Hubungan Harapan dengan Intensitas Nyeri pada Pasien Kanker di RSUP H. Adam Malik Medan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kanker
2.1.1
Pengertian kanker
American Cancer Society (2010) menyatakan bahwa kanker adalah
sekelompok penyakit kompleks yang dicirikan dengan pertumbuhan dan
penyebaran sel abnormal yang tidak terkontrol. Naland, Willie, dan Setiawan
(2007) mengatakan bahwa kanker adalah sekelompok penyakit yang ditandai
dengan pertumbuhan tidak terkendali sel tubuh tertentu yang berakibat
merusak sel dan jaringan tubuh lain, bahkan sering berakhir dengan kematian.
Lubis dan Hasnida (2009) berpendapat bahwa kanker adalah penyakit yang
tidak mengenal status sosial dan dapat menyerang siapa saja dan muncul
akibat pertumbuhan tidak normal dari sel-sel jaringan tubuh yang berubah
menjadi sel kanker dalam perkembangannya.
2.1.2
Faktor risiko kanker menurut Lemone et al. (2015) :
2.1.2.1 Hereditas
Diperkirakan 5% dari seluruh kanker memiliki komponen
hereditas yang kuat (American Cancer Society, 2010). Human Genome
Project mengidentifikasi 50.000 mutasi genetik yang berkaitan dengan
kanker melalui pemeriksaan pada 4.800 gen dan 250.000 tumor
(Forbes, et al., 2008 dalam LeMone et al., 2015). Untuk sebagian besar
kanker, penelitian belum membedakan pemindahan genetik yang
sebenarnya
dari
penyebab
lingkungan.
Meskipun
penelitian
6
Universitas Sumatera Utara
7
selanjutnya diperlukan untuk mengidentifikasi kanker yang terjadi
akibat keturunan dari gen yang tidak sempurna, predisposisi keluarga
terhadap keganasan harus dipertimbangkan menjadi faktor risiko
sehingga individu yang beresiko dapat mengurangi perilaku yang
meningkatkan kanker.
2.1.2.2 Jenis kelamin
Jenis kelamin merupakan faktor resiko untuk jenis kanker
tertentu. Kanker payudara merupakan kanker yang paling sering
dialami oleh wanita, kanker prostat pada pria. Insidens kanker kandung
kemih sekitar empat kali lebih tinggi pada pria dibanding wanita.
Kanker tiroid terjadi lebih sering pada wanita, sedangkan kanker
kandung kemih terlihat lebih sering terjadi pada pria (American
Cancer Society, 2010).
2.1.2.3 Kemiskinan
Kemiskinan merupakan resiko kanker yang lebih tinggi
dibandingkan populasi pada umumnya. Kurangnya asuransi kesehatan
dan akses yang tidak adekuat terhadap layanan kesehatan, terutama
skrining preventif dan konseling dapat menjadi faktor utama
(American Cancer Society, 2010).
2.1.2.4 Stres
Stres yang terus menumpuk akan mengganggu kesehatan
individu dan menimbulkan penyakit. Dimana stress menyebabkan
Universitas Sumatera Utara
8
gangguan keseimbangan sel dalam tubuh sehingga dapat berubah sifat
menjadi ganas dan menyebabkan kanker (Junaidi, 2007).
2.1.2.5 Makanan
Hindari makanan yang mungkin mengandung zat karsinogen
(zat penyebab kanker) seperti daging gosong, daging asap, makanan
yang sudah berjamur, makanan dengan zat berbahaya, makanan yang
diawetkan dengan formalin di luar batas keamanan, dll (Naland,
Willie, & Setiawan ,2007).
2.1.2.6 Pekerjaan
Resiko pekerjaan dapat dipertimbangkan menjadi dapat
dikontrol atau tidak dapat dikontrol. Resiko spesifik bermacam-macam
sesuai dengan pekerjaan. Misalnya, pekerja diluar lapangan seperti
petani dan pekerja bangunan terpajan pada radiasi matahari, staf
layanan kesehatan seperti tehnisi rontgen dan peneliti biomedis
terpajan dengan radiasi terionisasi dan zat karsinogenik (Lemone et al.,
2015).
2.1.2.7 Infeksi
Salah satu virus yang menyebabkan kanker adalah virus HIV
(human immunodefiency virus). Dimana virus HIV ini dapat merusak
sistem kekebalan tubuh. Akibatnya wanita yang terinfeksi virus HIV
akan rentan terhadap infeksi HPV (Lubis & Hasnida, 2009).
Universitas Sumatera Utara
9
2.1.2.8 Penggunaan tembakau
Penyakit yang berhubungan dengan rokok tetap menjadi
penyebab kematian yang paling dapat dicegah didunia (American
Cancer Society, 2010). Kanker paru diyakini paling dapat dihindari
karena berhubungan dengan rokok. Banyak zat lain ditembakau adalah
pendukung yang tinggi sehingga semakin besar dosis dan semakin
lama penggunaan zat, semakin tinggi resiko menimbulkan kanker
(Lemone et al., 2015). Penelitian menunjukkan resiko kematian kanker
paru bawah yang signifikan bagi perokok sebelumnya
jika
dibandingkan dengan perokok saat ini.
2.1.2.9 Penggunaan alkohol
Konsumsi alkohol sebaiknya dihindari, karena berkaitan
dengan meningkatnya kejadian kanker rongga mulut, kerongkongan,
payudara, dll (Naland, Willie, & Setiawan, 2007).
2.1.2.10 Penggunaan obat rekreasional
Penggunaan obat rekreasional sering mendukung gaya hidup
yang tidak sehat sehingga meningkatkan resiko kanker umum;
misalnya, penggunaan obat sering kali tidak memelihara nutrisi yang
adekuat. Selanjutnya, obat rekreasional berdampak sebagai pendukung
karena efek supresifnya terhadap sistem imun. Meskipun obat
rekreasional tidak berdampak secara langsung terhadap perkembangan
kanker, marijuana terbukti menyebabkan kerusakan kromosom yang
Universitas Sumatera Utara
10
kemungkinan dalam beberapa waktu juga mengakibatkan kanker
(Lemone et al., 2015).
2.1.2.11 Obesitas
Kelebihan berat badan dan obesitas berkontribusi terhadap 14%
hingga 20% dari seluruh kematian yang berhubungan dengan kanker di
Amerika Serikat (American Cancer Society, 2010). Lemak tubuh yang
berlebihan berhubungan dengan peningkatan risiko kanker yang
bergantung dengan hormon (Lemone et al., 2015). Individu yang
gemuk sering kali memiliki jumlah hormon yang berlebih dan
mendukung keganasan tergantung hormon pada payudara, usus,
ovarium, endometrium, dan prostat.
2.1.3
Gejala kanker dan jenisnya menurut (Naland et al., 2007) :
a.
Kanker usus besar dan saluran kemih memiliki gejala seperti
perubahan pola buang air besar (misal, diare atau sembelit
menetap) atau pola buang air kecil terasa nyeri dan sering
terutama bila disertai darah.
b.
Kanker kulit, lidah dan selaput lendir mulut memiliki gejala
seperti luka yang tidak kunjung sembuh, dikulit ataupun di
rongga mulut (lidah, gusi). Pada kanker kulit terjadi perubahan
pola andeng-andeng (tahi lalat) yang membesar, sekitarnya
menjadi merah, gatal, timbul luka tak kunjung sembuh, mudah
berdarah, dll.
Universitas Sumatera Utara
11
c.
Kanker leher rahim dan kanker rahim memiliki gejala seperti
keputihan atau perdarahan di luar haid, haid nyeri, atau haid
berlebihan dari biasanya.
d.
Kanker payudara memiliki gejala seperti benjolan di payudara,
apalagi disertai perdarahan dan luka di puting susu, penebalan
atau luka di kulit di atas benjolan.
e.
Kanker getah bening memiliki gejala seperti benjolan abnormal
di bagian tubuh lain, misal di leher, ketiak, selangkangan, dll.
f.
Kanker kerongkongan, kanker lambung dan kanker saluran
pencernaanmemiliki gejala seperti kesulitan atau rasa terganjal
waktu menelan, gangguan lambung membandel, berat badan
menurun atau bertambah dratis lebih dari 6 bulan tanpa sebab
nyata.
g.
Kanker tiroid dan kanker paru-paru memiliki gejala seperti
sesak nafas, batuk, dada sesak diserati nyeri, terutama bila
dahak mengandung darah.
h.
Kanker pita suara memiliki gejala seperti suara berubah
menjadi parau atau hilang lebih dari 2 bulan.
i.
Kanker nasofaring memiliki gejala seperti dahak atau hisapan
lender dari hidung berdarah terutama pagi hari, telinga tuli
sebelah terlebih jika disertai benjolan di leher.
Universitas Sumatera Utara
12
2.2
Nyeri
2.2.1
Pengertian nyeri
Menurut The Intermational Association for The Study of Pain (1979
dalam Prasetyo, 2010) nyeri merupakan pengalaman sensori subjektif dan
emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan
yang aktual atau potensial, atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian
dimana terjadi kerusakan. Rasa nyeri merupakan fenomena subjektif yang
kompleks dan melibatkan faktor biologis, psikologis serta sosiokultural.
Sedangkan menurut Robinson dan Lyndon (2016), rasa nyeri adalah apapun
yang dikatakan pasien tentangnya dan terjadi ketika pasien mengatakan rasa
itu benar terjadi.
2.2.2
Klasifikasi Nyeri menurut Harianto dan Rini (2015) antara lain :
2.2.2.1 Nyeri akut
Nyeri yang terjadi setelah terjadi cedera akut, penyakit, atau
intervensi bedah. Nyeri akut berdurasi singkat kurang dari enam bulan
memiliki onset tiba-tiba dan terlokalisasi.
2.2.2.2 Nyeri kronik
Nyeri yang berlangsung lebih lama dibandingkan nyeri
akut.Intensitasnya bervariasi dari ringan samapai berat dan biasanya
berlangsung lebih dari enam bulan.
Universitas Sumatera Utara
13
2.2.2.3 Nyeri kutaneus atau superficial (Cutaneus pain)
Ada dua macam bentuk nyeri superficial. Bentuk pertama
adalah nyeri dengan onset yang tiba-tiba dan mempunyai kualitas yang
tajam. Bentuk kedua adalah nyeri dengan onset yang lambat disertai
rasa terbakar. Nyeri superficial dapat dirasakan pada seluruh
permukaan kulit klien.
2.2.2.4 Nyeri somatis (deep somatic pain)
Nyeri somatis merupakan fenomena nyeri yang kompleks.
Struktur somatik merupakan bagian pada tubuh seperti otot-otot atau
tulang. Nyeri biasanya bersifat difus atau menyebar.
