Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Simbol dan Rekonsiliasi Gong Perdamaian Dunia sebagai Simbol Rekonsiliasi Lintas Agama di Ambon T2 752015017 BAB II

BAB II
SIMBOL DAN REKONSILIASI
Dalam membangun hubungan sosial antar individu dengan individu
maupun antar kelompok dalam suatu masyarakat, kehadiran simbol sangatlah
penting. Penggunaan simbol tidak hanya berlaku pada satu atau dua masyarakat,
namun dari unit terkecil dalam masyarakat sampai pada skala yang besar, tidak
ada yang luput dari penggunaan bentuk-bentuk simbol. Simbol membantu
manusia untuk berinteraksi sekaligus sebagai sebuah alat yang turut memiliki
peranan besar mengatur tata hidup suatu masyarakat. Sebuah simbol dapat
menampung berbagai makna dari si pengguna simbol itu sendiri.
Penghayatan terhadap sebuah simbol yang berfungsi memberi daya untuk
menggerakan manusia

membuat

kehadiran

sebuah simbol

tidak dapat


disepelehkan begitu saja. Simbol dapat menjadi sebuah pesan yang menyalakan
semangat tentang perdamaian atau malah sebaliknya. Dengan demikian, kehadiran
sebuah simbol dalam masyarakat harus dimaknai dengan jelas dan pasti oleh
penggunanya. Pada bab ini, penulis menguraikan secara konseptual tentang
simbol dan rekonsiliasi hubungan lintas agama.

2.1.

Simbol: Pengertian, Fungsi dan Makna.
Kata simbol berasal dari bahasa Yunani yaitu ”symbollein” yang berarti

mencocokan. Simbol diakui banyak menghubungkan dua entitas, dan kedua
bagian itu disebut symbola. Kata ini lambat laun berarti tanda pengenalan, dalam
pengertian yang lebih luas, misalnya untuk anggota-anggota sebuah masyarakat
rahasia atau minoritas yang dikejar-kejar. Sebuah simbol pada mulanya adalah
13

sebuah benda, tanda, atau sebuah kata yang digunakan untuk saling mengenali
dan dengan arti yang sudah dipahami. Sebuah simbol bertujuan untuk
menghubungkan atau menggabungkan. Dalam pengertian sebagai symbollein,

simbol dapat menggambarkan atau mengingatkan atau menunjuk kepada apa yang
disimbolkan tersebut.1
Beberapa orang melihat simbol dan ritual sebagai hal yang membosankan,
tidak berguna, dan jauh dari sentuhan kenyataan sehari-hari yang penuh makna.
Banyak sarjana dididik dalam ilmu pengetahuan Barat memberhentikan emosi,
rasa, dan simbol sebagai hal yang tidak efektif atau tidak rasional untuk alat
berkomunikasi. Pendukung ritual dan alat-alat simbolik lainnya biasanya adalah
mereka yang aktif mengejar pengetahuan spiritual atau berasal dari bidang
akademik yang “lebih lembut” seperti teologi, psikologi, antropologi, dan
sosiologi. Ritual adalah fakta kehidupan. Kehidupan manusia adalah drama, ritual
menambah cahaya dan tindakan untuk panggung yang penuh dengan aktor.
Menjelajahi konsep dari ritual dan simbol berarti mempelajari hal yang sangat
menarik dan element yang kuat dari kehidupan manusia.2
Perkembangan selanjutnya menyatakan bahwa sebenarnya arti simbol
sangatlah penting. Namun, ada ketidakpastian tentang bagaimana simbol-simbol
muncul, bagaimana simbol-simbol berpengaruh, dan bagaimana simbol kerap kali
memudar artinya. Sistem simbol yang teramat penting adalah bahasa-bahasa
manusia berupa segala macam gerak-gerik dan kegiatan tubuh juga mempunyai
arti simbolis. Penyembelihan binatang, pemberian kado, proses memasak, cara-


1

F. W. Dilliston, Daya Kekuatan Simbol: The Power Of Symbols (Yogyakarta: Kanisius,
2006), 21.
2
Lisa Schrich, Ritual and Symbol in Peacebuilding (United State of America: Kumarian,
2005), 15.

14

cara makan dan minum, menari dan bersandiwara, semua itu dapat berfungsi
sebagai simbol dan berhubungan dengan struktur masyarakat yang menjadi
tempat panggungnya. Kebenaran asasi mengenai simbol-simbol adalah bahwa
simbol berkaitan erat dengan kohesi sosial dan transformasi sosial. Benar bahwa
seorang individu mungkin bertanggung jawab atas penciptaan bentuk simbolis
yang baru dan pengaitannya dengan gagasan dan nilai yang baru, tetapi jika
semua itu tidak memiliki hubungan dengan yang lama, tidak mungkin diterima.
Setiap individu telah dibentuk dalam sistem simbolis bersama dan meskipun
sumbangannya sendiri mungkin mengubahnya, sumbangan ini tidak akan
menggantikan sistem simbolis itu. Simbol-simbol dan masyarakat saling memiliki

dan saling mempengaruhi.3
Selama evolusi manusia telah ada corak-corak masyarakat yang lain,
tergantung pada gaya-gaya hidup khusus yang diperlukan untuk kelangsungan
hidup. Di lain pihak, telah ada orang-orang yang mendiami daerah-daerah dunia
yang kurang ramah, yang tidak tenang, selalu mencari, bersitegang dengan
lingkungan alam mereka. Sistem komunikasi yang digunakan adalah pertamatama sistem saling memberi sinyal dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan
praktis atau menghadapi keadaan darurat praktis dan mempergunakan alat-alat
simbolis, entah untuk mengenang pengalaman masa lalu, untuk meramal realisasi
hubungan-hubungan yang baik dengan roh, binatang, dan sesama manusia di masa
yang akan datang. Di lain pihak, ada orang-orang yang menetap, orang-orang
yang mendiami daerah-daerah yang lebih ramah, alam menjadi sahabat untuk
kelangsungan hidup sehari-hari yang relatif teratur. Sistem komunikasi pertama-

3

Dilistone, Daya Kekuatan Simbol … 9, 22.

15

tama berupa sistem tanda penataan kehidupan yang menunjukan tugas-tugas yang

harus dilakukan dan memberi peran yang sesuai kepada beberapa anggota
masyarakat

dengan

tujuan

menjaga

kelestarian

sumber

alam

untuk

melangsungkan hidup. Simbol tetap berkaitan dengan kegiatan hubungan manusia
sehari-hari,


tetapi

mempunyai

fungsi

tambahan,

yaitu

merayakan

dan

mengabadikan siklus kehidupan dari dunia alami yang teratur dan memperkuat
kesesuaian siklus. 4
A.N. Whitehead mengatakan bahwa pikiran manusia berfungsi secara
simbolis apabila beberapa komponen pengalamannya mengunggah kesadaran,
kepercayaan, perasaan, dan gambaran mengenai komponen-komponen lain
pengalamannya. Perangkat komponen yang kemudian membentuk makna simbol.

