Membayangkan Dunia Tanpa Senjata Nuklir

Membayangkan Dunia Tanpa Senjata Nuklir:
NPT dan Post-agreement Negotiation1
Oleh: M. Sya’roni Rofii2

Abstrak
Tujuan jangka panjang Traktat Non-proliferasi Nuklir adalah menciptakan
dunia yang bebas dari senjata nuklir, alasannya sederhana ingin
menyelamatkan masa depan kemanusiaan dari kehancuran. Sselain senjata
nuklir telah menciptakan efek traumatis masyarakat dunia, ia juga
diharapkan menjadi penegasan tentang penghargaan atas kemanusiaan
walaupun itu dalam kondisi perang. Visi NPT sangatlah luhur, namun
demikian politik dunia sangatlah dinamis.
Keywords:

NPT,

IAEA,

keamanan

internasional,


post-agreement

negotiation

A. Pendahuluan

Isu non-proliferasi nuklir merupakan salah satu isu penting bagi
masyarakat internasional dalam beberapa dekade terakhir. Bulan Mei 2010
kemarin merupakan momentum tahunan untuk melihat perkembangan
NPT. Pembentukan rezim non-proliferasi nuklir merupakan salah satu
agenda masyarakat internasional untuk menciptakan tatanan dunia yang
lebih damai dan beradab. Inisiatif menciptakan rezim ini memang awalnya
datang dari negara-negara besar yang sadar akan arti penting kontrol
senjata nuklir,3 yang dalam perkembangannya menjadi alat kontrol bagi

1

Diterbitkan oleh Jurnal Multiversa, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah
Mada, Vol. 1, No. 2, 2010.

2
(Kandidat Doktor Ilmu Politik dan Hubungan Internasional Marmara University; Direktur Riset
Bidang Politik dan Hubungan Internasional The Indonesian Institute for Transregional Studies
(INTRENS).
3
Amerika Serikat dan Uni Soviet dianggap menjadi pionir penting dari elemen negara yang
mendorong terciptanya rezim ini, lihat misalnya dalam George Perkovich, “Principles for
Reforming the Nuclear Order”, Proliferation Papers,Paris, IFRI, Fall 2008.

1

hampir seluruh negara di dunia. Upaya-upaya serupa juga dilakukan pada
sektor persenjataan lainnya yang memiliki daya ledak luar biasa.
Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) bisa dilihat sebagai sebuah
traktat internasional yang mengatur tentang penggunaan nuklir secara
bertanggungjawab dan tidak melanggar aspek-aspek kemanusiaan sesuai
dengan konsensus yang disepakati bersama, bertanggungjawab di sini
berarti negara-negara yang menandatangani traktat tunduk pada ketentuan
internasional meliputi: tidak menyimpan, tidak menggunakan, tidak
mengembangkan senjata nuklir sebagai senjata, hal ini berlaku bagi negara

penandatangan NPT dan sekaligus Non-Nuclear State Weapons (NNWS).
Atau sering juga disebut sebagai tiga pilar NPT yaitu pencegahan
penyebaran senjata dan teknologi nuklir, promosi penggunaan nuklir untuk
tujuan damai, dan pencapaian perlucutan persenjataan secara umum.4 Akan
tetapi, setiap negara penandatangan NPT berhak atas nuklir tetapi untuk
tujuan damai, untuk kepentingan sipil dalam hal ini bisa berbentuk
penggunaan nuklir sebagai sumber daya listrik, di Indonesia kita biasa
mengenalnya dengan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
Penggunaan Nuklir sebagai senjata pernah digunakan dan yang
paling diingat oleh masyarakat internasional adalah ketika Perang Dunia II
masih berkecamuk, dimana Amerika Serikat melakukan pengeboman di
Hirosima dan Nagasaki sebagai balasan dari serangan udara tentara Jepang.
Dampak dari penggunaan senjata nuklir saat itu adalah jatuhnya ribuan
korban jiwa tanpa membedakan sipil dan militer (combatan dan noncombatant), begitu juga dengan seluruh infrastruktur dibumi hanguskan
secara merata. Ternyata dampak yang ditimbulkan tidak selesai sampai di
situ, mengingat senjata nuklir juga berpengaruh pada gangguan pada tubuh
manusia. Secara garis besar tulisan ini hendak menguraikan tentang

Mohammed El Baradei, “Preserving the no-Proliferation Treaty,” Special Comment
dalam disarmament forum. Baradei adalah Direktur Jenderal IAEA.

