Keragaman Makroalga Di Rataan Terumbu Karang Perairan Pulau Ungge Kabupaten Tapanuli Tengah

(1)

SKRIPSI

DELISMA 100805047

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(2)

i

KERAGAMAN MAKROALGA DI RATAAN TERUMBU KARANG PERAIRAN PULAU UNGGE

KABUPATEN TAPANULI TENGAH

SKRIPSI

DELISMA 100805047

Disetujui oleh:

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Mayang Sari Yeanny, S.Si, M.Si

NIP: 197221121998032002 NIP: 196910101997021002 Dr. Miswar Budi Mulya, M.Si

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(3)

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan rahmat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian ini.

Hasil penelitian yang berjudul KERAGAMAN MAKROALGA DI RATAAN TERUMBU KARANG PERAIRAN PULAU UNGGE KABUPATEN TAPANULI TENGAH dibuat sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana Biologi FMIPA USU Medan.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. Miswar Budi Mulya, M.Si selaku dosen pembimbing I dan Ibu Mayang Sari Yeanni, S.Si, M.Si selaku dosen pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan dan saran kepada penulis dalam penyusunan hasil penelitian ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam pembuatan proposal penelitian ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan hasil penelitian ini.

Medan, April 2015


(4)

iii

KERAGAMAN MAKROALGA DI RATAAN TERUMBU KARANG PERAIRAN PULAU UNGGE

KABUPATEN TAPANULI TENGAH ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian dengan judul “Keragaman Makroalga di Rataan Terumbu Karang Perairan Pulau Ungge Kabupaten Tapanuli Tengah”. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui keragaman dan distribusi makroalga dan keterkaitan faktor fisik kimia dengan keragaman makroalga. Penelitian ini dilakukan dengan metode Transek Kuadrat dengan menentukan 3 stasiun penelitian di rataan terumbu karang pada kedalaman 2-3 m. Pengambilan sampel dilakukan dengan 5 kali ulangan pada masing-masing stasiun penelitian. Hasil penelitian memperoleh 3 kelas makroalga yang terdiri dari 4 ordo, 5 famili dan 7 genus. Nilai total kerapatan tertinggi terdapat pada stasiun sebanyak 17,8 ind/m2 dan terendah terdapat pada stasiun 3 sebanyak 6,2 ind/m2. Indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu 1,57 dan indeks keanekaragaman terendah terdapat pada stasiun 3 yaitu 1,05. Indeks keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu 0,96 dan indeks keseragaman terendah pada stasiun 1 yaitu 0,87. Hasil analisis korelasi menunjukan bahwa penetrasi cahaya, pH, oksigen terlarut, salinitas, dan nitrat berkorelasi sangat kuat terhadap indeks keanekaragaman (H’) makroalga.


(5)

iv

DIVERSITY OF MACROALGAE ON CORAL REEF WATERS OF THE ISLAND UNGGE CENTRAL

TAPANULI REGENCY

ABSTRACT

The research of “Diversity Of Macroalgae On Coral Reef Waters of The Island Ungge Central Tapanuli Regency” has been done. The objectives of this research were to know the diversity of macroalgae and the correlation between physical-chemical factors and the diversity of macroalgae. The research was done by using Kuadratic Transect Methode and by determining the 3 research stations in the coral reef at a depth. The sampling was done 5 times on each research station. The research found 3 kinds of macroalgae which consist of 4 classes, 5 families and 7 species. The amound of the highest density 17,8 ind/m² was found on the station 1 and the lowest 6,2 ind/m² was found on the station 3. The highest diversity index 1,57 was at station 1 and lowest 1,05 was at station 3. The highest uniformity index 0,97 was at station 3 and the lowest 0,87 was at station 1. The correlation analysis result shows that penetration of light, Potential of Hydrogen, dissolved oxygen, salinity, nitrate strongly correlate to the macroalgae diversity index (H’).


(6)

v DAFTAR ISI

Kata Pengantar i

Abstrak ii

Abstract iii

Daftar Isi iv

Daftar Gambar vi

Daftar Tabel vii

Daftar Lampiran viii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 2

1.3 Tujuan Penelitian 2

1.4 Manfaat 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perairan Pantai 4

2.2 Terumbu Karang 4

2.3 Morfologi Makroalga 5

2.4 Klasifikasi Makroalga 6

2.4.1 Chlorophyceae (Alga Hijau) 6

2.4.2 Phaeophyceae (Alga Coklat) 7

2.4.3 Rhodophyceae (Alga Merah) 9

2.5 Habitat Makroalga 11

2.6 Manfaat Makroalga 11

2.7 Propek Ekonomi Makroalga 12

2.8 Faktor-Faktor Lingkungan yang Berpengaruh terhadap 13

Komunitas Makroalga

BAB 3 METODA PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat 15

3.2 Alat dan Bahan 15

3.3 Penentuan Stasiun Pengamatan 15

3.4 Deskripsi Stasiun 15

3.5 Pengambilan Sampel Makroalga 17

3.6 Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan 17

3.7 Analisis Data 19

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Klasifikasi Makroalga 22

4.2 Nilai Kerapatan, Kerapatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran 23 Makroalga

4.3 Indeks Keanekaragaman dan Indeks Keseragaman Makroalga 25 pada Setiap Stasiun Penelitian


(7)

vi

4.4 Indeks Similaritas Makroalga pada Setiap Stasiun Penelitian 26

4.5 Faktor Fisik Kimia Perairan 27

4.6 Analisis Kolerasi 30

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 32

5.2 Saran 32


(8)

vii

DAFTAR GAMBAR

No Gambar Judul Halaman

2.1 Chlorophyceae 7

2.2 Phaeophyceae 8

2.3 Rhodophyceae 10

3.1 Stasiun 1 16

3.2 Stasiun 2 16


(9)

viii

DAFTAR TABEL

No Tabel Judul Halaman

3.1 Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan Beserta Satuan dan 19 Alat/Metode yang Digunakan

4.1 Klasifikasi Makroalga yang didapatkan pada Setiap Stasiun 22 Penelitian

4.2 Nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif, dan Frekuensi Relatif 23 Makroalga pada 3 Stasiun Penelitian

4.3 Indeks Keanekaragaman dan Keseragaman Makroalga pada 25

Setiap Stasiun Penelitian

4.4 Indeks Similaritas Makroalga pada Setiap Stasiun Penelitian 26

4.5 Nilai Faktor Fisik Kimia pada Setiap Stasiun Penelitian 27

4.6 Nilai Korelasi Antara Parameter Fisik-Kimia Perairan dengan 30 Keanekaragaman Makroalga dari Setiap Stasiun Penelitian


(10)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

No Lampiran Judul Halaman

1. Peta Lokasi 37

2. Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur DO 38

3. Nilai Kolerasi antara Parameter Fisik-Kimia Perairan 39

dengan Keanekaragaman Makroalga dari Setiap Stasiun

4 Nilai Oksigen Terlarut Maksimum (mg/l) pada 40

Berbagai Besaran Temperatur Air

4. Contoh Hasil Perhitungan 41

5. Foto Kerja 43

6. Foto Sampel 44

7. Foto Alat 45


(11)

iii

KERAGAMAN MAKROALGA DI RATAAN TERUMBU KARANG PERAIRAN PULAU UNGGE

KABUPATEN TAPANULI TENGAH ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian dengan judul “Keragaman Makroalga di Rataan Terumbu Karang Perairan Pulau Ungge Kabupaten Tapanuli Tengah”. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui keragaman dan distribusi makroalga dan keterkaitan faktor fisik kimia dengan keragaman makroalga. Penelitian ini dilakukan dengan metode Transek Kuadrat dengan menentukan 3 stasiun penelitian di rataan terumbu karang pada kedalaman 2-3 m. Pengambilan sampel dilakukan dengan 5 kali ulangan pada masing-masing stasiun penelitian. Hasil penelitian memperoleh 3 kelas makroalga yang terdiri dari 4 ordo, 5 famili dan 7 genus. Nilai total kerapatan tertinggi terdapat pada stasiun sebanyak 17,8 ind/m2 dan terendah terdapat pada stasiun 3 sebanyak 6,2 ind/m2. Indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu 1,57 dan indeks keanekaragaman terendah terdapat pada stasiun 3 yaitu 1,05. Indeks keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu 0,96 dan indeks keseragaman terendah pada stasiun 1 yaitu 0,87. Hasil analisis korelasi menunjukan bahwa penetrasi cahaya, pH, oksigen terlarut, salinitas, dan nitrat berkorelasi sangat kuat terhadap indeks keanekaragaman (H’) makroalga.


(12)

iv

DIVERSITY OF MACROALGAE ON CORAL REEF WATERS OF THE ISLAND UNGGE CENTRAL

TAPANULI REGENCY

ABSTRACT

The research of “Diversity Of Macroalgae On Coral Reef Waters of The Island Ungge Central Tapanuli Regency” has been done. The objectives of this research were to know the diversity of macroalgae and the correlation between physical-chemical factors and the diversity of macroalgae. The research was done by using Kuadratic Transect Methode and by determining the 3 research stations in the coral reef at a depth. The sampling was done 5 times on each research station. The research found 3 kinds of macroalgae which consist of 4 classes, 5 families and 7 species. The amound of the highest density 17,8 ind/m² was found on the station 1 and the lowest 6,2 ind/m² was found on the station 3. The highest diversity index 1,57 was at station 1 and lowest 1,05 was at station 3. The highest uniformity index 0,97 was at station 3 and the lowest 0,87 was at station 1. The correlation analysis result shows that penetration of light, Potential of Hydrogen, dissolved oxygen, salinity, nitrate strongly correlate to the macroalgae diversity index (H’).


(13)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Perairan laut Indonesia kaya akan berbagai biota laut baik flora maupun fauna yang memiliki nilai potensial dan memiliki peranan penting secara ekologi dan ekonomi. Makroalga termasuk bagian dari flora yang terdiri atas banyak jenis dan memiliki peranan penting pada lingkungan laut (Oktaviani, 2013). Menurut Palallo (2013) jumlah jenis makroalga yang ditemukan di Pulau Bonebatang terdiri 14 spesies yang terdiri dari 9 ordo, 11 famili, 13 genus. Menurut Oktaviani (2013) jumlah jenis makroalga di Pantai Teluk Lombok Sangatta ditemukan 14 spesies yang terdiri dari 10 ordo dan 11 famili. Menurut Ratri (2013) jenis makroalga di Pantai Ngudel Kecamatan Gedangan Kabupaten Malang terdiri dari 7 spesies makroalga yang tergolong dalam 5 famili dan 2 kelas yaitu dari kelas Rhodophyceae dan Chlorophyceae.

