Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Uma Tetun sebagai Axis Mundi: Memahami Makna Sakralitas, Simbol dan Mitos Rumah Adat Ema Tetun di Belu, NTT T2 752015001 BAB II

Bab II

TEORI
Rumah Adat dan Axis Mundi
Rumah merupakan kebutuhan primer bagi setiap manusia, oleh sebab itu semua orang
pasti mempunyai rumah. Khususnya bagi setiap keluarga pasti akan membangun rumah sebagai
sebuah tempat yang mempunya banyak fungsi untuk kehidupan mereka.
Hakikatnya rumah bukan hanya sekedar bangunan semata yang dijadikan sebagai tempat
tinggal, tetapi bagi orang Timor rumah merupakan simbol tata dunia dan tata sosial, menarik
untuk dipahami bahwa penataan rumah bagi orang timor tidak ditentukan oleh pertimbangan seni
atau fungsi tetapi oleh satu makna yang hendak diungkapkan. Dalam hal ini ketentuan bentuk,
letak, arah, jumlah dan lain-lain semuanya mengungkap makna tertentu.1
Rumah bagi sebuah masyarakat mempunyai posisi yang sangat penting dari segi
kebudayaan dan pemaknaannya, hal ini diperkuat dengan pendapat bahwa Rumah menempati
posisi sentral dalam tata dunia dan tata sosial dalam budaya orang timor.2 Hakikatnya rumah
merupakan sebuah tempat yang sangat penting dalam kehidupan manusia, rumah merupakan
tempat seorang atau sebuah keluarga berlindung dari hujan dan panasnya terik matahari, dan juga
sebagai tempat sosialisasi antara anggota keluarga, serta pemeliharaan nilai-nilai dalam
masyarakat. Berdasarkan budaya yang berlaku dalam kehidupan masyarakat di NTT, terdapat
dua jenis rumah yang menjadi bagian penting dalam kehidupan setiap orang, contohnya dalam
1


Eben Nuban Timo.Pemberita Firman Pencinta Budaya: Mendengar dan Melihat Karya Allah dalam
Tradisi (Jakarta: Gunung Mulia,2006) 57.
2
Ibid.,56.

10

kehidupan masyarakat Flores terdapat tiga tipe rumah yang dibedakan berdasarkan fungsi dan
pemaknaannya, rumah yang pertama yaitu dwelling house (rumah tinggal) yaitu sebuah rumah
yang menjadi tempat peristirahatan, yang kedua yaitu rumah panjang atau rumah keturunan/klan
merupakan rumah atau tempat berkumpulnya sebuah klan atau orang-orang yang masih satu
keturunan dengan tujuan di rumah ini aturan-aturan dan pantangan-pantangan yang berlaku
untuk klan tersebut dapat diaplikasikan. Yang ketiga rumah nenek moyang atau source house
(source house : rumah sumber) tempat yang dimaknai suci, bagian rumah ini dibedakan menjadi
dua yaitu rumah yang maskulin atau leluhur laki-laki yang disebut ngadhu dan rumah yang
female atau leluhur perempuan yang disebut bhaga.3
Rumah tinggal merupakan tempat untuk sebuah keluarga berkumpul, beristirahat, belajar,
makan dan minum serta aktifitas lainya yang bermakna biasa saja atau profan, maka dapat
disimpulkan bahwa rumah tinggal adalah simbol pemersatu bagi sebuah keluarga, sehingga dia

menjadi pusat dunianya sebuah keluarga yang mendiami atau menempati rumah tersebut.
Sedangkan rumah suku atau rumah adat merupakan pusat aktivitas yang bermakna sakral dari
sebuah keturunan atau klan, pusat aktivitas itu dapat berupa ritual-ritual, serta penyimpanan
barang-barang sakral yang menjadi simbol kehidupan klan tersebut. Sehingga rumah suku atau
adat dimaknai sebagai axis mundinya sebuah klan karena di tempat tersebut terjadi
pertemuannya surga, bumi dan neraka melalui ritual dan simbol yang menjadi bagian kehidupan
sebuah rumah adat.

3

Philipus Tule, Longing for the House of God, Dwelling in the House of the Ancestors:Local Belief,
Christianity, and Islam among the Keo of Central Flores, (Switzerland: Academic Press Fribourg, 2004), 6

11

Oleh karena itu untuk memahami Rumah Adat Sebagai Axis Mundi pada bab II ini
penulis akan memaparkan konsep axis mundi dan Rumah adat beserta nilai-nilai sakral yang
terkandung dari Rumah adat tersebut.