4

2

bagaimana rezim NPT terbentuk? Seperti apa implementasinya di
lapangan? Lantas bagaimana fenomena ini dilihat dari perspektif postagreement negotiation ?

B. Bipolaritas dan Kesadaran Universal

Pasca Perang Dunia II peperangan ternyata tidak bisa dihindarkan,
tetapi yang membedakaanya dengan Perang Dunia I dan II adalah mereka
para tentara dari negara-negara besar tidak berperang vis a vis di wilayah
mereka, tetapi melakukan ekspansi ke negara-negara di kawasan Asia,
Amerika Latin, Afrika. Kondisi ini dianggap sebagai masa terpanjang dalam
sejarah perdamaian dunia—tentu saja, sebagaimana disebutkan Kenneth N.
Walz jika perang dipahami sebagai the absence of general war among the
major states of the world 5. Peperangan ini juga mengadung unsur
multidimensional,

perang


ideologi

adalah

kata

dominan

yang

menggambarkan situasi ini. Perang bintang ini dikenal juga dengan Perang
Dingin (Cold War).
Saat Perang Dingin terjadi dunia memang berada dalam konstruksi
polarisasi6, ada kutub Amerika Serikat ada pula kutub Uni Soviet, relasi
antara keduanya memang saling beroposisi biner menguatkan eksistensi
masing-masing. Jika kutub AS melakukan manuver, maka hampir pasti
kutub USSR akan melakukan tindakan balasan atau penyeimbangan. Saat
AS meluncurkan Apollo untuk eksplorasi di luar angkasa, USSR
mengimbanginya dengan membentuk misi Sputnik ke luar angkasa juga; AS


Kenneth N. Waltz, “Toward Nuclear Peace,” dalam Robert J. Art dan Kenneth N. Waltz
(eds.), The Use of Force; Military Power and International Politics, Fourth Edition (Maryland:
University Press of America, 1993). Hlm 527.
5

6

Perdebatan seputar polarisasi ini dapat dilihat dalam misalnya, Maurice Mullard, The
Politics of Globalization and Polarisation, (Cheltenham, UK: Edward Elgar, 2004).

3

melakukan sejumlah invasi ke Vietnam dan Korea, USSR turut serta
menghadang dengan terlibat dalam aksi peperangan meskipun dilakukan
secara diam-diam dengan mensuplai persenjataan.
Namun demikian, kondisi ini di satu sisi memang memudahkan
masyarakat dunia untuk mengidentifikasi apakah keadaan dunia sedang
stabil atau tidak, mengingat kunci stabilitas internasional ditentukan oleh
dua hegemon ini. Di sisi lain kondisi bipolar ini menyebabkan tatanan

dunia berada dalam kondisi persaingan tidak sehat, sebab ongkos dari
persaingan ini ternyata sedikit banyak berdampak pada sektor ekonomi,
karena negara yang terlibat dalam salah satu blok akan merasa kesulitan
untuk berniaga dengan negara-negara lain dari blok berbeda. Kita bisa
menyebutnya sebagai restriksi hubungan perdagangan.
Terkait dengan persoalan persenjataan, kedua hegemon ini perlahan
tapi pasti melakukan upaya-upaya nyata dalam rangka mengurangi
persenjataan yang dianggap berbahaya bagi masa depan dunia. Puluhan
ribu nuklir beserta hulu ledaknya (war head) dipegang oleh AS-USSR dan
mereka melakukan upaya-upaya pengurangan dengan mekanisme kontrol
yang disepakati bersama, pendekatan yang digunakan adalah masingmasing mengurangi kuantitas senjata nuklirnya di bawah payung Strategic
Arms Limitation Talks SALT I A-USSR 1969-1972, SALT II AS-USSR 1987,
dan kemudian dilanjutkan dengan Strategic Arms Reduction Talks START I
AS-USSR 1982-1991, START II AS-Rusia 1993 dan 1997, Mocow Treaty pada
tahun 2002 bisa juga dimasukkan dalam kategori ini7. Christopher A. Ford
(2007)8 yang merupakan wakil AS dalam bidang NPT dalam Procedure

