Hubungan Teknik Pengukuran Komposisi Tubuh Berdasarkan Indeks Massa Tubuh dan Lingkar Pinggang dengan Kebugaran Kardiorespirasi pada Mahasiswi FK USU

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Komposisi Tubuh
Komposisi tubuh adalah proporsi relatif jaringan lemak dan jaringan bebas

lemak dalam tubuh. Melalui pengukuran komposisi tubuh, dapat diketahui apakah
terdapat kelebihan lemak dalam tubuh. Kelebihan lemak tubuh (excess body fat),
terutama kelebihan lemak yang berlokasi di sentral sekitar abdomen berhubungan
dengan hipertensi, sindroma metabolik, diabetes mellitus tipe 2, stroke, penyakit
kardiovaskular, dan dislipidemia (ACSM, 2013).
Komposisi tubuh terdiri dari empat komponen utama, yaitu jaringan
lemak tubuh total (total body fat), jaringan bebas lemak (fat-free mass), mineral
tulang (bone mineral), dan cairan tubuh (body water). Dua komponen komposisi
tubuh yang paling umum diukur adalah jaringan lemak tubuh total dan jaringan
bebas lemak (Williams, 2007). Komposisi tubuh adalah salah satu komponen
kebugaran jasmani, yang artinya jika seseorang memiliki komposisi tubuh yang
normal, maka ia akan memiliki kebugaran jasmani yang baik pula (Wiarto, 2013).
Menurut Williams (2007), komposisi tubuh dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain:

1. Usia
Efek usia signifikan pada masa pertumbuhan dan perkembangan karena terjadi
proses pembentukan otot dan jaringan tubuh lain, sedangkan pada usia dewasa
massa otot mulai berkurang yang dapat disebabkan oleh penurunan aktivitas
fisik.
2. Jenis kelamin
Terdapat perbedaan komposisi tubuh yang kecil antara anak dan laki-laki
sebelum usia pubertas. Namun, pada usia pubertas perbedaan menjadi sangat
besar dimana mulai saat pubertas,

memiliki lebih banyak deposit lemak,

sedangkan pada laki-laki terbentuk lebih banyak jaringan otot.

Universitas Sumatera Utara

3. Diet
Diet dapat mempengaruhi komposisi tubuh dalam jangka waktu singkat,
seperti pada saat kekurangan air dan kelaparan ataupun dalam jangka waktu
lama, seperti pada chronic overeating yang dapat meningkatkan simpanan

lemak tubuh.
4. Tingkat aktivitas fisik
Menjalani program latihan fisik dapat membantu membangun massa otot dan
mengurangi lemak.
Komposisi tubuh dapat dinilai dengan menggunakan beberapa teknik,
baik dilaksanakan di laboratorium maupun di lapangan yang bervariasi dalam hal
kompleksitas, biaya, dan akurasi, antara lain antropometri, bioelectrical
impedance analysis (BIA), body plethysmography, CT scan, MRI, Ultrasound,
dual energy X-ray absorptiometry (DEXA), dual photon absorptiometry (DPA),
total body electrical conductivity (TOBEC), dan underwater weighing
(hydrodensitometry). Hydrodensitometry atau underwater weighing sering
dianggap sebagai baku standar dalam penilaian komposisi tubuh. Walaupun
demikian, pelaksanaannya memerlukan peralatan laboratorium yang mahal,
memakan waktu lama, dan sering menyebabkan subjek merasa tidak nyaman.
Oleh karena itu, teknik ini jarang dilakukan untuk menilai komposisi tubuh
(ACSM, 2013 ; Olivia, 2010).
Antropometri merupakan metode penilaian komposisi tubuh yang praktis
dan tidak memerlukan biaya besar (Williams, 2007). Menurut ACSM (2013),
terdapat beberapa metode antropometri, yaitu :
1. Indeks Massa Tubuh (Body mass index)

2. Lingkar (circumferences)
3. Tebal lipatan kulit (skinfold measurements)
4. Rasio lingkar pinggang-pinggul (waist-to-hip ratio)