Konsep Axis Mundi Mercy Eliade

Konsep pusat merupakan bentuk dari upaya menyejajarkan pada arketipe seletial bagi
kota dan kuil, dan bahkan secara lebih penuh dibuktikan lewat dokumen, di sana kita temukan
rangkaian kepercayaan yang lain, yang mengacu pada adanya yang dipenuhi dengan prestise
pusat.
Simbolisme arkitektonik atas pusat dapat dirumuskan dalam tiga hal :
1.

Gunung suci sebagai tempat bertemunya dan bumi dianggap sebagai pusat dunia.

2.

Setiap kuil ataupun istana dan kemudian diperluan menjadi setiap kota suci atau tempat
kediaman raja merupakan gunung suci dengan demikian menjadi pusat.

3.

Adanya Axis mundi, kota atau kuil suci yang dipandang sebagai titik pertemuan antara ,
bumi, dan neraka.4
Konsep Axis Mundi ini sendiri berakar dari pemahaman kuno yang digambarkan oleh Eliade


bahwa kuil ataupun istana secara situasi berada di pusat kosmos, sehingga kuil maupun kota suci

4

Mircea Eliade. Mitos gerakan kembali yang abadi Kosmos dan sejarah.Terjemahan.Cuk Ananta
(Yogyakarta: Ikon Terakitera,2002), 12.

12

atau istana senantiasa merupakan titik pertemuan antara tiga wilayah kosmik: surga, bumi, dan
neraka.5
Dengan demikian melalui, pusat yang dimaksudkan dalam pemaparan di atas dijadikan
sebagai zona suci atau zona realitas mutlak. Demikian juga halnya dengan semua simbol yang
lainnya tentang realitas mutlak (pohon kehidupan dan keabadian, sumber remaja dan sebagainya)
ditempatkan sebagai pusat. Jalan yang mengarah pada pusat merupakan “jalan sulit” (durohana),
dan hal yang diverifikasikan pada setiap tingkat realitas.6
Pusat dunia merupakan bagian dari kehidupan manusia kuno, sebuah pemahaman yang
digambarkan secara nyata melalui proses menemukan pusat bumi dari setiap manusia dengan
budaya dan kepercayaan kunonya masing-masing. Eliade memaparkan bahwa sangat penting
untuk memahami mekanisme ini secara seksama, agar kita dapat mendekati persoalan tentang

eksistensi dan sejarah manusia dalam cakrawala spritualitas kuno. Secara spesifik koleksi fakta
tersebut dibagi dalam beberapa prinsip, yaitu :
1. Bagi manusia kuno, realitas itu merupakan fungsi imitasi atas arketipe surge (langit).
2. Fakta yang ditunjukkan pada kita bagaimana realitas itu dianugerahkan melalui
partisipasi dalam “simbolisme pusat”: kota, kuil, rumah menjadi nyata karena fakta
tentang keberadaannya diasimilasikan dengan “pusat dunia”.7
Fakta bahwa kota, kuil dan rumah menjadi nyata karena diasimilasikan dengan “pusat
dunia”, menunjukkan bahwa ada penggambaran serta pemaknaan yang sakral dalam
menunjukkan proses terjadinya kota, kuil, dan rumah. Namun sebelum memahami ketiganya