Keberfungsian organis yang menyebabkan adanya peralihan dari simbol kepada
makna itu akan disebut referensi. Sebuah simbol sesungguhnya mengambil bagian
dalam realitas yang membuatnya dapat dimengerti. Sebuah simbol jauh melebihi
tanda lahir dan terlihat arbitrer untuk sebuah konsepsi yang abstrak, nilainya yang
tinggi terletak dalam suatu substansi bersama dengan ide yang disajikan. Fungsi
simbol adalah merangsang daya imaginasi, dengan menggunakan sugesti, asosiasi
dan relasi. 5
Raymond Firth menulis tentang hakikat simbolisme terletak dalam
pengakuan bahwa hal yang satu mengacu (mewakili) pada hal yang lain dan
hubungan antara keduanya pada hakikatnya adalah hubungan hal yang konkret
dengan yang abstrak, yang khusus dengan yang umum. Hubungan itu sedemikian
rupa sehingga simbol dari dirinya sendiri tampak mempunyai kemampuan untuk
4
5

Dillistone, Daya Kekuatan Simbol ... 23.
A.N. Whitehead, Symbolism (Cambridge: Cambridge University Press, 1928), 9.

16


menimbulkan dan menerima akibat-akibat yang dalam keadaan lain hanya
diperuntukan bagi objek yang diwakili oleh simbol itu dan akibat-akibat itu kerap
kali mempunyai muatan emosional yang kuat. Firth memandang simbol
mempunyai peranan yang sangat penting dalam urusan-urusan manusia; manusia
menata dan menafsirkan realitasnya dengan simbol-simbol dan bahkan
merekonstruksi realitasnya itu dengan simbol. Simbol tidak hanya berperan untuk
menciptakan tatanan, fungsi yang dapat dianggap pertama-tama bersifat
intelektual. Sebuah simbol dapat berhasil memusatkan pada dirinya sendiri
seluruh hal yang semestinya hanya menjadi milik realitas yang diwakili. Menurut
Firth, simbol dapat menjadi sarana untuk menegakkan tatanan sosial atau untuk
menggugah kepatuhan-kepatuhan sosial. Kesejahteraan seluruh masyarakat akan
dapat dipelihara hanya apabila semua hubungan diatur dan digambarkan dalam
suatu sistem simbol. 6
Cliford Geertz mengungkapkan bahwa bentuk-bentuk simbolis dalam
suatu konteks sosial yang khusus mewujudkan suatu pola atau sistem yang dapat
disebut kebudayaan. Menafsirkan suatu kebudayaan adalah menafsirkan sistem
bentuk simbolnya dan dengan demikian menurunkan makna yang autentik. Cara
dan pandangan hidup saling melengkapi kerap kali melalui satu bentuk simbolis.
Hal ini memberikan gambaran tatanan yang komprehensif dan pada waktu yang
sama mewujudkan pola sintetis perilaku sosial. Ada kongruensi dan kesesuaian

antara gaya hidup dan tatanan universal dan hal ini terungkap dalam sebuah
simbol yang terkait dengan keduanya. Geertz mengkonsepkan simbol sebagai
setiap objek, tindakan, peristiwa, sifat atau hubungan yang dapat berperan sebagai

6

Raymond Firth, Symbols: Public and Private (Allen and Uwin), 1973

17

wahana suatu konsepsi, dan konsepsi ini adalah makna simbol. Penafsiran
kebudayaan pada dasarnya adalah penafsiran simbol-simbol, sebab simbol bersifat
teraba, tercerap, umum, dan konkret.7
Simbol menurut Mary Douglas berkaitan dengan bahasa manusia dan tata
cara yang dipengaruhi secara mendalam oleh masyarakat dan sebaliknya bahwa
setiap masyarakat menemukan simbol-simbolnya yang autentik dengan menimba
dari analogi-analogi yang diberikan oleh perilaku berpola tubuh manusia. Douglas
menekankan pentingnya simbol-simbol untuk menata masyarakat. Selain itu,
bentuk-bentuk simbolis juga diperlukan untuk pengalaman sosial dalam waktu,
untuk perubahan, interaksi, yang harus dipandang sebagai simbol historis. Simbol

historis yaitu simbol yang dibangun, dipolakan, dibentuk oleh peristiwa-peristiwa
penting dalam pengalaman sosial.

8

Victor Turner menambahkan hal yang penting bahwa dalam simbol ada
semacam kemiripan antara hal yang ditandai dengan maknanya, sedangkan tanda
tidak mempunyai kemiripan sepeti itu. Tanda hampir selalu ditata dalam sistemsistem tertutup, sedangkan simbol-simbol (khusus simbol yang dominan) dari
dirinya sendiri bersifat terbuka secara semantis. Makna simbol tidak sama sekali
tetap. Makna baru dapat saja ditambahkan oleh kesepakatan kolektif pada
wahana-wahana simbolis yang lama. Individu-individu dapat menambahkan
makna pribadi pada makna umum sebuah simbol. Simbol-simbol yang dominan
menduduki tempat yang penting dalam sistem sosial mana pun, sebab makna

7

Cliford Geertz, Antthropological Approaches to the Study of Religion (London and New
York: Routledge, 1966).
8
Mary Douglas, Natural Symbols:Explorations in Cosmology (London and New York:

Rotledge, 1970).

18

simbol-simbol itu pada umumnya tidak berubah dari zaman ke zaman dan dapat
dikatakan merupakan kristalisasi pola aliran tata cara yang dipimpinnya. Simbolsimbol yang lain membentuk satuan perilaku ritual yang lebih kecil, tetapi bukan
sekadar embel-embel. Simbol-simbol itu mempengaruhi sistem-sistem sosial dan
maknanya harus diturunkan dari konteks khusus berlangsungnya simbol-simbol
itu. 9

2.1.1. Ciri Khas Simbol.
Paul Tillich membedakan antara simbol dan tanda. Menurutnya, masingmasing memang menunjuk pada sesuatu yang lain di luar dirinya sendiri. Namun,
bila suatu tanda bersifat univok, arbiter

dan dapat diganti, karena tidak

mempunyai hubungan intrinsik dengan sesuatu yang ditunjuknya itu, sebuah
simbol sungguh-sungguh mengambil bagian dalam realitas yang ditunjuknya dan
yang sampai tingkat tertentu diwakilinya. Simbol berfungsi seperti ini tidak secara
mandiri tetapi dalam kekuatan hal yang ditunjuknya.10
Tillich memaparkan ciri khas simbol yaitu:
1. Simbol bersifat figurative. Simbol selalu menunjuk kepada sesuatu di
luar dirinya sendiri, sesuatu yang tingkatannya lebih tinggi.
2. Simbol bersifat dapat dicerap, baik sebagai bentuk objektif maupun
sebagai konsepsi imajinatif.
3. Simbol memiliki daya kekuatan yang melekat. Ciri ini memberi
kepada simbol realitas yang hampir hilang daripadanya dalam
pemakaian sehari-hari.
9

Victor Turner and Edith Turner, Image and Pilgrimage in Christian Culture:
Anthropological Perspective (New York: Columbia University Press, 1978).
10
Paul Tillich, Systematic Theology 3 (Chicago: University of Chicago Press, 1964).

