Akibat Hukum Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan Ketika Salah Salah Satu Pihak Meninggal Dunia Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
39
BAB II
AKIBAT HUKUM PERKAWINAN YANG TIDAK DICATATKAN
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG
PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
A. Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
1. Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
adalah Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.46
Perkawinan adalah sesuatu yang umum di masyarakat, menurut hukum
perdata, hukum adat, dan Islamic law (hukum Islam). Perkawinan selalu dipandang
sebagai dasar bagi unit keluarga yang mempunyai arti yang sangat penting bagi
penjagaan moral atau akhlak masyarakat dalam pembentukan peradaban. Dari kedua
ketentuan ini menegaskan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin yang
mengikat laki-laki dan perempuan sebagai suami isteri atas dasar Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Perkawinan sering juga disebut “pernikahan”. Dalam bahasa Indonesia,
“perkawinan” berasal dari kata “kawin”, yang menurut bahasa, artinya membentuk
46
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
39
40
keluarga dengan berlawanan jenis antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan, yang melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Sedangkan, istilah
“kawin” digunakan secara umum, untuk tumbuhan, hewan, manusia, dan
menunjukkan proses generatif secara alami. berbeda dengan ini, nikah hanya
digunakan pada manusia karena mengandung keabsahan secara hukum nasional, adat
istiadat, dan menurut agama.
Dalam kata kawin, terkesan seolah-olah perkawinan hanya melulu
mencerminkan hubungan biologis (seksual) yakni hubungan kelamin yang lazim
dikenal dengan sebutan persenggamaan antara laki-laki dengan perempuan, seperti
layaknya hubungan kelamin yang juga dilakukan hewan jantan dan betina. Hal itulah
yang menyebabkan kenapa atau mengapa banyak orang tidak menikah secara hukum
dan lebih suka kumpul kebo karena bagi pasangan seperti ini, hakikat kawin adalah
persenggamaan. Kata nikah tidak semata-mata tercermin berkonotasi makna biologis,
tetapi juga sekaligus juga tersirat dengan jelas hubungan pisikis kejiwaan
(kerohanian) dan tingkah laku pasangan suami-isteri dibalik hubungan bilogis, dalam
kata nikah, hubungan antara suami-isteri dan bahkan kemudian hubungan orang tua
dan anak, akan mencerminkan hubungan kemanusiaan yang lebih terhormat, sejajar
martabat manusia itu sendiri.47
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, maka bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam apabila
47
Amin Summa, Hukum Kekeluargaan Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2005), hal. 39
41
hendak melaksanakan perkawinan supaya sah harus memenuhi ketentuan-ketentuan
tentang perkawinan sebagaimana yang diatur di dalam hukum perkawinan. Demikian
juga halnya dengan bagi mereka yang beragama Kristen, Buddha dan Hindu, hukum
agama merekalah yang menjadi dasar pelaksanaan yang menentukan sahnya suatu
perkawinan. "Ini berarti bahwa suatu perkawinan yang dilaksanakan bertentangan
dengan ketentuan hukum agama, dengan sendirinya menurut Undang-undang
Perkawinan ini dianggap tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan
perkawinan"
2. Syarat sah Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan
Syarat sah perkawinan diatur mulai Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Syarat perkawinan yang bersifat
materiil dapat dilihat dari ketentuan Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu:48
a. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
b. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua
puluh satu) tahun harus mendapat ijin orang tua atau salah satu orang tuanya,
apabila salah satunya telah meninggal dunia
48
Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
42
c. Perkawinan hanya hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) Tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas)
Tahun.
d. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin
lagi kecuali memenuhi Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
e. Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan
bercerai lagi untuk kedua kalinya.
f. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
Mengenai waktu tunggu ini diatur dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975 tentang pelaksanan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan sebagai berikut:
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari,
dihitung sejak kematian suami.
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih
berdatang bulan adalah 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari, yang
dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum
yang tetap.
c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu
tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
d. Bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda dan
bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin tidak ada waktu tunggu.
43
Selanjutnya dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah maupun ke atas/incest.
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara,
antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara
neneknya.
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak, tiri/periparan.
d. Berhubungan sususan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan
bibi/paman susuan.
e. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri
dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku
dilarang kawin
Sedangkan syarat perkawinan secara formal dapat diuraikan menurut Pasal 12
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan direalisasikan dalam
Pasal 3 s/d Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Secara singkat syarat
formal ini dapat diuraikan sebagai berikut:49
1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan
kehendaknya kepada Pegawai Pencatat Perkawinan di mana perkawinan itu akan
49
Pasal 3 sampai dengan Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
44
dilangsungkan, dilakukan sekurang kurangnya 10 hari sebelum perkawinan
dilangsungkan.
Pemberitahuan dapat dilakukan lisan/tertulis oleh calon
mempelai/orang tua/wakilnya. Pemberitahuan itu antara lain memuat: nama,
umur, agama, tempat tinggal calon mempelai (Pasal 3-5)
2. Setelah syarat-syarat diterima Pegawai Pencatat Perkawinan lalu diteliti, apakah
sudah memenuhi syarat/belum. Hasil penelitian ditulis dalam daftar khusus untuk
hal tersebut (Pasal 6-7).
3. Apabila semua syarat telah dipenuhi Pegawai Pencatat Perkawinan membuat
pengumuman yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang
memuat antara lain:
a.
Nama, umur, agama, pekerjaan, dan pekerjaan calon pengantin.
b.
Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan (Pasal 8-9)
4. Barulah perkawinan dilaksanakan setelah hari ke sepuluh yang dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kedua calon mempelai
menandatangani akta perkawinan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh
dua orang saksi, maka perkawinan telah tercatat secara resmi. Akta perkawinan
dibuat rangkap dua, satu untuk Pegawai Pencatat dan satu lagi disimpan pada
Panitera Pengadilan. Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan
akta perkawinan (pasal 10-13).
Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan
bahwa suatu perkawinan baru sah apabila dilakukan menurut hukum, agama, dan
45
kepercayaan masing-masing.50 Hal ini diatur dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Disamping itu ada keharusan untuk
melakukan pencatatan perkawinan, adapun bunyi pasal tersebut ialah “tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undang yang berlaku”. pencatatan
perkawinan sama halnya dengan pencatatan suatu peristiwa hukum dalam kehidupan
seseorang. Misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam daftar pencatatan
yang disediakan khusus untuk itu.
Di dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menitik beratkan kepada adanya pencatatan perkawinan yang secara rinci
diatur bahwa :
a) Ketentuan tentang pencatatan perkawinan
1.
Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya
menurut agama Islam dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan
Nikah, Talak, dan Rujuk.
2.
Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya
menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan
oleh pegawai pencatatan perkawinan pada KCS (Kantor Catatan Sipil)
sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai
pencatatan perkawinan.
50
KN. Sofyan Hasan, Dasar-Dasar Memahami Hukum Islam di Indonesia, (Surabaya: Usaha
Nasional, 1994), hal. 7
46
3. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tata
cara peraturan pencatatan perkawinan dilakukan sebagai mana ditentukan
dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 peraturan itu.
b) Ketentuan mengenai tempat pemberitahuan dan tenggang waktu antara saat
memberitahukan dengan pelaksanaanya.
c) Tata cara pemberitahuan kehendak untuk melakukan perkawinan ditentukan
bahwa pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai
atau oleh orang tua atau wakilnya,
d) Pemberitahuan tersebut mengharuskannya pegawai pencatat untuk melakukan
hal-hal yaitu :
1. Meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak
terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang.
2. Selain itu pegawai pencatatan meliputi pula :
a. Kutipan akta kelahiran calon mempelai
b. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat tinggal
orang tua calon mempelai.
c. Ijin tertulis atau ijin pengadilan apabila salah satu calon mempelai atau
keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh) tahun.
d. Ijin pengadilan dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang
masih beristeri.
e. Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau dalam hal pencatatan
bagi perkawinan untuk kedua halnya atau lebih.
47
f. Ijin tertulis yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB apabila salah
seorang calon mempelai atau keduanya anggota angkatan bersenjata.
g. Surat kuasa autentik atau dibawah tangan yang disahkan oleh pegawai
pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat
hadir karena sesuatu alasan yang tertulis, sehingga mewakilkan kepada
orang lain.
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan secara lengkap
mengatur syarat-syarat perkawinan baik yang menyangkut pasangan suami-isteri,
kelengkapan administratif, prosedur pelaksanaannya dan mekanismenya. Adapun
syarat-syarat yang telah dititikberatkan kepada orangnya diatur pada pasal 6 yang
menyatakan bahwa:
1.
Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2.
Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
(duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3.
Dalam hal salah seorang dari kedua orangtua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2)
pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua
yang mampu menyatakan kehendaknya.
4.
Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang
yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis
48
keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat
menyatakan kehendaknya.
5.
Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat
(2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak
menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal
orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut
dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut
dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
6.
Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang
hukum
masing-masing
agamanya
dan
kepercayaannya
itu
dari
yang
bersangkutan tidak menentukan lain.
Berdasarkan uraian yang terdapat pada Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor
1 tahun 1974 tentang Perkawinan memerlukan penjelasan yaitu oleh karena
perkawinan mempunyai maksud agar suami-isteri dapat membentuk keluarga, kekal,
dan bahagia, dan sesuai dengan hak asasi manusia, maka perkawinan harus disetujui
oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa adanya
paksaan oleh pihak manapun.
Ketentuan di dalam Pasal ini tidak berarti mengurangi syarat-syarat
perkawinan menurut ketentuan hukum perkawinan yang sekarang berlaku, sepanjang
tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan.
49
Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal
6 menyatakan bahwa:
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua mempelai.
2. Untuk melangsungkan pernikahan seorang yang belum mencapai umur 21 harus
mendapat izin orang tua.
3. Pencatatan Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan
Pencatatan perkawinan sangat penting dilakukan, oleh karena mempunyai
implikasi yuridis dalam berbagai aspek sebagai akibat dari dilakukannya perkawinan
/pernikahan tersebut. Akan tetapi, di Indonesia terdapat beberapa faktor terutama
yang berhubungan dengan nilai-nilai budaya dan agama atau kepercayaan, yang
menjadi kendala pelaksanaan pencatatan perkawinan Oleh karena itu, peranan
sosiologi hukum sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan menjadi sangat relevan
untuk menganalisa hubungan antara kaidah-kaidah hukum positif yang mengatur
tentang yang kewajiban pencatatan perkawinan dengan nilai – nilai yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat Indonesia.
