Pengaruh Pola Makan dan Aktivitas Fisik terhadap Kejadian DM Tipe 2 di RSUDr. Pirngadi Medan Tahun 2015

13

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Diabetes Melitus
Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindroma yang ditandai dengan
peningkatan kadar glukosa darah disebabkan oleh karena adanya penurunan sekresi
insulin (Soegondo, 2009).
Menurut WHO (2014) DM merupakan penyakit kronis yang terjadi karena
kelenjar pankreas tidak dapat memproduksi insulin, atau ketika tubuh tidak dapat
menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif sehingga mengakibatkan
peningkatan konsentrasi glukosa di dalam darah (hiperglikemia).
Menurut American Diabetes Association

(ADA) (2014) DM merupakan

kelompok gangguan metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Hiperglikemia kronik
tersebut berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi beberapa organ
tubuh terutama mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah. Jadi DM adalah sekumpulan

gejala yang ditandai oleh peningkatan kadar glukosa darah sebagai akibat defisiensi
insulin baik relatif maupun absolut (Soegondo, 2009).

2.2 Patogenesis Diabetes Melitus
Tubuh manusia memerlukan bahan bakar berupa energi untuk menjalankan
berbagai fungsi sel dengan baik. Bahan bakar tersebut bersumber dari sumber zat gizi
karbohidrat, protein, lemak yang di dalam tubuh mengalami pemecahan menjadi zat
13

14

yang sederhana dan proses pengolahan lebih lanjut untuk menghasilkan energi.
Proses pembentukan energi terutama yang bersumber dari glukosa memerlukan
proses metabolisme yang rumit. Dalam proses metabolisme tersebut insulin
memegang peranan yang sangat penting yang bertugas memasukkan glukosa ke
dalam sel untuk selanjutnya diubah enjadi energi (Suiraoka, 2012).
Insulin yang dikeluarkan oleh sel beta dapat diibaratkan sebagai anak kunci
yang dapat membuka pintu masuknya glukosa ke dalam sel. Untuk kemudian di
dalam sel glukosa itu dimetabolismekan menjadi tenaga. Dalam keadaan normal
artinya kadar insulin cukup dan sensitif, insulin akan ditangkap oleh reseptor insulin

yang ada pada permukaan sel otot, kemudian membuka pintu masuk sel hingga
glukosa dapat masuk sel untuk kemudian dibakar menjadi energi/tenaga. Akibatnya
kadar glukosa dalam darah normal.
Pada DM dimana didapatkan jumlah insulin yang kurang atau pada keadaan
insulin tidak baik (resisten insulin), meskipun insulin dan reseptor ada, tetapi karena
ada kelainan di dalam sel itu sendiri pintu masuk sel tetap tidak dapat terbuka hingga
glukosa tidak dapat masuk ke sel untuk dibakar (dimetabolisme) akibatnya glukosa
tetap berada di luar sel, hingga kadar glukosa dalam darah meningkat (Soegondo,
2009).

15

Menurut Soegondo (2009), patogenesis DM berbeda berdasarkan tipe
penyakit yaitu:
a.

DM Tipe 1
Insulin tidak ada dan hal ini disebabkan karena jenis penyakit ini ada reaksi
autoimun. Pada individu yang rentan (susceptible ) terhadap tipe 1, terdapat
adanya ICA (Islet Cell Antibody) yang


meningkat kadarnya oleh karena

beberapa faktor pencetus seperti infeksi virus, diantaranya virus cocksakie,
rubella, CMV, herpes dan lain-lain, hingga timbul peradangan pada sel beta
(insulitis) yang akhirnya menyebabkan kerusakan permanen sel beta. Pada
insulitis yang diserang hanya sel beta, biasanya sel alfa dan delta tetap utuh. Pada
studi populasi ditemukan adanya hubungan antara DM tipe 1 dengan HLA DR3
dan DR4.
b.

