Keragaman ikan karang family Chaetodontidae di perairan pulau ungge kabupaten tapanuli tengah

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Laut
Bagian laut terdiri dari dua bagian yaitu bagian dasar dan bagian yang berair atau
pelagik (dari kata Yunani pelages = laut). Secara vertikal laut dibagi dalam
beberapa lapisan kedalamn, berurutan dari lapisan paling atas ialah: epipelagik
(200 m), mesopelagik (200-1000 m), batipelagik (1000-4000 m), abisopelagik
(4000-6000 m) dan hadalpelagik dibawah 6000 m. bagian dasar laut (bentik)
dinamakna sesuai dengan lapisan atasnya yaitu batial, abisal dan hadal (Rahardjo
et al, 2011).
Penetapan lokasi dan ukuran ideal suatu kawasan konservasi laut daerah
merupakan gabungan antara prinsip-prinsip ekologis dan pertimbangan efektifitas
pengelolaan ditingkat lokal. Berdasarkan Pedoman Umum Pembentukan Daerah
Perlindungan Laut, zona perlindungan yang terdapat di Daerah Perlindungan Laut
terdiri dari 3 (tiga) zona sebagai berikut:
(a) Zona inti
Merupakan kawasan yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara
permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya. Kunci
utamanya adalah adanya suatu kawasan yang ditetapkan sebagai zona inti
yaitu zona larang ambil permanen. Zona inti penekanan pengelolaannya

dikonsentrasikan pada upaya perlindungan. Kegiatan yang boleh dilakukan
terbatas dan hanya mengarah pada kegiatan pendidikan, penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan.
(b) Zona penyangga
Zona ini berada di luar kawasan konsevasi yang berfungsi untuk menyangga
keberadaan jenis biota laut beserta ekosistem yang terdapat didalamnya
terhadap adanya gangguan dari luar yang dapat membahayakan keberadaan
potensinya. Selain fungsi pengamanan juga berfungsi sebagai kawasan
pengembangan budidaya maupun pelaksanaan pembangunan dalam bentuk
pengembangan pemanfaatan yang dapat dilakukan oleh masyarakat yang
berada di sekitarnya.

(c) Zona pemanfaatan tradisional
Zona ini berada di luar zona penyangga yang dialokasikan untuk pemanfaatan
sumberdaya alam secara tradisional oleh masyarakat setempat dalam upaya
mendukung pembangunan sosial dan ekonominya. Disamping pemanfaatan
secara tradisional, zona ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan sarana
prasarana rekreasi dan pariwisata secara lestari COREMAP (2008).
Pembagian daerah ekosistem laut dibagi menjadi 4 daerah, yaitu Daerah
Litoral/Daerah pasang surut adalah daerah yang langsung berbatasan dengan

darat. Radiasi matahari, variasi temperatur dan salinitas mempunyai pengaruh
yang lebih berarti untuk daerah ini dibandingkan dengan daerah laut lainnya.
Biota yang hidup di daerah ini antara lain: ganggang yang hidup sebagai bentos,
teripang, bintang laut, udang kepiting, cacing laut. Daerah Neritik merupakan
daerah laut dangkal, daerah ini masih dapat ditembus cahaya sampai ke dasar,
kedalaman daerah ini dapat mencapai 200 meter. Biota yang hidup di daerah ini
adalah plankton, nekton, dan bentos. Daerah Batial atau Daerah Remang-remang
dimana kedalamannya antara 200-2000 meter, sudah tidak ada produsen.
Hewannya berupa nekton, dan Daerah Abisal adalah daerah laut yang
kedalamannya lebih dari 2000 meter daerah ini gelap sepanjang masa, tidak
terdapat produsen (Nybakken, 1988).
Wilayah pesisir dan lautan merupakan kawasan yang menyimpan
kekayaan sumberdaya alam yang sangat berguna bagi kepentingan manusia.
Secara mikro sumberdaya kawasan ini dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan
hidup esensial penduduk sekitarnya sedangkan secara makro, merupakan potensi
yang sangat diperlukan dalam rangka menunjang kegiatan pembangunan nasional
disegala bidang (Utomo, 2010).
Penetapan daerah distribusi ikan laut tidak semudah dengan ikan air tawar.
Salah satunya ialah tidak adanya pembatas fisik yang tegas terhadap gerakan
perpindahan ikan dari suatu tempat ke tempat lain. Faktor pembatas penyebaran

ikan adalah temperatur. Faktor lain yang mempengaruhi distribusi ikan ialah
bentuk garis pantai dan kemiringan dasar laut, variasi salinitas dan arus laut.
Pengelompokan yang dipandang cukup memadai ialah dengan memisahkan
distribusi ikan dalam dua bidang, yakni paparan bebua dan laut lepas. Paparan

benua membentang dari permukaan laut sampai dasar laut pada kedalaman dari
200 m, sedangkan laut lepas mencakup seluruh zona laut di luar paparan benua
(Rahardjo et al, 2011).

