Keragaman ikan karang family Chaetodontidae di perairan pulau ungge kabupaten tapanuli tengah

(1)

(2)

Lampiran 2. Bagan DO (Dissolved Oxygen)

Sampel Air

1 ml MnSO4 1 ml KOHKI Dihomogenkan Didiamkan Sampel Endapan

Puith/Cokelat

1 ml H2SO4 Dihomogenkan Didiamkan Larutan Sampel

Berwarna Cokelat

Diambil 100 ml

Dititrasi Na2S2O30,00125 N Sampel Berwarna

Kuning Pucat

Ditambah 5 tetes Amilum Sampel

Berwarna Biru

Dititrasi dengan Na2S2O3 0,00125 N

Sampel Bening

Dihitung volume Na2S2O3 yang terpakai

Hasil


(3)

Lampiran 3. Bagan BOD5(Biochemical Oxygen Demand)

(Suin, 2002) dihitung nilai DO akhir

diinkubasi selama 5 hari pada

temperatur 20°C Dihitung

Sampel Air

Sampel Air Sampel Air

DO Akhir DO Awal

Keterangan :

Penghitungan nilai DO awal dan DO akhir sama dengan penghitungan Nilai DO

Nilai BOD = Nilai awal–Nilai DO akhir

Nilai DO awal


(4)

Lampiran 4. Alat dan Bahan

Alat Scuba pH meter

Keping Secchi Refraktometer


(5)

Lampiran 5. Foto Kerja

Penarikan Transek Pengamatan Ikan

Peletakan transek berdasarkan Pengukuran faktor

fisik ulangan


(6)

Lampiran 6. Contoh Hasil Perhitungan

a. Kepadatan Chaetodon collare pada Stasiun 1 =

=

= 0,023 ind/m3

b. Kepadatan Relatif Chaetodon collare pada Stasiun 1

KR = x 100

=

,, x 100% = 0,362%

c. Frekuensi Kehadiran Chaetodon collare pada Stasiun 1

FK = x 100%

= x 100% = 100 %

d. Diversitas Shannon-Wiener (H’) pada Stasiun 1

H’ = −

pi ln pi

H’ =

∑ ln + ln + ln + ln + ln


(7)

e. Indeks Ekuitabilitas / Keseragaman (E) pada Stasiun I

E =

max ' H

H

E = ,

,

E = 0,74

f. Indeks Similaritas (IS) antara Stasiun 1 dan 2

IS =

b a

c +

2

X 100%

IS = x 100%


(8)

DAFTAR PUSTAKA

Allen, G. R., Wiley. J & Sons. 1979. Butterfly And Angelfishes Of The World. New York.

Allen, G. R., Steene, R.C., Allen, M., 1998. A Guide to Angelfishes and

Butterflyfishes. Odyssey Publishing/Tropical Reef Research, Perth,

Western Australia. 250.

Allen, G. R. & Ermann, M. V. 2003. Reef Fishes Of The East Indian. Edition 2. Alimuddin. 2008. Kondisi Substrat Dasar dan Ikan Karang di Daerah

Perlindungan Laut Pulau Sebesi Lampung. Jurnal Oseana. 17(3): 8-9 Antonius. 2006. Analisis Kesukaan Habitat Famili Chaetodontidae Di Perairan

Sabang, Pulau Weh, Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2004. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor: Bogor.

Barus, T. 2004. Pengantar Limnologi Study Tentang Ekosistem Air Daratan. Biologi FMIPA USU: Medan.

Bawole, R. 1998. Distribusi Spasial Ikan Chaetodontidae dan Peranannya Sebagai Indikator Kondisi Terumbu Karang Di Perairan Teluk Ambon. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor: Bogor.

Brower, J. E., H. Z. Jerrold & Car I. N. Von Ende. 1998. Field and Laboratory

Methods for General Ecology. Third Edition. USA, New York: Wm. C.

Brown Publisher.

[COREMAP] Coral Reef Management Project II, 2008. Buletin COREMAP II Provinsi Sumatera Utara: Midterm Review ADB. Edisi ke-3. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera, Medan.

Dhewani, N. & Kusumawati, P. 2009. Pemantauan Perikanan Berbasis Masyarakat (CREEL) di Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2008. Jakarta:

Coral Reef International and Training Center CRITC- COREMAP II.

Fachrul, M. F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Bumi Askara.

Harefa, T. 2015. Persentase Tutupan Karang Dan Bentuk Pertumbuhan Karang Hidup Di Perairan Pulau Ungge Kabupaten Tapanuli Tengah. [Skripsi]. Universitas Sumatra Utara: Medan.


(9)

Haruddin, A., Purwanto, E & Budiastuti, S. 2011. Dampak Kerusakan Ekosistem Terumbu karang Terhadap Hasil Penangkapan Ikan Oleh Nelayan Secara Tradisional di Pulau Siompu Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tengah.

Journal Ekosains. 3(3): 21-24.

Hukom, F. D. 1996. Struktur Komunitas Dan Distribusi Ikan Karang Di Selat Sele-Basin Salawati, Sorong Irian Jaya dan Hubungannya Dengan Karakteristik Habitat. Jurnal Puslitbang Oseanologi, LIPI.

Hukom, F. D. & Bawole, R. 1997. Famili Chaetodontidae Sebagai Ikan Indikator Di Daerah Terumbu Karang. Jurnal Lonawarta. 20(1): 11-15

Irawati, N & Elisnawati. 2006. Kelimpahan dan Keanekaragaman Ikan

Chaetodontidae di Perairan Pulau Barrang Lompo Sulawesi Selatan. Jurnal WARTA-WIPTEK. 14(2): 6-7.

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: Kep. 51/MEN/2004. Lampiran III Tentang Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut.

Kordi K. M. G. H. 2010. Ekosistem Terumbu Karang. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

Kuiter, R. H. & Tonozuka, T. 2001. Indonesia Reef Fishes. Australia.

Krebs, C. J. 1985. Ecologi : The Experimental Analysis of Distribution and

Abundance. New York: Harper & Row Publisher.

Kudus U. A. 2005. Analisis Pemanfaatan Karang Hias Di Indonesia. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor: Bogor.

Lazuardi, M. E. 2000. Struktur Komunitas Ikan Karang (Famili Chaetodontidae) dan Keterkaitannya dengan Persentase Penutupan Karang Hidup di Ekosistem Terumbu Karang Perairan Nusa Pedida, Bali. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor: Bogor.

Maharbhakti, H. R. 2009. Hubungan Kondisi Terumbu Karang dengan Keberadaan Ikan Chaetodontitae di Perairan Pulau Abang, Batam. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor: Bogor.

Makatipu, P. C. 2001. Studi Pendahuluan Ikan Kepe-Kepe (Chaetodontidae) Di Perairan Terumbu Karang Selat Lembeh, Sulawesi Utara. Jurnal

Oseaonografi, Biologi dan Lingkungan. 9(3): 6-10.

Mandduppa, H. H. 2006. Kajian Ekobiologi Ikan Kepe-kepe (Chaetodon

octofasciatus, BLOCH 1787) dalam Mendeteksi Kondisi Ekosistem

Terumbu Karang di Pulau Petondan Timur, Kabupaten Seribu, Jakarta. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor: Bogor.


(10)

Michael, P. 1995. Metoda Ekologi untuk Penyelidikan Lapangan dan Laboratorium. Jakarta: UI Press.

Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Terj. Dari

Marine Biology: an Ecological Approach, Oleh Eidman, M., Koesoebiono, D.G., Bengen, M., Hutomo, S. Sukardjo. 1992. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

_______1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: Gramedia. Odum, E. P. 1994. Dasar - Dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Yogyakarta: UGM Press. Pandiangan, S. L. 2009. Studi keanekaragaman Ikan Karang Di Kawasan Perairan Bagian Barat Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darusalam. [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Pardede, F. M. 2012. Efekticitas Terumbu Buatan Berbahan Dasar Tempurung Kelapa Sebagai Fish Aggregating Devece di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu. Jurnal Biodiversitas. (8): 2.

Purwanti, D. R. 2004. Dinamika Struktur Komunitas Ikan Karang pada Pagi, Siang dan Sore Hari di Perairan Pulau Payung Kepulauan Seribu. Jurnal

Saintek Perikanan. (5) 1.

Purwanto, A. B. 2011. Ekosistem Pantai dan Perannya dalam Penanggulangan Tsunami. Bogor. ISSN:2086-907X. 3-5.

Reese, E. S. 1981. Predation On Coral By Fishes Of The Family Chaetodontidae.

Bull. Of Mar, Sci. 31(2).

______1991. Reef Fishes As Indicator Of Conditions In Coral Reefs. Coral Reef

Symposium In Hawai. Hunolulu. 59-65.

Ruhardjo, M. F, Sjafei, D. S, Affandi, R, Sulistiono. 2011. Iktiology. Bandung: Lubuk Agung. 66-82.

Rumbet, U. N. W. J., Boer, M., Bengen, D. G. & Fahrudin, A. 2011. Sruktur Komunitas Ikan Target Di Terumbu KArang Pulau Hogow Dan Putus-putus Sulawesi Utara. Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis. 7(2): 60-62.

Sastrawidjaya, A. T. 1991. Pencemaran Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta. Septyadi, K. A., Widyorini, N & Ruswahyuni. 2013. Analisis Perbedaan

Morfologi dan Kelimpahan Karang pada Daerah Rataan Terunbu (Reef

Flate) dengan Daerah Tubir (Reef Slope) di Pulau Panjang, Jepara. Journal of management of aquatic resources. Vol. 2(3): 22-29.


(11)

Sirait, H. 2009. Kajian Komunitas Terumbu Karang Daerah Perlindungan LautPerairan Sitardas Kabupaten Tapanuli Tengah Propinsi Sumatera Utara. [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Sugiyono. 2005. Analisis Statistik-Korelasi Sederhana. http://books168.com/ koefisien-korelasi-product-moment-menurun-sugiyono-pdf.html. Diakses juni 2015.

Suin, N. M. 2002. Metoda Ekologi. Edisi 2. Padang: Universitas Andalas.

Syakur, A. 2000. Komunitas Ikan Karang pada Ekosistem Teumbu Karang Ponton Bodong dan Toyapekeh, Nusa Penida, Bali. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Tarigan, S. A. R, Dwindaru, B & Hardyanti, F. 2009. Kondisi Ikan Karang di Pulau Pramuka Kepulauaan Seribu, Jakarta. Jurnal Penelitian Sains. 13 (3): 31-36.

Titaheluw, S. S. 2011. Keterkaitan Antara Terumbu Karang dengan Ikan

Chaetodontidae:Implikasi untuk Pengelolaan. [Tesis]. Bogor: Institut

Pertanian Bogor.

Utojo, S. D. 2007. Kondisi Ikan Karang di Teluk Pare-Pare dan Awerange Sulawesi Selatan. Bogor. ISSN:1412-033X..8 (2): 7-10.

Utomo, S. P. 2010. Kajian Hubungan Kondisi Terumbu Karang dengan Kelimpahan Ikan Chaetodontidae di Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Liwutongkidi, Kabupaten Buton. [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Utomo, S. P. R, Ain, C, Supryaryono. 2013. Keanekararagam Jenis Ikan Karang di Daerah Rataan dan Tubir pada Ekosistem Terumbu Karang di Legon Boyo, Taman Nasional Karimunjaya, Jepara. Diponegoro Journal Of

Maquares. 2(4): 14-23.

Veron, J. E. N. 1995. Coral in Space and Time. Austalia Institute of Marine. Townsville.

Wulandari, R. 2002. Analisis Preferensi Spesies-Spesies Ikan Terhadap Habitat Pada Ekosistem Terumbu Karang Di Perairan Pantai Pangandaran, Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Yadi, T. A., Pratomo, A. & Yandri, F. 2012. Keanikaragaman Jenis Ikan Karang di Perairan Pulau Nikoi Desa Teluk Bakau Kecamaatan Gunung Kijang.

Jurnal Program Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Maritim Raja Ali Haji. 14 (7): 16-19.


