Pengendalian Biofilm Aeromonas hydrophila Pada Permukaan Sisik Ikan dan Plastik PVC Dengan Senyawa Antimikroba Bakteri Asam Laktat Perairan Tawar

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bakteri Asam Laktat (BAL) Sebagai Probiotik Perairan Tawar
Bakteri asam laktat (BAL) adalah sejumlah bakteri Gram positif, tidak
membentuk spora, memproduksi asam laktat sebagai hasil akhir fermentasi
glukosa. Bakteri asam laktat bersifat katalase negatif. Fermentasi glukosa
dibedakan dalam dua jalur utama yaitu glikolisis (Embden-Meyer Pathway) yang
menghasilkan produk akhir asam laktat secara keseluruhan dikategorikan dalam
jenis homofermentatif dan jalur 6-phosphogluconat/ phosphoketolase yang juga
menghasilkan sejumlah besar produk akhir lainnya, seperti etanol, asam asetat dan
CO 2 . Genus Leuconostoc dan beberapa spesies anggota genus Lactobacillus
dikategorikan dalam jenis heterofermentatif obligat (Caplice and Fitzgerald 1999),
bakteri genus ini mendegradasi heksosa menjadi asam laktat dan produk
sampingan lainnya seperti asam asetat, etanol, CO 2, H 2 O 2 dan bakteriosin serta
mendegradasi pentosa menjadi asam laktat dan asam asetat (Lyhs et al. 2002).

Aplikasi BAL sebagai probiotik perairan tawar menjadi salah satu cara
yang efektif dalam pemecahan masalah penyakit pada ikan di perairan tawar.
BAL dikatakan agen probiotik dengan beberapa kriteria diantaranya: 1) bersifat
antagonis terhadap patogen, 2) Pelekatan atau lokasi hidup dari bakteri merupakan

salah satu yang terpenting dalam kriteria seleksi bakteri probiotik karena hal ini
termasuk dalam prasyarat pembentukan suatu koloni (Verschuere et al. 2000), 3)
Probiotik dari habitat aslinya memiliki peluang hidup dan tumbuh yang lebih
besar dibandingkan kompetitor asing dari luar sistem (Rengpipat et al. 2003).

Beberapa spesies BAL telah diketahui kemampuannya sebagai agen
probiotik perairan tawar. Beberapa diantaranya seperti

L. rhamnosus dan L.

bulgaricus merupakan kandidat probiotik bagi rainbow trout (Nikoskelainen et al.

Universitas Sumatera Utara

2001). Carnobacterium sp. diketahui sebagai probiotik yang memperbaiki sistem
imun tubuh ikan (Panigrahi et al. 2005). Kemudian perlekatan Lactococcus lactis
pada usus diteliti memiliki efek antagonis terhadap bakteri patogen (Villamil et al.
2002).

Pediococcus


acidilactici

sebagai

probiotik

ikan

rainbow

trout

(Oncorhynchus mykiss) (Aubin et al. 2005), Streptococcus faecium sebagai
probiotik ikan mas (Bogut et al. 1998), Enterococcus faecium untuk ikan lele
(Bogut et al. 2000), serta konsorsium S. faecium dan L. acidophilus untuk ikan
Nila (Lara-Flores et al. 2003).

BAL


memproduksi

substansi

antimikroba

yang

dapat

menekan

pertumbuhan bakteri patogen. Selain itu BAL memiliki kemampuan untuk
menempel pada sel epitel usus, serta akan terjadi peningkatan sel lempengan
peyer sebagai indikasi tersekresinya immunoglobulin (IgA) yaitu suatu reaksi
terbentuknya kekebalan terhadap infeksi bakteri (Ouwehand and Vesterlund
dalam Salminen et al. 2004).

Sistem akuakultur menyumbang efisiensi serta keuntungan produksi yang
maksimal, dengan peningkatan sistem intensifikasi dan komersialisasi produksi.