Universitas Sumatera Utara

2.1.1

Indeks Massa Tubuh
Indeks massa tubuh ditentukan dengan persamaan berat badan dalam

kilogram (kg) dibagi tinggi badan dalam meter dikuadratkan (m²) (Sudoyo et.al.,
2009). Terdapat klasifikasi IMT tersendiri untuk Wilayah Asia Pasifik, yaitu :
Tabel 2.1 Klasifikasi IMT untuk Wilayah Asia Pasifik menurut WHO
Klasifikasi

IMT (kg/m²)

Underweight


 18,5

Normoweight

18,5 – 22,9

Overweight

23,0 – 24,9

Obesity
Obesity class I
Obesity class II

25,0 – 29,9
 30,0

Sumber : Sudoyo et.al., 2009
Penggunaan IMT sebagai metode antropometri dalam penilaian komposisi
tubuh memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah IMT dapat

memperkirakan total lemak tubuh melalui pengukuran dan perhitungan yang
sederhana, cepat dan tidak memerlukan banyak biaya. Selain itu, pengukuran IMT
juga rutin dilakukan dan sering digunakan dalam berbagai studi epidemiologi.
Kelemahannya adalah IMT tidak dapat menjelaskan mengenai distribusi lemak
dalam tubuh dan bervariasi dalam ras/etnik serta tidak membedakan jenis kelamin
(Olivia, 2010). IMT juga tidak dapat menggambarkan komposisi tubuh secara
akurat karena IMT tidak dapat membedakan antara jaringan lemak, massa otot,
ataupun tulang (ACSM, 2013).
Meskipun demikian, pemeriksaan antropometri sederhana seperti IMT
dapat memberikan informasi berharga mengenai kesehatan umum dan tingkatan
risiko penyakit. IMT  30 kg/m² berhubungan dengan peningkatan risiko

hipertensi, sleep apnea, DM tipe 2, kanker tertentu, penyakit kardiovaskular, dan
mortalitas (ACSM, 2013).

Universitas Sumatera Utara

2.1.2

Lingkar Pinggang

Yang memberi pengaruh terhadap kesehatan tubuh bukanlah seberapa

banyak lemak yang terdapat dalam tubuh, melainkan lokasi lemak dalam tubuh.
Lingkar pinggang merupakan metode pengukuran skrining terhadap lemak viseral
dalam yang berkaitan dengan peningkatan risiko penyakit (Williams, 2007).
Lingkar pinggang memiliki korelasi yang tinggi dengan jumlah lemak
intraabdominal dan lemak total. Lingkar pinggang juga dapat memperkirakan
luasnya obesitas abdominal yang sudah mendekati deposisi lemak abdominal
bagian viseral. Lingkar pinggang juga berkorelasi baik dengan IMT dan rasio
lingkar pinggang-pinggul (waist-to-hip ratio), baik pada laki-laki maupun
(Sudoyo et al., 2009). Lingkar pinggang memiliki hubungan yang lebih besar
dengan risiko penyakit kardiovaskular dibandingkan dengan pengukuran IMT
(Oviyanti, 2010).
WHO menganjurkan agar lingkar pinggang diukur pada pertengahan antara
batas bawah iga dan krista iliaka, dengan menggunakan pita pengukur pada saat
akhir ekspirasi dengan kedua tungkai dilebarkan sejauh 20-30 cm. Subjek diminta
untuk tidak menahan perutnya dan diukur dengan pita pengukur dengan tegangan
pegas yang konstan atau nonelastis (Sudoyo et al., 2009).
Untuk Wilayah Asia Pasifik, yang berhubungan dengan peningkatan risiko
obesitas dan komplikasi metabolik adalah yang memiliki lingkar pinggang

 90 cm untuk laki-laki dan  80 cm untuk (Sudoyo et al., 2009).