(12)

BAB 3

METODA PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Februari 2015 di Perairan Pulau Ungge, Desa Sitardas, Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat selam SCUBA diving, perahu motor, Buku Identifikasi Allen, et al. (2003) dan Kuiter (2001), roll meter, kamera bawah air, kertas sabuk, pensil, lamnot, refraktometer, termometer, secchi

disk, erlenmeyer, bola pelampung, split 3 ml dan 5 ml, pipet tetes, GPS, pH meter,

botol alkohol. Bahan yang digunakan adalah tissue, KOH-KI, MnSO4, H2SO4, amilum, Na2S2O30,0025 M.

3.3 Penentuan Stasiun Pengamatan

Penentuan lokasi pengambilan data menggunakan metode Purposive

Sampling dengan 3 stasiun pengamatan. Penentuan stasiun pengamatan mewakili

kondisi perairan Pulau Ungge Kabupaten Tapanuli Tengah yang didasarkan ada tidaknya aktivitas masyarakat dan posisi pulau.

3.4 Deskripsi Stasiun 3.4.1 Stasiun 1

Daerah ini merupakan daerah alami yang secara geografis terletak pada 01034’38,20” LU dan 098045’29,53” BT. Daerah ini tidak ada aktifitas


(13)

Gambar 2. Stasiun 1 3.4.2 Stasiun 2

Daerah ini secara geografis terletak pada 01034’29,87” LU dan

098045’00,1” BT. Di daerah ini terdapat dermaga yang merupakan tempat

berlabuhnya perahu yang ingin masuk ke Pulau Ungge, daerah ini juga merupakan tempat peristirahatan perahu-perahu nelayan. Daerah ini berhadapan langsung dengan perairan Samudera Hindia.

Gambar 3. Stasiun 2 3.4.3 Stasiun 3

Daerah ini merupakan daerah alami yang secara geografis terletak pada 01034’25,53” LU dan 098045’30.57” BT. Daerah ini jauh dari aktivitas masyarakat dan berhadapan langsung dengan daratan pulau Sumatera.


(14)

Gambar 4. Stasiun 3 3.5 Pengamatan Keragaman Ikan Chaetodontidae

Metode yang digunakan dalam mengamati keragaman ikan karang famili

Chaetodontidae yaitu dengan menggunakan metodeLine Intercept Transect

(LIT) danUndewater Visual Census(UVC).

Pengambilan data ikan pada setiap stasiun dengan 3 ulangan pada kedalam 5-7 m. Penentuan peletakan titik transek sejajar dengan garis pantai. Pada setiap stasiun dipasang transek sepanjang 85 mdengan panjang setiap ulangan yang diamati yaitu 25 m dan jarak antar ulangan masing-masing 5 m. Dimana ulangan 1 berada pada titik 0-25 m, ulangan 2 pada titik 30-55 m, dan ulangan 3 pada titik 60-85 m. Jadi total jarak yang diamati adalah 75 m. Pengambilan data ikan karang famili Chaetodontidae dilakukan dengan menyusuri garis transek dengan tinggi 2 m dari rataan terumbu karang dan lebar 2,5 mke kanan dan ke kiri. sehingga luas bidang yang diamati per transeknya adalah 75 m x 5 m x 2 m(750 m3).

Sebelum pengambilan data ikan famili Chaetodontidae dimulai sebaiknya pengambil data terlebih dahulu membiarkan keadaan kembali normal (tenang) kurang lebih 15 menit setelah transek dipasang. Setelah itu dilakukan penyelaman menyusuri garis transek. Semua jenis ikan famili Chaetodontidae yang terlihat difoto menggunakan kamera bawah air di identifikasi dengan menggunakan Buku Identifikas Allen, et al. (2003).

Bagan kerja pengamatan ikan karang famili Chaetodontidae dapat dilihat pada gambar 5.


(15)

panjang total garis transek 85 meter

5 m 5 m

25 m 25 m 25 m

Gambar 5: Underwater Visual Census” (UVC).

3.6 Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan 3.6.1 Suhu (oC)

Pengukuran suhu air dilakukan dengan menggunakan termometer air raksa yang berskala 0-100 oC. Termometer dimasukkan ke dalam air dan dibiarkanselama beberapa menit sampai menunjukkan skala yang konstan lalu dibaca skala yang tertera pada termometer tersebut.

3.6.2 Intensitas Cahaya (Candella)

Pengukuran intensitas cahaya dilakukan dengan menggunakan Luxmeter.

Luxmeter diletakkan pada tempat terbuka untuk menangkap cahaya. Faktor

pengali disesuaikan dengan intensitas cahaya yang diperoleh kemudian dicatat. 3.6.3 Penetrasi Cahaya (m)

Pengukuran penetrasi cahaya dilakukan dengan menggunakan keping

sechii. Keping sechii dimasukkan ke dalam air sampai pada kedalaman tertentu

hingga batas keping sechiitidak kelihatan, kemudian diukur panjang tali. 3.6.4 Salinitas (ppt)

Pengukuran salinitas dilakukan dengan menggunakan refraktometer. Diteteskan sampel air pada kaca refraktometer dengan menggunakan pipet tetes, kemudian ditutup dan dibaca skala yang tertera pada alat tersebut.

3.6.5 pH (Potential of Hydrogen)

Pengukuran pH (derajat keasaman) dilakukan dengan menggunakan pH meter. pH meter dimasukkan ke dalam air yang sebelumnya telah dikalibrasi pada pH netral (pH=7) selama beberapa menit kemudian dibaca angka yang tertera pada pH meter tersebut.

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3

5


(16)

3.6.6 DO(Dissolved Oxygen) (mg/L)

Pengukuran oksigen terlarut (DO) diukur dengan menggunakan metode Winkler. Sampel air diambil dan dimasukkan ke dalam botol Winkler, kemudian ditetesi dengam MnSO4 dan KOH-KI masing-masing sebanyak 1 ml, dihomogenkan dan didiamkan selama beberap saat sampai terbentuk endapan berwarna putih atau kecoklatan. Selanjutnya ditambahkan dengan 1 ml H2SO4lalu dihomogenkan sampai terbentuk endapan cokelat. Diambil sebanyak 100 ml sampel tersebut dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer lalu dititrasi dengan menggunakan Na2S2O3 0,0125 N hingga berwarna kuning pucat. Selanjutnya ditetesi dengan 5 tetes amilum dihomogenkan hingga berwarna biru. Lalu dititrasi lagi dengan Na2S2O3 0,125 N sampai air berwana bening. Jumlah Na2S2O3 0,125 N yang terpakai menunjukkan kadar oksigen terlarut pada perairan tersebut.

3.6.7 BOD5(Biochemical Oxygen Demand) (mg/L)

Pengukuran BOD5dilakukan dengan menggunakan metode Winkler, yaitu dengan cara mengukur DO air yang telah diinkubasi selama 5 hari sebagai DO akhir air. Nilai dari BOD5 adalah hasil pengurangan dari nilai DO awal dengan nilai DO akhir air.

Tabel 1. Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan Beserta Satuan dan Alat/Metode yang digunakan

No Parameter Satuan Alat/Metode Tempat

Pengukuran

1 Suhu 0C Termometer In-situ

2 Intensitas Cahaya Candela Luxmeter In-situ 3 Penetrasi Cahaya Meter Keping sechii In-situ

4 Salinitas ‰ Refraktometer In-situ

5 pH - pH meter In-situ

6 DO mg/L Winkler In-situ

7 BOD5 mg/L Winkler Laboratorium

3.7 Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menghitung menghitungKepadatan (K), Kepadatan Relatif (KR), Frekuensi Kehadiran (FK),dan analisis korelasi antara faktor fisik kimia perairan dengan keragaman dan ikan karang famili Chaetodontidae.


(17)

3.7.1 Kepadatan (K)

Data kepadatan ikan Chaetodontidae diperoleh dengan menggunakan rumus Brower dkk (1998), yaitu:

K = niA

Dimana : K : Kepadatan jenis ikan Chaetodontidae n : Jumlah setiap spesies

A : Luas transek 3.7.2 Kepadatan Relatif (KR)

KR (%)

=

x 100%

Apabila KR > 10% maka suatu habitat dikatakan cocok dan sesuai bagi perkembangan suatu organisme (Odum, 1994).

3.7.3 Frekuensi Kehadiran (FK)

FK = x 100%

Apabila nilai FK : 0 - 25 % = kehadiran sangat jarang 25 - 50 % = kehadiran jarang 50 - 75 % = kehadiran sering

75 - 100 % = kehadiran absolut (sangat sering)

(Michael, 1995) 3.7.4 Indeks Diversitas Shannon–Wiener

Indeks keanekaragaman dihitung dengan menggunakan rumus Shannon-Wiener (Krebs, 1985).

H’ =-∑(ni/N)ln(ni/N)

Dimana : H′: Indeks keanekaragaman Ni : Jumlah koloni setiap spesies

N : Jumlah koloni seluruh spesies

0 < H’ < 2,302 = keanekaragaman rendah

2,302 < H’ < 6,907 = keanekaragaman sedang


(18)

3.7.5 Indeks Equitabilitas/Indeks Keseragaman (E)

=

Dimana : E = indeks equitabilitas

H’ = Indeks diversitas Shannon-Wienner H max = Keanekaragaman spesies maksimum

=In S (dimana S banyaknya spesies) dengan nilai E berkisar antara 0-1

Nilai indeks keseragaman antara 0–1 dengan criteria sebagai berikut : Dimana: 0 < E≤0,5 = Keseragaman kecil, komunitas tertekan

0,5 < E≤ 0,75 = Keseragaman sedang, komunitas labil; dan 0,75 < E≤ 1 = Keseragaman tinggi, komunitas stabil.

Dari kisaran nilai ini terlihat semakin kecil nilai indeks keseragaman (E), semakin kecil pula keseragaman populasi yang berarti penyebaran jumlah individu setiap jenis tidak sama dan ada kecenderungan populasi didominasi oleh jenisorganisme tertentu. Begitu pula sebaliknya, semakin besar nilai E maka populasi tersebut menunjukkan keseragaman yang tinggi, yaitu jumlah individu setiap jenisdapat dikatakan sama atau tidak jauh berbeda.

3.7.6 Indeks Similaritas (IS)

IS = x 100% Dimana : IS : indeks similaritas

a : jumlah spesies pada lokasi a b : jumlah spesies pada lokasi b

c : jumlah spesies yang sama pada lokasi a dan b

(Michael, 1994) 3.7.7 Analisis Korelasi

Untuk mengetahui hubungan antara faktor-fisik kimia perairan dengan keragaman ikan karang famili (Chaetodontidae) dilakukan uji korelasi dengan metode komputerisasi SPSS ver. 17

Kriteria Korelasi : Nilai - = Arah Korelasi Negatif (Berlawanan) Nilai + = Arah Korelasi Positif (Searah)


(19)

Menurut Sugiyono (2005) tingkat hubungan nilai indeks korelasi dinyaatakan sebagai berikut :

Interval Koefisien Tingkat Hubungan

0,00–0,199 Sangat Rendah

0,20–0,399 Rendah

0,40–0,599 Sedang

0,60–0,799 Kuat


(20)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Faktor Biotik Lingkungan

4.1.1 Jenis-jenis Ikan yang didapatkan

Hasil penelitian yang telah dilakukan di Perairan Pulau Ungge, Desa Sitardas, Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah didapatkan 5 jenis ikan yang terbagi atas 2 genus dan 1 famili yang dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Ikan yang didapat pada setiap stasiun

No Famili Genus Spesies Stasiun

1 2 3

1. Chaetodontidae 1. Chaetodon 1. Chaetodon collare + + + 2. Chaetodon trifasciatus + + + 3. Chaetodon triangulum + - -2. Heniochus 4. Heniochus diphreutes + - -5. Heniochus pleurotaenia + + + Keterangan:

tanda (+) : ditemukan tanda (-) : tidak ditemukan

Hasil penelitian yang telah dilakukan pada 3 stasiun memperlihatkan bahwa keragaman ikan karang famili Chaetodintidae terdiri dari 2 genus dan 5 spesies.

Chaetodon collare, Chaetodon triangulum dan Chaetodon trifasciatus termasuk

ke dalam genus Chaetodon sedangkan Heniochus diphreutes dan Heniochus

pleurotaenia termasuk kedalam genus Heniochus.