Namun demikian kendala di lapangan tetap saja ditemui, diantaranya kasus
serangan penyakit pada ikan yang

merupakan problem serius pada industri

perikanan (Bondad-Reantaso et al. 2005). Komponen mikrobiota pada hewan air
sangat berbeda dengan hewan yang hidup di darat. Populasi mikroba di dalam
usus dominan keberadaannya dibandingkan yang tersebar di air. Populasi bakteri
yang menetap di usus sebagai mikrobiota alami dieksplorasi sehingga mendukung
upaya pencegahan bacterial disease yang biasanya menyerang sistem akuakultur
(Huber et al. 2004).
Pada usus beberapa jenis ikan tawar tersebar sebagai mikrobiota normal
yang diidentifikasi sebagai kelompok BAL (Ringo and Gatesoupe, 1998).
Mikrobiota di usus dapat mempengaruhi pertumbuhan dan kesehatan ikan. Bakteri
ini dikarakterisasi sebagai bakteri Gram positif, tidak bergerak (non motil), tidak

Universitas Sumatera Utara

menghasilkan spora dan memproduksi asam laktat sebagai produk utama
fermentasi di dalam proses metabolisme (Azizpour, 2009). Senyawa metabolit

yang dihasilkan diantaranya memiliki kemampuan penghambatan pertumbuhan
mikroorganisme lainnya yang dikenal dengan senyawa antimikroba. Selain asam
laktat bakteri ini juga menghasilkan beberapa komponen antimikroba yaitu
karbondioksida, hidrogen peroksida, diasetil, reuterin dan bakteriosin serta asam
organik lainnya (Amezquita and Brashears, 2002).

Dari isolasi bakteri yang dilakukan terhadap usus ikan Kerapu Macan
(Ephinephelus fuscogatus) didapatkan 9 spesies bakteri yang 5 spesies diantaranya
merupakan BAL yaitu Lactococcus sp., Carnobacterium sp., Lactobacillus sp.,
Micrococcus sp. dan Bifidobacterium sp. serta kelompok lainnya juga sebagai
flora normal yaitu Staphylococcus sp., Bacillus sp., Eubacterium sp.,
Pseudomonas sp., Micrococcus sp., (Feliatra dkk, 2004). Studi isolasi juga
dilakukan pada berbagai spesies ikan air tawar oleh Cai et al. (1999)
menggambarkan kehadiran genus Lactobacillus sebagai mikrobiota usus paling
dominan pada ikan mas (Cyprinus carpio).

2.2 Senyawa Antimikroba BAL

Bakteri asam laktat menghasilkan beberapa komponen antimikroba yaitu asam
organik, karbondioksida, hidrogen peroksida, diasetil, reuterin, dan bakteriosin

(Amezquita and Brashears, 2002). Karbondioksida (CO 2 ) dapat menghambat
bakteri perusak dan patogen (Kimura et al. 1999). Karbondioksida memiliki sifat
antimikrobia dengan menyebabkan lingkungan lebih anaerob, akumulasi
karbondioksida pada lipida bilayer akan merusak permeabilitas membran sel
(Nilsson et al. 2000).

BAL memproduksi hidrogen peroksida pada kondisi aerob dan
berkurangnya enzim-enzim seluler. Bakteri asam laktat mengekskresikan H2O2
tersebut sebagai alat pelindung diri yang mampu bersifat bakteriostatik maupun

Universitas Sumatera Utara

bakterisidal. Hidrogen peroksida merupakan salah satu agen pengoksidasi yang
kuat dan dapat dijadikan sebagai zat antimikroba melawan bakteri, fungi bahkan
virus (Ray and Bhunia, 2008).