7

Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, International Relation and World Politics; Security,

Economy, Identity, Third Edition, (New Jersey: Pearson Prentice Hall, 2007), hlm. 258.
Christopher Ford, “Procedure and Substance in the NPT Review Cycle: The Example of
Nuclear Disarmament”, US Department of State, dalam http://www.state.gov maintained by the
Bureau of Public Affairs. Akses 10 Junii 2010.
8

4

and Substance in the NPT Review Cycle: The Example of Nuclear
Disarmament juga menguatkan kecenderungan itu.
Hal lain yang patut untuk dijadikan bahan perbandingan adalah
bahwa selain negara-negara besar melakukan langkah-langkah strategis
dalam mengurangi senjata nuklirnya, ternyata ada juga negara-negara
kecil dan menengah yang kebetulan memiliki instalasi nuklir baik untuk
kepentingan energi sipil maupun untuk persenjatan mengambil langkah
sukarela

dengan

mengumumkan


penghentian

instalasi

nuklir

dan

menutupnya. Sikap ini seperti dilakukan oleh Afrika Selatan dan
Kazakhstan.9
Afrika Selatan menyatakan penutupan instalasi nuklir yang pernah
mampu mengolah kadar urainum pada level cukup tinggi sehingga
dimungkinkan untuk menjadi persenjataan. Tetapi hal itu dianggap
berakhir dengan deklarasi oleh petinggi negeri itu.
Berbeda dengan Afrika Selatan, Kazakhstan yang merupakan salah
satu bagian dari masa lalu Uni Soviet, negara ini merupakan negara dimana
instalasi nuklir Uni Soviet pernah didirikan, jika melihat sejarahnya
memang Uni Soviet telah mampu membangun sejumlah instalasi nuklir
untuk tujuan persenjataan di wilayah-wilayah strategis. Proses penghentian

instalasi nuklir itu diumumkan oleh presiden Nursultan Nazabayev, ia
dianggap sebagai pemimpin dunia pertama yang mengumumkan dan
mengakui

adanya

senjata

nuklir

di

negaranya,

untuk

kemudian

menghancurkannya. Langkah itu diambil pada 29 Agustus 1991 (empat
bulan sebelum kejatuhan Uni Soviet) 10 tepatnya di daerah Semipalatinsk.11


Lihat “Perlucutan Sukarela Kazakstan dan Afrika Selatan,” dalam Majalah Gatra, Edisi
12 Mei 2010. Hlm 67.
9

10

Kejatuhan Uni Soviet oleh sejumlah analis juga dianggap berdampak pada lanskap geostrategis mengingat banyaknya ilmuan yang dihasilkan oleh Uni Soviet kemudian tiba-tiba para
ahli nuklir itu kehilangan pekerjaan dan mata pencaharian. Akibatnya mereka eksodus ke banyak
negara yang membutuhkan jasa mereka. Tetapi yang paling dikhawatirkan adalah ketika para