Keberadaan ikan karang family Chaetodontidae di perairan sangat tergantung pada kesehatan terumbu karang yang ditunjukkan oleh persentase tutupan karang hidup. Hal ini sangat memungkinkan karena ikan Chaetodontidae hidup berasosiasi dengan bentuk dan jenis terumbu karang sebagai tempat tingga, perlindungan dan tempat mencari makan. Berdasarkan data penelitian Harefa (2015) persentase tutupan terumbu karang hidup yg dapatkan di perairan Pulang Ungge pada lokasi yang sama tergolong kedalam kategori baik dengan nilai persentase tutpan karang pada stasiun 1 sebesar 74,63%, pada stasiun 2 dengan nilai sebesar 62,28%, dan pada stasiun 3 dengan nilai sebesar 70,63%. Dimana


(21)

nila rata-rata persentase tutupan karang sebesar 69,28%. Hal ini juga berdampak terhadap terhadap jumlah ikan famili Chaetodontidae dimana ikan famili

Chaetodontidae hanya dapat hidup pada perairan yang bersih dengan kondisi

terumbu karang yang baik. Yadi et. al., (2012) juga menyatakan bahwa kondisi perairan yang baik dapat mendukung kehidupan ikan karang di suatu perairan. 4.1.2 Deskripsi Ikan yang didapatkan

4.1.2.1 Ikan Chaetodon collare (Kepe-kepe Belanda)

Panjang maksimal mencapai 18 cm, dikenal dengan warna merah di sirip ekor dan garis putih vertikal belakang mata, sirip pectoral berwarna hitam, sirip dorsal berwarna merah dengan pangkal sirip dorsal berwarna putih, bentuk mulut kecil dan tidak terlalu panjang, corak sisik pada badan bermotif putih dengan garis hitam. Biasanya ditemukan berpasangan atau berkelompok di daerah karang atau bersembunyi di bawah karang yang lebar. Tipe makanan Chaetodon collare yaitu polip karang/coralivore.

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Famili : Chaetodontidae Genus : Chaetodon

Spesies : Chaetodon collare

(a) (b)

Gambar 6: Chaetodon collare (a): Pengamatan Langsung, (b): menurut Allen, et

al. 2003


(22)

Panjang maksimal Chaetodon triangulum mencapai 16 cm, badan hampir triangular, abu-abu gelap dengan garis bersudut, sirip ekor hitam segitiga dengan garis luar kuning dan garis dalam hitam, bentuk mulut lancip panjang dengan warna merah, sirip insang berwarna putih kecoklatan, badan berwarna abu rokok. Habitatnya pada daerah kaya karang di laguna hingga lereng karang, territorial dan berpasangan. Juvenile soliter didekat karang. Ovipar, onogami, berpasangan saat memijah. Tipe pemakan polip karang/coralivere.

(a) (b)

Gambar 7: Chaetodon triangulum (a): Pengamatan Langsung, (b): menurut Allen,

et al. 2003

4.1.2.3 Ikan Chaetodon trifasciatus (Kepe-kepe Roti)

Ukuran maksimal Chaetodon trifasciatus mencapai 15 cm, badan bagian atas kebiruan dan bawahnya kekuningan, pangkal sirip ekor kuning serta sirip anal, pangkal sirip ekor berwarna hitam, badan berwarna kunin camour biru, memiliki bintik hitam pada bagian badan belakang, memiliki garis hitam pada kepala, bentuk mulut lancip tidak terlalu panjang berwarna hitam. Habitanya merupakan daerah yang kaya karang di laguna dan karang semi terlindung. Jenis

Chaetodon trifasciatus lebih teritorial dan agresif terhadap chaetodon lainnya.


(23)

(a) (b)

Gambar 8: Chaetodon trifasciatus (a): Pengamatan Langsung, (b): menurut Allen,

et al. 2003

4.1.2.4 Ikan Heniochus diphreutes (Kepe-kepe)

Ukuran maksimal mencapai 21 cm, badan putih dengan 2 garis hitam besar memanjang dari dorsal ke perut dan sirip anal, Strip hitam dari kepala sampai ke mata, sirip insang berwarna putih, bentuk mulut lancip tidak terlalu panjang, adanya warna hitam pada bagian atas mulut, Sebagian sirip dorsal dan ekor berwarna kuning, memiliki sirip dorsal yang panjang seperti bender berwarna putih, sirip pectoral berwana kuning pucat, sirip ventral berwarna hitam, pergerakan jenis ikan Heniochus diphreutes lebih elegan dan simple, Tipe pemakan plankton/ planktivora.

(a) (b)

Gambar 9: Heniochus diphreutes (a): Pengamatan Langsung, (b): menurut Allen,

et al. 2003

4.1.2.5 Ikan Heniochus pleurotaeniai (Keling Tanduk)

Panjang maksimal 17 cm, 2 garis putih dibatasi garis coklat gelap hingga sirip perut dan anal, bentuk sirip dorsal berbentuk sisir berwarna kuning, pangkal sirip anal berwarna hitam kecoklatan, memiliki sepasang tanduk pada bagian kepala di atas mata, sirip pectoral berwarna putih pucat, sirip caudal dan sirip anal berwarna hitam, pangkal sirip dorsal berwarna putih. Habitatnya berupa daerah kaya karang di laguna dan lereng karang, jenis ikan Heniochus pleurotaenia ini lebih memilih dikenal soliter, berpasangan atau kelompok. Range yang sering di


(24)

temukan pada kedalaman 1-25 meter dari permukaan air. tipe memakan zoobenthos/bentik invertebrata.

(a) (b)

Gambar 10: Heniochus pleurotaenia (a): Pengamatan Langsung, (b): menurut Allen, et al. 2003

4.1.3 Kepadatan (K), Kepadatan Relatif (KR) dan Frekuensi Kehadiran (FK) Nilai Kepadatan (K), Kepadatan Relatif (KR), dan Frekuensi Kehadiran (FK) ikan famili Chaetodontidae yang ditemukan pada setiap stasiun penelitian dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini:

Tabel 3. Kepadatan (ind/m3), Kepadatan Relatif (%) dan Frekuensi Kehadiran (%) ikan pada setiap stasiun pengamatan No Spesies

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

K KR FK K KR FK K KR FK

1 Chaetodon

collare 0.023 36.17 100 0.008 26.09 66,67 0.012 25.71 100

2 Chaetodon

trifasciatus 0.017 27.66 100 0.009 30.43 100 0.016 34.29 66,67

3 Chaetodon

triangulum 0.007 10.64 33,33 - - -

-4 Heniochus

diphreutes 0.005 8.51 33,33 - - -

-5 Heniochus

pleurotaenia 0.011 17.02 100 0.013 43.48 100 0.019 40 100

Total 0.063 100 - 0.031 100 - 0.047 100

-Keterangan:

Stasiun 1 : Daerah alami dan berhadapan dengan Samudera Hindia Stasiun 2 : Daerah dermaga dan berhadapan dengan Samudera Hindia Stasiun 3 : Daerah alami dan berhadapan dengan daratan pulau Sumatera

Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa stasiun 1 memiliki nilai total kepadatan tertinggi sebesar 0.063 ind/m3. Hal ini disebabkan karena stasiun 1 merupakan daerah alami yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia hingga memiliki kondisi ekisistem terumbu karang yang lebih baik dibandingkan dengan


(25)

stasiun 2 dan 3. Keberadaan, kelimpahan jenis dan individu ikan kepe-kepe (Chaetodontidae) pada suatu perairan dapat menggambarkan kondisi terumbu karang apakah ekosistem terumbu karang di suatu perairan itu sehat. Keeratan hubungan antara ikan kepe-kepe (Chaetodontidae) terhadap sehatnya ekosistem terumbu karang terlihat dari keberadaan dan kelimpahan ikan kepe-kepe yang berada pada ekosistem terumbu karang (Makatipu, 2001). Pengaruh perubahan mutu lingkungan akibat kegiatan pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang dapat diidentifikasi dengan melihat indikator fisik, kimia dan biologi. Dari indikator biologi, perubahan kondisi terumbu karang dapat digambarkan dengan kehadiran jenis ikan famili Chaetodontidae. Ikan ini merupakan salah satu kelompok ikhtiofauna yang memiliki distribusi luas dan selalu ditemukan berasosiasi dengan terumbu karang (Allen, 1979).

Stasiun 2 memiliki nilai total kepadatan terendah sebesar 0,031 ind/m3. Hal ini karena stasiun 2 merupakan daerah dermaga tempat berlabuhnya perahu nelayan yang melakukan aktivitas di sekitar pulau Ungge yang menyebabkan terjadinya perubahan atau penurunan kualitas ekosistem terumbu karang yang berdampak juga terhadap penurunan jumlah Chaetodontidae. Bouchon-Navaro et

al., (1985) dalam Bawole (1998), mengatakan bahwa ikan Chaetodontidae

merupakan jenis indikator dan keberadaannya dapat dipakai untuk menduga kondisi terumbu karang, sehingga penurunan jumlah populasi atau ketidakhadiran dari jenis ini merupakan petunjuk bahwa terumbu karang telah mengalami tekanan. Ikan Chaetodontidae sangat sensitif terhadap perubahan dan kerusakan karang, karena ikan-ikan ini sangat terikat terhadap makanan dan tempat berlindung yang disediakan oleh karang.

Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat juga bahwa spesies Chaetodon collare memiliki nilai kepadatan tertinggi dari jumlah spesies yang didapatkan pada lokasi penelitian yaitu sebesar 0,023 ind/m3. Sirait (2009) juga menyatakan bahwa karakteristik yang paling berperan dalam distribusi ikan karang adalah arus, kecerahan, suhu dan kedalaman. Terlindung atau tidaknya habitat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pula distribusi ikan karang. Hukom et al., (1997) juga menambahkan bahwa distribusi ikan karang famili Chaetodontidae


(26)

dalam suatu ekosistem terumbu karang berbeda-beda tergantung pada spesies ikan karang, komposisi terumbu karang dan kedalaman.

Faktor utama yang menentukan kelimpahan ikan karang adalah fisiografi dasar perairan, dalam ruang lingkup fisiografi yang berperan penting adalah ekosistem terumbu karang. Keragaman karang sebagai tempat berlindung lebih menentukan keberadaan komunitas ikan dari pada kondisi substrat sebagai sumber makanan. Oleh karena itu, keberadaan ikan dalam perairan terumbu karang sangat ditentukan oleh kondisi kesehatan karang yang biasanya diperlihatkan oleh persen tutupan karang (Hukom, 1996).

Heniochus diphreutes memiliki nilai kepadatan terendah dari jumlah

spesies yang didapatkan pada lokasi penelitian yaitu sebesar 0,005 ind/m3. Jenis

Heniochus diphreutes jumlah kelimpahannya menurun pada perairan dengan

kondisi terumbu karang yang sudah berubah. Hukom et al. (1997) menyatakan bahwa fisiografi dasar perairan, adalah faktor utama yang menentukan distribusi dan kelimpahan ikan karang pada masing-masing tempat. Oleh karena itu dapat dikatakan pula bahwa keberadaan ikan juga dipengaruhi oleh persentase penutupan karang hidup.

Keanekaragaman spesies ikan karang tertinggi disebabkan oleh bervariasinya habitat yang terdapat di terumbu karang. Kondisi habitat pada terumbu karang tidak hanya terdiri dari karang tetapi juga daerah berpasir, berbagai teluk, daerah alga, perairan dangkal dan zona-zona yang berbeda melintasi karang. Keragaman habitat dapat mengakibatkan tingginya keragaman spesies ikan di terumbu karang. Akan tetapi, habitat yang banyak tidak cukup untuk menerangkan keanekaragaman yang tinggi pada ikan-ikan terumbu karang dan bagaimana spesies yang berjumlah besar tersebut dapat mempertahankan kehadirannya di suatu daerah (Nybakken, 1988).

4.1.4 Indeks Diversitas Shannon–Wiener(H’)dan Indeks Keseragaman (E) Nilai Indeks Diversitas Shannon – Wiener (H’) dan Indeks Keseragaman (E) ikan

karang famili Chaetodontidae dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini.