2.2.2.5 Nyeri visceral
Nyeri visceral biasanya mengacu pada bagian visceral
abdomen. Penyebab nyeri adalah semua rangsangan yang dapat
menstimulasi ujung saraf nyeri di daerah visceral. Rangsangan tersebut
dapat berupa iskemia jaringan visceral, spasme suatu visceral
berongga, rangsang kimiawi, dan distensi berlebihan suatu organ
visceral.
2.2.2.6 Reffered pain
Nyeri dalam dapat diakibatkan dari gangguan organ visceral
atau lesi pada bagian somatis dalam, misal otot, ligamen, dan vertebra.
Keduanya dapat dirasakan menyebar sampai ke bagian permukaan
kulit. Hal ini dikarenakan serabut saraf visceral bersinapsis di dalam
Universitas Sumatera Utara
14
medulla spinalis dengan beberapa neuron urutan kedua yang sama
yang menerima serabut nyeri dari kulit.
2.2.2.7 Nyeri psikogenik
Nyeri
psikogenik
disebut
juga
psichalgia
atau
nyeri
somatororm adalah nyeri yang tidak diketahui secara fisik. Nyeri ini
biasanya timbul karena pengaruh psikologis, mental, emosional, atau
faktor perilaku.
2.2.3
Teori tentang nyeri
Tiga buah teori berupaya untuk menjelaskan mekanisme nyeri
(Robinson & Lyndon, 2016) :
2.2.3.1 Spesifitas
Teori spesifitas mempertahankan pernyataan bahwa serabut
saraf perifer dengan spesialisnya masing-masing bertanggung jawab
atas tranmisi rasa nyeri. Teori yang berorientasi biologis ini tidak
memberikan penjelasan tentang toleransi nyeri atau tentang faktor
sosial, budaya atau pun empiris yang mempengaruhi rasa nyeri.
2.2.3.2 Pola nyeri
Teori pola menunjukkan bahwa stimulasi semua ujung saraf
yang berlebihan akan menghasilkan sebuah pola yang unik dan
ditafsirkan oleh korteks serebri sebagai rasa nyeri. Meskipun
membicarakan kemampuan otak dalam menentukan jumlah, intensitas
Universitas Sumatera Utara
15
dan tipe asupan-sinyal, namun teori ini tidak memberikan penjelasan
tentang pengaruh nonbiologis pada persepsi serta tranmisi rasa nyeri.
2.2.3.3 Gate control menurut Melzack dan Wall (1965 dalam
Prasetyo, 2010)
Teori gate control (kendali gerbang) mengatakan bahwa jenis
tertentu mekanisme gerbang dalam medulla spinalis memungkinkan
serabut saraf menerima sensasi nyeri. Teori ini telah mendorong
pendekatan yang lebih holistik dalam nonbiologis rasa nyeri. Teknik
mengelola rasa nyeri sepert stimulasi kutaneus, pengalihan perhatian
dan akupuntur berlandaskan sebagian pada teori ini.
2.2.4
Fisiologi nyeri
Luckman dan Sorensen’s (1987) menjelaskan bahwa mekanisme nyeri
melibatkan 4 proses yaitu:
2.2.4.1 Tranduksi
Tranduksi terjadi ketika nosiseptor yang terletak pada bagian
perifer tubuh distimulasi oleh stimulus biologis, mekanis, listrik,
thermal, radiasi, dan lainnya, serta serabut nyeri cepat (fast pain) dan
serabut nyeri lambat (Hariyanto dan Rini, 2015).
2.2.4.2 Transmisi
Tranmisi terjadi dimana impuls nyeri kemudian ditransmisikan
serat afferent (A-delta dan C) ke medulla spinalis melalui dorsal horn,
di mana impuls akan bersinapsis di substansia gelatinosa (lamina II
Universitas Sumatera Utara
16
dan III). Kemudian, menuju traktus spinothalamus anterior dan
lateral. Beberapa impuls yang melewati traktus spinotalamus lateral
diteruskan langsung ke thalamus tanpa singgah di formation retikularis
membawa impuls fast pain. Pada bagian thalamus korteks serebri
inilah individu dapat mempersepsikan, menggambarkan, melokalisasi,
menginterpretasikan, dan mulai merespons nyeri (Prasetyo, 2010).
2.2.4.3 Modulasi
Sirkuit neural yang diyakini terjadi di korteks serebral
berhubungan dengan hipotalamus, otak tengah, dan medulla. Sirkuit
ini berinteraksi dengan terminal akson sensori perifer dalam kornu
dorsalis di medulla spinalis untuk mengontrol neuron secara selektif
yang mentransmisikan sinyal nyeri. Akibatnya, nyeri yang berespons
dapat dimodifikasi, yaitu diubah, ditingkatkan, atau dikurangi. Neuron
dalam sirkuit ini menghasilkan opiod endogen, biasanya terjadi di
neuropeptida yang mirip morfin (Lemone et al., 2015).
2.2.4.4 Persepsi
Proses persepsi tidak hanya berkaitan dengan prosese fisiologis
atau proses anatomis saja, akan tetapi juga meliputi kognitif dan
memori (Davis, 2003 dalam Harahap, 2007). Oleh karena itu faktor
psikologis, emosional dan behavioral juga muncul sebagai respon
dalam mempersepsikan nyeri tersebut. Proses ini jugalah yang
Universitas Sumatera Utara
17
menjadikan nyeri tersebut suatu fenomena yang multidimensional
(Luckman & Sorensen’s, 1987).
2.2.5 Mutidimensional nyeri
Nyeri merupakan fenomena yang multidimensional. Ahles dan
koleganya (1983 dalam Ardinata. 2007) mengkategorikan lima dimensi nyeri
meliputi dimensi fisiologis, sensori, afektif, kognitif, dan behavior (perilaku).
McGuire (1987 dalam Harahap, 2007), menambahkan dimensi sosio-kultural
sabagai dimensi tambahan dalam multidimensional dari fenomena nyeri.
Keenam dimensi saling berhubungan, berinteraksi serta dinamis yang
dijelaskan sebagai berikut:
2.2.5.1 Dimensi fisiologi
Berdasarkan dimensi fisiologis terdapat dua karakteristik yang
melekat dalam pengalaman nyeri, yaitu: durasi dan pola nyeri. Ada dua
jenis nyeri fundamental yang diklasifikasikan berdasarkan durasinya
yaitu nyeri akut dan kronis (Robinson & Lyndon, 2016). Sedangkan
pola nyeri meliputi awitan, durasi, dan nyeri berulang atau interval tanpa
nyeri (Berman et al., 2009).
Sumber nyeri pada kasus kanker sangatlah luas. Rasa nyeri dapat
diklasifikasikan bukan hanya berdasarkan durasi tetapi juga berdasarkan
sumber fisiologiknya yaitu nyeri nosiseptif dan nyeri neuropatik
(Robinson & Lyndon, 2016).
Universitas Sumatera Utara
18
2.2.5.2 Dimensi afektif
Dimensi afektif dari nyeri mempengaruhi respon individu
terhadap nyeri yang dirakannya. Menurut McGuire dan Sheilder (1993
dalam Ardinata, 2007), dimensi afektif dari nyeri indentik dengan sifat
personal tertentu dari individu. Pasien-pasien yang mudah sekali
mengalami kondisi depresi atau gangguan psikologis lainnya lebih
mudah mengalami nyeri yang sangat dibandingkan dengan pasien
lainnya. Seseorang yang menderita kanker kronis dan merasa takut akan
kondisi penyakitnya akan semakin meningkatkan persepsi nyerinya
(Prasetya, 2010).
2.2.5.3 Dimensi sosio-kultural
Dimensi sosio-kultural nyeri terdiri dari berbagai variasi dari
faktor demografi, adat istiadat, agama, dan faktor-faktor lain yang
berhubungan yang dapat mempengaruhi persepsi dan respon seseorang
terhadap nyerinya (McGuire & Sheidler, 1993 dalam Ardinata, 2007).
Kultur atau budaya memiliki peran yang kuat untuk menentukan faktor
sikap individu dalam mempersepsikan dan merespon nyerinya.
Sementara itu sikap individu juga berkaitan dengan faktor usia, jenis
kelamin, dan ras. Standar budaya juga mengajarkan individu mengenai
seberapa besar nyeri harus ditoleransi, jenis nyeri apa yang harus
dilaporkan, kepada siapa harus melaporkan nyeri, dan apa jenis terapi
yang harus dicari.
Universitas Sumatera Utara
19
2.2.5.4 Dimensi sensori
Dimensi sensori pada nyeri berhubungan dengan lokasi dimana
nyeri berhubungan dengan lokasi dimana nyeri itu timbul dan
bagaimana rasanya. Dimensi sensori pada nyeri meliputi lokasi, kualitas,
dan intensitas nyeri (Harahap, 2007).
Lokasi dari nyeri memberikan petunjuk nyeri bila ditinjau dari
segi aspek sensori.Lokasi nyeri dapat diketahui dari pasien itu sendiri.
Kualitas nyeri adalah berkaitan dengan bagaiman nyeri itu sebenarnya
dirasakan individu. Kualitas nyeri seringkali digambarkan dengan
berdenyut, menyebar, menusuk, terbakar dan gatal.
Intensitas nyeri adalah sejumlah nyeri yang dirasakan oleh
individu dan seringkali digambarkan dengan kata-kata seperti ringan,
sedang, dan berat (Harahap, 2007).
2.2.5.5
Dimensi kognitif
Dimensi kognitif dari nyeri menyangkut pengaruh nyeri yang
dirasakan oleh individu terhadapa proses berfikirnya atau pandangan
individu terhadap dirinya sendiri (Ahles et al., 1983 dalam Ardinata,
2007). Respon pikiran individu terhadap nyeri yang dirasakan dapat
diasosiasikan dengan kemapuan koping individu menghadapi nyerinya.
Barkwell (2005) melaporkan bahwa pasien yang berpendapat nyerinya
sebagai suatu tantangan melaporkan nyeri lebih rendah dengan tingkat
depresi yang rendah juga dan disertai dengan mekanisme koping yang
Universitas Sumatera Utara
20
lebih baik jika dibandingkan dengan pasien yang menganggap nyerinya
adalah sebagai hukuman atau sebagai musuh.
Pengetahuan adalah aspek yang penting dalam dimensi kognitif.
Pengetahuan terhadap penanganan nyeri dapat mempengaruhi respon
seseorang terhadap nyeri tersebut dan dapat mengatasinya. Nyeri itu
sendiri dapat dimodifikasi oleh bagaimana seseorang berfikir tentang
nyeri yang dirasakannya, apa saja pengharapannya atas nyerinya, dan
apa makna nyeri tersebut dalam kehidupannya (Ardinata, 2007).