DM Tipe 2
Patogenesis pada DM tipe 2 ditandai dengan adanya resistensi insulin perifer,
gangguan Hepatic Glucose Production (HGP), dan penurunan fungsi cell β, yang
akhirnya akan menuju ke kerusakan total sel β. Pada stadium pradiabetes mulamula timbul resistensi insulin (disingkat RI) yang kemudian disusul oleh
peningkatan sekresi insulin untuk mengkompensasi RI itu agar kadar glukosa
darah tetap normal. Lama kelamaan sel beta akan tidak sanggup lagi
mengkompensasi RI hingga kadar glukosa darah meningkat dan fungsi sel beta
makin menurun. Saat itulah diagnosis DM ditegakkan. Ternyata penurunan
fungsi sel beta itu berlangsung secara progresif sampai akhirnya sama sekali


16

tidak mampu lagi mengsekresi insulin, suatu keadaan menyerupai DM tipe 1,
kadar glukosa darah makin meningkat.

2.3 Klasifikasi Diabetes Melitus
WHO membagi DM menjadi beberapa klasifikasi, yaitu :
a. DM tipe 1
DM tipe 1 dikenal sebagai insulin dependent atau childhood-onset diabetes yang
ditandai dengan kurangnya produksi insulin dan memerlukan pemberian insulin
setiap hari. Gejala DM tipe 1 adalah banyak berkemih (poliuri), rasa haus
(polidipsia), merasa lapar secara terus-menerus (polifagia), berat badan menurun,
penglihatan berubah, sering merasa lelah. Gejala ini bisa terjadi secara tiba-tiba
b. DM tipe 2
DM tipe 2 yang dikenal dengan non-insulin-dependent atau adult-onset diabetes
disebabkan karena ketidakmampuan tubuh menggunakan insulin secara efektif.
DM tipe 2 sebagian besar diakibatkan oleh karena berat badan berlebih dan
aktivitas fisik yang kurang. Gejala sama dengan gejala DM tipe 1, tetapi DM tipe
2 sering terjadi tanpa menunjukkan tanda atau gejala. Sebagai akibatnya penyakit

tersebut dapat diketahui beberapa tahun setelah onset dan sesudah komplikasi
muncul.

17

c. Diabetes Gestasional
Diabetes gestasional adalah hiperglikemia dengan kadar gula darah diatas normal
tetapi dibawah nilai diagnostik diabetes yang terjadi selama kehamilan. Wanita
dengan diabetes gestational berisiko terkena DM tipe 2 di masa mendatang.
Menurut Soegondo (2009), terkadang sukar untuk menetapkan seseorang
termasuk dalam klasifikasi DM tipe apa. Dibawah ini ada beberapa karakteristik yang
dapat digunakan untuk membedakan DM tipe 1 dan DM tipe 2, yaitu :
a. DM Tipe 1, yaitu mudah terjadi ketoasidosis, pengobatan harus dengan insulin,
onset akut, biasanya kurus, biasanya pada umur muda, riwayat keluarga diabetes

(+) pada 10% dan didapat Islet Cell Antibody (ICA).
b. DM tipe 2, yaitu tidak mudah menjadi ketoasidosis, tidak harus dengan insulin,
onset lambat, gemuk atau tidak gemuk, biasanya pada umur diatas 45 tahun,

riwayat keluarga diabetes (+) pada 30% dan tidak ada Islet Cell Antibody (ICA).