Hidrogen peroksida (H2O2) merupakan oksidator, bleaching agent dan anti
bakteri. Hidrogen peroksida murni tidak berwarna, berbentuk cairan. Kemampuan
H2O2 untuk mengoksidasi menyebabkan perubahan tetap pada sistem enzim sel
mikroba sehingga digunakan sebagai antimikroba. Senyawa ini juga dapat

terdekomposisi menjadi air dan oksigen. Perubahan kondisi lingkungan seperti pH
dan suhu mempengaruhi kecepatan dekomposisi H2O2. Peningkatan suhu dapat
meningkatkan keefisienan dalam menghancurkan bakteri, sehingga kecepatan
terdekomposisinya juga semakin cepat (Branen, 1993). Kemampuan bakterisidal
dari H 2 O 2 beragam tergantung pH, konsentrasi suhu, waktu dan tipe serta jumlah
mikroorganisme. Pada kondisi tertentu, spora bakteri ditemukan paling resisten
terhadap H 2 O 2 , diikuti dengan bakteri Gram positif, bakteri yang paling sensitif
terhadap H2O2 adalah bakteri Gram negatif, terutama koliform (Ouwehand and
Vesterlund, 2004).

Bakteriosin dalam pembentukan pori harus berinteraksi dengan membran
sitoplasma sel target. Lipid membran plasma yang bermuatan negatif merupakan
reseptor utama bakteriosin dalam proses pembentukan pori. Interaksi elektrostatik
bakteriosin yang bemuatan positif yang bersifat hidrofobik dengan gugus fosfat
bermuatan negatif pada membran sel target merupakan tahap awal pengikatan
bakteriosin dengan membran target. Bagian hidrofobik bakteriosin masuk
membentuk pori (Zhao, 2003).

Mekanisme penghambatan bakteri oleh asam-asam organik berhubungan
dengan keseimbangan asam-basa, penambahan proton dan produksi oleh energi

sel. Keseimbangan asam-basa pada sel mikroba ditunjukkan dengan pH yang
mendekati normal. Interaksi dengan senyawa kimia akan mengganggu
keseimbangan asam-basa dan mengakibatkan kerusakan sel. Protein, asam nukleat

Universitas Sumatera Utara

dan fosfolipid dapat rusak oleh perubahan pH. Ketersediaan ion-ion logam akan
mengganggu permeabilitas membran, karena membran kurang permeabel
terhadap ion dibandingkan dengan molekul yang tidak bermuatan. Perubahan
permeabilitas membran akan menghasilkan efek ganda, yaitu mengganggu
transpor nutrisi ke dalam sel dan menyebabkan metabolit internal keluar dari sel
(Davidson and Branen, 1993).

2.3 Biofilm Bakteri
Biofilm merupakan sel mikroorganisme yang menempel pada permukaan padat
pada lingkungan berair yang bersifat irreversibel sehingga tidak mudah berpindah
tempat (Donlan, 2002). Biofilm tersusun atas 75-95% glycocalyx dan 5-25% sel
bakteri (Pamp et al. 2007). Ketebalan biofilm berkisar antara 5-50 µm, yang
tersusun atas campuran polisakarida, substansi polimer lainnya dan air yang
seluruhnya diproduksi oleh bakteri. Peningkatan ketebalan koloni bakteri hingga

100-200 µm membentuk seperti tumpukan jamur (Mittelman dalam Paraje, 2011).
Biofilm dapat terdiri dari satu spesies ataupun kumpulan dari banyak spesies
mikroorganisme. Kumpulan mikroorganisme dalam bentuk biofilm memiliki
perbedaan pola hidup dengan mikroorganisme yang planktonik. Perbedaan
tersebut menyangkut kecepatan pertumbuhan dan kemampuan untuk bertahan
pada kondisi perlakuan terhadap zat antimikroba (Donlan, 2001).

Bakteri dalam bentuk biofilm sukar ditanggulangi dengan prosedur
sanitasi. Beberarapa ahli telah meneliti mengenai penempelan bakteri pada
permukaan padat. Penelitian telah dilakukan pada alat-alat industri makanan
seperti permukaan stainless steel (Ryu and Beuchat, 2005). Zottola (1994)
menjelaskan mengenai eksperimennya bahwa bakteri yang mampu membentuk
biofilm pada permukaan padat yang tergolong dalam 3 tingkatan yaitu 1)
penempelan bakteri pada permukaan padat, 2) bakteri mengenali permukaan dan
mulai membentuk polimer, 3) bakteri mengkolonisasi permukaan, bertumbuh dan
menggandakan diri pada permukaan. Dalam hal ini pada tahapan kedua

Universitas Sumatera Utara

merupakan tahapan penting karena pada fase ini bakteri menghasilkan produk

ekstraseluler di permukaan.