Tabel 2.2 Kriteria risiko untuk Lingkar Pinggang pada Dewasa
Kategori Risiko

Lingkar pinggang (cm)
70

Laki-laki

Rendah

70-89

80-99

Tinggi

90-110


100-120

Sangat rendah

Sangat tinggi
Sumber : ACSM, 2013

110

80

120

Universitas Sumatera Utara

2.2

Kebugaran Fisik
Kebugaran fisik adalah kemampuan tubuh untuk melakukan suatu


pekerjaan fisik yang dikerjakan sehari-hari tanpa menimbulkan kelelahan yang
sangat berarti (Giarto, 2012). Seseorang yang bugar secara fisik memiliki
kemampuan untuk melakukan aktivitas fisik sehari-hari dengan bersemangat dan
waspada tanpa merasakan kelelahan berlebihan serta masih memiliki energi yang
cukup untuk menjalankan aktivitas pada waktu luangnya atau untuk keperluan
mendadak lainnya (Hanifah et al., 2013).
Menurut ACSM (2013), kebugaran fisik terbagi atas dua komponen utama
yaitu :
1. Komponen kebugaran fisik yang berkaitan dengan kesehatan (health-related
physical fitness components), yang terdiri dari :
a. Daya tahan kardiorespirasi (Cardiorespiratory endurance)
Daya tahan kardiorespirasi adalah kemampuan sistem sirkulasi dan
respirasi untuk menyediakan oksigen selama melakukan aktivitas fisik.
b. Komposisi tubuh (Body composition)
Komposisi tubuh adalah jumlah relatif dari otot, lemak, tulang, dan bagian
tubuh vital yang lain.
c. Kekuatan otot (Muscular strength)
Kekuatan otot adalah kemampuan otot untuk menghasilkan gaya.
d. Daya tahan otot (Muscular endurance)
Daya tahan otot adalah kemampuan otot untuk terus bekerja atau

melakukan aktivitas tanpa merasa kelelahan.
e. Kelenturan (Flexibility)
Kelenturan adalah rentang atau jangkauan pergerakan (range of motion)
yang dihasilkan oleh sendi.
2. Komponen kebugaran fisik yang berkaitan dengan keterampilan (skill-related
physical fitness components), yang terdiri dari :
a. Kelincahan (Agility)

Universitas Sumatera Utara

Kelincahan adalah kemampuan untuk mengubah posisi tubuh dalam suatu
jarak tertentu dengan cepat dan akurat.
b. Koordinasi (Coordination)
Kemampuan untuk menggunakan indera seperti melihat dan mendengar
dan bagian-bagian tubuh lain secara bersamaan dalam melakukan suatu
gerakan atau aktivitas dengan mulus dan akurat.
c. Keseimbangan (Balance)
Keseimbangan adalah pemeliharan keseimbangan atau ekuilibrium pada
saat statis atau bergerak.
d. Daya ledak (Power)

Daya ledak adalah kemampuan atau laju dimana seserorang dapat
melakukan kerja. Menurut Wiarto (2013), daya ledak adalah hasil dari
kekuatan dan kecepatan. Sebagai contoh, apabila seseorang dapat
mengangkat beban 70 kg dengan cepat, maka orang tersebut dikatakan
memiliki daya ledak (power).
e. Waktu reaksi (Reaction time)
Waktu reaksi adalah lamanya waktu antara perangsangan dan respon
terhadap stimulasi tersebut.
f. Kecepatan (Speed)
Kecepatan adalah kemampuan untuk melakukan suatu gerakan dalam
waktu atau periode yang singkat.
Menurut Wiarto (2013), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
tingkat kebugaran fisik seseorang, yaitu :
1. Umur
Kebugaran fisik anak-anak meningkat sampai mencapai maksimal pada usia
25-30 tahun, kemudian akan terjadi penurunan kapasitas fungsional dari
seluruh tubuh sekitar 0,8-1% per tahun. Namun, jika seseorang rajin
berolahraga, maka penurunan ini dapat dikurangi sampai separuhnya.
2. Jenis kelamin

Universitas Sumatera Utara

Kebugaran fisik anak laki-laki biasanya hampir sama dengan anak sampai
usia pubertas, tetapi pada saat setelah pubertas, tingkat kebugaran fisik anak
laki-laki biasanya jauh lebih besar dibandingkan .
3. Genetik
Genetik berpengaruh terhadap kapasitas jantung-paru, postur tubuh, obesitas,
hemoglobin, sel darah, dan serat otot.
4. Makanan
Seseorang akan memiliki daya tahan yang tinggi bila mengkonsumsi tinggi
karbohidrat (60-70%). Diet tinggi protein berperan dalam memperbesar otot,
dan dibutuhkan untuk olahraga yang memerlukan kekuatan otot yang besar.