2.4 Epidemiologi Diabetes Melitus
Besarnya permasalahan penyakit DM dapat diukur dengan angka kekerapan
DM dan penyulit yang disebabkannya. Angka kekerapan DM di masyarakat sangat
jarang ada di Indonesia mengingat mahalnya biaya yang diperlukan untuk suatu
survei epidemiologis, apalagi yang dilakukan untuk penyulit kronik DM adalah
dalam skala besar. Dari berbagai penelitian epidemiologi di Indonesia didapatkan
angka kekerapan DM berkisar antara 1,4% dengan 1,6% kecuali di dua tempat yaitu

18

Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, yaitu 2,3% dan di Manado 6% (Sudoyo dkk,
2009).
Penyakit DM bisa terjadi pada siapa saja tanpa memandang jenis kelamin,
umur ataupun ras. Di Amerika Serikat prevalensi penderita DM terbanyak pada lakilaki yaitu 11,8%, sedangkan penderita perempuan 10,8%. Menurut hasil Riskesdas
2013 prevalensi penderita DM berdasarkan terdiagnosis lebih besar pada perempuan
(1,7%) dari pada laki-laki (1,4%) (Balitbangkes, 2013).
Distribusi usia penderita DM menunjukkan perbedaan pola antara negara
maju dan negara berkembang. Di negara maju dengan tingkat ekonomi dan pelayanan
kesehatan lebih baik, prevalensi DM lebih tinggi pada kelompok umur tua.

Sebaliknya, prevalensi DM umumnya pada kelompok umur 45-64 tahun di negara
berkembang. Pola ini diperkirakan akan sama pada tahun 2025-2030. Hasil penelitian
di Depok menunjukkan DM lebih tinggi prevalensinya pada kelompok umur 46-55
tahun. Di Manado umumnya pasien DM tipe 2 yang berobat ke Rumah Sakit PRDK
tahun 2008 pada usia 51-60 (44%) dan rata-rata umur 57 tahun. Data dari negara Asia
menunjukkan prevalensi DM tertinggi pada kelompok umur 30-49 tahun. Ini
menunjukkan bahwa DM terjadi pada usia produktif di Asia (Handayani, 2012).
Penderita DM terdapat diseluruh dunia namun lebih sering (terutama DM tipe
2) terjadi di negara berkembang. Peningkatan prevalensi terbesar terjadi di Asia dan
Afrika sebagai akibat dari tren urbanisasi dan perubahan gaya hidup seperti pola
makan “western –style” yang tidak sehat. Penderita DM terbesar di dunia terdapat
pada negara China dengan prevalensi sebesar 98,4%, di susul oleh negara india yaitu

19

sebesar 65,1%. Penderita DM di Indonesia lebih banyak tinggal diperkotaan 2,0%
sedangkan dipedesaan 1,0%.
Hasil penelitian epidemiologis di Jakarta (daerah urban) membuktikan adanya
peningkatan prevalensi DM dari 1,7% pada tahun 1982 menjadi 5,7% pada tahun
1993, kemudian pada tahun 2001 di Depok, sub-urban Jakarta menjadi 12,8%,

sedangkan di daerah rural yang dilakukan oleh Agusta Arifin di suatu daerah di Jawa
Barat angka itu hanya 1,1%. Di suatu daerah terpencil di Tanah Toraja di dapatkan
prevalensi DM hanya 0,8%. Demikian pula prevalensi DM di Ujung Pandang (daerah
urban), meningkat dari 1,5% pada tahun 1981 menjadi 2,9% pada tahun 1998. Di sini
jelas ada perbedaan antara urban dengan rural, menunjukkan bahwa gaya hidup
mempengaruhi kejadian DM (Soegondo, 2009). Sedangkan berdasarkan ras dan etnik
prevalensi DM tahun 2011 terbanyak pada ras Indian (15,9%) (ADA, 2014).