Matrik kompleks berupa produk ekstraselular polisakarida berfungsi
sebagai pembatas (barrier) interaksi bakteri dengan permukaan padat. Interaksi
ini dapat terjadi oleh satu jenis bakteri maupun kumpulan beberapa jenis bakteri.
Bakteri bergabung dan saling dihubungkan oleh matrik ekstraseluler polisakarida
yang diproduksi pada dinding sel. Matriks polisakarida yang dihasilkan bakteri
dianalogikan sebagai perekat padat yang bersifat kohesif (berpadu) pada berbagai
permukaan padat di alam. Komponen inilah yang dikenal sebagai biofilm (Barner
and Caskey, 2002).

Pembentukan biofilm tergantung pada interaksi antara tiga komponen
yaitu sel bakteri, penempelan pada permukaan dan medium yang mengelilinginya
(Stoodley et al. 2002). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan dan
perluasan pembentukan biofilm. Mula-mula mikroorganisme harus melekat dan
dibiarkan pada permukaan dalam waktu yang cukup panjang agar terbentuk
penempelan yang irreversibel (tidak bolak-balik). Kecepatan penempelan sel
bergantung pada jumlah dan tipe sel pada cairan permukaan serta karakteristik
fisika kimianya. Komponen cairan dapat berubah pada permukaan dan juga
mempengaruhi kecepatan penempelan. Penempelan yang bersifat irreversibel dan

produksi polisakarida ekstraseluler untuk perkembangan biofilm, kecepatan
pertumbuhannya dipengaruhi oleh kecepatan penguraian, komposisi nutrisi pada
media pemukaan, konsentrasi zat antimikroba yang ditambahkan dan temperatur
lingkungan sekitar (Donlan, 2001). Rantai polisakarida menunjukan susunan
kimiawi yang bersifat polar dan sangat sukar terpisah. Polaritas berperan penting
terhadap adhesi (perlekatan) dan kohesi (daya lekat) sel. Hal ini yang menjadi
salah satu penyebab struktur biofilm sukar untuk dihilangkan. Matriks
polisakarida berfungsi sebagai pemisah sekaligus mekanisme perlindungan dari
lingkungan luar (Barnes and Caskey, 2002).

Universitas Sumatera Utara

Faktor yang mempengaruhi penempelan bakteri pada permukaan meliputi
ketersediaan nutrisi pada permukaan, konsentrasi nutrisi, pH, temperatur,
konsentrasi elektrolit, aliran material, dan tipe permukaan seperti 1) material
permukaan berenergi tinggi, bahan bermuatan negatif diubah menjadi material
hidrofilik. Contoh: kaca, logam, mineral. 2) material permukaan berenergi rendah,
muatan positif dan negatif diubah menjadi material hidrofobik seperti plastik dan
produk polimer

organik

lainnya.

Material permukaan berenergi tinggi

menunjukkan aktivitas yang relatif besar terhadap penyerapan pelarut atau nutrisi,
yang mempengaruhi angka kolonisasi bakteri pada permukaan (Marshall dalam
Kumar and Ramjee, 2006).