5. Rokok
Kadar CO yang terhisap akan mengurangi nilai VO₂ maks, yang berpengaruh
terhadap daya tahan. Selain itu, menurut penelitian Perkins dan Sexton,
nikotin yang ada dapat memperbesar pengeluaran energi dan mengurangi
nafsu makan.
2.3

Penilaian Kebugaran Kardiorespirasi dengan Menilai VO₂ maks
Kebugaran kardiorespirasi (cardiorespiratory fitness) adalah kemampuan

untuk melaksanakan latihan dinamik dengan intensitas sedang-berat dalam
periode waktu yang lama. Kemampuan melakukan latihan ini bergantung pada
keadaan fungsional dan fisiologis yang terintegrasi antara sistem respirasi,
kardiovaskular, dan muskuloskeletal. Kebugaran kardiorespirasi merupakan salah
satu komponen kebugaran fisik yang berkaitan dengan kesehatan karena (1)
tingkat kebugaran kardiorespirasi yang rendah berkaitan dengan peningkatan
tinggi risiko kematian dini oleh semua penyebab, terutama oleh penyakit
kardiovaskular; (2) peningkatan tingkat kebugaran kardiorespirasi berkaitan
dengan penurunan angka kematian oleh semua penyebab; (3) tingkat kebugaran
kardiorespirasi yang tinggi berkaitan dengan tingkat kebiasaan beraktivitas fisik
yang lebih tinggi yang memberi banyak manfaat bagi kesehatan. Oleh karena itu,
penilaian terhadap tingkat kebugaran kardiorespirasi merupakan bagian yang

Universitas Sumatera Utara

penting dalam berbagai pencegahan primer atau sekunder dan program-program
rehabilitasi (ACSM, 2013).
Fungsi sistem jantung paru dapat diketahui dengan pengukuran VO₂max,

ataupun pemantauan frekuensi nadi dan tekanan darah pada kecepatan kerja

submaksimal (Powers, 2007). Namun, pengukuran VO₂max adalah pengukuran

baku emas untuk kebugaran kardiorespirasi (ACSM, 2013).

Ambilan oksigen maksimal atau maximal oxygen uptake (VO₂ max) adalah

adalah suatu pengukuran kapasitas dari sistem kardiovaskular untuk membawa
darah yang kaya oksigen ke massa otot besar yang terlibat dalam pekerjaan atau

aktivitas dinamik. VO₂ max dinyatakan dalam mililiter oksigen per kilogram berat

badan per menit (ml/kg/menit) (Powers, 2009). Artinya, VO₂ max adalah jumlah

oksigen maksimum dalam mililiter yang dapat digunakan dalam satu menit per
kilogram berat badan (Olivia, 2010).

Ambilan oksigen adalah produk dari aliran darah sistemik (cardiac output)
dan ekstraksi oksigen sistemik (arteriovenosus oxygen difference), sehingga
VO₂max dapat ditentukan dengan persamaan :

VO₂ max = HRmax x SVmax x (a-v O₂ difference)max

dengan HR = heart rate; SV = Stroke Volume; a-v O₂ difference = arteriovenous

oxygen difference (Powers, 2009).