5

Ibid.,15.
Ibid.,18.
7
Ibid.,5.
6

13


maka harus dipahami terlebih dahulu bahwa bangunan tersebut menjadi sakral bukan hanya
karena makna yang diberikan oleh manusia kuno serta proses terjadinya, tapi faktor lain yang
sangat penting untuk diperhatikan adalah “wilayah” (Wilayah dalam pemahaman manusia kuno
selalu mempunyai sejarah yang suci. Contoh yang diberikan oleh Eliade yaitu sejarah dari orang
Mesopotamia, bahwa sungai Tigris modelnya terdapat dalam bintang swallow, cerita orang
Sumeria yang mengatakan bahwa “tempat bagi penciptaan para dewa”, disana ditemukan “dewa
persahabatan dan dewa gandum”. Bagi bangsa Ural-Altaic, gunung dengan cara yang sama,
memiliki prototype ideal di langit).
Manusia kuno mempunyai pemahaman bahwa sebuah tempat suci yang ada di bumi telah
ada prototipe aslinya di langit (surga). Hal ini juga berlaku pada kuil yang dijelaskan sebagai
pusat dunia atau Axis mundi oleh Eliade. Dicontohkan bahwa di gunung Sinai, Yahweh
menunjukkan kepada musa “bentuk” bagian bait Allah (kemah pertemuan) yang harus dia
bangun untuk Yahweh: “menurut semua yang telah aku lihat, setelah pola tempat ibadat, dan
semua pola peralatan yang ada di sana, bahkan apapun yang aka kamu buat …. Dan lihatlah
bahwa engkau membuatnya sesuai dengan polanya, yang telah engkau lihat di gunung”
(Keluaran 25: 9, 40). Dan ketika daud memerintahkan kepada putranya Salomon untuk
merancang pembangunan kuil, untuk tempat ibadah, dan untuk segala perlengkapannya, dia
meyakinkan putranya bahwa “semua ini Tuhanlah yang membuat aku mengerti ayat yang
diperintahkan buatku, bahkan seluruh pola ini” (I Tawarikh 28 : 19). Oleh karena itu dia melihat
pola Langit.8

Simbolisme pusat yang selalu dihubungkan dengan bangunan suci ataupun tempat-tempat
suci didasari oleh kepercayaan yang berlaku dalam manusia kuno yang ada, istilah pusat selalu
8

Ibid.,7.

14

melekat pada setiap bangunan atau tempat tersebut. Istilah pusat dalam hal ini selalu berkaitan
antara hubungan bumi dan langit (surga), sehingga melalui hubungan ini tercipta tempat-tempat
suci dan bangunan suci yang selalu disebut dengan istilah surga dan bumi.
1. Gunung suci atau gunung surga yang sering disebut oleh manusia kuno, contoh: gunung
meru menurut orang india yang dipercaya berdiri tepat di pusat dunia dan di atasnya
bersinar bintang utara (bintang kutub). Orang iran percaya bahwa gunung suci
Haraberezaiti (Elburz) berada di pusat bumi dan berhubungan dengan surga. Bangsa
Semang di semenanjung Malaka mempercayai batu yang sangat besar, Batu Ribn,
muncul di pusat dunia; di atasnya terdapat neraka. Dimasa lampau, tiga belalai pada
Batu-Ribn menjulang ke langit. Sehingga dipercayai bahwa neraka, pusat bumi, dan
“pintu gerbang” langit ditempatkan pada sumbu yang sama.9
2. Bangsa Babylonia juga mempunyai nama untuk kuil dan menara suci yang di

asimilasikan dengan gunung kosmik yaitu “gunung rumah”, “rumah gunung bagi seluruh
bumi”, “gunung prahara” “penghubung antara surga dan bumi”.10
3. Kuil maupun kota suci senantiasa merupakan titik pertemuan antara tiga wilayah kosmik:
surga, bumi dan neraka. Dur-an-ki, “pertalian surga dan bumi” adalah nama yang
diberikan kepada tempat pemujaan di nippur dan larsa, dan tidak diragukan juga bagi
sippara. Dalam kepercayaan orang Babylon dikatakan bahwa pertalian antara bumi dan
surga dan neraka disebut sebagai pertalian antara bumi dengan wilayah yang lebih
rendah.

9

Ibid.,13.
Ibid.,14-15.

10

15

Sebuah kuil atau kota sebagai Axis mundi dapat dipamahami sebagai perwujudan manusia
terhadap prestise pusat. Hal ini dapat dijelaskan sebagai pengulangan kosmogoni atau

