Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Simbol dan Rekonsiliasi Gong Perdamaian Dunia sebagai Simbol Rekonsiliasi Lintas Agama di Ambon T2 752015017 BAB I

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Rekonsiliasi di Ambon menjadi topik menarik yang telah banyak
diperbincangkan, diteliti dan dibuat tulisannya sebagai bahan penelitian lanjut, studi
tentang konflik dan rekonsiliasi.1 Bertolak dari konflik bernuansa agama pada tahun
1999-2002 di Maluku, para peneliti dan penulis ini melihat dampak yang timbul
pasca konflik dan upaya yang dilakukan demi terwujudnya rekonsiliasi.2 Abidin
Wakano mengatakan bahwa menciptakan kembali suasana hidup “orang basudara”
di Maluku merupakan proses panjang, sebab konflik telah menimbulkan segradasi
dan rasa tidak saling percaya antara dua kelompok agama yang dominan di Ambon
(Islam-Kristen). Namun, rekonsiliasi atau perdamaian dapat terjadi dengan
diberlakukan penanaman dan penguatan kesadaran terhadap kehidupan multikultur
dan pluralisme.3 Seperti yang dikatakan oleh Abdurrahman Wahid bahwa perdamaian

1

Abidin Wakano, Peneliti dan Direktur Pusat Mediasi dan Rekonsiliasi Ambon (Ambon
Reconciliation and Mediation Center – ARMC) IAIN Ambon. Selain itu, Yunus Rahawarin, dalam
disertasinya yang meneliti tentang Kearifan Lokal yang kuat sebagai jalan cepat untuk mencapai
rekonsiliasi antar umat beragama (konflik yang terjadi di Kota Ambon dan Kota Tual, Maluku).

Sumber:
http://uin-suka.ac.id/id/berita/detail/620/kearifan-lokal-yang-kuat-dapat-mempercepatrekonsiliasi-konflik-antar-umat-beragama. Di akses tanggal 9 Oktober 2016.
2
Konflik yang mengatasnamakan agama dan menjadi peristiwa besar sepanjang sejarah pernah
terjadi di Ambon, Provinsi Maluku yang berlangsung selama 3 tahun (1999-2004).Jumlah jiwa sekitar
9000 orang menjadi korban selain kehilangan harta benda milik berupa rumah tinggal dan lainnya.
Infrastuktur pemerintahan pun terporak poranda, lembaga pendidikan, tempat-tempat ibadah, juga
pasar utama sebagai lokasi interaktif ekonomi turut menjadi sasaran amuk massa yang bertikai.
3
http://www.suara.com/news/2014/04/30/122727/peneliti-konflik-1999-ubah-karakter-orangmaluku. Di unduh tanggal 9 Oktober 2016.

1

hanya dapat terwujud bila sekat-sekat identitas dilepaskan, baik itu sekat agama,
suku, ras, dan warna kulit.4
Johan Galtung mengkonsepkan perdamaian sebagai sebuah situasi dimana
tidak adanya atau berkurangnya segala jenis kekerasan, dan transformasi konflik
kreatif non kekerasan.5 Damai adalah suasana dimana tidak terjadi pertentangan antar
orang maupun kelompok yang berujung pada konflik yang disertai dengan tindak
kekerasan yang mengancam ketentramanan atau kedamaian pribadi maupun

kelompok. Menurutnya, damai memiliki dua wajah yakni damai negatif dan damai
positif. Damai negatif merupakan ketiadaan perang atau konflik langsung. Damai
negatif membutuhkan kontrol pemerintah terhadap kekerasan dengan menghadirkan
perlindungan sekuritas terhadap masyarakat. Strateginya adalah dengan memisahkan
pihak-pihak yang berkonflik. Model ini dilakukan dalam situasi konflik yang baru
terjadi dan juga konflik dengan jangka waktu yang panjang.6
Model damai positif sebagai wajah kedua dari perdamaian yang dikemukakan
oleh Galtung merupakan suasana di mana terdapat kesejahteraan, kebebasan, dan
keadilan. Model ini menganjurkan suasana saling berelasi dalam kehidupan
bermasyarakat demi terciptanya integrasi sosial. Dengan memperbaiki relasi yang
rusak pada masa lalu dan membangun kembali masa depan maka diperlukan kerja
sama disetiap kalangan yang ada dalam masyarakat. Masyarakat yang berkonflik
4

Abdurrahman Wahid dan Daisaku Ikeda, Dialog Peradaban Untuk Toleransi dan Perdamaian
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010), 6.
5
Johan Galtung, Studi Perdamaian (Surabaya: Pustaka Eureke, 2003), 21.
6
Izak Lattu, “Planting The Seed of Peace: Agama dan Pendidikan Perdamaian Dalam

Masyarakat Multikultural” dalam Buku Ajar Agama, Mariska Lauterboom, Retnowati, dkk., (Salatiga:
Satya Wacana University Press, 2015), 190.