Pencatatan perkawinan dalam pelaksanaannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 dan 4
Tahun 1975 Bab II Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Pencatatan itu perlu untuk kepastian hukum, maka perkawinan yang terjadi sebelum
50
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan yang
dilakukan menurut peraturan perundang-undangan yang lama adalah sah. Sebab
dengan dilakukannya pencatatan perkawinan tersebut akan diperoleh suatu alat bukti
yang kuat sebagai alat bukti autentik berupa akta nikah (akta perkawinan), yang
didalamnya memuat sebagai berikut:51
a. Nama, tanggal, dan tempat lahir, agama dan kepercayaan, pekerjaan dan tempat
kediaman suami-isteri. Jika pernah kawin disebutkan juga nama suami atau isteri
terdahulu.
b. Nama, agama atau kepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman orang tua
mertua.
c. Izin kedua orang tua bagi yang belum mencapai umur 21 tahun/dari wali atau
pengadilan.
d. Dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua
bagi yang melakukan perkawinan dibawah umur 19 tahun bagi pria dan dibawah
umur 16 tahun bagi wanita.
e. Izin pengadilan bagi seorang suami yang akan melangsungkan perkawinan lebih
dari seorang isteri.
f. Persetujuan kedua mempelai
g. Izin dari pejabat yang ditunjuk Menteri Hankam/Pangab bagi anggota TNI
h. Perjanjian perkawinan jika ada
51
Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
51
i. Nama, umur, agama atau kepercayaan, pekerjaan dan kediaman para saksi, dan
wali nikah bagi yang beragama Islam.
j. Nama, umur, agama atau kepercayaan, pekerjaan dan kediaman kuasa apabila
perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.
Hal-hal yang dimuat dalam akta perkawinan tersebut di atas merupakan
ketentuan minimal, sehingga masih dimungkinkan ditambahkannya hal-hal lain,
misalnya yaitu mengenai:
a. Nomor Akta
b. Tanggal, Bulan, Tahun pendaftaran
c. Jam, tanggal, bulan, dan Tahun Perkawinan dilakukan.
d. Nama dan jabatan dari Pegawai Pencatat.
e. Tanda tangan para mempelai, saksi dan bagi yang beragama Islam wali nikah atau
yang mewakilinya, Pegawai Pencatat
f. Bentuk dari mas kawin
g. Ijin Balai Harta Peninggalan bagi mereka yang memerlukannya berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sesaat sesudah dilangsungkan
perkawinan maka kedua mempelai menandatangani Akta Perkawinan yang telah
ditetapkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, yang kemudian diikuti oleh kedua
orang saksi, dan wali nikah. Penandatangan tersebut juga dilakukan oleh Pegawai
Pencatat Perkawinan yang bersangkutan, maka sejak saat itu perkawinan telah
tercatat secara resmi.
52
Akta perkawinan itu oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan dibuat rangkap 2
(dua). Helai pertama disimpan di Kantor Pencatat (Kantor Urusan Agama atau Kantor
Catatan Sipil). Sedangkan helai kedua dikirim ke Pengadilan yang daerah hukumnya
mewilayahi Kantor Pencatatan tersebut. hal ini untuk memudahkan pemeriksaan oleh
pengadilan bila dikemudian hari terjadi Talak atau Gugatan Perceraian, kepada suami
isteri masing-masing diberikan Kutipan Akta Perkawinan, yang mirip dengan Buku
Nikah dengan isi yang sama. Kutipan Akta Perkawinan tersebut adalah merupakan
bukti autentik bagi masing-masing yang bersangkutan karena dibuat oleh Pegawai
Umum.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat (2)
menegaskan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku”. “Artinya, pencatatan merupakan suatu hal yang harus dan
wajib dilakukan, tidak bisa dirubah-rubah lagi dalam sebuah perkawinan”.
Pencatatan perkawinan juga dapat berfungsi sebagai “pengatur” praktik
poligami yang sering dilakukan secara diam-diam oleh pihak-pihak tertentu yang
menjadikan perkawinan yang tidak dicatatkan semata. Setiap pasangan suami isteri
yang akan menikah di Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam dan
bagi yang beragama non-Islam di Kantor Catatan Sipil (KCS) biasanya harus melalui
mekanisme pengumuman status calon pasangan suami-isteri setelah terdaftar sebagai
pasangan suami-isteri yang akan melangsungkan perkawinan. Apabila data tentang
status kedua calon pasangan suami-isteri diumumkan dan ternyata ada pihak-pihak
53
yang kurang menyetujui dan keberatan, perkawinan tersebut batal atau dengan kata
lain perkawinan tersebut batal demi hukum.
Secara harfiyah, pencatatan perkawinan berarti: pertama perbuatan, cara
mencatat, kedua, yaitu pendaftaran. Jadi pencatatan perkawinan berati proses
perbuatan, cara mencatat dan mendaftarkan perkawinan.
Ketentuan yang mengatur tentang pencatatan perkawinan, terdapat di dalam
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, terdapat dalam Pasal 2
ayat (2) yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku”. tujuan pencatatan ini sebagaimana yang telah
diutarakan dalam No. 4 huruf b Penjelasaan Undang-Undang Perkawinan adalah
sebagai berikut:
“Dalam Undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah
bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu di
samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku”.52
Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan
peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian
yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, dan suatu akta resmi yang juga dimuat
dalam daftar pencatatan.
52
Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan di Indonesia, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1991), hal 85
54
Peraturan perundang-undangan tidak menerangkan pengertian tentang
pencatatan perkawinan secara definitif, tetapi hanya mengatur tentang tata cara
pencatatannya saja. Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang menyatakan bahwa “Dengan penandatangan akta perkawinan maka
perkawinan telah tercatat secara resmi”. Penandatangan dimaksud adalah kedua
mempelai, kedua saksi, wali nikah atau yang mewakilinya bagi pasangan suami-isteri
yang beragama Islam dan pegawai pencatatan perkawinan menghadiri perkawinan
yang terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Penjelasan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sedangkan pada Pasal 11
ayat (2) menyatakan bahwa “Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh
mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat
yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut
agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau wakilnya.
Namun sebelum penandatangan dilaksanakan, harus melakukan serangkaian
proses tertentu mesti dilaksanakan terlebih dahulu, yaitu:
1. Pemberitahuan
Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan
kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatatan Perkawinan di tempat perkawinan akan
dilangsungkan. Pemberitahuan tersebut dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh)
hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan tersebut dilakukan
sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut disebabkan sesuatu alasan yang penting
55
dapat diberikan Camat atas nama Bupati Kepala Daerah. Pemberitahuan dapat
disampaikan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau kedua orang tua atau
walinya.
Pemberitahuan tersebut memuat antara lain:
a. Nama
b. Umur
c. Agama/kepercayaan
d. Tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah
kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami terdahulu.
Bagi pasangan suami-isteri yang beragama Islam, pemberitahuan disampaikan
KUA (Kantor Urusan Agama), sesuai dengan Undang-Undamg Nomor 32 Tahun
1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Rujuk, sedangkan bagi pasangan suami-isteri
yang beragama non-Islam pemberitahuannya dilakukan kepada KCS (Kantor Catatan
Sipil) setempat.
Dalam memberitahukan perkawinan kepada pencatatan perkawinan ini dapat
dilakukan oleh kedua calon mempelai, orang tua mempelai atau wakilnya. Sesuai
dengan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa
“Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon kedua mempelai atau
orang tua atau wakilnya. Berkenaan dengan isi pasal ini, penjelasan Peraturan
Pelaksanaan
menjelaskan:
pada
prinsipnya
kehendak
untuk
melaksanakan
56
perkawinan harus dilakukan secara lisan oleh salah satu atau kedua calon mempelai,
atau oleh orang tuanya atau wakilnya.
Kemudian mengenai isi yang dimuat dalam pengumuman itu menurut Pasal 9
Dalam Peraturan Pemerintah Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan adalah tentang:
a. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon
mempelai dan dari orang tua calon kedua mempelai, apabila salah seorang atau
keduanya pernah kawin disebutkan nama isteri atau suami mereka dahulu.
b. Hari, tanggal, jam perkawinan akan dilangsungkan.
2. Pelaksanaan
Setelah hari kesepuluh sejak pengumuman perkawinan diumumkan kepada
khayak umum maka perkawinan tersebut bisa dilangsungkan asal semua peraturanperaturan semua terpenuhi.
Mengenai hal cara pelaksanaan perkawinan terdapat pada Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat dalamm Pasal 10 ayat (2) menyatakan
bahwa “Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu”.
Perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat perkawinan yang
berwenang dan dihadiri oleh kedua orang saksi. Pasal 11 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan menjelaskan “Sesaat sesudah dilangsungkan perkawinan sesuai
57
dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini,
kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai
Pencatat Nikah berdasarkan ketentuan yang berlaku”.
Pencatatan perkawinan adalah sebuah keharusan, ini dijelaskan dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 2 ayat (1) dan
(2) yang menyatakan bahwa :
1.
Perkawinan yang sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
2.
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pada dasarnya pasangan suami-isteri yang akan melangsungkan perkawinan
wajib memberitahukan kehendaknya kepada pegawai pencatat di tempat pasangan
perempuan maupun akan dilangsungkan di tempat pasangan laki-laki.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kegiatan
pencatatan perkawinan adalah sebagai alat bukti bahwa perkawinan tersebut telah
dianggap sah berdasarkan hukum yang berlaku di tanah air. Oleh karena itu pasangan
suami-isteri itu berhak mendapatkan akta nikah.
Adapun pencatatan perkawinan dimaksud untuk menjadikan peristiwaperistiwa yang penting menjadi jelas, baik bagi pasangan suami-isteri, maupun orang
lain, hal ini menyangkut surat yang bersifat resmi dan termuat dalam daftar khusus
yang disediakan, sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan sewaktu memiliki
58
keperluan, terutama sebagai alat bukti tertulis yang autentik. Dengan adanya surat
bukti dapatlah dibenarkan atau dicegah suatu perbuatan yang lain.
Pencatatan perkawinan dilakukan di KUA (Kantor Urusan Agama) bagi yang
beragama Islam, tumbuh dan berkembang dengan baik sejalan dengan tumbuhnya
pembangunan nasional, termasuk sejak masa orde baru yang mengutamakan stabilitas
nasional sebagai dasar tumbuh dan berkembangnya pembangunan di segala bidang.
Di Pulau Jawa, Pembantu Pegawai Pencatat Nikah tersebut mendapat legalitas
dari Departemen Agama sebagai penghantar orang yang berkepentingan dengan
nikah dari Departemen Agama sebagai penghantar orang yang berkepentingan
dengan nikah dan rujuk ke KUA (Kantor Urusan Agama) dan sebagai Pembina
kehidupan beragama. Diluar Pulau Jawa karena keadaannya wilayah yang luas, maka
Pembantu Pegawai Pencatat Nikah mempunyai tugas yang lebih berat, yaitu atas
nama Pegawai Pencatat Nikah/Kepala KUA (Kantor Urusan Agama) melakukan
pengawasan langsung terhadap pelaksanaannya Pegawai Pencatat Nikah.53
Dalam pencatatan perkawinan, Pegawai Pencatat Nikah bertugas membina
kehidupan beragama serta selaku Ketua BP4 bertugas menasehati perkawinan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dengan adanya KUA (Kantor Urusan Agama)
tersebut tugas Pembantu Pegawai Pencatatan Pernikahan dibedakan antara Jawa
dengan luar Pulau Jawa dan tugas pokoknya adalah :
53
Departemen Agama R.I 2007. Pedoman Pembantu Pencatat Nikah. Jakarta: Tenaga
Keagamaan Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, hal 2
59
1. Pelayanan nikah dan rujuk.
2. Pembina Kehidupan beragama Islam.54
Tugas pelayanan perkawinan nikah dan rujuk oleh Pembantu Pegawai
Pencatat Nikah adalah sebagai berikut:
1. Menerima informasi/pelapor dari masing-masing pihak yang berkepentingan
melakukan perkawinan (calon isteri dan wali) mencatatkannya dalam buku model
N10.