Pulau Ungge berada dalam wilayah administrasi Desa Sitardas,

Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah, terletak pada koordinat

1,34’23”-1,34’37” LU dan 98,45’26”-98,45’42” BT. Pulau Ungge merupakan sebuah pulau yang ditumbuhi beragam flora seperti pohon kelapa, semak belukar, pohon ketaping, mangrove serta beberapa jenis kayu lainnya. Kondisi pantai berpasir, steril dari sampah domestik, dasar perairan yang landai dan tidak dalam serta kondisi terumbu karang yang masih baik dengan ikan karang dan ikan hiasnya. Di Pulau Ungge juga ditemukan beberapa jenis burung yang tersebar di berbagai habitat sehingga pulau ini sering disebut dengan Pulau Unggas (Coremap II, 2008).

Ekosistem terumbu karang adalah bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beranekaragam biota laut baik itu flora maupun fauna. Di dalam ekosistem terumbu karang ini pada umumnya hidup lebih dari 300 jenis karang, yang terdiri dari sekitar 200 jenis ikan dan puluhan jenis molusca, crustacean, sponge, alga, lamun, dan biota lainnya (Ambalika, 2010).


(14)

2

Menurut Atmaja (1995), makroalga pada perairan laut umumnya merupakan bagian dari komponen ekosistem terumbu karang dan dimanfaatkan sebagai produsen bagi kehidupan organisme di akuatik. Dari segi ekologis makroalga berfungsi juga sebagai penyedia karbonat dan pengokoh substrat dasar yang bermanfaat bagi stabilitas dan kelanjutan keberadaan terumbu karang tersebut. Selain itu juga bermanfaat bagi penunjang kebutuhan hidup manusia sebagai bahan pangan dan industri.

Keterkaitan ekosistem terumbu karang dengan makroalga sangat erat, di satu sisi memberikan dampak positif namun di sisi lain dapat memberikan dampak negatif. Positifnya, makroalga merupakan biota yang sangat penting dalam ekosistem terumbu karang karena berperan sebagai produsen primer. Akan tetapi karena kemampuannya untuk tumbuh secara cepat, dapat berdampak negatif terhadap komunitas karang yang tumbuhnya lambat, sehingga jika pertumbuhannya tidak dikendalikan maka komunitas makroalga akan segera mendominasi ekosistem terumbu karang dan pada akhirnya mengancam keberadaan terumbu karang di perairan.

Pulau Unggaeh merupakan salah satu pulau yang memiliki keanekaragaman jenis makroalga yang tersebar pada berbagai habitat dan belum teridentifikasi jenis dan sebarannya, terutama pada terumbu karang. Belum adanya kajian khusus mengenai makroalga di perairan Pulau Unggaeh yang menjadi alasan penelitian ini. Melihat hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian ini untuk mengetahui keragaman dan distribusi makroalga pada rataan terumbu karang di pulau Unggaeh serta hubungannya dengan faktor fisik kimia perairan.

1.2Permasalahan

Keberadaan makroalga sangat dipengaruhi oleh faktor fisik kimia perairan. Di perairan pulau Unggaeh terdapat aktivitas manusia berupa lintas perahu nelayan dan juga perubahan musim yang meyebabkan adanya perubahan faktor fisik kimia perairan yang secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi keragaman dan distribusi makroalga pada rataan terumbu karang. Data tentang makroalga di Perairan Pulau Unggaeh sampai saat ini belum


(15)

didapatkan. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan penelitian tentang keragaman dan distribusi makroalga pada rataan terumbu karang di perairan Pulau Unggaeh Tapanuli Tengah.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui keragaman dan distribusi makroalga pada rataan terumbu karang di perairan Pulau Unggaeh Tapanuli Tengah

2. Untuk mengetahui keterkaitan faktor fisik dan kimia perairan terhadap keragaman makroalga

1.4 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pihak Pemerintah dan pihak tertentu mengenai keragaman dan distribusi makroalga pada rataan terumbu karang di perairan Pulau Unggaeh serta kaitannya terhadap kondisi faktor fisik kimia perairan dalam rangka pengelolaan kawasan ekosistem terumbu karang.


(16)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Perairan Pantai

Perairan pantai sangat penting sebagai habitat berbagai jenis organisme. Perairan Pantai merupakan daerah peralihan antara perairan tawar dan laut, terutama di daerah-daerah dekat muara sungai. Sebagai daerah peralihan, Perairan Pantai mempunyai kekayaan organisme yang relatif tinggi, sehingga sangat potensial untuk dijaga agar kondisinya tetap dalam keadaan baik. Kondisi perairan pantai yang baik, tidak hanya akan menguntungkan secara ekologis, tetapi juga merupakan sumber penghidupan bagi masyarakat baik secara langsung bagi masyarakat nelayan maupun secara tidak langsung bagi masyarakat lainnya (Tobing, 2009).

2.2Terumbu Karang

Suharsono (1992) dalam Candra (1998), menyatakan bahwa terumbu karang tersebar di seluruh dunia terutama di perairan tropis sampai dengan lintang 300 atau daerah sub tropis. Terumbu karang tumbuh dan berkembang dengan baik di tempat yang dangkal di daerah tropis. Pertumbuhan terumbu karang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan seperti cahaya matahari, gelombang, perubahan iklim dan faktor geologis. Adanya faktor-faktor lingkungan ini mempengaruhi bentuk terumbu karang.

Kussen (1992) dalam Candra (1998), menyatakan bahwa di dalam komunitas terumbu karang hubungan antara komponen abiotik dan biotik sangat erat. Fungsi hidup bersama dan simbiosis antara beberapa biota merupakan salah satu karakteristik komunitas terumbu karang, disamping adanya predasi dan kompetisi antara biota penghuni lainnya.

Ekosistem terumbu karang memberi manfaat langsung kepada manusia dengan menyediakan makanan, obat-obatan, bahan bangunan dan bahan lain. Terumbu ini dibangun seluruhnya oleh kegiatan biologik. Ia merupakan timbunan masif dari kapur CaCO3 yang terutama telah dihasilkan oleh hewan karangdengan


(17)

tambahan penting dari alga berkapur dan organisme-organisme lain penghasil kapur (Romimohtarto, 2009).

Komunitas makroalga sebagai salah satu komponen penting dari ekosistem terumbu karang, berpotensi menjadi pesaing utama dengan karang. Makroalga jarang dan baru mulai dikaji dalam ekologi terumbu karang pada beberapa tahun terakhir, meskipun peran alga sangat baik dalam membangun terumbu dan kehancuran terumbu. Bahkan sering alga disebut sebagai “biotic reefs” (Nessa, 2011).

2.3Morfologi Makroalga

Makroalga termasuk tumbuhan tingkat rendah (Thallophyta). Tumbuhan ini tidak memiliki akar, batang dan daun sejati. Makroalga dikenal dengan nama ganggang atau rumput laut (Handayani, 2009).

Makroalga umumnya disebut tallus. Tallus makroalga umumnya terdiri atas blade yang memiliki bentuk seperti daun, stipe (bagian yang menyerupai batang) dan holdfast yang merupakan bagian talus yang serupa dengan akar (Sumich, 1992).

Aslan (1998) dalam Oktaviani (2013), menyatakan bahwa bentuk talus makroalga bermacam-macam, antara lain bulat seperti tabung, pipih, gepeng, bulat seperti kantong dan rambut. Percabangan talus ada yang dichotomous (bercabang dua terus menerus), pectinate (berderet searah pada satu sisi talus utama), pinnate (bercabang dua-dua pada sepanjang talus utama secara berselang-seling), ferticillate (cabangnya berpusat melingkari aksis atau sumbu utama) dan ada pula yang sederhana dan tidak bercabang.

Sebagian besar alga laut berwarna indah dan ada pula yang bercahaya. Pigmen-pigmen dari kromatofor (chromatophore) menyadap sinar matahari untuk fotosintesis. Atas dasar warna yang dimiliki oleh alga laut yang berbeda antara satu kelompok dan kelompok yang lain, maka pembagian kelas dari divisi Thallophyta yang artinya tumbuh-tumbuhan bertalus ini mengikuti warna yang dimiliki (Romimohtarto, 2009).

Nontji (1993) dalam Oktaviani (2013), menyatakan bahwa secara sepintas banyak alga memperlihatkan bentuk luar seperti mempunyai akar, batang, daun,


(18)

6

dan bahkan buah. Alga pada hakikatnya tidak mempunyai akar, batang dan daun seperti terdapat pada tumbuhan yang lazim telah dikenal. Seluruh wujud alga itu terdiri dari seperti batang yang disebut “talus”, hanya bentuknya yang beraneka ragam.

2.4 Klasifikasi Makroalga

2.4.1 Chlorophyceae (Alga Hijau)

Dawes (1981) dalam Candra (1998), menyatakan bahwa Chlorophyceae bersifat bentik dan planktonik. Kebanyakan hidup di periran tawar, namun ada juga bentuk yang terdapat di teresterial dan lautan. Bereproduksi secara seksual dan aseksual. Mempunyai klorofil a dan b, λ, β, γ karoten dan xantofil dengan cadangan makanan berupa kanji dan lemak seperti yang ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi.

Menurut Romimohtarto (2009), di Indonesia tercatat sedikitnya 12 marga alga hijau, yang banyak diantaranya sering dijumpai di perairan indonesia. Berikut ini adalah marga-marga alga hijau tersebut:

a. Caulerpa yang dikenal beberapa penduduk pulau sebagai anggur laut.

b. Ulva mempunyai tallus berebentuk lembaran tipis seperti sla, oleh karena itu dinamakan sla laut. Alga ini biasanya melekat dengan menggunakan alat pelekat berebentuk cakram pada batu atau pada substrat.

c. Valonia mempunyai tallus yang membentuk gelembung berisi cairan berwarna ungu atau hijau mengkilat, menempel pada karang mati atau batu karang.

d. Dictyosphaera dan jenis-jenis dari marga ini di Nusa Tenggara Barat dinamakan bulung dan dimanfaatkan untuk sayuran.

e. Halimeda, alga ini berkapur dan menjadi salah satu penyumbang endapan kapur di laut.

f. Chaetomorpha mempunyai tallus atau daunnya berbentuk benang yang menggumpal.

g. Codium hidup menempel pada batu atau batu karang.

h. Udotea tercatat dua jenis dan banyak terdapat di perairan Sulawesi, dan alga ini tumbuh di dasar pasir dan terumbu karang.