5

C. Pembentukan Rezim NPT

Untuk

kepentingan

yang

lebih

luas

dan

mengakomodasi

kepenitngan masyarakat dunia dibentuklah Nuclear Non-Proliferation
Treaty (NPT) dalam naskah NPT disebutkan bahwa tujuan dibentuknya
NPT adalah untuk memastikan persenjataan nuklir tidak lagi digunakan
sebagai alat persenjataan yang membahayakan keamanan manusia dan
alam, Considering the devastation that would be visited upon all mankind
by a nuclear war and the consequent need to make every effort to avert the
danger of such a war and to take measures to safeguard the security of
peoples, .12
Mayoritas negara-negara di dunia telah menandatangi traktat ini,
konsekuensi dari penandatangan NPT adalah negara-negara diminta untuk
melaksanakan prinsip-prinsip transparansi dalam penggunaan nuklir,
mereka harus terbuka kepada institusi yang diberi wewenang untuk
melakukan kontrol. Setiap negara dimungkinkan memiliki nuklir untuk
tujuan damai, sehingga dalam prosedur NPT negara yang mengembangkan
nuklir damai diharuskan bekerjasama dengan International Atomic Energy
Agency (IAEA) dalam rangka pengawasan penggunaan nuklir secara
transparan dalam article ))) disebutkan bahwa … . Each non-nuclearweapon State Party to the Treaty undertakes to accept safeguards, as set
forth in an agreement to be negotiated and concluded with the
International Atomic Energy Agency in accordance with the Statute of the
)nternational Atomic Energy Agency and the Agency’s safeguards system,
ilmuan nuklir tersebut dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab dalam hal ini para
teroris.
11
Ibid.
Lihat International Atomic Energy Agency, Information Circular, “Treaty On The NonProliferation Of Nuclear Weapons,” INFCIRC/140/22 April 1970.
12

6

for the exclusive purpose of verification of the fulfilment of its obligations
assumed under this Treaty with a view to preventing diversion of nuclear
energy from peaceful uses to nuclear weapons or other nuclear explosive
devices. Procedures for the safeguards required by this Article shall be
followed with respect to source or special fissionable material whether it is
being produced, processed or used in any principal nuclear facility or is
outside any such facility. The safeguards required by this Article shall be
applied on all source or special fissionable material in all peaceful nuclear
activities within the territory of such State, under its jurisdiction, or carried
out under its control anywhere.

13

Traktat NPT terus mengalami perubahan-

perubahan sebagai upaya atas penyesuaian perubahan zaman.
Begitu juga dengan sejumlah penyesuian di sejumlah kawasan, untuk
kawasan Asia misalnya di Bangkok disepakati aturan yang mengatur
tentang penciptaan kawasan Asia Tenggara bebas dari senjata nuklir
ditandai dengan penandatangan traktat pada 10 negara pada 15 Desember
99 meliputi, Brunei Darussalam, Cambodia, )ndonesia, the Lao People’s
Democratic Republic, Malaysia, Myanmar, the Philippines, Singapore,
Thailand dan Viet Nam. Kemudian mengalami penguatan pada 27 March
1997. Terdaftar di PBB pada 26 Juni 1997. Traktat Asia Tenggara ini mengacu
pada ketentuan NPT dengan agenda meliputi,

…namely nuclear non-

proliferation, nuclear disarmament and the peaceful use of nuclear
energy .14
Dalam

NPT

sendiri

terdapat

beberapa

pengecualian

yang

memposisikan sejumlah negara besar masuk dalam kategori NWS (Nuclear
Weapon State) terdiri dari AS, Rusia, Inggris, Prancis, China, negara-negara
ini bisa dibilang memiliki priveledge sendiri jika dibandingkan dengan
negara NNWS (Non-Nuclear Weapon State). NPT termasuk rezim
13

Ibid.

14

Lihat dalam naskah review conference NPT/CONF/2010/18.

7

persenjataan nuklir yang paling banyak diratifikasi oleh negara-negara,
tidak kurang dari 187 negara menjadi bagian dari rezim ini. Sementara
beberapa negara yang mendeklarasikan diri tidak ikut atau keluar dari
rezim ini diantaranya adalah: India, Pakistan, Israel, Korea Utara.
Sehingga NPT jika dibandingkan dengan rezim sebelumnya relatif
lebih memiliki visi kedepan. Bandingkan misalnya dengan sejumlah rezim
disarmament yang tidak berbicara secara spesifik tentang nuklir tetapi
mengakomodasi secara umum senjata-senjata yang dilarang untuk
digunakan dalam peperangan karena dianggap membahayakan bagi
keselamatan manusia. Hal yang umum kita temukan dalam hukum
humaniter internasional. Beberapa diantaranya adalah Treaty of Versailles
tahun 1919, Protokol Genewa pada tahun 1925 mengenai pelarangan
penggunaan gas dan bakteri beracun dalam perang. Perjanjian lain pasca
Perang Dunia II adalah PTBT (1963), NPT (1968), Seabed Treaty (1971),
CTBT (1996), Zanger Committee (1974), NSG (1978), dan MTCR (1987).15