2.2.5.6 Dimensi perilaku (behavior)
Dimensi perilaku dari nyeri meliputi serangkaian perilaku yang
dapat diobservasi yang berhubungan dengan nyeri yang dirasakan dan
bertindak sebagai cara mengkomunikasikan ke lingkungan bahwa
seseorang tersebut mengalami atau merasakan nyeri (Fordyce, 1976
dalam Ardinata, 2007)
Tampilan perilaku nyeri yang diperlihatkan seseorang dapat
berupa guarding, bracing, grimacing, keluhan verbal, dan perilaku
mengkonsumsi obat. Fordyce (1976 dalam Ardinata, 2007) mengajukan
bahwa perilaku nyeri dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau
dapat juga direinforce oleh perhatian, support sosial, atau menghindari
kegiatan yang dapat merangsang nyeri seperti bekerja di kantor,
pekerjaan rumah tangga.
Universitas Sumatera Utara
21
2.2.6
Nyeri pada kanker
Keterlibatan kanker secara langsung merupakan penyebab utama nyeri
yang dialami oleh individu yang menderita kanker .Keterlibatan kanker
meliputi penyakit tulang metastatik, kompresi saraf, dan keterlibatan organ
visceral. Nyeri akibat keterlibatan kanker diyakini bersifat mekanik, terjadi
karena adanya peregangan jaringan dan kompresi.Zat kimia yang berasal dari
iskemia atau metabolit kanker dan toksin yang mengaktivasi dan membuat
peka nosiseptor dan mekanoreseptor bertanggung jawab terhadap nyeri
kanker. Efek samping atau efek toksik terapi kanker (mis., pembedahan,
radiasi, dan kemoterapi) juga dapat menyebakan nyeri kanker. Kedua efek ini
biasanya mengakibatkan jaringan yang mengalami trauma.
2.2.7
Dampak nyeri kronis terhadap individu
Nyeri kronis dapat mengakibatkan klien frustasi dan sulit bagi individu
untuk menghadapinya. Pasien dengan nyeri kronis mungkin terlihat sangat
takut, cemas, lelah dan depresi. Banyak individu yang mengalami nyeri kronis
menjadi putus asa dan mengasingkan diri mereka. Nyeri melelahkan individu
baik secara fisik dan mental (Luckman & Sorensen, 1993).
2.2.8 Pengertian intensitas nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri yang
dirasakan oleh seseorang (Hariyanto & Rini , 2015).
Universitas Sumatera Utara
22
2.2.9
Faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas nyeri menurut Hariyanto
& Rini (2015) :
2.2.9.1 Usia
Usia merupakan variabel penting yang memengaruhi nyeri,
khususnya pada anak-anak dan lansia. Perbedaan perkembangan yang
ditemukan di antara kelompok usia ini dapat memengaruhi seseorang
bereaksi terhadap nyeri (Hariyanto & Rini, 2015).
2.2.9.2 Jenis kelamin
Secara umum laki-laki dan perempuan tidak berbeda secara
bermakna dalam merespons nyeri. Hanya beberapa budaya yang
menganggap bahwa laki-laki lebih berani dan tidak menangis ketika
merasakan nyeri dibandingkan perempuan seperti pada bangsa
Somalia (Arthurs, 2010).
2.2.9.3 Kebudayaan
Keyakinan dan nilai budaya memengaruhi cara seseorang
mengatasi nyeri. Selain itu, budaya dan etnisitas juga memengaruhi
bagaimana seseorang merespons terhadap nyeri (Hariyanto & Rini,
2015).
2.2.9.4 Makna nyeri
Makna nyeri mempengaruhi pengalaman seseorang terhadap
nyeri dan caranya beradaptasi terhadap nyeri. Makna ini berkaitan erat
Universitas Sumatera Utara
23
dengan latar belakang budaya orang tersebut. Setiap individu
akanmempersepsikan nyeri dengan cara berbeda-beda (Potter & Perry,
2005).
2.2.9.5 Perhatian
Tingkat seseorang dalam memfokuskan perhatiannya pada
nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat
dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya
pengalihan dihubungkan dengan respons nyeri yang menurun
(Prasetyo, 2010).
2.2.9.6 Ansietas
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks.
Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga
dapat menimbulkan suatu perasaan ansietas (Prasetyo, 2010).
2.2.9.7 Keletihan
Keletihan yang dirasakan individu akan meningkatkan sensasi
nyeri dan menurunkan kemampuan koping individu (Prasetyo, 2010).
2.2.9.8 Pengalaman terdahulu
Setiap orang belajar dari pengalaman nyeri. Seseorang yang
sering mengalami nyeri atau sejak lama mengalami nyeri dengan jenis
yang samaberulang-ulang, kemudian nyeri berhasil diatasi, akan
menyebabkan individu tersebut lebih mudah menginterpretasikan
sensasi nyeri. Sebaliknya, apabila seseorang tidak pernah merasakan
Universitas Sumatera Utara
24
nyeri makna persepsi pertama nyeri dapat mengganggu koping
terhadap nyeri (Hariyanto & Rini, 2015).
2.2.9.9 Gaya koping
Sumber-sumber koping seperti komunikasi dengan keluarga
atau melakukan latihan dapat mengurangi tingkat nyeri. Dalam proses
nyeri,
seseorang seringkali
menemukan
berbagai
cara
untuk
mengembangkan koping terhadap efek fisik dan psikologis nyeri.
Namun, nyeri lebih lanjut juga dapat menyebabkan ketidakmampuan
koping, baik sebagian maupun keseluruhan (Hariyanto & Rini, 2015).
2.2.9.10 Dukungan keluarga dan sosial
Faktor lain yang bermakna mempengaruhi respons nyeri adalah
kehadiran orang-orang terdekat dan bagaimana sikap mereka terhadap
seseorang yang mengalami nyeri (Hariyanto & Rini, 2015).
2.2.10Pengukuran intensitas nyeri
2.2.10.1 Skala Numerik Nyeri (Numeric Rating Scale)
Berupa metode cepat untuk menentukan persepsi pasien atas
intensitas nyeri yang dirasakannya. Mintalah kepada pasien untuk
menentukan nilai nyeri yang dirasakannya pada skala bilangan 0 hingga
10; angka 0 mempresentasikan keadaan tanpa nyeri sedangkan angka 10
mempresentasikan keadaan nyeri paling hebat yang dapat dibayangkan
(Robinson & Lyndon, 2016). Skala numerik nyeri valid digunakan
Universitas Sumatera Utara
25
untuk mengkaji nyeri pada berbagai tipe nyeri seperti nyeri akut, nyeri
pada kanker, dll.
Gambar 1.Skala Numerik Nyeri
2.2.10.2 Brief Pain Inventory
Pengukuran BPI mengkaji keparahan (intensitas) nyeri yang
dialami oleh pasien yaitu : nyeri paling buruk, nyeri paling ringan, nyeri
sedang (rata-rata) dan nyeri sekarang. BPI juga mengukur sejauh mana
nyeri mengganggu fungsi dalam melakukan tujuh kegiatan sehari-hari
termasuk bagaimana hubungan dengan orang lain, menikmati hidup,
suasana hati, tidur, kemampuan berjalan, aktivitas sehari-hari, dan
bekerja. Untuk menilai intensitas nyeri dan gangguan (interference)
terhadap fungsi sehari-hari adalah dengan menggunakan skala numeric
dengan skala 0-10 (Cleeland, 2009). BPI juga menanyakan lokasi nyeri,
jenis pengobatan atau obat yang dikonsumsi dan persentasi keyakinan
pasien tehadap pengobatan atau obat yang dikonsumsi bisa mengurangi
nyeri yang dialami (Cleeland, 2009).
Universitas Sumatera Utara
26
2.3
Harapan
2.3.1
Pengertian harapan
Menurut teori harapan dalam Lindley dan Stephen (2004), harapan
merupakan
persepsi
individu
terkait
kapasitas
mereka
untuk
mengkonseptualisasikan tujuan-tujuan yang jelas, mengembangkan strategi
untuk mencapai tujuan (pathway thinking), mempertahankan motivasi untuk
menggunakan strategi tersebut (agency thinking). Lopez dan Snyder (2004)
berpendapat bahwa harapan merupakan pikiran atau keyakinan individu untuk
mempertahankan dalam mencapai tujuan. Selanjutnya Lopez (2009)
mengatakan bahwa ada banyak defenisi yang berbeda mengenai harapan itu
sendiri, yang secara umum bisa dianggap sebagai keadaan mental yang positif
tentang kemampuan untuk memperoleh tujuan-tujuan.
2.3.2
Konseptualisasi harapan
Konseptualisasi tentang harapan menurut Snyder dapat dikelompokkan
menjadi dua yaitu kategori berbasis emosi dan berbasis kognitif.
2.3.2.1 Hope: Berbasis emosi
Para penelti melihat hope sebagai hal yang layak untuk diraih
apabila tujuan-tujuannya; memiliki alasan mampu untuk diraih,
dibawah kontrol, dipandang penting oleh individu, dapat diterima oleh
sosial dan moral. Marcel memandang harapan sebagai perasaan yang
hadir ketika individu menghadapi kondisi yang tampaknya akan
Universitas Sumatera Utara
27
mengarah pada keputusasaan (Lopez & Snyder, 2004). Emosi
dikendalikan oleh kognitif.
2.3.2.2 Hope : Berbasis kognitif
Hope merupakan sebuah kognisi lebih banyak memperoleh
perhatian dalam penelitian dibandingkan dengan hope sebagai emosi.
Hope merupakan sebuah pikiran atau keyakinan yang membolehkan
individu untuk terus bergerak kearah tujuan-tujuan. Breznitzs juga
menempatkan harapan secara kognitif-hope relates to a description of
cognitive state. Ia menyatakan agar sebuah harapan mempengaruhi
individu maka harapan tersebut harus cukup kuat dan persisten untuk
menyebabkan respon fisiologis.
2.3.3
Komponen-komponen harapan
Snyder (dalam Lopez, 2009) menjelaskan harapan sebagai motivasi
yang didasarkan pada tujuan, jalur, dan pengalaman yang diarahkan pada
tujuan berfikir.
2.3.3.1 Goal (Tujuan)
Tujuan merupakan obyek, pengalaman, atau hasil yang
dibayangkan dan diinginkan dalam pikiran individu. Hal tersebut
merupakan sesuatu yang individu inginkan untuk dicapai (Snyder,
1994). Lopez et al (2003) menyatakan bahwa tujuan dapat berupa
approach-oriented in nature (misalnya sesuatu yang positif yang
Universitas Sumatera Utara
28
diharapkan untuk terjadi) atau preventative in nature (misalnya sesuatu
yang negatif yang ingin dihentikan agar tidak terjadi lagi).