(19)

i. Tydemania tumbuh di paparan terumbu karang yang dangkal dan di daerah tubir pada kejelukan 5-30 m di perairan jernih.

j. Bernetella menempel pada karang mati dan pecahan karang di paparan terumbu karang.

k. Burgesenia mempunyai tallus berbentuk kantung silendrik berisi cairan warna hijau tua atau hijau kekuning-kuningan, menempel di batu karang atau pada tumbuh-tumbuhan lain.

l. Neomeris, tumbuh menempel pada substrat dari karang mati di dasar laut. Contoh Makroalga dari filum Chlorophyta

Gambar 1 Klasifikasi

Filum : Plantae

Divisi : Chlorophyta

Kelas : Chlorophyceae

Ordo : Caulerpales

Famili : Caulerpaceae

Genus : Caulerpa

Spesies : Caulerpa sp.

2.4.2 Phaeophyceae (Alga Coklat)

Dawes (1981) dalam Candra (1998), menyatakan bahwa umumnya tumbuh sebagai alga bentik, termasuk tumbuhan eukaryotik, menghasilkan zoospora dan


(20)

8

gamet-gamet biflagellata. Bereproduksi secara seksual dan aseksual. Secara seksual dengan zoospora motil aplanospora immotil atau dengan fusi gamet yang tersusun dengan isogami dan oogami. Mempunyai pigmen klorofil a dan c, β karoten, violasantin dan fukoxantin dengan cadangan makanan berupa laminarin. Jenis Phaeophyceae hampir semua terdapat di perairan laut. Yang termasuk Phaeophyceae diantaranya adalah Sargassum, Turbinaria, Hormophysa.

Menurut Romimohtarto (2009), di Indonesia terdapat delapan marga alga coklat yang sering ditemukan yakni:

a. Cystoseira sp. yang hidup menempel pada batu di daerah rataan terumbu karang dengan alat pelekatnya yang berbentuk cakram kecil. Alga ini mengelompok bersama sama dengan komunitas Sargassum dan Turbinaria. b. Dictyopteris, hidup melekat pada batu di pinggiran luar rataan terumbu

karang dan jarang dijumpai.

c. Dictyota, alga ini tumbuh menempel pada batu karang mati di daerah rataan terumbu karang.

d. Hormophysa, hidup menempel pada batu dengan alat pelekatnya berbentuk cakram kecil. Hidup bercampur dengan Sargassum dan Turbinaria dan hidup di rataan terumbu karang.

e. Hydroclatrhus, tumbuh melekat pada batu atau pasir di daerah rataan terumbu karang dan penyebarannya luas di Indonesia.

f. Padin, tumbuh menempel di batu pada daerah rataan terumbu karang, baik di tempat terbuka di laut maupun di tempat terlindung.

g. Sargassum, terdapat sangat melimpah mulai dari air surut pada pasut bulan-setengah ke bawah. Alga ini hidup melekat pada batu atau bongkahan karang dan dapat terbedol dari substratnya selama ombak besar dan menghanyut ke permukaan laut atau terdampat di bagian atas pantai.

h. Turbinaria, mempunyai cabang-cabang silendrik dengan diameter 2-3 mm dan mempunyai cabang lateral pendek dari 1-1,5 cm panjangnya.


(21)

Gambar 2 Klasifikasi

Filum : Plantae

Divisi : Phaeophyta

Kelas : Phaeophyceae

Ordo : Dictyotales

Famili : Dictyotaceae

Genus : Padina

Spesies : Padina sp.

2.4.3. Rhodophyceae (Alga merah)

Rhodophyceae merupakan tumbuhan eukariotik yang tidak menghasilkan sel-sel yang berflagel, bereproduksi secara seksual dengan karpogonia dan spermatia, memiliki klorofil a, b dan mempunyai pigmen fikobilin yang terdiri dari pigmen fikoeritrin dengan cadangan makanan berupa pati fluoridean (Candra, 1998).

Menurut Romimohtarto (2009), di Indonesia tercatat 17 marga terdiri dari 34 jenis. Berikut catatn singkat dari marga-marga alga merah tersebut:

a. Achanthophora, hidup menempel pada batu atau benda keras lainnya.

b. Actinotrichia, terdapat di bawah pasut dan menempel pada karang mati. Sebarannya luas, terdapat pula di padang lamun.

c. Amansia, tumbuh melekat pada batu di daerah terumbu karang dan dapat hidup melimpah di padang lamun.


(22)

10

d. Amphiroa, tumbuh menempel pada dasar pasir di rataan pasir atau mempel pada substrat dasar lainnya di padang lamun.

e. Chondrococcus, tumbuh melekat pada substrat batu di ujung luar rataan terumbu yang senantiasa terendam air

f. Corallina, alga ini tumbuh di bagian luar terumbu karang yang biasa terkena ombak langsung.

g. Eucheuma adalah alga merah yang biasa ditemukan di bawah air surut rata-rata pada pasut bulan-setengah.

h. Galaxaura, tumbuh melekat pada substrat batu di rataan terumbu.

i. Gelidiella, tumbuh menempel pada batu di mintakat pasut atau di bawah pasut.

j. Gigartina, tumbuh menempel pada batu di rataan terumbu, terutama di tempat-tempat yang masih tergenang air pada air surut terendah.

k. Gracilaria, terdiri dari tujuh jenis

l. Halymenia, hidup melekat pada batu karang di luar rataan terumbu karang yang selalu tergenang air.

m. Hypnea, hidup di habitat berpasir atau berbatu, ada pula yang bersifat epifit. n. Laurencia, hidup melekat pada batu di daerah terumbu karang.

o. Rhodymenia, hidup melekat pada substrat batu di rataan terumbu. p. Titanophora, jarang dijumpai. Jenis ini terdapat di perairan Sulawesi.

q. Porphyra adalah alga kosmopolitan, alga ini terdapat mulai dari perairan subtropik sampai daerah tropik, tetapi sebaran menegaknya sangat terbatas.


(23)

Gambar 3 Klasifikasi

Filum : Plantae

Divisi : Rhodophyta

Kelas : Rhodophyceae

Ordo : Hypnales

Famili : Hypneaceae

Genus : Hypnea

Spesies : Hypnea sp.

2.5Habitat Makroalga

Arthur (1972) dalam Kadi (2009), menyatakan bahwa kompleksitas habitat berpengaruh terhadap kelimpahan dan keragaman jenis. Substrat dasar makroalga yang utama yakni pasir, pecahan karang, karang mati, dan batu karang.

Sebagian besar alga hidup pada ekosistem terumbu karang baik pada daerah rataan terumbu (reef flat) atau lereng terumbu (reef slope) bahkan ada pula yang dapat hidup pada lautan dalam yang sangat sedikit terjangkau oleh sinar matahari. Daerah rataan terumbu karang yang tidak begitu dalam, lebih banyak menerima cahaya matahari dan terjangkau oleh cahaya matahari, sehingga suhu air laut pada daerah tersebut juga lebih tinggi dan arusnya tidak sekuat pada daerah lereng terumbu yang lebih dalam (Candra, 1998).


(24)

12

Sebagai salah satu organisme yang banyak dijumpai hampir di seluruh pesisir Indonesia, terutama di pesisir yang mempunyai rataan terumbu karang, makroalga menempati posisi sebagai produsen primer yang menyokong kehidupan organisme lain pada tropik level yang lebih tinggi di dalam perairan. Selain itu, makroalga juga mempunyai fungsi yang tidak kalah pentingnya, yaitu sebagai tempat ikan berlindung, biofilter bagi laut, serta dimanfaatkan oleh manusia sebagai makanan. Makroalga umumnya hidup di dasar laut dan substratnya berupa pasir, pecahan karang (rubble), karang mati, serta benda-benda keras yang terendam di dasar laut (Yudasmara, 2011).

2.6 Manfaat Makroalga

Salah satu manfaat alga yang sangat penting adalah sebagai penghasil utama bahan organik di dalam ekosistem perairan. Dalam ekosistem perairan, keberadaan alga merupakan bagian utama dari rantai makanan. Hal ini berkaitan dengan aktivitas fotosintesis yang terjadi pada alga. Sebab aktivitas fotosintesis merupakan sumber oksigen terhadap lingkungan perairan di sekitarnya, dimana akan memberikan keuntungan secara langsung terhadap organisme lainnya yang hidup dalam air (Rasyid, 2004).

Disamping itu alga juga dimanfaatkan sebagai bahan baku pada industri makanan karena alga juga mengandung komposisi zat gizi yang lengkap, seperti protein, lemak, mineral, dan vitamin yang diperlukan oleh manusia. Selain mengandung karbohidrat, protein (7-30%) dan sedikit lemak, rumput laut juga mengandung polisakarida (40-50%). Karbohidrat yang terkandung dalam rumput laut tidak dapat diasimilasi untuk menghasilkan energi, sehingga rumput laut sangat baik digunakan sebagai makanan diet (Kordi, 2010).

Keberadaan makroalga sebagai organisme produser memberikan sumbangan yang berarti bagi kehidupan binatang akuatik terutama organisme-organisme herbivora di perairan laut. Dari segi ekologi makroalga juga berfungsi sebagai penyedia karbonat dan pengokoh substrat dasar yang bermanfaat bagi stabilitas dan kelanjutan keberadaan terumbu karang. Selain itu juga dapat menunjang kebutuhan hidup manusia (Oktaviani, 2013).


(25)

Keberadaan makroalga di rataan terumbu merupakan sediaan bahan makanan, obat-obatan bagi manusia juga sebagai ladang pakan bagi biota herbivor. Makroalga yang dapat dikonsumsi banyak diperoleh dari marga Caulerpa, Gracilaria, Gelidiella, Eucheuma, dan Gelidium.Kehadiran, pertumbu han sampai perkembangbiakan makroalga lebih banyak dijumpai pada substrat yang stabil dan keras, sehingga tidak mudah terkikis oleh arus dan ombak (Kadi, 2006).