Dari persamaan di atas, dapat disimpulkan bahwa perubahan VO₂max

dapat disebabkan oleh perubahan satu atau lebih variabel yang terdapat di sisi

kanan persamaan di atas. Dari penelitian pada tiga kelompok subjek yaitu pasien
dengan mitral stenosis, subjek aktif secara normal, dan atlet kelas internasional,
didapatkan bahwa hanya SVmax yang dapat menjelaskan perbedaan VO₂max di

antara ketiga kelompok, dibandingkan dengan kedua variabel lainnya yang
memiliki nilai yang hampir sama. Sebesar 68% dari variasi VO₂max di antara

laki-laki dan dipengaruhi oleh massa ventrikel kiri, suatu pengukuran ukuran
jantung (Powers, 2009).
Menurut Powers dan Howley (2009), VO₂max dapat dipengaruhi oleh :

1. Fungsi kardiovaskular dan lemak tubuh

Universitas Sumatera Utara

VO₂max akan meningkat jika terjadi peningkatan fungsi kardiovaskular dan
penurunan persentase lemak tubuh. Adanya perbedaan persentase lemak tubuh

antara laki-laki dan menyebabkan nilai VO₂max pada laki-laki dan juga
berbeda. Selain itu, pada pasien dengan pasca infark miokard dan penyakit
paru berat, nilai VO₂max juga jauh lebih rendah daripada orang normal.

2. Genetik

Sebesar 93% dari variasi nilai VO₂max disebabkan oleh genetik. Telah
dibuktikan bahwa faktor genetik berpengaruh pada nilai VO₂max karena

terdapat perbedaan DNA mitokondria antarindividu.
3. Aktivitas fisik

Penelitian menunjukkan bahwa kebiasaan beraktivitas fisik merupakan
determinan utama nilai VO₂max.

Pengukuran VO₂max dapat dilakukan secara langsung maupun tidak

langsung. Pengukuran VO₂max secara langsung dilakukan melalui open circuit

spirometry, dimana subjek bernafas melalui katup beresistensi rendah dengan

hidung disumbat atau dengan masker nonlateks, sementara itu ventilasi paru dan
fraksi O₂ dan CO₂ diukur. Pengukuran VO₂ maks secara langsung jarang

dilakukan karena membutuhkan biaya besar yang disebabkan oleh keperluan
peralatan, tempat, dan personil yang profesional. Ketika pengukuran secara
langsung tidak memungkinkan untuk dilakukan, maka penilaian VO₂max dapat

dilakukan secara tidak langsung dengan berbagai tes latihan submaksimal dan
maksimal. Terdapat tiga jenis tes latihan yang umum dilakukan antara lain tes di
lapangan (field test), tes latihan submaksimal (submaximal exercise test), dan tes
latihan maksimal (maximal exercise test), dimana setiap metode memiliki
kelebihan dan kekurangannya masing-masing (ACSM, 2013).
Pada tes di lapangan (field test), terdiri dari berjalan atau berlari dalam
waktu atau jarak yang sudah ditentukan sebelum tes dilakukan. Keuntungan dari
tes di lapangan adalah tes dapat dilakukan pada subjek yang banyak sekaligus dan
hanya membutuhkan alat yang sedikit dan sederhana, sedangkan kelemahannya
tidak dapat memonitor tekanan darah dan denyut jantung, serta tidak sesuai untuk

Universitas Sumatera Utara

individu dengan gaya hidup sedentary dan individu yang memiliki risiko
komplikasi kardiovaskular dan/atau muskuloskeletal (ACSM, 2013).
Graded exercise test (GXT) merupakan bentuk latihan yang digunakan
untuk menilai fungsi jantung paru. Latihan ini bersifat berjenjang, dimana
perubahan kecepatan kerja terjadi setiap 2 atau 3 menit sampai subjek mencapai
tujuan yang ditentukan sebelumnya (target frekuensi nadi), atau ketika tanda atau
gejala patologis muncul. Protokol GXT dapat submaksimal atau maksimal,
bergantung pada akhir penghentian tes. Pilihan GXT haruslah berdasarkan
populasi (atlet, pasien dengan masalah jantung, anak-anak), tujuan (estimasi
kebugaran kardiorespirasi, mengukur VO₂max, diagnosis penyakit jantung

koroner), dan biaya (peralatan dan personil) (Powers, 2009).