2.3.3.2 Waypower (upaya)
Menurut Snyder et al. (dalam Lopez, et al., 2003 ) untuk dapat
mencapai tujuan maka individu harus memandang dirinya sebagai
individu yang memiliki kemampuan untuk mengembangkan suatu
jalur untuk mencapai tujuan. Proses ini yang dinamakanwaypower atau
sekarang
yang
disebutpathway
thinking,
yang
menandakan
kemampuan individu untuk mengembangkan suatu jalur untuk
mencapai tujuan yang diinginkan. Pathway thinking ditandai dengan
pernyataan pesan internal yang meyakinkan diri sendiri seperti dirinya
akan menemukan cara untuk menyelesaikan suatu masalah.
2.3.3.3 Agency thinking/ willpower (kemauan)
Willpower merupakan energi mental yang menggerakkan
individu untuk berfikir penuh dengan harapan dan mengarahkan
individu menuju tujuan yang ingin dicapai (Snyder, 1994). Orang yang
memiliki agency disebut dengan kemauan yang keras, mereka mampu
tetap tekun dan menggunakan energi mental mereka untuk melewati
rintangan-rintangan dan tetap fokus pada pencapaian tujuan tersebut
(Lopez, 2009).
Universitas Sumatera Utara
29
2.3.3.4 Kombinasi willpower dan waypower
Pathways dan agency saling terkait secara positif, bersifat
aditif, dan timbal-balik, namun tidak ada dari komponen tersebut yang
dapat mengartikan harapan. Arti dari agency (agen) dan pathway
(jalur)
tidaklah
sama,
karena
beberapa
orang
menunjukkan
kemampuan untuk mencari pathways (jalur-jalur) untuk mencapai
tujuan tapi tidak mempertahankan energi mental, maupun sebaliknya
(Lopez, 2009).
2.3.4
Karakteristik orang dengan harapan tinggi menurut (Snyder, 1994):
2.3.4.1 Optimisme
Biasanya berkaitan lebih kuat dengan komponen willpower dari
pada dengan komponen waypower. Orang yang optimis cenderung
merasakan energi mental terhadap tujuan mereka, tetapi belum tentu
memiliki pemikiran yang waypower.
2.3.4.2 Perception of control
Orang-orang dengan harapan yang tinggi dihubungkan dengan
sumber kontrol, yaitu mereka mengontrol takdir mereka sendiri.
2.3.4.3 Kemampuan dalam menyelesaikan masalah
Cara berfikir dalam penyelesaian masalah pada orang dengan
level harapan yang tinggi terlihat ketika mereka mengalami
kesulitanuntuk mencapai tujuan tersebut. Dalam kondisi seperi ini,
orang-orang dengan harapan tinggi menjadi sangat berorientasi pada
Universitas Sumatera Utara
30
tugas dan mencoba cara-cara alternatif untuk mendapatkan apa yang
diharapkan.
2.3.4.4 Kompetitif
Kompetitif mencakup pengujian diri sendiri yang dibandingkan
dengan orang lain. Orang-orang yang memilikiharapan tinggi
bertujuan untuk selalu menang dalam setiap kompetisi, hanya saja
mereka menikmati proses menguji kemampuan mereka dan kompetisi
memberikan tantangan yang menyenangkan.
2.3.4.5 Self-Esteem
Orang-orang dengan tingkat harapan yang tinggi berfikir positif
mengenai diri mereka karena mereka tahu mereka telah mencapai
suatu tujuan di masa lalu dan mereka juga dapat melakukan hal yang
sama di masa depan.
2.3.4.6 Positive and negative affrctivity
Karakteristiklain yang dimiliki harapan adalah
positive
affectivity yang merupakan keadaan mental dikarakteristikan dengan
konsentrasi penuh, engagement, dan energi yang tinggi.
2.3.4.7 Kecemasan dan depresi
Orang-orang dengan tingkat harapan yang tinggi bukan berarti
sama sekali terbesar dari rasa kecemasan, hanya saja mereka dapat
mengatasinya dengan pikiran willpower dan waypower. Orang-orang
dengan level harapan yang tinggi juga hidup dengan energi mental dan
Universitas Sumatera Utara
31
ide-ide
untuk
mencapai
tujuan
yang
mengakibatkan
mereka
seharusnya tidak depresi.
2.3.5
Faktor-faktor yang mempengaruhi harapan menurut Weil (2000) :
2.3.5.1 Dukungan sosial
Harapan memiliki hubungan yang erat dengan dukungan sosial.
Keluarga dan teman diidentifikasi sebagai sumber harapan bagi
penderita penyakit kronis . Mengidentifikasi pertahanan hubungan
peran keluarga sesuatu yang penting bagi tingkat harapan dan coping
(Herth dalam Weil, 2000). Sebaliknya, kurangnya ikatan sosial
membuat hasil kesehatan lebih buruk dan peningkatan kematian awal.
Individu mengekspresikan perasaan tidak berdaya ketika mereka tidak
mampu berkomunikasi dengan orang lain.
2.3.5.2 Kepercayaan religius
Kepercayaan religius merupakan sebagai keyakinan seseorang
pada hal positif atau menyadarkan individu pada kenyataan bahwa
terdapat tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya untuk situasi saat ini.
Kegiatan religius merupakan strategi kedua yang paling umum dalam
mempertahankan harapan dan juga sebagai sumber kekuatan bagi
pasien penyakit kronis (Raleigh, 1992 dalam Weil, 2000).
2.3.5.3 Kontrol
Harapan dapat dihubungkan dengan keinginan dalam kontrol,
kemampuan untuk menentukan, dan menyiapkan diri untuk melakukan
Universitas Sumatera Utara
32
antisipasi terhadap stress. Penelitian menunjukkan bahwa harapan
memiliki hubungan yang positif dengan persepsi individu mengenai
kontrol. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa individu yang
memiliki sumber internal dalam kontrol memiliki harapan bahwa
mereka dapat mengontrol nasib mereka sendiri. Sebaliknya, individu
yang memiliki sumber kontrol eksternal berharap untuk dikontrol oleh
kekuatan atau paksaan yang berasal dari luar dirinya.
2.3.6
Harapan dalam mengatasi permasalahan
Menurut Snyder (1994), orang-orang dengan harapan tinggi dapat
mengatasi permasalahan dengan efektif dikarenakan, antara lain :
2.3.6.1 Meminimalkan hal yang negatif
Orang-orang
dengan
harapan
yang
tinggi
tidak
mempersepsikan kejadian dalam kehidupan sebagai hal yang
mengganggu. Pemikiran orang-orang dengan harapan yang tinggi
membuat mereka mampu bertahan dan yakin bahwa kejadian tersebut
akan berlalu.
2.3.6.2 Melihat keluar dan menyelesaikan masalah
Orang-orang dengan tingkat harapan tinggi lebih berfokus pada
situasi untuk melihat apa yang harus diselesaikan. Dengan melihat
keluar, orang-orang dengan harapan tinggi menjadi lebih efektif dalam
membuat perencanaan untuk menghadapi masalah.
Universitas Sumatera Utara
33
2.3.6.3 Call on friends.
Orang-orang dengan tingkat harapan tinggi menggunakan
humor dalam menghadapi permasalahan. Mereka mampu tertawa pada
hal-hal yang terjadi disekitar mereka dan hal penting, mereka mampu
menertawakan diri mereka sendiri.
2.3.6.4 Berdoa
Diantara orang-orang yang religius, tingkat harapan yang lebih
tinggi dikaitkan dengan berdoa. Berdoa berarti meningkatkan energi
mental seseorang.
2.3.6.5 Latihan
Orang-orang dengan tingkat harapan tinggi cenderung lebih
banyak melakukan latihan dari pada orang-orang dengan tingkat
harapan yang rendah.
2.3.6.6 Menjaga kesehatan
Orang yang penuh harapan lebih peduli pada perilaku terkait
permasalahan kesehatan, tetapi juga lebih mau untuk memeriksakan
diri dan berkonsultasi dengan professional.
2.3.6.7 Aging grafecully
Hal yang paling sulit dalam kehidupan dewasa yaitu untuk
menghadapai penuaan dengan sukses. Orang yang tingkat harapan
tinggi cenderung menerima kematian mereka dengan netral.
Universitas Sumatera Utara
34
2.3.6.8 The hope and coping connections
Orang-orang dengan harapan tinggi menghadapi berbagai
macam situasi, mereka mampu menyelesaikan masalah dan dapat
tertawa sebagai salah satu cara untuk koping.
2.3.7
Hubungan harapan dengan intensitas nyeri
Intensitas nyeri merupakan gambaran seseorang tentang seberapa
parah nyeri yang dirasakan. Intensitas nyeri yang dirasakan seseorang
terhadap nyeri berbeda-beda dan beragam. Banyak faktor yang mempengaruhi
intensitas nyeri, salah satunya adalah pengaruh psikologis seperti harapan
(Lemone et al., 2015). Harapan merupakan pikiran atau keyakinan individu
untuk mempertahankan dalam mencapai tujuan (Lopez & Snyder, 2004).
Nyeri melibatkan dimensi kognitif yaitu pengaruh nyeri yang dirasakan oleh
individu terhadap proses berfikirnya atau pandangan individu terhadap dirinya
sendiri. Respon pikiran individu terhadap nyeri yang dirasakan dapat
diasosiasikan dengan kemampuan koping individu menghadapi nyerinya.
Harapan termasuk salah satu strategi koping dalam menyelesaikan masalah
(Snyder, 1994). Individu yang memiliki harapan tinggi mampu menghadapi
situsasi yang sulit dan mencari cara untuk menyelesaikannya. Nyeri terjadi
ketika jaringan yang mengandung nosiseptor dicederai yang dilanjutkan
proses transmisi, di mana impuls nyeri kemudian ditransmisikan serat afferent
(A-delta dan C) ke medulla spinalis. Kemudian dilanjutkan ke otak, di dalam
otak terjadi proses penerjemahan nyeri yang melibatkan kognitif. Nyeri yang
Universitas Sumatera Utara
35
berespon dalam otak dapat dimodifikasi, sehingga persepsi terhadap nyeri
dapat diubah, ditingkatkan, atau dikurangi. Persepsi nyeri dapat dimodifikasi
oleh beberapa faktor. Salah satu nya yaitu harapan. Dalam proses kognitif,
apabila seseorang berfikir positif menyebabkan hasil nyeri rendah dan
sebaliknya apabila seseorang berfikir negatif menyebabkan hasil nyeri tinggi
Selain itu, individu yang memiliki harapan tinggi akan menganggap
nyeri sebagai tantangan, dan berfikir positif mengenai diri mereka. Mereka
akan berusaha untuk meminimalkan hal yang negatif yang mengganggu
kehidupan dan mampu bertahan dalam situasi dan kondisi yang sulit (Snyder,
1994). Namun sebaliknya, bagi pasien yang mengalami nyeri akibat
perkembangan penyakitakan memiliki dampak terhadap psikologis pasien
yaitu seperti penurunan harapan (Lemone et al., 2015).
