Hubungan Teknik Pengukuran Komposisi Tubuh Berdasarkan Indeks Massa Tubuh dan Lingkar Pinggang dengan Kebugaran Kardiorespirasi pada Mahasiswi FK USU

(1)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap : Loretta Saphira Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat / Tanggal Lahir : Medan / 07 Maret 1994

Alamat : Jl. Dr. FL. Tobing No.36 E/44F Medan

Agama : Buddha

Kewarganegaraan : Indonesia Nomor HP : 08196052426

Email : loretta.94@hotmail.com

Riwayat Pendidikan : 1. TK Sutomo 1 Medan (1998-2000) 2. SD Sutomo 1 Medan (2000-2006) 3. SMP Sutomo 1 Medan (2006-2009) 4. SMA Sutomo 1 Medan (2009-2012)

5. Fakultas Kedokteran USU (2012-Sekarang)

Riwayat Pelatihan : 1. Peseta Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) FK USU 2012 2. Peserta Manajemen Mahasiswa Baru (MMB) FK USU 2012 3. Peserta Seminar Update KTI dan Penyusunan Proposal

Penelitian SCORE PEMA FK USU 2015


(2)

LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN

Salam Sejahtera,

Saya, Loretta Saphira, sedang menjalani Pendidikan Dokter di Universitas Sumatera Utara. Saya akan melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Teknik Pengukuran Komposisi Tubuh Berdasarkan Indeks Massa Tubuh dan Lingkar Pinggang dengan Kebugaran Kardiorespirasi pada Mahasiswi FK USU”. Saya mengadakan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara dua komponen kebugaran fisik yang berkaitan dengan kesehatan, yaitu komposisi tubuh dan daya tahan kardiorespirasi (jantung paru) pada mahasiswi FK USU angkatan 2014.

Untuk keperluan tersebut, saya mohon kesediaan Saudara menjadi responden dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini, akan dilakukan pengukuran berat badan, tinggi badan, lingkar pinggang, serta dilakukan tes kebugaran fisik.

Pada saat dilakukan pengukuran berat badan, semua benda yang memberatkan akan dikeluarkan atau dilepaskan terlebih dahulu. Lalu Saudara diminta untuk naik ke atas timbangan dengan kedua kaki seluruhnya berada di atas timbangan dan pandangan lurus ke depan. Pemeriksa akan membaca angka yang ditunjuk oleh jarum timbangan yang merupakan berat badan Saudara.

Pada saat dilakukan pengukuran tinggi badan, alas kaki dan segala sesuatu yang dipakai di kepala Saudara dilepaskan terlebih dahulu. Posisi Saudara berdiri tegak, menempel pada dinding, dan pandangan lurus ke depan. Lalu alat pengukur tinggi badan akan digeser oleh pemeriksa sampai puncak kepala Saudara dan kemudian pemeriksa membaca angka yang menunjukkan tinggi badan Saudara.

Pada saat dilakukan pengukuran lingkar pinggang, Saudara berada dalam posisi berdiri tegak, lalu pemeriksa akan meletakkan ujung pita pengukur di antara batas bawah tulang iga dan tulang panggul sebelah kanan, dan melingkarkan pita pengukur mengelilingi pinggang sampai bertemu ujung awal pita pengukur tersebut. Saudara diminta untuk tidak menahan perut Saudara dan pemeriksa akan membaca angka yang terdapat pada pertemuan ujung pita pengukur tersebut pada saat Saudara membuang nafas yang merupakan ukuran lingkar pinggang Saudara.


(3)

Sebelum melakukan tes kebugaran fisik, tekanan darah dan denyut nadi Saudara akan diukur. Jenis tes latihan kebugaran fisik yang dilakukan adalah

graded exercise test menggunakan treadmill dengan Bruce Protocol. Tes dilakukan maksimal selama 15 menit dengan kecepatan yang ditingkatkan setiap 3 menit sesuai dengan ketentuan Bruce protocol atau dihentikan sebelum waktunya jika indikasi untuk menghentikan tes muncul (salah satunya jika Saudara meminta untuk treadmill dihentikan).

Partisipasi Saudara bersifat sukarela dan tanpa paksaan. Identitas Saudara akan dirahasiakan dan tidak dipublikasikan. Data yang terkumpul hanya akan digunakan untuk kepentingan penelitian dan tidak akan disalahgunakan untuk maksud lain. Jika Saudara membutuhkan informasi lebih lanjut, Saudara dapat langsung menghubungi peneliti, Loretta Saphira. Demikian penjelasan ini saya sampaikan. Dalam penelitian ini, Saudara akan mengisi lembar identitas diri terlebih dahulu dan jika Saudara bersedia menjadi subjek penelitian, silahkan menandatangani lembar persetujuan.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Saudara yang telah bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini. Keikutsertaan Saudara dalam penelitian ini tentunya akan menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan.

Medan, ………. 2015 Peneliti,


(4)

LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (INFORMED CONSENT)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama :

Usia :

Alamat : No. HP :

telah mendapatkan keterangan dari peneliti bahwa saya akan diminta untuk menjadi subjek penelitian dalam penelitian yang berjudul “Hubungan Teknik Pengukuran Komposisi Tubuh Berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) dan Lingkar Pinggang dengan Kebugaran Kardiorespirasi pada Mahasiswi FK USU”. Dalam penelitian ini, akan dilakukan pengukuran berat badan, tinggi badan, serta lingkar pinggang saya. Kemudian akan diukur tekanan darah dan denyut nadi sebelum memulai tes kebugaran fisik, lalu saya akan melakukan tes kebugaran fisik dengan berjalan di atas treadmill dengan kecepatan dan waktu yang sudah ditentukan.

Saya memahami manfaat dan risiko dari penelitian ini dan saya bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian ini sebagai subjek penelitian tanpa adanya paksaan dari pihak manapun.

Medan, ……… 2015 Subjek Penelitian,


(5)

LEMBAR IDENTITAS SUBJEK PENELITIAN

Nama Lengkap :

NIM :

Usia :

Kelas :

No. HP :

Riwayat Penyakit : Ya / Tidak jantung atau paru

Riwayat Orang tua : Ya / Tidak (Penyakit jantung atau paru)

Riwayat penyakit sekarang : Tidak / Ya, (sebutkan) ...

Berat Badan : kg

Tinggi Badan : cm

Saya menyatakan bahwa saya mengisi lembar identitas subjek penelitian ini dengan benar, dan lembar identitas subjek penelitian ini diisi dengan sukarela dan tanpa paksaan.

Medan, ……….. 2015 Subjek penelitian,


(6)

(7)

(8)

OUTPUT PROGRAM SPSS

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

Umur 60 17 22 18.67 .877

Berat badan 60 38.0 83.0 52.742 9.3008

Tinggi badan 60 146.0 169.0 157.218 4.7456

Indeks massa tubuh 60 16.0 34.5 21.384 4.0142 Lingkar pinggang 60 59.5 106.0 76.967 8.7995 VO2maks per kg per menit 60 10.0 49.7 30.078 7.9780 Valid N (listwise) 60

Umur

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid 17 tahun 2 3.3 3.3 3.3

18 tahun 26 43.3 43.3 46.7

19 tahun 25 41.7 41.7 88.3

20 tahun 5 8.3 8.3 96.7

21 tahun 1 1.7 1.7 98.3

22 tahun 1 1.7 1.7 100.0

Total 60 100.0 100.0

Berat Badan

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid 30-39 kg 3 5.0 5.0 5.0

40-49 kg 23 38.3 38.3 43.3

50-59 kg 20 33.3 33.3 76.7


(9)

70-79 kg 3 5.0 5.0 98.3

80-89 kg 1 1.7 1.7 100.0

Total 60 100.0 100.0

Tinggi Badan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 140-149 cm 3 5.0 5.0 5.0

150-159 cm 38 63.3 63.3 68.3

160-169 cm 19 31.7 31.7 100.0

Total 60 100.0 100.0

Kategori IMT

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Underweight 12 20.0 20.0 20.0

Normoweight 34 56.7 56.7 76.7

Overweight 4 6.7 6.7 83.3

Obese I 7 11.7 11.7 95.0

Obese II 3 5.0 5.0 100.0

Total 60 100.0 100.0

Kategori Lingkar Pinggang

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Normal 44 73.3 73.3 73.3

Tidak normal 16 26.7 26.7 100.0

Total 60 100.0 100.0


(10)

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Sangat buruk 12 20.0 20.0 20.0

Buruk 21 35.0 35.0 55.0

Cukup 7 11.7 11.7 66.7

Baik 9 15.0 15.0 81.7

Sangat baik 10 16.7 16.7 98.3

Superior 1 1.7 1.7 100.0

Total 60 100.0 100.0

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Indeks massa tubuh .169 60 .000 .888 60 .000

Lingkar pinggang .120 60 .031 .951 60 .018

VO2maks per kg per menit .077 60 .200* .975 60 .264 a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Correlations

Indeks massa tubuh

Lingkar

pinggang VO2maks Spearman's

rho

Indeks massa tubuh Correlation Coefficient 1.000 .818** -.075

Sig. (2-tailed) . .000 .569

N 60 60 60

Lingkar pinggang Correlation Coefficient .818** 1.000 -.218

Sig. (2-tailed) .000 . .094

N 60 60 60

VO2maks Correlation Coefficient -.075 -.218 1.000

Sig. (2-tailed) .569 .094 .

N 60 60 60


(11)

(12)

DATA INDUK

No. Usia (tahun)

Berat Badan (kg)

Tinggi Badan (cm)

IMT (kg/m2)

Lingkar Pinggang (cm)

VO2 maks (ml/kg/menit)

Kategori IMT

Kategori Lingkar Pinggang

Kategori VO2 maks

1. 18 69,0 150,0 30,700 92,0 36,542 Obesity II Tidak normal Baik

2. 19 66,0 152,0 28,566 88,0 35,447 Obesity I Tidak normal Baik

3. 19 47,0 159,0 18,591 66,5 40,849 Normoweight Normal Sangat baik

4. 19 38,5 153,0 16,447 67,0 35,885 Underweight Normal Baik

5. 19 71,5 159,0 28,282 91,0 29,242 Obesity I Tidak normal Buruk

6. 18 54,0 156,5 22,048 72,0 40,119 Normoweight Normal Sangat baik

7. 19 60,0 153,0 25,631 79,0 29,096 Obesity I Normal Buruk

8. 20 48,5 155,0 20,187 74,5 49,682 Normoweight Normal Superior

9. 18 47,0 157,0 19,068 76,0 28,950 Normoweight Normal Buruk

10. 19 66,0 155,5 27,295 91,0 25,300 Obesity I Tidak normal Buruk


(13)

12. 17 71,5 154,5 29,954 98,0 10,043 Obesity I Tidak normal Sangat buruk

13. 20 61,0 169,0 21,358 87,0 27,125 Normoweight Tidak normal Buruk

14. 19 42,0 160,5 16,304 68,0 29,315 Underweight Normal Buruk

15. 19 50,0 147,0 23,139 78,0 32,016 Overweight Normal Cukup

16. 18 38,0 146,0 17,827 66,0 28,804 Underweight Normal Buruk

17. 19 48,0 155,0 19,979 73,0 32,308 Normoweight Normal Cukup

18. 18 45,0 150,5 19,867 74,5 27,855 Normoweight Normal Buruk

19. 20 60,0 162,5 22,722 79,0 33,184 Normoweight Normal Baik

20. 18 41,0 160,0 16,016 67,0 36,031 Underweight Normal Baik

21. 18 38,5 153,5 16,339 67,0 23,402 Underweight Normal Sangat buruk

22. 18 46,5 154,0 19,607 76,5 31,140 Normoweight Normal Cukup

23. 18 46,0 155,5 19,024 79,0 34,279 Normoweight Normal Cukup


(14)