19

4. Simbol mempunyai akar dalam masyarakat dan mendapat dukungan
dari masyarakat. Ciri ketiga mungkin tampak bersifat individual
semata-mata. Namun, Tillich kemudian menyatakan bahwa “jika
sesuatu menjadi simbol baginya (yakni bagi individu itu), maka juga
menjadi simbol dalam hubungannya dengan masyarakat yang pada
gilirannya dapat mengenali simbol itu.

2.1.2

Hidup dan Matinya Simbol.
Dalam tulisannya The Life and Death of Symbols, Anthony Bridge

menjelaskan alasan matinya simbolisme. Dalam kesenian (dan hendak ditegaskan
juga dalam teologi) suatu gaya hidup selama simbol-simbol terus digunakan
sebagai simbol yang menunjuk kepada sesuatu yang lebih jauh dari dirinya
sendiri. Segera setelah sebuah simbol digunakan untuk kepentingannya sendiri
dan diperlakukan sebagai fakta, artinya sebagai realitas yang sudah cukup dalam
dirinya sendiri, simbol itu mati. Selanjutnya, Bridge menyarankan dua sarana
untuk mengatasi masalah matinya simbol. Di satu pihak, ia mendesak agar
diciptakannya simbol-simbol baru. Di lain pihak, (langkah yang lebih dapat
ditempuh) haruslah dilakukan segala usaha untuk menunjukan hubungan antara
simbol lama dan realitas yang ditunjuknya. Simbol terus hidup hanya sepanjang
simbol memperkuat pengertian seseorang atau masyarakat tentang realitas ilahi
yang menurut maksud semula, digambarkan atau dihadirkan oleh simbol itu.
Sekali simbol digunakan untuk kepentingannya sendiri untuk mengungkapkan

20

fakta yang tidak dapat disangsikan, maka kegunaannya habis. Simbol itu menjadi
sandi yang tidak berdaya hidup.11
Alasan lain penyebab dari kematian simbol karena adanya upaya untuk
memberikan kepada simbol itu tafsiran yang sama sekali tetap, terbatas, tidak
boleh berubah. Literalisme (harfiahisme), kesesuaian ketat, kaku, satu lawan satu
antara simbol dan realitas, menghapuskan segala konotasi, pesan tambahan, dan
sugesti imajinatif yang selalu dipunyai oleh sebuah simbol sejati. Simbolisme
tidak dapat hidup dengan literalisme. Namun, juga dapat dinyatakan pendapat
bahwa manusia, tanpa simbolisme, tidak dapat sungguh-sungguh hidup. Jika
sebuah simbol harus tetap memiliki daya hidupnya, simbol itu harus senantiasa
diselaraskan dan ditafsirkan kembali di dalam konteks yang baru.12

2.1.3.

Simbol Dalam Ritual.
Dahulu ritual merupakan kegiatan yang secara dominan bersifat

keagamaan, diarahkan kepada daya-daya kuasa atau kemungkinan-kemungkinan
transenden. Dewasa ini lebih besar kemungkinan bahwa ritual diungkapkan dalam
pawai, protes, nyanyian-nyanyian, demo, yang ditujukan kepada tercapainya suatu
keuntungan duniawi langsung. Dengan cara-cara yang berbeda, proses ritual terus
berlangsung hingga kini dengan melibatkan kehadiran simbol dalam tindakan atau
aksi simbolik. 13
Ritual menggunakan tindakan simbolik untuk berkomunikasi membentuk
atau mengubah pesan dalam ruang sosial yang unik. Fungsi ritual terbagi tiga.
Pertama, ritual adalah tindakan simbolik. Tindakan simbolik sebagai tindakan
11

Anthony Bridge, The Life and Death of Symbols (1958).
Dillistone, Daya Kekuatan Simbol … 212-213.
13
Dillistone, Daya Kekuatan Simbol ... 115.

12

21

fisik yang membutuhkan interpretasi. Pesan dari tindakan simbolik tidak secara
langsung membahas orang atau peristiwa yang sementara terjadi, tetapi
komunikasi melalui simbol, mitos, dan metafora yang mengizinkan beragam
interpretasi. Kedua, ritual dan simbol sering berada pada ruang khusus yang
beranjak dari kehidupan sehari-hari dalam cara yang berbeda-beda. Salah satu
cara dari mengidentifikasi ritual adalah dengan menganalisa konteks dimana
tindakan symbolic itu berada. Ketiga, ritual dan simbol bertujuan untuk
membentuk (membangun) atau merubah pandangan seseorang, identitas, dan
hubungan.14

2.1.4.

Tipe-tipe ritual.

1. Antara Tradisional dan Improvisasi.
Ritual sering didefinisikan sebagai suatu tindakan yang tradisional dalam
arti bahwa hal itu merupakan satu set makna yang berulang dari waktu ke
waktu. Beberapa ritual tradisional kehilangan popularitas saat ini.
Margareth Mead mengklain bahwa banyak orang Amerika yang bosan
dengan pengulangan sedang mengembangkan ritual sekuler baru untuk
mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh kebosanan ritual. Sementara
beberapa orang melihat ritual sebagai “antithesis dari kreativitas”, Bateson
mengatakan bahwa orang mengimprovisasi ritual yang bermakna baru
dalam hidup mereka melalui penciptaan kinerja bersama dalam banyak
ritual interaksi manusia.

14

Schrich, Ritual and Symbol in Peacebuilding … 16-17.

22

Ritual improvisasi sering berbaur dengan simbol tua dengan cara-cara baru
untuk membuat ritual baru dengan nuansa akrab. Ritual mencoba untuk
memberikan kesatuan melalui waktu dengan menghubungkan peristiwa
masa lalu dengan keadaan sekarang. Dalam cara yang berbeda-beda, ritual
improvisasi merekonstruksi dan menenun simbol akrab atau tradisional
dengan yang baru, mewakili yang baru, dan konteks yang mengalami
perubahan. 15
2. Antara Formal dan Informal.
Kata ritual sering dikaitkan dengan formalitas. Mead menekankan
pentingnya memiliki “kesadaran ritual”. Suatu tindakan dikatakan bukan
ritual jika peserta tidak menyadari bahwa itu adalah ritual. Pada umumnya
orang mengetahui, sebagai contoh, bahwa mereka berpartisipasi dalam
ritual ketika mereka berada dalam persekutuan, acara pernikahan, atau
menghadiri pemakaman. Jika formalitas merupakan persyaratan dari ritual,
kemudian ritual informal seperti makan atau berdansa mungkin lebih baik
disebut tindakan simbolik. Dengan demikian, ritual informal adalah saat
peserta kurang atau bahkan tidak menyadari bahwa berpartisipasi dalam
ritual.16
3. Antara Membentuk dan Mengubah.
Orang menggunakan ritual untuk dua hal yaitu memastikan dan
menciptakan nilai-nilai dan struktur yang menciptakan rasa dari
komunitas. Ritual membantu proses sosialisasi untuk mengajarkan aturan,
nilai-nilai, dan struktur masyarakat kepada anggota baru dari masyarakat.
15
16

Schrich, Ritual and Symbol in Peacebuilding … 20-22.
Schrich, Ritual and Symbol in Peacebuilding … 22.