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kanker
2.1.1
Pengertian kanker
American Cancer Society (2010) menyatakan bahwa kanker adalah
sekelompok penyakit kompleks yang dicirikan dengan pertumbuhan dan
penyebaran sel abnormal yang tidak terkontrol. Naland, Willie, dan Setiawan
(2007) mengatakan bahwa kanker adalah sekelompok penyakit yang ditandai
dengan pertumbuhan tidak terkendali sel tubuh tertentu yang berakibat
merusak sel dan jaringan tubuh lain, bahkan sering berakhir dengan kematian.
Lubis dan Hasnida (2009) berpendapat bahwa kanker adalah penyakit yang
tidak mengenal status sosial dan dapat menyerang siapa saja dan muncul
akibat pertumbuhan tidak normal dari sel-sel jaringan tubuh yang berubah
menjadi sel kanker dalam perkembangannya.
2.1.2
Faktor risiko kanker menurut Lemone et al. (2015) :
2.1.2.1 Hereditas
Diperkirakan 5% dari seluruh kanker memiliki komponen
hereditas yang kuat (American Cancer Society, 2010). Human Genome
Project mengidentifikasi 50.000 mutasi genetik yang berkaitan dengan
kanker melalui pemeriksaan pada 4.800 gen dan 250.000 tumor
(Forbes, et al., 2008 dalam LeMone et al., 2015). Untuk sebagian besar
kanker, penelitian belum membedakan pemindahan genetik yang
sebenarnya
dari
penyebab
lingkungan.
Meskipun
penelitian
6
Universitas Sumatera Utara
7
selanjutnya diperlukan untuk mengidentifikasi kanker yang terjadi
akibat keturunan dari gen yang tidak sempurna, predisposisi keluarga
terhadap keganasan harus dipertimbangkan menjadi faktor risiko
sehingga individu yang beresiko dapat mengurangi perilaku yang
meningkatkan kanker.
2.1.2.2 Jenis kelamin
Jenis kelamin merupakan faktor resiko untuk jenis kanker
tertentu. Kanker payudara merupakan kanker yang paling sering
dialami oleh wanita, kanker prostat pada pria. Insidens kanker kandung
kemih sekitar empat kali lebih tinggi pada pria dibanding wanita.
Kanker tiroid terjadi lebih sering pada wanita, sedangkan kanker
kandung kemih terlihat lebih sering terjadi pada pria (American
Cancer Society, 2010).
2.1.2.3 Kemiskinan
Kemiskinan merupakan resiko kanker yang lebih tinggi
dibandingkan populasi pada umumnya. Kurangnya asuransi kesehatan
dan akses yang tidak adekuat terhadap layanan kesehatan, terutama
skrining preventif dan konseling dapat menjadi faktor utama
(American Cancer Society, 2010).
2.1.2.4 Stres
Stres yang terus menumpuk akan mengganggu kesehatan
individu dan menimbulkan penyakit. Dimana stress menyebabkan
Universitas Sumatera Utara
8
gangguan keseimbangan sel dalam tubuh sehingga dapat berubah sifat
menjadi ganas dan menyebabkan kanker (Junaidi, 2007).
2.1.2.5 Makanan
Hindari makanan yang mungkin mengandung zat karsinogen
(zat penyebab kanker) seperti daging gosong, daging asap, makanan
yang sudah berjamur, makanan dengan zat berbahaya, makanan yang
diawetkan dengan formalin di luar batas keamanan, dll (Naland,
Willie, & Setiawan ,2007).
2.1.2.6 Pekerjaan
Resiko pekerjaan dapat dipertimbangkan menjadi dapat
dikontrol atau tidak dapat dikontrol. Resiko spesifik bermacam-macam
sesuai dengan pekerjaan. Misalnya, pekerja diluar lapangan seperti
petani dan pekerja bangunan terpajan pada radiasi matahari, staf
layanan kesehatan seperti tehnisi rontgen dan peneliti biomedis
terpajan dengan radiasi terionisasi dan zat karsinogenik (Lemone et al.,
2015).
2.1.2.7 Infeksi
Salah satu virus yang menyebabkan kanker adalah virus HIV
(human immunodefiency virus). Dimana virus HIV ini dapat merusak
sistem kekebalan tubuh. Akibatnya wanita yang terinfeksi virus HIV
akan rentan terhadap infeksi HPV (Lubis & Hasnida, 2009).
Universitas Sumatera Utara
9
2.1.2.8 Penggunaan tembakau
Penyakit yang berhubungan dengan rokok tetap menjadi
penyebab kematian yang paling dapat dicegah didunia (American
Cancer Society, 2010). Kanker paru diyakini paling dapat dihindari
karena berhubungan dengan rokok. Banyak zat lain ditembakau adalah
pendukung yang tinggi sehingga semakin besar dosis dan semakin
lama penggunaan zat, semakin tinggi resiko menimbulkan kanker
(Lemone et al., 2015). Penelitian menunjukkan resiko kematian kanker
paru bawah yang signifikan bagi perokok sebelumnya
jika
dibandingkan dengan perokok saat ini.
2.1.2.9 Penggunaan alkohol
Konsumsi alkohol sebaiknya dihindari, karena berkaitan
dengan meningkatnya kejadian kanker rongga mulut, kerongkongan,
payudara, dll (Naland, Willie, & Setiawan, 2007).
2.1.2.10 Penggunaan obat rekreasional
Penggunaan obat rekreasional sering mendukung gaya hidup
yang tidak sehat sehingga meningkatkan resiko kanker umum;
misalnya, penggunaan obat sering kali tidak memelihara nutrisi yang
adekuat. Selanjutnya, obat rekreasional berdampak sebagai pendukung
karena efek supresifnya terhadap sistem imun. Meskipun obat
rekreasional tidak berdampak secara langsung terhadap perkembangan
kanker, marijuana terbukti menyebabkan kerusakan kromosom yang
Universitas Sumatera Utara
10
kemungkinan dalam beberapa waktu juga mengakibatkan kanker
(Lemone et al., 2015).
2.1.2.11 Obesitas
Kelebihan berat badan dan obesitas berkontribusi terhadap 14%
hingga 20% dari seluruh kematian yang berhubungan dengan kanker di
Amerika Serikat (American Cancer Society, 2010). Lemak tubuh yang
berlebihan berhubungan dengan peningkatan risiko kanker yang
bergantung dengan hormon (Lemone et al., 2015). Individu yang
gemuk sering kali memiliki jumlah hormon yang berlebih dan
mendukung keganasan tergantung hormon pada payudara, usus,
ovarium, endometrium, dan prostat.
2.1.3
Gejala kanker dan jenisnya menurut (Naland et al., 2007) :
a.
Kanker usus besar dan saluran kemih memiliki gejala seperti
perubahan pola buang air besar (misal, diare atau sembelit
menetap) atau pola buang air kecil terasa nyeri dan sering
terutama bila disertai darah.
b.
Kanker kulit, lidah dan selaput lendir mulut memiliki gejala
seperti luka yang tidak kunjung sembuh, dikulit ataupun di
rongga mulut (lidah, gusi). Pada kanker kulit terjadi perubahan
pola andeng-andeng (tahi lalat) yang membesar, sekitarnya
menjadi merah, gatal, timbul luka tak kunjung sembuh, mudah
berdarah, dll.
Universitas Sumatera Utara
11
c.
Kanker leher rahim dan kanker rahim memiliki gejala seperti
keputihan atau perdarahan di luar haid, haid nyeri, atau haid
berlebihan dari biasanya.
d.
Kanker payudara memiliki gejala seperti benjolan di payudara,
apalagi disertai perdarahan dan luka di puting susu, penebalan
atau luka di kulit di atas benjolan.
e.
Kanker getah bening memiliki gejala seperti benjolan abnormal
di bagian tubuh lain, misal di leher, ketiak, selangkangan, dll.
f.
Kanker kerongkongan, kanker lambung dan kanker saluran
pencernaanmemiliki gejala seperti kesulitan atau rasa terganjal
waktu menelan, gangguan lambung membandel, berat badan
menurun atau bertambah dratis lebih dari 6 bulan tanpa sebab
nyata.
g.
Kanker tiroid dan kanker paru-paru memiliki gejala seperti
sesak nafas, batuk, dada sesak diserati nyeri, terutama bila
dahak mengandung darah.
h.
Kanker pita suara memiliki gejala seperti suara berubah
menjadi parau atau hilang lebih dari 2 bulan.
i.
Kanker nasofaring memiliki gejala seperti dahak atau hisapan
lender dari hidung berdarah terutama pagi hari, telinga tuli
sebelah terlebih jika disertai benjolan di leher.
Universitas Sumatera Utara
12
2.2
Nyeri
2.2.1
Pengertian nyeri
Menurut The Intermational Association for The Study of Pain (1979
dalam Prasetyo, 2010) nyeri merupakan pengalaman sensori subjektif dan
emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan
yang aktual atau potensial, atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian
dimana terjadi kerusakan. Rasa nyeri merupakan fenomena subjektif yang
kompleks dan melibatkan faktor biologis, psikologis serta sosiokultural.
Sedangkan menurut Robinson dan Lyndon (2016), rasa nyeri adalah apapun
yang dikatakan pasien tentangnya dan terjadi ketika pasien mengatakan rasa
itu benar terjadi.
2.2.2
Klasifikasi Nyeri menurut Harianto dan Rini (2015) antara lain :
2.2.2.1 Nyeri akut
Nyeri yang terjadi setelah terjadi cedera akut, penyakit, atau
intervensi bedah. Nyeri akut berdurasi singkat kurang dari enam bulan
memiliki onset tiba-tiba dan terlokalisasi.
2.2.2.2 Nyeri kronik
Nyeri yang berlangsung lebih lama dibandingkan nyeri
akut.Intensitasnya bervariasi dari ringan samapai berat dan biasanya
berlangsung lebih dari enam bulan.
Universitas Sumatera Utara
13
2.2.2.3 Nyeri kutaneus atau superficial (Cutaneus pain)
Ada dua macam bentuk nyeri superficial. Bentuk pertama
adalah nyeri dengan onset yang tiba-tiba dan mempunyai kualitas yang
tajam. Bentuk kedua adalah nyeri dengan onset yang lambat disertai
rasa terbakar. Nyeri superficial dapat dirasakan pada seluruh
permukaan kulit klien.
2.2.2.4 Nyeri somatis (deep somatic pain)
Nyeri somatis merupakan fenomena nyeri yang kompleks.
Struktur somatik merupakan bagian pada tubuh seperti otot-otot atau
tulang. Nyeri biasanya bersifat difus atau menyebar.