Alga coklat yang banyak digunakan sebagai bahan makanan adalah Alaria, Lami-naria, Sargassum, dan Durvillea. Algae merah yang banyak digunakan sebagai bahan makanan adalah Porphyra, Palmaria, Chondrus, Gigartina dan Rhodymenia. Alga hijau terpenting yang banyak digunakan untuk bahan makanan seperti Monostroma, Ulva, Codium dan Chlorella. Algae hijau-biru yang banyak digunakan untuk bahan makanan adalah Nostoccommune yang di China dikenal dengan nama "yuyucho" (Rasyid, 2004).

2.7Prospek Ekonomi Makroalga

Jenis-jenis alga menjadi penting secara ekonomi disebabkan oleh senyawa polisakarida yang dikandungnya. Jenis-jenis yang mudah diperoleh di perairan Indonesia adalah marga Eucheuma dan Hypnea (penghasil karaginan), Grasilaria dan Gelidium (penghasil agar), serta Sargassum dan Turbinaria (penghasil alginat). Rumput laut penghasil karaginan (karaginofit) atau penghasil agar (agarofit) masuk ke dalam kelas Rhodophyceae atau alga merah, sedangkan penghasil alginat (alginofit) berasal dari kelas Phaephyceae (Kordi, 2010).

Alga merupakan salah satu sumberdaya alam hayati laut yang bernilai ekonomis dan memiliki peranan ekologis sebagai produsen yang tinggi dalam rantai makanan dan tempat pemijahan biota-biota laut (Langoy, 2011).

2.8Faktor-faktor Lingkungan yang Berpengaruh terhadap Komunitas Makroalga

2.8.1 Suhu

Luning (1990) dalam Palallo (2013), menyatakan bahwa temperatur optimal untuk tumbuhan alga dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu : berkisar 0–10 °C untuk alga di daerah beriklim hangat dan 15°C–30°C untuk alga hidup di daerah


(26)

14

tropis. Sulistiyo (1976), menyatakan pertumbuhan yang baik untuk alga di daerah tropis adalah 20°C–30°C.

Chapman (1997) dalam Palallo (2013), menyatakan bahwa makroalga hidup pada perairan iklim tropis dan iklim dingin.Perubahan suhu yang ekstrim akan mengakibatkan kematian bagi makroalga, terganggunya tahap-tahap reproduksi dan terhambatnya pertumbuhan. Dan secara fisiologis suhu rendah mengakibatkan aktivitas biokimia dalam tallus berhenti, sedangkan suhu yang terlalu tinggi akan mengakibatkan rusaknya enzim dan hancurnya mekanisme biokimia dalam tallus makroalga.

2.8.2 Salinitas

Sebagai adaptasi terhadap fruktuasi salinitas di habitatnya, makroalga dapat mengatur konsentrasi ion di dalam tubuhnya seperti K, Na, Cl dan konsentrasi bahan organik seperti Manitol (alga coklat), Floridoside (alga merah), dan Sukrosa (alga hijau). Hal ini dilakukan untuk menjaga agar konsentrasi cairan di luar sel dan di dalam sel seimbang (Palallo, 2013).

Luning (1990) dalam Palallo (2013), menyatakan bahwa makroalga umumnya hidup di laut dengan salinitas antara 30-32 ‰, namun banyak jenis makro alga hidup pada kisaran salinitas yang lebih besar. Salinitas berperan penting dalam kehidupan makroalga. Salinitas yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan menyebabkan gangguan pada proses fisiologis.

2.8.3 Kedalaman

Luning (1990) dalam Palallo (2013), menyatakan bahwa makroalga hidup di daerah litoral dan sublitoral dengan penetrasi cahaya matahari dapat mencapai kedalaman hingga 200m, namun sebagian besar makroalga dijumpai di berbagai paparan terumbu karang seperti pulau-pulau perairan Sulawesi Selatan.

Nybaken (1992) dalam Palallo (2013), menyatakan bahwa organisme menyenangi lingkungan yang tenang dimana gerakan air yang disebabkan oleh gelombang dan arus relatif kecil. Untuk kedalaman, stasiun ini memiliki kedalaman yang lebih dangkal sehingga memungkinkan intensitas cahaya


(27)

matahari yang masuk ke perairan lebih tinggi sehingga mempengaruhi produktivitas makroalga.

2.8.4 Nitrat

Aslan (1998) dan Effendi (2003) dalam Palallo (2013), menyatakan bahwa Nitrat (NO3) adalah bentuk senyawa nitrogen yang merupakan sebuah senyawa yang stabil. Kadar nitrat dan fosfat mempengaruhi stadia reproduksi alga bila zat hara tersebut melimpah di perairan. Kadar nitrat dan fosfat di perairan akan mempengaruhi kesuburan gametofit algae coklat (Laminaria nigrescence) juga mengatakan kandungan nitrat rata-rata di perairan laut sebesar 0,5 ppm dan kandungan fosfat lebih rendah dari itu, kedua senyawa tersebut bisa melebihi batas pada wilayah permukaan air.

2.8.5 Fosfat

Belliveau dan Paul (2002) dalam Palallo (2013), menyatakan bahwa sumber alami fosfor di perairan adalah pelapukan batuan mineral. Selain itu, fosfor juga berasal dari dekomposisi bahan organik. Sumber antropogenik fosfor adalah limbah industri dan domestik, yakni fosfor yang berasal dari detergen. Keberadaan fosfor secara berlebihan yang disertai dengan Keberadaan nitrogen dapat menstimulir pertumbuhan alga di perairan.


(28)

BAB 3

METODA PENELITIAN

3.1Waktu dan Tempat

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Februari 2015 di Perairan Pulau Ungge, Desa Sitardas, Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara.

3.2Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat selam, keping sechii, perahu motor, kamera digital, kamera bawah air, pensil, pipa paralon, GPS refraktometer, termometer, erlenmeyer, spit, pipet tetes, pH meter, botol alkohol, botol winkler, lakban dan buku identifikasi sedangkan bahan yang digunakan adalah tissue, lugol, alkohol 10%, KOHKI, MnSO4, H2SO4, amilum, Na2S2O3 0,0025 M.

3.3Penentuan Stasiun Pengamatan

Metode yang digunakan dalam menentukan stasiun pengamatan yaitu Purposive Sampling, yaitu stasiun pengamatan disesuaikan dengan aktivitas yaitu pada stasiun 1 merupakan daerah yang jauh dari aktivitas masyarakat, stasiun 2 merupakan daerah dermaga dan stasiun 3 merupakan daerah yang jauh dari aktivitas masyarakat. Jumlah stasiun pengamatan untuk mewakili kondisi makroalga di perairan Pulau Ungge Kabupaten Tapanuli Tengah.

3.4Deskripsi Stasiun

Dalam penelitian ini ditentukan tiga stasiun pengamatan yang memiliki deskripsi sebagai berikut:

3.4.1 Stasiun 1

Daerah ini terletak di sebelah Timur Laut pulau Ungge, dimana daerah ini merupakan daerah alami yang secara geografis terletak pada 01º34’37,07” LUdan


(29)

098º45’29,17” BT. Daerah ini jauh dari aktivitas masyarakat dan berhadapan langsung dengan Samudra Hindia.

Gambar 3 (Stasiun 1)

3.4.2 Stasiun 2

Daerah ini terletak di sebelah Timur pulau Ungge yang secara geografis terletak pada 01º34’29,22’’ LU dan 098º45’38,98” BT. Daerah ini terdapat dermaga yang merupakan tempat berlabuhnya perahu atau kapal yang ingin masuk ke pulau Unggaeh dan sebagai tempat peristirahatan nelayan. Daerah ini berhadapan langsung dengan Samudra Hindia.


(30)

18

3.4.3 Stasiun 3

Daerah ini terletak di sebelah barat pulau Ungge, dimana daerah ini merupakan daerah alami yang secara geografis terletak pada 01º34’28,22” LU dan 098º45’30,50” BT. Daerah ini tidak ada aktivitas masyarakat dan berhadapan langsung dengan daratan Sumatera.

Gambar 3 (Stasiun 3) 3.5Pengambilan Sampel Makroalga

Metode yang digunakan dalam mengamati makroalga adalah transek kuadrat. Pada titik stasiun di pasang transek pada kedalaman 2-3 m. Panjang garis transek pengamatan adalah 25 m dibagi dalam 5 kali ulangan, dimana jarak antar ulangan adalah 5 m dengan ukuran transek kuadrat 1m × 1m dengan menggunakan pipa paralon. Semua makroalga yang berada di dalam garis transek diambil dan dicatat. Untuk makroalga yang belum diketahui jenisnya diambil sampel dan ditambah alkohol 70% dan disimpan dalam plastik sampel untuk diidentifikasi dengan menggunakan buku acuan menurut Sterrer (1986) dan Direktorat Jendral Perikanan Budidaya (2009) di Laboratorium Ilmu Dasar, Fakultas MIPA, Universitas Sumatera Utara.

3.6Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan 3.6.1 Suhu

Pengukuran suhu air dilakukan dengan menggunakan termometer air raksa yang berskala 0-100º. Termometer dimasukkan ke dalam air dan dibiarkan selama


(31)

beberapa menit sampai menunjukkan skala yang konstan lalu dibaca skala yang tertera pada termometer tersebut

3.6.2 pH (Derajat Keasaman)

Pengukuran pH (derajat keasaman) dilakukan dengan menggunakan pH meter. pH meter dimasukkan ke dalam air yang sebelumnya telah dikalibrasi pada pH netral (pH = 7) selama beberapa menit kemudian dibaca angka yang tertera pada pH meter tersebut.

3.6.3 Penetasi Cahaya

Pengukuran intensitas cahaya dilakukan dengan menggunakan keping sechii. Keping sechii dimasukkan ke dalam air hingga tembus cahaya matahari dan kemudian dicatat.

3.6.4 Salinitas

Pengukuran salinitas dilakukan dengan menggunakan refraktometer. Diteteskan sampel air pada kaca refraktometer dengan menggunakan pipet tetes, kemudian ditutup dan dibaca skala yang tertera pada alat tersebut.