Mekanisme perlekatan biofilm pada permukaan diawali dengan perlekatan
beberapa bakteri planktonik dan bergerak dengan flagel diantaranya telah diamati
pada beberapa bakteri patogen Escherichia coli dan Listeria monocytogenes
mendekati permukaan hidup (biotik) maupun tak hidup (abiotik) dan membentuk
lapisan pembatas (Pratt and Kolter 1998, Lemon et al. 2007) . Beberapa sel
bersentuhan pada permukaan dalam waktu singkat. Proses ini disebut penyerapan
reversibel (Marshall, 1992). Penempelan awal didasarkan daya tarik elektrostatik
dan gaya fisika tetapi tidak sesuai dengan penempelan secara kimia. Beberapa
penyerapan sel reversibel mulai untuk mempersiapkan penundaan beberapa lama
oleh pembentukan struktur kemudian mengikat permanen lalu hingga ke
permukaan dalam beberapa jam berikutnya, sel perintis terus memproduksi
kembali sel anakan dalam bentuk mikrokoloni pada permukaan dan mulai untuk
memproduksi matriks polimer yang mengitari koloni tersebut (Mayette, 1992).
Tahapan selanjutnya adalah daerah tengah biofilm dibebaskan sel bakteri lalu
diperluas menuju daerah lainnya dimana biofilm dapat dibentuk. Mikrokoloni
merupakan kelompok kecil yang pada akhirnya akan membentuk biofilm yang
bentuknya berlapis-lapis sehingga dapat diamati dengan mata telanjang. Matriks
polisakarida berangsur-angsur saling berhubungan, oleh karena itu menguatkan
perlekatan pada permukaan serta pembebasan daerah tengah biofilm bakteri untuk
kemudian proses perluasan biofilm berlangsung (Barnes and Caskey, 2002).

Universitas Sumatera Utara

2.4 Motil Aeromonas Septicemia (MAS)
Genus Aeromonas merupakan mikroorganisme yang banyak ditemukan pada
perairan tawar terutama yang mengandung bahan organik tinggi (Ayuningtyas,
2008) dan memiliki suhu optimum pertumbuhan yaitu 20 oC-30 oC. Bakteri ini
dapat menginfeksi banyak jenis ikan air tawar seperti Catfish, Cyprinidae,
Cichlidae, Rainbow trout, Salmodae, katak, siput dan udang air. Kemampuan A.
hydrophila dalam melakukan infeksi pada ikan terkait dengan kemampuan bakteri
dalam menghasilkan toksin, dikelompokkan sebagai bakteri berbentuk batang,
motil, memiliki satu flagel di ujung, Gram negatif (Noga, 2000).
Faktor-faktor virulensi muncul dalam dua bentuk yaitu struktur sel terkait
dan produk ekstraseluler. Di antara struktur sel terkait adalah pili, flagela, protein
luar membran, lipopolisakarida, dan kapsul. Produk ekstraseluler utama termasuk
cytotoxic, cytolytic, hemolytic dan protein enterotoksik. Secara struktural A.
hydrophila memiliki fili, flagela, slayer, lipopolisakarida, dan protein membran
luar yang berperan sebagai faktor virulensi (EPA, 2006). Menurut Chopra et al.
(2000) A. hydrophila termasuk kedalam bakteri patogen dengan virulensi yang
tinggi. Tingkat virulensi bakteri tersebut ditentukan oleh kemampuan bakteri
menghasilkan enzim dan toksin yang berperan dalam proses invasi dan infeksi.
Sebagai faktor-faktor virulensinya ialah kitinase, lesitinase dan hemolisin.
Senyawa ini bekerja dengan mendegradasi jaringan target.
Kerusakan sisik atau kulit akan mempermudah patogen menginfeksi inang.
Sejumlah mikroba normal pada hewan dapat berperan dalam menghambat atau
menghalangi terjadinya infeksi melalui mekanisme antagonisme. Tiga mekanisme
utama antagonisme mikroba normal terhadap patogen yaitu 1) kompetisi dalam
menempati situs perlekatan atau kolonisasi, 2) antagonisme spesifik melalui
produksi senyawa penghambat berupa protein spesifik (bakteriosin) dan 3)
antagonisme nonspesifik dengan memproduksi berbagai metabolit atau produk
akhir yang menghambat mikroba patogen antara lain berupa asam-asam organik
dan peroksidase (Irianto, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Terjadinya kematian ikan secara massal sering dihubungkan dengan
terjadinya akumulasi bahan organik dan penurunan kualitas air. Penurunan
kualitas air menyebabkan menurunnya kondisi kesehatan ikan yang dibudi
dayakan dan memungkinkan berkembangnya bakteri heterotrofik dan bakteri
patogen pada perairan budidaya. Semua jenis ikan mempunyai potensi untuk
terinfeksi oleh bakteri. Pada kondisi dan jumlah tertentu infeksi oleh bakteri dapat
menyebabkan penyakit bahkan kematian (Camus et al. 1998).
A. hydrophila mampu hidup di berbagai kondisi perairan tawar sehingga
memiliki potensi menjadi patogen bagi ikan air tawar. Bakteri ini juga dianggap
sebagai ancaman bagi budi daya ikan air tawar dan merupakan problem besar bagi
ekonomi perikanan negara di dunia. Salah satunya sebagai agen penyebaran
penyakit dengan gejala haemorragic septicaemia dan epizootic ulcerative
syndrome (UES) pada negara-negara di Asia (Yesmin et al. 2004). Gejala-gejala
yang ditimbulkan oleh serangan A. hydrophila menyebabkan kerusakan sistemik
organ-organ pada ikan. Adapun gejala dan organ yang mengalami kerusakan
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kerusakan organ dan gejala yang ditimbulkan akibat serangan patogen primer A.
hydrophyla
Organ yang
diserang
kulit