25. 19 54,0 163,0 20,324 77,0 12,306 Normoweight Normal Sangat buruk

26. 19 45,0 163,0 16,937 70,0 35,885 Underweight Normal Baik

27. 19 41,5 157,0 16,836 64,0 40,265 Underweight Normal Sangat baik

28. 19 50,5 155,0 21,020 76,5 39,973 Normoweight Normal Sangat baik

29. 18 45,5 156,0 18,697 72,0 24,351 Normoweight Normal Sangat buruk

30. 18 44,0 155,5 18,197 71,0 41,506 Underweight Normal Sangat baik

31. 19 55,0 157,0 22,313 82,0 39,900 Normoweight Tidak normal Sangat baik

32. 22 47,0 150,0 20,889 77,0 37,272 Normoweight Normal Sangat baik

33. 19 71,0 150,5 31,346 89,0 28,585 Obesity II Tidak normal Buruk

34. 20 50,0 156,0 20,546 80,0 22,964 Normoweight Tidak normal Sangat buruk

35. 18 53,0 162,5 20,071 75,0 29,534 Normoweight Normal Buruk

36. 18 55,5 155,0 23,101 79,0 31,432 Overweight Normal Cukup


(15)

38. 19 48,0 156,5 19,598 68,0 13,109 Normoweight Normal Sangat buruk

39. 21 50,0 155,0 20,812 70,0 36,542 Normoweight Normal Baik

40. 19 54,5 162,5 20,639 78,0 17,416 Normoweight Normal Sangat buruk

41. 18 48,0 158,5 19,107 72,0 36,250 Normoweight Normal Baik

42. 18 48,0 162,5 18,178 68,5 23,913 Underweight Normal Sangat buruk

43. 19 45,0 162,0 17,147 75,5 24,132 Underweight Normal Sangat buruk

44. 18 58,0 162,0 22,100 79,5 27,563 Normoweight Normal Buruk

45. 17 47,5 157,0 19,271 73,0 40,703 Normoweight Normal Sangat baik

46. 20 61,5 160,5 23,874 87,0 23,621 Overweight Tidak normal Buruk

47. 19 57,0 159,5 22,405 74,0 29,242 Normoweight Normal Buruk

48. 19 45,5 160,5 17,663 59,5 28,366 Underweight Normal Buruk

49. 19 60,0 160,5 23,292 82,0 31,213 Overweight Tidak normal Cukup


(16)

51. 18 51,0 161,0 19,675 69,0 29,169 Normoweight Normal Buruk

52. 18 52,0 159,0 20,569 74,5 26,760 Normoweight Normal Buruk

53. 18 56,0 156,5 22,864 81,0 25,884 Normoweight Tidak normal Buruk

54. 18 49,0 168,5 17,258 78,0 25,154 Underweight Normal Buruk

55. 19 61,0 155,2 25,325 83,0 40,192 Obesity I Tidak normal Sangat baik

56. 18 59,0 161,3 22,677 88,5 35,812 Normoweight Tidak normal Baik

57. 18 50,0 157,6 20,131 68,0 41,433 Normoweight Normal Sangat baik

58. 19 83,0 155,0 34,547 106,0 28,439 Obesity II Tidak normal Buruk

59. 18 45,0 152,5 19,350 79,5 19,752 Normoweight Normal Sangat buruk


(17)

DAFTAR PUSTAKA

Bantas, K., Koesnanto, H., Moelyono, B., 2013. Ukuran Lingkar Pinggang Optimal untuk Identifikasi Sindrom Metabolik pada Populasi Perkotaan di Indonesia. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional 7(6): 284-288.

Burns, R., Hannon, J.C., Brusseau, T.A., Shultz, B., Eisenman, P., 2013. Indices of Abdominal Adiposity and Cardiorespiratory Fitness Test Performance in Middle-School Students. Journal of Obesity 13: 1-8.

Cordova, A., Villa, G., Sureda, A., Rodriguez-Marroyo, J.A., Martínez-Castañedaf, R., Sánchez-Collado, M.P., 2013. Energy Consumption, Body Composition and Physical Activity Levels in 11- to 13-Year-Old Spanish Children. Annals of Nutrition and Metabolism 63: 223–228.

Dagan, S.S., Segev, S., Novikov, I., Dankner, R., 2013. Waist Circumference vs Body Mass Index in Association with Cardiorespiratory Fitness in Healthy Men and Women : A Cross Sectional Analysis of 403 Subjects. Nutrition Journal 12: 12.

Dhara, S., Chatterjee, K., 2015. A Study of VO2 max in Relation with Body Mass

Index (BMI) of Physical Education Students. Research Journal of Physical Education Sciences 3(6): 9-12.

Hanifah, R.A. et al., 2013. Fitness Level and Body Composition Indices : Cross-sectional Study among Malaysian Adolescent. BMC Public Health 14: 1471-2458.

Haskell, W.L., Kiernan, M., 2000. Methodologic Issues in Measuring Physical Activity and Physical Fitness When Evaluating the Role of Dietary Supplements for Physically Active People. Am J Clin Nutr 72: 541S-50S. Heyward, V.H., Gibson, A.L., 2014. Advance Fitness Assessment & Exercise


(18)

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2014. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Available from : http://www.depkes.go.id/resources/download/ pusdatin/profil-kesehatan-indonesia/profil-kesehatan-indonesia-2013.pdf [Accessed 26 March 2015].

Klein, S. et al., 2007. Waist Circumference and Cardiometabolic Risk: Consensus Statement from Shaping America’s Health: Association for Weight Management and Obesity Prevention; NAASO, the Obesity Society; the American Society for Nutrition; and the American Diabetes Association.

Obesity 15(5): 1061-1067.

Lu, Y.J., Zheng, X.D., Zhou, F.S., Zuo, X.B., 2014. BMI and Physical Fitness in Chinese Adult Students : a Large School-Based Analysis. Int J Clin Exp Med 7(10): 3630-3636.

Olivia, W., 2010. Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Kebugaran Fisik pada Mahasiswi Laki-Laki Fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara Tahun Masuk 2010. Fakultas KedokteranUniversitas Sumatera Utara. Ortega, F.B. et al., 2007. Cardiorespiratory fitness and sedentary activities are

associated with adiposity in adolescents. Obesity 15(6): 1589-1599.

Oviyanti, P.N., 2010. Hubungan Antara Lingkar Pinggang dan Rasio Lingkar Pinggang Panggul dengan Tekanan Darah pada Subjek Usia Dewasa.

Fakultas KedokteranUniversitas Sebelas Maret.

Pescatello, L.S., Arena, R., Riebe, D., Thompson, P.D., 2013. ACMS’s Guidelines for Exercise Testing and Prescription 9th Edition. Philadelphia, PA: Lippincott Williams & Wilkins, 62-78. Available from: https://www.scribd.com/ doc/218472842/ACSM-s-Guidelines-for-Exercise-Testing-and-Prescription-9th-edition-pdf [Accessed 10 May 2015].

Powers, S.K., Howley, E.T., 2007. Exercise Physiology : Theory and Application to Fitness and Performance 6th Edition. New York : Mc.Graw-Hill, 299-316.


(19)

Powers, S.K., Howley, E.T., 2009. Exercise Physiology : Theory and Application to Fitness and Performance 7th Edition. New York : Mc.Graw-Hill, 264-316. Sastroasmoro, S., Ismael, S., 2013. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis

Edisi ke-4. Jakarta : Sagung Seto, 342-372.

Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S., 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta : Interna Publishing, 1977-1980. Thivel, D. et al., 2011. Effect of a 6-month school-based physical activity program

on body composition and physical fitness in lean and obese school children.

Eur J Pediatr 170: 1435–1443.

Voss, C. et al., 2014., A cross-cultural comparison of body composition, physical fitness and physical activity between regional samples of Canadian and English children and adolescents. Can J Public Health 105(4): 245-250. Wahyuni, A.S., 2011. Statistika Kedokteran (Disertai Aplikasi dengan SPSS).

Jakarta : Bamboedoea Communication, 8-9.

Wiarto, G., 2013. Fisiologi dan Olahraga. Yogyakarta : Graha Ilmu, 169-172. Williams, M.H., 2007. Nutrition for Health, Fitness, and Sport 8th Edition. New


(20)

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian 3.2. Variabel dan Definisi Operasional

1. Komposisi tubuh

Komposisi tubuh adalah proporsi relatif dari jaringan lemak dan jaringan bebas lemak dalam tubuh (Olivia, 2010). Dalam penelitian ini, parameter komposisi tubuh yang digunakan adalah indeks massa tubuh dan lingkar pinggang.

1. Indeks Massa Tubuh (IMT)

 Definisi : Indeks massa tubuh dihitung dengan berat badan dalam kilogram (kg) dibagi tinggi badan dalam meter dikuadratkan (m²). IMT merupakan indikator yang paling bermanfaat untuk menentukan berat badan berlebih atau obesitas (Sudoyo et al., 2009).

 Cara Pengukuran : Antropometri 1) Berat Badan

Sebelum melakukan pengukuran berat badan, benda-benda yang memberatkan di kantong seperti handphone, kunci, dompet, dan lain-lain dikeluarkan terlebih dahulu. Subjek naik

Variabel Tergantung Kebugaran Kardiorespirasi

 VO2 maks

Variabel Bebas

Teknik Pengukuran Komposisi Tubuh

 Indeks massa tubuh


(21)

ke atas timbangan, kedua kaki seluruhnya berada di atas timbangan dan pandangan lurus ke depan. Kemudian pemeriksa membaca angka yang ditunjuk oleh jarum timbangan.

2) Tinggi Badan

Melepas alas kaki dan segala sesuatu yang dipakai di kepala, berdiri tegak dan menempel pada dinding dengan pandangan ke depan. Lalu alat pengukur tinggi akan digeser oleh pemeriksa sampai puncak kepala subjek untuk menentukan tinggi badan.

 Alat Ukur : 1). Timbangan badan 2). Meteran tinggi badan

 Hasil pengukuran : IMT dihitung dengan rumus berat badan dalam kilogram (kg) dibagi tinggi badan dalam meter dikuadratkan (m²) dan dinyatakan dalam satuan kg/m².

 Skala Pengukuran : Rasio 2. Lingkar Pinggang

 Definisi : Lingkar pinggang adalah besaran yang diukur pada pertengahan antara batas bawah iga dan krista iliaka pada saat akhir ekspirasi menggunakan pita pengukur (Oviyanti, 2010). Lingkar pinggang memiliki korelasi yang tinggi dengan jumlah lemak intraabdominal dan lemak total (Sudoyo, 2009)

 Cara pengukuran : Antropometri

Posisi subjek berdiri dengan tegak dan tenang. Pita pengukur diletakkan di tepi atas crista illiaca dextra. Kemudian, pita pengukur dilingkarkan mengelilingi dinding perut setinggi crista illiaca hingga bertemu dengan ujung awal pita pengukur tersebut dan pita pengukur tidak boleh menekan kulit terlalu ketat. Pengukuran atau pembacaan angka dilakukan pada saat akhir ekspirasi normal.