2.2 Ekosistem Terumbu Karang
Organisme penyusun terumbu karang (Scleractinia) hidup bersimbiosis dengan
alga Zooxanthellae yang dalam proses biologisnya alga mendapat karbondioksida
(CO2) untuk proses fotosintesis dan zat hara dari hewan-hewan terumbu karang
(Haruddin et al, 2011).
Menurut bentuk dan letaknya, pertumbuhan ekosistem terumbu karang
dikelompokkan menjadi tiga tipe terumbu karang (Nybakken 1992) yaitu:
(a) Terumbu karang pantai (fringing reefs)
Terumbu karang ini berkembang di pantai dan mencapai kedalaman tidak
lebih dari 40 meter. Terumbu karang ini tumbuh keatas dan kearah laut.
Pertumbuhan terbaik biasanya terdapat di bagian yang cukup arus. Sedangkan

diantara pantai dan tepi luar terumbu, karang batu cenderung mempunyai
pertumbuhan yang kurang baik, bahkan banyak yang mati karena sering
mengalami kekeringan dan banyaknya endapan yang datang dari darat.
(b) Terumbu karang penghalang (barrier reefs)
Terumbu karang ini terletak agak jauh dari pantai dan dipisahkan dari pantai
tersebut oleh dasar laut yang terlalu dalam untuk pertumbuhan karang batu
(40-70 meter). Terumbu karang ini berakar pada kedalaman yang melebihi
kedalaman maksimum dimana karang batu pembentuk terumbu dapat hidup.
Umumnya terumbu tipe ini memanjang menyusuri pantai dan

biasanya

berputar seakan-akan merupakan penghalang bagi pendatang yang datang
dari luar.
(c) Terumbu karang cincin (atoll)
Terumbu karang ini merupakan bentuk cincin yang melingkari suatu goba
(Lagon). Menurut Sukarno et al. (1983) kedalaman rata-rata goba didalam
atol sekitar 45 meter, jarang sampai 100 meter. Terumbu karang ini juga
bertumpu pada dasar laut yang dalamnya diluar batas kedalaman karang batu
penyusun terumbu karang hidup.


Terumbu karang (coral reef) merupakan masyarakat organisme yang hidup
di dasar perairan dam berupa bentuk batuan kapur yang cukup kuat menahan gaya
gelombang laut. Sedangkan organisme-organisme yang dominan hidup disini
adalah binatang-binatang karang kapur, dan algae yang banyak diantaranya juga
mengandung kapur. Terumbu karang (coral reff) sebagai ekosistem dasar laut
dengan penghuni utama karang batu mempunyai arsitektur yang mengagumkan
dan dibentuk oleh ribuaan hewan kecil yang disebut polip. Dalam bentuk
sederhana, karang terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh
seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh
tentakel. Namun kebanyakan spesies, satu individu polip karang akan berkembang
menjadi banyak individu yang disebut koloni Sorokin (1993) dalam Purwanto
(2011).
Karang memiliki dua cara dalam reproduksi, yaitu dengan cara seksual dan
aseksual. Reproduksi seksual karang menghasilkan larva planula yang berenang
bebas dalam kolom perairan untuk sementara waktu, kemudian melekat pada
substrat dan akan mengalami perubahan struktur dan histologi. Ketika polip
menjadi dewasa dan membentuk koralit, maka ia mulai melakukan reproduksi
secara aseksual untuk memperbesar koloni. Reproduksi aseksual pada karang
dapat terjadi melalui intratentaculer budding maupun extratentaculer budding.

intratentaculer budding adalah tumbuhnya individu baru dari individu lama dan
hasilnya terdapat dua individu yang identik, extratentaculer budding adalah
tumbuhnya individu baru diantara individu yang lama (Maharbhakti, 2009).
Ekosistem terumbu karang adalah bagian dari ekosistem pesisir dan lautan
secara keseluruhan. Karena itu, terumbu karang merupakan salah satu pendukung
ekosistem pesisir dan lautan. Demikian sebaliknya, ekosistem pesisir dan lautan
terhadap terumbu karang, negatif maupun positif. Sebagai habitat, ekosistem
terumbu karang merupakan tempat hidup, mencari makan, pemijahan,
pengasuhan, dan pembesaran berbagai biota laut, baik biota terumbu karang
maupun biota laut lainnya (Kordi, 2010). Suatu pulau biasanya dikelilingi oleh
karang tepi (fringing reef), paparan terumbunya landai yang terdiri dari zona-zona
terumbu seperti rataan terumbu (reef flat), puncak terumbu (reef crest), dan tubir
(reef slope) (Septyadi, 2013).