pengulangan dunia. Pusat merupakan zona suci , zona realitas mutlak, dengan demikian hal ini
juga berlaku pada semua simbol yang lain tentang realitas mutlak (pohon kehidupan, dan
keabadian, sumber remaja dan sebagainya) ditempatkan sebagai pusat. Disimpulkan bahwa jalan
yang mengarahkan kepada pusat, merupakan “jalan yang sulit”.11
Secara hakiki, pentahbisan pusat terjadi di dalam ruang yang secara kualitatif berbeda
dengan ruang profan. Melalui paradox ritus, setiap ruang yang ditahbiskan sama persis dengan
pusat dunia, sebagaimana halnya dengan waktu ritual itu sama persis dengan waktu mistik.
Melalui pengulangan aksi kosmogonik, waktu konkret, yang di dalamnya kontruksi berlangsung,
diproyeksi menjadi waktu mistis, in illo tempore bila pendasar dunia terjadi. Sehingga realitas
dan keabadian konstruksi dijamin bukan hanya oleh transformasi ruang profan menjadi ruang
transenden (pusat) melainkan juga oleh transformasi waktu konkret menjadi waktu mistis.12
Konsep axis mundi dari eliade menunjukkan bahwa prestise pusat yang digambarkan
berdasarkan contoh dari kehidupan manusia kuno adalah sebuah proses antar ruang dan waktu
yang tanpa disadari terjadi dalam kehidupan manusia dari zaman ke zaman. Axis mundi menurut
Eliade diwujudkan dengan melihat wilayah suci, kepercayaan atau cerita suci, waktu suci dan
ritual suci. Hal ini mengantarkan kepada kehidupan manusia masa kini yang mempunyai konsep
pusat melalui kehadiran “rumah adat” yang ada di Belu, Nusa Tenggara Timor.

11
12


Ibid.,18-19.
Ibid.,20-21.

16

Konsep Rumah
Menurut Clark E Cunningham, rumah adalah pusat pelaksana ritus doa, korban, dan
pesta.13 Dengan konsep semacam ini dapat dikatakan bahwa rumah selalu menjadi pusat
kebudayaan dan mitos bagi sekelompok orang. Rumah merupakan pusat pelaksana ritus doa,
dikonsepkan sedemikian rupa dengan tujuan ingin menunjukkan bahwa setiap orang yang hidup
atau menjadi bagian dari rumah tersebut wajib melakukan ritus doa yang ditujukan kepada yang
transenden atau roh-roh leluhur agar mendapatkan perlindungan dari roh-roh jahat yang
mengganggu kehidupan mereka. Ritus doa juga dapat diartikan sebagai sebuah ritual yang
dilakukan oleh penghuni rumah untuk memohon kelancaran hasil panen, juga dapat berfungsi
sebagai sebuah ritual untuk memohon kesehatan atau kesembuhan dari berbagai penyakit yang
diakibatkan oleh ilmu hitam (suanggi, yaitu sebutan bagi ilmu hitam dalam konteks budaya
Timor).
Rumah merupakan mikrokosmos yang menghimpun semua Jenis kekerabatan dengan
dunia metafisik maupun fisik.14 Hal ini dikarenakan rumah dalam konsep kebudayaan tertentu

merupakan tempat terjadinya aktivitas sehari-sehari maupun aktivitas yang bersifat sakral
sehingga dipahami dari segi kebudayaan sebagai sebuah pusat. Pusat aktivitas yang melibatkan
manusia dengan roh-roh leluhur melalui simbol dan ritual yang dilakukan.
Bertolak dari teori axis mundi yang sudah dideskripsikan diatas, penulis ingin
mengangkat contoh rumah adat masyarakat Sabu di Nusa Tenggara Timur untuk melihat
bagaimana ide axis mundi itu dijabarkan dalam pemahaman tentang rumah.

13

Clark E Cunningham dikutip oleh Eben Nuban Timo.Pemberita Firman Pencinta Budaya: Mendengar
dan Melihat Karya Allah dalam Tradisi (Jakarta: Gunung Mulia,2006) 56.
14
Pdt. Paoina Ngefak-Bara Pa,”Amu Hawu Bangunan Berperspektif Gender (Pada Masyarakat Sabu)”
dalam Kebudayaan: sebuah Agenda Dalam Bingkai Pulau Timor dan sekitarnya, penyunting. Gregor Noenbasu
SVD, Ph.D (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013), 226.