3.6.5 Oksigen Terlarut (DO)

Pengukuran oksigen terlarut (DO) diukur dengan menggunakan metode Winkler. Sampel air diambil dan dimasukkan ke dalam botol Winkler, kemudian ditetesi dengam MnSO4 dan KOHKI masing-masing sebanyak 1 ml, dihomogenkan dan didiamkan selama beberap saat sampai terbentuk endapan berwarna putih atau kecoklatan. Selanjutnya ditambahkan dengan 1 ml H2SO4 lalu dihomogenkan sampai terbentuk endapan cokelat. Diambil sebanyak 100 ml sampel tersebut dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer lalu dititrasi dengan menggunakan Na2S2O3 0,0125 N hingga berwarna kuning pucat. Selanjutnya ditetesi dengan 5 tetes amilum dihomogenkan hingga berwarna biru. Lalu dititrasi lagi dengan Na2S2O3 0,125 N sampai air berwana bening. Jumlah Na2S2O3 0,125 N yang terpakai menunjukkan kadar oksigen terlarut pada perairan tersebut (Lampiran A).


(32)

20

Respirasi (R) = DO awal - DO akhir botol gelap

Produktivitas kotor (PG) = DO akhir botol terang – DO akhir botol gelap Produktivitas bersih (PN) = Produktivitas kotor (PG) – Respirasi (R)

Konversi = PN×375,36 × (12/lama fotosintesis) mg C/m3/hari

3.6.6 Kandungan Nitrat dan Fosfat

Pengukuran kandungan nitrat dan fosfat dilakukan dengan menggunakan metode spektrofotometer di Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Sumatera Utara (BTKL).

Tabel 3.1 Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan Beserta Satuan dan Alat/Metode yang digunakan

No Parameter Satuan Alat/Metode Tempat

Pengukuran

1 Suhu ºC Termometer In-situ

2 Ph air - pHmeter In-situ

3 Penetrasi Cahaya Meter Keping seechi In-situ

4 Salinitas ‰ Refraktometer In-situ

5 DO mg/L Winkler In-situ

6 Nitrat air mg/L Spektrofotometer Laboratorium

7 Posfat air mg/L Spektrofotometer Laboratorium

3.7Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menghitung menghitung kepadatan (K), kepadatan relatif (KR), frekuensi kehadiran (FK), indeks diversitas Shannon Wiener (H’), indeks keseragaman (E), indeks similaritas dan korelasi antara faktor fisik kimia perairan dengan keragaman dan distribusi makroalga.

a. Kerapatan (K)

Data kerapatan makroalga diperoleh dengan menggunakan rumus Brower dkk (1998), yaitu:

Dimana : K : Kerapatan jenis makroalga (koloni/m2)

n : Jumlah koloni setiap species Makroalga (koloni) A : Luas transek (m2)


(33)

b. Kerapatan Relatif

KR (%) =

× 100%

Apabila KR > 10% maka suatu habitat dikatakan cocok dan sesuai bagi perkembangan suatu organisme (Barus, 2004).

c. Frekuensi Kehadiran

FK =

× 100%

Apabila nilai FK : 0 - 25 % = kehadiran sangat jarang 25 - 50 % = kehadiran jarang 50 - 75 % = kehadiran sering

75 - 100 % = kehadiran absolut (sangat sering) (Michael, 1994)

d. Indeks Diversitas Shannon – Wiener

Indeks keanekaragaman dihitung dengan menggunakan rumus Shannon-Wiener (Krebs, 1985).

H’ = -∑(ni/N)ln(ni/N) Dimana : H′ : Indeks keanekaragaman

ni : Jumlah koloni setiap spesies N : Jumlah koloni seluruh spesies

0 < H’ < 2,302 = keanekaragaman tinggi 2,302 < H’ < 6,907 = keanekaragaman sedang

H’ > 6,907 = keanekaragaman rendah

e. Indeks Keseragaman


(34)

22

H’ : indeks keseragaman

S : jumlah semua jenis (Odum, 1994)

f. Indeks Similaritas

IS =

× 100%

Dimana : IS : indeks similaritas

a : jumlah spesies pada lokasi a b : jumlah spesies pada lokasi b

c : jumlah spesies yang sama pada lokasi a dan b

(Michael, 1995)

g. Analisis Korelasi

Untuk mengetahui hubungan antara faktor-fisik kimia perairan dengan persen tutupan terumbu karang dilakukan uji korelasi dengan metode komputerisasi SPSS ver. 17.


(35)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Klasifikasi Makroalga

Hasil penelitian yang telah dilakukan pada 3 stasiun di Perairan Pulau Ungge, Kabupaten Tapanuli Tengah didapat 7 spesies makroalga yang tergolong ke dalam 3 kelas, 4 ordo, dan 5 famili, seperti terlihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Klasifikasi Makroalga yang Didapatkan pada Setiap Stasiun Penelitian

Kelas Ordo Famili Spesies

I. Chlorophyceae Caulerpales Caulerpaceae 1. Caulerpa racemosa

Udoteaceae 2. Halimeda opuntia 3. Tydemania expeditionis

II. Phaeophyceae Fucales Sargassaceae 4. Sargassum crassifolium

Dictyotales Dictyotaceae 5. Padina minor 6. Turbinaria ornata

III. Rhodophyceae Hypnales Hypneaceae 7. Hypnea choroides

Kelas Chlorophyceae dan Phaeophyceae merupakan makroalga yang paling banyak ditemukan, yaitu masing-masing 3 spesies. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, faktor fisik kimia perarairan dari ketiga stasiun tersebut sangat mendukung untuk kehidupan makroalga kelas Chlorophyceae dan Phaeophyceae. Hal ini dapat dilihat dari kondisi lingkungan seperti kedalaman yaitu 1-3 m sehingga cahaya matahari masih dapat menembus ke dasar perairan, kondisi perairan yang masih jernih karena tidak ada aktivitas masyarakat, dan juga kondisi terumbu karang yang masih tergolong baik sehingga memungkinkan makroalga tersebut dapat hidup dan bersimbiosis dengan terumbu karang tersebut.

Menurut Ratri (2013) Kelas Chlorophyceae dan Phaeophyceae mudah dijumpai karena jenis makroalga dari kedua kelas ini umumnya tumbuh di area yang lebih dekat dengan daratan dengan kedalaman 1-3 m sehingga mudah untuk berfotosintesis. Akan tetapi ada juga makroalga jenis Phaeophyceae yang hidup sampai di kedalaman 50 m.

Kelas yang paling sedikit didapat adalah kelas Rhodophyceae yaitu 1 genus. Rhodophyceae umumnya ditemukan di daerah yang memiliki cahaya yang


(36)

24

sedikit dan hidup menempel dan bersembunyi diantara karang yang satu dengan yang lainnya sehingga sulit dijumpai.

4.2 Nilai Kerapatan, Kerapatan Relatif, dan Frekuensi Kehadiran Makroalga

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada masing-masing stasiun penelitian nilai kerapatan (ind./m2), kerapatan relatif (%) dan fekuensi kehadiran (%) pada setiap stasiun penelitian pada Tabel 4.2 berikut ini :

Tabel 4.2 Nilai Kepadatan (ind/m2), Kerapatan Relatif (%), dan Frekuensi Relatif (%) Makroalga pada 3 Stasiun Penelitian

No Genus Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

K KR FK K KR FK K KR FK

1. Caulerpa 6,6 37,08 60 3,4 20,99 60 - - -

2. Halimeda 3,4 19,10 40 3 18,52 60 2,2 35,48 40

3. Hypnea 1 5,62 20 - - - -

4. Padina 2,2 12,36 40 1,6 9,88 40 1,4 22,58 40

5. Sargassum - - - 6,8 41,98 60 - - -

6. Turbinaria 3,4 19,10 40 1,4 8,69 40 2,6 41,94 40

7. Tydemania 1,2 6,74 20 - - - -

Jumlah 17,8 100 16,2 100 9,6 100

Dari Tabel 4.2 terlihat bahwa genus yang memiliki nilai K, KR dan FK tertinggi diantara seluruh genus adalah genus Sargassum, dimana genus ini hanya ditemukan pada stasiun 2 yang keberadaannya sebanyak 6,8 ind/m2 (K), 41,98% (KR) dan 60% (FK). Sargassum hanya ditemukan pada stasiun 2 karena kondisi fisik dan kimia perairan di stasiun ini sangat cocok untuk pertumbuhan jenis makroalga tersebut dan genus Sargassum ini biasanya ditemukan pada kedalaman 1 - 3m dan hidup pada substrat karang dan batuan.

Menurut Syafei (1990), adanya jenis makroalga yang mendominan dapat dipengaruhi oleh persaingan antara tumbuhan yang ada. Persaingan antara tumbuhan maksudnya berkaitan dengan mineral yang diperlukan, jika mineral yang dibutuhkan mendukung maka jenis tersebut akan lebih unggul dan lebih banyak ditemukan.

Kerapatan, kerapatan relatif, dan frekuensi relatif terendah diantara seluruh genus adalah genus Hypnea yang hanya ditemukan pada stasiun 1 yang keberadaan sebanyak 1 ind/m2 (K), 5,62% (KR), dan 20% (KR). Genus Hypnea


(37)

hanya ditemukan di stasiun 1 dan dengan jumlah yang sangat sedikit hal tersebut dikarenakan kondisi perairan di seluruh stasiun tidak mendukung pertumbuhan jenis makroalga tersebut. Rendahnya beberapa jenis makroalga disebabkan oleh kompleksitas habitat akibat kerusakan substrat yang disebabkan oleh proses sedimentasi di rataan terumbu karang yang berasal dari abrasi daratan/hutan pada waktu hujan atau gelombang tinggi dan juga karena pemboman ekosistem laut yang dilakukan oleh manusia.

Pada stasiun 1, ditemukan genus yang tidak ditemukan pada stasiun lain yaitu Hypnea, dan Tydemania. Stasiun ini memiliki ekosistem terumbu karang yang paling baik dibandingkan dengan stasiun lainnya. Adanya substrat batuan karang, karang hidup, karang mati dan pasir yang sesuai dengan keberadaan kedua genus makroalga tersebut.

Pada stasiun 2, genus yang tidak terdapat pada stasiun yang lain yaitu Sargassum. Menurut Romimohtarto (2009), Sargassum terdapat melimpah mulai dari air surut pada pasut. Alga ini hidup melekat pada batu atau bongkahan karang dan dapat terlepas dari substratnya apabila terjadi ombak besar dan hanyut ke permukaan laut atau terdampar di bagian atas pantai.