Gejala

Referensi

otot

kemerahan, akumulasi cairan dan bisul.
Nekrosis

Yardimci and Aydin (2011)
Carrashi et al. (2012)

perut

membesar akibat edema

Carrashi et al. (2012)

insang

terjadi pendarahan

Carrashi et al. (2012)

sirip

korosif

otot

Nekrosis

Yardimci and Aydin (2011).
Carrashi et al. (2012)

hati

cenderung kehijauan

Afifi et al. (2000)

kantung empedu
ginjal

membesar dan dipenuhi butiran hijau

Yardimci and Aydin (2011)
Afifi et al. (2000)

bengkak dan mudah rapuh

Universitas Sumatera Utara

Infeksi ikan yang disebabkan oleh bakteri cepat sekali menyebar jika ikan
yang sehat berada dalam areal kolam ikan yang sama dengan ikan yang
enunjukkan gejala sakit. Beberapa gejala dapat dilihat secara visual terhadap ikan
yang sakit pada kolam ikan budi daya UD. Samosir di Kec. Medan Sunggal.
Gejala tersebut adalah pergerakan ikan lambat, berenang di permukaan air, kurang
agresif terhadap pakan. Infeksi yang ditimbulkan A. hydrophila dapat diamati
pada Gambar 1.

Gambar 1. Infeksi A. hydrophila pada ikan nila merah a). kulit menjadi lebih gelap, sirip
punggung dan sirip ekor mengalami kerusakan, b). hyperemia pada sirip pektoral
c). gejala haemorrhagic pada hati d) bercak abu abu putih di hati, kantung
empedu membesar dipenuhi dengan sekret butiran hijau (Yardimci and Aydin,
2011).

2.5 Pengendalian Biofilm Bakteri
Biofilm melindungi sel-sel nya dengan berbagai cara. Kontaminasi sel dalam
bentuk baik klinis maupun industri cenderung sukar dikendalikan. Biofilm
berevolusi dengan tampilan fenotip sel yang dibedakan atas berbagai jenis yang
melakukan fungsi saling melengkapi. Terkait dengan perilaku kooperatif sel
bakteri, serta dihubungkan oleh sel-sel komunikasi dan faktor lainnya,
memungkinkan suatu peningkatan metabolisme, keragaman dan efisiensi serta
peningkatan ketahanan terhadap stres terhadap lingkungan, agen antimikroba dan
pertahanan inang yang ditumpangi (Blango and Mulvey, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Variasi pH media digunakan untuk melihat perbedaan penempelan bakteri
patogen pada permukaan padat. Mafu et al. (2011) menjelaskan mengenai daya
perlekatan bakteri pada permukaan dan pembentukan biofilm yang merupakan
fenomena kompleks dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya strain bakteri,
pH media serta tipe permukaan. A. hydrophila,