 Alat ukur : Pita pengukur jenis plastic tape measuring

 Hasil pengukuran : dinyatakan dalam satuan cm


(22)

2. Kebugaran Kardiorespirasi

Kebugaran kardiorespirasi adalah kemampuan untuk melaksanakan latihan dinamik dengan intensitas sedang-berat dalam periode waktu yang lama, dimana kemampuan ini bergantung pada keadaan fungsional dan fisiologis yang terintegrasi antara sistem respirasi, kardiovaskular, dan muskuloskeletal. Pada penelitian ini, kebugaran kardiorespirasi ditentukan berdasarkan nilai VO₂ maks.

a. VO₂ maks

 Definisi : VO₂maks adalah jumlah oksigen maksimum dalam mililiter yang dapat digunakan dalam satu menit per kilogram berat badan (Olivia, 2010).

 Cara pengukuran :

1) Graded exercise test (GXT) menggunakan treadmill dengan

Bruce protocol

2) VO₂ maks dihitung dengan rumus :

VO₂ maks = (4,38 x T) – 3,9 (Untuk ), dengan T adalah waktu total berada di atas treadmill

 Alat ukur : Treadmill dan kalkulator

 Hasil pengukuran : VO₂ maks yang dinyatakan dalam ml/kg/menit

 Skala pengukuran : Rasio 3.3. Hipotesis

a. Hipotesis Nol (Ho)

Tidak terdapat hubungan antara teknik pengukuran komposisi tubuh berdasarkan IMT dan lingkar pinggang dengan kebugaran kardiorespirasi.

b. Hipotesis Alternatif (Ha)

Terdapat hubungan antara teknik pengukuran komposisi tubuh berdasarkan IMT dan lingkar pinggang dengan kebugaran kardiorespirasi.


(23)

BAB 4

METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian analitik observasional dengan desain potong lintang (cross-sectional), dimana peneliti melakukan observasi atau pengukuran variabel baik variabel dependen maupun independen pada satu saat tertentu (point time approach) pada setiap subjek penelitian.

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan SeptemberNovember 2015 terhadap mahasiswi FK USU angkatan 2014 di ruang praktikum Fisiologi Fakultas Kedokteran USU. Ruang praktikum Fisiologi FK USU dipilih karena keterjangkauan lokasi bagi subjek penelitian serta ketersediaan alat treadmill yang dibutuhkan dan mendukung dalam proses pengambilan data.

4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1 Populasi

Populasi penelitian ini adalah semua mahasiswi FK USU angkatan 2014. 4.3.2 Sampel

Sampel penelitian adalah mahasiswi FK USU angkatan 2014 yang memenuhi kriteria sebagai berikut :

a. Kriteria Inklusi

1. Mahasiswi angkatan 2014 2. Dalam keadaan sehat secara fisik

3. Bersedia untuk ikut serta dalam penelitian b. Kriteria Eksklusi

1. Memiliki riwayat gangguan kardiovaskular dan respirasi 2. Mengalami infeksi akut


(24)

4.3.2.1 Besar sampel

Besar sampel penelitian dihitung dengan menggunakan rumus besar sampel tunggal untuk koefisien korelasi, yaitu :

n = ( )

, [ ( ) / ( ) ] + 3

Keterangan :

n = Besar sampel minimum

Zα = Nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada α tertentu Zβ = Nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada β tertentu r = Perkiraan koefisien korelasi (dari literatur)

Dari hasil penelitian sebelumnya, diperoleh nilai koefisien korelasi (r) adalah -0,360. Pada penelitian ini, ditetapkan besarnya kesalahan tipe I (α) adalah 0,05, maka nilai Zα dua arah berdasarkan tabel distribusi z adalah 1,96. Besarnya kesalahan tipe II (β) adalah 0,20, maka nilai Zβ berdasarkan tabel distribusi z adalah 0,842. Maka perhitungan besar sampel adalah :

n = ( )

, [ ( ) / ( ) ] + 3

= ( , , )

, [ ( ( , ) ) / ( ( , ) ) ] + 3

= 58,273 ≈59

Berdasarkan perhitungan besar sampel di atas, maka dibutuhkan minimal 59 orang untuk diikutkan sebagai sampel penelitian.

4.3.2.1 Teknik sampling

Teknik sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah non-probability sampling yaitu jenis consecutive sampling, dimana semua subjek yang datang secara berurutan dan memenuhi kriteria pemilihan akan diminta persetujuannya dan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subjek yang diperlukan terpenuhi.


(25)

4.4 Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan adalah data primer dengan tahap pengumpulan data adalah sebagai berikut :

1. Pemilihan subjek penelitian

Subjek penelitian yang dipilih adalah subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi dan telah setuju untuk menjadi subjek penelitian.

2. Penilaian komposisi tubuh dilakukan dengan cara mengukur : a. Indeks Massa Tubuh (IMT)

Melakukan pengukuran berat badan (BB) dalam satuan kilogram (kg), dengan menggunakan timbangan berat badan dan tinggi badan (TB) dalam satuan meter (cm) yang kemudian dikonversikan menjadi satuan meter (m), dengan menggunakan meteran pengukur tinggi badan. Lalu IMT dihitung dengan rumus IMT = BB/TB², dalam satuan kg/m² dengan bantuan kalkulator.

b. Lingkar Pinggang

Lingkar Pinggang diukur dengan pita pengukur nonelastis pada pertengahan antara batas bawah iga dan krista iliaka dengan pita pengukur diletakkan di tepi atas crista illiaca dextra lalu dilingkarkan mengelilingi dinding perut setinggi krista iliaka. Pengukuran dilakukan pada saat akhir ekspirasi normal dan dinyatakan dalam satuan sentimeter (cm).

3. Tes latihan kebugaran fisik

Jenis tes latihan kebugaran fisik yang dilakukan adalah graded exercise test menggunakan treadmill dengan Bruce Protocol. Tes dilakukan maksimal selama 15 menit dengan kecepatan yang ditingkatkan setiap 3 menit sesuai dengan Bruce protocol atau dihentikan sebelum waktunya jika indikasi untuk menghentikan tes muncul.

3. Menghitung nilai VO₂ maks

Nilai VO₂ maks dihitung untuk menentukan kebugaran fisik. VO₂ maks dihitung dengan rumus : VO₂maks = (4,38 x T) – 3,9, dengan T adalah


(26)

waktu total berada di atas treadmill dalam satuan menit, dan VO₂ maks dinyatakan dalam satuan ml/kg/menit.

5. Dokumentasi data

Peneliti melakukan pencatatan seluruh data yang diperoleh. 4.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data

4.5.1 Pengolahan Data

Tahap pengolahan data adalah sebagai berikut (Wahyuni, 2011) :

a. Editing

Editing dilakukan untuk memeriksa ketepatan dan kelengkapan data.

b. Coding

Data yang telah diperoleh diberi kode secara manual sebelum diolah dengan komputer.

c. Entry

Data dimasukkan ke dalam program komputer.

d. Data Cleaning

Data yang telah dimasukkan ke dalam program komputer diperiksa kembali untuk menghindari terjadinya kesalahan pemasukan data.

e. Saving

Data disimpan untuk dianalisis. f. Analisis data

4.5.2 Analisis Data

Analisis data statistik menggunakan program komputer SPSS, antara lain : 1. Uji normalitas data

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah sebuah data mendekati distribusi normal. Uji normalitas data yang digunakan adalah

Kolmogorov Smirnov test. Bila nilai p (signifikansi) > 0,05, maka data berdistribusi normal dan digunakan analisis atau uji statistik parametrik, sedangkan bila nilai p < 0,05, maka data tidak berdistribusi normal, dan biasanya digunakan analisis atau uji nonparametrik. Kenormalan suatu data juga dapat dilihat dari jenis variabelnya. Bila variabelnya berjenis


(27)

numerik (kuantitatif), biasanya datanya berdistribusi mendekati normal, sehingga dapat digunakan uji statistik parametrik, sedangkan variabel yang berjenis kategorik (kualitatif) biasanya berdistribusi tidak normal sehingga digunakan uji nonparametrik.

2. Uji hipotesis

Uji hipotesis dilakukan untuk menghasilkan suatu keputusan apakah menerima atau menolak hipotesis tersebut. Pada penelitian ini, jika data berdistribusi normal, maka akan digunakan uji statistik parametrik yaitu uji korelasi Pearson dengan menggambar diagram baur (scatter plot) terlebih dahulu. Bila diagram baur tidak tampak hubungan linear, maka tidak perlu melakukan perhitungan koefisien korelasi, tetapi bila pada diagram baur tampak ada hubungan linear, koefisien korelasi perlu dihitung. Dalam uji korelasi tidak dikenal adanya variabel bebas dan tergantung, tetapi hanya menunjukkan hubungan antara dua variabel numerik (Sastroasmoro, 2013).


(28)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah di salah satu ruangan khusus milik laboratorium fisiologi FK USU. Luas ruangan penelitian adalah sekitar 4 m x 5 m dan ruangan tersebut memiliki 3 jendela. Di dalam ruangan tersebut terdapat sebuah AC, dua buah meja, sebuah treadmill yang terhubung dengan komputer, sebuah tempat tidur, sebuah lemari yang berisi alat-alat yang diperlukan dalam penelitian seperti stetoskop, sphygmomanometer, timbangan, serta tersedia obat-obat tertentu untuk mengatasi kemungkinan terjadi hal yang tidak diinginkan saat melaksanakan penelitian. Pada dinding ruangan juga telah terpasang alat pengukur tinggi badan setinggi 2 meter dari lantai ruangan.

5.1.2 Karakteristik Subjek Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan desain studi cross-sectional

terhadap mahasiswi FK USU angkatan 2014 yang telah mendapatkan penjelasan tentang penelitian ini dan bersedia menjadi subjek penelitian.

Total subjek penelitian ini berjumlah 60 orang, dan telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Setelah diberi penjelasan mengenai tujuan, prosedur, risiko, serta manfaat penelitian, subjek penelitian secara sukarela berpartisipasi dalam penelitian ini dan telah menandatangani persetujuan setelah penjelasan (informed consent). Pelaksanaan penelitian ini juga telah mendapat persetujuan dari Komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Subjek yang terlibat dalam penelitian ini berusia antara 17-22 tahun, dengan usia terbanyak adalah 18 tahun, yaitu sebanyak 26 orang (43,3%). Berat badan dan tinggi badan rata-rata subjek penelitian masing-masing adalah sebesar 52,74 kg, dan 157,22 cm.