23

Anak-anak belajar tentang nilai-nilai dalam masyarakat melalui ritual.
Ritual juga menegaskan tentang nilai-nilai yang orang dewasa ketahui saat
diajarkan di masa muda mereka. Beberapa ritual membantu bentuk dan
mengabadikan status quo dalam masyarakat. Mengubah ritual, di sisi lain,
tantangan dan mengubah status quo. Ketika sejumlah orang dalam setiap
komunitas menginginkan perubahan, mereka mungkin menggunakan ritual
untuk bertindak sebagai ritus perjalanan menuju visi baru,
Bersosialisasi dan mengubah ritual, kedua hal ini diperlukan untuk
perdamaian. Semua budaya memiliki ritual tradisional yang ada untuk
membangun hubungan, membatasi kekerasan, dan memecahkan masalah.
Meskipun ritual tradisional sering bersosialisasi dan melestarikan status
quo, kadang-kadang aktivis perdamaian dapat membantu menghidupkan
kembali atau menggambar di ritual yang ada dalam suatu budaya yang
dapat membantu untuk kegiatan pembangunan dan proses perdamaian. 17
4. Antara Konstruktif dan Destruktif.
Ritual dan konflik merupakan bagian dari pengalaman hidup manusia
yang hadir dalam semua budaya di setiap waktu. Konflik dapat menjadi
konstruktif, yang mengarah pada perubahan sosial, atau destruktif, yang
berakhir dalam perang dan trauma. Seperti konflik, ritual adalah alat netral
dan orang dapat menggunakan itu untuk kebaikan atau kehancuran
manusia. Ritual konstruktif digunakan untuk memperbaiki kehidupan
orang-orang yang menggunakannya, tanpa menyebabkan kerugian bagi
orang lain. Ritual dapat memainkan peranan penting dalam komunikasi

17

Schrich, Ritual and Symbol in Peacebulding … 22-23.

24

antara kelompok yang berkonflik. Peran ritual destruktif dapat bermain
dalam memperburuk dan meningkatnya konflik dan kekerasan. Ritual
dapat memberikan nafas hidup dan harapan pada masyarakat atau
membawa kematian, pesan dehumanisasi yang menyebabkan kerusakan
dan bahkan genosida.18

2.1.5. Simbol dan Ritual dalam Konflik.
Perdamaian bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang menegaskan
martabat, memenuhi kebutuhan manusia dan melindungi hak asasi manusia yang
seharusnya dikecap oleh setiap orang. Kebutuhan manusia terpenuhi melalui
hubungan dengan orang lain. Jika sebuah komunitas tidak memenuhi kebutuhan
anggota mereka, atau jika mereka menghalangi kebutuhan anggota di komunitas
lain, maka orang akan terlibat dalam konflik. Setiap orang memiliki pilihan
tentang

bagaimana

memenuhi

kebutuhan

mereka.

Setiap

orang

juga

membutuhkan penghormatan, tapi setiap orang memberi dan menerima
penghormatan dalam bentuk yang berbeda-beda dan terkadang perbedaanlah yang
dijadikan alasan munculnya konflik. 19
Membangun perdamaian membutuhkan peregangan dan perubahan
terhadap bagaimana seseorang melihat dunia (sudut pandang). Ketika berada
dalam konflik, persepsi orang tentang identitas ditanggapi secara berbeda, baik itu
identitas tentang diri mereka sendiri dan identitas dari lawan atau musuh, selain

18
19

Schrich, Ritual and Symbol in Peacebuilding … 24.
Schrich, Ritual and Symbol in Peacebuilding … 32

25

itu respon terhadap isu-isu konflik yang tersebar juga ditanggapi dengan berbedabeda. 20
Jika orang belajar melalui tubuh, emosi, dan rasa mereka, maka masuk
akal untuk berpikir bahwa simbol dan ritual menawarkan jalur lain untuk
penyelesaian konflik menuju perdamaian. Ketika proses persepsi membentuk
bagaimana orang memahami konflik, aktivis perdamaian membutuhkan alat lain
seperti simbol dan ritual yang dapat membantu orang menggeser pemahamanpemahaman mereka. Saat kelompok budaya sudah memiliki sumber daya simbol
dan ritual untuk penyelesaian konflik dalam tradisi mereka, maka masuk akal bila
aktivis perdamaian membantu kelompok atau masyarakat tersebut untuk
mengembangkan simbol dan ritual itu dalam komunitas mereka. Bila masyarakat
yang berkonflik memiliki dasar-dasar nilai yang berbeda, maka aktivis
perdamaian memerlukan simbol dan ritual untuk menolong mereka mengenali
perbedaan dan menemukan persamaan antara orang-orang yang berada dalam
komunitas yang sedang berkonflik. Jika identitas seseorang penting bagi persepsi
mereka tentang konflik, maka tampaknya menjadi masuk akal bahwa proses
perdamaian dalam penyelesaian konflik harus juga membantu dalam transformasi
identitas, dan hal ini dapat diperoleh dalam jalan simbol dan ritual. 21

2.1.6. Simbol dan Ritual Dalam Pembangunan Perdamaian (Rekonsiliasi).
Ada empat pendekatan untuk pembangunan perdamaian, mulai dari jangka
pendek, krisis orientasi sampai pada strategi jangka panjang. Empat pendekatan

20
21

Schrich, Ritual and Symbol in Peacebuilding … 38.
Schrich, Ritual and Symbol in Peacebuilding … 52.

26

tersebut antara lain; Upaya Konflik Tanpa Kekerasan, Mengurangi Kekerasan
Secara Langsung, Mengubah Hubungan, dan Pembangunan Kapasitas. 22
Kategori pertama dari perdamaian termasuk proses upaya konflik tanpa
kekerasan. Lingkaran ini berusaha untuk menyeimbangkan kekuasaan antara
kelompok yang bertikai dalam konflik, meningkatkan kesadaran terhadap isuisu konflik, dan menciptakan rasa kesiapan untuk perubahan, negosiasi, dan
pemecahan masalah di antara kelompok-kelompok. Dalam jangka pendek,
upaya konflik tanpa kekerasan meningkatkan konflik. Simbol dan ritual
digunakan secara luas di kalangan aktivis non-kekerasan dan membentuk alat
penting dalam kotak penyimpanan aktivis. Aktivis perdamaian menciptakan
ruang yang unik, mengkomunikasikan pesan simbolik, dan mencari perubahan
dari cara pandang, identitas, hubungan, dan struktur sosial melalui ritual
perdamaian atau rekonsiliasi. 23
Kategori kedua mencakup proses krisis orientasi dan program untuk
menangani para korban dan pelaku atau pelaku kekerasan secara langsung. Di
tingkat masyarakat, tempat penampungan tunawisma dan wanita, polisi
masyarakat, dan program-program amal menawarkan dukungan kepada para
korban kekerasan saat mencari pelaku yang berpotensi melakukan kekerasan
dan mencegah kekerasan di masa depan. Ritual tradisional atau improvisasi
dapat bersifat komitmen sosial untuk nilai-nilai perdamaian di masa krisis,
membuat ruang dimana orang dapat melepaskan emosi yang terpendam dan
trauma. Pemimpin dapat mengatur tindakan yang memiliki fungsi dan peran
simbolik dalam membantu orang, menyembuhkan rasa trauma yang dialami.
22
23

Schrich, Ritual and Symbol in Peacebuilding … 57.
Schrich, Ritual and Symbol in Peacebuilding … 58.

27

Tujuannya adalah untuk mengurangi kekerasan yang dirasakan oleh seluruh
masyarakat.24
Simbol dan ritual juga memiliki aplikasi yang luas dalam kategori ketiga
dari perdamaian, yaitu tahap peralihan yang mencakup proses untuk mengubah
hubungan dan mengatasi akar konflik. Dalam lingkaran ini, level tertinggi
negosiasi resmi dan mediasi idealnya terhubung dengan inisiatif tingkat
menengah oleh para pemimpin agama dan organisasi, komunitas akademik, dan
para pemimpin masyarakat akar rumput. Kemampuan simbol dan ritual adalah
untuk membuat makna, hubungan, mengubah dan menyembuhkan identitas.
Dalam banyak lokakarya perdamaian, ritual formal seperti merokok di lorong
atau makan bersama sebagai suatu aksi simbolik adalah peristiwa penting dalam
merubah cara orang atau kelompok yang berkonflik untuk berhubungan satu
dengan yang lainnya.25
Membangun kapasitas adalah lingkaran terakhir dari perdamaian. Ini
mencakup strategi panjang seperti pendidikan, pembangunan, transformasi dan
penciptaan struktur sosial baru untuk memenuhi kebutuhan manusia. Ritual juga
melengkapi verbal, bentuk komunikasi langsung yang diperlukan dalam
pendidikan dan pengembangan. Membuat dan melakukan ritual adalah alat
utama bagi masyarakat untuk memberdayakan diri mereka dan terlibat untuk
mengubah struktur sosial yang menindas. Penggunaan simbol dan ritual
bukanlah hal yang baru untuk perdamaian, masyarakat tardisional dan
pemimpin lokakarya memiliki rasa yang kuat saat menggunakan ritual dan
simbol-simbol. Penggunaan simbol dan ritual dibutuhkan dan berguna baik di
24
25

Schrich, Ritual and Symbol in Peacebuilding … 59.
Schrich, Ritual and Symbol in Peacebuilding … 59.

28

masa krisis dan upaya jangka panjang untuk pembangunan kapasitas. Dinamika
ritual dan pentingnya penggunaan simbol-simbol, dalam berbagai cara berguna
dalam proses penyelesaian suatu konflik. 26

2.1.7.

Merancang Panggung: Ruang Perdamaian.
Ruang ritual sering mengandung banyak benda- benda simbolis. Orang

menggunakan elemen seperti api, tanah, air, bunga, dan makanan sebagai
simbol dalam ritual untuk memberi makna. Misalnya, lilin awalnya digunakan
di tempat suci untuk memberikan cahaya, sekarang lilin digunakan untuk
menciptakan suasana spiritual meskipun listrik mungkin tersedia. Lilin
membantu ruang ritual terpisah dari ruang non ritual. Peserta ritual dalam
sebuah acara (upacara) berinteraksi dengan simbol. Simbol membantu identitas
orang-orang yang terlibat sebagai bagian dalam ruang ritual.27
Waktu, lokasi, simbol, bau, rasa, suara, dan kombinasi unik dari orangorang yang bersama-sama menentukan dan mengatur ruang ritual terpisah dari
ruang hidup sehari-hari. Menciptakan ruang yang terpisah sangat berguna dalam
konflik, ketika ruang normal mungkin emosional atau berbahaya dan
menyakitkan. Ritual dapat membuat oase khusus untuk perdamaian dimana
orang yang terlibat dalam konflik dapat menemukan kekuatan dari kehancuran
konflik. Bagi orang-orang yang ada dalam konflik, ritual menawarkan
kesempatan unik untuk bergerak di luar konflik menjadi tempat dimana konflik
itu sendiri tampaknya tidak memiliki nilai.28

Schrich, Ritual and Symbol in Peacebuilding … 59-60.
Schrich, Ritual and Symbol in Peacebuilding … 71.
28
Schrich, Ritual and Symbol in Peacebuilding ... 72.

26

27

29

Idealnya, ruang ritual memungkinkan nilai-nilai dan hubungan baru
terbentuk. Ruang ritual mengubah lingkungan, membawa simbol penting atau
menciptakan rasa indah dalam konteks yang mengumumkan hubungan unik
yang akan terjadi. Bagi orang-orang yang terlibat konflik, ruang ritual adalah
“jumping ahead to the end of the book” pengalaman dimana mereka dapat
membayangkan berada dalam masa depan yang penuh dengan kedamaian. Sama
seperti sebuah oase yang melegakan bagi wisatawan gurun, ritual dapat
memberikan bantuan yang menyegarkan dari rasa sakit dan kecemasan
konflik.29
2.1.8. Simbol dan Ritual Dalam Identitas
Identitas dibangun, dilindungi, dan ditransformasikan melalui ritual dan
simbol. Di lingkungan yang tidak berkonflik, manusia memandang diri mereka
sendiri dan orang lain memiliki sumber identitas yang berbeda berdasarkan
keanggotaan mereka dalam kelompok budaya. Konflik mengancam identitas
individu dan kelompok. Dalam situasi konflik, orang berdalih dari melihat diri
mereka sebagai campuran kompleks dari berbagai identitas, semuanya kurang
lebih sama. Daripada menggunakan beberapa kelompok untuk mendefinisikan
identitas, individu mulai mendefinisikan dirinya dengan identitas kelompok
yang diancam.30
Mengakui identitas bersama memungkinkan lebih efektif membangun
perdamaian dalam sebuah komunitas. Orang-orang yang memiliki identitas
dapat membentuk kelompok-kelompok yang berfungsi menghancurkan situasi
atau hal-hal yang dapat melanggengkan konflik. Ritual dan simbol mengubah
29
30

Schrich, Ritual and Symbol in Peacebuilding … 76.
Schrich, Ritual and Symbol in Peacebuilding … 125

30

identitas

dengan

menawarkan

ruang

kemanusiaan.

Karena

identitas

didefinisikan dalam konteks, persepsi dari identitas berubah menurut situasi
fisik dan situasi relasional. Ketika orang berada di tempat kerja, mereka
berhubungan dengan orang lain melalui identitas profesional mereka. Saat
berada di rumah sendiri, mereka berinteraksi dengan anggota keluarga sesuai
dengan peran mereka dalam keluarga. Simbol di lingkungan fisik membantu
orang mengetahui bagaimana berhubungan satu dengan yang lain dan
bagaimana caranya berpikir dan bertindak dalam konteks tertentu. Suatu
konteks dapat membantu orang menemukan identitas umum dan mengenali
identitas kompleks yang dimiliki masing-masing. Sementara konflik cenderung
menciptakan identitas yang terfokus pada satu aspek, ritual mentransformasi
identitas kelompok kembali ke penekanan pada beberapa kelompok budaya.31
Ritual dan simbol mengubah fokus identitas dan lokus dari satu identitas,
seperti etnisitas ke rangkaian yang lebih inklusif, kompleks dan beragam.
Individu yang terlibat dalam konflik dapat didorong untuk memperkuat sumber
identitas lain dengan membawa pihak-pihak yang terlibat dalam konteks dimana
mereka dapat lebih jelas melihat kesamaan mereka. Proses yang ditujukan untuk
menangani persepsi identitas dalam konflik dapat mencakup penempatan
kelompok antagonis dalam situasi baru dimana asumsi dan presepsi lama
mereka tentang identitas musuh ditantang dan diubah.32

31
32

Schrich, Ritual and Symbol in Peacebuilding … 126
Schrich, Ritual and Symbol in Peacebuilding … 127

31

2.2.

Perdamaian dan Rekonsiliasi
Perdamaian berasal dari kata damai yang diartikan sebagai suasana tidak

adanya permusuhan dan hubungan yang serasi atau harmonis di antara kedua
belah pihak. Oleh karena damai yang menunjuk pada sebuah suasana atau
keadaan maka perdamaian merupakan proses atau usaha menuju suasana damai
itu.33 Tony Tampake menambahkan bahwa damai berarti suatu kualitas kehidupan
individu dan masyarakat yang sesuai dengan harkat, martabat dan hak-hak
asasinya sebagai manusia sehingga memungkinkan mereka untuk berinteraksi
dengan adil, setara, dan rukun.34
Menurut Yusak Setyawan damai mengandung konsep keutuhan,
kesentosaan, dan kesejahteraan (wholeness, intactness, well-being) baik
berhubungan dengan aspek personal maupun aspek sosial. Damai dapat disebut
sebagai simbol komprehensif (comprehensive symbol) karena memuat banyak
unsur antara lain kualitas kehidupan, kebaikan, ketertiban, kemakmuran, dan ideide lain yang menjadikan manusia layak menjadi manusia. Damai yang mencakup
keutuhan, kesentosaan, dan kesejahteraan personal mempunyai dua dimensi
penting, yakni secara fisik dan batiniah. Kebutuhan personal secara holistik yang
mencakup dimensi fisik dan batiniah bersinggungan secara langsung dengan
eksistensi manusia.35

N. A. Weny, “Tang Pi’u-Wang Solang, Menyambung yang Terputus, Menambal yang
Tersobek: Sebuah Kristologi Pendamaian dari Perspektif Orang Pantar Barat” dalam Sosiologi
Agama Pilihan Berteologi Di Indonesia (Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya
Wacana, 2016), 229.
34
Tony Tampake, “Signifikansi Pendidikan Perdamaian Dalam Masyarakat Bhineka
Tunggal Ika” dalam Buku Bacaan Pendidikan Perdamaian, Theofransus Litaay, Evalien Suryati,
David Samiyono, dkk, (Salatiga: Griya Media, 2011), 23.
35
Yusak Setyawan, “Makna Damai Dalam Alkitab” ... 34-35.
33

32

Damai yang dialami secara personal yang mencakup aspek batiniah
meliputi pengalaman akan kedamaian batin, peace of soul. Dalam situasi ini orang
mengalami perasaan nyaman, kebahagiaan, perasaan puas dengan kehidupan,
tidak merasa terancam, kuatir dan mengalami anksietas (kecemasan). Individu
manusia yang mengalami damai dengan diri sendiri, innerwordly concord. Maka
gangguan-gangguan psikologis yang menghantui kehidupan seseorang merupakan
pertanda ketiadaan damai atau kurang berkualitasnya damai dalam batin
seseorang. Damai dalam arti keutuhan, kesentosaan, dan kesejahteraan sosial
mengandalkan bahwa masyarakat manusia hidup dalam suasana aman dan rukun.
Dalam hubungannya dengan kondisi aman dan rukun, damai mencakup
pengertian yang berhubungan dengan relasi antar manusia. Tanpa relasi yang baik
di antara warga masyarakat tidak akan pernah tercapai harmoni sosial. Konflikkonflik yang terjadi dalam masyarakat menunjukan terjadinya relasi, namun pada
saat yang sama konflik bisa jadi merupakan potensi untuk tercapai damai asal
konflik tersebut dikelola yang kemudian menghasilkan relasi yang lebih asli
(genuine) tanpa kepura-puraan dan kemunafikan. 36
Galtung mengartikan perdamaian dalam dua definisi yakni pertama,
perdamaian adalah tidak adanya atau pengurangan kekerasan dalam bentuk
apapun. Kedua, perdamaian merupakan

tanpa kekerasan dan kreatif

mentransformasi konflik. Kedua definisi ini berlaku kerja perdamaian yakni
bekerja untuk mengurangi kekerasan dengan cara damai serta studi perdamain
untuk kondisi kerja perdamaian. Definisi pertama berorientasi pada kekerasan
dimana perdamaian menjadi negasinya. Sedangkan definisi kedua berorientasi
36

Setyawan, “Makna Damai Dalam Alkitab” ... 36-37.

33

pada konflik dimana perdamaian merupakan konteks konflik yang terungkap
tanpa kekerasan dan kreatif. Untuk mengetahui tentang perdamaian kita harus
tahu tentang konflik dan bagaimana konflik bisa diubah, baik tanpa kekerasan dan
kreatif.37 Dengan demikian perdamaian berarti tidak adanya kekerasan dalam
segala bentuk maupun konflik yang berlangsung dengan cara yang konstruktif.
Perdamaian ada di dalam interaksi masyarakat tanpa kekerasan serta dapat
mengelola konflik mereka secara positif.
Galtung membagi perdamaian dalam dua tipologi yakni perdamaian
negatif dan perdamaian positif. Perdamaian negatif diartikan sebagai tidak adanya
kekerasan atau tidak adanya perang.38 Perdamaian negatif memerlukan kontrol
pemerintah terhadap konflik yang terjadi yakni dengan melakukan pengamanan
dan perlindungan oleh aparat keamanan di wilayah-wilayah perbatasan konflik.
Strategi yang dipakai untuk menghadirkan damai negatif adalah dengan
memisahkan pihak yang berkonflik, sehingga pihak-pihak yang berkonflik tidak
saling bertemu satu dengan yang lain. Dengan menghadirkan damai negatif maka
pihak yang sedang berkonflik tidak akan saling bertemu dan tidak akan tercipta
ruang bersama untuk menghasilkan perdamaian yang diinginkan. Integrasi yang
diinginkan semua pihak tidak terwujud oleh karena pemisahan yang dilakukan
pemerintah

dengan

menempatkan

perlindungan

sekuritas.39

Klasifikasi

perdamaian negatif adalah pesimistis, kuratif, dan perdamaian tidak selalu dengan
cara damai. Gagasan perdamaian sebagai tidak adanya kekerasan kolektif
37

Johan Galtung, Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict, Development, and
Civilization (London and New Dehli: Sage Publication,1996), 9.
38
Temesgen Tilahun, “Johan Galtung’s Concept of Positive and Negative Peace in the
Contemporary Ethiopia: an Appraisal,”International Journal of Political Sciences and
Development. Vol 3 No 6, (2015): 251.
39
Galtung, Peace by Peaceful Means... 40.

34

terorganisir antara kelompok manusia khususnya negara-negara, antar kelas, antar
ras, dan kelompok etnis merujuk pada jenis perdamaian negatif.40
Perdamaian positif menunjuk pada suasana damai di mana terdapat
kesejahteraan, keadilan, dan kebebasan. Damai positif menganjurkan interaksi
mendalam warga masyarakat demi menghadirkan integrasi sosial. Menghadirkan
perdamaian positif diperlukan kerja sama dengan tujuan memperbaiki masa lalu
dan membangun kembali masa depan. Kerja sama ini dapat dilakukan dengan
memperhatikan masalah-masalah kemanusiaan yang dihadapi serta menjadi
tanggung jawab bersama.41
Menurut Galtung Perdamaian positif menghadirkan hal-hal baik dalam
masyarakat, khususnya kerja sama dan integrasi antara kelompok yang ada dalam
masyarakat. Klasifikasi perdamaian positif adalah integrasi struktural, optimis,
preventif, perdamaian dengan cara damai. Perdamaian positif menunjuk pada
kondisi sosial di mana kegiatan mengeksploitasi dapat diminimalkan atau
dihilangkan dan di mana tak ada kekerasan dalam bentuk apa pun. Kehadiran
damai positif untuk memberikan situasi yang merangkul, adil, serta menjaga
harmoni ekosistem. Oleh karena itu, terkait dengan perdamaian positif, ada
sepuluh nilai-nilai hubungan positif yakni kehadiran kerjasama, kebebasan dari
rasa takut, bebas dari keinginan, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, tidak
adanya eksploitasi, kesetaraan, keadilan, kebebasan bertindak, pluralisme,
dinamisme. Dalam pemaknaannya, individu yang satu tidak mengeksploitasi satu

40

Galtung, Peace by Peaceful Means... 42
Izak Lattu, “Planting The Seed of Peace: Agama dan Pendidikan Perdamaian Dalam
Masyarakat Multikultural” dalam Buku Ajar Agama, Mariska Lauterboom, Retnowati, dkk.,
(Salatiga: Satya Wacana University Press, 2015), 191.
41

35

sama lain, tentang individu yang tidak hidup dalam ketakutan dan kecemasan,
tentang individu yang memiliki berbagai tindakan terbuka untuk diri mereka
sendiri sehingga mereka dapat hidup. Perdamaian positif diisi dengan konten
positif seperti pemulihan hubungan, penciptaan sistem sosial yang melayani
kebutuhan seluruh penduduk dan resolusi konstruktif konflik.42
Damai yang positif dimaknai dalam pemahaman Galtung mengenai
rekonsiliasi. Menurut Galtung, rekonsiliasi adalah bentuk akomodasi dari pihakpihak yang terlibat dalam konflik destruktif untuk saling menghargai satu dengan
yang lain, menyingkirkan rasa sakit, dendam, takut, benci, dan bahaya terhadap
pihak lawan. Dari pengertian ini maka dapat dikatakan bahwa rekonsiliasi
merupakan bentuk akomodasi dari pihak yang bertikai untuk saling menghargai
dan tidak saling membenci terhadap pihak lawan.43 Rekonsiliasi merupakan
bagian dari resolusi konflik pada tahapan perdamaian yang dalam proses
mengatasi konflik akan membutuhkan rentang waktu yang panjang. Hal ini
disebabkan karena rekonsiliasi merupakan proses mengejar suatu perdamaian
dengan penyelesaian masalah yang dimulai dari akar permasalahan dan
keterbukaan untuk saling menerima, menghargai dan memafkan secara total
seluruh keadaan atau situasi yang telah “rusak” disebabkan konflik. Pelepasan
sekat-sekat inilah yang akan meruntuhkan dinding pembatas pemicu konflik,
sehingga rekonsiliasi (pemulihan relasi dan situasi) dapat terwujud.

42
43

Tilahun, “Johan Galtung’s Concept,”... 252-253.
Johan Galtung, Rekonsiliasi Konflik, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1994), 67.

36

2.3. Rekonsiliasi Lintas Agama
Pengampunan dan rekonsiliasi bukanlah sesuatu yang secara otomatis bisa
diperoleh, bukan sesuatu yang harganya ringan dan murah. Pengampunan dan
pengakuan malah didahului oleh perbuatan yang merupakan isi pengakuan,
perbuatan yang meninggalkan luka dan maut, perbuatan yang disertai kebencian,
kerusakan dan kerusuhan.44
Rekonsiliasi menempuh jalan penyembuhan. Rekonsiliasi merupakan
tindakan moral dan perjalanan spiritual, bukan sekedar tugas yang dimulai dan
diahiri pada saat tertentu. Tinggal di masa lampau tidak tidak membawa
penyembuhan, dan berjalan menuju masa depan mebutuhkan perubahanperubahan yang menjauhkan segala pihak dari penodaaan terhadap hak asasi
manusia, termasuk kebebasan beragama. Komisi Nasional HAM, memiliki komisi
“Truth and Reconciliation” tentang kebenaran dan pendamaian, kerukunan
kembali, juga bisa menjadi simbol kesungguhan sosial untuk menempuh proses
rekonsiliasi secara serius dan akan menumbuhkan kepercayaan serta solidaritas
satu sama lain.45
Upaya untuk rekonsiliasi lintas agama tidak akan berjalan mulus ketika
suatu komunitas agama mempertahankan primodialisme yang ekslusuif. Semua
usaha rekonsiliasi akan gagal selama agama, atau lebih tepat manusia yang
beragama, tidak mampu untuk menemukan citra kemanusiaan juga dalam orang
lain, walaupun ternyata dalam situasi seperti itu menjadi musuh dari dirinya.
Saling mengakui harga dan martabat kemanusiaan yang satu terhadap yang lain
44

Olaf Schumann, Nico Kana, dkk, Agama-agama dan Rekonsiliasi, (Jakarta: Bidang
Marturia PGI, 2005), 12.
45
Schumann, Agama-agama dan Rekonsiliasi… 121.