Tabel 4. Indeks Diversitas Shannon Wiener (H’) dan Indeks Keseragaman (E) pada setiap stasiun penelitian


(27)

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

H’ 1,45 1,07 1,08

E 0,90 0,98 0,99

Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa nilai indeks diversitas Shannon –wiener

(H’) tertinggi terdapat pada stasiun 1 dengan nilai 1,45 dan terendah terdapat pada

stasiun 2 dengan nilai 1,07. Hal ini dapat disebabkan adanya perbedaan aktivitas manusia yang terdapat di stasiun yang mempengaruhi kualitas air. Perubahan kualitas air mengakibatkan ikan yang tidak dapat bertahan dalam kondisi tersebut dan akan melakukan migrasi. Perubahan kedalaman air juga mempengaruhi ikan melakukan migrasi untuk bereproduksi maupun mencari makan. Indeks keanekaragaman menyatakan kekayaan spesies dalam komunitas dan memperlihatkan keseimbangan dalam pembagian individu setiap spesies. Nilai ini akan semakin meningkat jika jumlah spesies semakin banyak dan proporsi jenis akan semakin merata (Kerbs, 1985). Menurut Irawati (2006), mengatakan bahwa jumlah individu, jumlah spesies dan pemyebaran individu dari masing-masing

spesies dipengaruhi indeks keanekaragaman (H’) di setiap stasiunnya.

Keanekaragaman dan keseragaman jenis ikan di suatu perairan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan interaksi antara yang hidup di setiap perairan. Menurut Reese (1981), ikan Chaetodontidae merupakan jenis indikator dan keberadaannya dapat dipakai untuk menduga kondisi terumbu karang, sehingga penurunan jumlah populasi atau ketidakhadiran dari jenis ini merupakan petunjuk bahwa terumbu karang telah mengalami tekanan. Ikan Chaetodontidae sangat sensitif terhadap perubahan dan kerusakan terumbu karang, karena ikan-ikan ini ini sangat tertarik terhadap makanan dan tempat berlindung yang disediakan oleh terumbu karang.

Nilai Keseragaman (E) pada setiap stasiun berkisar 0,90-0,99 dimana nilai keseragaman (E) tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu 0,99 dan terendah berada pada stasiun 1 yaitu 0,90. Nilai indeks keseragaman (E) ini tergolong kategori baik dimana nilainya berada diantara 0-1 yang menyatakan bahwa ikan tersebar merata. Hal ini disebabkan karena kondisi terumbu karang pada stasiun 1 juga lebih baik dibandingkan stasiun lainnya. Harefa (2015) juga mendapatkan hasil yang sama dengan persentase tutupan karang tertinggi pada stasiun 1 yaitu sebesar 74,63%. Intensitas cahaya yang lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya yaitu


(28)

sebesar 790 candella menyebabkan kondisi terumbu karang semakin baik karena dapat melakukan fotosintesis dengan baik yang kemudian berpengaruh terhadap keanekaragaman ikan famili Chaetodontidae pada stasiun tersebut. Yadi et al (2012) menambahkan bahwa semakin baik kondisi terumbu karang maka jumlah jenis dari ikan indikator juga akan semakin besar.Peningkatan jumlah karang hidup akan berdampak pada ketersediaan jumlah makanan ikan Chaetodontidae yang juga melimpah. Persentase tutupan karang yang baik akan berdampak pada semakin banyak polip karang yang hidup sehingga persediaan makanan akan berlimpah. (Bell et al. 1985) mengatakan meningkatnya jumlah karang hidup akan berdampak langsung pada makanan yang dikonsumsi oleh ikan obligatif koralivora, sehingga dapat meningkatkan kelimpahan ikan famili Chaetodontidae.

4.1.5 Indeks Similaritas (IS)

Nilai Indeks Similaritas (IS) ikan karang famili Chaetodontidae pada setiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini.

Tabel 5. Indeks Similaritas (IS) di setiap stasiun penelitian

IS (%) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

Stasiun 1 - 70% 70%

Stasiun 2 - - 100%

Stasiun 3 - -

-Pada Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai indeks similaritas yang diperoleh antar stasiun penelitian tidak terlalu bervariasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa indeks similaritas antara stasiun 1dan 2 dengan 1 dan 3 yaitu 70% sedangkan hasil indeks similaritas pada stasiun 2 dan 3 yaitu 100%. Kemiripan ini karena jumlah spesies ikan karang famili Chaetodontidae yang ditemukan antar stasin hampir sama. Hal ini dikarenakan faktor ekologis dan faktor fisik kimia yang hampir sama antar stasiun tersebut yang tersaji pada Tabel 6.

Tingkat kesamaan pada titik pengamatan termasuk dalam satu kelompok habitat yang sama. Hal ini terjadi karena pada titik pengamatan tersebut memiliki kemiripan yang lebih besar. Pada titik pengamatan ini juga memiliki struktur komunitas yang mirip dengan keanekaragaman, keseragaman dan dominansi yang relatif sama sedangkan pada titik pengamatan yang terdapat pada kelompok


(29)

habitat yang lainnya memiliki kondisi habitat dasar yang cenderung heterogen (Alimuddin, 2008).

4.2 Faktor Abiotik Lingkungan

Hasil pengukuran parameter fisik kimia perairan meliputi suhu, intensitas cahaya, penetrasi cahaya, salinitas, pH, DO, BOD5.

Tabel 6. Nilai faktor fisik kimia perairan pada setiap stasiun penelitian

No Parameter Satuan Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

1 Suhu 0C 28,5 29 28

2 Intensitas cahaya Candela 790 720 680

3 Penetrasi Cahaya M 7 6,7 6,9

4 Salinitas ‰ 31 31 30

5 pH - 7.9 7.80 7.80

6 DO mg/L 6.00 6.1 5.5

7 BOD5 mg/L 1,7 1,9 2,1

Keterangan:

Stasiun 1 : Daerah alami dan berhadapan dengan Samudera Hindia Stasiun2 : Daerah dermaga dan berhadapan dengan Samudera Hindia Stasiun 3 : Daerah alami dan berhadapan dengan daratan pulau Sumatera

4.2.1 Suhu

Dari Tabel 6 di atas diperoleh bahwa nilai suhu di setiap stasiun penelitian berada pada kisaran 28-290C. Suhu tertinggi diperoleh pada stasiun 2 yaitu 290C dan suhu terendah pada stasiun 3 yaitu 280C. Berdasarkan baku mutu air laut yang dikeluarkan oleh Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004, kisaran suhu yang optimal untuk biota karang adalah 28-300C. Jadi kisaran suhu di kawasan perairan ini masih tergolong baik untuk pertumbuhan dan perkembangan biota karang. Suhu sangat mempengaruhi keberadaan ikan. Apabila suhu terlalu tinggi maka akan menimbulkan kondisi stress pada tubuh ikan yang dapat menyebabkan kematian pada ikan. Apabila suhu semakin tinggi maka keragaman ikan karang akan semakin rendah dan sebaliknya.

Suhu perairan di pulau Ungge dikatakan baik berdasarkan hasil penelitian Sirait (2009) dengan suhu perairan berkisar 280C, tidak jauh berbeda degan hasil penelitian ini yang diperoleh dengan suhu rata-rata 28,50C. Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi aktivitas metabolisme,


(30)

perkembangbiakan dan proses fisiologis organisme. Selanjutnya selain kecepatan metabolisme dan reproduksi juga mempengaruhi perombakan bentuk luar dari karang dan sebaran karang.

Menurut Anwar et al., (1984) dalam Pandiangan (2009) menyatakan bahwa semua jenis ikan mempunyai toleransi yang rendah terhadap perubahan suhu apalagi yang drastis. Kisaran suhu yang baik untuk ikan adalah antara 25 –

32oC yang kisaran suhu ini umumnya di daerah beriklim tropis seperti Indonesia. Laju metabolisme ikan dan hewan air lainnya secara langsung meningkat dengan naiknya suhu. Suhu yang dingin akan menyebabkan laju pertumbuhan ikan akan meningkat, sebaliknya juga demikian bila suhu tinggi akan mengganggu proses metabolisme pada ikan (Syakur , 2000).

4.2.2 Intensitas Cahaya

Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa nilai intesitas cahaya di perairan pulau Ungge berada pada kisaran 720-820 candela. Pengukuran intesitas cahaya dilakukan pada waktu pagi menjelang siang. Hasil pengukuran intesitas cahaya tertinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu 790 candela, disebabkan pada saat pengukuran cuaca cerah. Sedangkan nilai intesitas cahaya terendah terdapat pada stasiun 3 yaitu 680 candela disebabkan pada saat pengukuran cuaca mendung. Menurut Utomo (2010), cahaya merupakan salah satu faktor yang sangat penting karena cahaya sangat dibutuhkan bagi zooxanthellae untuk melakukan proses fotosintesis. Titik kompensasi untuk karang yaitu kedalaman dimana intensitas cahaya berkurang hingga 15–20% dari intensitas di permukaan.

Intensitas cahaya adalah salah satu faktor yang paling penting yang membatasi kehidupan terumbu karang. Zooxanthelae tersebut memerlukan cahaya untuk proses fotosintesis, tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang dan kemampuan karang untuk menghasilkan kalsium karbonat juga akan berkurang. Veron (1995).

4.2.3 Penetrasi Cahaya

Ukuran kedalaman kecerahan cahaya matahari yang dapat masuk ke dalam perairan. Dari hasil pengukuran penetrasi cahaya pada perairan pulau Ungge pada


(31)

lokasi penelitian secara umum seluruh stasiun mempunyai penetrasi cahaya baik dimana pada stasiun 1 yaitu 7 m, pada stasiun 2 yaitu 6,7 m dan stasiun 3 yaitu 6,9 m. Jadi hasil yang diperoleh pada stasiun penelitian dapat dikatakan pada tingkat kecerahannya atau penetrasi cahayanya dalam kondisi yang baik.

Menurut Nybakken (1992), binatang karang (hermatific atau reef building corals) hidupnya bersimbiosis dengan ganggang (zooxanthellae) yang melakukan proses fotosintesis, maka pengaruh cahaya adalah pentng sekali. Sedangkan penetrasi cahaya matahari yang masuk kedalam perairan terkait langsung dengan kejernihan air, kandungan sedimen dalam perairan, dimana kandungan sedimenyang tinggi akan menghambat penetrasi cahaya matahari, sehingga mengurangi jumlah cahaya yang diperlukan untuk proses fotosintesis. Di sisi lain endapan sedimen di permukaan koloni karang menyebabkan karang mengeluarkan banyak energi untuk membersihkan diri dari sedimen tersebut. Akibatnya karang kehilangan banyak energi, sementara proses fotosintesis untuk menghasilkan energi juga terhambat yang menyebabkan karang menjadi terhambat pertumbuhannya.

4.2.4 Salinitas

Dari data yang diperoleh untuk nilai salinitas perairan pada stasiun penelitian berkisar 30-31 ‰. Dengan stasiun 1 dan 2 memiliki nilai salinitas yang lebih tinggi sebesar 31 ‰ disebabkan karena berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Sedangkan stasiun 3 salinitas sebesar 30 ‰ karena berhadapan dengan

daratan Sumatera. Posisi pulau yang dekat dengan daratan pulau Sumatera dan adanya sungai yang mengalir langsung ke laut mampu mempengaruhi nilai salinitas. Penelitian sebelumnya oleh Sirait (2009), hasil pengukuran untuk

salinitas di pulau Ungge berkisar 29‰. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan salinitas di perairan pulau Ungge. Peningkatan salinitas diduga karena semakin tingginya aktivitas manusia baik di sekitar sungai maupun di pesisir laut pulau Ungge.