C. Tantangan Rezim NPT

Seperti diuraikan di atas bahwa rezim NPT memang dibentuk dalam
rangka mewujudkan visi universal masyarakat dunia untuk menciptakan
dunia yang damai. NPT disepakati oleh mayoritas negara dan diharapkan
sebisa mungkin mampu mengajak seluruh negara di dunia. Namun
demikian persoalan mengajak seluruh negara bukanlah persoalan mudah,
mengingat masing-masing negara memiliki kecederungan dan alasan
tersendiri untuk tidak terikat dalam rezim ini, kondisi demikian sekaligus
menjadi tantangan bagi rezim ini.
Kim Kyoung-Soo, North Korea’s Weapons of Mass Destruction: Problems and
Prospect, New Jersey, Hollym, 2004. dalm Muthia Amalia, “Permasalahan Nuklir Korea Utara dan
Peran Diplomasi Indonesia, dalam Diplomasi Indonesia dalam Dinamika Internasional: Perspektif
dan Analisis Diplomat Muda Indonesia (Jakarta: Departemen Luar Negeri RI, 2009), Hlm137.
15

8

Meskipun mayoritas negara di dunia bersepakat untuk terlibat dalam
traktat NPT tetapi ada kecenderungan untuk perlahan-lahan berambisi
untuk memiliki persenjataan nuklir, kondisi ini ada kalanya disebabkan
oleh kekurangan energi tak terbarukan tetapi juga disebabkan oleh faktorfaktor ekternal. Untuk menguraikan persoalan ini paling tidak ada lima
faktor yang bisa dijadikan evidences untuk menjelaskannya :
Pertama, bagi negara-negara besar yang menjadi kekhawatiran
mereka adalah dunia tidak sedang berada dalam dua polar seperti pada
Perang Dingin, kondisi yang ada sekarang adalah non-polar atau multipolar,
sehingga sulit untuk melakukan identifikasi16 terhadap negara mana atau
aktor mana yang tengah mengembangkan senjata nuklir, dan yang paling
ditakutkan adalah aktor non-negara seperti teroris menjadi faktor utama
ketakutan itu. Kondisi ini dalam proposisi post-agrement identik dengan
variation in fundamental negotiations factors such as actors, situations and
structure, and strategies and process can signal progress or retreat in regime
dynamics .17
Kedua, negara-negara yang tidak ikut dalam penandatangan NPT
(non-NPT) terus melakukan upaya-upaya propaganda di kawasan dimana
mereka berada, Israel harus diakui menjadi ancaman bagi negara-negara
tetangga mereka di Timur Tengah, apalagi negara ini terus mengumumkan
kemajuan teknologi persenjataannya. Begitu juga dengan yang terjadi di
Asia Timur, dengan aksi Korea Utara di Semenanjung Korea, atau
kepemilikan senjata nuklir India dan Pakistan yang terus menciptakan
16

Terkait dengan situasi ini, menarik juga untuk mengulas pandangan Waltz yang melihat
bahwa sebenarnya senjata nuklir tidak dalam situasi berkembang “proliferation” tetapi lebih
kepada “spread” tersebar kemana-mana. Jika fokus pada proliferasi tentu hal itu hanya terjadi
secara vertikal di negara-negara besar yang telah memiliki teknologi mutakhir untuk
mengembangkan persenjataannya. Sementara persebaran bersifat sporadis dan merata, setiap
negara dimungkinkan terlibat dalam persebaran ini sehingga bisa disebut bersifat horizontal. Waltz
dalam kesimpulannya menyebutkan kemungkinan akan terus meningkatnya negara-negara nuklir.
Lihat dalam Kenneth N Waltz, ”Toward,”, Op.Cit.
17

Rohdi Mohan Nazala, “Post Agreement Negotiation,” slide powerpoint 2010.