2. Melakukan penelitian awal tentang status dari keabsahan data masing-masing
pihak, baik berdasarkan surat-surat keterangan yang dikeluarkan Kepala
Desa/Lurah dan instansi lainnya maupun berdasarkan wawancara langsung.
3. Memberikan nasehat kepada masing-masing pihak tentang hal-hal yang sebaiknya
dilakukan. Misalnya: tentang hak dan kewajiban suami-isteri.
4. Mengantar mereka ke KUA (Kantor Urusan Agama) kecamatan untuk
melaporkan rencana perkawinan, sekurang-kurangnya 10 (sepuluh hari) sebelum
pelaksanaan perkawinan.
5. Mendampingi Pegawai Pencatat Nikah dalam mengawasi Pelaksanaan Akad
Nikah baik yang dilakukan dibalai nikah maupun yang dilakukan di luar balai
nikah.55
a. Pengangkatan Pembantu Pegawai Pencatatan Nikah
54
55
Ibid., hal 2
Ibid., hal 3
60
Untuk dapat diangkat menjadi Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan ada
beberapa Syarat yang harus dipenuhi, diantaranya menguasai ajaran agama Islam
serta mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari dan lulus test.
Honorarium Pembantu Pegawai Pencatat Nikah diperoleh dari peristiwa
nikah dan rujuk yang dilayaninya, yang besarnya ditetapkan oleh Kepala Kantor
Wilayah Departemen Agama dengan persetujuan Gubernur.
Status pembantu Pegawai Pencatatan Nikah bukan pegawai dan tidak ada
kaitannya dengan kemungkinan diangkat sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil).
4. Akibat Hukum Perkawinan yang Tidak Dicatatkan Menurut UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan mengenai sahnya suatu perkawinan yang menyatakan:56
1. Pasal 2 ayat (1) menyatakan: Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
2. Pasal 2 ayat (2) menyatakan: Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dikatakan, bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Akan tetapi, kalau dilihat penjelasan umum dari Undang-undang tersebut yang
56
Pasal 2 Undang undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
61
menyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan
harus dicatat menurut perundangan-undangan yang berlaku, dapat menimbulkan
kesan bahwa pencatatan perkawinan mempunyai peranan yang menentukan juga
terhadap suatu perkawinan. Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinan menurut Agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan
Rujuk pada Kantor Urusan Agama (KUA), sedangkan pencatatan perkawinan dari
mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaan selain
agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan dari Kantor Catatan
Sipil.57
Apabila ditelusuri Penjelasan Umum dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, poin (b) ayat (2) ditentukan: “Pencatatan tiap-tiap
perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam
kehidupan seseorang, misalnya kelahiran dan kematian yang dinyatakan dalam suratsurat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan”.
Menafsirkan ketentuan tersebut, maka perkawinan adalah suatu peristiwa penting
dalam kehidupan seseorang seperti kelahiran dan kematian. Dalam arti, waktu
perkawinan yang sah itulah waktu yang penting untuk dicatatkan, bukan waktu kapan
dicatatkan itu menjadi penting untuk diakui sebagai waktu dilangsungkannya
perkawinan, sebab waktu pencatatan adalah hanya bersifat administratif. Penafsiran
57
Elizabeth Hurlock, Perkembangan Anak Jilid 2, Diterjemahkan oleh Meitasari Tjandrasa.
(Jakarta: Erlangga, 1992), hal. 35
62
di atas adalah analog dengan pencatatan kelahiran dan kematian, bukan waktu
pencatatan kelahiran dan kematian yang dipakai sebagai waktu terjadinya kelahiran
dan kematian, tetapi waktu kapan dilahirkan dan kapan waktu kematian berlangsung
yang dipakai sebagai “waktu lahir” dan “waktu mati”. Jadi berdasarkan dengan
persamaan dengan kelahiran dan kematian, demikian pula dengan perkawinan, kapan
waktu sahnya perkawinan dilangsungkan menurut masing-masing hukum agamanya
dan kepercayaannya itulah yang harus diakui sebagai “waktu kawin”, bukan kapan
waktu perkawinan yang sah itu dicatatkan atau didaftarkan.58
Menurut R. Wantjik Saleh, sehubungan dengan pencatatan perkawinan
menyatakan: “Kiranya dapatlah dikatakan bahwa pencatatan perkawinan itu bertujuan
untuk menjadikan peristiwa perkawinan itu menjadi jelas, baik bagi yang
bersangkutan maupun bagi orang lain, karena dapat dibaca dalam suatu surat yang
bersifat resmi dan termuat dalam suatu daftar khusus disediakan dimana perlu,
terutama sebagai suatu alat bukti tertulis yang autentik”. Dengan adanya surat bukti
itu dapatlah dibenarkan atau dicegah suatu perbuatan yang lain. Pembuatan
pencatatan itu tidaklah menentukan “sahnya” suatu perkawinan, tetapi menyatakan
bahwa peristiwa perkawinan itu memang ada dan terjadi, jadi semata-mata bersifat
administratif. Sedangkan mengenai “sahnya” perkawinan, Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan tegas menyatakan dalam Pasal 2 ayat (1)
58
Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Beserta Undang-Undang Dan Peraturan Pelaksanaannya. (Jakarta: CV. Gitama Jaya Jakarta, 2003),
hal. 78
63
bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya.59
Berbicara mengenai akibat hukum perkawinan yang tidak dicatatkan, isteri
tidak dianggap sebagai isteri sah dikarenakan isteri tersebut melakukan perkawinan
secara agama saja akan tetapi secara hukum tidak karena pada perkawinan semacam
ini mereka tidak mencatatkan perkawinannya, isteri tidak berhak mendapatkan nafkah
dan warisan dari suaminya jika suami meninggal dunia, dan isteri juga tidak berhak
atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan mereka
dianggap pernikahannya tidak pernah terjadi. Secara sosial pada isteri yang
melaksanakan perkawinan yang tidak dicatatkan isteri akan sulit bersosialisasi karena
perempuan yang melakukan perkawinan yang tidak dicatatkan sering dianggap telah
tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan yang sah atau isteri
dianggap isteri simpanan.
Terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan,
Undang-undang perkawinan pada Pasal 42 mengatur tentang anak sah, Pasal 42
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa
”Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan
yang sah”. Jelas disini dimaksudkan bahwa status anak yang dilahirkan dari
perkawinan yang tidak dicatatkan status si anak tersebut anak yang dilahirkan
dianggap bukan anak sah dari pasangan suami-isteri tersebut dan Pasal 43 ayat (1)
59
Prawirohamidjojo, R. Soetojo. Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di
Indonesia. (Surabaya: Airlangga University Press, 1986).
64
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa
”Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Jadi dapat dikatakan dalam hal ini. Anak
tersebut tidak dapat menuntut hak-haknya atau hak yang sama dengan anak dari
perkawinan yang sah (perkawinan yang dicatatkan) hubungan status si ayah dengan si
anak mengakibatkan tidak mempunyai kekuatan hukum yang pasti, sehingga dalam
hal ini bisa saja si ayah sewaktu-waktu menyangkal bahwa anak tersebut bukanlah
darah dagingnya atau anak kandungnya ayah tersebut melalaikan kewajiban dan
tanggung jawabnya selaku ayah kandungnya.
Undang-undang Perkawinan sendiri diatur tentang hak dan kewajiban antara
orang tua dan anak ini diatur Pada BAB X dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 49,
akan tetapi dengan adanya Putusan MK (Mahkamah Konsitusi) Pasal 43 ayat (1)
berubah menjadi ”Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya
yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat
bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata
dengan keluarga ayahnya”. Dengan kata lain ayat tersebut bermaksud juga.
Akibatnya ayahnya juga ikut juga bertanggung jawab terhadap nasib si anak tersebut,
dalam pendidikan, pengasuhan dan nafkah biaya dan sebagainya.
65
B. Perkawinan menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam)
1. Pengertian Perkawinan menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam)
KHI (Kompilasi Hukum Islam), perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad
yang sangat kuat (mitsaqan ghalizha) menaati perintah Allah dan melakukan
merupakan ibadah.60
Menurut Sudarsono dalam buku Amin Summa yang berjudul “Hukum
Kekeluargaan Islam di Dunia Islam”, “Dewasa ini kerapkali dibedakan antara “nikah
dengan “kawin”, akan tetapi pada prinsipnya antara “pernikahan” dan “perkawinan”
hanya berbeda di dalam menarik akar kita saja.61 Apa yang dikatakan Sudarsono ini
ada benarnya terutama jika dihubungkan dengan istilah teknis maupun istilah hukum
yang digunakan. Hanya saja menjadi kurang tepat jika kata kawin dan nikah
dihubungkan dengan penghayatan terhadap hakikat dan makna filosofis yang
terkandung dalam tujuan pernikahan (perkawinan) itu sendiri.
Dalam bahasa Arab, kata nikah disebut “nikahun” yang merupakan masdar
atau kata asal dari kata kerja nakaha. Menurut bahasa, kata nikah berarti ad-dammu
wat tadakul (bertindih dan memasukkan). Sedangkan menurut istilah ilmu fiqh, nikah
berarti suatu akad (perjanjian) yang mengandung kebolehan melakukan hubungan
seksual dengan memakai kata-kata (lafaz) nikah atau tazwij.
Perkawinan dalam Islam menurut istilah ilmu Fiqih disebut dengan nikah atau
ziwaj. Nikah adalah dham yang berarti menghimpit, menindih atau berkumpul,
60
61
Pasal 2 Kompilasai Hukum Islam
Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hal. 62
66
sedangkan arti kiasannya adalah watha yang berarti bersetubuh atau aqad yang
berarti mengadakan perjanjian perkawinan”.62 Perkataan ziwaj diartikan sebagai
“kesepakatan antara seorang pria dan seorang wanita yang mengikatkan diri dalam
hubungan suami isteri untuk mencapai tujuan hidup dalam melaksanakan ibadah
kepada Allah”.63
Dalam Hukum Islam, perkawinan dipandang sebagai ibadah karena
merupakan sunah Rasul dan penyempurnaan separuh dari agama. Dalam salah satu
hadist disebutkan bahwa “Apabila menikah seorang hamba, sesungguhnya ia telah
menyempurnakan separuh agama, dan takutlah kepada Allah pada separuh yang
tinggal”. Jadi tidaklah tepat jika perkawinan hanya dipandang sebagai hubungan
sosial kemanusian saja. Seseorang melakukan perkawinan bukan hanya ingin
meningkatkan status sosial dan memenuhi kebutuhan biologisnya, tetapi lebih dari itu
yaitu mempunyai nilai ibadah yang sangat tinggi”.