Keputusan untuk memilih tes latihan submaksimal atau maksimal sangat
bergantung pada alasan dilakukan tes latihan, tingkat risiko subjek, dan
ketersediaan alat dan personil yang memadai. Tes latihan maksimal yang dapat
dilakukan dengan treadmill atau cycle ergometer, menyediakan penilaian VO₂max

yang lebih baik dan memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dalam mendiagnosis
penyakit kardiovaskular asimtomatik. Meskipun demikian, pada tes latihan
maksimal, subjek perlu menjalani latihan sampai titik kelelahan (fatigue),
sehingga dibutuhkan pengawasan medis dan perlengkapan emergensi. Oleh
karena itu, pengukuran VO₂max sering dilakukan dengan tes latihan submaksimal,

yang dapat dilakukan dengan step tests, treadmills, atau cycle ergometers. Tujuan
dasar dari tes latihan submaksimal adalah untuk menentukan respons denyut
jantung (heart rate response) terhadap satu atau lebih kerja submaksimal dan
menggunakan hasilnya untuk memprediksi VO₂max (ACSM, 2013).

Berbagai tes latihan submaksimal baik tahapan tunggal (single-stage)

maupun multitahapan (multistage) tersedia untuk menilai VO₂max dari
pengukuran heart rate (HR) sederhana. Pengukuran HR yang akurat sangat

menentukan validitas tes ini. Walaupun HR biasanya diperoleh secara palpasi,
akurasi metode ini bergantung pada pengalaman dan teknik pemeriksa. Oleh
karena itu, penggunaan EKG, monitor HR, atau stetoskop lebih direkomendasikan
untuk menentukan HR. Penggunaan monitor HR selain tidak mahal, juga dapat

Universitas Sumatera Utara

sangat mengurangi kesalahan dalam tes latihan. Respons HR submaksimal mudah
dipengaruhi oleh faktor lingkungan (suhu panas dan kelembaban), diet (kafein dan
lamanya waktu sejak makan terakhir), dan tingkah laku (cemas, merokok, dan
aktivitas fisik sebelumnya). Oleh sebab itu, variabel-variabel tersebut harus
dikontrol untuk mendapatkan estimasi nilai HR yang valid. Tes latihan
submaksimal yang dapat dilakukan antara lain cycle ergometer tests, treadmill
tests dan step tests (ACSM, 2013).
Pada penelitian ini, penilaian VO₂max akan diperoleh dari tes latihan

submaksimal yang menggunakan treadmill dengan Bruce protocol. Kelebihannya
adalah graded exercise test (GXT) dengan treadmill dapat mengakomodasi

sebagian besar individu, dari yang memiliki tingkat kebugaran terendah sampai
tertinggi dan menggunakan aktivitas alami, yaitu berjalan dan berlari. Selain itu,
GXT dengan tes lari yang bertahap menggunakan treadmill menghasilkan nilai
VO₂max yang terbaik, diikuti dengan tes berjalan bertahap menggunakan

treadmill, dan terakhir yang memberikan nilai terendah adalah GXT dengan cycle

ergometer. Kelemahan dari treadmill adalah harganya mahal, tidak dapat
dipindah-pindah (not portable), dan membuat beberapa pengukuran seperti
tekanan darah dan pengambilan sampel darah menjadi lebih sulit (Powers, 2009).
Terdapat beberapa protokol treadmill, antara lain The National Exercise
and Heart Disease protocol, untuk subjek yang memiliki tingkat kebugaran
rendah dengan peningkatan laju kerja hanya 1 MET (Metabolic Equivalents of
Task) setiap 3 menit, The Standard Balke protocol, dimulai dengan 4 METs yang
dilanjutkan dengan peningkatan 1 MET setiap 2 menit, dan sesuai untuk sebagian
besar rata-rata dewasa dengan gaya hidup sedentary, The Bruce protocol, untuk
subjek muda yang aktif, dimulai dengan 5 METs dan dilanjutkan dengan
peningkatan 2-3 METs per tahap dan The Astrand and Rodahl protocol digunakan
untuk populasi atlet yang memiliki tingkat kebugaran tinggi, dengan kecepatannya
bergantung pada kebugaran subjek (Powers, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.3 Protokol Bruce (untuk subjek muda dan aktif)
Tahap (stage)* METs
Kecepatan (mph)
% Grade
1
5
1,7
10
2
7
2,5
12
3
9,5
3,4
14
4
13
4,2
16
5
16
5,0
18