37

adalah prasyarat untuk melakukan langkah rekonsiliasi diantara mereka yang
saling membenci. Selanjutnya, diperlukan kesungguhan dan ketulusan dalam
usaha membuka dan mengakui segala hal yang terjadi. Rekonsiliasi bukanlah
sesuatu yang abstrak, melainkan sesuatu yang tertuju pada kejadian dan
pengalaman konkret yang pernah dilakukan. Kesulitan yang terjadi adalah karena
budaya menutupi hal-hal yang tidak enak, rekonsiliasi harus dibuka dengan
contritio, penyesalan terhadap apa yang terjadi, penyesalan dengan hati yang
ditujukan pada kaum korban, bukan terhadap pihak lain yang tidak disentuh.46
Sebuah gerakan rekonsiliasi lintas agama selanjutnya dimulai dengan
melihat pada ajaran atau dogma dari agama itu sendiri. Ajaran agama yang
mempunyai sifat universal sajalah yang dapat dikembangkan bersama dan dipakai
sebagai fokus untuk rekonsiliasi bagi agama-agama. Rekonsiliasi lintas agama
harus dirancang dan dilakukan oleh semua pihak, pemerintah, tokoh-tokoh agama,
dan masyarakat (orang-orang beragama), yang dimulai dari rekonsiliasi intern
kelompok agama.47
Paul Knitter kemudian mengemukakan bahwa ternyata yang harus dilihat
adalah mencari sesuatu yang di luar agama. Sesuatu yang dapat membangkitkan,
meresahkan, dan menantang mereka, serta menyerukan respon dari masingmasing agama. Suatu hal yang dapat dilihat oleh semua agama, dan dengan itu
dapat menenun benang-benang agama yang berbeda menjadi sebuah pakaian baru
yaitu persatuan antar agama. Dengan demikian, semua agama harus melaksanakan
tugas umum, yaitu bergerak pada keprihatinan terhadap penderitaan manusia,

46
47

Schumann, Agama-agama dan Rekonsiliasi... 22
Schumann, Agama-agama dan Rekonsiliasi ... 93, 105

38

eksploitasi (kemiskinan, kelaparan, tunawisma, dll) dan kekerasan, terutama
kekerasan militer. Penderitaan manusia dan lingkungan merupakan realitas
objektif dimana orang dari semua agama mengakui hal tersebut sebagai ancaman
bagi kesejahteraan manusia. dengan demikian, tidak peduli apa keyakinannya
mereka akan merasa dipanggil untuk melakukan sesuatu dalam rangka
mengurangi atau menghilangkan penderitaan tersebut. Kunci dari langkah ini
tidaklah dimulai dari agama, tapi dari etika. Hal ini memunculkan heurestik atau
keprihatinan bersama untuk memahami sesuatu atau seseorang dari tindakan yang
dilakukan oleh orang-orang beragama. Mereka menjadi lebih saling ingin tahu
lebih banyak tentang keyakinan masing-masing. Itulah kunci atau titik temu
(benang merah) untuk mencapai hubungan antar agama sekaligus menciptakan
rekonsiliasi lintas agama.48
Dalam membangun rekonlisiasi lintas agama khususnya di AmbonMaluku dilakukan upaya-upaya yakni membangkitkan kesadaran kolektif yang
dimiliki bersama. Walaupun kesadaran tentang penyebab konflik Ambon telah
dimiliki oleh sebagian besar anak Ambon dan rasa penyesalan yang timbul
sebagai akibat pernah terpengaruh untuk terlibat dalam konflik Ambon, namun
bukan berarti hal itu sudah cukup untuk tidak perlu lagi terus menerus
membangun dan memperkuat integrasi anak Ambon. Ketua MUI Maluku
berpendapat bahwa yang terpenting untuk menciptakan hubungan rekonsiliasi
lintas agama di Ambon, Maluku adalah dengan berwaspada terhadap issue atau
tindakan yang berpotensi memecah belah, dan masyarakat harus bersatu
membangun Ambon. Tidak terlalu sulit bagi orang-orang Ambon untuk
48

Paul. F. Knitter , Global Responsibility and Interreligious Dialogue:Searching for
Common Ground, Waskita. Jurnal Studi Agama dan Masyarakat.

39

melakukan hal tersebut sebab nilai-nilai budaya di Maluku (Ambon) dalam bentuk
pela, gandong, duan lolat, maano dan sebagainya yang dilakukan sejak dahulu,
diwariskan, dipertahankan, dan dilakukan sampai pada saat ini dan waktu
mendatang. Di dalam pela-gandong, ada solidaritas dan kerelaan untuk berkorban
dan telah menjadi panggilan jiwa bagi masyarakat Ambon-Maluku yang ada
dalam hubungan pela dan gandong itu.49
Demi terwujudnya rekonsiliasi lintas agama, maka perlu adanya tindakan
atau upaya yang berfungsi menangkal issue-issue menyesatkan dalam masyarakat.
Dengan demikian, beberapa aksi mesti dilakukan, misalnya membuka jaringanjaringan dalam suatu struktur koordinasi yang melibatkan berbagai potensi
masyarakat secara formal maupun informal. Mereka yang dilibatkan harus orangorang yang terpercaya, yang telah menunjukan partisipasinya dalam membangun
upaya-upaya perdamaian atau rekonsiliasi dalam masyarakat.50

49

Samuel Waileruny, Membongkar Konspirasi di Balik Konflik Maluku, (Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2010) 219.
50
Waileruny, Membongkar Konspirasi di Balik Konflik Maluku... 256

40

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Keberadaan dan Kegiatan Tao sebagai Agama T2 752011001 BAB II

0 1 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gereja dan Rekonsiliasi: memahami peran sosiologis GPM dalam proses rekonsiliasi konflik di Negeri Porto-Haria, Saparua-Maluku T2 752014011 BAB I

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gereja dan Rekonsiliasi: memahami peran sosiologis GPM dalam proses rekonsiliasi konflik di Negeri Porto-Haria, Saparua-Maluku T2 752014011 BAB II

0 0 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gereja dan Rekonsiliasi: memahami peran sosiologis GPM dalam proses rekonsiliasi konflik di Negeri Porto-Haria, Saparua-Maluku T2 752014011 BAB IV

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gereja dan Rekonsiliasi: memahami peran sosiologis GPM dalam proses rekonsiliasi konflik di Negeri Porto-Haria, Saparua-Maluku T2 752014011 BAB V

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gereja dan Rekonsiliasi: memahami peran sosiologis GPM dalam proses rekonsiliasi konflik di Negeri Porto-Haria, Saparua-Maluku

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pela Gandong sebagai Konseling Orang Basudara dan Agen Perdamaian Konflik Islam-Kristen di Ambon T2 752012008 BAB II

3 10 60

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Simbol dan Rekonsiliasi Gong Perdamaian Dunia sebagai Simbol Rekonsiliasi Lintas Agama di Ambon

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Simbol dan Rekonsiliasi Gong Perdamaian Dunia sebagai Simbol Rekonsiliasi Lintas Agama di Ambon T2 752015017 BAB V

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Simbol dan Rekonsiliasi Gong Perdamaian Dunia sebagai Simbol Rekonsiliasi Lintas Agama di Ambon T2 752015017 BAB I

0 1 12