Untuk menggapai kehidupan yang bahagia dalam sebuah perkawinan tidaklah
cukup untuk meningkatkan status sosialnya di masyarakat. Tetapi lebih dari itu
kebahagiaan dalam rumah tangga tidak bisa terlepas dari kehidupan spiritual.
Makna nikah adalah akad atau ikatan, karena dalam suatu proses pernikahan
terdapat ijab (pernyataan penyerahan dari pihak perempuan) dan qabul (pernyataan
kedua calon penyerahan dari pihak laki-laki).
62
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Bandung: Bulan Bintang,
1984), hal. 1
63
Abdul Djamali, Hukum Islam (Asas-asas, Hukum Islam I, Hukum Islam II), (Bandung: Mandar
Maju, 1992), hal. 74
67
Menurut Abdul Djamali bahwa tujuan perkawinan menurut hukum Islam
adalah :
a. Berbakti kepada Allah
b. Memenuhi atau mencukupkan kodrat hidup manusia yang telah menjadi hukum
bahwa antara pria dan wanita itu saling membutuhkan.
c. Mempertahankan keturunan umat manusia
d. Melanjutkan perkembangan dan ketentraman hidup rohaniah antara pria dan
wanita.
e. Mendekatkan dan saling menimbulkan pengertian antar golongan manusia
untuk menjaga keselamatan hidup.64
2. Syarat Sah Perkawinan Menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam)
Menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam) sahnya perkawinan adalah harus
adanya calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi dan, ijab dan qabul.65
1. Shighat (Ijab-Qabul)
Pengertian akad nikah menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal 1
bagian (c) akad nikah ialah: rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan qabul yang
diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh 2 orang saksi.
Di dalam fiqh ‘ala mazahib al-arba’ah syarat ijab-qabul adalah:
1. Jika dengan lafadz yang khusus seperti ankahtuka atau zawwajtuka
2. Jika pengucapan ijab-qabul pada satu majlis
64
65
Ibid., hal 75
Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Citra Umbara, 2007).
68
3. Jika tidak bertentangan antara ijab dan qabul. Contohnya ketika seorang wali
mengatakan saya nikahkan kamu dengan anak perempuanku dengan mas kawin
seperangkat alat shalat dibayar tunai, lalu calon suami menjawab saya terima
nikahnya tapi saya tidak menyetujui mas kawin tersebut.
4. Tidak boleh lafadz ijab-qabul terbatas waktu. Kalau lafadz Ijab-Qabul terbatas
waktu maka hukumnya menjdi nikah mut’ah.
Syarat bentuk kalimat ijab dan qabul: para fuqaha’ telah mensyaratkan harus
dalam bentuk madzi (lampau) bagi kedua belah pihak. Atau salah satunya dengan
bentuk madhi, sedangkan lainnya berbentuk mustaqbal (yang datang). Misalnya ijab
perempuan (yang diwakili wali) : “Saya nikahkan engkau dengan anak saya
bernama…”.66 Dan laki-laki tersebut menerima atas ijab perempuan. Misalnya: “Saya
terima menikahi…dengan maskawin…(tunai/atau…).67
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 27 menyatakan bahwa:
“Ijab dan Qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan
tidak berselang waktu”.68
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 28 menyatakan bahwa:
“Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang
bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan pada orang lain”.69
66
Sudarsono, Op. cit, hal. 62
Ibid., hal. 63
68
Pasal 27 Kompilasi Hukum Islam
69
Pasal 28 Kompilasi Hukum Islam
67
69
2. Syarat calon kedua mempelai yang baik
Untuk syarat seorang laki-laki sama dengan sifat yang dimiliki oleh seorang
wanita tinggal kebalikanya.
Syarat-syarat calon suami lainnya adalah:
1. Tidak dalam keadaan ihrom, meskipun diwakilkan.
2. Kehendak sendiri
3. Mengetahui nama, nasab, orang, serta keberadaan wanita yang akan dinikahi.
4. Jelas laki-laki.
Syarat-syarat calon isteri:
1. Tidak dalam keadaan ihrom
2. Tidak bersuami
3. Tidak dalam keadaan iddah (masa penantian)
4. Wanita.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 16 ayat 1 menyatakan bahwa:
perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.
3. Wali
Wali adalah rukun dari beberapa rukun perkawinan yang lima, dan tidak sah
nikah tanpa wali laki-laki.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 19 menyatakan wali nikah dalam
perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang
bertindak untuk menikahkannya.
70
Syarat-syarat menjadi wali:
1. Bapak.
2. Kakek dari jalur Bapak.
3. Saudara laki-laki kandung.
5. Saudara laki-laki tunggal bapak.
6. Kemenakan laki-laki (anak laki-lakinya saudara laki-laki sekandung).
7. Kemenakan laki-laki (anak laki-laki saudara laki-laki bapak).
8. Paman dari jalur bapak.
9. Sepupu laki-laki anak paman.
10. Hakim bila sudah tidak ada wali –wali tersebut dari jalur nasab.
Bila sudah benar-benar tidak ditemui seorang kerabat atau yang dimaksud
adalah wali di atas maka alternatif berdasarkan hadis Nabi adalah pemerintah atau
hakim kalau dalam masyarakat kita adalah naib.
Pasal 29 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan bahwa :
1. Yang berhak mengucapkan qabul ialah calon mempelai pria secara pribadi.
2. Dalam hal-hal tertentu ucapan qabul nikah dapat dilakukan pada pria lain dengan
ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa
penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.
Pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 20 ayat 1 menyatakan: yang
bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum
Islam yakni, muslim, aqil, baligh.
71
Wali nikah terdiri dari: wali nasab dan wali hakim, Wali nasab adalah wali
dari pihak kerabat dan wali hakim adalah pejabat yang diberi hak oleh penguasa
untuk menjadi wali nikah dalam keadaan tertentu dengan sebab tertentu pula.
Sebagian ulama diantaranya ulama al-mahhab Syafi’i, Hambali, dan Hanafi
menambahkan orang yang memerdekakan berhak menjadi wali nikah bagi budak
yang di memerdekakan, jika tidak ada wali nasab pada prinsipnya hak menikahkan
perempuan itu berada pada wali nasab atau yang memerdekakan. Hak berpindah pada
hakim, jika wali nasab atau memerdekakan tidak ada atau sebab lain.70
Pada Pasal 21 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dibahas empat kelompok wali
nasab yang pembahasanya sama dengan fikih Islam seperti pertama, kelompok
kerabat laki-laki garis lurus keatas. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki
saudara kandung, seayah dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat
paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki
mereka. Kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek
dan keturunan laki-laki mereka.
Menyangkut dengan wali hakim dinyatakan pada Pasal 23 Kompilasi Hukum
Islam (KHI) yang berbunyi:
a.
Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada
atau tidak mungkin menghadiri atau tidak diketahui tempat tinggal atau ghaibnya
atau ‘adhalnya atau enggan.
70
Ahmad Saiful Rijal, http://s-ipoel.blogspot.com/2013/06/pengertian-wali-hakim.html,
Pengertian wali, diakses Pada hari Selasa, tanggal 25 November 2014, Pada pukul 09:02 WIB
72
b.
Dalam hal wali ‘adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak
sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan agama tentang wali tersebut.71
4.
Saksi
Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, dan Imam Malik bersepakat bahwa saksi
termasuk syarat dari beberapa syarat syahnya nikah. Ulama’ jumhur berpendapat
bahwa perkawinan tidak dilakukan kecuali dengan jelas dalam pengucapan ijab dan
qabul, dan tidak boleh dilaksanakan kecuali dengan saksi-saksi hadir langsung dalam
pernikahan agar mengumumkan atau memberitahukan kepada orang-orang.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Pasal 24 ayat 1 menyatakan: “Saksi dalam
perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah”. Dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) Pasal 26 menyatakan bahwa: “saksi harus hadir dan menyaksikan secara
langsung akad nikah serta menandatangani akta pada waktu dan ditempat akad nikah
dilangsungkan”.
Syarat-syarat saksi: Islam, baligh, berakal, mendengarkan langsung perkataan
ijab-qabul, dua orang laki-laki dan yang terpenting adil. Abu Hanifah berpendapat
bahwa jika perkawinan dihadiri oleh dua saksi yang fasik tidak apa-apa karena
maksud saksi di sini adalah untuk pengumuman. Untuk Imam Syafii mempunyai
pendapat bahwa saksi mengandung dua arti, yaitu pengumuman dan penerimaan jadi
disyaratkan saksi yang adil. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 24 ayat 2
menyatakan : setiap perkawinan harus disaksikan 2 orang saksi.
71
Pasal 23 Kompilas Hukum Islam
73
Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan Dalam Pasal 24 ayat 1
menjelaskan: saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. Dan
ayat 2 pada Pasal 24 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa: “Setiap
perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi”.
Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar sahnya perkawinan. Jika syaratsyarat ini terpenuhi maka perkawinan tersebut sah dan akan menimbulkan kewajibankewajiban dan hak-hak perkawinan. Adapun syarat-syarat sahnya suatu perkawinan
adalah:
1. Mempelai perempuan halal dinikahi oleh laki-laki yang akan menjadi suaminya.
2. Dihadiri dua orang saksi laki-laki.
3. Ada wali mempelai perempuan yang melakukan akad. syarat ketiga ini dianut
oleh kaum Muslimin di Indonesia dan merupakan pendapat Syafi’I, Ahmad Bin
Hanbal.72
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 15 ayat 1 menyatakan bahwa:
untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan
calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam Pasal 7
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tentang yakni calon
suami berumur 19 (Sembilan belas) tahun dan calon isteri sekurangnya berumur 16
(enam belas) tahun.
72
Sudarsono. Op. cit., hal. 40
74
3. Pencatatan Perkawinan Menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam)
Secara syari’ah agama, pencatatan perkawinan memang tidak termasuk dalam
rukun serta syarat sahnya perkawinan, seperti tentang wali, saksi, ijab-qabul, mahar,
dan sebagainya, akan tetapi berdasarkan analisis hukum Islam pencatatan itu
termasuk dalam syarat sahnya suatu akad yang disebut akad mu’amalah. Proses ini
sangat penting sebagai bukti autentik yang dapat memperkuat komitmen pada
pasangan suami-isteri agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan salah satu pasangan
suami-isteri, termasuk anak-anak.
Bagi pasangan suami-isteri yang beragama Islam yang ingin menikah,
pasangan suami-isteri mencatatkan pernikahannya di KUA (Kantor Urusan Agama),
sedangkan bagi yang di luar dari Agama Islam wajib mencatatkan perkawinannya di
KCS (Kantor Catatan Sipil).
Berdasarkan uraian Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 2
ayat (1) maka pencatatan bagi yang beragama Islam didasarkan pada ketentuanketentuan yang berlaku dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam).