2.5 Faktor Risiko Diabetes Melitus
DM utamanya disebabkan oleh dua hal, yaitu meningkatnya kadar gula darah
dan kurangnya produksi insulin. Peningkatan kadar gula darah disebabkan oleh
meningkatkan asupan zat gizi yang masuk ke dalam tubuh, terutama asupan
karbohidrat. Sementara itu, kurangnya produksi insulin dapat disebabkan oleh dua
hal, yaitu defisiensi insulin dan resistensi insulin. Resistensi insulin disebabkan oleh
jaringan tubuh yang menjadi kurang sensitif terhadap dampak dari insulin. Hal ini
menyebabkan gula darah tidak meninggalkan darah dan memasuki sel-sel tubuh.
Sementara itu defisiensi insulin disebabkan oleh ketidakmampuan insulin untuk

20


memenuhi kadar yang dibutuhkan oleh tubuh. Ada beberapa faktor yang dapat
berpengaruh terhadap resistensi atau defisiensi insulin, diantaranya adalah berat
badan berlebih, peningkatan usia, gaya hidup yang kurang akivitas, faktor genetik
atau turunan (Nathan dan Linda, 2009).
Secara garis besar faktor risiko DM dikelompokkan menjadi 2, yaitu :
a.

Faktor yang tidak dapat diubah, yaitu :
1.

Umur
Umur merupakan faktor pada orang dewasa, dengan semakin bertambahnya
umur kemampuan jaringan mengambil glukosa darah semakin menurun.
Penyakit ini lebih banyak terdapat pada orang berumur diatas 40 tahun dari
pada orang lebih muda (Suiraoka, 2012). DM tipe 2 mempunyai onset pada
usia pertengahan (40-an tahun) atau lebih dan tidak cenderung berkembang
ke arah ketosis. Kebanyakan pengidapnya memiliki berat badan lebih.
Kemungkinan untuk mengidap DM tipe 2 akan berlipat dua jika berat badan
bertambah sebanyak 20% diatas berat badan ideal dan usia bertambah 10
tahun (diatas 40 tahun) (Arisman, 2013).

Peningkatan diabetes seiring bertambahnya umur khususnya pada usia lebih
dari 40 tahun disebabkan karena pada usia tersebut mulai terjadi peningkatan
intoleransi glukosa. Adanya proses penuaan menyebabkan berkurangnya
kemampuan sel β pankreas dalam memproduksi insulin (Sunjaya, 2009).
Jumlah sel β yang produktif berkurang seiring pertambahan usia. Selain itu
pada individu yang berusia lebih tua terdapat penurunan aktivitas

21

mitokondria di sel-sel otot sebesar 35%. Hal ini berhubungan dengan

peningkatan kadar lemak di otot sebesar 30% (Kurnia, 2013). Timbulnya
resistensi insulin seiring bertambahnya usia dapat disebabkan oleh
perubahan komposisi tubuh seperti massa otot lebih sedikit dan jaringan
lemak lebih banyak, menurunnya aktivitas fisik sehingga terjadi penurunan
jumlah reseptor insulin yang siap berikatan dengan insulin, perubahan pola
makan, perubahan neurohormonal sehingga terjadi penurunan ambilan
glukosa akibat menurunnya sensitivitas reseptor insulin dan aksi insulin
(Kurniawan, 2011)
Menurut hasil Riskesdas (2013) prevalensi penderita DM di Indonesia

semakin meningkat sesuai bertambahnya umur, namun mulai umur ≥ 65
tahun prevalensi DM cenderung menurun. Prevalensi DM berdasarkan
diagnosa dan gejala tertinggi berada pada kelompok umur 55-64 tahun yaitu
5,5% (Balitbangkes, 2013). Menurut penelitian Trisnawati dkk (2013)
variabel yang dapat meningkatkan risiko kejadian DM tipe 2 adalah umur.
Umur ≥50 tahun dapat meningkatkan risiko terkena penyakit DM sebanyak
4 kali (OR=4).
Di Amerika Serikat seperti yang dilaporkan oleh ADA (2005), angka
kejadian DM pada tahun 1988 sampai tahun 1994 pada orang dewasa berusia
sekitar 40-74 tahun mengalami peningkatan kadar glukosa darah puasa
sebesar 33,8%, peningkatan glukosa darah 2 jam setelah makan 15,4% dan
peningkatan pada keduanya sebesar 40,1%. Orang dewasa berusia 20 tahun

22

atau lebih mengalami peningkatan kadar glukosa darah puasa sebesar 25,9%
sedangkan pada usia 60 tahun atau lebih mengalami peningkatan kadar
glukosa darah puasa menjadi 35,4% (Hotma, 2014).
2.