Faktor lain yang membatasi perkembangan terumbu karang sebagai habitat ikan karang adalah salinitas. Kisaran salinitas pertumbuhan karang di Indonesia antara 29-33 ‰. Disamping itu pengaruh air tawar adalah juga merupakan faktor


(32)

kecil di daerah tropik, adanya pemasukan air tawar secara teratur dari sungai dapat menyebabkan pertumbuhan terumbu karang menjadi terhenti (Nybakken, 1992). 4.2.5 pH

Berdasarkan Tabel 6 ini didapat hasil pengukuran pada stasiun penelitian nilai pH perairan berkisar 7,8 – 7,9. Dengan nilai pH yang diproleh paling tinggi pada stasiun 1 yaitu sebesar 7,9, sedangkan nilai pH yang diperoleh paling rendah berada pada stasiun 2 dan 3 yaitu sebesar 7,8. Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004, pH perairan laut berkisar 7-8,5. Hal ini menunjukkan bahwa pH perairan pulau Ungge masih tergolong baik untuk biota laut sesuai dengan standar baku mutu air laut.

Menurut Soeratma (1991) dalam Syakur (2000), baku mutu pH air laut untuk biota laut di Indonesia adalah 6-9. Perairan dengan pH < 6 menyebabkan organisme pakan tidak dapat hidup dengan baik. Berdasarkan hasil pengamatan pH (keasaman air laut) di perairan pulau ungge relatif konstan dan berada pada kisaran normal yang menunjukkan bahwa iakn karang dapat berkembang dengan baik.

4.2.6 DO (Demand of Oxygen)

Berdasarkan Tabel 6 ini didapat hasil pengukuran oksigen terlarut di lokasi penelitian berkisar antara 5,5-6,1 mg/L.Dengan nilai DO tertinggi diperoleh pada stasiun 2 yaitu 6,I mg/L, sedangkan nilai DO terendah diperoleh dari stasiun 3 yaitu 5,5 mg/L. Berdasarkan baku mutu air laut untuk biota yang dikeluarkan oleh Menteri Lingkungan Hidup tahun 2004, bahwa DO perairan untuk mendukung kehidupan biota laut adalah >5 mg/L. Hal ini menunjukkan bahwa DO perairan pulau Ungge masih bagus untuk kehidupan biota laut. Menurut Clark (1996)

dalam Antonius (2006), nilai oksigen terlarut (DO) tersebut masih dalam batas

ambang normal untuk perairan terumbu karang dan pantai. 4.2.7 BOD5(Biochemical Oxygen Demand)

Berdasarkan Tabel 6 ini didapat hasil BOD5pada lokasi penelitian berkisar antara 1,4-2,1 mg/L. Dengan nilai BOD5yang diproleh paling tinggi pada stasiun 3 yaitu sebesar 2,1 mg/L, sedangkan nilai BOD5 yang diperoleh paling rendah berada


(33)

pada stasiun 1 yaitu sebesar 1,7 mg/L. Berdasarkan baku mutu air laut yang dikeluarkan oleh Menteri Lingkungan Hidup tahun 2004, batas BOD5 perairan laut untuk mendukung biota laut adalah 20 mg/L. Hal ini menunjukkan bahwa BOD5hasil penelitian masih mendukung untuk kehidupan biota laut.

Kebutuhan oksigen biologis adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme di dalam memecah bahan organik. Penguraian organik melalui proses alamiah yang mudah terjadi apabila air lingkungan mengandung oksigen yang cukup (Hukom 1996).

4.3 Analisis Korelasi Faktor Fisik-Kimia perairan terhadap Indeks Keanekarahaman Ikan Karang Famili Chaetodontidae di Pulau Ungge. Keragaman ikan karang famili Chaetodontidae di perairan pulau Ungge dipengaruhi oleh faktor fisik kimia. Korelasi antara faktor fisik kimia perairan dengan keragaman ikan karang famili Chaetodontidae dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Nilai korelasi antara faktor fisika-kimia terhadap Indeks Diversitas

Shannon–Wiener(H’) padasetiap stasiun penelitian

Parameter Fisik–Kimia Nilai Korelasi

Suhu - 0,23

Intensitas cahaya 0,925

Penetrasi cahaya 0,771

Salinitas 0,480

pH 1.000

DO 0,338

BOD5 - 0,854

Keterangan :

Nilai - = Arah Korelasi Negatif (Berlawanan) Nilai + = Arah Korelasi Positif (Searah)

Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa nilai intensitas cahaya, pH, dan BOD5 berpengaruh sangat kuat terhadap keragaman ikan karang famili Chaetodontidae yaitu berkisar 0,854-1,000. Intensitas cahaya berpengaruh sangat kuat (searah)

terhadap keanikaragaman (H’) yaitu sebesar 0,0925. Dimana jika intensitas cahaya tinggi maka keragaman atau jumlah ikan karang family Chaetodontidae akan tinggi dan sebaliknya jika intensitas cahaya rendah maka H’ rendah. Hal ini

disebabkan intensitas cahaya akan mengoptimalkan proses fotosintesis pada terumbu katang, sehingga terumbu karang akan bertumbuh dengan baik yang berdampak juga terhadap jumlah atau keragaman ikan Chaetodontidae yang meningkat juga.


(34)

Intensitas cahaya berpengaruh besar dalam suatu perairan yang mempengaruhi keberadaan ikan. Intensitas cahaya memberi pengaruh besar dalam proses fotosintesis dan produktivitas perairan. Apabila intensitas cahaya tinggi akan mendukung untuk hasil maksimal dari proses fotosintesis. Proses fotosintesis dilakukan oleh fitoplankton yang merupakan produsen tingkat I dalam perairan. Selain sebagai makanan untuk ikan, fitoplankton juga berpengaruh besar untuk menghasilkan oksigen sebagai kebutuhan ikan. Menurut Barus (2004), bila intensitas cahaya matahari berkurang maka proses fotosintesis akan terhambat sehingga oksigen dalam air juga akan berkurang, dimana oksigen dibutuhkan organisme akuatik untuk metabolisme.

Cahaya dibutuhkan oleh Zooxanthellae untuk melakukan proses fotosintesis dalam jaringan karang. Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang dan bersamaan dengan itu kemampuan karang untuk menghasilkan kalsium karbonat dan membentuk terumbu karang akan berkurang juga (Nybakken, 1988).

Nilai pH berpengaruh sangat kuat (searah) terhadap Keanekaragaman (H’)

yaitu sebesar 1,000. Jika pH tinggi maka keragaman atau jumlah ikan karang family Chaetodontidae akan tinggi dan sebaliknya jika pH rendah maka H’

rendah. Hal ini disebabkan jika pH tinggi (dalam kisaran 6-9) maka akan menyebabkan pertumbuhan terumbu karang lebih optimal, sehingga dengan pertumbuhan terumbu karang yang baik akan berdampak juga pada jumlah atau keragaman ikan Chaetodontidae yang meningkat juga.

Nilai pH yang didapat di setiap stasiun masih bagus untuk mendukung kehidupan organisme di dalam perairan, sesuai dengan pendapat Effendi (2002), menyatakan bahwa kehidupan dalam air masih dapat bertahan bila perairan mempunyai kisaran pH 5-9. Kecerahan perairan berhubungan dengan intensitas cahaya matahari. Apabila intensitas cahaya mataharinya besar maka nilai kecerahannya pun tinggi. Kecerahan yang tinggi akan sangat mendukung keberadaan terumbu karang yang erat kaitannya dengan proses fotosintesis yang dilakukan oleh zooxanthellae.

Nilai BOD5 berpengaruh sangat kuat (tidak searah) terhadap H’ dengan


(35)

jumlah ikan karang famili Chaetodontidae akan rendah dan sebaliknya jika BOD5 rendah maka H’ tinggi. Hal ini disebabkan jika BOD5 tinggi maka senyawa organik tinggi yang mengakibatkan pertumbuhan karang kurang maksimal dikarenakan oksigen yang dibutuhkan mikroorganisme untuk menguraikan senyawa organik berkurang pada perairan, sehingga berdampak pada jumlah atau keragaman ikan Chaetodontidae yang meningkat juga.


(36)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah:

a. Jenis ikan karang famili Chaetodontidae di perairan pulau Ungge Tapanuli Tengah sebanyak 5 spesies yaitu Chaetodon collare, Chaetodon triangulum,

Chaetodon trifasciatus, Heniochus diphreutes dan Heniochus pleurotaenia

Yang termasuk kedalam 2 genus yaitu Chaetodon dan Heniochus.

b. Kepadatan tertinggi pada stasiun 1 terdapat pada spesies Chaetodon collare sebesar 0,023 ind/m3. Pada stasiun 2 kepadatan tertinggi terdapat pada

Heniochus pleurotaenia sebesar 0,013 ind/m3. Kepadatan tertinggi pada stasiun 3 terdapat pada spesies Heniochus pleurotaenia sebesar 0,019 ind/m3. c. Nilai indeks diversitas Shannon– Wiener (H’) tertinggi terdapat pada stasiun

1 sebesar 1,45 sedangkan nilai indeks Keseragaman (E) tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 0,99.

d. Intensitas cahaya, pH dan BOD5 berpengaruh sangat kuat terhadap keragaman ikan karang famili Chaetodontidae di pulau Ungge.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai keragaman ikan karang famili Chaetodontidae dengan kedalaman yang bervariasi di perairan pulau Ungge Tapanuli Tengah.


(37)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Laut

Bagian laut terdiri dari dua bagian yaitu bagian dasar dan bagian yang berair atau pelagik (dari kata Yunani pelages = laut). Secara vertikal laut dibagi dalam beberapa lapisan kedalamn, berurutan dari lapisan paling atas ialah: epipelagik (200 m), mesopelagik (200-1000 m), batipelagik (1000-4000 m), abisopelagik (4000-6000 m) dan hadalpelagik dibawah 6000 m. bagian dasar laut (bentik) dinamakna sesuai dengan lapisan atasnya yaitu batial, abisal dan hadal (Rahardjo

et al, 2011).

Penetapan lokasi dan ukuran ideal suatu kawasan konservasi laut daerah merupakan gabungan antara prinsip-prinsip ekologis dan pertimbangan efektifitas pengelolaan ditingkat lokal. Berdasarkan Pedoman Umum Pembentukan Daerah Perlindungan Laut, zona perlindungan yang terdapat di Daerah Perlindungan Laut terdiri dari 3 (tiga) zona sebagai berikut:

(a) Zona inti

Merupakan kawasan yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya. Kunci utamanya adalah adanya suatu kawasan yang ditetapkan sebagai zona inti yaitu zona larang ambil permanen. Zona inti penekanan pengelolaannya dikonsentrasikan pada upaya perlindungan. Kegiatan yang boleh dilakukan terbatas dan hanya mengarah pada kegiatan pendidikan, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.

(b) Zona penyangga

Zona ini berada di luar kawasan konsevasi yang berfungsi untuk menyangga keberadaan jenis biota laut beserta ekosistem yang terdapat didalamnya terhadap adanya gangguan dari luar yang dapat membahayakan keberadaan potensinya. Selain fungsi pengamanan juga berfungsi sebagai kawasan pengembangan budidaya maupun pelaksanaan pembangunan dalam bentuk pengembangan pemanfaatan yang dapat dilakukan oleh masyarakat yang berada di sekitarnya.


(38)

(c) Zona pemanfaatan tradisional

Zona ini berada di luar zona penyangga yang dialokasikan untuk pemanfaatan sumberdaya alam secara tradisional oleh masyarakat setempat dalam upaya mendukung pembangunan sosial dan ekonominya. Disamping pemanfaatan secara tradisional, zona ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan sarana prasarana rekreasi dan pariwisata secara lestari COREMAP (2008).

Pembagian daerah ekosistem laut dibagi menjadi 4 daerah, yaitu Daerah

Litoral/Daerah pasang surut adalah daerah yang langsung berbatasan dengan

darat. Radiasi matahari, variasi temperatur dan salinitas mempunyai pengaruh yang lebih berarti untuk daerah ini dibandingkan dengan daerah laut lainnya. Biota yang hidup di daerah ini antara lain: ganggang yang hidup sebagai bentos, teripang, bintang laut, udang kepiting, cacing laut. Daerah Neritik merupakan daerah laut dangkal, daerah ini masih dapat ditembus cahaya sampai ke dasar, kedalaman daerah ini dapat mencapai 200 meter. Biota yang hidup di daerah ini adalah plankton, nekton, dan bentos. Daerah Batial atau Daerah Remang-remang dimana kedalamannya antara 200-2000 meter, sudah tidak ada produsen. Hewannya berupa nekton, dan Daerah Abisal adalah daerah laut yang kedalamannya lebih dari 2000 meter daerah ini gelap sepanjang masa, tidak terdapat produsen (Nybakken, 1988).