2

harus menemukan titik temu yang kemudian akan dibahas dan diatasi bersama.
Segala kebaikan verbal, fisik, pikiran dan jiwa manusia termuat dalam damai positif.
Fondasi utama dari model ini adalah cinta kasih diantara semua makhluk ciptaan.7
Upaya perdamaian ini diwujudkan dalam mengefektifkan kearifan lokal di Maluku
yaitu pela-gandong. Pela gandong merupakan suatu sebutan yang di berikan kepada
dua atau lebih negeri yang saling mengangkat saudara satu sama lain.
Konflik yang terjadi mengakibatkan keprihatinan banyak orang terhadap
dampak yang ditimbulkan. Selain aksi komunitas-komunitas yang bergerak secara
langsung untuk menyuarakan perdamaian, beberapa akademisi pun akhirnya
melakukan studi tentang rekonsiliasi guna mengingatkan kembali masyarakat Ambon
tentang suasana hidup bersama yang dulu pernah terjalin jauh sebelum konflik 1999
terjadi. Dalam disertasinya, Tonny Pariela meneliti dan menulis tentang Desa
Wayame yang berpenduduk heterogen dari segi agama, suku, dan status ekonomi
mampu memelihara dan mempertahankan stabilitas sosial dan keamanan di dalam
desanya. Mereka mengembangkan apa yang disebut preserved social capital sebagai

basis survival strategy merespon tekanan dinamika konflik guna mempertahankan
perdamaian di tengah kerusuhan Ambon di desa Wayame. 8
Selanjutnya oleh Izak Lattu dalam tulisannya tentang “Culture and Christian
– Muslim Dialogue in Moluccas-Indonesia”, menjelaskan bahwa secara budaya,
orang Maluku percaya bahwa pela merupakan model tradisional dari rekonsiliasi

Lattu, “Planting The Seed of Peace ... 191.
Disertasi Tonny Pariela, Damai Ditengah Konflik Maluku: Preserved Social Capital Sebagai
Basis Survival Strategy. Sumber.http://anak-silo.blogspot.co.id/2008/03/damai-di-tengah-konflikmaluku.html
7

8

3

yang mana narasi ini berlaku untuk semua orang Maluku, baik Islam, Kristen, dan
pengikut agama lainnya.

9


Guna mewujudkan perdamaian abadi di bumi Maluku,

maka Program Pasca Sarjana Teologi Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM)
meluncurkan Pusat Studi Perdamaian (PSP). Sebelum dilakukan peluncuran PSP
diawali dengan diskusi publik tentang upaya untuk mewujudkan perdamaian di
Ambon dengan menghadirkan panelis dari akademis Tony Pariela, Abdin Wakano
dan Jacky Manuputty.10
Meskipun demikian, studi rekonsiliasi masih menyisahkan tanda tanya
tentang peran simbol dalam proses penyelesaian konflik di Ambon. Padahal, posisi
simbol sejatinya tidak dapat disepelehkan sebagai salah satu cara yang tepat untuk
mengatasi konflik, bahkan dengan pemahaman dan pemaknaan terhadap nilai-nilai
yang melekat pada sebuah simbol dapat meminimalisir tejadinya sebuah konflik.
Menurut Fauzi Fashri, simbol berperan untuk membentuk, melestarikan, dan merubah
realitas. Kekuatan simbol mengandung energi magis yang bisa membuat orang
percaya, mengakui, serta tunduk atas kebenaran yang diciptakan oleh tata simbol.11
Untuk mengisi ruang kosong ini, peneliti akan melakukan pengkajian yang
terfokus pada Gong Perdamaian Dunia di Ambon. Gong Perdamaian Dunia
didatangkan dari luar Ambon, tetapi orang Maluku (Ambon) juga mempunyai

Izak Lattu, ”Culture and Christian-Muslim Dialogue in Moluccas-Indonesia,” Interreligious

Insight 10, no 1 (2012), 45.
10
Tony Pariella membawakan makalah dengan judul Peran Kearifan Lokal Dalam Penyelesaian
Konflik di Maluku dan Tantangan ke Depan.Sementara Abidin Wakano membawa makalah dengan
judul Reposisi Peran Agama - Agama di Maluku Dalam Upaya Membangun Perdamaian.Jacky
Manuputty membawakan makalah dengan judul Membangun Dialog Lintas Iman.
Sumber.http://www.siwalimanews.com/post/teologia_ukim_luncurkan_pusat_studi_perdamaian.
11
Fauzi Fashri, Penyikapan Kuasa Simbol; Apropriasi Reflektif Pemikiran Piere Bourdieu
(Yoygakarta: Juxtapose, 2007), 17.
9

4

kedekatan dengan gong sebagai salah satu alat untuk menarik perhatian orang,
terutama dalam acara-acara resmi. Gong ini diletakan di Kota Ambon pada tahun
2009 dan berlokasi di Taman Pelita, pusat kota Ambon, yang merupakan satu dari
tiga buah gong perdamaian yang ada di Indonesia. Dua gong lainnya terletak di Bali
dan Ciamis, Jawa Barat. Penempatan salah satu gong perdamaian ini dikarenakan
sejarah tersendiri yaitu konflik komunal yang pernah dialami oleh provinsi Maluku.

Gong ini mempunyai diameter 2 meter dengan warna keemasan, di dalamnya terdapat
bendera dari seluruh negara dan juga simbol-simbol keagamaan. Di tengahnya bentuk
bumi yang bertuliskan World Peace Gong dan Gong Perdamaian Dunia. Terdapat
juga lambang Pancasila sebagai ideologi negara di bagian atas penyangga gong
tersebut. Selain Gong, di bagian bawah monumen terdapat juga museum yang di
dalamnya terdapat foto-foto yang menceritakan konflik yang pernah terjadi di
Ambon.
Untuk meneliti hal ini, penulis akan menggunakan teori Lisa Schirch tentang
Ritual and Symbol in Peacebuilding. Menurut Schrich, manusia adalah satu-satunya
hewan yang menggunakan simbol-simbol. Simbol merupakan komunikasi secara
tidak langsung, pesannya terkadang tidak tampak jelas dan berubah-ubah dan
memungkinkan adanya interpretasi ganda. Langkah pertama menuju dimensi
simbolis perdamaian adalah mengakui adanya efek yang mendalam bahwa tindakan
simbolik ada dalam kemanusiaan. Tindakan simbolik dapat menembus hal-hal yang
tidak dapat ditembusi dan menyampaikan pesan yang kompleks tanpa mengatakan
sepatah kata pun. Di tangan manusia, kekuatan simbol dapat digunakan untuk hal
baik maupun buruk. Jelasnya, kekuatan tindakan simbolis harus digunakan untuk
5

membangun perdamaian dalam dunia yang penuh dengan teror.12 Dengan demikian,

peranan simbol dalam hidup bermasyarakat maupun bergereja tidak dapat
disepelehkan. Sebab pemaknaan yang benar terhadap fungsi dan nilai simbol dapat
menjaga dan mengatur pola hidup masyarakat dengan baik. Namun, penyalahgunaan
fungsi simbol malah akan berdampak pada ketidakteraturan hidup dan berujung pada
konflik.
Sedangkan, fungsi ritual adalah pertama ritual sebagai tindakan simbolik.
Tindakan simbolik sebagai tindakan fisik yang membutuhkan interpretasi. Pesan dari
tindakan simbolik tidak secara langsung membahas orang atau peristiwa yang
sementara terjadi, tetapi komunikasi melalui simbol, mitos, dan metafora yang
mengizinkan beragam interpretasi. Kedua, ritual sering berada pada ruang khusus
yang beranjak dari kehidupan sehari-hari dalam cara yang berbeda-beda. Salah satu
cara dari mengidentifikasi ritual adalah dengan menganalisa konteks dimana tindakan
symbolic itu berada. Ketiga, ritual bertujuan untuk membentuk (membangun) atau
merubah pandangan seseorang, identitas, dan hubungan.13
Dimensi dari konflik simbolik atau kebudayaan dengan pendekatan untuk
rekonsiliasi dan transformasi konflik adalah dengan melibatkan masyarakat dalam
proses yang memungkinkan untuk cara-cara fisik, sensual, dan emosional dari
mengetahui dan komunikasi. Fokus pada perubahan persepsi, menggunakan dialog
untuk menemukan nilai-nilai bersama, dan mengenali kebutuhan identitas, serta


12

2005), 4.
13

Lisa Schrich, Ritual and Symbol in Peacebuilding (United State of America: Kumarian,
Schrich, Ritual and Symbol in Peacebuilding … 16-17

6

membangun cara pandang bersama untuk berkomunikasi tentang masalah melalui alat
simbolik berupa mitos, metafora, dan ritual.14
Kebudayaan sebagai gaya hidup masyarakat memerlukan sebuah tatanan atau
tata tertib yang berfungsi untuk mengatur pola hidup masyarakat dari munculnya
bentrokan atau konflik yang berakar dari perbedaan ideologi. Salah satu bentuk
tatanan yang dimaksud adalah simbol. Posisi dan fungsi simbol dalam masyarakat
yang berbudaya untuk menciptakan kesadaran kolektif.15 Gong Perdamaian Dunia
menjadi simbol dari keanekaragaman sebuah persatuan. Menurut Erwin Goodenough
dalam Jewish Symbols in Graeco-Roman Period, simbol adalah barang atau pola
yang apa pun sebabnya bekerja pada manusia, dan berpengaruh pada manusia,

melampaui pengakuan semata-mata tentang apa yang disajikan secara harfiah dalam
bentuk yang diberikan. Simbol memiliki maknanya sendiri atau nilainya sendiri dan
bersama dengan ini daya kekuatannya sendiri untuk menggerakan manusia.16
Masyarakat di Ambon secara umum mengetahui bahwa hadirnya Gong Perdamaian
Dunia di Maluku sebagai simbol peringatan terhadap konflik yang terjadi. Oleh
karena itu pemerintah pusat bahkan daerah berharap Gong Perdamaian ini menjadi
simbol rekonsiliasi di Maluku (Ambon). Namun kenyataannya, Gong Perdamaian
Dunia ini terlihat fungsinya hanya sebagai tujuan pariwisata dari para turis yang
datang ke Ambon. Gong Perdamaian Dunia yang diletakan di Ambon mengalami
pergeseran makna yang sejatinya berfungsi untuk menyuarakan perdamaian terkhusus

Schrich, Ritual and Symbol in Peacebuilding … 33
F. W. Dilliston, Daya Kekuatan Simbol: The Power Of Symbols (Yogyakarta: Kanisius,
2006), 193, 196.
16
Dilliston, Daya Kekuatan Simbol … 19.
14

15


7

ke seluruh pelosok wilayah di Ambon. Gong Perdamaian serasa tidak memiliki
kekuatan untuk menggerakan masyarakat Ambon untuk meredam potensi munculnya
konflik.
Hal ini terlihat jelas bahwa meski Gong Perdamaian Dunia diletakan di kota
Ambon tahun 2009, sempat terjadi konflik di tahun 2011 yang mengakibatkan
terbakarnya kantor pusat Universitas Kristen Indonesia Maluku. Selain itu, konflik
daerah misalnya Mamala-Morela, Kabau-Rohomi, Pelauw-Kailolo, Porto-Haria, dan
Laha-Tawiri. Gong Perdamaian Dunia ini seolah-olah hanya sebagai penghias taman
kota Ambon, dan gaung gongnya tidak terdengar. Padahal seharusnya, Gong
Perdamaian Dunia harus menjadi identitas orang Ambon, sehingga mereka tidak
semestinya terpancing oleh oknum-oknum yang berupaya untuk memicu konflik,
baik konflik tersebut merupakan konfliik antar agama, antar budaya, suku maupun
daerah.
Realitas inilah yang hendak dikaji oleh penulis, dengan melihat latar belakang
dan penyebab meredamnya kekuatan Gong Perdamaian Dunia di Maluku sebagai
Simbol Perdamaian dan hubungan lintas Agama di Maluku. Oleh sebab itu, penulis
mengambil judul: Simbol dan Rekonsiliasi (Gong Perdamaian Dunia Sebagai
Simbol Rekonsiliasi Lintas Agama di Ambon).

8

1.2. Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada permasalahan di atas maka rumusan pertanyaan penelitian
adalah Bagaimana masyarakat Ambon memaknai Gong Perdamaian Dunia yang
berasal dari inisiatif pemerintah pusat dan Komite Perdamaian Dunia sebagai simbol
rekonsiliasi terkait dengan pemahaman masyarakat tentang gong lokal?
Tujuan penelitian adalah menganalisa pemaknaan Gong Perdamaian Dunia
yang berasal dari inisiatif pemerintah pusat dan Komite Perdamaian Dunia sebagai
simbol rekonsiliasi lintas agama terkait dengan pengalaman warga kota Ambon
tentang peran gong lokal.
1.3. Manfaat Penelitian
Selain mencapai tujuan penelitian yang telah diuraikan di atas, melalui
penelitian ini penulis berharap dapat memberikan kontribusi bagi masyarakat,
Pemerintah kota Ambon, dan Gereja Protestan di Maluku. Kontribusi tersebut tidak
lain untuk meningkatkan pemaknaan Gong Perdamaian Dunia sebagai symbol
rekonsiliasi dan identitas orang Maluku dalam pengaplikasian hubungan lintas agama
yang tidak menganggap perbedaan sebagai musuh yang harus dibabat, tetapi Gong
Perdamaian Dunia menjadi daya yang menggerakan seluruh masyarakat demi
mewujudkan perdamaian. Akhirnya, tentu penulis berharap penelitian ini dapat
bermanfaat bagi penulis sendiri. Penelitian ini kiranya ke depan dapat menjadi
semangat bagi penulis untuk mengabdi kepada masyarakat melalui kompetensi
akademis dalam spesifikasi ilmu sosiologi agama.

9

1.4. Metode Penelitian
Mempertimbangkan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang hendak
dicapai, maka dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode yang digunakan
yaitu deskriptif-analitis. Deskriptif oleh karena penelitian ini hendak mendeskripsikan
gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dari fenomena
yang merupakan objek penelitian.17 Metode deskriptif-analitis yaitu suatu metode
untuk mengumpulkan data dan menyusun data, kemudian diusahakan adanya analisis
dan interpretasi atau penafsiran data-data tersebut.18
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan kualitatif,
yang menekankan pada quality atau hal yang terpenting dari sifat suatu barang/jasa
berupa kejadian, fenomena, dan gejala sosial. Penelitian ini dilakukan karena peneliti
ingin

mengeksplor

fenomena-fenomena

yang

tidak

dapat

dikuatitatifkan.19

Pendekatan ini tidak menggunakan pertanyaan yang rinci seperti halnya pendekatan
kuantitatif. Pertanyaan biasa dimulai dengan yang umum, tetapi kemudian meruncing
dan mendetail. Bersifat umum karena peneliti memberikan peluang yang seluasluasnya kepada partisipan mengungkapkan pikiran dan pendapatnya tanpa
pembatasan oleh peneliti. Informasi partisipan tersebut kemudian diperuncing oleh
peneliti sehingga terpusat. Hal ini disebabkan oleh penekanan pada pentingnya
informasi dari partisipan yang adalah sumber.20

17

Muhammad Nazir, Metode Penelitian (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), 89.
Winarno Surakhmad, Pengantar Penulisan Ilmiah: Dasar Metode dan Teknik(Bandung :
Tarsito, 1985), 139.
19
Djam’an Satori dan Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta,
2010), 22-23.
20
J. R. Raco, Metode Penelitian Kualitatif, Jenis, Karakteristik, dan Keunggulannya (Jakarta:
Widya Sari Indonesia, 2010), 10.
18

10

Pengumpulan data dilakukan dengan observasi terhadap lokasi dan objek
penelitian, wawancara pada narasumber dan penelusuran terhadap dokumendokumen terkait dengan penelitian yang dilakukan. Observasi adalah teknik yang di
dalamnya peneliti langsung turun ke lapangan untuk mengamati perilaku dan
aktivitas individu-individu di lokasi penelitian. Dalam pengamatan ini, peneliti
merekam/mencatat-baik dengan cara terstruktur maupun semi terstruktur (misalnya
dengan mengajukan sejumlah pertanyaan yang memang ingin diketahui oleh peneliti)
aktivitas-aktivitas dalam lokasi penelitian.
Wawancara adalah tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara
langsung. Pewawancara disebut interviewer, sedangkan orang yang diwawancara
disebut interviewee. Wawancara berguna untuk mendapatkan data dari tangan
pertama (primer) sebagai pelengkap teknik pengumpulan lainnya untuk menguji hasil
pengumpulan data lainnya.21 Wawancara dilakukan terhadap tokoh adat, aktivis
rekonsiliasi kota Ambon, staf pemerintah kota Ambon, dan masyarakat kota Ambon).
Studi dokumentasi membuat peneliti dapat memperoleh informasi bukan dari
orang sebagai narasumber, tetapi informasi dari macam-macam sumber tertulis atau
dari dokumen yang ada pada informan dalam bentuk peninggalan budaya, karya seni,
dan karya pikir. Studi dokumentasi yatu mengumpulkan dokumen dan data-data yang
diperlukan dalam permasalahan penelitian lalu ditelaah secara intens sehingga dapat
mendukung, menambah kepercayaan, dan pembuktian suatu kejadian.22

21

Husaini Usman & Purnomo S. Akbar, Metodologi Penelitian Sosial (Jakarta: Bumi Aksara.
2008), 55-56.
22
Djam’an Satori dan Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif, .. , 148-149.

11

1.5. Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian ini terdiri atas lima bab. Bab I berisikan pendahuluan
penelitian. Dalam pendahuluan penelitian, penulis akan mengemukakan tentang Latar
Belakang Penelitian, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode
Penelitian, serta Sistematika Penulisan. Pendahuluan Penelitian dikemukakan sebagai
pengantar ke dalam kajian substansial dari penelitian.
Setelah pendahuluan penelitian, penulis akan memaparkan dalam Bab II yaitu
landasan teoritik. Landasan teoritik tentang simbol dan perdamaian (rekonsiliasi).
Teori ini akan penulis kaji untuk mengkonstruksi gagasan gong perdamaian dunia
sebagai simbol rekonsiliasi hubungan lintas agama di Maluku.
Bab III adalah bagian yang memuat gambaran umum lokasi penelitian dan
konsepsi tentang gong perdamaian dunia di Maluku sebagai simbol rekonsiliasi
hubungan lintas agama bagi masyarakat Maluku.
Setelah itu, dalam Bab IV penulis akan memaparkan analisa yang
berkesinambungan antara kerangka konseptual dengan hasil penelitian di lapangan.
Di Bab V penulis akan memaparkan bagian akhir dari penulisan yang berisi penutup.
Dalam bagian ini penulis melakukan inferensi secara komprehensif dari setiap
tahapan penulisan penelitian yang telah dilalui. Penulis juga akan mengupayakan
untuk

memberikan

saran-saran

yang difungsikan

sebagai

konstribusi

dan

rekomendasi yang dapat dielaborasi dalam penelitian selanjutnya.

12

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Keberadaan dan Kegiatan Tao sebagai Agama T2 752011001 BAB I

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gereja dan Rekonsiliasi: memahami peran sosiologis GPM dalam proses rekonsiliasi konflik di Negeri Porto-Haria, Saparua-Maluku T2 752014011 BAB I

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gereja dan Rekonsiliasi: memahami peran sosiologis GPM dalam proses rekonsiliasi konflik di Negeri Porto-Haria, Saparua-Maluku T2 752014011 BAB II

0 0 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gereja dan Rekonsiliasi: memahami peran sosiologis GPM dalam proses rekonsiliasi konflik di Negeri Porto-Haria, Saparua-Maluku T2 752014011 BAB IV

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gereja dan Rekonsiliasi: memahami peran sosiologis GPM dalam proses rekonsiliasi konflik di Negeri Porto-Haria, Saparua-Maluku T2 752014011 BAB V

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gereja dan Rekonsiliasi: memahami peran sosiologis GPM dalam proses rekonsiliasi konflik di Negeri Porto-Haria, Saparua-Maluku

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pela Gandong sebagai Konseling Orang Basudara dan Agen Perdamaian Konflik Islam-Kristen di Ambon T2 752012008 BAB I

0 0 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Simbol dan Rekonsiliasi Gong Perdamaian Dunia sebagai Simbol Rekonsiliasi Lintas Agama di Ambon

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Simbol dan Rekonsiliasi Gong Perdamaian Dunia sebagai Simbol Rekonsiliasi Lintas Agama di Ambon T2 752015017 BAB V

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Simbol dan Rekonsiliasi Gong Perdamaian Dunia sebagai Simbol Rekonsiliasi Lintas Agama di Ambon T2 752015017 BAB II

0 0 28