*Setiap tahap berlangsung selama 3 menit
Sumber : Powers dan Howley (2009)




Rumus untuk mengestimasi VO₂max dengan Bruce Protocol adalah :

Untuk laki-laki, VO₂ max = 14,8 - (1,379 x T) + (0,451 x T²) - (0,012 x T³)

Untuk , VO₂ max = (4,38 x T) – 3,9

Dengan T = waktu total berada di atas treadmill yang diukur sebagai fraksi dari
satu menit (Contoh : Total waktu latihan adalah 9 menit 30 detik, ditulis sebagai
T = 9,5) (Heyward, 2014).
Tabel 2.4 Nilai VO₂ max menurut usia

VO2 Max Norms for Men - Measured in ml/kg/min
Age

Very
Poor

Poor

Fair

Good

Excellent

Superior

13-19

55.9

20-29

52.4

30-39

49.4

40-49

48.0

50-59

45.3

60+

44.2

VO2 Max values for Women as measured in ml/kg/min
Age

Very
Poor

Poor

Fair

Good

Excellent

Superior

13-19

41.9

20-29

41.0

30-39

40.0

40-49

36.9

50-59

35.7

60+

31.4

Sumber : Powers dan Howley (2007)

Universitas Sumatera Utara

2.4

Hubungan Komposisi Tubuh dengan Kebugaran Fisik
Penelitian menyarankan bahwa penilaian komposisi tubuh sebaiknya

dilakukan bersamaan dengan penilaian tingkat kebugaran aerobik agar dapat
mendapatkan status kesehatan yang akurat dalam suatu populasi. Dalam suatu
penelitian pada populasi laki-laki menunjukkan bahwa sampel yang kurus tetapi
memiliki tingkat kebugaran yang rendah memiliki risiko penyakit kardiovaskular
dan mortalitas (karena semua penyebab) yang lebih tinggi daripada sampel yang
overweight tetapi memiliki tingkat kebugaran yang baik. Hal ini menunjukkan
bahwa memiliki tingkat kebugaran fisik yang baik dapat memberikan proteksi dari
risiko penyakit kardiovaskular walaupun sesorang memiliki berat badan berlebih
(Burns et al., 2013).
Dua komponen kebugaran fisik utama adalah kebugaran kardiorespirasi
(cardiorespiratory fitness) dan kebugaran otot (muscular fitness), namun
kebugaran kardiorespirasi memiliki hubungan lebih dekat dengan kesehatan,
terutama kesehatan kardiometabolik. Kebugaran kardiorespirasi, disebut juga
kebugaran kardiovaskular, kebugaran aerobik, atau kapasitas aerobik, merupakan
keseluruhan kapasitas sistem kardiovaskular dan respirasi dalam melaksanakan
latihan yang lama (prolonged exercise). Kebugaran kardiorespirasi berdasarkan
VO₂max dapat membedakan antara yang memiliki sindrom metabolik dan yang

tidak memiliki sindrom metabolik, dimana tingkat kebugaran fisik yang lebih
tinggi berhubungan dengan profil metabolik yang lebih baik. Kebugaran
kardiorespirasi juga memiliki hubungan terbalik dengan marker inflamasi tingkat
rendah (Burns et al., 2013).
Kebugaran kardiorespirasi dan muskular memiliki hubungan yang positif
dan independen dengan kesehatan kardiometabolik. Tingkat kebugaran yang lebih
tinggi dapat mengurangi beberapa gangguan kesehatan yang berkaitan dengan
obesitas. Walaupun secara intuisi obesitas dapat mengurangi kebugaran fisik,
namun sebuah penelitian menunjukkan bahwa hanya sekitar 50% pengurangan
kebugaran fisik pada anak dan dewasa muda yang dapat dijelaskan dengan
fatness. Dalam hal ini, rendahnya aktivitas fisik mungkin turut berperan (Voss,
2014).