17

Rumah orang Sabu
Orang Sabu juga melihat rumah sebagai axis mundi, mereka memahami bahwa rumah
merupakan tempat yang memiliki makna sakralitas dan merupakan pusat dunianya mereka.
Mereka memahami bahwa rumah juga merupakan bangunan sosial yang menjadi pusat dunianya
mereka baik yang bersifat sakral maupun profan. Rumah orang Sabu dapat dikategorikan dalam
tiga hal yaitu rumah tinggal, rumah doa atau ibadah, dan rumah tempat penyimpanan wadah
panas. Dalam membangun rumah, orang Sabu selalu memperhatikan persiapan pembangunan
rumah, dan proses pembangunan rumah.
Rumah sebagai tempat tinggal dalam bahasa Sabu disebut Ammu Pe (Ammu = rumah; Pe
= tinggal), berdasarkan status sosial, rumah tempat tinggal (Ammu Pe) masih dapat dibedakan
menjadi Ammu PeDouae Banni Ae sebagai rumah tempat tinggal raja dan Ammu Pe Mone Aha
sebagai rumah tempat tinggal orang biasa. Masih sehubungan dengan status sosial maka terdapat
dua jenis rumah tempat tinggal yang dikenal dalam kehidupan orang Sabu yaitu Ammu Mone
Kaja yaitu rumah tempat tinggal orang kaya; dan Ammu Mone Kehia artinya rumah tempat
tinggal orang miskin.15
Hakikatnya tipologi rumah tinggal orang Sabu berorientasi pada latar belakang asal usul
orang Sabu. Bentuk dan corak rumah Sabu mempunyai hubungan dengan filsafat hidup serta
asal-usul suku Sabu. Lokasi tempat mendirikan rumah selalu atau biasanya tempat yang tinggi
(bukit, lereng). Selalu menghadap ke utara atau ke selatan, haluan rumah selalu arah barat atau
timur (duru wa dan duru dimu). Rupanya atap berbentuk perahu terbalik, menandakan suku ini
(Sabu) telah lama mengenal perahu dan laut sebagai jalan pelayaran.16

15
16

Departemen pendidikan dan Kebudayaan , Arsitektur Tradisional Daerah Nusa Tenggara Timur, 20-21.
Ibid., 22

18

Selain rumah tempat tinggal yang telah dipaparkan di atas, suku Sabu juga mempunyai
rumah ibadah, rumah ibadah ini dibuat untuk beribadah atau melakukan pemujaan berdasarkan
kepercayaan Jingitiu (kepercayaan asli) suku Sabu. Rumah ibadah atau rumah pemujaan ini
berbentuk persegi panjang dan pada bahagian lebarnya berbentuk elips (setengah bundaran);
sama dengan rumah tempat tinggal. Bentuk atap mengambil bentuk perahu terbalik dengan balok
bubungan yang sama panjang dengan badan rumah.
Dalam tradisi suku Sabu selain memiliki rumah tempat tinggal dan rumah peribadahan
atau pemujaan, ada rumah lainnya yaitu rumah tempat musyawarah dan rumah tempat
penyimpanan. Sebenarnya rumah tempat musyawarah tidak dikenal atau tidak ada, orang Sabu
terbiasa untuk melakukan musyawarah umum di Nada Rae (lapangan kampung), sedangkan
musywarah khusus dalam keluarga dilangsungkan dalam Ammu Kepue atau Ammu Ae. Istilah
Ammu Ae mengandung arti bahwa rumah tersebut dapat menampung sejumlah orang
banyak.Sedangkan rumah tempat penyimpanan orang Sabu biasanya disebut Ammu tegida atau
Ammu Takka kepepe pana. Kata Tegida sebagai kata kerja berarti mengencangkan benang yang
digantung atau menggoncangkan barang yang sedang ditenun; sebagai kata benda biasanya
ditambah dengan kata Aju sehingga menjadi Aju tegida artinya kayu perancang tenunan. Ammu
Tegida berarti rumah tempat menenun kain sarung. Dalam hal ini kain sarung yang dimaksud
adalah pakaian yang akan digunakan sebagai pakaian kematian.
Ammu Takka Kepepe Pana artinya rumah tempat menyimpan wadah panas. Wadah
tempat penyimpanan pakaian kematian tadi dianggap panas, sakral, suci, karena itu tak boleh
dibuka, disentuh atau diraba sembarangan. Wadah tersebut hanya boleh disentuh pada saat akan
mengeluarkan barang untuk keperluan kematian atau akan memasukan barang baru.