Ekosistem terumbu karang yang tesebar hampir di seluruh perairan
Indonesia dengan segala kehidupan yang terdapat didalamnya merupakan
kekayaan alam yang bernilai tinggi. Manfaat yang terkandung di dalam ekosistem
terumbu karang sangat besar dan beragam, baik manfaat langsung seperti
pemanfaatan ikan dan biota lainnya, parwisata bahari dan lain-lain, maupun
manfaat tidak langsung, seperti penahan abrasi pantai, pemecah gelombang,

tempat mencari makan, pembesaran, pemijahan bagi biota asosiasinya dan
keanekaragamaan hayati lainnya (Kudus, 2005). Ekosistem terumbu karang
dikenal memiliki produktivitas tinggi, kondisi ini menyebabkan ekosistem ini
banyak dihuni oleh berbagai jenis ikan, moluska, bintang laut, teripang dan udang.
Umumnya biota-biota karang khususnya ikan karang, hidup berasosiasi dengan
terumbu karang (Syakur, 2000).
Pemasok pangan yang sangat potensial bagi manusia ialah keberadaan
terumbu karang. Karena berbagai jenis biota laut seperti ikan, algae, crustaceae
dam molusca dapat ditemukan di ekosistem ini. Kehadiran berbagai jenis biota ini
mengundang

kegiatan

eksploitasi

sumberdaya

secara

besar.


Aktivitas

penambangan karang, penangkapan ikan dengan bahan beracun dan bahan
peledak penggunaan alat tangkap yang tidak selektif serta pencemaran yang
terjadi di laut maupun di darat merupakan masalah utama terjadinya degradasi
terumbu karang (Titaheluw, 2011).
Faktanya keadaan saat ini kawasan terumbu karang tersebut telah
mengalami degradasi. Banyak hal yang menjadi penyebab kerusakan terumbu
karang seperti halnya kegiatan pengeboman, peracunan karang merupakan
penyebab utama terjadinya kerusakan terumbu karang di suatu ekosistem perairan,
serta banyaknya wisatawan yang menjadikan area terumbu alami sebagai kawasan
wisata yang terkadang secara tidak sengaja merusak terumbu akibat tersentuh
maupun terinjak (Pardede, 2012).
Berbagai kegiatan manusia yang berakibat pada kerusakan ekosistem
terumbu karang, baik langsung maupun tidak langsung yaitu: Penambangan atau
pengambilan karang, penangkapan ikan dengan penggunaan (bahan peledak,
racun, bubu, jaring, pancing, dan eksploitasi berlebihan), pencemaran (minyak

bumi, limbah industri, dan rumah tangga), pengembangan daerah wisata dan

sedimentasi (Haruddin et al, 2011).

2.3 Ikan Karang
Keanekaragam ikan karang merupakan bagian yang sangat penting dalam
ekosistem terumbu karang, tidak hanya bagi ikan itu sendiri yang menjadikan
ekosistem terumbu karang sebagai habitat vitalnya, yaitu sebagai tempat
pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground) dan mencari makan
(feeding ground), namun juga penting dalam menjaga keseimbangan antara
berbagai komponen penyusun ekosistem terumbu karang. Secara ekonomis, ikan
karang sangat penting bagi nelayan dan dunia pariwisata. Bagi masyarakat
nelayan, ikan karang menjadi sumber pendapatan atau sebagai bahan makanan
sehari-hari. Dalam kehidupan sehari-hari, di pasar-pasar tradisional sekitar
wilayah pesisir selalu banyak ditemui ikan karang untuk diperjual belikan. Mereka
biasanya ditangkap menggunakan pancing, spear gun atau dengan jaring. Untuk
dunia pariwisata, kepentingan ikan karang tidak diragukan lagi sebagai objek yang
diburu oleh para turis akibat warna dan bentuknya yang beranekaragam. Ikan
karang tersebut akan menjadikan ekosistem terumbu karang menjadi hidup dan
sengat indah (Utomo et al, 2013).
Keberadaan ikan karang di sekitar terumbu karang tergantung dari kondisi
terumbu karang itu sendiri. Persentasi tutupan karang hidup yang tinggi tentunya