9

ketegangan dalam pertetanggaan. Memang tujuan awal mereka adalah
sebagai strategi deterrence tetapi cenderung memprovokasi negara
tetangga.
Ketiga, gejala

arm race

menjadi salah satu ketakutan banyak

negara, kepemilikan senjata nuklir negara satu akan memprovokasi negara
lain untuk berada dalam kondisi takut dan menjadikan mereka
menginginkan senjata serupa atau bahkan melebihi yang dimiliki negara
terdahulu.
Keempat,

negara-negara

besar

cenderung

menjadikan

posisi

kepemilikan senjata nuklir dan sejumlah kestimewaannya untuk melakukan
penekanan terhadap negara manapun yang diinginkan, dalam kasus ini kita
bisa melihat standar ganda AS terhadap Israel dan Iran, dua negara ini
diperlakukan sangat berbeda oleh AS padahal untuk kepemilikan nuklir
Israel termasuk yang paling mengancam keamanan di kawasan. Kondisi ini
menyebabkan traktat yang ada terus mengalami penurunan kualitas
kepercayaan18 mengingat semakin tidak efektifnya konsensus.
Kelima, negara-negara besar seperti AS misalnya menawarkan jasa
baik dengan memberikan fasilitas pertukaran uranium kadar rendah untuk
energi listrik dengan uranium kadar tinggi yang dimiliki negara lain yang
berpotensi menjadi senjata. Langkah ini terus menerus ditawarkan oleh AS
dari rezim satu ke rezim berikutnya, tetapi yang paling terlihat adalah
gagasan Presiden Barack Obama yang dalam banyak kesempatan secara
tegas mengupayakan jalan damai untuk menyelesaikan setiap persoalan,
berbeda dengan pendahulunya George W. Bush Jr yang cenderung menutup

18

Tekanan AS terhadap Iran dalam banyak kesempatan mendapatkan dukungan dari
negara lain, misalnya untuk tahun ini pada Resolusi PBB Mei 2010, Brasil dan Iran menolak untuk
ikut menjatuhkan sanksi atas Iran. Sikap Iran bisa dilihat secara beragam, tetapi salah satu
pandangan yang cukup tepat ialah M. Nicolas J. Firzli, ” Turkey, Asia and the Iranian Nuclear
Crisis”, The Vienna Review (May 2010 issue), versi bahasa Arab dalam Al-Nahar (Apr 22, 2010).
M. Nicolas J. Firzli merupakan Direktur the CEE Council, a Paris-based economic strategy thinktank.

10

jalan dialog. Obama banyak mengambil langkah akomodatif19 kepada
negara yang dianggap berseberangan dengannya, seperti pemberian fasilitas
pertukaran uranium kadar rendah dan memberikan bantuan finansial
kepada negara yang mendengar ajakan itu, hal ini bisa dilihat dalam kasus
nuklir Korea Utara dan Iran. Dari perspektif yang lain tindakan AS ini
hanyalah strategi AS untuk melucuti kekuatan negara lain dan menjadikan
proses pertukaran uranium sebagai langkah untuk memperkaya uranium
yang dimiliki AS.

D. Post-agreement Negotiation pada NPT

Mei 2010 kemarin merupakan tahun penting bagi rezim NPT, sebab
bulan Mei dianggap sebagai momentum yang bisa mempertemukan semua
stakeholders yang terlibat dalam penandatangan NPT. Dalam forum yang
diselenggarakan

di

Markas

Besar

PBB

New

York

itu

sejumlah

perkembangan NPT dilaporkan, IAEA selaku penanggungjawab program
menjadi tulangpunggung pelaksanaan agenda tahunan itu.
Sebelum forum NPT dilaksakanan di New York, agenda serupa juga
dilaksanakan tetapi bukan oleh lembaga Perserikatan Bangsa Bangsa tetapi
oleh pemerintah Amerika Serikat sendiri melalui inisasi pemerintahan
Obama. Pertemuan itu disebut dengan KTT Nuklir yang dihadiri oleh
sejumlah kepala negara, Indonesia sendiri diwakili oleh Wakil Presiden
Budiono. Agenda KTT Nuklir tersebut adalah mencoba memaparkan
kepada masyarakat internasional sejauh mana rezim-rezim yang ada
menyangkut nuklir mampu memonitor perkembangan nuklir serta
langkah-langkah apa yang tepat untuk mengurangi kuantitas persenjataan
nuklir. AS sebagai promotor agenda KTT memaparkan sejumlah misi-misi
19

“Program Nuklir Obama,” Majalah Gatra, Edisi 12 Mei 2010.