19

Persiapan Pembangunan Rumah
Terdapat hal-hal yang harus diperhatikan sebelum membangun rumah dalam tradisi orang
Sabu, diperlukan persiapan dalam memulai pembangunan sebuah rumah orang Sabu. Hal
pertama yang harus diperhatikan sebelum membangun rumah yaitu mempersiapkan bahan
makanan (jagung, kacang, padi, gula), hewan (kerbau, kambing, babi. Domba, ayam). Waktu
yang diperlukan untuk mempersiapkan bahan makanan tersebut sekitar satu sampai dua tahun.
Setelah persiapan dalam bentuk bahan makanan telah dipenuhi maka orang yang mempunyai
keinginan untuk mendirikan rumah wajib untuk melapor atau mendatangi penguasa (biasanya
pemimpin keluarga) untuk memberitahukan maksud mendirikan rumah. Dalam proses
pengerjaan bangunan atau rumah tersebut dikerahkan berdasarkan sistem gotong royong bukan
sistem upah.
Selain persiapan untuk bahan makanan sebagai salah satu syarat yang harus diperhatikan,
orang Sabu juga harus memperhatikan waktu untuk mengambil bahan untuk pembangunan
rumah, menurut kepercayaan orang Sabu, waktu yang tepat untuk memotong bahan-bahan
tersebut ketika hiluwara atau bulan purnama atau bulan gelap supaya tidak dimakan rayap,
karena orang Sabu percaya bahwa tepat bulan pernama zat manis dari pohon sementara
mengendap di akar pohon; zat manis inilah yang menjadi daya tarik binatang-binatang perusak.17
Proses Pembangunan Rumah
Dalam membangun rumah juga harus memperhatikan sistem memilih dan menentukan
waktu untuk memulai pekerjaan tersebut, waktunya sesuai dengan peredaran bulan dalam takwin
adat. Mendirikan rumah biasanya dimulai setelah selesai upacara akhir tahun takwin adat; jatuh
pada akhir april atau permulaan mei atau warru ari (bulan adik) dan warru Aa (bulan kakak) dan
17

Pdt. Paoina Ngefak-Bara Pa…, 222.

20

menurut takwin adat kegiatan mendirikan rumah biasanya diakhiri pada agustus. Hal-hal lain
yang harus diperhatikan dalam membangun rumah yaitu status tanah dan arah bangunan, status
tanah yang dimaksud yaitu tanah yang digunakan untuk mendirikan rumah dan rae (kampung)
berpola mengelompok adalah rai udu (tanah milik marga). Sedangkan arah bangunan yaitu
dengan memperhatikan tradisi bahwa orang Sabu selalu membangun rumahnya dengan
mengambil arah timur-barat, dan bila bangunan menghadap ke utara maka anjungan (duru)
berada di sebelah barat, bila menghadap ke selatan maka anjungan berada di timur.
Selain memperhatikan sistem memilih waktu dalam membangun rumah, orang Sabu yang
akan membangun rumah juga perlu melakukan beberapa upacara. Orang Sabu harus melakukan
upacara sebelum mendirikan bangunan, sedang mendirikan bangunan, dan selesai mendirikan
bangunan. Ada dua jenis upacara yang perlu dilakukan sebelum mendirikan bangunan yaitu
Haru era, upacara ini bertujuan untuk memohon ijin dari Rai Balla agar bangunan rumah
tersebut berdiri kokoh atau kekal abadi. Upacara yang kedua yaitu Nuhe Jami, merupakan
upacara yang dilakukan di dalam hutan, dengan tujuan agar sang pemilik agar tidak mengalami
atau mendapatkan kecelakaan di dalam hutan serta memohon agar mendapatkan atau
menemukan kayu ramuan yang kuat dan baik.18
Terdapat tiga jenis upacara yang harus dilakukan oleh orang Sabu yang sedang
membangun rumah, upacara ini dilakukan ketika pembangunan sedang berjalan. Ketiga upacara
tersebut adalah upacara yang Pertama Pewue Kebie (memuat atau menaikan balok penendes)
dan Pewue Tuda (menaikan balok penopang balai-balai loteng) dan Halle Tarru (menanam tiang

18

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Arsiitektur Tradisional Daerah Nusa Tenggara Timur, 48

21

utama). Upacara yang Kedua adalah upacara Pewue Bangngu (menaikan balok bangunan) dan
upacara yang Ketiga adalah upacara Boro ammu (mengatapi).19
Upacara selanjutnya yang wajib dilakukan oleh orang Sabu yaitu upacara setelah
bangunan selesai, upacara ini disebut upacara Penatta (memaniskan, menormalkan).Upacara ini
cenderung disebut sebagai upacara peresmian, upacara ini dilakukan ketika telah selesai
pengerjaan fisik bangunan.Tujuan dari upacara ini untuk memohon perlindungan dari Tuhan,
meminta restu atau menyatakan syukur atas bimbingan Tuhan waktu menyelesaikan pekerjaan,
memohon menjauhkan roh-roh jahat yang mengganggu.20
Dalam pemahaman orang Sabu rumah bukan hanya sekedar bangunan atau simbol
hubungan antara anggota keluarga dan leluhur namun rumah orang Sabu memiliki nilai-nilai
tersendiri yang dibagi dalam tiga dimensi yaitu dimensi ilahi, dimensi ini memiliki pemahaman
bahwa membangun rumah merupakan berkat ilahi, dan yang ilahi ini dalam kepercayaan orang
Sabu menempati bagian rumah yang paling atas yaitu loteng. Dimensi sosial, rumah bukan hanya
semata bangunan namun rumah merupakan sebuah simbol ikatan kekerabatan, karena rumah
merupakan tempat pertemuan keluarga yang sudah diatur secara periodik atau kalender. Dimensi
politik, rumah merupakan tempat untuk mengatur kebutuhan laki-laki dan perempuan baik dari
segi kodrat, ekonomi, geneologi dan spiritual.21
Mitos
Mitos adalah simbol yang diletakkan dalam bentuk cerita. Sebuah mitos bukan hanya
suatu gambaran atau tanda; mitos adalah serangkaian gambaran yang dikemukakan dalam bentuk

19

Ibid.,52-54
Ibid.,55-56
21
Ibid., 226.

20

22

cerita.22 Mitos selalu berkaitan erat dengan kehidupan manusia kuno, Eliade memaparkan bahwa
mitos merupakan sesuatu yang menyucikan dan memapankan. Dalam kaitannya dengan mitos,
Eliade selalu menggambarkan bahwa mitos tidak akan terlepas dari simbol,

dan hal ini

mengantarkan mitos menjadi sebuah sejarah suci. Dalam masyarakat kuno mitos dan ritus
menghadirkan kembali hal-hal yang sangat mereka percayai dalam sejarah suci serta
diwujudkan secara nyata melalui tindakan simbolik dan tingkah laku.23
Mitos atau mitologi merupakan rasionalitas atas kebutuhan-kebutuhan masyarakat
terhadap peristiwa lisan sebuah budaya atau dengan kata lain kehidupan sebuah kebudayaan
ditentukan oleh mitos yang dipercayai oleh sebuah masyarakat.

22

Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion: Dari Animisme E.B Tylor, Material Karl Marx, Hingga
Antropologi Budaya C.Gerrtz, (Yogyakarta: Qalam, 2001), hal 285.
23
Ibid., 286

23

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Makna dalam Simbol – Simbol Upacara Saparan Yaaqawiyyu

0 0 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Makna Perjanjian Perkawinan Adat Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah T2 752009012 BAB II

0 0 19

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Uma Tetun sebagai Axis Mundi: Memahami Makna Sakralitas, Simbol dan Mitos Rumah Adat Ema Tetun di Belu, NTT

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Uma Tetun sebagai Axis Mundi: Memahami Makna Sakralitas, Simbol dan Mitos Rumah Adat Ema Tetun di Belu, NTT T2 752015001 BAB V

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Uma Tetun sebagai Axis Mundi: Memahami Makna Sakralitas, Simbol dan Mitos Rumah Adat Ema Tetun di Belu, NTT T2 752015001 BAB IV

0 2 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Uma Tetun sebagai Axis Mundi: Memahami Makna Sakralitas, Simbol dan Mitos Rumah Adat Ema Tetun di Belu, NTT

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Uma Tetun sebagai Axis Mundi: Memahami Makna Sakralitas, Simbol dan Mitos Rumah Adat Ema Tetun di Belu, NTT T2 752015001 BAB I

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Simbol dan Rekonsiliasi Gong Perdamaian Dunia sebagai Simbol Rekonsiliasi Lintas Agama di Ambon T2 752015017 BAB V

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Simbol dan Rekonsiliasi Gong Perdamaian Dunia sebagai Simbol Rekonsiliasi Lintas Agama di Ambon T2 752015017 BAB II

0 0 28

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Simbol dan Rekonsiliasi Gong Perdamaian Dunia sebagai Simbol Rekonsiliasi Lintas Agama di Ambon T2 752015017 BAB I

0 1 12