Keturunan
DM merupakan penyakit yang dapat diturunkan. Seseorang yang memiliki
saudara sedarah yang mengidap DM tipe 2 memiliki risiko 3 kali mengidap
DM dibandingkan dengan yang tidak. Namun DM tipe 2 dapat dicegah
dengan mencegah terjadinya obesitas dan intervensi gaya hidup (Hotma,
2014). Menurut penelitian Zahtamal dkk (2007) orang yang memiliki
riwayat keluarga penderita DM berisiko terkena DM sebanyak 3,75 kali
dibanding yang tidak memiliki riwayat keluarga penderita DM (OR=3,75).

3.

Jenis Kelamin
Penyakit DM sebagian besar dapat dijumpai pada perempuan dibandingkan
laki-laki. Hal ini disebabkan karena jenis kelamin perempuan memiliki LDL
atau kolesterol jahat tingkat trigliserida yang lebih tinggi dibandingkan
dengan laki -laki, dan juga terdapat perbedaan dalam melakukan semua
aktivitas dan gaya hidup sehari-hari yang sangat mempengaruhi kejadian
suatu penyakit, dan hal tersebut merupakan salah satu faktor risiko terjadinya
penyakit DM. Menurut Irawan (2010) wanita lebih berisiko mengidap
penyakit DM karena secara fisik wanita memiliki peluang terjadinya
peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar. Sindroma bulanan

23

(premenstrual syndrome ), pasca menopause yang membuat distribusi lemak
tubuh menjadi mudah terakumulasi akibat proses hormonal.
Studi yang dilakukan oleh pusat pencegahan dan pengendalian penyakit
Amerika Serikat tahun 2008 menunjukkan peningkatan kejadian DM pada
wanita sebesar 4,8% dibandingkan pada pria hanya sebesar 3,2%. Beberapa
faktor yang mempengaruhi tingginya prevalensi pada wanita dihubungkan
dengan menurunnya kadar hormon estrogen dan metabolisme tubuh seiring
dengan peningkatan usia (Hotma, 2014). Menurut Riskesdas (2013),
prevalensi DM tipe 2 berdasarkan gejala dan diagnosa pada laki-laki yaitu
sebesar 2,0% sedangkan pada perempuan 2,3% (Balitbangkes, 2013). Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Nainggolan (2013) menyatakan bahwa
penderita DM berjenis kelamin wanita adalah sebesar 7,9% sedangkan lakilaki 5,96%, dan penelitian lain yang dilakukan oleh Hermita (2006) berhasil
menemukan hubungan yang signifikan antara kejadian DM dengan jenis
kelamin dengan OR 1,35, artinya perempuan lebih mudah untuk menderita
DM 1,35 kali dibanding laki-laki.
b.

Faktor risiko yang dapat diubah
Menurut WHO (2014) beberapa faktor perilaku berisiko utama yang dapat
diubah atau faktor risiko umum (common risk factor) yang menyebabkan
penyakit DM adalah

pola makan, aktivitas fisik, merokok, alkohol. Faktor

perilaku berisiko yang dapat diubah dari penyakit DM, yaitu :

24

1.