Pasal 5 - 6 Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia, yang berbunyi :
Ketentuan Pasal 5 ayat 1 dan 2 yang menyatakan bahwa :
1. Agar terjamin ketertiban bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”.
2. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat
Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetap
BAB II
AKIBAT HUKUM PERKAWINAN YANG TIDAK DICATATKAN
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG
PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
A. Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
1. Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
adalah Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.46
Perkawinan adalah sesuatu yang umum di masyarakat, menurut hukum
perdata, hukum adat, dan Islamic law (hukum Islam). Perkawinan selalu dipandang
sebagai dasar bagi unit keluarga yang mempunyai arti yang sangat penting bagi
penjagaan moral atau akhlak masyarakat dalam pembentukan peradaban. Dari kedua
ketentuan ini menegaskan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin yang
mengikat laki-laki dan perempuan sebagai suami isteri atas dasar Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Perkawinan sering juga disebut “pernikahan”. Dalam bahasa Indonesia,
“perkawinan” berasal dari kata “kawin”, yang menurut bahasa, artinya membentuk
46
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
39
40
keluarga dengan berlawanan jenis antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan, yang melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Sedangkan, istilah
“kawin” digunakan secara umum, untuk tumbuhan, hewan, manusia, dan
menunjukkan proses generatif secara alami. berbeda dengan ini, nikah hanya
digunakan pada manusia karena mengandung keabsahan secara hukum nasional, adat
istiadat, dan menurut agama.
Dalam kata kawin, terkesan seolah-olah perkawinan hanya melulu
mencerminkan hubungan biologis (seksual) yakni hubungan kelamin yang lazim
dikenal dengan sebutan persenggamaan antara laki-laki dengan perempuan, seperti
layaknya hubungan kelamin yang juga dilakukan hewan jantan dan betina. Hal itulah
yang menyebabkan kenapa atau mengapa banyak orang tidak menikah secara hukum
dan lebih suka kumpul kebo karena bagi pasangan seperti ini, hakikat kawin adalah
persenggamaan. Kata nikah tidak semata-mata tercermin berkonotasi makna biologis,
tetapi juga sekaligus juga tersirat dengan jelas hubungan pisikis kejiwaan
(kerohanian) dan tingkah laku pasangan suami-isteri dibalik hubungan bilogis, dalam
kata nikah, hubungan antara suami-isteri dan bahkan kemudian hubungan orang tua
dan anak, akan mencerminkan hubungan kemanusiaan yang lebih terhormat, sejajar
martabat manusia itu sendiri.47
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, maka bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam apabila
47
Amin Summa, Hukum Kekeluargaan Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2005), hal. 39
41
hendak melaksanakan perkawinan supaya sah harus memenuhi ketentuan-ketentuan
tentang perkawinan sebagaimana yang diatur di dalam hukum perkawinan. Demikian
juga halnya dengan bagi mereka yang beragama Kristen, Buddha dan Hindu, hukum
agama merekalah yang menjadi dasar pelaksanaan yang menentukan sahnya suatu
perkawinan. "Ini berarti bahwa suatu perkawinan yang dilaksanakan bertentangan
dengan ketentuan hukum agama, dengan sendirinya menurut Undang-undang
Perkawinan ini dianggap tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan
perkawinan"
2. Syarat sah Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan
Syarat sah perkawinan diatur mulai Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Syarat perkawinan yang bersifat
materiil dapat dilihat dari ketentuan Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu:48
a. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
b. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua
puluh satu) tahun harus mendapat ijin orang tua atau salah satu orang tuanya,
apabila salah satunya telah meninggal dunia
48
Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
42
c. Perkawinan hanya hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) Tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas)
Tahun.
d. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin
lagi kecuali memenuhi Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
e. Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan
bercerai lagi untuk kedua kalinya.
f. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
Mengenai waktu tunggu ini diatur dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975 tentang pelaksanan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan sebagai berikut:
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari,
dihitung sejak kematian suami.
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih
berdatang bulan adalah 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari, yang
dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum
yang tetap.
c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu
tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
d. Bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda dan
bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin tidak ada waktu tunggu.
43
Selanjutnya dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah maupun ke atas/incest.
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara,
antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara
neneknya.
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak, tiri/periparan.
d. Berhubungan sususan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan
bibi/paman susuan.
e. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri
dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku
dilarang kawin
Sedangkan syarat perkawinan secara formal dapat diuraikan menurut Pasal 12
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan direalisasikan dalam
Pasal 3 s/d Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Secara singkat syarat
formal ini dapat diuraikan sebagai berikut:49
1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan
kehendaknya kepada Pegawai Pencatat Perkawinan di mana perkawinan itu akan
49
Pasal 3 sampai dengan Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
44
dilangsungkan, dilakukan sekurang kurangnya 10 hari sebelum perkawinan
dilangsungkan.
Pemberitahuan dapat dilakukan lisan/tertulis oleh calon
mempelai/orang tua/wakilnya. Pemberitahuan itu antara lain memuat: nama,
umur, agama, tempat tinggal calon mempelai (Pasal 3-5)
2. Setelah syarat-syarat diterima Pegawai Pencatat Perkawinan lalu diteliti, apakah
sudah memenuhi syarat/belum. Hasil penelitian ditulis dalam daftar khusus untuk
hal tersebut (Pasal 6-7).
3. Apabila semua syarat telah dipenuhi Pegawai Pencatat Perkawinan membuat
pengumuman yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang
memuat antara lain:
a.
Nama, umur, agama, pekerjaan, dan pekerjaan calon pengantin.
b.
Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan (Pasal 8-9)
4. Barulah perkawinan dilaksanakan setelah hari ke sepuluh yang dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kedua calon mempelai
menandatangani akta perkawinan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh
dua orang saksi, maka perkawinan telah tercatat secara resmi. Akta perkawinan
dibuat rangkap dua, satu untuk Pegawai Pencatat dan satu lagi disimpan pada
Panitera Pengadilan. Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan
akta perkawinan (pasal 10-13).
Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan
bahwa suatu perkawinan baru sah apabila dilakukan menurut hukum, agama, dan
45
kepercayaan masing-masing.50 Hal ini diatur dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Disamping itu ada keharusan untuk
melakukan pencatatan perkawinan, adapun bunyi pasal tersebut ialah “tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undang yang berlaku”. pencatatan
perkawinan sama halnya dengan pencatatan suatu peristiwa hukum dalam kehidupan
seseorang. Misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam daftar pencatatan
yang disediakan khusus untuk itu.
Di dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menitik beratkan kepada adanya pencatatan perkawinan yang secara rinci
diatur bahwa :
a) Ketentuan tentang pencatatan perkawinan
1.
Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya
menurut agama Islam dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan
Nikah, Talak, dan Rujuk.
2.
Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya
menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan
oleh pegawai pencatatan perkawinan pada KCS (Kantor Catatan Sipil)
sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai
pencatatan perkawinan.
50
KN. Sofyan Hasan, Dasar-Dasar Memahami Hukum Islam di Indonesia, (Surabaya: Usaha
Nasional, 1994), hal. 7
46
3. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tata
cara peraturan pencatatan perkawinan dilakukan sebagai mana ditentukan
dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 peraturan itu.
b) Ketentuan mengenai tempat pemberitahuan dan tenggang waktu antara saat
memberitahukan dengan pelaksanaanya.
c) Tata cara pemberitahuan kehendak untuk melakukan perkawinan ditentukan
bahwa pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai
atau oleh orang tua atau wakilnya,
d) Pemberitahuan tersebut mengharuskannya pegawai pencatat untuk melakukan
hal-hal yaitu :
1. Meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak
terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang.
2. Selain itu pegawai pencatatan meliputi pula :
a. Kutipan akta kelahiran calon mempelai
b. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat tinggal
orang tua calon mempelai.
c. Ijin tertulis atau ijin pengadilan apabila salah satu calon mempelai atau
keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh) tahun.
d. Ijin pengadilan dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang
masih beristeri.
e. Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau dalam hal pencatatan
bagi perkawinan untuk kedua halnya atau lebih.
47
f. Ijin tertulis yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB apabila salah
seorang calon mempelai atau keduanya anggota angkatan bersenjata.
g. Surat kuasa autentik atau dibawah tangan yang disahkan oleh pegawai
pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat
hadir karena sesuatu alasan yang tertulis, sehingga mewakilkan kepada
orang lain.
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan secara lengkap
mengatur syarat-syarat perkawinan baik yang menyangkut pasangan suami-isteri,
kelengkapan administratif, prosedur pelaksanaannya dan mekanismenya. Adapun
syarat-syarat yang telah dititikberatkan kepada orangnya diatur pada pasal 6 yang
menyatakan bahwa:
1.
Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2.
Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
(duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3.
Dalam hal salah seorang dari kedua orangtua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2)
pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua
yang mampu menyatakan kehendaknya.
4.
Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang
yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis
48
keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat
menyatakan kehendaknya.
5.
Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat
(2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak
menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal
orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut
dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut
dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
6.
Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang
hukum
masing-masing
agamanya
dan
kepercayaannya
itu
dari
yang
bersangkutan tidak menentukan lain.
Berdasarkan uraian yang terdapat pada Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor
1 tahun 1974 tentang Perkawinan memerlukan penjelasan yaitu oleh karena
perkawinan mempunyai maksud agar suami-isteri dapat membentuk keluarga, kekal,
dan bahagia, dan sesuai dengan hak asasi manusia, maka perkawinan harus disetujui
oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa adanya
paksaan oleh pihak manapun.
Ketentuan di dalam Pasal ini tidak berarti mengurangi syarat-syarat
perkawinan menurut ketentuan hukum perkawinan yang sekarang berlaku, sepanjang
tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan.
49
Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal
6 menyatakan bahwa:
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua mempelai.
2. Untuk melangsungkan pernikahan seorang yang belum mencapai umur 21 harus
mendapat izin orang tua.
3. Pencatatan Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan
Pencatatan perkawinan sangat penting dilakukan, oleh karena mempunyai
implikasi yuridis dalam berbagai aspek sebagai akibat dari dilakukannya perkawinan
/pernikahan tersebut. Akan tetapi, di Indonesia terdapat beberapa faktor terutama
yang berhubungan dengan nilai-nilai budaya dan agama atau kepercayaan, yang
menjadi kendala pelaksanaan pencatatan perkawinan Oleh karena itu, peranan
sosiologi hukum sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan menjadi sangat relevan
untuk menganalisa hubungan antara kaidah-kaidah hukum positif yang mengatur
tentang yang kewajiban pencatatan perkawinan dengan nilai – nilai yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat Indonesia.