(29)

5.1.3 Hasil Analisis Data

1. Karakteristik Subjek Penelitian

Karakteristik Subjek Penelitian, yaitu indeks massa tubuh (IMT), lingkar pinggang, dan VO2 maks dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 5.1 Karakteristik Demografis Subjek Penelitian Karakteristik Subjek Jumlah (n) Persentase (%) Indeks Massa Tubuh (kg/m2)

Underweight (< 18,5)

Normoweight (18,5-22,9)

Overweight (23,0-24,9)

Obesity class I (25,0-29,9)

Obesity class II (≥ 30,0)

12 34 4 7 3 20,0 56,7 6,7 11,7 5,0 Lingkar Pinggang

Normal (< 80 cm) Tidak normal (≥ 80 cm)

44 16

73,3 26,7 VO2 maks (ml/kg/menit)

Sangat buruk (<25,0) Buruk (25,0-30,9) Cukup (31,0-34,9) Baik (35,0-38,9) Sangat baik (39,0-41,9) Superior (>41,9)

12 21 7 9 10 1 20,0 35,0 11,7 15,0 16,7 1,7

Dari tabel di atas, dapat diketahui kategori IMT dengan persentase terbesar adalah normoweight yaitu sebanyak 34 orang (56,7%). Sebagian besar subjek penelitian memiliki lingkar pinggang yang normal, yaitu sebanyak 44 orang (73,3%), dan kategori VO2 maks dengan persentase terbesar adalah kelompok

25,0-30,9 ml/kg/menit, yaitu sebanyak 21 orang (35%). 2. Hasil Analisis Deskriptif

Hasil analisis deskriptif karakteristik subjek penelitian, yaitu IMT, lingkar pinggang, dan VO2 maks ditunjukkan pada tabel 5.2.


(30)

Tabel 5.2 Hasil Analisis Deskriptif Karakteristik Subjek Penelitian Karakteristik Subjek Nilai Rerata Simpangan Baku Indeks massa tubuh (kg/m2) 21,38 ± 4,014

Lingkar pinggang (cm) 76,97 ± 8,800

VO2 maks (ml/kg/menit) 30,08 ± 7,978

Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa IMT rata-rata subjek penelitian berada dalam kategori normoweight, yaitu 21,38 kg/m2. Lingkar pinggang rata-rata subjek penelitian juga berada dalam batas normal, yaitu 76,97 cm, dan VO2

maks rata-rata subjek penelitian masih rendah, yaitu 30,08 ml/kg/menit. 3. Uji Korelasi

Pada penelitian ini, dilakukan uji statistik nonparametrik dengan uji korelasi Spearman untuk mengetahui korelasi antara teknik pengukuran komposisi tubuh, yaitu indeks massa tubuh dan lingkar pinggang dengan VO2 maks. Hasil uji

korelasi antara teknik pengukuran komposisi tubuh (indeks massa tubuh dan lingkar pinggang) dengan VO2 maks ditunjukkan pada tabel di bawah ini :

Tabel 5.3 Hasil Uji Korelasi antara Teknik Pengukuran Komposisi Tubuh (Indeks Massa Tubuh dan Lingkar Pinggang) dengan VO2 maks

Teknik Pengukuran Komposisi Tubuh VO2 maks

r* p value*

Indeks Massa Tubuh (IMT) -0,075 0,569

Lingkar Pinggang (LP) -0,218 0,094

*r dan p value menggunakan uji korelasi Spearman

Dari hasil uji korelasi antara teknik pengukuran komposisi tubuh, yaitu indeks massa tubuh dan lingkar pinggang dengan VO2 maks pada tabel di atas,

terdapat hubungan yang tidak signifikan (p > 0,05) dengan arah korelasi negatif baik antara IMT dan VO2 maks, maupun antara lingkar pinggang dan VO2 maks.

5.2 Pembahasan

Pada penelitian ini, berdasarkan tabel 5.5 mengenai hasil uji korelasi antara IMT dan VO2 maks diperoleh kekuatan korelasi (r) sebesar -0,075,


(31)

pinggang dan VO2 maks diperoleh kekuatan korelasi (r) sebesar -0,218. Kekuatan

korelasi yang lebih besar antara LP dan VO2 maks daripada kekuatan korelasi

antara IMT dan VO2 maks dapat disebabkan karena salah satu faktor yang

mempengaruhi nilai VO2 maks adalah lokasi distribusi lemak dalam tubuh atau

jenis obesitas, dimana obesitas sentral akan lebih berpengaruh terhadap nilai VO2

maks dibandingkan obesitas perifer (ACSM, 2013). Seseorang dikatakan mengalami obesitas sentral apabila memiliki ukuran lingkar pinggang ≥ 80 cm. Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hanifah et al. (2013), yang menemukan korelasi antara LP dan VO2 maks lebih kuat daripada IMT dan

VO2 maks, yaitu kekuatan korelasi antara LP dan VO2 maks sedang (r = -0,413),

sedangkan kekuatan korelasi antara IMT dan VO2 maks lemah (r = -0,360).

Pada penelitian ini, berdasarkan tabel 5.5 dan tabel 5.6 mengenai hasil uji korelasi antara IMT dengan VO2 maks dan LP dengan VO2 maks diperoleh arah

korelasi keduanya negatif. Hal ini menunjukkan bahwa hasil pemeriksaan komposisi tubuh baik berdasarkan IMT maupun LP memiliki hubungan yang berbanding terbalik dengan VO2 maks, artinya jika nilai IMT dan LP semakin

tinggi, maka nilai VO2 maks akan semakin rendah, dan sebaliknya. Hal ini sejalan

dengan penelitian Hanifah et al. (2013), yang mendapatkan nilai koefisien korelasi (r) antara IMT dan LP dengan VO2 maks juga negatif. Keadaan ini sesuai dengan

teori yang menyatakan bahwa semakin besar proporsi lemak dari komposisi tubuh seseorang, maka nilai VO2 maks akan semakin rendah (Powers, 2009). Namun,

hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Dhara dan Chatterjee (2015) tentang hubungan antara IMT dan VO2 maks pada mahasiswi pendidikan

kesehatan jasmani di India, yang menemukan hubungan yang tidak signifikan dengan arah korelasi positif antara IMT dan VO2 maks (r = 0,0157; p > 0,05).

Menurut Dhara dan Chatterjee (2015), hal ini dapat disebabkan oleh salah satu faktor lain yang dapat mempengaruhi nilai VO2 maks adalah kebiasaan

berolahraga. Hal ini berarti bahwa walaupun seseorang memiliki IMT di atas nilai normal, tetapi jika ia rutin berolahraga, maka nilai VO2 maks orang tersebut akan


(32)

Pada penelitian ini, dari uji korelasi baik antara IMT dengan VO2 maks

maupun antara LP dengan VO2 maks menunjukkan hasil korelasi tidak signifikan

(p > 0,05). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh banyak faktor lain yang mempengaruhi VO2 maks selain komposisi tubuh, seperti jenis kelamin, fungsi

kardiovaskular, genetik, dan kebiasaan berolahraga setiap individu (Dhara, 2015). Pengaruh faktor jenis kelamin terhadap VO2 maks dapat dilihat pada penelitian

sejenis yang dilakukan oleh Dagan et al. (2013), yang membandingkan korelasi antara IMT dan LP dengan VO2 maks antara dan laki-laki, didapatkan bahwa

pada , IMT lebih berpengaruh terhadap VO2 maks daripada LP, sedangkan pada

laki-laki, LP lebih berpengaruh terhadap VO2 maks daripada IMT.


(33)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Indeks massa tubuh (IMT) rata-rata mahasiswi FK USU angkatan 2014 berada dalam kategori normal.

2. Lingkar pinggang (LP) rata-rata mahasiswi FK USU angkatan 2014 berada dalam kategori normal.

3. Tingkat kebugaran kardiorespirasi mahasiswi FK USU angkatan 2014 masih tergolong rendah.

4. Terdapat hubungan yang tidak signifikan (p > 0,05) dengan arah korelasi negatif antara teknik pengukuran komposisi tubuh dan kebugaran kardiorespirasi, yaitu antara IMT dan VO2 maks (r =

-0,075) dan antara lingkar pinggang dan VO2 maks (r = -0,218).

5. Teknik pengukuran komposisi tubuh dengan lingkar pinggang (r = -0,218) lebih dapat menggambarkan kebugaran kardiorespirasi

daripada indeks massa tubuh (r = -0,075). 6.2 Saran

a. Untuk mahasiswi FK USU

1) Mahasiswi FK USU khususnya angkatan 2014 sebaiknya lebih aktif dan rutin melakukan aktivitas fisik untuk meningkatkan tingkat kebugaran kardiorespirasi sehingga dapat menurunkan risiko penyakit kardiovaskular dan metabolik.

2) Mahasiswi FK USU khususnya angkatan 2014 diharapkan dapat mempertahankan IMT dan lingkar pinggang agar tetap berada dalam batas yang normal.


(34)

b. Untuk peneliti selanjutnya

1) Pada pemilihan sampel, sampel sebaiknya berjenis kelamin laki-laki dan perempuan agar dapat mengetahui perbedaan tingkat kebugaran kardiorespirasi berdasarkan jenis kelamin.

2) Peneliti selanjutnya sebaiknya juga menambah data karakteristik individu seperti suku dan kebiasaan berolahraga.

3) Peneliti selanjutnya dapat menambah beberapa jenis teknik pengukuran komposisi tubuh lain sehingga dapat menggambarkan komposisi tubuh secara lebih akurat.

4) Peneliti selanjutnya juga dapat memilih jenis tes latihan kebugaran fisik lain selain treadmill untuk mengukur tingkat kebugaran kardiorespirasi, seperti tes dengan sepeda statis.

5) Peneliti selanjutnya sebaiknya juga meneliti tingkat kebugaran muskular selain tingkat kebugaran kardiorespirasi untuk mengetahui tingkat kebugaran fisik seseorang secara keseluruhan.


(35)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Tubuh

Komposisi tubuh adalah proporsi relatif jaringan lemak dan jaringan bebas lemak dalam tubuh. Melalui pengukuran komposisi tubuh, dapat diketahui apakah terdapat kelebihan lemak dalam tubuh. Kelebihan lemak tubuh (excess body fat), terutama kelebihan lemak yang berlokasi di sentral sekitar abdomen berhubungan dengan hipertensi, sindroma metabolik, diabetes mellitus tipe 2, stroke, penyakit kardiovaskular, dan dislipidemia (ACSM, 2013).

Komposisi tubuh terdiri dari empat komponen utama, yaitu jaringan lemak tubuh total (total body fat), jaringan bebas lemak (fat-free mass), mineral tulang (bone mineral), dan cairan tubuh (body water). Dua komponen komposisi tubuh yang paling umum diukur adalah jaringan lemak tubuh total dan jaringan bebas lemak (Williams, 2007). Komposisi tubuh adalah salah satu komponen kebugaran jasmani, yang artinya jika seseorang memiliki komposisi tubuh yang normal, maka ia akan memiliki kebugaran jasmani yang baik pula (Wiarto, 2013). Menurut Williams (2007), komposisi tubuh dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:

1. Usia

Efek usia signifikan pada masa pertumbuhan dan perkembangan karena terjadi proses pembentukan otot dan jaringan tubuh lain, sedangkan pada usia dewasa massa otot mulai berkurang yang dapat disebabkan oleh penurunan aktivitas fisik.

2. Jenis kelamin

Terdapat perbedaan komposisi tubuh yang kecil antara anak dan laki-laki sebelum usia pubertas. Namun, pada usia pubertas perbedaan menjadi sangat besar dimana mulai saat pubertas, memiliki lebih banyak deposit lemak, sedangkan pada laki-laki terbentuk lebih banyak jaringan otot.