11

strategisnya, beberapa diantaranya adalah mengumumkan kepada seluruh
peserta dan dunia bahwa pemerintah AS tengah mengurangi secara
signifikan kepemilikan hulu ledak nuklir

nuclear warhead

dan juga

nuclear stockpile , mereduksi nuklir seperti disepakati melalui mekanisme
START dengan menggunakan forum yang disebut AS sebagai Nuclear
Postur Review

NPR

20

, dalam kesempatan itu juga disebutkan kesiapan AS

menjadi fasilitator pereduksian nuklir dengan memberikan fasilitas
penyimpanan dan pertukaran uranium kadar tinngi dengan kadar lebih
rendah.

Gambar .1. Penurunan Stockpile nuklir AS

Lihat “Program Nuklir Obama,” dalam Majalah Gatra, Edisi 12 Mei 2010, Hlm. 66;
Fact Sheet, Increasing Transparency in the US Nuclear Weapons Stockpile, 03 Mei 2010.
20

12

Uraian di atas mengantarkan kita pada satu kesimpulan bahwa
penciptaan rezim NPT adalah sangat luhur tetapi dalam perjalanannya
traktat ini terus mengalami pasang surut yang menyebabkan negara-negara
anggota untuk larut dalam perdebatan sejauh mana efektifitas rezim NPT.
Dalam Post agreement dikenal keyakinan acceptance in beggining
tend to break down over the course of regime 21. Dari sudut pandang ini
boleh jadi NPT diratifikasi oleh mayoritas negara di dunia, akan tetapi
dalam perkembangannya ternyata negara-negara mulai berfikir ulang untuk
menggunakan nuklir seperti halnya dilakukan oleh negara NWS.
Organisasi-organisasi yang bergerak di bidang pertahanan pun masih
menjadikan nuklir sebagai salah satu komponen penting menjaga stabilitas
keamanan regional mereka. NATO misalnya, melihat pandangan Obama
melalui NPR22 sebagai sesuatu yang luhur tetapi menurut NATO, kemanan
regional di atas segala-galanya dan mereka selalu siap mengantisipasi
tindakan-tindakan irasional dalam percaturan politik dunia, Salah satu
alasan dibalik eksistensi pakta ini adalah untuk melindungi 900 juta orang
yang negaranya adalah anggota NATO,

kata Sekjen NATO, Fogh

Rasmussen.23

21

Untuk menguatkan pandangan ini bisa juga dikomparasikan dengan preposisi yang
dibangun oleh Bertram J. Spector, ”Negotiation Readiness in the Development Context: Adding
Capacity to Ripeness,” dalam http://negotiations.org/NegoReadiness2.doc, akses 16 Juni 2010.
22

Program NPR yang digulirkan Obama secara umum menginsiasi pengurangan senjata
nuklir. Pandangan senjata nuklir ini sempat ditentang oleh rival partai Demokrat yakni partai
Republik yang menganggap langkah Obama dengan mengurangi terus menerus senjata nuklir
sebagai sesuatu yang gila dan irasional mengingat senjata nuklir adalah ”lambang supremasi AS”,
namun pandangan sinis itu dijawab oleh Obama dengan mengatakan, kurang lebih, ”AS tidak lagi
membutuhkan berton-ton senjata nuklir serta hulu ledaknya, untuk mengalahkan musuh-musuh AS
hanya membutuhkan senjata-senjata konvensional yang ada sekarang, mengingat senjata kita di
atas rata-rata,”. Penyusun sendiri secara teoritis juga melihat ini sebagai sesuatu yang tidak perlu
dibesar-besarkan, mengingat dunia sendiri tengah berlomba-lomba dalam bidang geo-ekonomi,
sebagaimana didorong oleh Joseph Stiglitz dalam banyak karangannya. Tentu jika menyentuh
masalah ini perdebatan akan sangat panjang hingga ke akar-akar paradigma fundamen dalam teori
hubungan internasional.
23

Ibid.