akan berdampak pada kelimpahan ikan-ikan karang. Sebaliknya, bila presentasi
tutupan karang buruk tentunya kelimpahan ikan karang akan sangat berkurang.
Habitat ikan di daerah tropis mempunyai jumlah spesies yang lebih banyak
daripada di daerah subtropis dan yang paling banyak jumlah ikannya adalah
spesies ikan karang yang diduga ada sebanyak 4 000 spesies (Allen et al. 1998).
Perairan Indonesia sendiri terdapat sekitar 3 000 jenis yang termasuk
dalam 17 ordo dan 100 famili (Kuiter, 2001). Kebanyakan famili ikan yang berada
di laut tropis sebagian besar hidup dan hanya dapat ditemukan di daerah terumbu
karang. Famili Chaetodontidae, Scaridae dan Labridae merupakan famili ikan
yang hidup di daerah terumbu. Sedangkan famili Acanthuridae, Holocentridae,
Balistidae, Ostraciodontidae, Pomacentridae, Serranidae, Blennidae dan

Muraenidae merupakan komponen famili ikan demersal dan termasuk kedalam
jenis ikan pemakan benthos (epibentis). Beberapa famili ikan yang hidup di
daerah pelagis (epipelagis) dan mempunyai hubungan erat dengan terumbu karang
adalah ikan genus Sphyrena dan famili Carangidae. Ikan-ikan karang tersebut
rata-rata memiliki warna yang cerah dan mempunyai ciri khusus yang dapat
membantu kita dalam mengidentifikasi species ikan tersebut. Selain itu, warna
dan ciri tersebut dapat berfungsi untuk melindungi diri dari predator yang selalu
mencari kesempatan untuk memakannya (Utomo, 2010)

Menurut Helfman et al. (1997) dalam Rahardjo et al. (2011), empat divisi
ekologik utama ikan dapat dikenal, yakni:
(a) Ikan epipelagik mendiami dari permukaan sampai kedalaman 200 m,
membentuk 1,3% total, atau lebih kurang 325 spesies.
(b) Ikan pelagik dalam mencakup sekitar 1250 spesies atau sekitar 5% dari total.
Ikan dapat dipilah menjadi ikan mesopelagik yang mendiami kedalaman 200
m sampai ke 1000 m dan ikan batipelagik yang mendiami lapisan air di
bawah 1000 m.
(c) Ikan bentik dalam meliputi sekitar 1500 spesies atau 6,4% total. Pada
kedalaman yang sangat dalam tersebut, ikan dihadapkan pada keadaan yang
selalu gelap gulita dengan tekanan hidristatik yang amat besar. Dengan
demikian tidaklah mengherankan bila ikan yang hidup di dasar laut
mempunyai bentuk yang aneh-aneh atau tidak lazim seperti halnya ikan yang
biasa terlihat sehari-hari.
(d) Ikan landas kontinen atau litoral yang menghuni kolom di atas 200 m,
merupakan kelompok terbesar yang terdiri atas 45% total atau sekitar 11.200
spesies.
Ikan herbivora dan pemakan karang merupakan kelompok besar kedua dan
yang paling penting dari kelompok ini adalah famili Scaridae dan Achanthuridae.
Sisanya diklasifikasikan sebagai omnivora dan termasuk wakil-wakil dari seluruh
famili ikan yang sebenarnya terdapat di terumbu karang (Pomachentridae,
Chaetodontidae,