(36)

3. Diet

Diet dapat mempengaruhi komposisi tubuh dalam jangka waktu singkat, seperti pada saat kekurangan air dan kelaparan ataupun dalam jangka waktu lama, seperti pada chronic overeating yang dapat meningkatkan simpanan lemak tubuh.

4. Tingkat aktivitas fisik

Menjalani program latihan fisik dapat membantu membangun massa otot dan mengurangi lemak.

Komposisi tubuh dapat dinilai dengan menggunakan beberapa teknik, baik dilaksanakan di laboratorium maupun di lapangan yang bervariasi dalam hal kompleksitas, biaya, dan akurasi, antara lain antropometri, bioelectrical impedance analysis (BIA), body plethysmography, CT scan, MRI, Ultrasound, dual energy X-ray absorptiometry (DEXA), dual photon absorptiometry (DPA),

total body electrical conductivity (TOBEC), dan underwater weighing

(hydrodensitometry). Hydrodensitometry atau underwater weighing sering dianggap sebagai baku standar dalam penilaian komposisi tubuh. Walaupun demikian, pelaksanaannya memerlukan peralatan laboratorium yang mahal, memakan waktu lama, dan sering menyebabkan subjek merasa tidak nyaman. Oleh karena itu, teknik ini jarang dilakukan untuk menilai komposisi tubuh (ACSM, 2013 ; Olivia, 2010).

Antropometri merupakan metode penilaian komposisi tubuh yang praktis dan tidak memerlukan biaya besar (Williams, 2007). Menurut ACSM (2013), terdapat beberapa metode antropometri, yaitu :

1. Indeks Massa Tubuh (Body mass index) 2. Lingkar (circumferences)

3. Tebal lipatan kulit (skinfold measurements)


(37)

2.1.1 Indeks Massa Tubuh

Indeks massa tubuh ditentukan dengan persamaan berat badan dalam kilogram (kg) dibagi tinggi badan dalam meter dikuadratkan (m²) (Sudoyo et.al., 2009). Terdapat klasifikasi IMT tersendiri untuk Wilayah Asia Pasifik, yaitu :

Tabel 2.1 Klasifikasi IMT untuk Wilayah Asia Pasifik menurut WHO

Sumber : Sudoyo et.al., 2009

Penggunaan IMT sebagai metode antropometri dalam penilaian komposisi tubuh memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah IMT dapat memperkirakan total lemak tubuh melalui pengukuran dan perhitungan yang sederhana, cepat dan tidak memerlukan banyak biaya. Selain itu, pengukuran IMT juga rutin dilakukan dan sering digunakan dalam berbagai studi epidemiologi. Kelemahannya adalah IMT tidak dapat menjelaskan mengenai distribusi lemak dalam tubuh dan bervariasi dalam ras/etnik serta tidak membedakan jenis kelamin (Olivia, 2010). IMT juga tidak dapat menggambarkan komposisi tubuh secara akurat karena IMT tidak dapat membedakan antara jaringan lemak, massa otot, ataupun tulang (ACSM, 2013).

Meskipun demikian, pemeriksaan antropometri sederhana seperti IMT dapat memberikan informasi berharga mengenai kesehatan umum dan tingkatan risiko penyakit. IMT  30 kg/m² berhubungan dengan peningkatan risiko hipertensi, sleep apnea, DM tipe 2, kanker tertentu, penyakit kardiovaskular, dan mortalitas (ACSM, 2013).

Klasifikasi IMT (kg/m²)

Underweight  18,5

Normoweight 18,5 – 22,9

Overweight 23,0 – 24,9

Obesity

Obesity class I 25,0 – 29,9


(38)

2.1.2 Lingkar Pinggang

Yang memberi pengaruh terhadap kesehatan tubuh bukanlah seberapa banyak lemak yang terdapat dalam tubuh, melainkan lokasi lemak dalam tubuh. Lingkar pinggang merupakan metode pengukuran skrining terhadap lemak viseral dalam yang berkaitan dengan peningkatan risiko penyakit (Williams, 2007). Lingkar pinggang memiliki korelasi yang tinggi dengan jumlah lemak intraabdominal dan lemak total. Lingkar pinggang juga dapat memperkirakan luasnya obesitas abdominal yang sudah mendekati deposisi lemak abdominal bagian viseral. Lingkar pinggang juga berkorelasi baik dengan IMT dan rasio lingkar pinggang-pinggul (waist-to-hip ratio), baik pada laki-laki maupun (Sudoyo et al., 2009). Lingkar pinggang memiliki hubungan yang lebih besar dengan risiko penyakit kardiovaskular dibandingkan dengan pengukuran IMT (Oviyanti, 2010).

WHO menganjurkan agar lingkar pinggang diukur pada pertengahan antara batas bawah iga dan krista iliaka, dengan menggunakan pita pengukur pada saat akhir ekspirasi dengan kedua tungkai dilebarkan sejauh 20-30 cm. Subjek diminta untuk tidak menahan perutnya dan diukur dengan pita pengukur dengan tegangan pegas yang konstan atau nonelastis (Sudoyo et al., 2009).

Untuk Wilayah Asia Pasifik, yang berhubungan dengan peningkatan risiko

obesitas dan komplikasi metabolik adalah yang memiliki lingkar pinggang  90 cm untuk laki-laki dan  80 cm untuk (Sudoyo et al., 2009).

Tabel 2.2 Kriteria risiko untuk Lingkar Pinggang pada Dewasa

Kategori Risiko Lingkar pinggang (cm)

Laki-laki

Sangat rendah 70 80

Rendah 70-89 80-99

Tinggi 90-110 100-120

Sangat tinggi 110 120


(39)

2.2 Kebugaran Fisik

Kebugaran fisik adalah kemampuan tubuh untuk melakukan suatu pekerjaan fisik yang dikerjakan sehari-hari tanpa menimbulkan kelelahan yang sangat berarti (Giarto, 2012). Seseorang yang bugar secara fisik memiliki kemampuan untuk melakukan aktivitas fisik sehari-hari dengan bersemangat dan waspada tanpa merasakan kelelahan berlebihan serta masih memiliki energi yang cukup untuk menjalankan aktivitas pada waktu luangnya atau untuk keperluan mendadak lainnya (Hanifah et al., 2013).

Menurut ACSM (2013), kebugaran fisik terbagi atas dua komponen utama yaitu :

1. Komponen kebugaran fisik yang berkaitan dengan kesehatan (health-related physical fitness components), yang terdiri dari :

a. Daya tahan kardiorespirasi (Cardiorespiratory endurance)

Daya tahan kardiorespirasi adalah kemampuan sistem sirkulasi dan respirasi untuk menyediakan oksigen selama melakukan aktivitas fisik. b. Komposisi tubuh (Body composition)

Komposisi tubuh adalah jumlah relatif dari otot, lemak, tulang, dan bagian tubuh vital yang lain.

c. Kekuatan otot (Muscular strength)

Kekuatan otot adalah kemampuan otot untuk menghasilkan gaya. d. Daya tahan otot (Muscular endurance)

Daya tahan otot adalah kemampuan otot untuk terus bekerja atau melakukan aktivitas tanpa merasa kelelahan.

e. Kelenturan (Flexibility)

Kelenturan adalah rentang atau jangkauan pergerakan (range of motion) yang dihasilkan oleh sendi.

2. Komponen kebugaran fisik yang berkaitan dengan keterampilan (skill-related physical fitness components), yang terdiri dari :


(40)

Kelincahan adalah kemampuan untuk mengubah posisi tubuh dalam suatu jarak tertentu dengan cepat dan akurat.

b. Koordinasi (Coordination)

Kemampuan untuk menggunakan indera seperti melihat dan mendengar dan bagian-bagian tubuh lain secara bersamaan dalam melakukan suatu gerakan atau aktivitas dengan mulus dan akurat.

c. Keseimbangan (Balance)

Keseimbangan adalah pemeliharan keseimbangan atau ekuilibrium pada saat statis atau bergerak.

d. Daya ledak (Power)

Daya ledak adalah kemampuan atau laju dimana seserorang dapat melakukan kerja. Menurut Wiarto (2013), daya ledak adalah hasil dari kekuatan dan kecepatan. Sebagai contoh, apabila seseorang dapat mengangkat beban 70 kg dengan cepat, maka orang tersebut dikatakan memiliki daya ledak (power).

e. Waktu reaksi (Reaction time)

Waktu reaksi adalah lamanya waktu antara perangsangan dan respon terhadap stimulasi tersebut.

f. Kecepatan (Speed)

Kecepatan adalah kemampuan untuk melakukan suatu gerakan dalam waktu atau periode yang singkat.

Menurut Wiarto (2013), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kebugaran fisik seseorang, yaitu :

1. Umur

Kebugaran fisik anak-anak meningkat sampai mencapai maksimal pada usia 25-30 tahun, kemudian akan terjadi penurunan kapasitas fungsional dari seluruh tubuh sekitar 0,8-1% per tahun. Namun, jika seseorang rajin berolahraga, maka penurunan ini dapat dikurangi sampai separuhnya.


(41)

Kebugaran fisik anak laki-laki biasanya hampir sama dengan anak sampai usia pubertas, tetapi pada saat setelah pubertas, tingkat kebugaran fisik anak laki-laki biasanya jauh lebih besar dibandingkan .

3. Genetik

Genetik berpengaruh terhadap kapasitas jantung-paru, postur tubuh, obesitas, hemoglobin, sel darah, dan serat otot.

4. Makanan

Seseorang akan memiliki daya tahan yang tinggi bila mengkonsumsi tinggi karbohidrat (60-70%). Diet tinggi protein berperan dalam memperbesar otot, dan dibutuhkan untuk olahraga yang memerlukan kekuatan otot yang besar.

5. Rokok

Kadar CO yang terhisap akan mengurangi nilai VO₂ maks, yang berpengaruh terhadap daya tahan. Selain itu, menurut penelitian Perkins dan Sexton, nikotin yang ada dapat memperbesar pengeluaran energi dan mengurangi nafsu makan.

2.3 Penilaian Kebugaran Kardiorespirasi dengan Menilai VO₂ maks Kebugaran kardiorespirasi (cardiorespiratory fitness) adalah kemampuan untuk melaksanakan latihan dinamik dengan intensitas sedang-berat dalam periode waktu yang lama. Kemampuan melakukan latihan ini bergantung pada keadaan fungsional dan fisiologis yang terintegrasi antara sistem respirasi, kardiovaskular, dan muskuloskeletal. Kebugaran kardiorespirasi merupakan salah satu komponen kebugaran fisik yang berkaitan dengan kesehatan karena (1) tingkat kebugaran kardiorespirasi yang rendah berkaitan dengan peningkatan tinggi risiko kematian dini oleh semua penyebab, terutama oleh penyakit kardiovaskular; (2) peningkatan tingkat kebugaran kardiorespirasi berkaitan dengan penurunan angka kematian oleh semua penyebab; (3) tingkat kebugaran kardiorespirasi yang tinggi berkaitan dengan tingkat kebiasaan beraktivitas fisik yang lebih tinggi yang memberi banyak manfaat bagi kesehatan. Oleh karena itu, penilaian terhadap tingkat kebugaran kardiorespirasi merupakan bagian yang


(42)

penting dalam berbagai pencegahan primer atau sekunder dan program-program rehabilitasi (ACSM, 2013).