4.3 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Keseragaman Makroalga pada Setiap Stasiun Penelitian

Dari penelitian yang telah dilakukan pada setiap stasiun penelitian didapatkan indeks keanekaragaman (H’) dan indeks keseragaman (E), seperti terlihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) Makroalga pada setiap stasiun Penelitian

Stasiun

1 2 3

Keanekaragaman (H’) Keseragaman (E) 1,57 0,87 1,42 0,88 1,05 0,98

Dari Tabel 4.3 dapat dilihat bahwa nilai indeks keanekaragaman tertinggi pada stasiun 1 dengan nilai 1,57 dan nilai indeks keanekaragaman terendah terdapat pada stasiun 3 dengan nilai 1,05. Indeks keanekaragaman pada stasiun penelitian sebesar 1,05-1,57 tergolong keanekaragaman tinggi.


(38)

26

Menurut Odum (1994), menyatakan bahwa keanekaragaman jenis dipengaruhi oleh pembagian atau penyebaran individu dalam tiap jenisnya, karena suatu komunitas walaupun banyak jenisnya tetapi bila penyebaran individunya tidak merata maka keanekaragaman jenis dinilai rendah. Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) adalah suatu indeks keanekaragaman biota pada suatu daerah, bila nilainya semakin tinggi, maka semakin tinggi tingkat keanekaragamannya dan begitu juga sebaliknya.

Indeks keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun 3 dengan nilai 0,96 dan nilai indeks keseragaman terendah terdapat pada stasiun 1 dengan nilai 0,87. Indeks keseragaman pada stasiun penelitian sebesar 0,87-0,96 tergolong keseragaman sangat merata. Hal ini menunjukkan bahwa pada semua stasiun merupakan daerah yang sesuai dengan keberadaan makroalga, dilihat dari kondisi perairannya yang bersih, ekosistem terumbu karang yang baik dan faktor fisik kimia perairannya yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan makroalga.

Menurut Krebs (1985), apabila indeks keseragaman mendekati 0 maka semakin kecil keseragaman suatu populasi dan penyebaran individu setiap genus tidak sama, serta ada kecenderungan suatu genus mendominasi pada populasi tersebut. Sebaliknya semakin mendekati nilai 1 maka populasi menunjukkan keseragaman jumlah individunya merata. Menurut Suin (2002), menyatakan bahwa penyebaran organisme yang tidak merata pada suatu perairan dapat disebabkan adanya perbedaan suhu, kadar oksigen, intensitas cahaya dan faktor abiotik lainnya.

4.4 Indeks Similaritas (IS) Makroalga pada Setiap Stasiun Penelitian

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada masing-masing stasiun penelitian diperoleh nilai indeks similaritas (IS) seperti pada Tabel 4.4 berikut ini:

Tabel 4.4 Nilai Indeks Similaritas (IS) pada Setiap Stasiun Penelitian

1 2 3

Stasiun 1 - 72,72% 66,66%

Stasiun 2 - - 75%


(39)

Dari Tabel 4.4 di atas dapat dilihat bahwa indeks similaritas (IS) yang diperoleh pada stasiun penelitian tergolong mirip berkisar 72,72% - 75%. Nilai indeks similaritas tertinggi yaitu antara stasiun 2 dan 3 dengan nilai 75%, sedangkan nilai indeks similaritas terendah yaitu antara stasiun 1 dan 3. Hal ini menunjukan bahwa pada genus yang ditemukan stasiun 2 dan 3 tergolong mirip jika dibandingkan dengan genus makroalga yang ditemukan pada stasiun 1 dan 3. Tingkat kemiripan antar stasiun ini dapat dipengaruhi oleh faktor fisik kimia dari ketiga stasiun.

Menurut Krebs (1985) indeks similaritas digunakan untuk mengetahui seberapa besar kesamaan makroalga yang hidup di luar tempat yang berbeda. Apabila semakin besar indeks similaritasnya, maka jenis makroalga yang sama pada stasiun yang berbeda semakin banyak. Selanjutnya dijelaskan bahwa kesamaan makroalga antara dua lokasi yang dibandingkan sangat dipengaruhi oleh kondisi faktor lingkungan yang terdapat pada daerah tersebut.

4.5 Faktor Fisik-Kimia Perairan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh rata-rata nilai faktor fisik-kimia pada setiap stasiun penelitian seperti pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5 Nilai Faktor Fisik-Kimia pada Setiap Stasiun Penelitian

No. Parameter

Fisik-Kimia Satuan

Stasiun

1 2 3

1 Temperatur Air oC 28,5 29 28

2 Penetrasi Cahaya M 3 3 2,9

3 Ph - 7,9 7,8 7,6

4 DO mg/L 6 6,1 5,5

5 Salinitas ‰. 31 31 30

6 Nitrat mg/L 5,20 5,40 5,50

7 Posfat mg/L 0,028 0,026 0,029

Keterangan:

Stasiun 1: Daerah yang berhadapan langsung dengan samudra Hindia Stasiun 2: Daerah Dermaga

Stasiun 3: Daerah yang berhadapan langsung dengan daratan Sumatera

4.5.1 Temperatur Air

Berdasarkan Tabel 4.5 dapat dilihat bahwa temperatur air pada semua stasiun penelitian berkisar antara 28ºC – 29ºC. Temperatur tertinggi terdapat pada stasiun 2 sebesar 29ºC dan temperatur terendah terdapat pada stasiun 3. Menurut


(40)

28

Nontji (2002) dalam Alam (2011) perbedaan suhu terjadi karena adanya perbedaan energi matahari yang diterima oleh perairan. Suhu akan naik dengan meningkatkan kecepatan fotosintesis sampai pada radiasi tertentu. Kecepatan fotosintesis akan konstan pada produksi maksimal, tidak tergantung pada energi matahari lagi sampai pada reaksi mengenzim. Suhu perairan di setiap stasiun masih mendukung keberadaan makroalga. Menurut (Direktorat Jenderal Perikanan, 1990), makroalga hidup dan tumbuh pada perairan dengan kisaran suhu air antara 20ºC - 28ºC, namun masih ditemukan tumbuh pada suhu 31ºC.

4.5.2 Penetrasi Cahaya

Berdasarkan Tabel 4.5 dapat dilihat bahwa penetrasi cahaya pada semua stasiun penelitian berkisar antara 2,9 m - 3 m. Hal ini disebabkan karena kondisi perairan masih jernih dan penetrasi cahaya sampai ke dasar perairan. Cahaya yang masuk dipengaruhi oleh kondisi kejernihan perairan. Semakin jernih suatu perairan maka semakin tinggi tingkat penetrasi cahaya pada perairan tersebut. Menurut Boyd (1988) dalam Apriyana (2006) kecerahan perairan menentukan jumlah intensitas sinar matahari atau cahaya yang masuk ke dalam perairan dan sangat ditentukan oleh warna perairan, kandungan bahan - bahan organik maupun anorganik tersuspensi di perairan, kepadatan plankton, jasad renik dan detritus.

4.5.3 pH (potential of Hydrogen)

Berdasarkan Tabel 4.5 dapat dilihat bahwa derajat keasamaan atau kebasaan (pH) pada semua stasiun penelitian berkisar antara 7,6 – 7,9, pH tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebesar 7,9, sedangkan pH yang terendah terdapat pada stasiun 3 sebesar 7,6. Namun demikian secara keseluruhan nilai pH pada lokasi penelitian masih dapat mendukung kehidupan makroalga, pH sangat berperan penting di dalam metabolisme makroalga. Menurut US - EPA (1973) dalam Iksan (2005) kisaran pH maksimum untuk kehidupan organisme laut adalah 6,5 - 8,5. Chapman (1962) dalam Supit (1989) menyatakan bahwa hampir seluruh alga menyukai kisaran pH 6,8 - 9,6 sehingga pH bukanlah masalah bagi pertumbuhannya.


(41)

4.5.4 DO (Disolved Oxygen)

Berdasarkan Tabel 4.5 dapat dilihat bahwa nilai kandungan oksigen terlarut pada semua stasiun penelitian berkisar antara 5,5 – 6,1 mg/L. Nilai tertinggi terdapat pada stasiun 2 sebesar 6,1 mg/L dan terendah terdapat pada stasiun 3 sebesar 5,5 mg/L. Secara keseluruhan nilai kandungan oksigen terlarut masih dapat ditoleransi makroalga. Sumber utama oksigen terlarut dalam air berasal dari adanya kontak antara permukaan air dengan udara dan juga dari proses fotosintesis. Menurut Sulistijo dan Atmadja (1996) Baku mutu DO untuk makroalga adalah lebih dari 5 mg/L, hal ini berarti jika oksigen terlarut dalam perairan mencapai 5 mg/L. Pada nilai DO tersebut metabolisme makroalga dapat berjalan dengan optimal.

4.5.5 Salinitas

Berdasarkan Tabel 4.5 dapat dilihat bahwa nilai salinitas berkisar antara 30 – 31‰. Nilai tertinggi pada stasiun 1 dan 2 sebesar 31‰ dan terendah terdapat pada stasiun 3 sebesar 30‰. Namun demikian secara keseluruhan nilai salinitas pada lokasi penelitian masih dapat mendukung kehidupan makroalga. Menurut Luning (1990) makroalga umumnya hidup di laut dengan salinitas antara 30‰– 32‰. Salinitas berperan penting dalam kehidupan makroalga. Salinitas yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan menyebabkan gangguan pada proses fisiologis.

4.5.6 Nitrat

Berdasarkan Tabel 4.5 dapat dilihat bahwa nilai nitrat semua stasiun penelitian berkisar antara 5,5 – 5,2 mg/L. Nilai tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 5,5 mg/L dan terendah terdapat pada stasiun 1 sebesar 5,2 mg/L. Menurut Riani (1994) dalam Alam (2011), kandungan nitrat dalam kadar yang berbeda dibutuhkan oleh setiap jenis alga untuk keperluan pertumbuhannya sedangkan kadar nitrat untuk makroalga dapat tumbuh optimal sebesar 0,9-3,5 mg/L. Apabila kadar nitrat dibawah 0,1 atau diatas 4,5 mg/L, merupakan faktor pembatas.