2.2.2.5 Nyeri visceral
Nyeri visceral biasanya mengacu pada bagian visceral
abdomen. Penyebab nyeri adalah semua rangsangan yang dapat
menstimulasi ujung saraf nyeri di daerah visceral. Rangsangan tersebut
dapat berupa iskemia jaringan visceral, spasme suatu visceral
berongga, rangsang kimiawi, dan distensi berlebihan suatu organ
visceral.
2.2.2.6 Reffered pain
Nyeri dalam dapat diakibatkan dari gangguan organ visceral
atau lesi pada bagian somatis dalam, misal otot, ligamen, dan vertebra.
Keduanya dapat dirasakan menyebar sampai ke bagian permukaan
kulit. Hal ini dikarenakan serabut saraf visceral bersinapsis di dalam
Universitas Sumatera Utara
14
medulla spinalis dengan beberapa neuron urutan kedua yang sama
yang menerima serabut nyeri dari kulit.
2.2.2.7 Nyeri psikogenik
Nyeri
psikogenik
disebut
juga
psichalgia
atau
nyeri
somatororm adalah nyeri yang tidak diketahui secara fisik. Nyeri ini
biasanya timbul karena pengaruh psikologis, mental, emosional, atau
faktor perilaku.
2.2.3
Teori tentang nyeri
Tiga buah teori berupaya untuk menjelaskan mekanisme nyeri
(Robinson & Lyndon, 2016) :
2.2.3.1 Spesifitas
Teori spesifitas mempertahankan pernyataan bahwa serabut
saraf perifer dengan spesialisnya masing-masing bertanggung jawab
atas tranmisi rasa nyeri. Teori yang berorientasi biologis ini tidak
memberikan penjelasan tentang toleransi nyeri atau tentang faktor
sosial, budaya atau pun empiris yang mempengaruhi rasa nyeri.
2.2.3.2 Pola nyeri
Teori pola menunjukkan bahwa stimulasi semua ujung saraf
yang berlebihan akan menghasilkan sebuah pola yang unik dan
ditafsirkan oleh korteks serebri sebagai rasa nyeri. Meskipun
membicarakan kemampuan otak dalam menentukan jumlah, intensitas
Universitas Sumatera Utara
15
dan tipe asupan-sinyal, namun teori ini tidak memberikan penjelasan
tentang pengaruh nonbiologis pada persepsi serta tranmisi rasa nyeri.
2.2.3.3 Gate control menurut Melzack dan Wall (1965 dalam
Prasetyo, 2010)
Teori gate control (kendali gerbang) mengatakan bahwa jenis
tertentu mekanisme gerbang dalam medulla spinalis memungkinkan
serabut saraf menerima sensasi nyeri. Teori ini telah mendorong
pendekatan yang lebih holistik dalam nonbiologis rasa nyeri. Teknik
mengelola rasa nyeri sepert stimulasi kutaneus, pengalihan perhatian
dan akupuntur berlandaskan sebagian pada teori ini.
2.2.4
Fisiologi nyeri
Luckman dan Sorensen’s (1987) menjelaskan bahwa mekanisme nyeri
melibatkan 4 proses yaitu:
2.2.4.1 Tranduksi
Tranduksi terjadi ketika nosiseptor yang terletak pada bagian
perifer tubuh distimulasi oleh stimulus biologis, mekanis, listrik,
thermal, radiasi, dan lainnya, serta serabut nyeri cepat (fast pain) dan
serabut nyeri lambat (Hariyanto dan Rini, 2015).
2.2.4.2 Transmisi
Tranmisi terjadi dimana impuls nyeri kemudian ditransmisikan
serat afferent (A-delta dan C) ke medulla spinalis melalui dorsal horn,
di mana impuls akan bersinapsis di substansia gelatinosa (lamina II
Universitas Sumatera Utara
16
dan III). Kemudian, menuju traktus spinothalamus anterior dan
lateral. Beberapa impuls yang melewati traktus spinotalamus lateral
diteruskan langsung ke thalamus tanpa singgah di formation retikularis
membawa impuls fast pain. Pada bagian thalamus korteks serebri
inilah individu dapat mempersepsikan, menggambarkan, melokalisasi,
menginterpretasikan, dan mulai merespons nyeri (Prasetyo, 2010).
2.2.4.3 Modulasi
Sirkuit neural yang diyakini terjadi di korteks serebral
berhubungan dengan hipotalamus, otak tengah, dan medulla. Sirkuit
ini berinteraksi dengan terminal akson sensori perifer dalam kornu
dorsalis di medulla spinalis untuk mengontrol neuron secara selektif
yang mentransmisikan sinyal nyeri. Akibatnya, nyeri yang berespons
dapat dimodifikasi, yaitu diubah, ditingkatkan, atau dikurangi. Neuron
dalam sirkuit ini menghasilkan opiod endogen, biasanya terjadi di
neuropeptida yang mirip morfin (Lemone et al., 2015).
2.2.4.4 Persepsi
Proses persepsi tidak hanya berkaitan dengan prosese fisiologis
atau proses anatomis saja, akan tetapi juga meliputi kognitif dan
memori (Davis, 2003 dalam Harahap, 2007). Oleh karena itu faktor
psikologis, emosional dan behavioral juga muncul sebagai respon
dalam mempersepsikan nyeri tersebut. Proses ini jugalah yang
Universitas Sumatera Utara
17
menjadikan nyeri tersebut suatu fenomena yang multidimensional
(Luckman & Sorensen’s, 1987).
2.2.5 Mutidimensional nyeri
Nyeri merupakan fenomena yang multidimensional. Ahles dan
koleganya (1983 dalam Ardinata. 2007) mengkategorikan lima dimensi nyeri
meliputi dimensi fisiologis, sensori, afektif, kognitif, dan behavior (perilaku).
McGuire (1987 dalam Harahap, 2007), menambahkan dimensi sosio-kultural
sabagai dimensi tambahan dalam multidimensional dari fenomena nyeri.
Keenam dimensi saling berhubungan, berinteraksi serta dinamis yang
dijelaskan sebagai berikut:
2.2.5.1 Dimensi fisiologi
Berdasarkan dimensi fisiologis terdapat dua karakteristik yang
melekat dalam pengalaman nyeri, yaitu: durasi dan pola nyeri. Ada dua
jenis nyeri fundamental yang diklasifikasikan berdasarkan durasinya
yaitu nyeri akut dan kronis (Robinson & Lyndon, 2016). Sedangkan
pola nyeri meliputi awitan, durasi, dan nyeri berulang atau interval tanpa
nyeri (Berman et al., 2009).
Sumber nyeri pada kasus kanker sangatlah luas. Rasa nyeri dapat
diklasifikasikan bukan hanya berdasarkan durasi tetapi juga berdasarkan
sumber fisiologiknya yaitu nyeri nosiseptif dan nyeri neuropatik
(Robinson & Lyndon, 2016).
Universitas Sumatera Utara
18
2.2.5.2 Dimensi afektif
Dimensi afektif dari nyeri mempengaruhi respon individu
terhadap nyeri yang dirakannya. Menurut McGuire dan Sheilder (1993
dalam Ardinata, 2007), dimensi afektif dari nyeri indentik dengan sifat
personal tertentu dari individu. Pasien-pasien yang mudah sekali
mengalami kondisi depresi atau gangguan psikologis lainnya lebih
mudah mengalami nyeri yang sangat dibandingkan dengan pasien
lainnya. Seseorang yang menderita kanker kronis dan merasa takut akan
kondisi penyakitnya akan semakin meningkatkan persepsi nyerinya
(Prasetya, 2010).
2.2.5.3 Dimensi sosio-kultural
Dimensi sosio-kultural nyeri terdiri dari berbagai variasi dari
faktor demografi, adat istiadat, agama, dan faktor-faktor lain yang
berhubungan yang dapat mempengaruhi persepsi dan respon seseorang
terhadap nyerinya (McGuire & Sheidler, 1993 dalam Ardinata, 2007).
Kultur atau budaya memiliki peran yang kuat untuk menentukan faktor
sikap individu dalam mempersepsikan dan merespon nyerinya.
Sementara itu sikap individu juga berkaitan dengan faktor usia, jenis
kelamin, dan ras. Standar budaya juga mengajarkan individu mengenai
seberapa besar nyeri harus ditoleransi, jenis nyeri apa yang harus
dilaporkan, kepada siapa harus melaporkan nyeri, dan apa jenis terapi
yang harus dicari.
Universitas Sumatera Utara
19
2.2.5.4 Dimensi sensori
Dimensi sensori pada nyeri berhubungan dengan lokasi dimana
nyeri berhubungan dengan lokasi dimana nyeri itu timbul dan
bagaimana rasanya. Dimensi sensori pada nyeri meliputi lokasi, kualitas,
dan intensitas nyeri (Harahap, 2007).
Lokasi dari nyeri memberikan petunjuk nyeri bila ditinjau dari
segi aspek sensori.Lokasi nyeri dapat diketahui dari pasien itu sendiri.
Kualitas nyeri adalah berkaitan dengan bagaiman nyeri itu sebenarnya
dirasakan individu. Kualitas nyeri seringkali digambarkan dengan
berdenyut, menyebar, menusuk, terbakar dan gatal.
Intensitas nyeri adalah sejumlah nyeri yang dirasakan oleh
individu dan seringkali digambarkan dengan kata-kata seperti ringan,
sedang, dan berat (Harahap, 2007).
2.2.5.5
Dimensi kognitif
Dimensi kognitif dari nyeri menyangkut pengaruh nyeri yang
dirasakan oleh individu terhadapa proses berfikirnya atau pandangan
individu terhadap dirinya sendiri (Ahles et al., 1983 dalam Ardinata,
2007). Respon pikiran individu terhadap nyeri yang dirasakan dapat
diasosiasikan dengan kemapuan koping individu menghadapi nyerinya.
Barkwell (2005) melaporkan bahwa pasien yang berpendapat nyerinya
sebagai suatu tantangan melaporkan nyeri lebih rendah dengan tingkat
depresi yang rendah juga dan disertai dengan mekanisme koping yang
Universitas Sumatera Utara
20
lebih baik jika dibandingkan dengan pasien yang menganggap nyerinya
adalah sebagai hukuman atau sebagai musuh.
Pengetahuan adalah aspek yang penting dalam dimensi kognitif.
Pengetahuan terhadap penanganan nyeri dapat mempengaruhi respon
seseorang terhadap nyeri tersebut dan dapat mengatasinya. Nyeri itu
sendiri dapat dimodifikasi oleh bagaimana seseorang berfikir tentang
nyeri yang dirasakannya, apa saja pengharapannya atas nyerinya, dan
apa makna nyeri tersebut dalam kehidupannya (Ardinata, 2007).