Pomochantridae,

Monocanthuridae,

Tetraodontidae). Hanya ada beberapa ikan

Ostractiontidae

dan

yang merupakan pemakan

zooplankton, dan mereka pada umumnya kecil, yaitu ikan-ikan yang membentik

kumpulan (schooling) dari famili Clupeidae dan Atherinidae (Nybakken, 1988).
Perbedaan habitat menyebabkan perkembangan organ-organ ikan disesuaikan
dengan kondisi lingkungan. Adanya sedimen dalam air akan mengurangi penetrasi
cahaya masuk kedalam air sehingga mengurangi kecepatan fotosintesis pada
ekosistem perairan (Utomo, 2010).
Banyak spesies ikan di daerah terumbu karang yang memiliki nilai
ekonomi tinggi, baik ikan konsumsi maupun ikan hias. Ikan-ikan di terumbu
karang ditangkap untuk konsumsi lokal maupun untuk pasar ekspor. Beberapa
jenis ikan yang merupakan ikan yang harganya sangat mahal, seperti kerapu,
kakap merah, dan napoleon, bahkan telah memberikan sumbangan yang sangat
besar bagi kerusakan terumbu karang, karena penangkapan yang destruktif dengan
menggunakan bahan kimia beracun (Kordi, 2010).
Menurut Nybakken (1988), Ikan merupakan organisme yang jumlah
biomassanya terbesar dan juga merupakan organisme besar yang mencolok dapat
ditemui di dalam ekosistem terumbu karang. Kondisi fisik terumbu karang yang
kompleks memberikan andil bagi keragaman dan produktivitas biologinya.
Banyak celah dan lubang di terumbu karang memberikan tempat tinggal,
perlindungan, tempat mencari makan dan berkembang biak bagi ikan dan hewan
invertebrata yang berada disekitarnya. Bahwa dengan perbedaan habitat (reef flat
dan reef slope) maka komposisi jenis karang hidup juga berbeda dan diikuti
dengan ikan karang penyususnnya.
Ikan karang merupakan salah satu sumber daya laut yang penting sebagai
sumber protein hewani atau ikan konsumsi dan ikan hias laut. Jenis dan
kelimpahan ikan karang sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan perairan,
bentuk dan luasan terumbu karang hidup, substrat dasar, serta asosiasi dengan
organisme bentik sehingga dengan kondisi terumbu karang dan lingkungan
perairan yang baik dalam pemanfaatan ruang dan penyediaan makanan, maka
keanekaragaman jenis dan jumlah individu akan semakin tinggi (Tarigan et al.
2009). Faktor kedalaman berperan penting dalam penyebaran ikan-ikan karang.
Umumnya mereka memiliki kisaran kedalaman yang sempit, tergantung dari
ketersediaan makanan, ombak dan keberadaan predator. Di daerah-daerah yang
kaya akan makanan ikan akan cenderung berkelompok (Purwanti, 2004).

Menurut Allen et al (1998), keberadaan ikan karang di sekitar terumbu
karang tergantung dari kondisi terumbu karang itu sendiri. Persen tutupan karang
hidup yang tinggi tentunya akan berdampak pada kelimpahan ikan-ikan karang.
Sebaliknya, bila persentasi tutupan karang buruk tentunya kelimpahan ikan karang
akan sangat berkurang. Habitat ikan di daerah tropis mempunyai jumlah spesies
yang lebih banyak dari pada di daerah subtropis dan yang paling banyak jumlah
ikannya adalah spesies ikan karang yang diduga ada sebanyak 4.000 spesies.
Berdasarkan distribusi hariannya, ikan-ikan karang umumnya terbagi dua
kelompok besar yaitu ikan-ikan diurnal dan nokturnal. Ikan diurnal (siang hari)
merupakan kelompok terbesar di ekosistem terumbu karang, yang termasuk
kelompok ikan diurnal adalah ikan dari famili Pomacentridae, Labridae,
Achanturidae, Lutjanidae, Chaetodontidae, Serranidae, Balistidae, Cirrhitidae,
Tetraodontidae, Bleniidae dan Gobidae. Mereka makan dan tinggal di permukaan
karang serta memakan plankton yang lewat diatasnya (Syakur, 2000). Pada malam
hari ikan-ikan diurnal akan masuk dan berlindung di dalam terumbu dan
digantikan oleh ikan-ikan nokturnal (ikan malam). Pada malam hari mereka keluar
dan mencari makan, baru pada siang hari ikan-ikan ini masuk ke gua-gua atau
celah-celah karang. Ikan yang termasuk ke dalam ikan-ikan nokturnal adalah ikan
dari famili Holocentridae, Apogonidae, Haemolidae, muraenidae, Scorpaenidae,
Serranidae dan Labridae (Purwanti, 2004).
Beberapa kelompok ikan benar-benar menggunakan terumbu sebagai
tempat hidupnya, seperti famili Scaridae, Pomacentridae, dan Labridae, yang
sejak juvenile telah berada di ekosistem terumbu karang. Kelompok ikan dapat
dibagi dua yaitu kelompok ikan yang kadang-kadang berada di daerah terumbu
(contohnya famili Scrombidae, Myctophidae, Sphyraenidae, Caesionidae, dan
hiu) dan kelompok ikan yang menggantungkan seluruh hidupnya pada terumbu
karang (contohnya famili Pomacentridae dan Chaetodontidae) (Madduppa, 2006).
Menurut Ardim (1993) dalam Utomo (2010), kelompok ikan karang dibagi
menjadi tiga kategori, yaitu:
(a) kelompok ikan target, yaitu ikan karang yang mempunyai manfaat sebagai
ikan konsumsi, seperti ikan famili Sarranidae, Lutjanidae, Haemulidae dan
Lethrinidae.