Fungsi sistem jantung paru dapat diketahui dengan pengukuran VO₂max, ataupun pemantauan frekuensi nadi dan tekanan darah pada kecepatan kerja submaksimal (Powers, 2007). Namun, pengukuran VO₂max adalah pengukuran baku emas untuk kebugaran kardiorespirasi (ACSM, 2013).

Ambilan oksigen maksimal atau maximal oxygen uptake (VO₂ max) adalah adalah suatu pengukuran kapasitas dari sistem kardiovaskular untuk membawa darah yang kaya oksigen ke massa otot besar yang terlibat dalam pekerjaan atau aktivitas dinamik. VO₂ max dinyatakan dalam mililiter oksigen per kilogram berat badan per menit (ml/kg/menit) (Powers, 2009). Artinya, VO₂ max adalah jumlah oksigen maksimum dalam mililiter yang dapat digunakan dalam satu menit per kilogram berat badan (Olivia, 2010).

Ambilan oksigen adalah produk dari aliran darah sistemik (cardiac output) dan ekstraksi oksigen sistemik (arteriovenosus oxygen difference), sehingga

VO₂max dapat ditentukan dengan persamaan :

dengan HR = heart rate; SV = Stroke Volume; a-v O₂ difference = arteriovenous oxygen difference (Powers, 2009).

Dari persamaan di atas, dapat disimpulkan bahwa perubahan VO₂max

dapat disebabkan oleh perubahan satu atau lebih variabel yang terdapat di sisi kanan persamaan di atas. Dari penelitian pada tiga kelompok subjek yaitu pasien dengan mitral stenosis, subjek aktif secara normal, dan atlet kelas internasional, didapatkan bahwa hanya SVmax yang dapat menjelaskan perbedaan VO₂max di antara ketiga kelompok, dibandingkan dengan kedua variabel lainnya yang memiliki nilai yang hampir sama. Sebesar 68% dari variasi VO₂max di antara laki-laki dan dipengaruhi oleh massa ventrikel kiri, suatu pengukuran ukuran jantung (Powers, 2009).

Menurut Powers dan Howley (2009), VO₂max dapat dipengaruhi oleh : 1. Fungsi kardiovaskular dan lemak tubuh


(43)

VO₂max akan meningkat jika terjadi peningkatan fungsi kardiovaskular dan penurunan persentase lemak tubuh. Adanya perbedaan persentase lemak tubuh antara laki-laki dan menyebabkan nilai VO₂max pada laki-laki dan juga berbeda. Selain itu, pada pasien dengan pasca infark miokard dan penyakit paru berat, nilai VO₂max juga jauh lebih rendah daripada orang normal. 2. Genetik

Sebesar 93% dari variasi nilai VO₂max disebabkan oleh genetik. Telah dibuktikan bahwa faktor genetik berpengaruh pada nilai VO₂max karena terdapat perbedaan DNA mitokondria antarindividu.

3. Aktivitas fisik

Penelitian menunjukkan bahwa kebiasaan beraktivitas fisik merupakan determinan utama nilai VO₂max.

Pengukuran VO₂max dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Pengukuran VO₂max secara langsung dilakukan melalui open circuit spirometry, dimana subjek bernafas melalui katup beresistensi rendah dengan hidung disumbat atau dengan masker nonlateks, sementara itu ventilasi paru dan fraksi O₂ dan CO₂ diukur. Pengukuran VO₂ maks secara langsung jarang dilakukan karena membutuhkan biaya besar yang disebabkan oleh keperluan peralatan, tempat, dan personil yang profesional. Ketika pengukuran secara langsung tidak memungkinkan untuk dilakukan, maka penilaian VO₂max dapat dilakukan secara tidak langsung dengan berbagai tes latihan submaksimal dan maksimal. Terdapat tiga jenis tes latihan yang umum dilakukan antara lain tes di lapangan (field test), tes latihan submaksimal (submaximal exercise test), dan tes latihan maksimal (maximal exercise test), dimana setiap metode memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing (ACSM, 2013).

Pada tes di lapangan (field test), terdiri dari berjalan atau berlari dalam waktu atau jarak yang sudah ditentukan sebelum tes dilakukan. Keuntungan dari tes di lapangan adalah tes dapat dilakukan pada subjek yang banyak sekaligus dan hanya membutuhkan alat yang sedikit dan sederhana, sedangkan kelemahannya tidak dapat memonitor tekanan darah dan denyut jantung, serta tidak sesuai untuk


(44)

individu dengan gaya hidup sedentary dan individu yang memiliki risiko komplikasi kardiovaskular dan/atau muskuloskeletal (ACSM, 2013).

Graded exercise test (GXT) merupakan bentuk latihan yang digunakan untuk menilai fungsi jantung paru. Latihan ini bersifat berjenjang, dimana perubahan kecepatan kerja terjadi setiap 2 atau 3 menit sampai subjek mencapai tujuan yang ditentukan sebelumnya (target frekuensi nadi), atau ketika tanda atau gejala patologis muncul. Protokol GXT dapat submaksimal atau maksimal, bergantung pada akhir penghentian tes. Pilihan GXT haruslah berdasarkan populasi (atlet, pasien dengan masalah jantung, anak-anak), tujuan (estimasi kebugaran kardiorespirasi, mengukur VO₂max, diagnosis penyakit jantung koroner), dan biaya (peralatan dan personil) (Powers, 2009).

Keputusan untuk memilih tes latihan submaksimal atau maksimal sangat bergantung pada alasan dilakukan tes latihan, tingkat risiko subjek, dan ketersediaan alat dan personil yang memadai. Tes latihan maksimal yang dapat dilakukan dengan treadmill atau cycle ergometer, menyediakan penilaian VO₂max

yang lebih baik dan memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dalam mendiagnosis penyakit kardiovaskular asimtomatik. Meskipun demikian, pada tes latihan maksimal, subjek perlu menjalani latihan sampai titik kelelahan (fatigue), sehingga dibutuhkan pengawasan medis dan perlengkapan emergensi. Oleh karena itu, pengukuran VO₂max sering dilakukan dengan tes latihan submaksimal, yang dapat dilakukan dengan step tests, treadmills, atau cycle ergometers. Tujuan dasar dari tes latihan submaksimal adalah untuk menentukan respons denyut jantung (heart rate response) terhadap satu atau lebih kerja submaksimal dan menggunakan hasilnya untuk memprediksi VO₂max (ACSM, 2013).

Berbagai tes latihan submaksimal baik tahapan tunggal (single-stage) maupun multitahapan (multistage) tersedia untuk menilai VO₂max dari pengukuran heart rate (HR) sederhana. Pengukuran HR yang akurat sangat menentukan validitas tes ini. Walaupun HR biasanya diperoleh secara palpasi, akurasi metode ini bergantung pada pengalaman dan teknik pemeriksa. Oleh karena itu, penggunaan EKG, monitor HR, atau stetoskop lebih direkomendasikan untuk menentukan HR. Penggunaan monitor HR selain tidak mahal, juga dapat


(45)

sangat mengurangi kesalahan dalam tes latihan. Respons HRsubmaksimal mudah dipengaruhi oleh faktor lingkungan (suhu panas dan kelembaban), diet (kafein dan lamanya waktu sejak makan terakhir), dan tingkah laku (cemas, merokok, dan aktivitas fisik sebelumnya). Oleh sebab itu, variabel-variabel tersebut harus dikontrol untuk mendapatkan estimasi nilai HR yang valid. Tes latihan submaksimal yang dapat dilakukan antara lain cycle ergometer tests, treadmill tests dan step tests (ACSM, 2013).

Pada penelitian ini, penilaian VO₂max akan diperoleh dari tes latihan submaksimal yang menggunakan treadmill dengan Bruce protocol. Kelebihannya adalah graded exercise test (GXT) dengan treadmill dapat mengakomodasi sebagian besar individu, dari yang memiliki tingkat kebugaran terendah sampai tertinggi dan menggunakan aktivitas alami, yaitu berjalan dan berlari. Selain itu, GXT dengan tes lari yang bertahap menggunakan treadmill menghasilkan nilai

VO₂max yang terbaik, diikuti dengan tes berjalan bertahap menggunakan treadmill, dan terakhir yang memberikan nilai terendah adalah GXT dengan cycle ergometer. Kelemahan dari treadmill adalah harganya mahal, tidak dapat dipindah-pindah (not portable), dan membuat beberapa pengukuran seperti tekanan darah dan pengambilan sampel darah menjadi lebih sulit (Powers, 2009).

Terdapat beberapa protokol treadmill, antara lain The National Exercise and Heart Disease protocol, untuk subjek yang memiliki tingkat kebugaran rendah dengan peningkatan laju kerja hanya 1 MET (Metabolic Equivalents of Task) setiap 3 menit, The Standard Balke protocol, dimulai dengan 4 METs yang dilanjutkan dengan peningkatan 1 MET setiap 2 menit, dan sesuai untuk sebagian besar rata-rata dewasa dengan gaya hidup sedentary, The Bruce protocol, untuk subjek muda yang aktif, dimulai dengan 5 METs dan dilanjutkan dengan peningkatan 2-3 METs per tahap dan The Astrand and Rodahl protocol digunakan untuk populasi atlet yang memiliki tingkat kebugaran tinggi, dengan kecepatannya bergantung pada kebugaran subjek (Powers, 2009).


(46)

Tabel 2.3 Protokol Bruce (untuk subjek muda dan aktif) Tahap (stage)* METs Kecepatan (mph) % Grade

1 5 1,7 10

2 7 2,5 12

3 9,5 3,4 14

4 13 4,2 16

5 16 5,0 18

*Setiap tahap berlangsung selama 3 menit Sumber : Powers dan Howley (2009)

Rumus untuk mengestimasi VO₂max dengan Bruce Protocol adalah :

 Untuk laki-laki, VO₂ max = 14,8 - (1,379 x T) + (0,451 x T²) - (0,012 x T³)  Untuk , VO₂ max = (4,38 x T) – 3,9

Dengan T = waktu total berada di atas treadmill yang diukur sebagai fraksi dari satu menit (Contoh : Total waktu latihan adalah 9 menit 30 detik, ditulis sebagai T = 9,5) (Heyward, 2014).