2.2.5.6 Dimensi perilaku (behavior)
Dimensi perilaku dari nyeri meliputi serangkaian perilaku yang
dapat diobservasi yang berhubungan dengan nyeri yang dirasakan dan
bertindak sebagai cara mengkomunikasikan ke lingkungan bahwa
seseorang tersebut mengalami atau merasakan nyeri (Fordyce, 1976
dalam Ardinata, 2007)
Tampilan perilaku nyeri yang diperlihatkan seseorang dapat
berupa guarding, bracing, grimacing, keluhan verbal, dan perilaku
mengkonsumsi obat. Fordyce (1976 dalam Ardinata, 2007) mengajukan
bahwa perilaku nyeri dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau
dapat juga direinforce oleh perhatian, support sosial, atau menghindari
kegiatan yang dapat merangsang nyeri seperti bekerja di kantor,
pekerjaan rumah tangga.
Universitas Sumatera Utara
21
2.2.6
Nyeri pada kanker
Keterlibatan kanker secara langsung merupakan penyebab utama nyeri
yang dialami oleh individu yang menderita kanker .Keterlibatan kanker
meliputi penyakit tulang metastatik, kompresi saraf, dan keterlibatan organ
visceral. Nyeri akibat keterlibatan kanker diyakini bersifat mekanik, terjadi
karena adanya peregangan jaringan dan kompresi.Zat kimia yang berasal dari
iskemia atau metabolit kanker dan toksin yang mengaktivasi dan membuat
peka nosiseptor dan mekanoreseptor bertanggung jawab terhadap nyeri
kanker. Efek samping atau efek toksik terapi kanker (mis., pembedahan,
radiasi, dan kemoterapi) juga dapat menyebakan nyeri kanker. Kedua efek ini
biasanya mengakibatkan jaringan yang mengalami trauma.
2.2.7
Dampak nyeri kronis terhadap individu
Nyeri kronis dapat mengakibatkan klien frustasi dan sulit bagi individu
untuk menghadapinya. Pasien dengan nyeri kronis mungkin terlihat sangat
takut, cemas, lelah dan depresi. Banyak individu yang mengalami nyeri kronis
menjadi putus asa dan mengasingkan diri mereka. Nyeri melelahkan individu
baik secara fisik dan mental (Luckman & Sorensen, 1993).
2.2.8 Pengertian intensitas nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri yang
dirasakan oleh seseorang (Hariyanto & Rini , 2015).
Universitas Sumatera Utara
22
2.2.9
Faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas nyeri menurut Hariyanto
& Rini (2015) :
2.2.9.1 Usia
Usia merupakan variabel penting yang memengaruhi nyeri,
khususnya pada anak-anak dan lansia. Perbedaan perkembangan yang
ditemukan di antara kelompok usia ini dapat memengaruhi seseorang
bereaksi terhadap nyeri (Hariyanto & Rini, 2015).
2.2.9.2 Jenis kelamin
Secara umum laki-laki dan perempuan tidak berbeda secara
bermakna dalam merespons nyeri. Hanya beberapa budaya yang
menganggap bahwa laki-laki lebih berani dan tidak menangis ketika
merasakan nyeri dibandingkan perempuan seperti pada bangsa
Somalia (Arthurs, 2010).
2.2.9.3 Kebudayaan
Keyakinan dan nilai budaya memengaruhi cara seseorang
mengatasi nyeri. Selain itu, budaya dan etnisitas juga memengaruhi
bagaimana seseorang merespons terhadap nyeri (Hariyanto & Rini,
2015).
2.2.9.4 Makna nyeri
Makna nyeri mempengaruhi pengalaman seseorang terhadap
nyeri dan caranya beradaptasi terhadap nyeri. Makna ini berkaitan erat
Universitas Sumatera Utara
23
dengan latar belakang budaya orang tersebut. Setiap individu
akanmempersepsikan nyeri dengan cara berbeda-beda (Potter & Perry,
2005).
2.2.9.5 Perhatian
Tingkat seseorang dalam memfokuskan perhatiannya pada
nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat
dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya
pengalihan dihubungkan dengan respons nyeri yang menurun
(Prasetyo, 2010).
2.2.9.6 Ansietas
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks.
Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga
dapat menimbulkan suatu perasaan ansietas (Prasetyo, 2010).
2.2.9.7 Keletihan
Keletihan yang dirasakan individu akan meningkatkan sensasi
nyeri dan menurunkan kemampuan koping individu (Prasetyo, 2010).
2.2.9.8 Pengalaman terdahulu
Setiap orang belajar dari pengalaman nyeri. Seseorang yang
sering mengalami nyeri atau sejak lama mengalami nyeri dengan jenis
yang samaberulang-ulang, kemudian nyeri berhasil diatasi, akan
menyebabkan individu tersebut lebih mudah menginterpretasikan
sensasi nyeri. Sebaliknya, apabila seseorang tidak pernah merasakan
Universitas Sumatera Utara
24
nyeri makna persepsi pertama nyeri dapat mengganggu koping
terhadap nyeri (Hariyanto & Rini, 2015).
2.2.9.9 Gaya koping
Sumber-sumber koping seperti komunikasi dengan keluarga
atau melakukan latihan dapat mengurangi tingkat nyeri. Dalam proses
nyeri,
seseorang seringkali
menemukan
berbagai
cara
untuk
mengembangkan koping terhadap efek fisik dan psikologis nyeri.
Namun, nyeri lebih lanjut juga dapat menyebabkan ketidakmampuan
koping, baik sebagian maupun keseluruhan (Hariyanto & Rini, 2015).
2.2.9.10 Dukungan keluarga dan sosial
Faktor lain yang bermakna mempengaruhi respons nyeri adalah
kehadiran orang-orang terdekat dan bagaimana sikap mereka terhadap
seseorang yang mengalami nyeri (Hariyanto & Rini, 2015).
2.2.10Pengukuran intensitas nyeri
2.2.10.1 Skala Numerik Nyeri (Numeric Rating Scale)
Berupa metode cepat untuk menentukan persepsi pasien atas
intensitas nyeri yang dirasakannya. Mintalah kepada pasien untuk
menentukan nilai nyeri yang dirasakannya pada skala bilangan 0 hingga
10; angka 0 mempresentasikan keadaan tanpa nyeri sedangkan angka 10
mempresentasikan keadaan nyeri paling hebat yang dapat dibayangkan
(Robinson & Lyndon, 2016). Skala numerik nyeri valid digunakan
Universitas Sumatera Utara
25
untuk mengkaji nyeri pada berbagai tipe nyeri seperti nyeri akut, nyeri
pada kanker, dll.
Gambar 1.Skala Numerik Nyeri
2.2.10.2 Brief Pain Inventory
Pengukuran BPI mengkaji keparahan (intensitas) nyeri yang
dialami oleh pasien yaitu : nyeri paling buruk, nyeri paling ringan, nyeri
sedang (rata-rata) dan nyeri sekarang. BPI juga mengukur sejauh mana
nyeri mengganggu fungsi dalam melakukan tujuh kegiatan sehari-hari
termasuk bagaimana hubungan dengan orang lain, menikmati hidup,
suasana hati, tidur, kemampuan berjalan, aktivitas sehari-hari, dan
bekerja. Untuk menilai intensitas nyeri dan gangguan (interference)
terhadap fungsi sehari-hari adalah dengan menggunakan skala numeric
dengan skala 0-10 (Cleeland, 2009). BPI juga menanyakan lokasi nyeri,
jenis pengobatan atau obat yang dikonsumsi dan persentasi keyakinan
pasien tehadap pengobatan atau obat yang dikonsumsi bisa mengurangi
nyeri yang dialami (Cleeland, 2009).
Universitas Sumatera Utara
26
2.3
Harapan
2.3.1
Pengertian harapan
Menurut teori harapan dalam Lindley dan Stephen (2004), harapan
merupakan
persepsi
individu
terkait
kapasitas
mereka
untuk
mengkonseptualisasikan tujuan-tujuan yang jelas, mengembangkan strategi
untuk mencapai tujuan (pathway thinking), mempertahankan motivasi untuk
menggunakan strategi tersebut (agency thinking). Lopez dan Snyder (2004)
berpendapat bahwa harapan merupakan pikiran atau keyakinan individu untuk
mempertahankan dalam mencapai tujuan. Selanjutnya Lopez (2009)
mengatakan bahwa ada banyak defenisi yang berbeda mengenai harapan itu
sendiri, yang secara umum bisa dianggap sebagai keadaan mental yang positif
tentang kemampuan untuk memperoleh tujuan-tujuan.
2.3.2
Konseptualisasi harapan
Konseptualisasi tentang harapan menurut Snyder dapat dikelompokkan
menjadi dua yaitu kategori berbasis emosi dan berbasis kognitif.
2.3.2.1 Hope: Berbasis emosi
Para penelti melihat hope sebagai hal yang layak untuk diraih
apabila tujuan-tujuannya; memiliki alasan mampu untuk diraih,
dibawah kontrol, dipandang penting oleh individu, dapat diterima oleh
sosial dan moral. Marcel memandang harapan sebagai perasaan yang
hadir ketika individu menghadapi kondisi yang tampaknya akan
Universitas Sumatera Utara
27
mengarah pada keputusasaan (Lopez & Snyder, 2004). Emosi
dikendalikan oleh kognitif.
2.3.2.2 Hope : Berbasis kognitif
Hope merupakan sebuah kognisi lebih banyak memperoleh
perhatian dalam penelitian dibandingkan dengan hope sebagai emosi.
Hope merupakan sebuah pikiran atau keyakinan yang membolehkan
individu untuk terus bergerak kearah tujuan-tujuan. Breznitzs juga
menempatkan harapan secara kognitif-hope relates to a description of
cognitive state. Ia menyatakan agar sebuah harapan mempengaruhi
individu maka harapan tersebut harus cukup kuat dan persisten untuk
menyebabkan respon fisiologis.
2.3.3
Komponen-komponen harapan
Snyder (dalam Lopez, 2009) menjelaskan harapan sebagai motivasi
yang didasarkan pada tujuan, jalur, dan pengalaman yang diarahkan pada
tujuan berfikir.
2.3.3.1 Goal (Tujuan)
Tujuan merupakan obyek, pengalaman, atau hasil yang
dibayangkan dan diinginkan dalam pikiran individu. Hal tersebut
merupakan sesuatu yang individu inginkan untuk dicapai (Snyder,
1994). Lopez et al (2003) menyatakan bahwa tujuan dapat berupa
approach-oriented in nature (misalnya sesuatu yang positif yang
Universitas Sumatera Utara
28
diharapkan untuk terjadi) atau preventative in nature (misalnya sesuatu
yang negatif yang ingin dihentikan agar tidak terjadi lagi).