(b) Kelompok ikan indikator, yaitu kelompok ikan karang yang dinyatakan
sebagai indikator kelangsungan hidup terumbu karang. Hanya satu famili
yang termasuk jenis kelompok ikan indikator, yaitu ikan dari famili
Chaetodontidae.
(c) Kelompok ikan umum (mayor), yaitu ikan yang berperan dalam rantai
makanan, seperti ikan dari famili Pomacentridae, Scaridae, Acanthuridae,
Caesionidae, Labridae, Siganidae, Mullidae, dan Apogonidae.
Ikan indikator adalah jenis-jenis ikan yang hidup berasosiasi paling kuat
dengan karang atau sangat tergantung dengan keberadaan karang di suatu perairan
karang. Jenis ikan yang termasuk jenis ikan indikator antara lain dari famili
Chaetodontidae. Dalam perhitungannya, jenis ikan ini sangat mudah diamati satu
per satu di dalam areal pengamatan, karena sifat dari hidupnya sendiri-sendiri, ada
yang berpasangan atau hanya dalam kelompok kecil dan sangat jarang jenis ikan
ini dalam kelompok besar (Utojo, 2007).
Berdasarkan makanannya, ikan karang diklasifikasikan dalam 6 tipe,
yakni: kelompok ikan pemakan segala (omnivores), kelompok ikan pemakan
ditritus (detritivores), kelompok ikan pemakan tumbuhan (herbivores), kelompok
ikan pemakan moluska (moluscivores), kelompok ikan pemakan zooplankton
(zooplangtivores), dan kelompok ikan-ikan karnivora (carnivores) (Wulandari,
2002).

2.4 Ikan Kepe-kepe (Chaetodontidae)
Ikan hias dari suku Chaetodontidae di Sulawesi Utara dikenal dengan ikan Kupukupu, karena memiliki warna yang indah dan bentuk yang pipih menyerupai
kupu-kupu. Di Irian Jaya dan Maluku dikenal dengan nama ikan daun-daun,
karena bentuk tubuhnya pipih dan lebar menyerupai daun. Sedangkan nelayan di
Jawa menyebutnya dengan nama ikan kepe-kepe. Daya tarik ikan dari suku
Chaetodontidae diperlihatkan oleh gerakannya yang tenang dan anggun, serta tata
warna yang cerah cemerlang. Secara keseluruhan ikan mirip kupu-kupu, oleh
karena itu dalam dunia usaha ikan ini dikenal pula dengan nama “Butterflyfishes”,
“Bannerfishes”, atau “Coralfishes” (Makatipu, 2001).

Reese (1991) merupakan peneliti pertama yang melakukan percobaan
untuk mengidentifikasi spesies indikator dengan memakai ikan butterflyfishes
(chaetodontidae) jenis pemakan karang untuk penilaian kondisi terumbu karang.
Ikan chaetodontidae memungkinkan untuk dijadikan sebagai bioindikator karena
hubungannya yang erat dengan karang yang mereka makan dan fungsi morfologi
dari organ-organ tubuh ikan ini yang memungkinkan memakan jaringan karang
tanpa merusak susunan dasar koral (Crosby & Reese 1996) dalam (Utomo, 2010).
Berikut Klasifikasi dari ikan kepe-kepe Chaetodon:
Kingdom

: Animalia

Filum

: Chordata

Kelas

: Actinopterygii

Ordo

: Perciformes

Famili

: Chaetodontidae
Ikan kepe-kepe (Butterflyfishes) merupakan salah satu ikan terumbu yang

mudah dikenali diperairan terumbu karang. Kebanyakan ikan kepe-kepe
ditemukan di perairan tropis, dangkal, disekitar terumbu karang pada kedalaman
kurang dari 60 feet (18 m). Tetapi, beberapa penemuan terakhir telah ditemukan
spesies baru yang berada pada kedalaman 600 feet (180 m) (Madduppa, 2006).