Tabel 2.4 Nilai VOmax menurut usia

Sumber : Powers dan Howley (2007)

VO2 Max Norms for Men - Measured in ml/kg/min

Age Very

Poor Poor Fair Good Excellent Superior

13-19 <35.0 35.0-38.3 38.4-45.1 45.2-50.9 51.0-55.9 >55.9 20-29 <33.0 33.0-36.4 36.5-42.4 42.5-46.4 46.5-52.4 >52.4 30-39 <31.5 31.5-35.4 35.5-40.9 41.0-44.9 45.0-49.4 >49.4 40-49 <30.2 30.2-33.5 33.6-38.9 39.0-43.7 43.8-48.0 >48.0 50-59 <26.1 26.1-30.9 31.0-35.7 35.8-40.9 41.0-45.3 >45.3 60+ <20.5 20.5-26.0 26.1-32.2 32.3-36.4 36.5-44.2 >44.2

VO2 Max values for Women as measured in ml/kg/min

Age Very

Poor Poor Fair Good Excellent Superior

13-19 <25.0 25.0-30.9 31.0-34.9 35.0-38.9 39.0-41.9 >41.9 20-29 <23.6 23.6-28.9 29.0-32.9 33.0-36.9 37.0-41.0 >41.0 30-39 <22.8 22.8-26.9 27.0-31.4 31.5-35.6 35.7-40.0 >40.0 40-49 <21.0 21.0-24.4 24.5-28.9 29.0-32.8 32.9-36.9 >36.9 50-59 <20.2 20.2-22.7 22.8-26.9 27.0-31.4 31.5-35.7 >35.7 60+ <17.5 17.5-20.1 20.2-24.4 24.5-30.2 30.3-31.4 >31.4


(47)

2.4 Hubungan Komposisi Tubuh dengan Kebugaran Fisik

Penelitian menyarankan bahwa penilaian komposisi tubuh sebaiknya dilakukan bersamaan dengan penilaian tingkat kebugaran aerobik agar dapat mendapatkan status kesehatan yang akurat dalam suatu populasi. Dalam suatu penelitian pada populasi laki-laki menunjukkan bahwa sampel yang kurus tetapi memiliki tingkat kebugaran yang rendah memiliki risiko penyakit kardiovaskular dan mortalitas (karena semua penyebab) yang lebih tinggi daripada sampel yang

overweight tetapi memiliki tingkat kebugaran yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa memiliki tingkat kebugaran fisik yang baik dapat memberikan proteksi dari risiko penyakit kardiovaskular walaupun sesorang memiliki berat badan berlebih (Burns et al., 2013).

Dua komponen kebugaran fisik utama adalah kebugaran kardiorespirasi (cardiorespiratory fitness) dan kebugaran otot (muscular fitness), namun kebugaran kardiorespirasi memiliki hubungan lebih dekat dengan kesehatan, terutama kesehatan kardiometabolik. Kebugaran kardiorespirasi, disebut juga kebugaran kardiovaskular, kebugaran aerobik, atau kapasitas aerobik, merupakan keseluruhan kapasitas sistem kardiovaskular dan respirasi dalam melaksanakan latihan yang lama (prolonged exercise). Kebugaran kardiorespirasi berdasarkan

VO₂max dapat membedakan antara yang memiliki sindrom metabolik dan yang tidak memiliki sindrom metabolik, dimana tingkat kebugaran fisik yang lebih tinggi berhubungan dengan profil metabolik yang lebih baik. Kebugaran kardiorespirasi juga memiliki hubungan terbalik dengan marker inflamasi tingkat rendah (Burns et al., 2013).

Kebugaran kardiorespirasi dan muskular memiliki hubungan yang positif dan independen dengan kesehatan kardiometabolik. Tingkat kebugaran yang lebih tinggi dapat mengurangi beberapa gangguan kesehatan yang berkaitan dengan obesitas. Walaupun secara intuisi obesitas dapat mengurangi kebugaran fisik, namun sebuah penelitian menunjukkan bahwa hanya sekitar 50% pengurangan kebugaran fisik pada anak dan dewasa muda yang dapat dijelaskan dengan

fatness. Dalam hal ini, rendahnya aktivitas fisik mungkin turut berperan (Voss, 2014).


(48)

Hubungan antara komposisi tubuh dan tingkat kebugaran perlu dicari agar dapat mengetahui pengukuran skrining yang dapat mengidentifikasi dewasa muda yang memiliki tingkat kebugaran kardiorespirasi yang rendah dan peningkatan risiko penyakit kronis (Burns et al., 2013). Selain itu, dapat dilaksanakan program-program intervensi yang dapat memberikan manfaat terhadap status kesehatan, seperti berkurangnya lemak tubuh, perbaikan skor sindrom metabolik, efek positif pada tekanan darah, peningkatan densitas tulang, dan peningkatan prestasi akademik (Hanifah et al., 2013).

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa semua parameter komposisi tubuh, yaitu IMT, lingkar pinggang, dan waist-height ratio berkorelasi terbalik dengan VO₂max sebagai marker tingkat kebugaran fisik. Lingkar pinggang merupakan prediktor tingkat kebugaran yang terkuat. Hubungan yang sebenarnya antara lingkar pinggang dan faktor risiko kardio-metabolik masih belum jelas. Beberapa hipotesis menyatakan bahwa penumpukan lemak intraabdomen merupakan indikator adanya gangguan regulasi penyimpanan energi, yang menyebabkan penumpukan lemak berlebihan di hati. Hal ini mengganggu fungsi regulasi lemak hati yang dapat berakibat dislipidemia dan resistensi insulin (Hanifah et al., 2013). Menurut Klein (2007) dalam Hanifah (2013), hipotesis lain adalah adanya pelepasan asam lemak bebas melalui lipolisis dari adiposit omentum dan mesenterik yang memicu resistensi insulin dan hiperkolesterolemia.

Selain itu, juga didapatkan bahwa remaja dengan tingkat kebugaran fisik yang rendah berkaitan dengan peningkatan lingkar pinggang sebesar 5,6 cm pada laki-laki dan 2,9 cm pada dibandingkan dengan yang memiliki tingkat kebugaran tinggi. Sebuah studi di Spanyol mengungkapkan bahwa kebugaran kardiorespirasi adalah prediktor terkuat dari IMT, jumlah ketebalan lipatan kulit, dan jaringan lemak subkutan trunkus, dibandingkan dengan tingkat aktivitas fisik. Hal ini menunjukkan bahwa begitu pentingnya gaya hidup yang sehat dimulai sejak usia muda (Hanifah et al., 2013).

Dari suatu studi di Cina, diperoleh hasil bahwa laki-laki dengan IMT normal atau rendah memiliki indeks kebugaran fisik yang lebih tinggi daripada yang memiliki IMT tinggi, sangat tinggi, atau sangat rendah dimana laki-laki yang


(49)

memiliki IMT normal rata-rata memiliki nilai indeks kebugaran fisik terbaik pada usia 19-24 tahun, dan yang memiliki IMT rendah pada usia 18 dan  25 tahun, sedangkan hubungan IMT dan indeks kebugaran fisik pada diperoleh hasil yang membingungkan. Sebagai contoh, pada kelompok usia dewasa muda (18-19 tahun) didapatkan indeks kebugaran fisik terbaik berasal dari kelompok IMT terendah, sedangkan pada usia  19 tahun, hubungan antara IMT dan indeks kebugaran fisik menunjukkan hasil yang tidak masuk akal. Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor kultural dimana memiliki keinginan untuk bertubuh langsing dengan cara diet yang tidak tepat (Lu et al., 2014).


(50)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Menurut Ortega (2007) dalam Olivia (2010), dalam beberapa dekade terakhir ini, ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang sangat pesat telah banyak mempengaruhi gaya hidup manusia di seluruh dunia yang dapat dibuktikan dengan banyaknya penggunaan mesin dalam menyelesaikan berbagai pekerjaan. Gaya hidup modern ini menyebabkan manusia cenderung memiliki

sedentary lifestyle dan aktivitas fisik semakin berkurang. Aktivitas fisik yang rendah merupakan faktor predisposisi terhadap obesitas serta penyakit kardiovaskular dan metabolik lainnya (Cordova, et al., 2013).

Peningkatan dan perkembangan obesitas di dunia yang serius, yang berkaitan dengan rendahnya tingkat aktivitas fisik merupakan penyebab utama penurunan tingkat kebugaran fisik (Thivel et al., 2011). Menurut Riskesdas tahun 2013, dalam prevalensi status gizi penduduk dewasa (>18 tahun) berdasarkan kategori Indeks Massa Tubuh (IMT) dan provinsi di Indonesia menyatakan bahwa prevalensi status gizi kurang sebesar 11,09%, normal 62,68%, berat badan berlebih 11,48%, dan obesitas 14,76% dimana persentase obesitas tertinggi terjadi di Sulawesi Utara, sedangkan persentase obesitas terendah terjadi di Nusa Tenggara Timur. Prevalensi obesitas semakin meningkat dari tahun ke tahun jika hasil ini dibandingkan dengan hasil Riskesdas tahun 2010, yaitu prevalensi status gizi kurang sebesar 12,6%, normal 65,8%, berat badan berlebih 10,0%, dan obesitas 11,7%. Overweight dan obesitas sebagian besar disebabkan oleh pengaruh lingkungan yang mendukung intake makanan yang berlebihan dan aktivitas fisik yang rendah (Cordova, et al., 2013).

Menurut Haskell (2000), kebugaran fisik adalah sekelompok atribut yang dimiliki atau didapat seseorang yang berkaitan dengan kemampuannya dalam melakukan aktivitas fisik. Menurut Wiarto (2012), kebugaran jasmani adalah kemampuan tubuh seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan fisik yang dikerjakan sehari-hari tanpa menimbulkan kelelahan yang berarti. Terdapat


(51)

beberapa komponen kebugaran fisik yang berkaitan dengan kesehatan, antara lain daya tahan kardiorespirasi, komposisi tubuh, kekuatan otot, daya tahan otot, dan kelenturan tubuh. Daya tahan kardiorespirasi yang menggambarkan kebugaran kardiorespirasi merupakan kemampuan untuk melaksanakan latihan dinamik dengan intensitas sedang-berat dalam periode waktu yang lama dimana kemampuan ini bergantung pada kemampuan fungsional dan fisiologis dari sistem respirasi, kardiovaskular, dan muskuloskeletal yang terintegrasi (ACSM, 2013).

Komposisi tubuh adalah proporsi relatif jaringan lemak dan jaringan bukan lemak (tulang, otot, jaringan, dan organ) dalam tubuh. Ada beberapa teknik pengukuran komposisi tubuh, mulai dari yang sederhana seperti indeks massa tubuh, lingkar pinggang, dan tebal lipatan kulit sampai yang membutuhkan peralatan canggih dan personil profesional seperti BIA, DEXA, DPA, TOBEC, dan Hydrodensitometry (ACSM, 2013).

Salah satu teknik pengukuran komposisi tubuh yang sering dilakukan selain IMT adalah lingkar pinggang (LP). LP yang berkorelasi dengan jumlah lemak intraabdominal juga sering dijadikan sebagai metode pengukuran skrining terhadap lemak viseral dalam yang berkaitan dengan peningkatan risiko obesitas, penyakit kardiovaskular dan metabolik (Williams, 2007). Menurut Riskesdas (2007) dalam Bantas (2013), LP rata-rata seluruh responden yang berjumlah 13.262 orang yang merupakan penduduk di perkotaan di seluruh provinsi di Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas adalah 78,09 cm, dengan LP rata-rata pada responden pria adalah 77,164 cm dan pada responden wanita adalah 78,860 cm, sedangkan LP terkecil pada seluruh responden adalah 60 cm, dan LP terbesar adalah 129,8 cm.

Pada penelitian ini, teknik pengukuran komposisi tubuh yang digunakan adalah IMT dan lingkar pinggang. Keduanya merupakan teknik sederhana yang paling sering digunakan untuk mengukur komposisi tubuh dalam praktik klinik, sedangkan kebugaran kardiorespirasi dinilai berdasarkan VO₂ maks yang diukur dengan tes latihan submaksimal menggunakan treadmill.