13

E.Kesimpulan

Seperti diuraikan di atas bahwa fenomena persebaran senjata nuklir
menjadi

suatu yang tidak terhindarkan. Rezim NPT ditujukan untuk

melakukan kontrol atas persebaran itu. Kesimpulan yang dapat diambil
adalah bahwa NPT bisa saja menjadi rezim internasional untuk kepentingan
perdamaian dunia dan keamanan manusia, tetapi efektivitas NPT tetap
akan menjadi pertaruhan selama belum berada pada kondisi yang
memuaskan setiap pihak.
Memang jika melihat kondisi yang ada sekarang NPT belumlah
mampu meredam ketegangan-ketegangan antara negara khususnya di
kawasan yang salah satu negara berpotensi menyalahgunakan senjata
nuklir. Boleh saja hal itu dianggap sebagai bagian dari rule breaking oleh
sejumlah negara atas norma bersama sebagaimana diasumsikan dalam
post-agreement

negotiation .

Namun

demikian,

harapan

tetaplah

dikembalikan kepada rezim ini, mengingat mayoritas negara telah
bersepakat untuk meratifikasinya dan terbukti membuahkan hasil
perdamaian di beberapa kawasan.

Daftar Pustaka
Amalia, Muthia, Permasalahan Nuklir Korea Utara dan Peran Diplomasi
Indonesia, dalam Diplomasi Indonesia dalam Dinamika Internasional:
Perspektif dan Analisis Diplomat Muda Indonesia.Jakarta: Departemen
Luar Negeri RI, 2009.
El Baradei, Mohammed, Preserving the no-Proliferation Treaty, Special
Comment dalam Disarmament Forum, 2005.

14

Fact Sheet, Increasing Transparency in the US Nuclear Weapons Stockpile,
03 Mei 2010, US Defense Department.
Firzli, M. Nicolas J.,

Turkey, Asia and the )ranian Nuclear Crisis , The

Vienna Review (May 2010 issue); versi bahasa Arab dalam Al-Nahar
(Apr 22, 2010).
Ford, Christopher, Procedure and Substance in the NPT Review Cycle: The
Example of Nuclear Disarmament , US Department of State, dalam
http://www.state.gov maintained by the Bureau of Public Affairs.
Akses 10 Junii 2010.
International Atomic Energy Agency (iaea.org), May 2003, Fact Sheet on
DPRK Nuclear Safeguards.
)nternational Atomic Energy Agency, )nformation Circular, Treaty On The
Non-Proliferation Of Nuclear Weapons, )NFC)RC/

/

April 1970.

Waltz, Kenneth N., Toward Nuclear Peace, dalam Robert J. Art dan
Kenneth N. Waltz. (eds.), The Use of Force; Military Power and
International Politics, Fourth Edition (Maryland: University Press of
America, 1993). Hlm 527.
Kessler, Glenn. "New Doubts On Nuclear Efforts by North Korea".
Washington

Post.http://www.washingtonpost.com/wp-

dyn/content/article/2007/02/28/AR2007022801977.html, akses 5 Juni
2010.
Majalah Gatra, Edisi 12 Mei 2010.
Mullard,

Maurice,

The

Politics

of

Globalization

and

Polarisation.

Cheltenham, UK: Edward Elgar, 2004.
Nazala, Rohdi Mohan, Post Agreement Negotiation, slide powerpoint
2010.
Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, International Relation and World
Politics; Security, Economy, Identity, Third Edition. New Jersey: Pearson
Prentice Hall, 2007.

15

Perkovich, George,

Principles for Reforming the Nuclear Order ,

Proliferation Papers,Paris, IFRI, Fall 2008.
Sanger, David E.; Broad, William J. (March 1, 2007). "U.S. Had Doubts on
North

Korean

Uranium

Drive".

New

York

Times.

http://www.nytimes.com/2007/03/01/washington/01korea.html.
Retrieved 2007-03-01.
Spector, Bertram J., Negotiation Readiness in the Development Context:
Adding

Capacity

to

Ripeness,

dalam

http://negotiations.org/NegoReadiness2.doc, akses 16 Juni 2010.

16