Pola makan
Pola makan merupakan suatu cara atau usaha dalam pengaturan jumlah dan
jenis makanan dengan maksud tertentu seperti mempertahankan kesehatan,
status nutrisi, mencegah atau membantu kesembuhan penyakit (Suyono,
2008). Asupan makanan dibutuhkan oleh setiap orang untuk dapat
beraktivitas setiap hari. Asupan ini hendaknya cukup baik dari sisi jumlah
kalori, air, vitamin dan mineral yang dibutuhkan tubuh. Kebutuhan tubuh
perorangan sangatlah berbeda. Asupan makanan haruslah cukup untuk
kebutuhan tubuh, tidak berlebihan juga tidak kurang. Kejadian prediabetes
terkait erat dengan asupan artinya asupan kalori harus diperhitungkan secara
seksama berdasarkan kebutuhan tubuh (Hotma, 2014). Konsumsi makanan
yang tidak seimbang, tinggi gula dan rendah serat merupakan faktor risiko
dari DM. Perencanaan makanan yang dianjurkan seimbang dengan
komposisi energi yang dihasilkan oleh karbohidrat, protein dan lemak,
seperti : karbohidrat : 45-60%, protein : 10-20% dan lemak : 20-25%.
Konsumsi sayuran dan buah-buahan yang dianjurkan adalah 3-4 porsi setiap
harinya (Ditjen PP dan PL, 2008). Pola makan yang salah dan cenderung
berlebih menyebabkan timbulnya obesitas. Obesitas merupakan faktor
predisposisi utama dari penyakit DM. Obesitas menyebabkan terganggunya
kemampuan insulin untuk mempengaruhi pengambilan glukosa dan
metabolismenya pada jaringan yang sensitif terhadap insulin serta
meningkatkan sekresi insulin plasma (Sudargo dkk, 2014).

25

a.

Mengkonsumsi karbohidrat
Karbohidrat memegang peranan penting dalam alam karena merupakan
energi utama bagi manusia. Di negara-negara sedang berkembang kurang
lebih 80% energi makanan berasal dari karbohidrat. Fungsi utama
karbohidrat di dalam tubuh berada dalam sirkulasi darah sebagai glukosa
untuk keperluan energi segera. Sebagian disimpan

sebagai glikogen

dalam hati dan jaringan otot dan sebagian di ubah menjadi lemak untuk
kemudian di simpan sebagai cadangan energi dalam jaringan lemak.
Seseorang yang memakan karbohidrat dalam jumlah berlebihan akan
menyebabkan kelebihan berat badan (Almatsier, 2010).
Kekerapan DM semakin meningkat sesuai dengan cara hidup modern
yang meniru cara hidup barat, yaitu dengan meningkatnya konsumsi
refined carbohydrate terutama di kota besar. Karbohidrat jenis refined

yang terdapat pada produk bakery seperti roti halus, cakes dll cepat sekali
diserap dan akan meningkatkan kadar glukosa darah (Waspadji, 2009).
Menurut penelitian Sujaya (2009) konsumsi karbohidrat yang tinggi dapat
meningkatkan risiko terkena DM sebanyak 10,28 kali. Konsumsi
karbohidrat yang tinggi akan semakin meningkatkan risiko DM jika
diiringi asupan serat yang rendah.
b. Mengkonsumsi lemak
Lemak dalam makanan berguna untuk memenuhi kebutuhan energi serta
membantu penyerapan vitamin A, D,E dan K. Anjuran konsumsi lemak

26

dan minyak dalam makanan sehari-hari tidak lebih dari 25% kebutuhan
energi dengan komposisi dua bagian dari sumber lemak nabati dan satu
bagian dari sumber lemak hewani. Mengurangi asupan lemak, terutama
lemak jenuh dapat menurunkan risiko DM. Beberapa contoh sumber
lemak jenuh adalah makanan yang dimasak dengan minyak, mentega,
ataupun santan, lemak hewan, susu penuh (whole milk). Lemak tidak
jenuh omega-3 tidak mempunyai efek samping pada sensitivitas insulin
sehingga baik untuk dikonsumsi. Contoh makanan sumber asam lemak
omega-3 seperti ikan, kerang, kacang kedele, tahu dan tempe (Waspadji,
2009)
Orang yang mengkonsumsi lemak tinggi berisiko terkena DM 5,25 x
lebih besar dibandingkan dengan orang yang mengkonsumsi lemak
rendah. Di Amerika Serikat pola makan western, yaitu yang mengandung
daging, kentang goreng, dan susu yang berlemak tinggi terbukti
berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya DM (Sujaya, 2009).
Terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi lemak dengan DM.
Hasil penelitian Garnita (2012) memperlihatkan bahwa semakin sering
mengkonsumsi protein dan lemak dalam seminggu maka semakin besar
pula risiko terkena DM. Risiko terkena DM terbesar dimiliki oleh
kelompok yang mengkonsumsi lemak lebih dari 3 kali seminggu yaitu 1,9
kali lebih besar dibandingkan dengan kelompok yang mengkonsumsi
lemak 1-2 kali seminggu (OR=1,9).