(42)

30

4.5.7 Fosfat

Berdasarkan Tabel 4.5 dapat dilihat bahwa nilai posfat semua stasiun penelitian berkisar antara 0,026 – 0,029 mg/L. Nilai tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 0,029 mg/L dan terendah terdapat pada stasiun 2 sebesar 0,026 mg/L. Menurut Indriani dan Sumiarsih (1988) dalam Alam (2011) Fosfat (PO4) dapat menjadi faktor pembatas baik secara temporal maupun spasial karena sumber Fosfat yang lebih sedikit di perairan.

4.6. Analisis Korelasi

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh nilai analisis korelasi keanekaragaman makroalga dengan faktor fisik kimia perairan seperti pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6 Nilai Korelasi Antara Parameter Fisik-Kimia Perairan dengan Keanekaragaman Makroalga dari Setiap Stasiun Penelitian

Temperatur Penetrasi

Cahaya Ph DO Salinitas Nitrat Posfat

H’ +0,691 +0,960 +0,999 +0,905 +0,960 -0,909 -0,542

Keterangan : - = korelasi negatif (berlawanan) + = korelasi positif (searah)

Dari Tabel 4.6 dapat dilihat bahwa hasil uji analisis korelasi pearson, penetrasi cahaya, pH, oksigen terlarut, salinitas, dan nitrat berhubungan sangat kuat dengan indeks keanekaragaman (H’) Makroalga.

Analisis korelasi pearson antara beberapa faktor fisik kimia perairan berbeda tingkat korelasinya dan arah korelasinya dengan indeks keanekaragaman (H’). Nilai (+) menunjukan hubungan yang searah antara nilai faktor fisik kimia perairan dengan indeks diversitas (H’), artinya semakin besar nilai faktor fisik kimia maka indeks keanekaragaman akan semakin besar pula, sedangkan nilai (-) menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik antara nilai faktor fisik kimia perairan dengan indeks keanekaragaman (H’), artinya semakin besar nilai faktor fisik maka nilai H’ akan semakin kecil, begitu juga sebaliknya, jika semakin kecil nilai faktor fisik kimia maka nilai indeks diversitasnya akan semakin besar.

Menurut Atmadja (1999), penetrasi cahaya matahari yang terbatas akan membatasi kemampuan makroalga dalam melakukan fotosintesis. Kehadiran dan


(43)

kelimpahan alga akan berkurang pada tempat – tempat yang lebih dalam dibandingkan dengan daerah yang lebih dangkal. Kehadiran dan kelimpahan makroalga di daerah terumbu karang tampaknya berkurang pada tempat – tempat yang lebih banyak cahaya menembus dan memperlancar proses fotosintesis yang mengakibarkan akan bertambah baik dan berlimpahnya alga yang tumbuh di tempat tersebut.

Menurut Ambas (2006), salinitas merupakan salah satu parameter kualitas air yang cukup berpengaruh pada organisme dan tumbuhan yang hidup di perairan. Salinitas perairan yang ideal bagi lahan budidaya alga berkisar antara 28-34 ‰, dimana salinitas optimumnya 32‰.

Menurut Bold et al (1985), derajat keasaman (pH) perairan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan makroalga. Nilai pH sangat menentukan molekul karbon yang dapat digunakan makroalga untuk fotosintesis. PH yang baik untuk pertumbuhan alga hijau dan alga coklat berkisar 6 hingga 9. Beberapa jenis alga toleran terhadap kondisi pH yang demikian.

Menurut Suin (2002), oksigen terlarut (DO) merupakan suatu faktor yang sangat penting dalam ekosistem akuatik, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian organisme. Barus (2004), umumnya kelarutan oksigen dalam air sangat terbatas. Sumber utama oksigen terlarut dalam air adalah penyerapan oksigen dari udara melalui kontak antara permukaan air dengan udara, dan dari proses fotosintesis. Nilai oksigen terlarut di suatu perairan mengalami fluktuasi harian maupun musiman yang dipengaruhi oleh temperatur dan juga aktivitas fotosintesis dari tumbuhan yang menghasilkan oksigen.

Menurut Riani (1994) dalam Alam (2011) menjelaskan bahwa kandungan nitrat dalam kadar yang berbeda dibutuhkan oleh setiap jenis alga untuk keperluan pertumbuhannya sedangkan kadar nitrat utnuk mikroalga dapat tumbuh dan optimal diperlukan kandungan nitrat 0,9-3,5 mg/L.


(44)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan terhadap keanekaragaman Makroalga di perairan Pulau Ungge, Kabupaten Tapanuli Tengah diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

a. Makroalga yang ditemukan pada seluruh stasiun penelitian adalah berjumlah 7 spesies yang terbagi atas 3 kelas.

b. Indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun 1 dengan nilai 1,57 dan indeks keanekaragaman terendah terdapat pada stasiun 3 dengan nilai 1,05. c. Indeks keseragaman tertinggi pada stasiun 3 sebesar 0,96 dan terendah

pada stasiun 1 sebesar 0,87.

d. Indeks similaritas tertinggi terdapat antara stasiun 2 dan 3 dengan nilai 75% yang tergolong mirip.

e. Penetrasi cahaya, pH, oksigen terlarut, salinitas, nitrat, kejenuhan oksigen merupakan faktor fisik kimia yang berhubungan sangat kuat dengan indeks keanekaragaman (H’) makroalga.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai keragaman dan distribusi biota laut lainnya sehingga dapat meningkatkan informasi komunitas yang berada di Perairan Pulau Ungge Kabupaten Tapanuli Tengah.


(45)

DAFTAR PUSTAKA

Alam, A. A. 2011. Kualitas Karaginan Rumput Laut Jenis Eucheuma Spinosum Di Perairan Desa Punaga Kabupaten Takalar. Skripsi. Makassar : Universitas Hasanuddin.

Ambas, Irfan. 2006. Pelatihan Budidaya Laut (Coremap Fase II Kab. Selayar). Makasar: Yayasan Mattirotasi. Available from: www.google.com. Diakses pada tanggal 23 November 2009.

Ambalika, 2010. Terumbu Karang. http://www.ubb.ac.id/terumbukarang.php. [Diakses: 10 Desember 2012].

Apriyana, D. 2006. Studi hubungan Karakteristik Habitat terhadap Kelayakan pertumbuhan dan kandungan Karagenan Alga Eucheuma spinosum di Perairan kecamatan Bluto Kabupaten Sumenep. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Arthur, M.R.H. 1972. Geographycal, Ecology, Pattern in the distribution of species. New York, Happer & Row, Publ.

Aslan, L. M. 1998. Budi Daya Rumput Laut. UGM : Yogyakarta.

Asmawi, 1998. Komunitas Alga Bentik Di PulaU Kerayan Kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatan. Dalam Seminar Kelautan LIPI-UNHAS, Ke II. Fakultas Perikanan Universitas Lambung Mangkurat. Banjarmasin

Atmadja, W. S., A. Kadi., Sulistijo, dan Rachmaniar.1996. Pengenalan Jenis -Jenis Rumput Laut Indonesia. Puslitbang Oseanologi. LIPI. Jakarta.

Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Sungai dan Danau. Fakultas MIPA USU : Medan.

Belliveau, S. A. dan V. J. Paul., 2002. Effects Of Herbivory And Nutrients On The Early Colonization Of Crubtose Coralline And Fleshy Algae Marina Ecology. Progress Series. 5 (8). 105 - 114.

Candra, S. 1998. Struktur Komunitas dan Distribusi Makroalga pada Rataan Terumbu Karang Pantai Tanjung Gelang Taman Nasional Laut Karimunjawa. Semarang : UNDIP.

Chapman, A.R.O., 1997. Biology Of Seawead. Park University Press. London.

Connel, Y.H. 1974. Field experiment in marine ecology. Di dalam Richard, N. & Mariscal (eds.). NewYork: Academy Press.


(46)

34

Coremap II, 2008. Buletin Coremap II Provinsi Sumatera Utara: Midterm Review ADB. Edisi ke-3. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera.

Dawes, C. J. 1981. Marine Botany. A Willey Interscience Publication : Universitas of South Florida.

Fachrul, M.F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Bumi Aksara. (Jurnal Studi Keanekaragaman Makroalga di Pantai Jumiang Kabupaten

Pamekasan oleh Zainudin).

Handayani, S. 2009. Keanekaragaman Makro Alga Di Pantai Paniis Ujung Kulon, Banten. Jurnal Ilmu dan Budaya. 29 (17). hlm 1650.

Iksan, K. H. 2005. Kajian Pertumbuhan, Produksi Rumput Laut (Eucheuma cattonii), dan kandungan Karaginan pada berbagai Bobot Bibit dan Asal Thallus di perairan desa Guraping Oba Maluku Utara. Skripsi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Kadi, A. 2006. Struktur Komunitas Makroalga di Pulau Pengelap, Dedap, Abang Besar dan Abang Kecil dan Kepulauan Riau. Jurnal Kelautan. 11 (4). hlm :234-240

Kadi, A. 2009. Makroalga di Paparan Terumbu Karang Kepulauan Anambas. Jurnal Natur Indonesia. 12 (1). hlm : 49-53.

Kordi, K.M.G.H. 2010. Ekosistem Terumbu Karang. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

Krebs, C. J. 1985. Ecologi : The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Harper & Row Publisher : New York.

Kussen, J. P. 1992. Dinamika Keanekaragaman Terumbu Karang dan Peranannya Terhadap Perkembangan Wilayah Pesisir. Universitas Diponegoro : Semarang.

Langoy, M. dkk. 2011. Deskripsi Makroalga di Taman Wisata Alam Kota Bitung. Manado : Universitas Samratulangi. 11 (2). hlm : 1-6.

Luning., 1990. Seaweeds, Their Environment, Biogeography And Ecophysiology. John Wiley and Sons. New York.

Michael, P. 1995. Metoda Ekologi untuk Penyelidikan Lapangan dan Laboratorium. UI Press : Jakarta.

Nessa, N., Ahmad, F., Jamaluddin, J., dan Chair, R. 2011. Pemetaan Tutupan Makroalga Kaitannya dengan Sebutan Ikatan Herbivora di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. Sulawesi : UNHAS. hlm : 1-8.


(47)

Nontji, A., 2002. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.

Nybakken, J. W., 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia : Jakarta.

Odum, E. P. 1994. Dasar - Dasar Ekologi. Edisi Ketiga. UGM Press : Yogyakarta.

Oktaviani, E, dkk. 2013. Inventarisasi dan Identifikasi Makroalga di Teluk Lombok Sangatta. Samarinda : Universitas Mulawarman. hlm : 1-8.