Wilayah pesisir dan lautan merupakan kawasan yang menyimpan kekayaan sumberdaya alam yang sangat berguna bagi kepentingan manusia. Secara mikro sumberdaya kawasan ini dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup esensial penduduk sekitarnya sedangkan secara makro, merupakan potensi yang sangat diperlukan dalam rangka menunjang kegiatan pembangunan nasional disegala bidang (Utomo, 2010).

Penetapan daerah distribusi ikan laut tidak semudah dengan ikan air tawar. Salah satunya ialah tidak adanya pembatas fisik yang tegas terhadap gerakan perpindahan ikan dari suatu tempat ke tempat lain. Faktor pembatas penyebaran ikan adalah temperatur. Faktor lain yang mempengaruhi distribusi ikan ialah bentuk garis pantai dan kemiringan dasar laut, variasi salinitas dan arus laut. Pengelompokan yang dipandang cukup memadai ialah dengan memisahkan distribusi ikan dalam dua bidang, yakni paparan bebua dan laut lepas. Paparan


(39)

benua membentang dari permukaan laut sampai dasar laut pada kedalaman dari 200 m, sedangkan laut lepas mencakup seluruh zona laut di luar paparan benua (Rahardjo et al, 2011).

2.2 Ekosistem Terumbu Karang

Organisme penyusun terumbu karang (Scleractinia) hidup bersimbiosis dengan alga Zooxanthellae yang dalam proses biologisnya alga mendapat karbondioksida (CO2) untuk proses fotosintesis dan zat hara dari hewan-hewan terumbu karang (Haruddin et al, 2011).

Menurut bentuk dan letaknya, pertumbuhan ekosistem terumbu karang dikelompokkan menjadi tiga tipe terumbu karang (Nybakken 1992) yaitu:

(a) Terumbu karang pantai (fringing reefs)

Terumbu karang ini berkembang di pantai dan mencapai kedalaman tidak lebih dari 40 meter. Terumbu karang ini tumbuh keatas dan kearah laut. Pertumbuhan terbaik biasanya terdapat di bagian yang cukup arus. Sedangkan diantara pantai dan tepi luar terumbu, karang batu cenderung mempunyai pertumbuhan yang kurang baik, bahkan banyak yang mati karena sering mengalami kekeringan dan banyaknya endapan yang datang dari darat.

(b) Terumbu karang penghalang (barrier reefs)

Terumbu karang ini terletak agak jauh dari pantai dan dipisahkan dari pantai tersebut oleh dasar laut yang terlalu dalam untuk pertumbuhan karang batu (40-70 meter). Terumbu karang ini berakar pada kedalaman yang melebihi kedalaman maksimum dimana karang batu pembentuk terumbu dapat hidup. Umumnya terumbu tipe ini memanjang menyusuri pantai dan biasanya berputar seakan-akan merupakan penghalang bagi pendatang yang datang dari luar.

(c) Terumbu karang cincin (atoll)

Terumbu karang ini merupakan bentuk cincin yang melingkari suatu goba (Lagon). Menurut Sukarno et al. (1983) kedalaman rata-rata goba didalam atol sekitar 45 meter, jarang sampai 100 meter. Terumbu karang ini juga bertumpu pada dasar laut yang dalamnya diluar batas kedalaman karang batu penyusun terumbu karang hidup.


(40)

Terumbu karang (coral reef) merupakan masyarakat organisme yang hidup di dasar perairan dam berupa bentuk batuan kapur yang cukup kuat menahan gaya gelombang laut. Sedangkan organisme-organisme yang dominan hidup disini adalah binatang-binatang karang kapur, dan algae yang banyak diantaranya juga mengandung kapur. Terumbu karang (coral reff) sebagai ekosistem dasar laut dengan penghuni utama karang batu mempunyai arsitektur yang mengagumkan dan dibentuk oleh ribuaan hewan kecil yang disebut polip. Dalam bentuk sederhana, karang terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh tentakel. Namun kebanyakan spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi banyak individu yang disebut koloni Sorokin (1993) dalam Purwanto (2011).

Karang memiliki dua cara dalam reproduksi, yaitu dengan cara seksual dan aseksual. Reproduksi seksual karang menghasilkan larva planula yang berenang bebas dalam kolom perairan untuk sementara waktu, kemudian melekat pada substrat dan akan mengalami perubahan struktur dan histologi. Ketika polip menjadi dewasa dan membentuk koralit, maka ia mulai melakukan reproduksi secara aseksual untuk memperbesar koloni. Reproduksi aseksual pada karang dapat terjadi melalui intratentaculer budding maupun extratentaculer budding.

intratentaculer budding adalah tumbuhnya individu baru dari individu lama dan

hasilnya terdapat dua individu yang identik, extratentaculer budding adalah tumbuhnya individu baru diantara individu yang lama (Maharbhakti, 2009).

Ekosistem terumbu karang adalah bagian dari ekosistem pesisir dan lautan secara keseluruhan. Karena itu, terumbu karang merupakan salah satu pendukung ekosistem pesisir dan lautan. Demikian sebaliknya, ekosistem pesisir dan lautan terhadap terumbu karang, negatif maupun positif. Sebagai habitat, ekosistem terumbu karang merupakan tempat hidup, mencari makan, pemijahan, pengasuhan, dan pembesaran berbagai biota laut, baik biota terumbu karang maupun biota laut lainnya (Kordi, 2010). Suatu pulau biasanya dikelilingi oleh karang tepi (fringing reef), paparan terumbunya landai yang terdiri dari zona-zona terumbu seperti rataan terumbu (reef flat), puncak terumbu (reef crest), dan tubir (reef slope) (Septyadi, 2013).


(41)

Ekosistem terumbu karang yang tesebar hampir di seluruh perairan Indonesia dengan segala kehidupan yang terdapat didalamnya merupakan kekayaan alam yang bernilai tinggi. Manfaat yang terkandung di dalam ekosistem terumbu karang sangat besar dan beragam, baik manfaat langsung seperti pemanfaatan ikan dan biota lainnya, parwisata bahari dan lain-lain, maupun manfaat tidak langsung, seperti penahan abrasi pantai, pemecah gelombang, tempat mencari makan, pembesaran, pemijahan bagi biota asosiasinya dan keanekaragamaan hayati lainnya (Kudus, 2005). Ekosistem terumbu karang dikenal memiliki produktivitas tinggi, kondisi ini menyebabkan ekosistem ini banyak dihuni oleh berbagai jenis ikan, moluska, bintang laut, teripang dan udang. Umumnya biota-biota karang khususnya ikan karang, hidup berasosiasi dengan terumbu karang (Syakur, 2000).

Pemasok pangan yang sangat potensial bagi manusia ialah keberadaan terumbu karang. Karena berbagai jenis biota laut seperti ikan, algae, crustaceae dam molusca dapat ditemukan di ekosistem ini. Kehadiran berbagai jenis biota ini mengundang kegiatan eksploitasi sumberdaya secara besar. Aktivitas penambangan karang, penangkapan ikan dengan bahan beracun dan bahan peledak penggunaan alat tangkap yang tidak selektif serta pencemaran yang terjadi di laut maupun di darat merupakan masalah utama terjadinya degradasi terumbu karang (Titaheluw, 2011).

Faktanya keadaan saat ini kawasan terumbu karang tersebut telah mengalami degradasi. Banyak hal yang menjadi penyebab kerusakan terumbu karang seperti halnya kegiatan pengeboman, peracunan karang merupakan penyebab utama terjadinya kerusakan terumbu karang di suatu ekosistem perairan, serta banyaknya wisatawan yang menjadikan area terumbu alami sebagai kawasan wisata yang terkadang secara tidak sengaja merusak terumbu akibat tersentuh maupun terinjak (Pardede, 2012).

Berbagai kegiatan manusia yang berakibat pada kerusakan ekosistem terumbu karang, baik langsung maupun tidak langsung yaitu: Penambangan atau pengambilan karang, penangkapan ikan dengan penggunaan (bahan peledak, racun, bubu, jaring, pancing, dan eksploitasi berlebihan), pencemaran (minyak


(42)

bumi, limbah industri, dan rumah tangga), pengembangan daerah wisata dan sedimentasi (Haruddin et al, 2011).

2.3 Ikan Karang

Keanekaragam ikan karang merupakan bagian yang sangat penting dalam ekosistem terumbu karang, tidak hanya bagi ikan itu sendiri yang menjadikan ekosistem terumbu karang sebagai habitat vitalnya, yaitu sebagai tempat pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground) dan mencari makan (feeding ground), namun juga penting dalam menjaga keseimbangan antara berbagai komponen penyusun ekosistem terumbu karang. Secara ekonomis, ikan karang sangat penting bagi nelayan dan dunia pariwisata. Bagi masyarakat nelayan, ikan karang menjadi sumber pendapatan atau sebagai bahan makanan sehari-hari. Dalam kehidupan sehari-hari, di pasar-pasar tradisional sekitar wilayah pesisir selalu banyak ditemui ikan karang untuk diperjual belikan. Mereka biasanya ditangkap menggunakan pancing, spear gun atau dengan jaring. Untuk dunia pariwisata, kepentingan ikan karang tidak diragukan lagi sebagai objek yang diburu oleh para turis akibat warna dan bentuknya yang beranekaragam. Ikan karang tersebut akan menjadikan ekosistem terumbu karang menjadi hidup dan sengat indah (Utomo et al, 2013).

Keberadaan ikan karang di sekitar terumbu karang tergantung dari kondisi terumbu karang itu sendiri. Persentasi tutupan karang hidup yang tinggi tentunya akan berdampak pada kelimpahan ikan-ikan karang. Sebaliknya, bila presentasi tutupan karang buruk tentunya kelimpahan ikan karang akan sangat berkurang. Habitat ikan di daerah tropis mempunyai jumlah spesies yang lebih banyak daripada di daerah subtropis dan yang paling banyak jumlah ikannya adalah spesies ikan karang yang diduga ada sebanyak 4 000 spesies (Allen et al. 1998).

Perairan Indonesia sendiri terdapat sekitar 3 000 jenis yang termasuk dalam 17 ordo dan 100 famili (Kuiter, 2001). Kebanyakan famili ikan yang berada di laut tropis sebagian besar hidup dan hanya dapat ditemukan di daerah terumbu karang. Famili Chaetodontidae, Scaridae dan Labridae merupakan famili ikan yang hidup di daerah terumbu. Sedangkan famili Acanthuridae, Holocentridae,


(43)

Muraenidae merupakan komponen famili ikan demersal dan termasuk kedalam

jenis ikan pemakan benthos (epibentis). Beberapa famili ikan yang hidup di daerah pelagis (epipelagis) dan mempunyai hubungan erat dengan terumbu karang adalah ikan genus Sphyrena dan famili Carangidae. Ikan-ikan karang tersebut rata-rata memiliki warna yang cerah dan mempunyai ciri khusus yang dapat membantu kita dalam mengidentifikasi species ikan tersebut. Selain itu, warna dan ciri tersebut dapat berfungsi untuk melindungi diri dari predator yang selalu mencari kesempatan untuk memakannya (Utomo, 2010)

Menurut Helfman et al. (1997) dalam Rahardjo et al. (2011), empat divisi ekologik utama ikan dapat dikenal, yakni:

(a) Ikan epipelagik mendiami dari permukaan sampai kedalaman 200 m, membentuk 1,3% total, atau lebih kurang 325 spesies.

(b) Ikan pelagik dalam mencakup sekitar 1250 spesies atau sekitar 5% dari total. Ikan dapat dipilah menjadi ikan mesopelagik yang mendiami kedalaman 200 m sampai ke 1000 m dan ikan batipelagik yang mendiami lapisan air di bawah 1000 m.