Gambar 1: Jenis Ikan Kepe-kepe (Chaetodon collare)
Ikan Chaetodontidae dapat dijadikan sebagai bioindikator bagi karang
berdasarkan kriteria yaitu: (a) salah satu dari jenis ikan karang yang
keberadaannya sangat banyak di terumbu karang dan terdapat di beberapa bagian
dunia; (b) mudah untuk dikenali dan diamati karena aktifitasnya yang bersifat
diurnal; (c) secara taksonomi sangat mudah dipelajari dan diidentifikasi oleh

orang yang tidak berpengalaman; (d) memiliki wilayah sebaran yang luas dan
dapat mencapai usia yang panjang sehingga individu yang sama dapat diteliti
berulang-ulang (Utomo, 2010).
Menurut Allen (1979), ikan kepe-kepe membagi menjadi 10 genus, yaitu:
Amphichaetodon, Chaetodon, Chelmon, Chelmonops, Coradion, Forcipiger,
Hemitaurichthys, Heniochus, Johnrandallia, parachaetodon.
Ikan Chaetodontidae merupakan ikan yang memiliki penyebaran luas,
ditemukan hidup berasosiasi dan menetap di terumbu karang. Kelimpahan ikan
Chaetodontidae dapat mengindikasikan bahwa terumbu karang sudah mengalami
perubahan, selain itu beberapa penelitian menunjukkan bahwa kehadiran ikan
Chaetodontidae mempunyai kolerasi yang positif dengan persen tutupan karang
hidup di beberapa perairan Indonesia. Interaksi antar ikan Chaetodontidae sebagai
penghuni perairan karang dengan terumbu karang dan faktor pendukung lainnya.
Dalam analisa ikan Chaetodontidae sebagai indikator kondisi terumbu karang
dibahas juga tentang keanekaragaman, keseragaman, dominansi jenis, analisa isi
perut dan kehadiran serta kesukaan ikan terhadap karang tertentu (Utomo, 2010).

2.5 Morfologi Ikan Kepe-kepe (Chaetodontidae)
Para ahli ikhtiologi mengklasifikasikan ikan kepe-kepe kedalam famili
Chaetodontidae berdasarkan desain gigi mereka. Semuanya mempunyai gigi yang
mirip sisir. Umumnya mulutnya lancip dan rahangnya dilengkapi dengan gigi-gigi
kecil dan tajam untuk mencari makanannya di celah-celah karang batu.
Pergerakan yang cepat dan bentuk warna yang jelas juga merupakan salah satu
alasan pemberian nama pada kelompok ikan ini. Para peneliti juga mengusulkan
beberapa kemungkinan fungsi dari warna-warna dramatis dan bentuk pewarnaan
yang umumnya di dominasi oleh kuning, hitam dan putih. Untuk beberapa ikan
kepe-kepe, khususnya spesies yang mempunyai hubungan yang dekat dengan
habitat yang sama, pengenalan spesies mungkin penting pada saat identifikasi
pasangan. Beberapa spesies hidup berpasangan dan mempunyai wilayah teritorial
tertentu yang sesuai dengan pewarnaanya yang berguna untuk menyamar dari
pemangsaan. Beberapa lainnya, pewarnaan penting untuk perlindungan dari
predator. ikan kepe-kepe umumnya aktif pada siang hari (diurnal), dan mencari

tempat perlindungan di habitat terumbu pada malam hari (Fishbase 2005; Nontji
1993) dalam (Madduppa, 2006).
Kekhasan ikan karang pada umumnya di tunjukkan oleh corak dan jenis
warna yang beraneka ragam. Sehingga sangat membantu dalam pengenalan
maupun identifikasi kelompok ikan dari famili Chaetodontidae. Pada prinsipnya,
ikan karang dikatogorikan sebagai ikan perairan dangkal. Sebagaimana bisa kita
lihat dari anatomi kelompok ikan karang ini terdiri dari 9 komponen utama, yakni:
1) dorsal fin (sirip punggung), 2) pectoral fin (sirip dada), 3) ventral fin (sirip
bawah), 4) anal fin (sirip bawah belakang), 5) caudal fin (sirip ekor), 6)
operculum (gill cover/ penutup ingsang), 6) lateral line (garis sisi), 7) gasblader
(hydrostatic organ), dan 9) gill (insang). Sirip punggung dapat terbagi atas dua
bagian, yakni: sirip keras (hard spins) dan sirip lunak (soft spins). Selain corak
warna, salah satu penciri yang khas adalah bentuk sirip ekor (Irawati, 2006).

2.6 Faktor Pembatas Fisik Kimia
2.6.1 Suhu
Pertumbuhan biota karang sangat dipengaruhi oleh suhu perairan
sekitarnya, biasanya biota karang dapat tumbuh pada suhu 180C – 360C dan
pertumbuhan optimum terjadi di perairan yang rata-rata suhu tahunannya 260C –
280C (Nybakken, 1988). Suhu merupakan salah satu sifat fisik yang dapat
mempengaruhi metabolisme dan pertumbuhan badan ikan. Penyebaran suhu
dalam perairan dapat terjadi karena adanya penyerapan dan angin sedangkan yang
mempengaruhi tinggi rendahnya suhu adalah musim, cuaca, waktu pengukuran,
kedalam air dan lain sebagainya. Semua jenis ikan mempunya toleransi yang
rendah terhadap perubahan suhu apalagi yang drastis. Kisaran suhu yang baik
untuk ikan adalah antara 250C – 320C. Kisaran suhu ini umumnya di daerah
beriklim tropis seperti Indonesia. Laju metabolisme ikan dan hewan air lainnya
secara langsung meningkat dengan naiknya suhu. Peningkatan metabolisme jyga
berarti meningkatnya kebutuhan akan oksigen (Anwar et al, 1984) dalam
(Pandiangan, 2009).