27

c.

Konsumsi Serat (Sayur dan Buah)
Serat merupakan bagian dari tumbuhan yang dapat dikonsumsi dan
tersusun dari karbohidrat yang memiliki resistan terhadap proses
pencernaan dan penyerapan di usus halus manusia serta mengalami
fermentasi sebagian atau keseluruhan di usus besar. Serat merupakan
bagian dari bahan pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim-enzim
pencernaan. Serat pangan total terdiri dari komponen serat pangan larut
(soluble dietary fiber ) dan serat pangan tidak larut (insoluble dietary
fiber). Serat pangan larut diartikan sebagai serat pangan yang dapat larut

dalam air hangat atau panas yang banyak terdapat pada buah dan sayur.
Serat pangan tidak larut adalah serat pangan yang tidak larut dalam air
panas maupun dingin yang banyak ditemukan pada serealia, kacangkacangan dan sayuran (Sudargo dkk, 2014).
The American Cancer Society, The American Heart Association dan The
American Diabetic Association menyarankan untuk mengkonsumsi 25-

35 g fiber /hari dari berbagai bahan makanan seperti sayur-sayuran dan
buah-buahan. Konsensus nasional pengelolaan diabetes di Indonesia
menyarankan untuk mengkonsumsi 20 - 25 g/hari bagi orang yang
berisiko menderita DM (Soegondo dkk, 2009).
Kebutuhan serat 20-35g setara dengan 9-13 buah apel atau 12-16 potong
roti gandum perhari. Sementara itu cara memenuhi kebutuhan ideal serat
hingga mencapai 25-35g setiap hari terpenuhi apabila setiap hari

28

mengkonsumsi, yaitu : a. 2-3 porsi nasi dari beras tumbuk yang masih
ada kulit arinya; b. 1-2 porsi biji-bijian (kacang hijau dan kedelai); c. 4-6
porsi sayur dan buah-buahan, dan ; d. ditambah 8-10 gelas air agar serat
berfungsi optimal (Sudargo dkk, 2014).
Penelitian yang dilakukan Permanasari dan Rika (2011) orang yang
mengkonsumsi kurang serat setiap harinya mempunyai risiko sebanyak 2
kali untuk terkena DM dibanding cukup mengkonsumsi serat. Hasil
laporan Riskesdas (2007) menyatakan bahwa prevalensi DM pada orang
yang kurang konsumsi serat (2 kali
per minggu berat badannya meningkat 4,5kg dan 104% meningkatkan
resistensi

insulin

jika

dibandingkan

dengan

seseorang

yang

mengkonsumsi makanan cepat saji 1 kali per minggu (Stender, Dyerberg
& Astrup, 2007 dalam Rahmawati, 2009).
e.