Universitas Sumatera Utara

Hubungan antara komposisi tubuh dan tingkat kebugaran perlu dicari agar
dapat mengetahui pengukuran skrining yang dapat mengidentifikasi dewasa muda
yang memiliki tingkat kebugaran kardiorespirasi yang rendah dan peningkatan
risiko penyakit kronis (Burns et al., 2013). Selain itu, dapat dilaksanakan
program-program intervensi yang dapat memberikan manfaat terhadap status
kesehatan, seperti berkurangnya lemak tubuh, perbaikan skor sindrom metabolik,
efek positif pada tekanan darah, peningkatan densitas tulang, dan peningkatan
prestasi akademik (Hanifah et al., 2013).
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa semua parameter komposisi
tubuh, yaitu IMT, lingkar pinggang, dan waist-height ratio berkorelasi terbalik
dengan VO₂max sebagai marker tingkat kebugaran fisik. Lingkar pinggang

merupakan prediktor tingkat kebugaran yang terkuat. Hubungan yang sebenarnya
antara lingkar pinggang dan faktor risiko kardio-metabolik masih belum jelas.

Beberapa hipotesis menyatakan bahwa penumpukan lemak intraabdomen
merupakan indikator adanya gangguan regulasi penyimpanan energi, yang
menyebabkan penumpukan lemak berlebihan di hati. Hal ini mengganggu fungsi
regulasi lemak hati yang dapat berakibat dislipidemia dan resistensi insulin
(Hanifah et al., 2013). Menurut Klein (2007) dalam Hanifah (2013), hipotesis lain
adalah adanya pelepasan asam lemak bebas melalui lipolisis dari adiposit
omentum dan mesenterik yang memicu resistensi insulin dan hiperkolesterolemia.
Selain itu, juga didapatkan bahwa remaja dengan tingkat kebugaran fisik
yang rendah berkaitan dengan peningkatan lingkar pinggang sebesar 5,6 cm pada
laki-laki dan 2,9 cm pada dibandingkan dengan yang memiliki tingkat kebugaran
tinggi. Sebuah studi di Spanyol mengungkapkan bahwa kebugaran kardiorespirasi
adalah prediktor terkuat dari IMT, jumlah ketebalan lipatan kulit, dan jaringan
lemak subkutan trunkus, dibandingkan dengan tingkat aktivitas fisik. Hal ini
menunjukkan bahwa begitu pentingnya gaya hidup yang sehat dimulai sejak usia
muda (Hanifah et al., 2013).
Dari suatu studi di Cina, diperoleh hasil bahwa laki-laki dengan IMT
normal atau rendah memiliki indeks kebugaran fisik yang lebih tinggi daripada
yang memiliki IMT tinggi, sangat tinggi, atau sangat rendah dimana laki-laki yang

Universitas Sumatera Utara

memiliki IMT normal rata-rata memiliki nilai indeks kebugaran fisik terbaik pada

usia 19-24 tahun, dan yang memiliki IMT rendah pada usia 18 dan  25 tahun,

sedangkan hubungan IMT dan indeks kebugaran fisik pada diperoleh hasil yang
membingungkan. Sebagai contoh, pada kelompok usia dewasa muda (18-19
tahun) didapatkan indeks kebugaran fisik terbaik berasal dari kelompok IMT

terendah, sedangkan pada usia  19 tahun, hubungan antara IMT dan indeks
kebugaran fisik menunjukkan hasil yang tidak masuk akal. Hal ini mungkin
disebabkan oleh faktor kultural dimana

memiliki keinginan untuk bertubuh

langsing dengan cara diet yang tidak tepat (Lu et al., 2014).

Universitas Sumatera Utara