Pencatatan perkawinan dalam pelaksanaannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 dan 4
Tahun 1975 Bab II Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Pencatatan itu perlu untuk kepastian hukum, maka perkawinan yang terjadi sebelum
50
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan yang
dilakukan menurut peraturan perundang-undangan yang lama adalah sah. Sebab
dengan dilakukannya pencatatan perkawinan tersebut akan diperoleh suatu alat bukti
yang kuat sebagai alat bukti autentik berupa akta nikah (akta perkawinan), yang
didalamnya memuat sebagai berikut:51
a. Nama, tanggal, dan tempat lahir, agama dan kepercayaan, pekerjaan dan tempat
kediaman suami-isteri. Jika pernah kawin disebutkan juga nama suami atau isteri
terdahulu.
b. Nama, agama atau kepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman orang tua
mertua.
c. Izin kedua orang tua bagi yang belum mencapai umur 21 tahun/dari wali atau
pengadilan.
d. Dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua
bagi yang melakukan perkawinan dibawah umur 19 tahun bagi pria dan dibawah
umur 16 tahun bagi wanita.
e. Izin pengadilan bagi seorang suami yang akan melangsungkan perkawinan lebih
dari seorang isteri.
f. Persetujuan kedua mempelai
g. Izin dari pejabat yang ditunjuk Menteri Hankam/Pangab bagi anggota TNI
h. Perjanjian perkawinan jika ada
51
Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
51
i. Nama, umur, agama atau kepercayaan, pekerjaan dan kediaman para saksi, dan
wali nikah bagi yang beragama Islam.
j. Nama, umur, agama atau kepercayaan, pekerjaan dan kediaman kuasa apabila
perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.
Hal-hal yang dimuat dalam akta perkawinan tersebut di atas merupakan
ketentuan minimal, sehingga masih dimungkinkan ditambahkannya hal-hal lain,
misalnya yaitu mengenai:
a. Nomor Akta
b. Tanggal, Bulan, Tahun pendaftaran
c. Jam, tanggal, bulan, dan Tahun Perkawinan dilakukan.
d. Nama dan jabatan dari Pegawai Pencatat.
e. Tanda tangan para mempelai, saksi dan bagi yang beragama Islam wali nikah atau
yang mewakilinya, Pegawai Pencatat
f. Bentuk dari mas kawin
g. Ijin Balai Harta Peninggalan bagi mereka yang memerlukannya berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sesaat sesudah dilangsungkan
perkawinan maka kedua mempelai menandatangani Akta Perkawinan yang telah
ditetapkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, yang kemudian diikuti oleh kedua
orang saksi, dan wali nikah. Penandatangan tersebut juga dilakukan oleh Pegawai
Pencatat Perkawinan yang bersangkutan, maka sejak saat itu perkawinan telah
tercatat secara resmi.
52
Akta perkawinan itu oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan dibuat rangkap 2
(dua). Helai pertama disimpan di Kantor Pencatat (Kantor Urusan Agama atau Kantor
Catatan Sipil). Sedangkan helai kedua dikirim ke Pengadilan yang daerah hukumnya
mewilayahi Kantor Pencatatan tersebut. hal ini untuk memudahkan pemeriksaan oleh
pengadilan bila dikemudian hari terjadi Talak atau Gugatan Perceraian, kepada suami
isteri masing-masing diberikan Kutipan Akta Perkawinan, yang mirip dengan Buku
Nikah dengan isi yang sama. Kutipan Akta Perkawinan tersebut adalah merupakan
bukti autentik bagi masing-masing yang bersangkutan karena dibuat oleh Pegawai
Umum.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat (2)
menegaskan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku”. “Artinya, pencatatan merupakan suatu hal yang harus dan
wajib dilakukan, tidak bisa dirubah-rubah lagi dalam sebuah perkawinan”.
Pencatatan perkawinan juga dapat berfungsi sebagai “pengatur” praktik
poligami yang sering dilakukan secara diam-diam oleh pihak-pihak tertentu yang
menjadikan perkawinan yang tidak dicatatkan semata. Setiap pasangan suami isteri
yang akan menikah di Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam dan
bagi yang beragama non-Islam di Kantor Catatan Sipil (KCS) biasanya harus melalui
mekanisme pengumuman status calon pasangan suami-isteri setelah terdaftar sebagai
pasangan suami-isteri yang akan melangsungkan perkawinan. Apabila data tentang
status kedua calon pasangan suami-isteri diumumkan dan ternyata ada pihak-pihak
53
yang kurang menyetujui dan keberatan, perkawinan tersebut batal atau dengan kata
lain perkawinan tersebut batal demi hukum.
Secara harfiyah, pencatatan perkawinan berarti: pertama perbuatan, cara
mencatat, kedua, yaitu pendaftaran. Jadi pencatatan perkawinan berati proses
perbuatan, cara mencatat dan mendaftarkan perkawinan.
Ketentuan yang mengatur tentang pencatatan perkawinan, terdapat di dalam
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, terdapat dalam Pasal 2
ayat (2) yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku”. tujuan pencatatan ini sebagaimana yang telah
diutarakan dalam No. 4 huruf b Penjelasaan Undang-Undang Perkawinan adalah
sebagai berikut:
“Dalam Undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah
bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu di
samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku”.52
Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan
peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian
yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, dan suatu akta resmi yang juga dimuat
dalam daftar pencatatan.
52
Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan di Indonesia, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1991), hal 85
54
Peraturan perundang-undangan tidak menerangkan pengertian tentang
pencatatan perkawinan secara definitif, tetapi hanya mengatur tentang tata cara
pencatatannya saja. Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang menyatakan bahwa “Dengan penandatangan akta perkawinan maka
perkawinan telah tercatat secara resmi”. Penandatangan dimaksud adalah kedua
mempelai, kedua saksi, wali nikah atau yang mewakilinya bagi pasangan suami-isteri
yang beragama Islam dan pegawai pencatatan perkawinan menghadiri perkawinan
yang terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Penjelasan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sedangkan pada Pasal 11
ayat (2) menyatakan bahwa “Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh
mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat
yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut
agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau wakilnya.
Namun sebelum penandatangan dilaksanakan, harus melakukan serangkaian
proses tertentu mesti dilaksanakan terlebih dahulu, yaitu:
1. Pemberitahuan
Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan
kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatatan Perkawinan di tempat perkawinan akan
dilangsungkan. Pemberitahuan tersebut dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh)
hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan tersebut dilakukan
sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut disebabkan sesuatu alasan yang penting
55
dapat diberikan Camat atas nama Bupati Kepala Daerah. Pemberitahuan dapat
disampaikan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau kedua orang tua atau
walinya.
Pemberitahuan tersebut memuat antara lain:
a. Nama
b. Umur
c. Agama/kepercayaan
d. Tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah
kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami terdahulu.
Bagi pasangan suami-isteri yang beragama Islam, pemberitahuan disampaikan
KUA (Kantor Urusan Agama), sesuai dengan Undang-Undamg Nomor 32 Tahun
1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Rujuk, sedangkan bagi pasangan suami-isteri
yang beragama non-Islam pemberitahuannya dilakukan kepada KCS (Kantor Catatan
Sipil) setempat.
Dalam memberitahukan perkawinan kepada pencatatan perkawinan ini dapat
dilakukan oleh kedua calon mempelai, orang tua mempelai atau wakilnya. Sesuai
dengan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa
“Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon kedua mempelai atau
orang tua atau wakilnya. Berkenaan dengan isi pasal ini, penjelasan Peraturan
Pelaksanaan
menjelaskan:
pada
prinsipnya
kehendak
untuk
melaksanakan
56
perkawinan harus dilakukan secara lisan oleh salah satu atau kedua calon mempelai,
atau oleh orang tuanya atau wakilnya.
Kemudian mengenai isi yang dimuat dalam pengumuman itu menurut Pasal 9
Dalam Peraturan Pemerintah Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan adalah tentang:
a. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon
mempelai dan dari orang tua calon kedua mempelai, apabila salah seorang atau
keduanya pernah kawin disebutkan nama isteri atau suami mereka dahulu.
b. Hari, tanggal, jam perkawinan akan dilangsungkan.
2. Pelaksanaan
Setelah hari kesepuluh sejak pengumuman perkawinan diumumkan kepada
khayak umum maka perkawinan tersebut bisa dilangsungkan asal semua peraturanperaturan semua terpenuhi.
Mengenai hal cara pelaksanaan perkawinan terdapat pada Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat dalamm Pasal 10 ayat (2) menyatakan
bahwa “Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu”.
Perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat perkawinan yang
berwenang dan dihadiri oleh kedua orang saksi. Pasal 11 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan menjelaskan “Sesaat sesudah dilangsungkan perkawinan sesuai
57
dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini,
kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai
Pencatat Nikah berdasarkan ketentuan yang berlaku”.
Pencatatan perkawinan adalah sebuah keharusan, ini dijelaskan dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 2 ayat (1) dan
(2) yang menyatakan bahwa :
1.
Perkawinan yang sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
2.
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pada dasarnya pasangan suami-isteri yang akan melangsungkan perkawinan
wajib memberitahukan kehendaknya kepada pegawai pencatat di tempat pasangan
perempuan maupun akan dilangsungkan di tempat pasangan laki-laki.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kegiatan
pencatatan perkawinan adalah sebagai alat bukti bahwa perkawinan tersebut telah
dianggap sah berdasarkan hukum yang berlaku di tanah air. Oleh karena itu pasangan
suami-isteri itu berhak mendapatkan akta nikah.
Adapun pencatatan perkawinan dimaksud untuk menjadikan peristiwaperistiwa yang penting menjadi jelas, baik bagi pasangan suami-isteri, maupun orang
lain, hal ini menyangkut surat yang bersifat resmi dan termuat dalam daftar khusus
yang disediakan, sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan sewaktu memiliki
58
keperluan, terutama sebagai alat bukti tertulis yang autentik. Dengan adanya surat
bukti dapatlah dibenarkan atau dicegah suatu perbuatan yang lain.
Pencatatan perkawinan dilakukan di KUA (Kantor Urusan Agama) bagi yang
beragama Islam, tumbuh dan berkembang dengan baik sejalan dengan tumbuhnya
pembangunan nasional, termasuk sejak masa orde baru yang mengutamakan stabilitas
nasional sebagai dasar tumbuh dan berkembangnya pembangunan di segala bidang.
Di Pulau Jawa, Pembantu Pegawai Pencatat Nikah tersebut mendapat legalitas
dari Departemen Agama sebagai penghantar orang yang berkepentingan dengan
nikah dari Departemen Agama sebagai penghantar orang yang berkepentingan
dengan nikah dan rujuk ke KUA (Kantor Urusan Agama) dan sebagai Pembina
kehidupan beragama. Diluar Pulau Jawa karena keadaannya wilayah yang luas, maka
Pembantu Pegawai Pencatat Nikah mempunyai tugas yang lebih berat, yaitu atas
nama Pegawai Pencatat Nikah/Kepala KUA (Kantor Urusan Agama) melakukan
pengawasan langsung terhadap pelaksanaannya Pegawai Pencatat Nikah.53
Dalam pencatatan perkawinan, Pegawai Pencatat Nikah bertugas membina
kehidupan beragama serta selaku Ketua BP4 bertugas menasehati perkawinan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dengan adanya KUA (Kantor Urusan Agama)
tersebut tugas Pembantu Pegawai Pencatatan Pernikahan dibedakan antara Jawa
dengan luar Pulau Jawa dan tugas pokoknya adalah :
53
Departemen Agama R.I 2007. Pedoman Pembantu Pencatat Nikah. Jakarta: Tenaga
Keagamaan Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, hal 2
59
1. Pelayanan nikah dan rujuk.
2. Pembina Kehidupan beragama Islam.54
Tugas pelayanan perkawinan nikah dan rujuk oleh Pembantu Pegawai
Pencatat Nikah adalah sebagai berikut:
1. Menerima informasi/pelapor dari masing-masing pihak yang berkepentingan
melakukan perkawinan (calon isteri dan wali) mencatatkannya dalam buku model
N10.