(c) Ikan bentik dalam meliputi sekitar 1500 spesies atau 6,4% total. Pada kedalaman yang sangat dalam tersebut, ikan dihadapkan pada keadaan yang selalu gelap gulita dengan tekanan hidristatik yang amat besar. Dengan demikian tidaklah mengherankan bila ikan yang hidup di dasar laut mempunyai bentuk yang aneh-aneh atau tidak lazim seperti halnya ikan yang biasa terlihat sehari-hari.

(d) Ikan landas kontinen atau litoral yang menghuni kolom di atas 200 m, merupakan kelompok terbesar yang terdiri atas 45% total atau sekitar 11.200 spesies.

Ikan herbivora dan pemakan karang merupakan kelompok besar kedua dan yang paling penting dari kelompok ini adalah famili Scaridae dan Achanthuridae. Sisanya diklasifikasikan sebagai omnivora dan termasuk wakil-wakil dari seluruh famili ikan yang sebenarnya terdapat di terumbu karang (Pomachentridae,

Chaetodontidae, Pomochantridae, Monocanthuridae, Ostractiontidae dan

Tetraodontidae). Hanya ada beberapa ikan yang merupakan pemakan


(44)

kumpulan (schooling) dari famili Clupeidae dan Atherinidae (Nybakken, 1988). Perbedaan habitat menyebabkan perkembangan organ-organ ikan disesuaikan dengan kondisi lingkungan. Adanya sedimen dalam air akan mengurangi penetrasi cahaya masuk kedalam air sehingga mengurangi kecepatan fotosintesis pada ekosistem perairan (Utomo, 2010).

Banyak spesies ikan di daerah terumbu karang yang memiliki nilai ekonomi tinggi, baik ikan konsumsi maupun ikan hias. Ikan-ikan di terumbu karang ditangkap untuk konsumsi lokal maupun untuk pasar ekspor. Beberapa jenis ikan yang merupakan ikan yang harganya sangat mahal, seperti kerapu, kakap merah, dan napoleon, bahkan telah memberikan sumbangan yang sangat besar bagi kerusakan terumbu karang, karena penangkapan yang destruktif dengan menggunakan bahan kimia beracun (Kordi, 2010).

Menurut Nybakken (1988), Ikan merupakan organisme yang jumlah biomassanya terbesar dan juga merupakan organisme besar yang mencolok dapat ditemui di dalam ekosistem terumbu karang. Kondisi fisik terumbu karang yang kompleks memberikan andil bagi keragaman dan produktivitas biologinya. Banyak celah dan lubang di terumbu karang memberikan tempat tinggal, perlindungan, tempat mencari makan dan berkembang biak bagi ikan dan hewan invertebrata yang berada disekitarnya. Bahwa dengan perbedaan habitat (reef flat

dan reef slope) maka komposisi jenis karang hidup juga berbeda dan diikuti

dengan ikan karang penyususnnya.

Ikan karang merupakan salah satu sumber daya laut yang penting sebagai sumber protein hewani atau ikan konsumsi dan ikan hias laut. Jenis dan kelimpahan ikan karang sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan perairan, bentuk dan luasan terumbu karang hidup, substrat dasar, serta asosiasi dengan organisme bentik sehingga dengan kondisi terumbu karang dan lingkungan perairan yang baik dalam pemanfaatan ruang dan penyediaan makanan, maka keanekaragaman jenis dan jumlah individu akan semakin tinggi (Tarigan et al. 2009). Faktor kedalaman berperan penting dalam penyebaran ikan-ikan karang. Umumnya mereka memiliki kisaran kedalaman yang sempit, tergantung dari ketersediaan makanan, ombak dan keberadaan predator. Di daerah-daerah yang kaya akan makanan ikan akan cenderung berkelompok (Purwanti, 2004).


(45)

Menurut Allen et al (1998), keberadaan ikan karang di sekitar terumbu karang tergantung dari kondisi terumbu karang itu sendiri. Persen tutupan karang hidup yang tinggi tentunya akan berdampak pada kelimpahan ikan-ikan karang. Sebaliknya, bila persentasi tutupan karang buruk tentunya kelimpahan ikan karang akan sangat berkurang. Habitat ikan di daerah tropis mempunyai jumlah spesies yang lebih banyak dari pada di daerah subtropis dan yang paling banyak jumlah ikannya adalah spesies ikan karang yang diduga ada sebanyak 4.000 spesies.

Berdasarkan distribusi hariannya, ikan-ikan karang umumnya terbagi dua kelompok besar yaitu ikan-ikan diurnal dan nokturnal. Ikan diurnal (siang hari) merupakan kelompok terbesar di ekosistem terumbu karang, yang termasuk kelompok ikan diurnal adalah ikan dari famili Pomacentridae, Labridae,

Achanturidae, Lutjanidae, Chaetodontidae, Serranidae, Balistidae, Cirrhitidae, Tetraodontidae, Bleniidae dan Gobidae. Mereka makan dan tinggal di permukaan

karang serta memakan plankton yang lewat diatasnya (Syakur, 2000). Pada malam hari ikan-ikan diurnal akan masuk dan berlindung di dalam terumbu dan digantikan oleh ikan-ikan nokturnal (ikan malam). Pada malam hari mereka keluar dan mencari makan, baru pada siang hari ikan-ikan ini masuk ke gua-gua atau celah-celah karang. Ikan yang termasuk ke dalam ikan-ikan nokturnal adalah ikan dari famili Holocentridae, Apogonidae, Haemolidae, muraenidae, Scorpaenidae,

Serranidae dan Labridae (Purwanti, 2004).

Beberapa kelompok ikan benar-benar menggunakan terumbu sebagai tempat hidupnya, seperti famili Scaridae, Pomacentridae, dan Labridae, yang sejak juvenile telah berada di ekosistem terumbu karang. Kelompok ikan dapat dibagi dua yaitu kelompok ikan yang kadang-kadang berada di daerah terumbu (contohnya famili Scrombidae, Myctophidae, Sphyraenidae, Caesionidae, dan hiu) dan kelompok ikan yang menggantungkan seluruh hidupnya pada terumbu karang (contohnya famili Pomacentridae dan Chaetodontidae) (Madduppa, 2006). Menurut Ardim (1993) dalam Utomo (2010), kelompok ikan karang dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:

(a) kelompok ikan target, yaitu ikan karang yang mempunyai manfaat sebagai ikan konsumsi, seperti ikan famili Sarranidae, Lutjanidae, Haemulidae dan


(46)

(b) Kelompok ikan indikator, yaitu kelompok ikan karang yang dinyatakan sebagai indikator kelangsungan hidup terumbu karang. Hanya satu famili yang termasuk jenis kelompok ikan indikator, yaitu ikan dari famili

Chaetodontidae.

(c) Kelompok ikan umum (mayor), yaitu ikan yang berperan dalam rantai makanan, seperti ikan dari famili Pomacentridae, Scaridae, Acanthuridae,

Caesionidae, Labridae, Siganidae, Mullidae, dan Apogonidae.

Ikan indikator adalah jenis-jenis ikan yang hidup berasosiasi paling kuat dengan karang atau sangat tergantung dengan keberadaan karang di suatu perairan karang. Jenis ikan yang termasuk jenis ikan indikator antara lain dari famili

Chaetodontidae. Dalam perhitungannya, jenis ikan ini sangat mudah diamati satu

per satu di dalam areal pengamatan, karena sifat dari hidupnya sendiri-sendiri, ada yang berpasangan atau hanya dalam kelompok kecil dan sangat jarang jenis ikan ini dalam kelompok besar (Utojo, 2007).

Berdasarkan makanannya, ikan karang diklasifikasikan dalam 6 tipe, yakni: kelompok ikan pemakan segala (omnivores), kelompok ikan pemakan ditritus (detritivores), kelompok ikan pemakan tumbuhan (herbivores), kelompok ikan pemakan moluska (moluscivores), kelompok ikan pemakan zooplankton (zooplangtivores), dan kelompok ikan-ikan karnivora (carnivores) (Wulandari, 2002).

2.4 Ikan Kepe-kepe (Chaetodontidae)

Ikan hias dari suku Chaetodontidae di Sulawesi Utara dikenal dengan ikan Kupu-kupu, karena memiliki warna yang indah dan bentuk yang pipih menyerupai kupu-kupu. Di Irian Jaya dan Maluku dikenal dengan nama ikan daun-daun, karena bentuk tubuhnya pipih dan lebar menyerupai daun. Sedangkan nelayan di Jawa menyebutnya dengan nama ikan kepe-kepe. Daya tarik ikan dari suku

Chaetodontidae diperlihatkan oleh gerakannya yang tenang dan anggun, serta tata

warna yang cerah cemerlang. Secara keseluruhan ikan mirip kupu-kupu, oleh

karena itu dalam dunia usaha ikan ini dikenal pula dengan nama “Butterflyfishes”, “Bannerfishes”, atau “Coralfishes” (Makatipu, 2001).


(47)

Reese (1991) merupakan peneliti pertama yang melakukan percobaan untuk mengidentifikasi spesies indikator dengan memakai ikan butterflyfishes (chaetodontidae) jenis pemakan karang untuk penilaian kondisi terumbu karang. Ikan chaetodontidae memungkinkan untuk dijadikan sebagai bioindikator karena hubungannya yang erat dengan karang yang mereka makan dan fungsi morfologi dari organ-organ tubuh ikan ini yang memungkinkan memakan jaringan karang tanpa merusak susunan dasar koral (Crosby & Reese 1996) dalam (Utomo, 2010).

Berikut Klasifikasi dari ikan kepe-kepe Chaetodon: Kingdom : Animalia

Filum : Chordata Kelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Famili : Chaetodontidae

Ikan kepe-kepe (Butterflyfishes) merupakan salah satu ikan terumbu yang mudah dikenali diperairan terumbu karang. Kebanyakan ikan kepe-kepe ditemukan di perairan tropis, dangkal, disekitar terumbu karang pada kedalaman kurang dari 60 feet (18 m). Tetapi, beberapa penemuan terakhir telah ditemukan spesies baru yang berada pada kedalaman 600 feet (180 m) (Madduppa, 2006).

Gambar 1: Jenis Ikan Kepe-kepe (Chaetodon collare)

Ikan Chaetodontidae dapat dijadikan sebagai bioindikator bagi karang berdasarkan kriteria yaitu: (a) salah satu dari jenis ikan karang yang keberadaannya sangat banyak di terumbu karang dan terdapat di beberapa bagian dunia; (b) mudah untuk dikenali dan diamati karena aktifitasnya yang bersifat diurnal; (c) secara taksonomi sangat mudah dipelajari dan diidentifikasi oleh


(48)

orang yang tidak berpengalaman; (d) memiliki wilayah sebaran yang luas dan dapat mencapai usia yang panjang sehingga individu yang sama dapat diteliti berulang-ulang (Utomo, 2010).

Menurut Allen (1979), ikan kepe-kepe membagi menjadi 10 genus, yaitu:

Amphichaetodon, Chaetodon, Chelmon, Chelmonops, Coradion, Forcipiger, Hemitaurichthys, Heniochus, Johnrandallia, parachaetodon.

Ikan Chaetodontidae merupakan ikan yang memiliki penyebaran luas, ditemukan hidup berasosiasi dan menetap di terumbu karang. Kelimpahan ikan

Chaetodontidae dapat mengindikasikan bahwa terumbu karang sudah mengalami

perubahan, selain itu beberapa penelitian menunjukkan bahwa kehadiran ikan

Chaetodontidae mempunyai kolerasi yang positif dengan persen tutupan karang

hidup di beberapa perairan Indonesia. Interaksi antar ikan Chaetodontidae sebagai penghuni perairan karang dengan terumbu karang dan faktor pendukung lainnya. Dalam analisa ikan Chaetodontidae sebagai indikator kondisi terumbu karang dibahas juga tentang keanekaragaman, keseragaman, dominansi jenis, analisa isi perut dan kehadiran serta kesukaan ikan terhadap karang tertentu (Utomo, 2010).