Sebelumnya sudah ada beberapa penelitian tentang hubungan komposisi tubuh dan tingkat kebugaran. Di antaranya adalah penelitian BMC Public Health


(52)

tahun 2013 yang berjudul indeks komposisi tubuh dan tingkat kebugaran pada remaja di Malaysia, yang menyatakan adanya hubungan sedang yang berbanding terbalik antara indeks komposisi tubuh dan tingkat kebugaran dengan nilai koefisien korelasi antara indeks komposisi tubuh dan physical fitness score (PFS) adalah -0,360 dan -0,413 masing-masing untuk indeks komposisi tubuh IMT dan LP dengan nilai p < 0,001. Hasil ini menunjukkan bahwa LP memiliki hubungan yang lebih kuat dengan kebugaran fisik dibandingkan IMT (Hanifah et al., 2013). Dari penelitian lain pada siswa dewasa di Cina tahun 2014, diperoleh kesimpulan bahwa hubungan IMT dan tingkat kebugaran pada subjek laki-laki tidak linear, yaitu mempunyai hubungan parabolik, bervariasi terhadap usia dimana pengaruh IMT terhadap tingkat kebugaran lebih besar pada pria usia pertengahan daripada pria usia muda, sedangkan hubungan IMT dan tingkat kebugaran pada subjek masih tidak jelas, dimana terdapat perbedaan bentuk grafik hubungan IMT dan tingkat kebugaran untuk setiap kelompok usia dari 18-31 tahun sehingga tidak dapat ditarik sebuah kesimpulan tentang hubungan antara IMT dan tingkat kebugaran pada . Hal ini merupakan alasan mengapa subjek dalam penelitian ini hanya berjenis kelamin .

Kebugaran fisik sangat penting bagi seseorang untuk menjalankan aktivitas sehari-hari secara optimal sehingga dapat meningkatkan produktivitas. Selain itu, obesitas dengan prevalensi yang meningkat dari tahun ke tahun di Indonesia merupakan faktor risiko terjadinya penurunan kebugaran kardiorespirasi dan berbagai penyakit. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk memilih judul penelitian “Hubungan Teknik Pengukuran Komposisi Tubuh Berdasarkan Indeks Massa Tubuh dan Lingkar Pinggang dengan Kebugaran Kardiorespirasi pada Mahasiswi FK USU”.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana hubungan antara teknik pengukuran komposisi tubuh berdasarkan indeks massa tubuh dan lingkar pinggang dengan kebugaran kardiorespirasi pada mahasiswi FK USU angkatan 2014?


(53)

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara teknik pengukuran komposisi tubuh berdasarkan indeks massa tubuh dan lingkar pinggang dengan kebugaran kardiorespirasi.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui gambaran Indeks Massa Tubuh (IMT) mahasiswi FK USU angkatan 2014.

2. Mengetahui gambaran lingkar pinggang mahasiswi FK USU angkatan 2014.

3. Mengetahui gambaran kebugaran kardiorespirasi mahasiswi FK USU angkatan 2014.

4. Mengetahui hubungan antara teknik pengukuran komposisi tubuh dan kebugaran kardiorespirasi pada mahasiswi FK USU angkatan 2014. 5. Mengetahui perbedaan teknik pengukuran komposisi tubuh antara

indeks massa tubuh dan lingkar pinggang dalam menggambarkan kebugaran kardiorespirasi.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Memberikan informasi mengenai hubungan antara teknik pengukuran komposisi tubuh berdasarkan indeks massa tubuh dan lingkar pinggang dengan kebugaran kardiorespirasi.

2. Memperluas pengetahuan mahasiswi FK USU, khususnya mahasiswi angkatan 2014 sehingga dapat lebih memperhatikan berat badannya terkait dengan kebugaran kardiorespirasi.

3. Sebagai bahan masukan atau referensi dalam melakukan penelitian selanjutnya bagi peneliti lain.


(54)

ABSTRAK

Kebugaran fisik sangat dibutuhkan setiap orang agar dapat menjalankan aktivitas fisik sehari-hari secara optimal. Kebugaran fisik tidak hanya diperlukan oleh kelompok atlet, tetapi juga oleh nonatlet. Memiliki kebugaran kardiorespirasi yang baik penting karena daya tahan kardiorespirasi merupakan salah satu komponen kebugaran fisik yang berkaitan dengan kesehatan, terutama kesehatan kardiometabolik.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara teknik pengukuran komposisi tubuh, yaitu indeks massa tubuh (IMT) dan lingkar pinggang dengan kebugaran kardiorespirasi.

Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik observasional dengan desain potong lintang. Sampel penelitian berjumlah 60 orang dan merupakan mahasiswi FK USU angkatan 2014 yang tidak memiliki riwayat penyakit kardiovaskular dan respirasi. Teknik sampling yang digunakan adalah consecutive sampling. Setelah diukur berat badan, tinggi badan, dan lingkar pinggang, sampel penelitian melakukan tes latihan kebugaran fisik jenis graded exercise test menggunakan

treadmill dengan Bruce Protocol maksimal selama 15 menit, dan dihentikan jika terdapat indikasi untuk menghentikan tes. Waktu total sampel penelitian berada di atas treadmill digunakan untuk menghitung VO2 maks untuk mengetahui

kebugaran kardiorespirasi. Uji hipotesis dilakukan dengan uji korelasi Spearman, dan analisis data dilakukan dengan program SPSS.

Hasil uji korelasi tidak signifikan dengan arah korelasi negatif untuk masing-masing indeks massa tubuh (r = -0,075; p = 0,569) dan lingkar pinggang (r = -0,218; p = 0,094) dengan VO2 maks.

Terdapat hubungan yang tidak signifikan antara teknik pengukuran komposisi tubuh, yaitu IMT dan lingkar pinggang dengan kebugaran kardiorespirasi.

Kata Kunci : Hubungan, indeks massa tubuh, kebugaran kardiorespirasi, lingkar pinggang, mahasiswi fakultas kedokteran


(55)

ABSTRACT

Physical fitness is needed by anyone to do their daily activities optimally. Physical fitness is not only needed by athlete groups, but also by non-athletes groups. Having good cardiorespiratory fitness is important because cardiorespiratory endurance is one of the health-related physical fitness components, especially cardiometabolic health.

The aim of this study was to investigate the association between the body composition measurement techniques, namely body mass index (BMI) and waist-circumference, and cardiorespiratory fitness.

This was an observational analytic with cross-sectional study design. There were 60 participants in this study and they were female medical students of University of Sumatera Utara from class of 2014. This study’s sampling method is consecutive sampling. After the weight, height, and waist-circumference were measured, the participants started the physical fitness exercise test (graded exercise test) using the treadmill with Bruce Protocol for max. 15 minutes, and was stopped if indications for stopping the test appeared. The total time being on treadmill was used to calculate VO2 max to estimate cardiorespiratory fitness.

Data analysis was performed using SPSS program with Spearman correlation test.

There was a nonsignificant negative correlation between body mass index and VO2 max (r = -0,075; p = 0,569) and between weight-circumference and VO2

max (r = -0,218; p = 0,094).

There was no significant correlation between the body composition measurement techniques, namely body mass index and weight-circumference and cardiorespiratory fitness.

Keywords : Association, body mass index, cardiorespiratory fitness, female medical students, weight-circumference


(56)

HUBUNGAN TEKNIK PENGUKURAN KOMPOSISI TUBUH BERDASARKAN INDEKS MASSA TUBUH DAN LINGKAR PINGGANG

DENGAN KEBUGARAN KARDIORESPIRASI PADA MAHASISWI FK USU

OLEH :

LORETTA SAPHIRA 120100403

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(57)

HUBUNGAN TEKNIK PENGUKURAN KOMPOSISI TUBUH BERDASARKAN INDEKS MASSA TUBUH DAN LINGKAR PINGGANG

DENGAN KEBUGARAN KARDIORESPIRASI PADA MAHASISWI FK USU

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran

OLEH :

LORETTA SAPHIRA 120100403

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(58)

(1)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR SINGKATAN ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1 PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.3.1 Tujuan Umum ... 4

1.3.2 Tujuan Khusus ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Komposisi Tubuh ... 5

2.1.1 Indeks Massa Tubuh... 6

2.1.2 Lingkar Pinggang ... 7

2.2 Kebugaran Fisik ... 8

2.3 Penilaian Kebugaran Kardiorespirasi dengan Menilai VO₂ maks ... 11


(2)

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 20

3.1 Kerangka Konsep Penelitian ... 20

3.2 Variabel dan Definisi Operasional... 20

3.3 Hipotesis ... 22

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 23

4.1 Jenis Penelitian ... 23

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian ... 23

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian... 23

4.3.1 Populasi ... 23

4.3.2 Sampel ... 23

4.3.2.1 Besar Sampel ... 24

4.3.2.2 Teknik Sampling... 24

4.4 Teknik Pengumpulan Data ... 25

4.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 26

4.5.1 Pengolahan Data ... 26

4.5.2 Analisis Data ... 26

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 28

5.1 Hasil Penelitian ... 28

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 28

5.1.2 Karakteristik Subjek Penelitian... 28

5.1.3 Hasil Analisis Data ... 29

5.2 Pembahasan ... 30

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 33

6.1 Kesimpulan... 33

6.2 Saran ... 33

DAFTAR PUSTAKA ... 35 LAMPIRAN


(3)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Tabel Halaman

2.1. Klasifikasi IMT untuk Wilayah Asia Pasifik menurut WHO ... 7

2.2 Kriteria risiko untuk Lingkar Pinggang pada Dewasa ... 8

2.3 Protokol Bruce (untuk subjek muda dan aktif) ... 15

2.4 Nilai VO₂ max menurut usia ... 16

5.1 Karakteristik Demografis Subjek Penelitian ... 29

5.2 Hasil Analisis Deskriptif Karakteristik Subjek Penelitian ... 30

5.3 Hasil Uji Korelasi antara Teknik Pengukuran Komposisi Tubuh (Indeks Massa Tubuh dan Lingkar Pinggang) dengan VO2 maks ... 30


(4)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman


(5)

DAFTAR SINGKATAN

ACSM American College of Sports Medicine

BB Berat Badan

CO Karbon monoksida

CO₂ Karbon dioksida

CT scan Computed Tomography Scan

DM Diabetes Mellitus

DNA Deoxyribonucleic Acid

EKG Elektrokardiografi

FK USU Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

GXT Graded Exercise Test

HR Heart Rate

IMT Indeks Massa Tubuh

LP Lingkar Pinggang

MET Metabolic Equivalents of Task

MRI Magnetic Resonance Imaging

O₂ Oksigen

Riskesdas Riset Kesehatan Dasar

SV Stroke Volume

TB Tinggi Badan

VO₂ maks Ambilan Oksigen Maksimal


(6)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Daftar Riwayat Hidup

Lampiran 2. Lembar Penjelasan Kepada Subjek Penelitian

Lampiran 3. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent) Lampiran 4. Lembar Identitas Subjek Penelitian

Lampiran 5. Ethical Clearance

Lampiran 6. Surat Izin Penelitian dari MEU Lampiran 7. Hasil Output Program SPSS Lampiran 8. Data Induk