Keteraturan makan
Pola makan bukan saja terkait dengan nilai dan kualitas makanan tetapi
juga keteraturan asupan makanan yang dikonsumsi. Diabetes UK (2010)
menganjurkan pola makan yang teratur 3 kali sehari bahkan lebih dengan
jumlah asupan kalori yang seimbang dan dengan jadwal yang teratur
(Hotma, 2014). Menurut Ditjen PP dan PL (2008) hal-hal yang perlu
diperhatikan adalah setiap individu agar menjaga berat badannya tetap
stabil dan tidak kurang/berlebih. Makan secara teratur setiap kali 3 kali
makan utama (sarapan : jam 06.00-08.00, makan siang : jam 12.00-13.00,
dan makan malam : jam 18.00-19.00) dan 3 kali makanan selingan jam
10.00, jam 15.00 dan 21.00 dengan porsi cukup. Keteraturan makan
menjadi sangat penting dalam mengkondisikan sekresi insulin teratur dan
konsisten. Bila hal ini dapat berlangsung dengan baik, maka ketahanan
pankreas untuk menyekresi insulin dapat optimal (Hotma, 2014).

2.

Aktivitas/Latihan Fisik
Aktifitas fisik adalah pergerakan anggota tubuh yang menyebabkan
pengeluaran tenaga secara sederhana yang sangat penting bagi pemeliharaan

30

fisik, mental dan kualitas hidup yang sehat dan bugar. Pada waktu
melakukan aktivitas fisik, otot-otot akan memakai lebih banyak glukosa dari
pada waktu tidak melakukan aktivitas fisik, dengan demikian konsentrasi
glukosa darah akan turun. Melalui aktivitas fisik, insulin akan bekerja lebih
baik sehingga glukosa dapat masuk ke dalam sel untuk dibakar menjadi
tenaga (Soegondo, 2009).
Menurut Gibney dkk (2008), aktivitas fisik dapat dikategorikan sebagai
berikut, yaitu :
a. Aktivitas ringan adalah kegiatan yang dilakukan para profesional seperti
guru, dokter, arsitek, pengacara, akuntan, pekerja kantor, penjaga toko,
dan pengangguran
b.

Aktivitas sedang adalah kegiatan yang dilakukan oleh pekerja industri,
pelajar, pemancing, polisi dalam keadaan aman, tentara tidak dalam
keadaan peperangan, dan pekerja bangunan.

c. Aktivitas berat adalah kegiatan yang dilakukan oleh pekerja kasar,
sebagian besar pekerjaan petani, pekerja tambang, dan atlet.
d. Aktivitas sangat berat adalah pandai besi, penebang pohon, penarik
becak/gerobak barang, buruh bangunan, kuli pabrik, dan pekerja
pembongkar muatan dipelabuhan.
Sementara itu, latihan fisik didefinisikan sebagai aktivitas olahraga yang
dilakukan secara sistematik dalam jangka waktu lama yang bertujuan untuk
membentuk dan mengembangkan fungsi fisiologis dan psikologis (Gibney

31

dkk, 2008). Latihan fisik akan mengubah senyawa glukosa dan lemak di
jaringan dan pembuluh darah menjadi energi. Berdasarkan sifatnya, latihan
fisik dibagi atas latihan aerobik dan anaerobik. ADA menganjurkan latihan
aerobik sebagai latihan utama bagi pasien DM disamping latihan anaerobik
sebagai pelengkap. Latihan fisik yang dilakukan secara teratur memperbaiki
sensitivitas jaringan perifer terhadap insulin. Latihan fisik secara langsung
berhubungan dengan sensitifitas jaringan terhadap insulin sehingga dapat
menurunkan glukosa darah (Edelman, 2006). Latihan aerobik seperti
berjalan kaki lebih efektif dari pada latihan anaerobik dalam meningkatkan
sensitivitas jaringan terhadap insulin. Latihan fisik intensitas ringan seperti
berjalan kaki memerlukan energi yang bersumber dari lemak sehingga
menurunkan

berat

badan

(Gropper

dkk,

2005).

WHO

(2014)

merekomendasikan untuk melakukan aktivitas fisik dengan intensitas selama
150 menit dalam satu minggu, baik itu olahraga ataupun aktivitas fisik
sehari-hari.
Riskesdas tahun 2007 melaporkan 48,2% penduduk Indonesia kurang
melakukan aktivitas fisik (