2.5 Morfologi Ikan Kepe-kepe (Chaetodontidae)

Para ahli ikhtiologi mengklasifikasikan ikan kepe-kepe kedalam famili

Chaetodontidae berdasarkan desain gigi mereka. Semuanya mempunyai gigi yang

mirip sisir. Umumnya mulutnya lancip dan rahangnya dilengkapi dengan gigi-gigi kecil dan tajam untuk mencari makanannya di celah-celah karang batu. Pergerakan yang cepat dan bentuk warna yang jelas juga merupakan salah satu alasan pemberian nama pada kelompok ikan ini. Para peneliti juga mengusulkan beberapa kemungkinan fungsi dari warna-warna dramatis dan bentuk pewarnaan yang umumnya di dominasi oleh kuning, hitam dan putih. Untuk beberapa ikan kepe-kepe, khususnya spesies yang mempunyai hubungan yang dekat dengan habitat yang sama, pengenalan spesies mungkin penting pada saat identifikasi pasangan. Beberapa spesies hidup berpasangan dan mempunyai wilayah teritorial tertentu yang sesuai dengan pewarnaanya yang berguna untuk menyamar dari pemangsaan. Beberapa lainnya, pewarnaan penting untuk perlindungan dari predator. ikan kepe-kepe umumnya aktif pada siang hari (diurnal), dan mencari


(49)

tempat perlindungan di habitat terumbu pada malam hari (Fishbase 2005; Nontji 1993) dalam (Madduppa, 2006).

Kekhasan ikan karang pada umumnya di tunjukkan oleh corak dan jenis warna yang beraneka ragam. Sehingga sangat membantu dalam pengenalan maupun identifikasi kelompok ikan dari famili Chaetodontidae. Pada prinsipnya, ikan karang dikatogorikan sebagai ikan perairan dangkal. Sebagaimana bisa kita lihat dari anatomi kelompok ikan karang ini terdiri dari 9 komponen utama, yakni: 1) dorsal fin (sirip punggung), 2) pectoral fin (sirip dada), 3) ventral fin (sirip bawah), 4) anal fin (sirip bawah belakang), 5) caudal fin (sirip ekor), 6)

operculum (gill cover/ penutup ingsang), 6) lateral line (garis sisi), 7) gasblader

(hydrostatic organ), dan 9) gill (insang). Sirip punggung dapat terbagi atas dua bagian, yakni: sirip keras (hard spins) dan sirip lunak (soft spins). Selain corak warna, salah satu penciri yang khas adalah bentuk sirip ekor (Irawati, 2006).

2.6 Faktor Pembatas Fisik Kimia 2.6.1 Suhu

Pertumbuhan biota karang sangat dipengaruhi oleh suhu perairan sekitarnya, biasanya biota karang dapat tumbuh pada suhu 180C – 360C dan pertumbuhan optimum terjadi di perairan yang rata-rata suhu tahunannya 260C –

280C (Nybakken, 1988). Suhu merupakan salah satu sifat fisik yang dapat mempengaruhi metabolisme dan pertumbuhan badan ikan. Penyebaran suhu dalam perairan dapat terjadi karena adanya penyerapan dan angin sedangkan yang mempengaruhi tinggi rendahnya suhu adalah musim, cuaca, waktu pengukuran, kedalam air dan lain sebagainya. Semua jenis ikan mempunya toleransi yang rendah terhadap perubahan suhu apalagi yang drastis. Kisaran suhu yang baik untuk ikan adalah antara 250C – 320C. Kisaran suhu ini umumnya di daerah beriklim tropis seperti Indonesia. Laju metabolisme ikan dan hewan air lainnya secara langsung meningkat dengan naiknya suhu. Peningkatan metabolisme jyga berarti meningkatnya kebutuhan akan oksigen (Anwar et al, 1984) dalam (Pandiangan, 2009).


(50)

2.6.2 Penetrasi Cahaya

Cahaya memegang peranan penting sebagai sumber energy bagi kelangsungan proses fotosintesis. Bila terjadi proses fotosintesis oleh alga menyebabkan pertambahannya produksi kalsium karbonat dengan menghilanhkan karbon dioksida. Kondisi ini yang menyebabkan distribusi vertikal terumbu karang dibatasi oleh kedalaman efektif sinar yang masuk (Wulandari, 2002).

Cahaya merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan ikan dan berperan secara langsung maupun tidak langsung. Cahaya dibutuhkan ikan untuk mengejar mangsa, menghindari diri dari predator dan dalam perjalanan menuju suatu tempat. Hanya beberapa spesies ikan yang beradaptasi untuk hidup di tempat yang gelap. Secara tidak langsung peranan cahaya matahari bagi kehidupan ikan adalah melalui rantai makanan. Selain penting dalam membantu penglihatan, cahaya juga penting dalam metabolisme ikan dan pematangan gonad. Ikan yang mendiami daerah air yang dalam pada siang hari akan bergerak menuju ke daerah yang lebih dangkal untuk mencari makanan dengan cara rangsangan cahaya (Utomo, 2010).

2.6.3 Kecepatan Arus

Arus dibutuhkan untuk mendatangkan makanan berupa plankton, disamping dapat membersihkan karang dari endapan. Pertumbukan karang pada daerah berarus akan lebih baik dibandingkan dengan perairan yang tenang (Utomo, 2010).

2.6.4 Gelombang

Tidak adanya gelombang memungkinkan ada terjadinya pengendapan yang akan menutupi dan menyumbat struktur pemberian makanan karang dan menghalangi masuknya cahaya matahari ke perairan di terumbu karang, selain itu juga suplai makanan (plankton) dan air segar yang kaya oksigen jadi berkurang (Nybakken, 1992).


(1)

ngan stambuk 2010 (BIOLOGI REVOLUTION) atas semangat dan kerjasama sel ama ini. Terima kasih kepada Tim Diver Tonisman Harefa, Delisma Siregar, Yusn iarti, Veronika Tobing (Saudara asuh), Julu, Eka Siswiyati, Richard, kepada DKP Tapanuli Tengah Pak Edward Bangun dan Pak Penas yang membantu selama di la pangan dan kepada Pak Jufriwandi Siregar (DKP Prov SU) yang memberikan arah an dan bantuan dalam melakukan penelitian. Terima kasih untuk sahabat Norton, Doni, Posma, Trisi, Chrestina, Yantika, Anita, Elfrida, Bancin, Adam, Siti, Tiur, S ylvia, Maria, Juwita, Sunarti, netty, Nova, Lisbet, Aprianto dkk. yang telah memb erikan indahnya sebuah pertemanan, penghilang kebosanan, serta saling memberi kan semangat kepada penulis.

Terima kasih kepada abang/kakak 2008 terkhusus kak Agnes Yolanda (ka kak asuh), untuk abang/kakak 2009 bang Aan dan kak Bertua yang selalu member i masukan dan meluangkan waktu untuk berdiskusi, untuk adek-adek 2011 Ribka, Nelly, Rasmin, Jordan, adek asuh stambuk 2012 khususnya Melva Simanjuntak (a dek asuh), Ester, Mareta, Bobi, Yolanda, Samuel, adek-adek 2013, 2014 dan 2015 . Terima kasih juga kepada organisasi PKBKB, BIOPALAS dan HIMABIO sebag ai wadah bagi penulis untuk membangun dan mengembangkan karakter yang me mbuat penulis semakin dekat dan mengenal Tuhan Yesus sebagai juruselamat, sad ar akan arti kebersamaan dan kerjasama, arti dari sebuah tanggung jawab, berbagi kepada sesame, menejemen diri sendiri dan disiplin waktu.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas semua kebaikan dan ketulusan dari semua pihak yang membantu penulis hingga menyelesaikan penyusunan skri psi ini dengan baik. Semoga Tuhan selalu mememberkati kita. Amin.

Medan, 2016


(2)

DAFTAR ISI

Daftar Isi i

Daftar Gambar iii

Daftar Tabel iv

Daftar Lampiran v

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 2

1.3 Tujuan Penelitian 2

1.4 Manfaat 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Laut 4

2.2 Ekosistem Terumbu Karang 6

2.3 Ikan Karang 9

2.4 Ikan Kepe-kepe (Chaetodontidae) 13

2.5 Morfologi Ikan Kepe-kepe (Chaetodontidae) 15

2.6 Faktor Pembatas Fisik Kimia 16

2.6.1 Suhu (oC) 16

2.6.2 Penetrasi cahaya (m) 17

2.6.3 Kecepatan arus 17

2.6.4 Gelombang 17

2.6.5 Salinitas (ppt) 18

2.6.6 pH (Derajat Keasaman) 18

2.6.7 DO 18

BAB 3 METODA PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat 19

3.2 Alat dan Bahan 19

3.3 Penentuan Stasiun Pengamatan 19

3.4 Deskripsi Stasiun 19

3.4.1 Stasiun 1 19

3.4.2 Stasiun 2 20

3.4.3 Stasiun 3 20

3.5 Pengamatan Keragaman Ikan Chaetodontidae 21 3.6 Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan 22

3.6.1 Suhu (oC) 22

3.6.2 Intensitas cahaya 22

3.6.3 Penetrasi Cahaya (m) 22

3.6.4 Salinitas (ppt) 22

3.6.5 pH (Derajat Keasaman) 22


(3)

3.6.7 BOD5(Biochemical Oxygen Demand) 23

3.7 Analisis Data 23

3.7.1 Kepadatan (K) 24

3.7.2 Kepadatan Relatif (KR) 24

3.7.3 Frekuensi Kehadiran (FK) 24

3.7.4 Indeks Diversitas Shannon–Wiener 24

3.7.5 Indeks Keseragaman 25

3.7.6 Indeks Similaritas 25

3.7.7 Analisis Korelasi 25

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Faktor Biotik Lingkungan 27

4.1.1 Jenis-jenis ikan yang didapat 27

4.1.2 Deskripsi Ikan yang didapat 28

4.1.2.1 Ikan Chaetodon collare 28

4.1.2.2 Ikan Chaetodon triangulum 28

4.1.2.3 Ikan Chaetodon trifasciatus 29

4.1.2.4 Ikan Heniochus diphreutes 30

4.1.2.5 Ikan Heniochus pleurotaenia 30

4.1.3 Kepadatan (K), KR dan FK 31

4.1.4 Indeks Diversitas dan Keseragaman (E) 33

4.1.5 Indeks Similaritas (IS) 35

4.2 Faktor Abiotik Lingkungan 36

4.2.1 Suhu 36

4.2.2 Intensitas cahaya 37

4.2.3 Penetrasi cahaya 37

4.2.4 Salinitas 38

4.2.5 pH 39

4.2.6 DO 39

4.2.7 BOD5 40

4.3 Analisis Korelasi Faktor Fisik - Kimia Perairan 40 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 43

5.2 Saran 43


(4)

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Gambar Keterangan Halaman

1 Jenis Ikan Kepe-kepe (Chaetodontidae) 14

2 Stasiun 1 9

3 Stasiun 2 20

4 Stasiun 3 21

5 Undewater Visual Census”(UVC) 22

6 Chaetodon collare 28

7 Chaetodon Triangulum 29

8 Chaetodon trifasciatus 29

9 Heniochus diphreutes 30


(5)

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel

Judul Halaman

1 Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan Beserta Satuan dan Alat/Metode yang digunakan

23

2 Ikan yang diperoleh pada setiap stasiun 27

3 Data Kepadatan (ind/m3), Kepadatan Relatif (%) dan Frekuensi Kehadiran (%) ikan pada setiap stasiun pengamatan

31

4 Indeks Diversitas Shannon– Wiener (H’) dan Indeks

Keseragaman (E) pada setiap stasiun penelitian

33

5 Indeks Similaritas (IS) di setiap stasiun penelitian 34 6 Nilai faktor fisik kimia perairan pada setiap stasiun

penelitian

35

7 Nilai korelasi antara faktor fisika-kimia terhadap keragaman ikan karang famili Chaetodontidae pada setiap stasiun penelitian


(6)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor

Lampiran Keterangan Halaman

1 Peta Lokasi 48

2 Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur DO 49

3 Bagan Kerja untuk Metode BOD5 50

4 Alat dan BAhan 51

5 Foto kerja 52

6 Contoh hasil perhitungan 53

7 Analisis Uji Korelasi parameter fisik-kimia dengan