2.3.3.2 Waypower (upaya)
Menurut Snyder et al. (dalam Lopez, et al., 2003 ) untuk dapat
mencapai tujuan maka individu harus memandang dirinya sebagai
individu yang memiliki kemampuan untuk mengembangkan suatu
jalur untuk mencapai tujuan. Proses ini yang dinamakanwaypower atau
sekarang
yang
disebutpathway
thinking,
yang
menandakan
kemampuan individu untuk mengembangkan suatu jalur untuk
mencapai tujuan yang diinginkan. Pathway thinking ditandai dengan
pernyataan pesan internal yang meyakinkan diri sendiri seperti dirinya
akan menemukan cara untuk menyelesaikan suatu masalah.
2.3.3.3 Agency thinking/ willpower (kemauan)
Willpower merupakan energi mental yang menggerakkan
individu untuk berfikir penuh dengan harapan dan mengarahkan
individu menuju tujuan yang ingin dicapai (Snyder, 1994). Orang yang
memiliki agency disebut dengan kemauan yang keras, mereka mampu
tetap tekun dan menggunakan energi mental mereka untuk melewati
rintangan-rintangan dan tetap fokus pada pencapaian tujuan tersebut
(Lopez, 2009).
Universitas Sumatera Utara
29
2.3.3.4 Kombinasi willpower dan waypower
Pathways dan agency saling terkait secara positif, bersifat
aditif, dan timbal-balik, namun tidak ada dari komponen tersebut yang
dapat mengartikan harapan. Arti dari agency (agen) dan pathway
(jalur)
tidaklah
sama,
karena
beberapa
orang
menunjukkan
kemampuan untuk mencari pathways (jalur-jalur) untuk mencapai
tujuan tapi tidak mempertahankan energi mental, maupun sebaliknya
(Lopez, 2009).
2.3.4
Karakteristik orang dengan harapan tinggi menurut (Snyder, 1994):
2.3.4.1 Optimisme
Biasanya berkaitan lebih kuat dengan komponen willpower dari
pada dengan komponen waypower. Orang yang optimis cenderung
merasakan energi mental terhadap tujuan mereka, tetapi belum tentu
memiliki pemikiran yang waypower.
2.3.4.2 Perception of control
Orang-orang dengan harapan yang tinggi dihubungkan dengan
sumber kontrol, yaitu mereka mengontrol takdir mereka sendiri.
2.3.4.3 Kemampuan dalam menyelesaikan masalah
Cara berfikir dalam penyelesaian masalah pada orang dengan
level harapan yang tinggi terlihat ketika mereka mengalami
kesulitanuntuk mencapai tujuan tersebut. Dalam kondisi seperi ini,
orang-orang dengan harapan tinggi menjadi sangat berorientasi pada
Universitas Sumatera Utara
30
tugas dan mencoba cara-cara alternatif untuk mendapatkan apa yang
diharapkan.
2.3.4.4 Kompetitif
Kompetitif mencakup pengujian diri sendiri yang dibandingkan
dengan orang lain. Orang-orang yang memilikiharapan tinggi
bertujuan untuk selalu menang dalam setiap kompetisi, hanya saja
mereka menikmati proses menguji kemampuan mereka dan kompetisi
memberikan tantangan yang menyenangkan.
2.3.4.5 Self-Esteem
Orang-orang dengan tingkat harapan yang tinggi berfikir positif
mengenai diri mereka karena mereka tahu mereka telah mencapai
suatu tujuan di masa lalu dan mereka juga dapat melakukan hal yang
sama di masa depan.
2.3.4.6 Positive and negative affrctivity
Karakteristiklain yang dimiliki harapan adalah
positive
affectivity yang merupakan keadaan mental dikarakteristikan dengan
konsentrasi penuh, engagement, dan energi yang tinggi.
2.3.4.7 Kecemasan dan depresi
Orang-orang dengan tingkat harapan yang tinggi bukan berarti
sama sekali terbesar dari rasa kecemasan, hanya saja mereka dapat
mengatasinya dengan pikiran willpower dan waypower. Orang-orang
dengan level harapan yang tinggi juga hidup dengan energi mental dan
Universitas Sumatera Utara
31
ide-ide
untuk
mencapai
tujuan
yang
mengakibatkan
mereka
seharusnya tidak depresi.
2.3.5
Faktor-faktor yang mempengaruhi harapan menurut Weil (2000) :
2.3.5.1 Dukungan sosial
Harapan memiliki hubungan yang erat dengan dukungan sosial.
Keluarga dan teman diidentifikasi sebagai sumber harapan bagi
penderita penyakit kronis . Mengidentifikasi pertahanan hubungan
peran keluarga sesuatu yang penting bagi tingkat harapan dan coping
(Herth dalam Weil, 2000). Sebaliknya, kurangnya ikatan sosial
membuat hasil kesehatan lebih buruk dan peningkatan kematian awal.
Individu mengekspresikan perasaan tidak berdaya ketika mereka tidak
mampu berkomunikasi dengan orang lain.
2.3.5.2 Kepercayaan religius
Kepercayaan religius merupakan sebagai keyakinan seseorang
pada hal positif atau menyadarkan individu pada kenyataan bahwa
terdapat tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya untuk situasi saat ini.
Kegiatan religius merupakan strategi kedua yang paling umum dalam
mempertahankan harapan dan juga sebagai sumber kekuatan bagi
pasien penyakit kronis (Raleigh, 1992 dalam Weil, 2000).
2.3.5.3 Kontrol
Harapan dapat dihubungkan dengan keinginan dalam kontrol,
kemampuan untuk menentukan, dan menyiapkan diri untuk melakukan
Universitas Sumatera Utara
32
antisipasi terhadap stress. Penelitian menunjukkan bahwa harapan
memiliki hubungan yang positif dengan persepsi individu mengenai
kontrol. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa individu yang
memiliki sumber internal dalam kontrol memiliki harapan bahwa
mereka dapat mengontrol nasib mereka sendiri. Sebaliknya, individu
yang memiliki sumber kontrol eksternal berharap untuk dikontrol oleh
kekuatan atau paksaan yang berasal dari luar dirinya.
2.3.6
Harapan dalam mengatasi permasalahan
Menurut Snyder (1994), orang-orang dengan harapan tinggi dapat
mengatasi permasalahan dengan efektif dikarenakan, antara lain :
2.3.6.1 Meminimalkan hal yang negatif
Orang-orang
dengan
harapan
yang
tinggi
tidak
mempersepsikan kejadian dalam kehidupan sebagai hal yang
mengganggu. Pemikiran orang-orang dengan harapan yang tinggi
membuat mereka mampu bertahan dan yakin bahwa kejadian tersebut
akan berlalu.
2.3.6.2 Melihat keluar dan menyelesaikan masalah
Orang-orang dengan tingkat harapan tinggi lebih berfokus pada
situasi untuk melihat apa yang harus diselesaikan. Dengan melihat
keluar, orang-orang dengan harapan tinggi menjadi lebih efektif dalam
membuat perencanaan untuk menghadapi masalah.
Universitas Sumatera Utara
33
2.3.6.3 Call on friends.
Orang-orang dengan tingkat harapan tinggi menggunakan
humor dalam menghadapi permasalahan. Mereka mampu tertawa pada
hal-hal yang terjadi disekitar mereka dan hal penting, mereka mampu
menertawakan diri mereka sendiri.
2.3.6.4 Berdoa
Diantara orang-orang yang religius, tingkat harapan yang lebih
tinggi dikaitkan dengan berdoa. Berdoa berarti meningkatkan energi
mental seseorang.
2.3.6.5 Latihan
Orang-orang dengan tingkat harapan tinggi cenderung lebih
banyak melakukan latihan dari pada orang-orang dengan tingkat
harapan yang rendah.
2.3.6.6 Menjaga kesehatan
Orang yang penuh harapan lebih peduli pada perilaku terkait
permasalahan kesehatan, tetapi juga lebih mau untuk memeriksakan
diri dan berkonsultasi dengan professional.
2.3.6.7 Aging grafecully
Hal yang paling sulit dalam kehidupan dewasa yaitu untuk
menghadapai penuaan dengan sukses. Orang yang tingkat harapan
tinggi cenderung menerima kematian mereka dengan netral.
Universitas Sumatera Utara
34
2.3.6.8 The hope and coping connections
Orang-orang dengan harapan tinggi menghadapi berbagai
macam situasi, mereka mampu menyelesaikan masalah dan dapat
tertawa sebagai salah satu cara untuk koping.
2.3.7
Hubungan harapan dengan intensitas nyeri
Intensitas nyeri merupakan gambaran seseorang tentang seberapa
parah nyeri yang dirasakan. Intensitas nyeri yang dirasakan seseorang
terhadap nyeri berbeda-beda dan beragam. Banyak faktor yang mempengaruhi
intensitas nyeri, salah satunya adalah pengaruh psikologis seperti harapan
(Lemone et al., 2015). Harapan merupakan pikiran atau keyakinan individu
untuk mempertahankan dalam mencapai tujuan (Lopez & Snyder, 2004).
Nyeri melibatkan dimensi kognitif yaitu pengaruh nyeri yang dirasakan oleh
individu terhadap proses berfikirnya atau pandangan individu terhadap dirinya
sendiri. Respon pikiran individu terhadap nyeri yang dirasakan dapat
diasosiasikan dengan kemampuan koping individu menghadapi nyerinya.
Harapan termasuk salah satu strategi koping dalam menyelesaikan masalah
(Snyder, 1994). Individu yang memiliki harapan tinggi mampu menghadapi
situsasi yang sulit dan mencari cara untuk menyelesaikannya. Nyeri terjadi
ketika jaringan yang mengandung nosiseptor dicederai yang dilanjutkan
proses transmisi, di mana impuls nyeri kemudian ditransmisikan serat afferent
(A-delta dan C) ke medulla spinalis. Kemudian dilanjutkan ke otak, di dalam
otak terjadi proses penerjemahan nyeri yang melibatkan kognitif. Nyeri yang
Universitas Sumatera Utara
35
berespon dalam otak dapat dimodifikasi, sehingga persepsi terhadap nyeri
dapat diubah, ditingkatkan, atau dikurangi. Persepsi nyeri dapat dimodifikasi
oleh beberapa faktor. Salah satu nya yaitu harapan. Dalam proses kognitif,
apabila seseorang berfikir positif menyebabkan hasil nyeri rendah dan
sebaliknya apabila seseorang berfikir negatif menyebabkan hasil nyeri tinggi
Selain itu, individu yang memiliki harapan tinggi akan menganggap
nyeri sebagai tantangan, dan berfikir positif mengenai diri mereka. Mereka
akan berusaha untuk meminimalkan hal yang negatif yang mengganggu
kehidupan dan mampu bertahan dalam situasi dan kondisi yang sulit (Snyder,
1994). Namun sebaliknya, bagi pasien yang mengalami nyeri akibat
perkembangan penyakitakan memiliki dampak terhadap psikologis pasien
yaitu seperti penurunan harapan (Lemone et al., 2015).
Universitas Sumatera Utara