Palallo, A. 2013. Distribusi Makroalga Pada Ekosistem Lamun Dan Terumbu Karang Di Pulau Bonebatang, Kecamatan Ujung Tanah, Kelurahan Barrang Lompo, Makassar. Makassar : Universitas Hasanuddin.

Rasyid, A. 2004. Berbagai Manfaat Alga. Jakarta : LIPI. 29 (9). hlm : 9-15.

Ratri, G.A., Fatchur R., dan Murni S. 2013. Struktur Komunitas Makroalga Di Pantai Ngudel Kecamatan Gedangan Kabupaten Malang Jawa Timur. Malang : UNM.

Romimohtarto, K., dan Sri, J. 2009. Biologi Laut. Jakarta : Djambatan. hlm : 58-65.

Soegianto, A. 1994. Ekologi Kuantitatif: Metode Analisis Populasi dan Komunitas. Jakarta: Penerbit Usaha Nasional. (Jurnal Studi Keanekaragaman Makroalga di Pantai Jumiang Kabupaten Pamekasan oleh Zainudin. Hlm 40).

Sumich, L. 1992. An Introduction To The Biology Of Marine Life. Wmc Brown. Dubuque : Lowa.

Suhartono, E. 2009. Identifikasi Kualitas Perairan Pantai Akibat Limbah Domestik Pada Monsun Timur Dengan Metode Indeks Pencemaran. Semarang : Politeknik Negeri Semarang. 14 (1). hlm : 52-62.

Suharsono. 1992. Terumbu Karang, dalam Bahan Kursus Pelatihan Dasar Metodologi Penelitian Sumber Hayati dan Lingkungan Laut. LIPI : Mataram.

Supit, S. D. 1989. Karakteristik Pertumbuhan dan kandungan Caragenan Rumput Laut (Eucheuma cattonii) yang berwarna Abu - abu Cokelat dan Hijau yang Ditanam di Goba lambungan Pasir Pulau Pari. Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Syafei, S.E. 1990. Pengantar Ekologi Tumbuhan. Bandung: Institut Teknologi Bandung.


(48)

36

Tobing, I. 2009. Kondisi Perairan Pantai Sekitar Merak, Banten Berdasarkan Indeks Keanekaragaman Jenis Benthos. Jakarta : Universitas Nasional. 2 (2). hlm : 31-40.

Yudasmara, G. A. 2011. Analisis Komunitas Makroalga di Perairan Pulau Menjangan Kawasan Taman Nasional Bali Barat. Jurnal Sains dan Teknologi. 11 (1). hlm : 90-99.


(49)

(50)

38

Lampiran 2. Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur DO Sampel Air

1 ml MnSO4 1 ml KOHKI Dihomogenkan Didiamkan

Sampel Endapan Puith/Cokelat

1 ml H2SO4 Dihomogenkan Didiamkan

Larutan Sampel Berwarna Cokelat

Diambil 100 ml

Dititrasi Na2S2O3 0,00125 N

Sampel Berwarna Kuning Pucat

Ditambah 5 tetes Amilum

Sampel Berwarna Biru

Dititrasi dengan Na2S2O3 0,00125 N

Sampel Bening

Dihitung volume Na2S2O3 yang terpakai

Hasil


(51)

Lampiran 3. Nilai Oksigen Terlarut Maksimum (mg/l) pada Berbagai Besaran Temperatur Air.

T˚C 0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 0 14,6 14,12 14,08 14,04 14,00 13,97 13,93 13,89 13,85 13,81

1 13,77 13,74 13,70 13,66 13,63 13,59 13,55 13,51 13,48 13,44

2 13,40 13,37 13,33 13,30 13,26 13,22 13,19 13,15 13,12 13,08

3 13,05 13,01 12,98 12,94 12,91 12,87 12,84 12,81 12,77 12,74

4 12,70 12,67 12,64 12,60 12,57 12,54 12,51 12,47 12,44 12,41

5 12,37 12,34 12,31 12,28 12,25 12,22 12,18 12,15 12,12 12,09

6 12,06 12,03 12,00 11,97 11,94 11,91 11,88 11,85 11,82 11,79

7 11,76 11,73 11,70 11,67 11,64 11,61 11,58 11,55 11,52 11,50

8 11,47 11,44 11,41 11,38 11,36 11,33 11,30 11,27 11,25 11,22

9 11,19 11,16 11,14 11,11 11,08 11,06 11,03 11,00 10,98 10,95

10 10,92 10,90 10,87 10,85 10,82 10,80 10,77 10,75 10,72 10,70

11 10,67 10,65 10,62 10,60 10,57 10,55 10,53 10,50 10,48 10,45

12 10,43 10,40 10,38 10,36 10,34 10,31 10,29 10,27 10,24 10,22

13 10,20 10,17 10,15 10,13 10,11 10,09 10,06 10,04 10,02 10,00

14 9,98 9,95 9,93 9,91 9,89 9,87 9,85 9,83 9,81 9,78

15 9,76 9,74 9,72 9,70 9,68 9,66 9,64 9,62 9,60 9,58

16 9,56 9,54 9,52 9,50 9,48 9,46 9,45 9,43 9,41 9,39

17 9,37 9,35 9,33 9,31 9,30 9,28 9,26 9,24 9,22 9,20

18 9,18 9,18 9,15 9,13 9,12 9,10 9,08 9,06 9,04 9,03

19 9,01 8,99 8,98 8,96 8,94 8,93 8,91 8,89 8,88 8,86

20 8,84 8,83 8,81 8,79 8,78 8,76 8,75 58,73 8,71 8,70

21 8,68 8,67 8,65 8,64 8,62 8,61 8,59 8,58 8,56 8,55

22 8,53 8,52 8,50 8,49 8,47 8,46 8,44 8,43 8,41 8,40

23 8,38 8,37 8,36 8,34 8,33 8,32 8,30 8,29 8,27 8,26

24 8,25 8,23 8,22 8,21 8,19 8,18 8,17 8,15 8,14 8,13

25 8,11 8,10 8,09 8,07 8,06 8,05 8,04 8,02 8,01 8,00

26 7,99 7,97 7,96 7,95 7,94 7,92 7,91 7,90 7,89 7,88

27 7,86 7,85 7,84 7,83 7,82 7,81 7,79 7,78 7,77 7,76

28 7,75 7,74 7,72 7,71 7,70 7,69 7,68 7,67 7,66 7,65

29 7,64 7,62 7,61 7,60 7,59 7,58 7,57 7,56 7,55 7,54

30 7,53 7,52 7,51 7,50 7,48 7,47 7,46 7,45 7,44 7,43


(52)

40

Lampiran 4. Contoh Hasil Perhitungan a. Kerapatan Caulerpa pada Stasiun 1

K

K =

5 33

K = 6,6 ind/m2

b. Kerapatan Relatif Caulerpa pada Stasiun 1

KR = x 100 %

KR =

17,8 6 , 6

x 100 %

KR = 37,08%

c. Frekuensi Kehadiran Caulerpa pada Stasiun 1 FK =

FK = 100%

5 3

x FK = 60%

d. Diversitas Shannon-Wiener (H’) pada Stasiun 1 H’ = −

pi ln pi

H’ =

89 6 ln 89 6 89 17 ln 89 17 89 11 ln 89 11 89 5 ln 89 5 89 17 ln 89 17 89 33 ln 89 33 + + + + + −


(53)

d. Indeks Ekuitabilitas/Keseragaman (E) pada Stasiun I

E =

max ' H

H

E =

6 ln

57 , 1

E = 0,87

e. Indeks Similaritas (IS) antara Stasiun 1 dan 2

IS =

b a

c

+

2

X 100%

IS =

5 6

4 2

+

x

X 100% IS = 72,72%


(54)

42

Lampiran 5. Foto Kerja

Penarikan Transek Transek kuadrat 1m x 1m

Pengambilan Sampel air Pengukuran DO

Pengukuran Salinitas


(55)

Lampiran 6. Foto Sampel

Caulerpa Halimeda

Tydemania Turbinaria sp1.


(56)

44


(57)

Lampiran 7. Foto Alat

Alat Selam Termometer


(58)

46

Lampiran 8. Data mentah Makroalga

No Genus Stasiun 1

Jlh Stasiun 2 Jlh Stasiun 3 Jlh

U1 U2 U3 U4 U5 U1 U2 U3 U4 U5 U1 U2 U3 U4 U5

1. Caulerpa 15 8 10 - - 33 - - 7 4 6 17 - - - -

2. Halimeda 10 - 7 - - 17 - - 9 1 5 15 6 5 - - - 11

3. Hypnea - 5 - - - 5 - - - -

4. Padina - - - 4 7 11 4 4 - - - 8 - - 5 2 - 7

5. Sargassum - - - - 15 10 9 34 - - - -

6. Turbinaria 8 9 - - - 17 - - - 2 5 7 6 7 - - - 13


(1)

d. Indeks Ekuitabilitas/Keseragaman (E) pada Stasiun I

E =

max ' H

H

E =

6 ln

57 , 1

E = 0,87

e. Indeks Similaritas (IS) antara Stasiun 1 dan 2 IS =

b a c + 2 X 100%

IS =

5 6 4 2 + x X 100%


(2)

Lampiran 5. Foto Kerja

Penarikan Transek Transek kuadrat 1m x 1m

Pengambilan Sampel air Pengukuran DO

Pengukuran Salinitas


(3)

Lampiran 6. Foto Sampel

Caulerpa Halimeda

Tydemania Turbinaria sp1.


(4)


(5)

Lampiran 7. Foto Alat

Alat Selam Termometer


(6)

46 Lampiran 8. Data mentah Makroalga

No Genus Stasiun 1

Jlh Stasiun 2 Jlh Stasiun 3 Jlh

U1 U2 U3 U4 U5 U1 U2 U3 U4 U5 U1 U2 U3 U4 U5

1. Caulerpa 15 8 10 - - 33 - - 7 4 6 17 - - - -

2. Halimeda 10 - 7 - - 17 - - 9 1 5 15 6 5 - - - 11

3. Hypnea - 5 - - - 5 - - - -

4. Padina - - - 4 7 11 4 4 - - - 8 - - 5 2 - 7

5. Sargassum - - - - 15 10 9 34 - - - -

6. Turbinaria 8 9 - - - 17 - - - 2 5 7 6 7 - - - 13