E.coli dan Staphylococcus

auereus diujikan kemampuan penempelan pada media permukaan Polystyrene
dan kaca dipilih mewakili sifat hidrofobik dan hidrofilik. Perlakuan dilakukan
dengan variasi pH 6, 7 dan 8. Pengamatan dilakukan dengan menghitung energi
bebas (mJ/m2). Penurunan pH sebanding dengan peningkatan energi bebas yang
dibutuhkan pada perlekatan A. hydrophila pada permukaan polystyrene yaitu -38.0
mJ/m2, -37.7 mJ/m2 -35.9 mJ/m2 dan sedangkan energi yang dibutuhkan pada
permukaan kaca konstan pada angka 18 mJ/m2 pada variasi pH 6, 7 dan 8.
Hood

and

Zottola

(1995)

menjelaskan

bahwa

pengendalian

mikroorganisme yang membentuk biofilm pada alat-alat pengolahan makanan
serta proses pengolahan makanan telah dilakukan dengan menggunakan metode
kontrol fisika dan kimia diantaranya perlakuan panas, high pressure sprays,
perlakuan sanitasi kimia melibatkan senyawa hypochlorit, iodophors, amphoteric,
buguanides, aldehydes, peracetic acid, atau quaternary ammonium. Kedua cara
tersebut mengendalikan dan menonaktifkan mikroorganisme pada permukaan
alat-alat pada proses pengolahan bahan makanan. Bal’a et al. (1999) telah
melakukan pengujian melibatkan perlakuan fisik dan kimia yaitu panas dan
chlorine dalam mengendalikan biofilm A. hydrophila pada permukaan Stainless
Steel. Pengujian menunjukkan penggunaan suhu 60 oC selama 1 menit atau
dengan pemberian 75 ppm chlorine selama 1 menit dapat menurunkan deteksi sel
biofilm A. hydrophila yang terdapat pada permukaan padat. Pengendalian biofilm
dengan menggunakan pembersih atau detergen telah diujikan pada beberapa tipe
permukaan bahan seperti kaca, karet, polypropylene, stainless steel (Mafu et
al.1990 ) dan jenis-jenis plastik yang berbeda (Frank and Koffi 1990).

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Pengendalian Biofilm Aeromonas hydrophila Pada Permukaan Sisik Ikan dan Plastik PVC Dengan Senyawa Antimikroba Bakteri Asam Laktat Perairan Tawar

0 2 16

Pengendalian Biofilm Aeromonas hydrophila Pada Permukaan Sisik Ikan dan Plastik PVC Dengan Senyawa Antimikroba Bakteri Asam Laktat Perairan Tawar

0 0 2

Pengendalian Biofilm Aeromonas hydrophila Pada Permukaan Sisik Ikan dan Plastik PVC Dengan Senyawa Antimikroba Bakteri Asam Laktat Perairan Tawar

0 0 4

Pengendalian Biofilm Aeromonas hydrophila Pada Permukaan Sisik Ikan dan Plastik PVC Dengan Senyawa Antimikroba Bakteri Asam Laktat Perairan Tawar

0 2 8

Pengendalian Biofilm Aeromonas hydrophila Pada Permukaan Sisik Ikan dan Plastik PVC Dengan Senyawa Antimikroba Bakteri Asam Laktat Perairan Tawar

0 0 1

Pengendalian Biofilm Mycobacterium fortuitum Pada Permukaan Sisik Ikan Dan Plastik PVC dengan Senyawa Antibakteri Bakteri Asam Laktat Perairan Tawar

2 3 16

Pengendalian Biofilm Streptococcus agalactiae pada Permukaan Sisik Ikan dan Plastik PVC dengan Senyawa Antibakteri Bakteri Asam Laktat Perairan Tawar

0 0 14

Pengendalian Biofilm Streptococcus agalactiae pada Permukaan Sisik Ikan dan Plastik PVC dengan Senyawa Antibakteri Bakteri Asam Laktat Perairan Tawar

0 0 2

Pengendalian Biofilm Streptococcus agalactiae pada Permukaan Sisik Ikan dan Plastik PVC dengan Senyawa Antibakteri Bakteri Asam Laktat Perairan Tawar

0 0 4

Pengendalian Biofilm Streptococcus agalactiae pada Permukaan Sisik Ikan dan Plastik PVC dengan Senyawa Antibakteri Bakteri Asam Laktat Perairan Tawar

0 0 9