2. Melakukan penelitian awal tentang status dari keabsahan data masing-masing
pihak, baik berdasarkan surat-surat keterangan yang dikeluarkan Kepala
Desa/Lurah dan instansi lainnya maupun berdasarkan wawancara langsung.
3. Memberikan nasehat kepada masing-masing pihak tentang hal-hal yang sebaiknya
dilakukan. Misalnya: tentang hak dan kewajiban suami-isteri.
4. Mengantar mereka ke KUA (Kantor Urusan Agama) kecamatan untuk
melaporkan rencana perkawinan, sekurang-kurangnya 10 (sepuluh hari) sebelum
pelaksanaan perkawinan.
5. Mendampingi Pegawai Pencatat Nikah dalam mengawasi Pelaksanaan Akad
Nikah baik yang dilakukan dibalai nikah maupun yang dilakukan di luar balai
nikah.55
a. Pengangkatan Pembantu Pegawai Pencatatan Nikah
54
55
Ibid., hal 2
Ibid., hal 3
60
Untuk dapat diangkat menjadi Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan ada
beberapa Syarat yang harus dipenuhi, diantaranya menguasai ajaran agama Islam
serta mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari dan lulus test.
Honorarium Pembantu Pegawai Pencatat Nikah diperoleh dari peristiwa
nikah dan rujuk yang dilayaninya, yang besarnya ditetapkan oleh Kepala Kantor
Wilayah Departemen Agama dengan persetujuan Gubernur.
Status pembantu Pegawai Pencatatan Nikah bukan pegawai dan tidak ada
kaitannya dengan kemungkinan diangkat sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil).
4. Akibat Hukum Perkawinan yang Tidak Dicatatkan Menurut UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan mengenai sahnya suatu perkawinan yang menyatakan:56
1. Pasal 2 ayat (1) menyatakan: Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
2. Pasal 2 ayat (2) menyatakan: Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dikatakan, bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Akan tetapi, kalau dilihat penjelasan umum dari Undang-undang tersebut yang
56
Pasal 2 Undang undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
61
menyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan
harus dicatat menurut perundangan-undangan yang berlaku, dapat menimbulkan
kesan bahwa pencatatan perkawinan mempunyai peranan yang menentukan juga
terhadap suatu perkawinan. Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinan menurut Agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan
Rujuk pada Kantor Urusan Agama (KUA), sedangkan pencatatan perkawinan dari
mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaan selain
agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan dari Kantor Catatan
Sipil.57
Apabila ditelusuri Penjelasan Umum dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, poin (b) ayat (2) ditentukan: “Pencatatan tiap-tiap
perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam
kehidupan seseorang, misalnya kelahiran dan kematian yang dinyatakan dalam suratsurat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan”.
Menafsirkan ketentuan tersebut, maka perkawinan adalah suatu peristiwa penting
dalam kehidupan seseorang seperti kelahiran dan kematian. Dalam arti, waktu
perkawinan yang sah itulah waktu yang penting untuk dicatatkan, bukan waktu kapan
dicatatkan itu menjadi penting untuk diakui sebagai waktu dilangsungkannya
perkawinan, sebab waktu pencatatan adalah hanya bersifat administratif. Penafsiran
57
Elizabeth Hurlock, Perkembangan Anak Jilid 2, Diterjemahkan oleh Meitasari Tjandrasa.
(Jakarta: Erlangga, 1992), hal. 35
62
di atas adalah analog dengan pencatatan kelahiran dan kematian, bukan waktu
pencatatan kelahiran dan kematian yang dipakai sebagai waktu terjadinya kelahiran
dan kematian, tetapi waktu kapan dilahirkan dan kapan waktu kematian berlangsung
yang dipakai sebagai “waktu lahir” dan “waktu mati”. Jadi berdasarkan dengan
persamaan dengan kelahiran dan kematian, demikian pula dengan perkawinan, kapan
waktu sahnya perkawinan dilangsungkan menurut masing-masing hukum agamanya
dan kepercayaannya itulah yang harus diakui sebagai “waktu kawin”, bukan kapan
waktu perkawinan yang sah itu dicatatkan atau didaftarkan.58
Menurut R. Wantjik Saleh, sehubungan dengan pencatatan perkawinan
menyatakan: “Kiranya dapatlah dikatakan bahwa pencatatan perkawinan itu bertujuan
untuk menjadikan peristiwa perkawinan itu menjadi jelas, baik bagi yang
bersangkutan maupun bagi orang lain, karena dapat dibaca dalam suatu surat yang
bersifat resmi dan termuat dalam suatu daftar khusus disediakan dimana perlu,
terutama sebagai suatu alat bukti tertulis yang autentik”. Dengan adanya surat bukti
itu dapatlah dibenarkan atau dicegah suatu perbuatan yang lain. Pembuatan
pencatatan itu tidaklah menentukan “sahnya” suatu perkawinan, tetapi menyatakan
bahwa peristiwa perkawinan itu memang ada dan terjadi, jadi semata-mata bersifat
administratif. Sedangkan mengenai “sahnya” perkawinan, Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan tegas menyatakan dalam Pasal 2 ayat (1)
58
Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Beserta Undang-Undang Dan Peraturan Pelaksanaannya. (Jakarta: CV. Gitama Jaya Jakarta, 2003),
hal. 78
63
bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya.59
Berbicara mengenai akibat hukum perkawinan yang tidak dicatatkan, isteri
tidak dianggap sebagai isteri sah dikarenakan isteri tersebut melakukan perkawinan
secara agama saja akan tetapi secara hukum tidak karena pada perkawinan semacam
ini mereka tidak mencatatkan perkawinannya, isteri tidak berhak mendapatkan nafkah
dan warisan dari suaminya jika suami meninggal dunia, dan isteri juga tidak berhak
atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan mereka
dianggap pernikahannya tidak pernah terjadi. Secara sosial pada isteri yang
melaksanakan perkawinan yang tidak dicatatkan isteri akan sulit bersosialisasi karena
perempuan yang melakukan perkawinan yang tidak dicatatkan sering dianggap telah
tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan yang sah atau isteri
dianggap isteri simpanan.
Terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan,
Undang-undang perkawinan pada Pasal 42 mengatur tentang anak sah, Pasal 42
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa
”Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan
yang sah”. Jelas disini dimaksudkan bahwa status anak yang dilahirkan dari
perkawinan yang tidak dicatatkan status si anak tersebut anak yang dilahirkan
dianggap bukan anak sah dari pasangan suami-isteri tersebut dan Pasal 43 ayat (1)
59
Prawirohamidjojo, R. Soetojo. Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di
Indonesia. (Surabaya: Airlangga University Press, 1986).
64
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa
”Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Jadi dapat dikatakan dalam hal ini. Anak
tersebut tidak dapat menuntut hak-haknya atau hak yang sama dengan anak dari
perkawinan yang sah (perkawinan yang dicatatkan) hubungan status si ayah dengan si
anak mengakibatkan tidak mempunyai kekuatan hukum yang pasti, sehingga dalam
hal ini bisa saja si ayah sewaktu-waktu menyangkal bahwa anak tersebut bukanlah
darah dagingnya atau anak kandungnya ayah tersebut melalaikan kewajiban dan
tanggung jawabnya selaku ayah kandungnya.
Undang-undang Perkawinan sendiri diatur tentang hak dan kewajiban antara
orang tua dan anak ini diatur Pada BAB X dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 49,
akan tetapi dengan adanya Putusan MK (Mahkamah Konsitusi) Pasal 43 ayat (1)
berubah menjadi ”Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya
yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat
bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata
dengan keluarga ayahnya”. Dengan kata lain ayat tersebut bermaksud juga.
Akibatnya ayahnya juga ikut juga bertanggung jawab terhadap nasib si anak tersebut,
dalam pendidikan, pengasuhan dan nafkah biaya dan sebagainya.
65
B. Perkawinan menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam)
1. Pengertian Perkawinan menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam)
KHI (Kompilasi Hukum Islam), perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad
yang sangat kuat (mitsaqan ghalizha) menaati perintah Allah dan melakukan
merupakan ibadah.60
Menurut Sudarsono dalam buku Amin Summa yang berjudul “Hukum
Kekeluargaan Islam di Dunia Islam”, “Dewasa ini kerapkali dibedakan antara “nikah
dengan “kawin”, akan tetapi pada prinsipnya antara “pernikahan” dan “perkawinan”
hanya berbeda di dalam menarik akar kita saja.61 Apa yang dikatakan Sudarsono ini
ada benarnya terutama jika dihubungkan dengan istilah teknis maupun istilah hukum
yang digunakan. Hanya saja menjadi kurang tepat jika kata kawin dan nikah
dihubungkan dengan penghayatan terhadap hakikat dan makna filosofis yang
terkandung dalam tujuan pernikahan (perkawinan) itu sendiri.
Dalam bahasa Arab, kata nikah disebut “nikahun” yang merupakan masdar
atau kata asal dari kata kerja nakaha. Menurut bahasa, kata nikah berarti ad-dammu
wat tadakul (bertindih dan memasukkan). Sedangkan menurut istilah ilmu fiqh, nikah
berarti suatu akad (perjanjian) yang mengandung kebolehan melakukan hubungan
seksual dengan memakai kata-kata (lafaz) nikah atau tazwij.
Perkawinan dalam Islam menurut istilah ilmu Fiqih disebut dengan nikah atau
ziwaj. Nikah adalah dham yang berarti menghimpit, menindih atau berkumpul,
60
61
Pasal 2 Kompilasai Hukum Islam
Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hal. 62
66
sedangkan arti kiasannya adalah watha yang berarti bersetubuh atau aqad yang
berarti mengadakan perjanjian perkawinan”.62 Perkataan ziwaj diartikan sebagai
“kesepakatan antara seorang pria dan seorang wanita yang mengikatkan diri dalam
hubungan suami isteri untuk mencapai tujuan hidup dalam melaksanakan ibadah
kepada Allah”.63
Dalam Hukum Islam, perkawinan dipandang sebagai ibadah karena
merupakan sunah Rasul dan penyempurnaan separuh dari agama. Dalam salah satu
hadist disebutkan bahwa “Apabila menikah seorang hamba, sesungguhnya ia telah
menyempurnakan separuh agama, dan takutlah kepada Allah pada separuh yang
tinggal”. Jadi tidaklah tepat jika perkawinan hanya dipandang sebagai hubungan
sosial kemanusian saja. Seseorang melakukan perkawinan bukan hanya ingin
meningkatkan status sosial dan memenuhi kebutuhan biologisnya, tetapi lebih dari itu
yaitu mempunyai nilai ibadah yang sangat tinggi”.