2.6.2 Penetrasi Cahaya
Cahaya memegang peranan penting sebagai sumber energy bagi kelangsungan
proses fotosintesis. Bila terjadi proses fotosintesis oleh alga menyebabkan
pertambahannya produksi kalsium karbonat dengan menghilanhkan karbon
dioksida. Kondisi ini yang menyebabkan distribusi vertikal terumbu karang
dibatasi oleh kedalaman efektif sinar yang masuk (Wulandari, 2002).
Cahaya merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan ikan dan
berperan secara langsung maupun tidak langsung. Cahaya dibutuhkan ikan untuk
mengejar mangsa, menghindari diri dari predator dan dalam perjalanan menuju
suatu tempat. Hanya beberapa spesies ikan yang beradaptasi untuk hidup di
tempat yang gelap. Secara tidak langsung peranan cahaya matahari bagi
kehidupan ikan adalah melalui rantai makanan. Selain penting dalam membantu
penglihatan, cahaya juga penting dalam metabolisme ikan dan pematangan gonad.
Ikan yang mendiami daerah air yang dalam pada siang hari akan bergerak menuju
ke daerah yang lebih dangkal untuk mencari makanan dengan cara rangsangan
cahaya (Utomo, 2010).

2.6.3 Kecepatan Arus
Arus dibutuhkan untuk mendatangkan makanan berupa plankton,
disamping dapat membersihkan karang dari endapan. Pertumbukan karang pada
daerah berarus akan lebih baik dibandingkan dengan perairan yang tenang
(Utomo, 2010).

2.6.4 Gelombang
Tidak adanya gelombang memungkinkan ada terjadinya pengendapan
yang akan menutupi dan menyumbat struktur pemberian makanan karang dan
menghalangi masuknya cahaya matahari ke perairan di terumbu karang, selain itu
juga suplai makanan (plankton) dan air segar yang kaya oksigen jadi berkurang
(Nybakken, 1992).

2.6.5 Salinitas
Salinitas merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan terumbu karang,
salinitas normal air laut adalah 32 – 35 ‰. Di luar kisaran ini karang hermatipik
tidak dapat tumbuh. Karang yang hidup di tempat-tempat dalam jarang atau tidak
pernah mengalami perubahan salinitas yang cukup besar, sedangkan karang di
tempat-tempat dangkal sering kali dipengaruhi oleh masukan air tawar dari pantai
maupun hujan sehingga terjadi penurunan salinitas perairan (Nybakken, 1992).

2.6.6 pH
Organisme air dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH
netral dengan kisaran antara asam lemah sampai basa lemah. Nilai pH yang ideal
bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara 7 sampai 8,5.
Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan
membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan
terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Disamping itu pH yang sangat
rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat terutama ion
aluminium (Barus, 2004). Organisme air dapat hidup dalam suatu perairan yang
mempunyai nilai pH netral dengan nilai toleransi antara asam lemah sampai basa
lemah. Nilai pH yang ideal bagi kehudupan organisme air pada umumnya dapat
antara 7. Sementara reproduksi atau perkembang biakan ikan biasanya akan naik
pada pH 6,5 walaupun itu tergantung juga pada jenis ikannya (Baur, 2004) dalam
(Pandiangan, 2009).

2.6.7 DO (Oksigen Terlarut)
Oksigen diperlukan oleh ikan-ikan untuk menghasilkan energi yang sangat
penting bagi pencernaan dan amunisi makanan, pemeliharaan keseimbangan
osmotok dan aktifitas lainnya. Jika persediaan oksigen diperairan sangat sedikit
maka perairan tersebut tidak baik bagi ikan dan makhluk hidup lainnya yang
hidup di air, karna akan mempengaruhi kecepatan makan dan pertumbuhan ikan.
Kandungan oksigen terlarut minimum 2 mg/L oksigen sudah cukup mendukung
kehidupan

organisme

(Pandiangan, 2009).

perairan

secara

normal

(Wardana,

2001)

dalam