungkinkan terjadi penambahan diameter pohon (Anonim 1992 dalam Wardhani 2005).

Pada satu ikatan pembuluh terdapat serat dan pembuluh metaxilem yang berdiameter besar terdiri dari phloem dan xilem. Serat merupakan sel yang bersifat sklerenkimatis yang sangat bervariasi baik ukuran maupun bentuknya, terdiri dari sel-sel serat yang panjang dan atau sklereid yang pendek dan membentuk sarung yang menutupi ikatan pembuluh dan pembuluh metaxilem. Dalam satu ikatan pembuluh minimal terdapat satu pembuluh metaxilem (Wardhani, 2005).

Ikatan pembuluh pada kayu kelapa terdiri dari pembuluh sebagai penyalur makanan dan serabut sebagai penyokong batang (Asia Pasific Coconut Community 1979 dalam Wardhani 2005). Kemampuan ikatan pembuluh sebagai penyokong kekuatan kayu berkaitan erat dengan tebal dinding sel serabut dan kandungan silika dalam sel. Pertumbuhan skelerenkim kayu kelapa yang baik akan mengakibatkan pembentukan lignin yang tinggi pada ikatan pembuluh dan meningkatkan nisbah serabut dan pembuluh (Rahayu, 2001).

Parenkim

Pinang dan kelapa merupakan famili palmae, membuat beberapa sifat pinang dapat dirujuk pada beberapa sifat kelapa. Menurut Sudarna (1990) dalam Rahayu (2001), secara garis besar struktur anatomi batang kelapa terdiri dari jaringan parenchyme sebagai jaringan dasar, dan sejumlah ikatan pembuluh yang tersebar diantara jaringan parenchyme terdiri dari sel-sel berdinding tipis berbentuk polignol sampai bundar. Menurut Rojo dkk. (1988) dalam Wardhani (2005) jaringan parenkim merupakan salah satu jaringan yang sangat


(23)

penting pada batang palma termasuk kelapa. Bentuknya beragam antara lain berbentuk kompak, ramping atau kadang-kadang berbentuk seperti karang (spongy) dan banyak mengandung gula.

Di dalam kayu, parenkim merupakan jaringan yang berfungsi untuk menyimpan serta mengatur bahan makanan cadangan. Menurut Pandit dan Ramdan (2002), berdasarkan penyusunannya, parenkim dibagi atas 2 macam yaitu:

1. Parenkim aksial (parenkim), yang tersusun secara vertikal

2. Parenkim jari-jari (jari-jari kayu), yang tersusun secara horisontal

Ciri parenkim yang penting untuk diidentifikasi adalah susunannya sebagaimana dilihat pada penampang lintang kayu. Pada bagian ini, dengan bantuan lup, parenkim biasanya dapat dilihat berupa jaringan yang berwarna lebih cerah daripada jaringan serat, umumnya hampir putih dan lainnya agak coklat atau coklat merah. Secara garis besar, susunan parenkim dapat dibagi atas dua tipe berdasarkan hubungannya dengan pembuluh. Tipe pertama dinamakan parenkim apotrakea yaitu semua bentuk parenkim yang tidak berhubungan langsung dengan pembuluh. Tipe kedua parenkim paratrakea, meliputi semua parenkim yang berhubungan dengan pembuluh (Mandang dan Pandit, 1997).

Serat

Asia Pasific Coconut Community (1979) dalam Rahayu (2001) mengemukakan kayu palmae mempunyai sifat yang lebih dekat dengan kayu daun lebar daripada kayu daun jarum. Hal ini dicerminkan oleh adanya saluran pada struktur kayu kelapa sawit yang menyerupai sel pembuluh pada kayu daun lebar.


(24)

Jadi untuk mengetahui serat pada batang pinang rujukan dari serat daun lebar dapat digunakan.

Apabila sepotong kayu daun lebar seratnya dipisah-pisahkan dan diamati di bawah mikroskop, maka akan tampak sel-sel dengan berbagai macam bentuk ukuran, ada yang mirip tong atau pipa, ada yang mirip kotak dan ada yang berbentuk panjang dan sangat lansing. Sel-sel yang berbentuk panjang dan langsing ini dikenal dengan nama serat. Dinding serat biasanya lebih tebal dari dinding parenkim dan pembuluh. Panjangnya antara 300-3600 mikron. Ketebalan dindingnya relatif dibandingkan diameter, dapat tipis, tebal atau sangat tebal. Serat dikatakan berdinding sangat tebal jika lumen atau rongga selnya hampir seluruhnya terisi dengan lapisan-lapisan dinding. Dari ciri inilah dapat dipahami bahwa serat berfungsi sebagai penguat batang pohon (Mandang dan Pandit, 1997).

Casey (1960) dalam Panggabean (2008) mengklasifikasikan serat berdasarkan panjang serat (Tabel 1) dan berdasarkan diameter serat (Tabel 2). Tabel 1. Penggolongan panjang serat

No. Golongan Panjang Serat (µ)

1. 2. 3.

Pendek Sedang Panjang

< 900 900 – 1600

> 1600 Sumber: Casey (1960) dalam Panggabean (2008)

Tabel 2. Penggolongan diameter serat

No. Golongan Diameter Serat (µ)

1. 2. 3.

Tipis Sedang

Lebar

< 10 10 – 20

> 20 Sumber: Casey (1960) dalam Panggabean (2008)


(25)

Sifat Fisis

Sifat fisis kayu merupakan faktor dalam dari struktur kayu yang sangat menentukan, disamping peran lingkungan dimana kayu tersebut tumbuh. Beberapa sifat fisis kayu yang dianggap penting antara lain: kadar air, kerapatan, kembang susut dan berat jenis kayu (Dumanauw, 1990).

Kadar air

Kadar air kayu merupakan jumlah air yang dikandung kayu, yang dinyatakan dalam berat kering ovennya. Jumlah air yang dikandung kayu bervariasi tergantung dari jenis kayu, berkisar antara 40 - 200 % berat kering kayu (Panshin dan de Zeeuw, 1980).

Variasi kadar air ditentukan antara lain oleh kemampuan kayu atau massa kayu untuk menyimpan air dan adanya zat ekstraktif kayu yang bersifat higroskopis yang mungkin terdapat pada dinding atau dalam lumen sel kayu. Prayitno (1995) mengemukakan, variasi kadar air kayu kelapa sawit relatif lebih besar seperti pada kayu daun lebar yang mempunyai berat jenis rendah yaitu 129,6 – 470 %. Bakar dkk. (1999) juga mengemukakan bahwa kadar air tertinggi kelapa sawit berkisar berkisar antara 345 – 500 %, variasi ini cenderung turun dari atas batang ke bawah dan dari empulur ke tepi.

Haygreen dkk.(2003) mengemukakan bahwa titik dimana semua air cair di dalam rongga sel telah dikeluarkan tetapi dinding sel masih jenuh disebut titik jenuh serat (TJS). Ini adalah suatu titik yang kritis, karena di bawah titik ini sifat kayu terganggu oleh perubahan-perubahan dalam kandungan air. Banyaknya air yang terdapat di dalam kayu apabila digunakan di dalam lingkungan-lingkungan


(26)

yang tidak berhubungan langsung dengan air cair akan selalu lebih rendah daripada TJS.

Kerapatan

Kerapatan kayu adalah massa atau berat kayu per unit volume kayu. Kerapatan merupakan faktor penting untuk mengetahui sifat fisik dan mekanik kayu (Panshin dan Zeeuw, 1980). Kerapatan kayu didalam suatu spesies telah ditemukan bervariasi dengan sejumlah faktor yang meliputi letaknya dalam pohon, letak dalam kisaran spesies tersebut, kondisi tempat tumbuh (tanah, air, dan kelerengan) dan sumber-sumber genetik (Haygreen dkk., 2003).

Pinang adalah famili palmae yang juga merupakan famili dari gewang (Corypha utan Lamk.). Semakin ke dalam batang gewang mendekati empulur, jumlah ikatan pembuluh semakin sedikit. Jaringan ikatan pembuluh memiliki kerapatan yang lebih tinggi daripada jaringan di sekitarnya. Nilai kerapatan batang gewang memang masih lebih rendah bila dibandingkan dengan kerapatan batang kelapa. Namun bila dibandingkan dengan kerapatan kelapa sawit nilai batang gewang masih lebih tinggi (Naiola dkk., 2008).

Secara fisis kayu kelapa mempunyai kerapatan yang sangat beragam baik dari pangkal ke ujung maupun dari tepi ke dalam. Pada bagian pangkal dan tepi mempunyai kerapatan yang tinggi dan didominasi oleh ikatan pembuluh dewasa sedangkan bagian tengah dan ujung lebih banyak mengandung jaringan dasar berupa parenkim serta ikatan pembuluh muda dengan kerapatan yang lebih rendah. Kerapatan yang beragam dalam suatu pohon kemungkinan diikuti oleh variasi kandungan kimia kayu. Karena menurut Tsoumis (1991) dan


(27)

Walker (1993) dalam Nugroho dkk. (2004) kandungan kimia kayu berpengaruh terhadap kerapatan .

Penyusutan

Haygreen dkk. (2003) mengemukakan jika kayu kehilangan air di bawah TJS, yaitu kehilangan air terikat, kayu menyusut. Sebaliknya, jika air memasuki struktur dinding sel, kayu mengembang. Penyusutan dan pengembangan adalah suatu proses yang benar-benar terbalikkan dalam potongan-potongan kecil kayu bebas tegangan.

Besarnya penyusutan umumnya sebanding dengan banyaknya air yang dikeluarkan dari dinding sel. Hal ini berarti bahwa spesies dengan kerapatan tinggi haruslah menyusut lebih banyak per persen perubahan kandungan air daripada spesies dengan kerapatan rendah. Inilah kasus pada umumnya. Perhatikan kayu dengan kerapatan tinggi kehilangan air lebih banyak per persen perubahan kandungan air (Haygreen dkk., 2003).

Menurut Wiryomartono (1976) peringkat kembang susut dalam kayu terbesar pada arah tangensial (4,3 – 14 %), sedang pada arah radial (2,1 - 8,5 %), dan terkecil pada arah longitudinal (0,1 - 0,2 %). Susut tangensial (ST) dua kali lebih besar susut radial (SR), hal ini disebabkan oleh:

1. Adanya tahanan jari yang menyebabkan susut radial ditahan oleh jari-jari.

2. Noktah pada dinding radial lebih banyak daripada dinding tangensial, sehingga proporsi zat kayu pada dinding radial lebih sedikit.


(28)

Sifat Mekanis

Sifat mekanis kayu merupakan ukuran kemampuan kayu untuk menahan gaya luar yang bekerja terhadapnya. Gaya luar adalah gaya-gaya yang datangnya dari luar benda dan bekerja pada benda tersebut, gaya ini cenderung mengubah ukuran atau bentuk benda (Wangaard 1950 dalam Rahayu 2001). Sedangkan Brown dkk. (1952) mendefinisikan sifat mekanis kayu sebagai sifat yang berhubungan dengan gaya luar terhadap kayu dan reaksi kayu itu sendiri.

Naiola dkk. (2008) menyatakan gewang memiliki nilai keteguhan tekan tinggi pada awalnya dan semakin menurun stabil ke arah dalam. Pada bagian luar lebih banyak didominasi oleh jaringan ikatan pembuluh yang mempengaruhi kekuatan gewang dibandingkan bagian dalam yang lebih banyak jaringan parenkimnya yang cenderung melemahkan batang gewang.

Adanya keragaman yang cukup lebar dari nilai sifat-sifat mekanik disebabkan adanya perbedaan struktur dari batang gewang mulai bagian luar sampai ke dalam batang serta bagian bawah dan tengah batang. Pada bagian dalam batang sebagian besar terbentuk atas jaringan dasar parenkim sedangkan untuk luar dan tepi yang didominasi oleh berkas pembuluh yang cukup tebal (vascular bundles) (Naiola dkk., 2008).

Satu faktor penyebab menurunnya kekuatan patah kayu kelapa seiring dengan meningkatnya letak ketinggian dalam batang adalah penyimpangan arah sudut serat kayu. Pada tanaman monokotil, semakin ke arah ujung maka sudut penyimpangan tersebut semakin besar karena adanya bakal daun atau pelepah yang tumbuh mengelilingi batang (Rudall 1997 dalam Wardhani 2005). Sudut serat merupakan salah satu yang berpengaruh terhadap kekuatan kayu seperti


(29)

kekuatan patah (MOR). Semakin besar sudut serat maka kekuatannya akan semakin rendah (Tsoumis, 1991).

Seperti halnya kekakuan bahan (Modulus of Elasticity), penurunan MOR (Modulus of Rupture) dari pangkal ke ujung juga dipengaruhi oleh struktur anatomi seperti dimensi serat dan ikatan pembuluh. Ikatan pembuluh pada bagian ujung umumnya mempunyai lebih dari satu metaxilem yang berdiameter besar, sedangkan bagian pangkal lebih banyak ikatan pembuluh yang mempunyai satu pembuluh metaxilem dan berdiameter kecil. Kehadiran pembuluh metaxilem yang lebih banyak menyebabkan kekuatan kayu menurun (Wardhani, 2005). Kollman dan Cöré (1984) dalam Wardhani (2005) menyatakan bahwa banyaknya pembuluh kayu dengan diameter yang besar dapat menurunkan kekuatan kayu. Hal ini dapat dilihat dari kerusakan setelah pengujian yang berbentuk getas (brashness).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan kayu bebas cacat yaitu:

- Kandungan air. Kenaikan kekuatan umumnya mulai nampak sedikit di bawah titik jenuh serat – biasanya sekitar KA 25 %.

- Waktu penyimpanan. Sejumlah kehilangan kekuatan akan terjadi apabila penyimpanan lama.

- Suhu. Kebanyakan sifat-sifat mekanik berkurang apabila kayu dipanaskan dan bertambah apabila didinginkan. Selama suhu tidak melebihi kira-kira 100 0C, terdapat sedikit saja kehilangan kekuatan yang permanen.

- Kelelahan (fatigue). Kekuatan lelah suatu bahan adalah kemampuannya untuk mempertahankan kekuatannya apabila dikenai beban berat berulang.


(30)

- Kayu reaksi. Efek kayu reaksi yang tidak menentu dalam penggunaan kayu struktural akan mempengaruhi sifat mekanik.

- Ekspos pada zat kimia. Kekuatan kayu mungkin berkurang oleh ekspos pada lingkungan asam atau basa yang berat.

(Haygreen dkk., 2003).

Keawetan Alami Kayu

Keawetan alami kayu adalah suatu ketahanan kayu secara alamiah terhadap serangan jamur dan serangga dalam lingkungan yang serasi bagi organisme yang bersangkutan. Keawetan kayu berhubungan erat dengan pemakaiannya. Kayu dikatakan awet bila mempunyai umur pakai lama. Kayu berumur pakai lama bila mampu menahan bermacam-macam faktor perusak kayu. Kayu diselidiki keawetannya pada bagian kayu terasnya, sedangkan kayu gubalnya kurang diperhatikan. Pemakaian kayu menentukan pula umur pemakaiannya (Duljapar, 2001).

Keawetan kayu menjadi faktor utama penentu penggunaan kayu dalam konstruksi. Bagaimanapun kuatnya suatu jenis kayu, penggunaannya tidak akan berarti bila keawetannya rendah. Suatu jenis kayu yang memiliki bentuk dan kekuatan yang baik untuk konstruksi bangunan tidak akan bisa dipakai bila konstruksi tersebut berumur beberapa bulan saja, kecuali bila kayu tersebut diawetkan terlebih dahulu dengan baik. Karena itulah dikenal apa yang disebut dengan kelas pakai, yaitu komposisi antara kelas awet dan kelas kuat, dengan kelas awet dipakai sebagai penentu kelas pakai. Jadi, meskipun suatu jenis kayu memiliki kelas kuat yang tinggi, kelas pakainya akan tetap rendah jika kelas awetnya rendah (Tim Elsppat, 1997).


(31)

Suranto (2002), memaparkan bahwa tiap-tiap kelas keawetan itu memberi gambaran tentang umur kayu dalam pemakaian. Secara utuh klasifikasi keawetan kayu dapat dilihat pada Tabel 3 dan pengaruh kondisi lingkungan terhadap umur pakai kayu pada setiap kelas keawetan kayu dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 3. Klasifikasi keawetan kayu

Kelas Keawetan Kualifikasi Keawetan Umur Pemakaian (tahun) I II III IV V Sangat awet Awet Agak awet Tidak awet Sangat tidak awet

> 8 5 – 8 3 – 5 1,5 – 3

< 1,5 Sumber: Suranto (2002)

Tabel 4. Pengaruh kondisi lingkungan terhadap umur pakai kayu pada setiap kelas keawetan kayu

Umur Pakai (Tahun) Pada Kelas Keawetan No Kondisi

Pemakaian I II III IV V

1. 2. 3. 4. Terbuka Dinaungi saja Dinaungi dan dicat Dinaungi dan dipelihara 8 20 Tidak terbatas Tidak terbatas 5 15 Tidak terbatas Tidak terbatas 3 10 Sangat panjang Sangat panjang Pendek Beberapa Beberapa 20 Sangat pendek Pendek Pendek 20 Sumber: Suranto (2002)

Keawetan kayu selain dipengaruhi faktor biologis, juga dipengaruhi faktor lain seperti, kandungan zat ekstraktif, umur pohon, bagian kayu dalam batang, kecepatan tumbuh dan tempat kayu tersebut dipergunakan (Tim Elsppat, 1997). Hal yang sama ditambahkan oleh Haygreen dkk. (2003), apabila kayu secara alami dapat tahan terhadap serangan cendawan dan serangga disebabkan karena sebagian zat ekstraktif bersifat racun atau paling tidak menolak jamur pembusuk dan serangga. Selain itu menurut Tim Elsppat (1997), faktor suhu, kelembaban


(32)

udara dan faktor fisik lainnya akan ikut mempengaruhi kegiatan organisme perusak kayu tersebut.


(33)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara dan hutan Tridharma Universitas Sumatera Utara dan Laboratorium Keteknikan Kayu, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Pelaksanaan penelitian ini dimulai dari bulan Februari sampai Juni 2009.

Bahan dan Alat Penelitian Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah batang pinang yang berasal dari daerah Binjai. Sedangkan bahan kimia yang digunakan adalah aquades, safranin, larutan H2O2 dan CH3COOH, label nama, alkohol 97%. Bahan

lainnya yaitu kertas saring dan pH meter.

Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah oven untuk mengeringkan contoh uji, timbangan electric untuk menimbang contoh uji,

caliper untuk mengukur dimensi contoh uji, desikator, magnetic stirrer, mesin serut single dan double planner, amplas, luv pembesaran 10x, band saw, pisau untuk memotong batang pinang menjadi ukuran korek api, cawan petri untuk meletakkan batang pinang, tabung reaksi untuk tempat potongan batang pinang yang akan dilakukan maserasi, pipet tetes digunakan untuk menetesi bahan kimia yang digunakan, penangas untuk merebus batang pinang dalam proses maserasi, plastik untuk menutup tabung reaksi, preparat untuk tempat meletakan serat


(34)

menggamati dimensi serat batang pinang, Universal Testing Machine, kipas angin, corong dan gelas ukur untuk proses penyaringan, dan alat tulis.

Prosedur Penelitian

Pengambilan bahan dan pembuatan contoh uji

Pengambilan bahan penelitian dilakukan di daerah Binjai, sebanyak tiga batang pinang dengan ukuran diameter dan umur yang sama. Adapun batang pinang yang diambil adalah batang pinang dengan umur 15 tahun, tinggi 13 m dan diameter minimal 13 cm pada ujung batang. Diambil contoh uji dari tiga bagian batang pohon, yaitu bagian pangkal, tengah, dan bagian ujung (Gambar 2). Pengambilan contoh uji juga berdasarkan variasi kedalaman yaitu pada bagian dekat hati (empulur), tengah dan dekat kulit (Gambar 3).

1 m

1,5 m

3 m

1,5 m

3,5 m

1,5 m

0,8 m

Ujung

Tengah

Pangkal


(35)

Gambar 3. Pengambilan contoh uji berdasarkan variasi kedalaman

Keterangan:

H : Dekat hati (empulur) T : Tengah

K : Dekat kulit

Setiap parameter pengujian, contoh uji diambil dari 3 batang pinang pada variasi ketinggian dan variasi kedalaman batang pinang. Untuk pengujian sifat fisis contoh uji berukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm. Sifat fisis yang diuji meliputi kadar air, kerapatan, dan penyusutan 3 arah. Untuk pengujian sifat anatomis contoh uji berukuran 2 cm x 2 cm x 8 cm. Sifat anatomis yang diuji meliputi ikatan pembuluh, parenkim dan serat. Namun serat dilihat melalui maserasi. Untuk pengujian keawetan alami contoh uji berukuran 2 cm x 2 cm x 25 cm. Keawetan alami dilihat melalui uji kubur (Grave Yard Test). Untuk pengujian sifat mekanis contoh uji berukuran 2 cm x 2 cm x 30 cm. Sifat mekanis yang diuji meliputi MOE (Modulus of Elasticity) dan MOR (Modulus of Rupture).


(36)

Pengujian Sifat Anatomis

Pengamatan dilakukan pada masing-masing contoh uji dengan ukuran 2 cm x 2 cm x 8 cm pada kadar air kering udara yang diambil dari setiap batang pada variasi ketinggian dan variasi kedalaman. Pengamatan menggunakan luv dengan pembesaran 10x. Pengamatan meliputi ikatan pembuluh dan parenkim serta ciri umum batang pinang. Pengamatan serat dilakukan dengan metode maserasi. Pengujian sifat anatomis batang pinang ini berdasarkan pada Mandang dan Pandit (1997) dan hasil disajikan melalui foto/gambar.

Maserasi

1. Proses pemisahan serat (maserasi)

Proses maserasi menggunakan metode Forest Product Laboratory (FPL) menurut Wheeler (1989) dalam Panggabean (2008). Pengamatan dan pengukuran dilakukan dengan bantuan mikroskop yang dilengkapi mikrometer, adapun prosedurnya yaitu contoh uji berukuran 0,5 x 0,5 x 2 cm3 dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi larutan H2O2 (Hidrogen Peroksida) dan CH3COOH (Asam

Asetat) dengan perbandingan 2 : 1 sampai terendam. Tabung reaksi kemudian dimasukkan dalam penangas air dengan suhu 120 0C selama 4 – 5 jam sampai potongan kayu berwarna putih dan terlihat adanya tanda-tanda serat mulai lepas. Aquades dimasukkan dan dikocok untuk mendapatkan serat-serat yang melepas sempurna. Kemudian dicuci berulang-ulang di atas kertas saring sampai bebas asam. Setelah itu serat dipindahkan ke dalam cawan petri dan diberi beberapa tetes safranin 2 % kemudian ditunggu selama 6 - 8 jam agar zat warna benar-benar meresap dalam serat. Kemudian dipindahkan ke dalam object glass, dan


(37)

dilakukan pemisahan serat. Preparat kemudian ditutup dengan cover glass. Serat siap diamati di bawah mikroskop kemudian diukur.

2. Pengukuran dimensi serat

1. Dimensi serat yang diukur sebanyak 150 serat. Dimensi serat yang diukur adalah panjang serat, diameter serat, tebal dinding serat, dan diameter lumen.

D P Keterangan : l P = Panjang serat

W D = Diameter serat l = Diameter lumen W = Tebal dinding serat l

2. Tebal dinding serat dihitung dengan rumus

2

l D W  

3. Dihitung turunan dimensinya

l w Ratio Runkel  2

D P Power Felting

% 100 2

2 2

x D

l D Ratio

Muhlsteph  

D w Rigidity of

t


(38)

D l Ratio y

FlexibilitPengujian Sifat Fisis

Pengujian sifat-sifat fisis batang pinang menggunakan British Standard

373-1975 Standard Test for Small Clear Specimen.

Kadar air

Kadar air adalah jumlah air yang terdapat pada kayu dibagi dengan berat kering tanur (BKT) dan dinyatakan dalam persen. Pengujian kadar air ini dilakukan untuk penyeragaman contoh uji. Cara penentuan kadar air yaitu contoh uji kadar air diambil dari setiap batang pinang pada variasi ketinggian dan kedalaman batang dengan ukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm. Contoh uji ditimbang berat awalnya, kemudian dikering udarakan menggunakan kipas angin. Setelah dikering udarakan contoh uji ditimbang untuk menentukan berat kering udara. Contoh uji kemudian dioven selama 24 jam dengan suhu 103 ± 2 oC, ditimbang beratnya dan dioven lagi selama 3 jam, kemudian ditimbang lagi, hingga beratnya konstan. Dihitung kadar air dengan rumus:

% 100 x Oven Kering Berat Oven Kering Berat Awal Berat Basah

KA  

% 100 x Oven Kering Berat Oven Kering Berat Udara Kering Berat Udara Kering

KA  

Kerapatan

Kerapatan merupakan perbandingan massa kayu dengan volume kayu. Cara penentuan kerapatan yaitu contoh uji diambil dari setiap batang pada variasi ketinggian dan variasi kedalaman dengan ukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm. Contoh uji dikering udarakan dengan kipas kemudian ditimbang beratnya (berat kering


(39)

udara) dan diukur dimensinya. Dihitung volume kering udara. Kemudian dihitung kerapatan kayu dengan rumus:

Kerapatan Kayu (gr/cm3)

 

3

cm Volume

gram Berat

Penyusutan tiga arah

Penyusutan pada kayu terjadi dikarenakan adanya molekul-molekul air yang terlepas dari dinding-dinding sel pada kayu, penyusutan kayu ini terjadi pada kondisi kayu dibawah titik jenuh serat. Cara penentuannya yaitu contoh uji dengan ukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm diukur dimensinya pada 3 arah (radial, tangensial, dan longitudinal) kemudian dikeringudarakan dengan menggunakan kipas angin selama 3 minggu. Setelah dikeringudarakan contoh uji diukur lagi dimensinya. Penyusutan dapat dihitung dengan rumus:

% 100 (%) x Awal Dimensi Akhir Dimensi Awal Dimensi n

Penyusuta  

Pengujian Sifat Mekanis

Pengujian sifat mekanis menggunakan Brtish Standar 373-1975 Standard Test for Small Clear Specimen. Pengujian sifat mekanis ini meliputi pengujian sifat keteguhan lentur dan keteguhan patah.

Pengujian keteguhan lentur (MOE) dilakukan bersama-sama dengan pengujian keteguhan patah (MOR) dengan memakai contoh uji yang sama dengan ukuran 2 cm x 2 cm x 30 cm. Besarnya defleksi yang terjadi pada saat pengujian dicatat pada setiap selang beban tertentu. Nilai MOE dihitung dengan rumus:

MOE = 3

3 . . . 4 . d b Y L P 


(40)

Dimana:

MOE : Modulus lentur (kg/cm2)

∆P : Beban sebelum batas proporsi (kg) L : Jarak sangga (cm)

∆Y : Lenturan pada beban (cm) b : Lebar contoh uji (cm) d : Tebal contoh uji (cm)

Nilai MOR dihitung dengan rumus:

MOR = 2 . . 2

. . 3

d b

L P

Dimana:

MOR : Modulus patah (kg/cm2) P : Beban Maksimum (kg) L : Jarak sangga (cm) b : Lebar contoh uji (cm) d : Tebal contoh uji (cm)

Pengujian Keawetan Alami Melalui Uji Kubur

Contoh uji berukuran 2 cm x 2 cm x 25 cm dari setiap batang pada variasi kedalaman dan ketinggian dengan kadar air kering udara, dikubur atau ditanam dengan jarak tanam 0,5 m antar contoh uji dengan membiarkan minimal 10 cm dari bagian ujung batang pinang terlihat di atas permukaan tanah. Setelah 100 hari contoh uji diambil kembali dan diamati kerusakannya dan organisme yang


(41)

menyerang (organisme yang tertinggal dalam batang pinang). Contoh uji kemudian dioven dengan suhu 103 ± 2 0C selama 24 jam atau sampai berat konstan. Selanjutnya dilakukan penimbangan (didapat berat akhir). Dihitung kehilangan berat contoh uji dengan rumus:

Kehilangan Berat = x100%

Awal Berat

Akhir Berat Awal

Berat

Penentuan kelas ketahanan contoh uji berdasarkan klasifikasi yang dibuat SNI 01-7207-2006. Klasifikasi tersebut disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Klasifikasi ketahanan kayu terhadap serangan rayap

Kelas Ketahanan Penurunan Berat (%)

I II III IV V

Sangat Tahan Tahan Sedang

Buruk Sangat Buruk

< 3,52 3,52 – 7,50 7,50 – 10,96 10,96 – 18,94 18,94 – 31,89 Sumber: SNI 01-7207-2006

Analisa Data

Dari pengujian sifat fisis, keawetan alami, dan sifat mekanis yang telah dilakukan, selanjutnya data-data tersebut diolah dengan menggunakan model rancangan acak lengkap tersarang. Model linear dari rancangan tersebut adalah:

Yijk = µ + αi + ßj ( i) + εk ( ij) Dimana:

Yijk = Respon pengaruh bagian ke-j dalam ketinggian ke-i ulangan ke-k

µ = Rata-rata umum αi = Pengaruh ketinggian ke-i

ßj (i) = Pengaruh bagian kedalaman ke-j dalam ketinggian ke-i


(42)

Uji F dilakukan untuk mengetahui perlakuan yang berbeda nyata satu dengan lainnya. Jika F hitung lebih besar dari F tabel, maka faktor perlakuan mempengaruhi sifat-sifat fisis, anatomis, keawetan, dan mekanis batang pinang.


(43)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ciri-ciri umum batang pinang yang diamati meliputi warna kayu, kekerasan, corak serta bau yang terdapat pada batang pinang. Batang pinang merupakan batang yang berasal dari tanaman palma. Dalam penelitian ini penampang lintang batang pinang dibedakan menjadi tiga daerah yaitu tepi kulit, tengah dan dalam. Bagian penampang lintang batang pinang dibagi menjadi tiga daerah, bertujuan agar diketahui perbedaan warna dan kekerasan batang pinang pada bagian tepi kulit, tengah dan dalam. Butterfield dan Meylan (1980) dalam Wardhani (2005) mengemukakan penampang lintang batang kayu kelapa dibedakan menjadi tiga daerah yaitu tepi, tengah dan dalam. Bagian tepi (dekat kulit) batang pinang memiliki warna lebih gelap daripada bagian empulur (dalam). Menurut Wardhani (2005) bagian tepi kayu kelapa berwarna lebih gelap dari bagian dalam. Pada Gambar 4, dapat dilihat perbedaan warna batang pinang berdasarkan kedalaman batang.

(a) (b) (c) Keterangan: = 1 mm

Foto = Menggunakan lup dengan pembesaran 10x


(44)

Bagian tepi kulit batang pinang 4(a) berwarna coklat tua hingga coklat muda dan semakin berwarna coklat muda kekuning-kuningan pada bagian tengah 4(b) hingga putih kekuning-kuningan 4(c) pada bagian empulur. Perbedaan warna ini terjadi karena pada bagian tepi kulit lebih didominasi oleh ikatan pembuluh yang warnanya lebih gelap dari parenkim. Sedangkan bagian empulur lebih didominasi oleh parenkim sehingga warna empulur akan lebih terang dari warna tepi kulit. Lebih banyaknya jumlah parenkim pada bagian empulur juga menyebabkan bagian empulur lebih lunak dari bagian tepi kulit, yang didominasi oleh ikatan pembuluh.

Sepanjang batang pinang didominasi oleh warna coklat. Warna bagian pangkal hingga ke ujung batang pinang tidak terlalu berbeda. Untuk bagian pangkal tepi kulit hingga bagian ujung tepi kulit umumnya berwarna coklat tua hingga coklat muda, dapat dilihat pada Gambar 5.

(a) (b) (c) Keterangan: = 1 mm

Foto = Menggunakan lup dengan pembesaran 10x

Gambar 5. Perbedaan warna berdasarkan ketinggian pada bagian pangkal tepi kulit (a), tengah (b), dan ujung (c)


(45)

Pada Gambar 5 dapat dilihat bagian pangkal tepi kulit 5(a) berwarna coklat tua, dan tidak berbeda pada bagian tengah tepi kulit 5(b) yaitu masih berwarna coklat tua. Pada bagian ujung tepi kulit 5(c) warna coklat terlihat sedikit lebih muda dari bagian pangkal dan tengah. Hal tersebut dikarenakan pada bagian ujung batang didominasi oleh parenkim yang warnanya lebih cerah dari ikatan pembuluh, sedangkan di bagian pangkal didominasi oleh ikatan pembuluh. Sehingga biasanya bagian pangkal memiliki warna yang lebih gelap dari bagian ujung.

Batang pinang memiliki kekerasan yang cukup keras pada bagian tepi kulit, kemudian kekerasan akan semakin berkurang menuju bagian pusat kulit. Bahkan pada bagian pusat kulit (empulur), batang pinang lunak. Begitu juga menurut ketinggian, pada bagian pangkal batang pinang memiliki kekerasan yang keras dan kekerasan akan semakin berkurang menuju ujung batang. Hal ini disebabkan karena pada bagian empulur ataupun ujung batang merupakan jaringan muda dan baru terbentuk serta didominasi oleh parenkim. Bagian empulur kayu kelapa merupakan jaringan berwarna kecoklatan dan lunak karena sebagian besar terdiri dari jaringan parenkim (Krisdianto, 2006).

Batang pinang tidak memiliki corak yang indah. Corak hanya terbentuk akibat adanya sel pembuluh pada batang pinang, sehingga membentuk seperti alur-alur pada batang pinang. Batang pinang juga tidak memiliki bau yang khas. Pada kondisi segar ataupun kondisi kering udara batang pinang tidak berbau.

Sifat Anatomis

Pengamatan sifat anatomis pada batang pinang dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis. Pengamatan secara makroskopis dilakukan dengan


(46)

menggunakan lup perbesaran 10x. Adapun sifat anatomis yang diamati secara makroskopis yaitu ikatan pembuluh dan parenkim pada variasi ketinggian dan variasi kedalaman batang. Sedangkan pengamatan secara mikroskopis dilakukan dengan menggunakan mikroskop elektron dengan pembesaran 40x. Adapun sifat anatomis yang diamati secara mikroskopis yaitu serat batang pinang melalui metode maserasi.

Ikatan pembuluh

Batang palma tidak mempunyai pori-pori yang umumnya dimiliki oleh batang pada tanaman dikotil. Menurut Mandang dan Pandit (1997) pori umumnya hanya terdapat pada golongan kayu daun lebar (hardwood), sehingga golongan kayu ini sering juga disebut sebagai porouswood. Menurut Butterfield dan Meylan (1980) dalam Wardhani (2005) kayu kelapa disusun oleh tiga elemen utama yaitu ikatan pembuluh yang terdiri dari serat sklerenkim dan pembuluh. Ikatan serat dan jaringan dasar berupa parenkimatis yang sangat penting pada palma termasuk pinang. Ikatan pembuluh batang pinang pada bagian pangkal tepi kulit dan bagian ujung empulur dapat dilihat pada Gambar 6.

Pada Gambar 6a dapat dilihat bahwa batang pinang pada bagian pangkal tepi kulit mempunyai ikatan pembuluh yang berwarna gelap, yaitu berwarna coklat tua dengan diameter yang besar. Hasil ini sama dengan warna pada kayu kelapa, kayu kelapa pada bagian pangkal tepi memiliki warna ikatan pembuluh yang gelap (Wardhani, 2005).


(47)

1

2 1

(a) (b)

1

2

1

(c) (d)

Keterangan: 1 = ikatan pembuluh; 2 = parenkim = 1 mm

Foto = Menggunakan lup dengan pembesaran 10x

Gambar 6. Ikatan pembuluh batang pinang bagian pangkal tepi kulit (a dan b) dan bagian ujung empulur (c dan d)

Pada Gambar 6b, ikatan pembuluh tampak seperti pita panjang namun tidak begitu lebar dan berwarna gelap. Hal ini sedikit berbeda dari ikatan pembuluh pada kayu kelapa, ikatan pembuluh pada kayu kelapa berupa pita panjang dan lebar (Wardhani, 2005). Warna gelap dari ikatan pembuluh karena telah terjadi proses penebalan sekunder dinding sel serat atau sklereida yang menyusun serat sklerenkim (Wardhani, 2005). Pada bagian tepi kulit, karena


(48)

jumlah ikatan pembuluh yang banyak dan berdiameter besar serta berwarna gelap, umumnya ikatan pembuluh ini berfungsi sebagi penguat batang palma.

Bila dibandingkan dengan bagian pangkal tepi kulit batang pinang, maka bagian ujung empulur batang pinang (Gambar 6b dan 6c), mengandung ikatan pembuluh yang lebih kecil, sedikit dan berwarna cerah. Ikatan pembuluh pada bagian ini lebih banyak berfungsi sebagai alat transportasi karena proses pertumbuhan masih berlangsung dan sel serat umumnya belum mengalami penebalan sekunder.

Pada Gambar 6d dapat dilihat ikatan pembuluh tampak lebih pendek karena terpotong. Ini terjadi karena ikatan pembuluh pada bagian ujung empulur mempunyai orientasi yang tidak sejajar dengan sumbu pohon karena bagian ini merupakan bagian dari titik apikal meristem yang nantinya akan membentuk pelepah atau daun. Menurut Fruhwald (1992) dalam Wardhani (2005) susunan ikatan pembuluh yang tidak beraturan terbentuk dalam konteks penyisipan bakal daun pada batang kelapa.

Parenkim

Berdasarkan variasi kedalaman batang, parenkim (Gambar 7) pada bagian tepi kulit (Gambar 7a) berjumlah sedikit kemudian semakin banyak menuju ke bagian tengah (Gambar 7b) dan akan lebih banyak lagi pada bagian empulur (Gambar 7c). Begitu juga berdasarkan variasi ketinggian batang, parenkim pada pangkal batang berjumlah sedikit dan semakin banyak menuju ujung batang. Pada bagian tepi kulit batang pinang, ikatan pembuluh berjumlah banyak dan berdiameter besar sehingga jumlah parenkim hanya sedikit. Parenkim merupakan jaringan dasar yang berfungsi sebagai penyimpan makanan, sedangkan sel


(49)

pembuluh merupakan jaringan penguat pada batang, khususnya batang palma. Sehingga biasanya parenkim akan lebih banyak pada bagian batang yang masih terus tumbuh seperti pada bagian empulur dan ujung batang.

1 2

1 2

(a) (b)

1

2

(c) Keterangan: 1 = ikatan pembuluh; 2 = parenkim

= 1 mm

Foto = Menggunakan lup dengan pembesaran 10x

Gambar 7. Parenkim batang pinang berdasarkan kedalaman batang, tepi kulit (a), tengah (b) dan empulur (c)

Gambar 7 memperlihatkan sel pembuluh pada batang pinang berada di antara parenkim. Parenkim pada batang pinang ini sama seperti parenkim pada kayu kelapa, kayu kelapa disusun oleh jaringan dasar parenkim yang diantaranya terdapat ikatan pembuluh (Wardhani, 2005). Pada penampang melintang batang


(50)

kelapa sawit juga tampak sejumlah sejumlah ikatan pembuluh yang tersebar merata di antara jaringan parenkim (Rahayu, 2001).

  Pada bagian empulur (Gambar 7c), parenkim berbentuk spongy (karang) pada kondisi kadar air kering udara, namun pada kondisi kadar air segar parenkim tidak berbentuk karang. Hal ini disebabkan karena pada bagian empulur batang pinang mengandung rata-rata kadar air basah yang sangat tinggi yaitu 573,98 %. Sehingga pada kondisi kering udara parenkim yang terisi air akan menguap menyebabkan parenkim kosong sehingga berbentuk seperti karang. Menurut Rojo dkk. (1988) dalam Wardhani (2005) jaringan parenkim merupakan salah satu jaringan yang sangat penting pada batang palma termasuk kelapa. Bentuknya beragam antara lain berbentuk kompak, ramping atau kadang-kadang berbentuk seperti karang dan banyak mengandung gula.

Serat

Panjang serat batang pinang bervariasi tergantung posisinya dalam ketinggian pohon. Serat terpanjang terdapat pada bagian pangkal, data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1, serat semakin pendek menuju bagian tengah hingga ujung batang (Gambar 8). Menurut Panshin dan De Zeeuw (1980), sel yang matang lebih panjang dari sel yang muda karena sel muda masih terus mengalami pembelahan, sedangkan penambahan panjang sel merupakan tahap akhir dari perbesaran sel.


(51)

117 104 84 0 20 40 60 80 100 120 140

Pangkal Tengah Ujung

Bagian Batang P a n ja n g S e r a t (M ik r o n )     

Gambar 8. Variasi rata-rata panjang serat berdasarkan ketinggian batang pinang

Variasi kisaran panjang serat batang pinang berdasarkan ketinggian dari pangkal ke ujung batang tidak terlalu besar dan lebih pendek (84 – 117 μ), bila dibandingkan dengan serat kayu kelapa dengan kisaran 788 – 1984 µ (Wardhani, 2005). Berdasarkan klasifikasi serat menurut Casey (1960) dalam Panggabean (2008) serat batang pinang hasil penelitian ini termasuk dalam katagori serat ”pendek” yaitu < 900 µ. Hasil ini berbeda bila dibandingkan dengan serat kayu kelapa termasuk dalam kategori “sedang” yaitu antara 900 – 1600 µ (Wardhani, 2005). 3,2 1,9 1,7 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5

Pangkal Tengah Ujung

Bagian Batang D ia m e te r S e r a t ( M ik r o n )


(52)

Seperti halnya panjang serat, diameter serat (Gambar 9) rata-rata yang terbesar terdapat pada bagian pangkal. Diameter serat batang pinang berkisar antara 1,7 – 3,2 μ. Berdasarkan kategori serat Casey (1960) dalam Panggabean (2008), diameter serat batang pinang hasil penelitian ini termasuk dalam katagori serat “tipis” yaitu < 10 µ. Sedangkan diameter serat kayu kelapa memiliki kisaran antara 21,5 – 38,5 µ, yang termasuk dalam kategori serat “lebar” yaitu > 20 µ (Wardhani, 2005).

Hasil penelitian diameter serat batang pinang (Gambar 9) memperlihatkan rata-rata diameter serat pada bagian pangkal lebih besar dan akan semakin kecil menuju bagian ujung batang. Pangkal batang didominasi oleh sel serat dewasa yang telah mengalami pertumbuhan secara sempurna sehingga diameter serat lebih besar. Besarnya diameter serat dewasa disebabkan telah terjadi penebalan sekunder dari dinding sel dan proses lignifikasi telah selesai sehingga menambah diameter serat yang terbentuk. Sebaliknya pada bagian ujung, data selengkapnya dapat dilihat dalam Lampiran 3, batang merupakan apikal meristem yang masih mengalami pertumbuhan dengan sel-sel hidup yang didominasi oleh sel muda.

0,74 0,41 0,32 0 0,2 0,4 0,6 0,8

Pangkal Tengah Ujung

Bagian Batang D ia m e te r L u m e n S e r a t (M ik r o n )

Gambar 10. Variasi rata-rata diameter lumen serat berdasarkan ketinggian batang pinang


(53)

Seperti halnya pada pengukuran panjang dan diameter serat, hasil penelitian terhadap diameter lumen serat batang pinang (Gambar 10) dan tebal dinding serat (Gambar 11), memperlihatkan nilai yang lebih besar pada bagian pangkal dan akan semakin kecil menuju bagian ujung batang. Menurut Krisdianto (2006) tebal dinding serat paling besar terdapat di bagian pangkal pada batang kelapa dalam dan batang kelapa hibrida.Data selengkapnya mengenai pengukuran tebal dinding serat dan diameter lumen pada bagian pangkal dan ujung batang pinang dapat dilihat dalam Lampiran 1 dan Lampiran 3.

Pada Gambar 11 dapat dilihat tebal dinding serat yang paling besar terdapat pada bagian pangkal batang dengan tebal dinding serat sebesar 1,26 µ. Hasil ini masih lebih kecil bila dibandingkan dengan tebal dinding serat pada batang kelapa dalam sebesar 16,13 µ dan batang kelapa hibrida sebesar 6,72 µ (Krisdianto, 2006). Tebal dinding serat memiliki kisaran yaitu 0,71 – 1,26 µ, hasil ini juga sangat kecil bila dibandingkan tebal dinding serat kayu kelapa dengan kisaran antara 3,79 – 16,33 μ (Wardhani, 2005). Sel serat yang terdapat pada pangkal batang adalah sel-sel dewasa dan telah mengalami penebalan sekunder yang sempurna. Proses penebalan sekunder diiringi dengan lignifikasi pada

dinding sel menyebabkan dinding sel bertambah tebal dan kaku (Higuchi 1997 dalam Wardhani 2005). Tsoumis (1991) menyatakan bahwa fungsi

utama serat adalah sebagai penyokong utama pohon, tetapi kadang-kadang juga berpartisipasi dalam proses konduksi nutrisi.


(54)

1,26

0,78 0,71

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4

Pangkal Tengah Ujung

Bagian Batang

T

e

b

a

l D

in

d

in

g

S

e

r

a

t

(M

ik

r

o

n

)

Gambar 11. Variasi rata-rata tebal dinding serat berdasarkan ketinggian

batang pinang

4 1

3 2

Keterangan: 1= Panjang serat; 2 = Diameter serat;

3 = Diameter lumen; 4 = Tebal dinding serat

Foto = Menggunakan mikroskop elektron dengan pembesaran 40x Gambar 12. Serat batang pinang

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh rata-rata kisaran diameter lumen batang pinang yaitu 0,32 – 0,74 μ. Hasil ini lebih kecil bila dibandingkan dengan diameter lumen kayu kelapa berkisar antara 4,26 – 17,30 μ (Wardhani, 2005).


(55)

Pada penelitian Wardhani (2005) diameter lumen kayu kelapa terbesar terdapat pada bagian ujung, berbeda dengan hasil penelitian diameter lumen batang pinang terbesar terdapat pada bagian pangkal.

Berdasarkan hasil penelitian serat batang pinang yang telah dilakukan maka diperoleh turunan serat, yang kemudian akan menghasilkan nilai pengukuran dimensi serat untuk menentukan kelas mutu pulp. Hasil pengukuran serat batang dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil pengukuran dimensi serat batang pinang

Uraian Hasil Penelitian Nilai

Panjang serat (μm) 102,31 25

Runkel ratio 3,74 25

Daya Tenun (felting power) 43,94 50

Muhslteph ratio (%) 95,57 25

Fleksibility ratio 0,37 25

Coefficient of rigidity 0,21 25

Jumlah 175

Sumber: Data primer penelitian

Untuk penentuan kelas mutu serat dapat dilihat pada Tabel 7, kriteria penilaian serat kayu Indonesia oleh LPHH No 75. 1976 dalam Wamra (2002).

Tabel 7. Persyaratan kelas mutu pulp

Kelas Mutu

I II III No Uraian

Syarat Nilai Syarat Nilai Syarat Nilai

1 Panjang (mikron) > 2000 100 1000-2000 50 <1000

2 Nisbah Runkel < 0,25 100 0,25-0,50 50 0,5-1,0

25 25

3 Daya tenun > 90 100 50-90 50 < 50 25

4 Muhlsteph Ratio < 30 100 30-60 50 60-80 25

5 Fleksibility Ratio > 0,80 100 0,50-0,80 50 < 0,5 25

6 Koeff. Kekakuan < 0,10 100 0,10-0,15 50 > 0,15 25

Selang Nilai 450 – 600 225 – 449 < 225

Sumber: LPHH No 75. 1976 dalam Wamra (2002)

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa serat batang pinang termasuk kelas mutu III sebagai bahan baku pulp dan kertas, sehingga batang


(56)

pinang tidak layak untuk dijadikan bahan baku pulp dan kertas. Rendahnya kelas mutu batang pinang sebagai bahan baku pulp dapat disebabkan karena serat pinang yang pendek dan diameter serat yang sangat kecil sehingga akan menghasilkan kualitas kertas yang rendah, baik dari segi kekuatan sobek dan warna kertas yang dihasilkan. Menurut Casey (1960) dalam Panggabean (2008) serat dengan kualitas kelas III adalah serat yang sulit untuk dipipihkan waktu digiling dan ikatan seratnya tidak begitu baik, sehingga akan menghasilkan kekuatan sobek dan tarik yang rendah.

Sifat Fisis Kadar air

Menurut Kasmujo (2001) kayu yang baru ditebang dan masih basah kadar airnya 40 – 200 %, dan besarnya kadar air ini tergantung pada jenis kayu. Kadar air basah batang pinang yang diukur memiliki nilai yang bervariasi. Menurut Rahayu (2001) variasi kadar air ditentukan antara lain oleh kemampuan kayu atau massa kayu untuk menyimpan air dan adanya zat ekstraktif kayu yang bersifat higroskopis yang mungkin terdapat dalam dinding atau dalam lumen sel kayu.

Nilai rata-rata kadar air basah batang pinang tertinggi terdapat pada bagian ujung empulur yaitu sebesar 622 %. Sedangkan, nilai rata-rata kadar air basah terkecil terdapat pada bagian ujung kulit yaitu sebesar 218 %. Hasil ini lebih besar bila dibandingkan dengan nilai kadar air basah pada batang kelapa sawit. Nilai kadar air batang kelapa sawit pada kondisi segar berkisar antara 134 – 500 % (Bakar dkk., 1999). Hasil yang diperoleh juga masih lebih besar bila dibandingkan dengan kadar air kayu kelapa. Kadar air kayu kelapa (100 %) dan semakin ke bawah akan semakin turun, (Rahayu, 2001). Tingginya kandungan


(57)

ekstraktif gula dan pati dengan sifat higroskopis yang tinggi pada kondisi segar menyebabkan kadar air basah pada batang pinang sangat tinggi.

56 0 53 8 62 2 40 9 41 5 51 9 21 8 22 9 21 8 0 100 200 300 400 500 600 700

Pangkal Tengah Ujung

Bagian Batang K a d a r A ir B a sa h ( % ) Empulur Tengah Tepi Kulit

Gambar 13. Variasi rata-rata kadar air basah berdasarkan ketinggian dan kedalaman batang pinang

Berdasarkan Gambar 13 di atas dapat dilihat pada bagian empulur, baik yang berada pada bagian pangkal, tengah ataupun ujung mempunyai nilai kadar air basah yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan bagian tengah ataupun tepi kulit. Dari Gambar 13 di atas juga terlihat bahwa semakin ke ujung nilai kadar air semakin tinggi, namun untuk bagian ujung tepi kulit nilainya lebih rendah dari bagian pangkal tepi kulit. Bagian empulur umumnya mempunyai kadar air yang lebih tinggi dibandingkan dengan bagian tengah tetapi lebih rendah dibandingkan dengan bagian tepi kulit. Kadar air batang pinang akan turun pada bagian pangkal dan kemudian naik menuju bagian ujung. Selain itu kadar air juga akan turun dari bagian pusat batang ke bagian tepi kulit pada semua ketinggian batang. Hal ini disebabkan pada bagian pusat dan bagian ujung batang memiliki persentase jumlah parenkim yang lebih besar daripada ikatan pembuluh sedangkan parenkim memiliki kemampuan mengikat air lebih banyak daripada ikatan pembuluh.


(58)

KA basah batang pinang berdasarkan variasi kedalaman (tepi kulit, tengah, empulur) yang terdapat pada variasi ketinggian (pangkal, tengah, ujung) menurut data statistik pada Lampiran 4 berpengaruh nyata. Berdasarkan uji lanjut Duncan, bagian tepi kulit pada berbagai ketinggian tidak berbeda satu sama lain namun berbeda nyata dengan bagian lain. Bagian pangkal dan tengah berbeda dengan bagian ujung pada tengah. Namun bagian ujung tengah tidak berbeda dengan bagian tengah dan pangkal pada bagian empulur. Bagian pangkal dan tengah pada bagian empulur berbeda dengan bagian ujung pada empulur, dan bagian ujung empulur berbeda nyata dengan seluruh bagian. Bagian ujung empulur berbeda nyata dengan seluruh bagian karena bagian ujung empulur mengandung parenkim yang lebih banyak sehingga menghasilkan kadar air yang paling tinggi, hal inilah yang mengakibatkan bagian ujung empulur berbeda dengan seluruh bagian terhadap kadar air basah batang pinang.

Kadar air kayu kering udara di Indonesia antara 12 – 18 % atau rata-rata 15 % (Kasmujo, 2001). Berdasarkan pengukuran yang dilakukan pada batang pinang diperoleh hasil kadar air kering udara yang bervariasi dari 12 – 18 %. Variasi kadar air kering udara pada batang pinang dapat dikarenakan sifat kayu bersifat higroskopis. Sesuai dengan pernyataan Bowyer dkk. (2003) yang menyatakan kayu memiliki sifat higroskopis yaitu kemampuan kayu untuk menyerap uap air dari udara sekitarnya sampai kayu mencapai keseimbangan kandungan air dengan udara. Lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 14.

Pada Gambar 14 dapat dilihat nilai kadar air kering udara batang pinang terbesar terdapat pada bagian tengah empulur yaitu 18,4 %. Sedangkan nilai kadar air terendah terdapat pada bagian ujung kulit yaitu sebesar 12,3 %. Hasil ini


(59)

berbeda dengan batang kelapa sawit, nilai kadar air kering udara terendah batang

kelapa sawit terdapat pada bagian pangkal dan berada di tepi kulit

(Prayitno, 1995). 12 ,9 18, 4 14, 4 12 ,3 16 ,7 13, 9 13, 8 13, 3 12 ,3 0 5 10 15 20

Pangkal T engah Ujung

Bagian Batang K a d a r A ir K U ( % ) Empulur Tengah Tepi Kulit

Gambar 14. Variasi rata-rata kadar air kering udara berdasarkan ketinggian dan kedalaman batang pinang

Berdasarkan variasi kedalaman, nilai kadar air kering udara rata-rata yang paling besar terdapat pada bagian empulur sebesar 15,2 %, kemudian bagian tengah sebesar 14,3 % dan kadar air kering udara yang paling rendah terdapat pada bagian tepi kulit yaitu sebesar 13,1 %. Variasi kadar air kering udara dalam batang pinang disebabkan oleh perbedaan jumlah ikatan pembuluh yang bertambah dari bagian empulur menuju bagian tepi kulit. Sesuai dengan pendapat Supriadi dkk. (1999) banyaknya ikatan pembuluh menyebabkan persentase parenkim yang mampu mengandung air menjadi lebih kecil. Sehingga bagian tepi kulit yang didominasi oleh sel pembuluh akan memiliki kadar air yang lebih kecil dari bagian tengah atau empulur.


(60)

Berdasarkan data statistik pada lampiran 5 diketahui bahwa kadar air kering udara batang pinang pada berbagai kedalaman (tepi kulit, tengah, empulur) pada ketinggian (pangkal, tengah, ujung) tidak berpengaruh nyata.

Kerapatan

Pengukuran kerapatan batang pinang menunjukkan hasil yang bervariasi. Kerapatan batang pinang berkisar antara 0,12 – 1,07 gr/cm3 seperti yang tertera dalam Gambar 15. Nilai kerapatan batang pinang ini lebih kecil dari kerapatan kayu kelapa yang berkisar antar 0,28 – 1,11 gr/cm3 (Wardhani, 2005). Hasil ini masih lebih besar bila dibandingkan dengan nilai kerapatan batang kelapa sawit yang berkisar antara 0,22 – 0,88 gr/cm3 (Bakar dkk., 1999) dan nilai kerapatan

batang gewang yang memiliki kisaran antara 0,19 – 0,97 gr/cm3 (Naiola dkk., 2008).

0, 1 4 0, 15 0, 1 2 0, 31 0, 1

9 0,2

9 1, 07 0, 68 0, 6 2 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2

Pangkal Tengah Ujung

Bagian Batang K e r a p a ta n ( g r /c m 3 ) Empulur Tengah Tepi Kulit

Gambar 15. Variasi rata-rata kerapatan berdasarkan ketinggian dan kedalaman batang pinang

Berdasarkan variasi kedalaman batang, pada Gambar 15 dapat dilihat nilai tertinggi terdapat pada tepi kulit dan nilainya akan menurun menuju empulur. Demikian juga nilai kerapatan pada kayu kelapa, kerapatan tertinggi terdapat pada


(61)

tepi kulit, sedangkan terendah pada empulur (Wardhani, 2005). Menurut Naiola dkk. (2008) semakin ke dalam batang mendekati empulur, jumlah ikatan pembuluh semakin sedikit.

Jaringan ikatan pembuluh memiliki kerapatan yang lebih tinggi daripada jaringan sekitarnya. Bagian tepi kulit juga didominasi oleh ikatan pembuluh yang banyak mengandung sel sklerenkim, sedangkan empulur lebih banyak mengandung parenkim dan sel-sel muda. Jumlah ikatan pembuluh pada empulur lebih sedikit dibandingkan bagian tepi kulit, dan ikatan pembuluh pada empulur umumnya mempunyai pembuluh metaxilem yang besar dengan persentase sel serat yang lebih kecil (Wardhani, 2005). Hal ini menyebabkan kerapatan bagian empulur lebih rendah dibandingkan bagian tepi kulit.

Berdasarkan variasi ketinggian batang yang juga tertera dalam Gambar 15, bagian pangkal batang pinang memiliki nilai kerapatan yang tertinggi dan nilainya akan semakin menurun menuju ujung batang pinang. Pada pangkal batang terdapat sel-sel dewasa yang secara makrokopis dapat dilihat dari banyaknya ikatan pembuluh tua yang berwarna gelap. Lebih dari separuh volume ikatan pembuluh dewasa ditempati oleh sel sklerenkim yang mempunyai dinding sel tebal. Semakin tebal dinding sel maka kerapatan akan semakin tinggi (Anonim 2004 dalam Wardhani 2005). Sebaliknya ujung batang merupakan apikal meristim pohon yang masih terus berkembang membentuk sel-sel muda yang protoplasmanya masih hidup. Sel muda umumnya memiliki dinding sel tipis dengan lumen yang besar. Selain itu pangkal batang merupakan bagian yang menopang tegaknya pohon yang memerlukan kekuatan. Sehingga bagian pangkal memiliki nilai kerapatan yang lebih tinggi dari bagian ujung.


(62)

Menurut Killman (1988) dalam Wardhani (2005), variasi kerapatan kayu kelapa tergantung dari tempat tumbuh, umur, besar dan jarak takik (harvesting steps) serta jumlah kerusakan akibat jamur dan serangga. Besarnya kisaran kerapatan pada batang pinang disebabkan adanya variasi struktur dan anatomi batang pinang yang sangat lebar pula dari bagian empulur (pusat) batang yang didominasi oleh parenkim dan di daerah tepi kulit didominasi oleh ikatan pembuluh yang berdinding tebal.

Bagian tepi kulit batang pinang dapat digunakan sebagai konstruksi ringan karena memiliki nilai kerapatan rata-rata 0,78 gr/cm3, yang termasuk dalam kelas kuat II. Sedangkan untuk bagian tengah dan bagian empulur sangat tidak disarankan digunakan sebagai konstruksi, karena kerapatan rata-rata 0,26 gr/cm3 pada bagian tengah dan rata-rata 0,13 gr/cm3 pada bagian empulur termasuk dalam kelas kuat V (Kartasudjana dan Abdurrahim, 1979). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Kelas kuat kayu berdasarkan kerapatan Kelas Kuat Kerapatan (gr/cm3)

I II III IV V

> 0,90 0,60-0,90 0,40-0,60 0,30-0,40 < 0,30 Sumber: Kartasudjana dan Abdurrahim (1979)

Kerapatan batang pinang berdasarkan variasi kedalaman (tepi kulit, tengah, empulur) yang terdapat pada variasi ketinggian (pangkal, tengah, ujung) menurut data statistik pada Lampiran 6 berpengaruh nyata. Bersarkan uji lanjut Duncan, bagian empulur dan tengah pada berbagai ketinggian tidak berbeda nyata satu sama lain namun berbeda dengan bagian ujung tepi kulit. Sedangkan bagian


(63)

tepi kulit pada ujung dan tengah berbeda nyata dengan bagian pangkal tepi kulit, dan bagian pangkal tepi kulit berbeda nyata dengan seluruh bagian. Perbedaan pengaruh tersebut karena pada bagian tepi kulit khususnya pada bagian pangkal kandungan ikatan pembuluh lebih banyak sehingga menghasilkan kerapatan yang paling tinggi, hal ini mengakibatkan pengaruh yang berbeda terhadap kerapatan batang pinang.

Penyusutan Tiga Arah

Penyusutan tiga arah bertujuan untuk melihat penyusutan batang pinang dalam tiga arah yang berbeda yaitu pada arah radial, tangensial dan longitudinal. Nilai rata-rata penyusutan 3 arah yaitu pada arah radial, longitudinal dan tangensial dari kadar air basah ke kadar air kering udara pada berbagai kedalaman dan ketinggian disajikan pada Gambar 16. Secara umum batang pinang bagian pangkal yang didominasi oleh ikatan pembuluh, penyusutannya lebih kecil bila dibandingkan batang tengah ataupun ujung yang lebih banyak disusun oleh parenkim.

Berdasarkan kedalaman batang, nilai penyusutan tertinggi ada di bagian pusat batang (empulur) dan semakin kecil pada bagian luar/dekat kulit. Nilai penyusutan tertinggi batang pinang terjadi pada arah tangensial kemudian radial dan yang terkecil adalah longitudinal (tangensial > radial > longitudinal). Hal ini sesuai dengan pendapat Wiryomartono (1976), peringkat kembang susut dalam kayu terbesar pada arah tangensial, sedang pada arah radial dan terkecil pada arah longitudinal


(64)

22, 3 27, 5 32 19 ,4 15, 1 25, 6 3,

7 5,9 8

0 10 20 30 40 50

Pangkal Tengah Ujung

Bagian Batang S u su t R a d ia l ( % ) Empulur Tengah Tepi Kulit (a) 15, 8 15, 8 4,

2 8,7 11

1,

6 5,3 6,

2 7, 5 0 10 20 30 40 50

Pangkal Tengah Ujung

Bagian Batang S u su t L o n g it u d in a l (% ) Empulur Tengah Tepi Kulit (b) 39 ,9 41 ,3 44 25, 1 35 ,1 36, 6 5, 8 10 ,3 8, 5 0 10 20 30 40 50

Pangkal Tengah Ujung

Bagian Batang S u su t T a n g e n si a l (% ) Empulur Tengah Tepi Kulit (c)

Gambar 16. Variasi rata-rata penyusutan berdasarkan ketinggian dan kedalaman batang pinang pada arah radial (a), longitudinal (b) dan tangensial (c)


(1)

Lampiran 7. Perhitungan susut tangensial batang pinang (%) Ulangan Variasi

Ketinggian (A)

Variasi

Kedalaman (B) 1 2 3 Rata-Rata

Pangkal Empulur 40,956 41,093 37,659 39,902 Tengah 20,796 26,865 27,705 25,122 Kulit 9,871 2,905 4,75 5,842 Tengah Empulur 38,938 40,618 44,562 41,372

Tengah 36,809 35,518 33,108 35,145 Kulit 3,233 11,674 16,25 10,385 Ujung Empulur 43,566 44,191 44,419 44,058

Tengah 37,313 36,105 36,55 36,656 Kulit 12,168 4,58 8,747 8,498 Rata-rata 27,072 27,061 28,194

Jumlah 243,650 243,549 253,750 Tabel dua arah variasi kedalaman dan ketinggian

Variasi Kedalaman Variasi Ketinggian

Empulur Tengah Kulit Jumlah

Pangkal 119,708 75,366 17,526 212,600 Tengah 124,118 105,435 31,157 260,710 Ujung 132,176 109,968 25,495 267,639 Jumlah 376,002 290,769 74,178 740,949

Tabel anova

SK DB JK KT F hitung F Tabel (5%) Kedalaman pada

Ketinggian 6 5474,509 912,4182 80,90754 * 2,66 Galat 18 202,991 11,277 Total 26 5877,199 226,046 Keterangan: * = Terdapat pengaruh nyata

Uji nyata duncan

Perlakuan Rata-Rata Notasi Pangkal Kulit 5,842 a

Ujung Kulit 8,498 a Tengah Kulit 10,386 a Pangkal Tengah 25,122 b Tengah Tengah 35,145 c Ujung Tengah 36,656 c Pangkal Empulur 39,903 c Tengah Empulu 41,373 c Ujung Empulur 44,059 c

- Setiap perlakuan (bagian) yang mempunyai huruf yang sama dinyatakan tidak berbeda nyata pada taraf 5%


(2)

Lampiran 8. Perhitungan susut longitudinal batang pinang (%) Ulangan Variasi

Ketinggian (A)

Variasi

Kedalaman (B) 1 2 3 Rata-Rata Pangkal Empulur 6,374 7,243 8,917 7,511

Tengah 2,66 1,522 9,09 4,424 Kulit 1,698 2,797 0,478 1,657 Tengah Empulur 24,136 12,473 10,993 15,867

Tengah 6,365 8,823 11,161 8,783 Kulit 0,968 3,703 11,363 5,344 Ujung Empulur 13,152 16,136 18,348 15,878

Tengah 11,587 11,479 9,936 11,001 Kulit 4,514 9,775 4,592 6,293 Rata-rata 7,939 8,216 9,430

Jumlah 71,454 73,951 84,878 Tabel dua arah variasi kedalaman dan ketinggian

Variasi Kedalaman Variasi Ketinggian

Empulur Tengah Kulit Jumlah Pangkal 22,534 13,272 4,973 40,779

Tengah 47,602 26,349 16,034 89,985 Ujung 47,636 33,002 18,881 99,519 Jumlah 117,772 72,623 39,888 230,283

Tabel anova

SK DB JK KT F hitung F Tabel (5%)

Ketinggian 2 220,834 110,417 8,077651 * 3,55 Kedalaman pada

Ketinggian 6 362,009 60,33483 4,413847 * 2,66 Galat 18 246,050 13,669

Total 26 828,893 31,880 Keterangan: * = Terdapat pengaruh nyata

Uji nyata duncan

Perlakuan Rata-Rata Notasi Pangkal Kulit 1,658 a

Pangkal Tengah 4,424 a Tengah Kulit 5,345 a Ujung Kulit 6,294 a Pangkal Empulur 7,511 a Tengah Tengah 8,783 a Ujung Tengah 11,001 a Tengah Empulur 15,867 a Ujung Empulur 15,879 a

- Setiap perlakuan (bagian) yang mempunyai huruf yang sama dinyatakan tidak berbeda nyata/berpengaruh nyata pada taraf 5%


(3)

Lampiran 9. Perhitungan susut radial batang pinang (%) Ulangan Variasi

Ketinggian (A)

Variasi

Kedalaman (B) 1 2 3 Rata-Rata Pangkal Empulur 20,998 26,476 19,463 22,312 Tengah 22,787 21,941 13,519 19,415

Kulit 2,149 3,414 5,797 3,786 Tengah Empulur 30,493 27,494 24,524 27,503 Tengah 15,903 12,793 16,742 15,146 Kulit 3,431 2,127 12,244 5,934 Ujung Empulur 35,84 32,805 27,375 32,006 Tengah 27,446 22,172 27,272 25,630 Kulit 11,384 7,216 5,421 8,007 Rata-rata 18,936 17,382 16,928

Jumlah 170,431 156,438 152,357 Tabel dua arah variasi kedalaman dan ketinggian

Variasi Kedalaman Variasi Ketinggian

Empulur Tengah Kulit Jumlah Pangkal 66,937 58,247 11,36 136,544

Tengah 82,511 45,438 17,802 145,751 Ujung 96,02 76,89 24,021 196,931 Jumlah 245,468 180,575 53,183 479,226

Tabel anova

SK DB JK KT F hitung F Tabel (5%) Kedalaman pada

Ketinggian 6 2225,896 370,9827 27,02894 * 2,66 Galat 18 247,057 13,725

Total 26 2708,166 104,160 Keterangan: * = Terdapat pengaruh nyata

Uji nyata duncan

Perlakuan Rata-Rata Notasi Pangkal Kulit 3,787 a

Tengah Kulit 5,934 a Ujung Kulit 8,007 a Tengah Tengah 15,146 b Pangkal Tengah 19,146 b Pangkal Empulur 22,312 b Ujung Tengah 25,63 b Tengah Empulur 27,504 b Ujung Empulur 32,007 b

- Setiap perlakuan (bagian) yang mempunyai huruf yang sama dinyatakan tidak berbeda nyata pada taraf 5%


(4)

Lampiran 10. Perhitungan Modulus of Elasticity batang pinang (kgf/cm2) Ulangan Variasi

Ketinggian (A)

Variasi

Kedalaman (B) 1 2 3 Rata-Rata

Pangkal Empulur 1542,06 626,555 3683,456 1950,690 Tengah 11070,44 14312,66 9369,206 11584,102 Kulit 76270,36 75027,59 193158,5 114818,816 Tengah Empulur 2551,096 5935,601 3080,639 3855,778

Tengah 4885,328 10233,67 8659,478 7926,158

Kulit 32057,34 18399,33 39335,86 29930,843 Ujung Empulur 2013,864 117,4202 1961,863 1364,382

Tengah 4767,905 11930,05 7354,648 8017,534

Kulit 95358,1 92226,04 57794,47 81792,870 Rata-rata 25612,943 25423,212 36044,240

Jumlah 230516,493 228808,916 324398,100 Tabel dua arah variasi kedalaman dan ketinggian

Variasi Kedalaman Variasi Ketinggian

Empulur Tengah Kulit Jumlah

Pangkal 5852,071 34752,31 344456,5 385060,900 Tengah 11567,34 23778,48 89792,53 125138,400 Ujung 4093,147 24052,6 245378,6 273524,300 Jumlah 21512,558 82583,390 679627,630 783723,600

Tabel anova

SK DB JK KT F hitung F Tabel (5%) Kedalaman pada

Ketinggian 6 36625918157 6104319693 10,59667 * 2,66 Galat 18 10369079222 576059956,8 Total 26 50773464087 1952825542 Keterangan: * = Terdapat pengaruh nyata

Uji nyata duncan

Perlakuan Rata-Rata Notasi Ujung Empulur 1364,382 a

Pangkal Empulur 1950,690 a Tengah Empulur 3855,779 a Tengah Tengah 7926,159 a Ujung Tengah 8017,534 a Pangkal Tengah 11584,102 a Tengah Kulit 29930,843 a Ujung Kulit 81792,870 b Pangkal Kulit 114818,817 b

- Setiap perlakuan (bagian) yang mempunyai huruf yang sama dinyatakan tidak berbeda nyata pada taraf 5%


(5)

Lampiran 11. Perhitungan Modulus Of Rupture batang pinang (Kgf/cm2) Ulangan Variasi

Ketinggian (A)

Variasi

Kedalaman (B) 1 2 3 Rata-Rata

Pangkal Empulur 10,783 21,576 40,099 24,152 Tengah 150,083 176,98 75,62 134,227

Kulit 1096,262 881,078 667,999 881,779 Tengah Empulur 16,071 5,799 35,756 19,208

Tengah 49,265 104,302 68,709 74,092 Kulit 544,33 193,914 756 498,081 Ujung Empulur 22,837 43,889 20,773 29,166

Tengah 44,896 102,179 66,712 71,262 Kulit 1051,597 1039,41 512,445 867,816 Rata-rata 331,791 285,458 249,346

Jumlah 2986,124 2569,120 2244,110 Tabel dua arah variasi kedalaman dan ketinggian

Variasi Kedalaman Variasi Ketinggian

Empulur Tengah Kulit Jumlah Pangkal 72,4558 402,683 2645,339 3120,478

Tengah 57,626 222,276 1494,244 1774,146 Ujung 87,499 213,787 2603,448 2904,734 Jumlah 217,580 838,746 6743,031 7799,358

Tabel anova

SK DB JK KT F hitung F Tabel (5%) Kedalaman pada

Ketinggian 6 3058177,235 509696,2 20,28124 * 2,66

Galat 18 452365,478 25131,420 Total 26 3626740,847 139490 Keterangan: * = Terdapat pengaruh nyata

Uji nyata duncan

Perlakuan Rata-Rata Notasi Tengah Empulur 19,209 a

Pangkal Empulur 24,153 a Ujung Empulur 29,166 a Ujung Tengah 71,262 a Tengah Tengah 74,092 a Pangkal Tengah 134,228 a Tengah Kulit 498,081 b Ujung Kulit 867,816 c Pangkal Kulit 881,780 c


(6)

Lampiran 12. Perhitungan keawetan alami batang pinang melalui uji kubur Kehilangan berat (%)

Ulangan Variasi

Ketinggian (A)

Variasi

Kedalaman (B) 1 2 3 Rata-Rata

Pangkal Empulur 88,732 90,322 78,443 85,832 Tengah 56,76 54,633 42,069 51,154 Kulit 9,402 3,413 1,636 4,817 Tengah Empulur 62,376 85,889 91,256 79,840

Tengah 62,5 31,25 38,168 43,972 Kulit 27,363 19,201 29,667 25,410 Ujung Empulur 77,778 68,317 76,25 74,115

Tengah 57,727 19,036 49,711 42,158 Kulit 27,909 22,442 29,487 26,612 Rata-rata 52,283 43,833 48,520

Jumlah 470,547 394,503 436,687 Tabel dua arah variasi kedalaman dan ketinggian

Variasi Kedalaman Variasi Ketinggian

Empulur Tengah Kulit Jumlah Pangkal 257,497 153,462 14,451 425,410

Tengah 239,521 131,918 76,231 447,670 Ujung 222,345 126,474 79,838 428,657 Jumlah 719,363 411,854 170,520 1301,737

Tabel anova

SK DB JK KT F hitung F Tabel (5%) Kedalaman pada

Ketinggian 6 18026,24 3004,373 24,28799 * 2,66 Galat 18 2226,562 123,6979

Total 26 20284,94 780,19 Keterangan: * = Terdapat pengaruh nyata

Uji nyata duncan

Perlakuan Rata-Rata Notasi Pangkal Kulit 4,817 a

Tengah Kulit 25,410 b Ujung Kulit 26,613 b Ujung Tengah 42,158 b Tengah Tengah 43,973 b Pangkal Tengah 51,154 b Ujung Empulur 74,115 c Tengah Empulur 79,840 c Pangkal Empulur 85,832 c

- Setiap perlakuan (bagian) yang mempunyai huruf yang sama dinyatakan tidak berbeda nyata pada taraf 5%