Untuk menggapai kehidupan yang bahagia dalam sebuah perkawinan tidaklah
cukup untuk meningkatkan status sosialnya di masyarakat. Tetapi lebih dari itu
kebahagiaan dalam rumah tangga tidak bisa terlepas dari kehidupan spiritual.
Makna nikah adalah akad atau ikatan, karena dalam suatu proses pernikahan
terdapat ijab (pernyataan penyerahan dari pihak perempuan) dan qabul (pernyataan
kedua calon penyerahan dari pihak laki-laki).
62
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Bandung: Bulan Bintang,
1984), hal. 1
63
Abdul Djamali, Hukum Islam (Asas-asas, Hukum Islam I, Hukum Islam II), (Bandung: Mandar
Maju, 1992), hal. 74
67
Menurut Abdul Djamali bahwa tujuan perkawinan menurut hukum Islam
adalah :
a. Berbakti kepada Allah
b. Memenuhi atau mencukupkan kodrat hidup manusia yang telah menjadi hukum
bahwa antara pria dan wanita itu saling membutuhkan.
c. Mempertahankan keturunan umat manusia
d. Melanjutkan perkembangan dan ketentraman hidup rohaniah antara pria dan
wanita.
e. Mendekatkan dan saling menimbulkan pengertian antar golongan manusia
untuk menjaga keselamatan hidup.64
2. Syarat Sah Perkawinan Menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam)
Menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam) sahnya perkawinan adalah harus
adanya calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi dan, ijab dan qabul.65
1. Shighat (Ijab-Qabul)
Pengertian akad nikah menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal 1
bagian (c) akad nikah ialah: rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan qabul yang
diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh 2 orang saksi.
Di dalam fiqh ‘ala mazahib al-arba’ah syarat ijab-qabul adalah:
1. Jika dengan lafadz yang khusus seperti ankahtuka atau zawwajtuka
2. Jika pengucapan ijab-qabul pada satu majlis
64
65
Ibid., hal 75
Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Citra Umbara, 2007).
68
3. Jika tidak bertentangan antara ijab dan qabul. Contohnya ketika seorang wali
mengatakan saya nikahkan kamu dengan anak perempuanku dengan mas kawin
seperangkat alat shalat dibayar tunai, lalu calon suami menjawab saya terima
nikahnya tapi saya tidak menyetujui mas kawin tersebut.
4. Tidak boleh lafadz ijab-qabul terbatas waktu. Kalau lafadz Ijab-Qabul terbatas
waktu maka hukumnya menjdi nikah mut’ah.
Syarat bentuk kalimat ijab dan qabul: para fuqaha’ telah mensyaratkan harus
dalam bentuk madzi (lampau) bagi kedua belah pihak. Atau salah satunya dengan
bentuk madhi, sedangkan lainnya berbentuk mustaqbal (yang datang). Misalnya ijab
perempuan (yang diwakili wali) : “Saya nikahkan engkau dengan anak saya
bernama…”.66 Dan laki-laki tersebut menerima atas ijab perempuan. Misalnya: “Saya
terima menikahi…dengan maskawin…(tunai/atau…).67
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 27 menyatakan bahwa:
“Ijab dan Qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan
tidak berselang waktu”.68
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 28 menyatakan bahwa:
“Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang
bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan pada orang lain”.69
66
Sudarsono, Op. cit, hal. 62
Ibid., hal. 63
68
Pasal 27 Kompilasi Hukum Islam
69
Pasal 28 Kompilasi Hukum Islam
67
69
2. Syarat calon kedua mempelai yang baik
Untuk syarat seorang laki-laki sama dengan sifat yang dimiliki oleh seorang
wanita tinggal kebalikanya.
Syarat-syarat calon suami lainnya adalah:
1. Tidak dalam keadaan ihrom, meskipun diwakilkan.
2. Kehendak sendiri
3. Mengetahui nama, nasab, orang, serta keberadaan wanita yang akan dinikahi.
4. Jelas laki-laki.
Syarat-syarat calon isteri:
1. Tidak dalam keadaan ihrom
2. Tidak bersuami
3. Tidak dalam keadaan iddah (masa penantian)
4. Wanita.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 16 ayat 1 menyatakan bahwa:
perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.
3. Wali
Wali adalah rukun dari beberapa rukun perkawinan yang lima, dan tidak sah
nikah tanpa wali laki-laki.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 19 menyatakan wali nikah dalam
perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang
bertindak untuk menikahkannya.
70
Syarat-syarat menjadi wali:
1. Bapak.
2. Kakek dari jalur Bapak.
3. Saudara laki-laki kandung.
5. Saudara laki-laki tunggal bapak.
6. Kemenakan laki-laki (anak laki-lakinya saudara laki-laki sekandung).
7. Kemenakan laki-laki (anak laki-laki saudara laki-laki bapak).
8. Paman dari jalur bapak.
9. Sepupu laki-laki anak paman.
10. Hakim bila sudah tidak ada wali –wali tersebut dari jalur nasab.
Bila sudah benar-benar tidak ditemui seorang kerabat atau yang dimaksud
adalah wali di atas maka alternatif berdasarkan hadis Nabi adalah pemerintah atau
hakim kalau dalam masyarakat kita adalah naib.
Pasal 29 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan bahwa :
1. Yang berhak mengucapkan qabul ialah calon mempelai pria secara pribadi.
2. Dalam hal-hal tertentu ucapan qabul nikah dapat dilakukan pada pria lain dengan
ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa
penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.
Pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 20 ayat 1 menyatakan: yang
bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum
Islam yakni, muslim, aqil, baligh.
71
Wali nikah terdiri dari: wali nasab dan wali hakim, Wali nasab adalah wali
dari pihak kerabat dan wali hakim adalah pejabat yang diberi hak oleh penguasa
untuk menjadi wali nikah dalam keadaan tertentu dengan sebab tertentu pula.
Sebagian ulama diantaranya ulama al-mahhab Syafi’i, Hambali, dan Hanafi
menambahkan orang yang memerdekakan berhak menjadi wali nikah bagi budak
yang di memerdekakan, jika tidak ada wali nasab pada prinsipnya hak menikahkan
perempuan itu berada pada wali nasab atau yang memerdekakan. Hak berpindah pada
hakim, jika wali nasab atau memerdekakan tidak ada atau sebab lain.70
Pada Pasal 21 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dibahas empat kelompok wali
nasab yang pembahasanya sama dengan fikih Islam seperti pertama, kelompok
kerabat laki-laki garis lurus keatas. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki
saudara kandung, seayah dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat
paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki
mereka. Kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek
dan keturunan laki-laki mereka.
Menyangkut dengan wali hakim dinyatakan pada Pasal 23 Kompilasi Hukum
Islam (KHI) yang berbunyi:
a.
Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada
atau tidak mungkin menghadiri atau tidak diketahui tempat tinggal atau ghaibnya
atau ‘adhalnya atau enggan.
70
Ahmad Saiful Rijal, http://s-ipoel.blogspot.com/2013/06/pengertian-wali-hakim.html,
Pengertian wali, diakses Pada hari Selasa, tanggal 25 November 2014, Pada pukul 09:02 WIB
72
b.
Dalam hal wali ‘adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak
sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan agama tentang wali tersebut.71
4.
Saksi
Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, dan Imam Malik bersepakat bahwa saksi
termasuk syarat dari beberapa syarat syahnya nikah. Ulama’ jumhur berpendapat
bahwa perkawinan tidak dilakukan kecuali dengan jelas dalam pengucapan ijab dan
qabul, dan tidak boleh dilaksanakan kecuali dengan saksi-saksi hadir langsung dalam
pernikahan agar mengumumkan atau memberitahukan kepada orang-orang.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Pasal 24 ayat 1 menyatakan: “Saksi dalam
perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah”. Dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) Pasal 26 menyatakan bahwa: “saksi harus hadir dan menyaksikan secara
langsung akad nikah serta menandatangani akta pada waktu dan ditempat akad nikah
dilangsungkan”.
Syarat-syarat saksi: Islam, baligh, berakal, mendengarkan langsung perkataan
ijab-qabul, dua orang laki-laki dan yang terpenting adil. Abu Hanifah berpendapat
bahwa jika perkawinan dihadiri oleh dua saksi yang fasik tidak apa-apa karena
maksud saksi di sini adalah untuk pengumuman. Untuk Imam Syafii mempunyai
pendapat bahwa saksi mengandung dua arti, yaitu pengumuman dan penerimaan jadi
disyaratkan saksi yang adil. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 24 ayat 2
menyatakan : setiap perkawinan harus disaksikan 2 orang saksi.
71
Pasal 23 Kompilas Hukum Islam
73
Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan Dalam Pasal 24 ayat 1
menjelaskan: saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. Dan
ayat 2 pada Pasal 24 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa: “Setiap
perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi”.
Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar sahnya perkawinan. Jika syaratsyarat ini terpenuhi maka perkawinan tersebut sah dan akan menimbulkan kewajibankewajiban dan hak-hak perkawinan. Adapun syarat-syarat sahnya suatu perkawinan
adalah:
1. Mempelai perempuan halal dinikahi oleh laki-laki yang akan menjadi suaminya.
2. Dihadiri dua orang saksi laki-laki.
3. Ada wali mempelai perempuan yang melakukan akad. syarat ketiga ini dianut
oleh kaum Muslimin di Indonesia dan merupakan pendapat Syafi’I, Ahmad Bin
Hanbal.72
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 15 ayat 1 menyatakan bahwa:
untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan
calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam Pasal 7
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tentang yakni calon
suami berumur 19 (Sembilan belas) tahun dan calon isteri sekurangnya berumur 16
(enam belas) tahun.
72
Sudarsono. Op. cit., hal. 40
74
3. Pencatatan Perkawinan Menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam)
Secara syari’ah agama, pencatatan perkawinan memang tidak termasuk dalam
rukun serta syarat sahnya perkawinan, seperti tentang wali, saksi, ijab-qabul, mahar,
dan sebagainya, akan tetapi berdasarkan analisis hukum Islam pencatatan itu
termasuk dalam syarat sahnya suatu akad yang disebut akad mu’amalah. Proses ini
sangat penting sebagai bukti autentik yang dapat memperkuat komitmen pada
pasangan suami-isteri agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan salah satu pasangan
suami-isteri, termasuk anak-anak.
Bagi pasangan suami-isteri yang beragama Islam yang ingin menikah,
pasangan suami-isteri mencatatkan pernikahannya di KUA (Kantor Urusan Agama),
sedangkan bagi yang di luar dari Agama Islam wajib mencatatkan perkawinannya di
KCS (Kantor Catatan Sipil).
Berdasarkan uraian Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 2
ayat (1) maka pencatatan bagi yang beragama Islam didasarkan pada ketentuanketentuan yang berlaku dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam).
Pasal 5 - 6 Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia, yang berbunyi :
Ketentuan Pasal 5 ayat 1 dan 2 yang menyatakan bahwa :
1. Agar terjamin ketertiban bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”.
2. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat
Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetap