Laporan Edisi 19 Desember 2017

SYAMINA

ISLAMOFOBIA
Perang Melawan Islam yang Tidak Dideklarasikan

K. Mustarom

Laporan
Edisi 19 / Desember 2017

ABOUT US
Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah
lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala
bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh
semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak
media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk
menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas
dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada
metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini
merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.


Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami,
kirimkan e-mail ke:
lk.syamina@gmail.com
Seluruh laporan kami bisa didownload di website:

www.syamina.org

SYAMINA

Edisi 19 / Desember 2017

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI — 3
EXECUTIVE SUMMARY — 4

Industri Islamofobia — 9
Perang yang Tidak Dideklarasikan — 16
Membawa Perang Eropa ke Tanah Muslim — 19
Islamofobia: Sebuah Sistem Pemerintahan — 21


Daftar Pustaka — 23

3

SYAMINA

Edisi 19 / Desember 2017

EXECUTIVE SUMMARY

I

slamofobia adalah rasa takut, kebencian, dan permusuhan yang berlebihan
terhadap Islam dan Muslim yang diabadikan melalui stereotip negatif yang
mengakibatkan bias, diskriminasi, dan marginalisasi serta pengucilan umat
Islam dari kehidupan sosial, politik, dan kewarganegaraan.

Para pengidap Islamofobia meyakini bahwa Islam berusaha menggantikan
Kristen Barat. Faktor teologi menjadi sumber utama potensi ketakutan Kristen
terhadap Muslim sebagai musuh yang mengancam. Hari ini, kelompok sayap kanan

merayakan simbiosis Judeo-Kristen yang menjadi fitur utama Barat dalam perang
melawan Islam.

4

SYAMINA

Edisi 19 / Desember 2017

Islamofobia bukan sekadar ketakutan. Beberapa orang secara sengaja
mengembangkannya dan menggunakannya sebagai strategi politik. Islamofobia
tidak terjadi begitu saja. Ia bisa memberikan uang dan kekuasaan kepada orang
yang mendapatkan keuntungan atasnya. Islamofobia tidak terjadi secara tiba-tiba.
Ia tidak terjadi hanya pasca peristiwa 11 September, namun ia memiliki akar sejarah
yang panjang dan mendalam di belakangnya. Peristiwa 11 September, meningkatnya
migrasi Muslim ke Barat pada akhir abad ke-20, dan serangan teror di Eropa menjadi
pemicu dari sebuah epidemi kebencian terhadap Islam yang mengakar di Barat.
Hari ini, Islam dan Muslim senantiasa mendominasi headline negatif di media
mainstream. Serangan teror selalu dialamatkan kepada Islam sebagai tertuduh.
Islam dan Muslim selalu dianggap bersalah, sampai terbukti sebaliknya. Islam

lebih dipandang sebagai penyebab dibanding sebagai konteks dalam radikalisme,
ekstremisme, dan terorisme. Menjadikan Islam sebagai kambing hitam cenderung
lebih simple, dibanding mempertimbangkan inti masalah politik dan keluhan yang
menggema di dunia Islam, yaitu kegagalan pemerintah di negeri Muslim, kebijakan
luar negeri Amerika Serikat, dukungan Barat terhadap rezim otoriter, invasi dan
penjajahan di negeri Muslim, atau dukungan terhadap penjajahan Israel di Palestina.
Islamofobia bukanlah fobia, ia adalah cara pengaturan yang bersifat struktural
dan didukung oleh negara.
Islamofobia bersifat struktural, karena ia adalah cara berpikir yang hari ini secara
formal menginformasikan bagaimana lembaga publik, media mainstream, dan
pemerintah memperlakukan umat Islam. Saat ini, kita telah mencapai tahap di mana
umat Islam secara keseluruhan dan Islam itu sendiri dianggap sebagai ancaman dan
berpotensi menjadi penjahat. Tidak hanya di Inggris dan di Amerika, namun cara
pandang tersebut kini diekspor ke belahan dunia lainnya. Dalam istilah akademis,
ini disebut "sekuritisasi Islam", mengacu pada program kontraterorisme yang pada
praktiknya mencurigai semua Muslim, berdasarkan pemahaman bahwa setiap
muslim berpotensi melakukan kekerasan dan menjadi teroris.
Islamofobia adalah sebuah perang, perang yang tidak dideklarasikan, bersifat
tersembunyi, dan tak terucapkan. Namun, jika kita jeli melihat, kita dapat
menemukan bahasa kampanye publik terkait perang ini dalam strategi dan kebijakan

keamanan di Barat saat ini. Fokusnya adalah pada perang melawan "radikalisasi"
yang dipresentasikan sebagai perang melawan Islam "ekstrem". Namun jika kita
menyelidiki cara-cara di mana proyek anti-ekstremis dilakukan secara global, kita
melihat bahwa di balik topeng anti-ekstremisme itu sebenarnya adalah perang
eksistensial melawan Islam itu sendiri. Timur Tengah dan tempat lain dengan
populasi Muslim di Afrika dan Eropa tenggara kini menjadi lokasi penting dalam
perang ini. Ini adalah konflik yang akan terus memperluas jangkauannya ke seluruh
dunia, dimanapun umat Muslim berada.

5

Edisi 19 / Desember 2017

SYAMINA
Islamofobia bukanlah "fobia", ia lebih dari sekedar prasangka interpersonal.
Ia adalah pemahaman formal dan sistematis tentang Muslim sebagai kriminal;
pemahaman bahwa "Muslimness", "kemusliman", adalah penyebab kekerasan.
Pemahaman ini berarti bahwa hak-hak umat Islam dapat terkikis dan dilanggar
tanpa banyak protes dari masyarakat.


6

SYAMINA

Edisi 19 / Desember 2017

ISLAMOFOBIA
Perang Melawan Islam yang Tidak Dideklarasikan

"Islam teroris!!!"
"Islam tidak baik!!!"
“Islam akan memecah belah persatuan bangsa!”
Mungkin kalimat-kalimat itu yang akan terus keluar dari pada mereka yang
mengidap Islamofobia. Islamofobia saat ini merupakan hal yang biasa terjadi di
berbagai belahan dunia, khususnya Amerika dan Eropa. Pemikiran negatif selalu
datang ketika mereka mendengarkan kata Islam. Islamofobia bukan hal baru di
daratan Eropa, tetapi sentimen itu saat ini menjadi viral di seluruh belahan dunia.
Fobia, menurut kamus Merriam-Webster, adalah ketakutan yang berlebihan,
biasanya tidak dapat dijelaskan dan tidak masuk akal, terhadap objek, sekumpulan
objek, atau situasi tertentu. Mungkin sulit bagi orang yang menderita untuk bisa

menentukan atau mengkomunikasikan sumber ketakutan ini, tapi realitanya
ketakutan itu memang ada. Dalam beberapa tahun terakhir, fobia tertentu telah
mencengkeram masyarakat Barat, yaitu Islamofobia.
Sejumlah periset dan kelompok kebijakan mendefinisikan Islamofobia dalam
detail yang berbeda, namun esensi dasarnya pada intinya sama:
"Rasa takut, kebencian, dan permusuhan yang berlebihan terhadap Islam
dan Muslim yang diabadikan melalui stereotip negatif yang mengakibatkan bias,
diskriminasi, dan marginalisasi serta pengucilan umat Islam dari kehidupan sosial,
politik, dan kewarganegaraan.”1

1

Wajahat Ali, Eli Cliton, Mathew Duss, Lee Fang, Scot Keyes, and Faiz Shakir, "Fear, Inc.: The Roots of the
Islamophobia Network in America" (Washington, D.C.: Center for American Progress, 2011), htp://www.
americanprogress.org/issues/2011/08/pdf/islamophobia.pdf

7

SYAMINA


Edisi 19 / Desember 2017

Islamofobia sudah ada sebelum serangan 11 September 2001, namun
frekuensinya meningkat selama dekade terakhir. Trust Runnymede di Inggris,
misalnya, mengidentifikasi delapan komponen Islamofobia dalam sebuah laporan
tahun 1997,2 dan kemudian menghasilkan laporan lanjutan pada tahun 2004 setelah
serangan 9/11 dan tahun-tahun awal perang Afghanistan dan Irak.
Islamofobia adalah mereka yang merasa ketakutan atau kekhawatiran berlebihan
kepada agama Islam dan Muslim. Diawali dengan teror di Perancis, Inggris, dan
Spanyol yang diklaim bahwa dalang dibalik aksi itu adalah Islam. Sehingga pemerintah
negara-negara tersebut sangat reaktif dan semakin waspada akan keberadaan kaum
Muslim di negaranya.
Pada awal pemerintahannya, Trump mengeluarkan pernyataan bahwa Muslim
dilarang masuk ke Amerika Serikat. Pernyataan tersebut memicu banyak polemik,
ada yang pro, ada juga yang kontra. Austria melegalkan aturan pelarangan Burqa
atau Niqab, menyusul negara-negara lainnya seperti Australia, Italia, Perancis,
Belgia, Belanda, Jerman, Bulgaria, Chad, China, Kanada, dan terakhir Inggris.
Hal ini menunjukkan bahwa adanya ketakutan berlebihan terhadap orang yang
menggunakan pakaian Islami ini. Orang-orang yang menggunakan Burqa atau Niqab
tersebut dicurigai sehingga pada akhirnya keluarlah aturan-aturan seperti itu.

Hal inilah yang menunjukkan semakin meningkatnya Islamofobia di tanah Eropa
dan Amerika dimana banyak negara-negara besar sudah menyatakan ketakutannya
terhadap Islam. Ini akan mempengaruhi negara-negara lain cepat atau lambat untuk
mengambil langkah menanggapi aturan-aturan tersebut.
Pada awal 2017 lalu Slovakia secara resmi melarang Islam menjadi agama resmi
di negara tersebut. Hal ini menyusul banyaknya para imigran yang masuk ke Slovakia
dan kebanyakan adalah Muslim. Selain itu meningkatnya seruan anti-Islam di Uni
Eropa pada saat itu membuat pemerintah Slovakia yakin, bahkan Perdana Menteri
Robert Fico menegaskan bahwa Islam tidak memiliki tempat di Slovakia.3 Artinya
bahwa Slovakia tidak akan memberi subsidi negara terhadap umat Muslim di sana
dan tidak diberi keleluasaan untuk mengelola sekolah khusus agama Islam. Selain itu
tidak ada satupun masjid yang diakui oleh pemerintah Slovakia.
Kecurigaan terhadap Islam dan Muslim menjadi endemi di Barat pada sepanjang
tahun 2017. “Muslim Question” menjadi pusat dari politik kelompok sayap kanan,
yang hari ini mendapatkan kesuksesan besar sejak Perang Dunia II dalam beberapa
polling yang dilakukan, dari Prancis, Republik Ceko, Austria, hingga Jerman.
Ketakutan dan tuduhan bahwa setiap muslim berpotensi menjadi teroris kini
menjadi bagian integral dari politik dan keamanan Eropa, sebagaimana yang
disimpulkan oleh Amnesty International.4 Mereka dijadikan target oleh masyarakat
dan pemerintah Eropa, meski dengan mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi yang

2
3
4

8

htps://www.runnymedetrust.org/projects-and-publicaions/past-projects/commissionOnBriishMuslims.
html
htps://www.poliico.eu/aricle/robert-ico-islam-no-place-news-slovakia-muslim-refugee/
htps://www.amnesty.org/en/latest/campaigns/2017/01/dangerously-disproporionate/

SYAMINA

Edisi 19 / Desember 2017

mereka junjung. Semua dilakukan atas nama keamanan. Serangkaian tweet Donald
Trump termasuk salah satu upaya untuk menggambarkan Muslim sebagai agen
kekerasan.5
Para pengidap Islamofobia meyakini bahwa Islam berusaha menggantikan
Kristen Barat. Faktor teologi menjadi sumber utama potensi ketakutan Kristen

terhadap Muslim sebagai musuh yang mengancam.6 Hari ini, kelompok sayap kanan
merayakan simbiosis Judeo-Kristen yang menjadi fitur utama Barat dalam perang
melawan Islam.7
Donald Trump, Presiden Amerika Serikat, mengirimi pengikut Twitternya tiga
tweet dan video dari Jayda Fransen, salah satu ekstremis sayap kanan Inggris. Caption
dalam video tersebut bertuliskan: "Muslim Menghancurkan Patung Bunda Maria!",
"VIDEO: Massa Islam mendorong seorang pemuda dari atap dan memukulinya
hingga mati!", dan "VIDEO: Migran Muslim memukuli pemuda Belanda yang
mengunakan kruk! "
Ketika Trump meretweet video ini ke 44 juta pengikutnya, pada dasarnya, ia
mempromosikan cara pandang Fransen dan kelompoknya: bahwa umat Islam
secara keseluruhan merupakan ancaman potensial bagi perdamaian dan stabilitas
masyarakat Eropa.
Pernyataan dalam video tersebut menekankan bahwa Islam ada hubungannya
dengan kekerasan tersebut. Jelas bahwa niatan mereka adalah untuk membasmi dan
menstigmatisasi kaum Muslim secara kolektif.
Sikap anti-Muslim mengalami lonjakan besar setiap kali terjadi serangan teror di
Eropa. Dalam kejahatan kebencian tersebut, orang-orang Muslim yang tak bersalah
menjadi sasaran gangguan, kadang-kadang mereka diserang dan Masjid dirusak.
Kejadian tersebut adalah akumulasi dari kebencian laten terhadap Islam dan
Muslim yang ada di tengah masyarakat Barat.
Islamofobia bukanlah hal baru di dunia Barat. Kebencian dan fobia terhadap
Islam sudah berlangsung ratusan tahun di sana. Namun, trennya semakin tajam
sejak 11 September 2001. Di Eropa maupun Amerika efeknya semakin meluas.
Banyak orang dibunuh atau diusir dari rumahnya akibat tindakan Islamophobic
sebagai balasan atas terorisme yang dituduhkan terhadap umat Islam.

Industri Islamofobia
Islamofobia bukan sekadar ketakutan. Beberapa orang secara sengaja
mengembangkannya dan menggunakannya sebagai strategi politik. Islamofobia
tidak terjadi begitu saja. Ia bisa memberikan uang dan kekuasaan kepada orang
yang mendapatkan keuntungan atasnya. Islamofobia tidak terjadi secara tiba-tiba.
Ia tidak terjadi hanya pasca peristiwa 11 September, namun ia memiliki akar sejarah
yang panjang dan mendalam di belakangnya. Peristiwa 11 September, meningkatnya
5
6
7

htps://www.haaretz.com/opinion/1.825740
htps://www.haaretz.com/opinion/1.825275
htps://www.haaretz.com/.premium-1.769364

9

Edisi 19 / Desember 2017

SYAMINA
migrasi Muslim ke Barat pada akhir abad ke-20, dan serangan teror di Eropa menjadi
pemicu dari sebuah epidemi kebencian terhadap Islam yang mengakar di Barat.
Hari ini, Islam dan Muslim senantiasa mendominasi headline negatif di media
mainstream. Serangan teror selalu dialamatkan kepada Islam sebagai tertuduh.
Islam dan Muslim selalu dianggap bersalah, sampai terbukti sebaliknya. Sebuah pola
yang berkebalikan dengan kaidah hukum yang berkembang selama ini, praduga tak
bersalah sampai ada bukti yang membuktikan sebaliknya. Islam lebih dipandang
sebagai penyebab dibanding sebagai konteks dalam radikalisme, ekstremisme,
dan terorisme. Menjadikan Islam sebagai kambing hitam cenderung lebih simple,
dibanding mempertimbangkan inti masalah politik dan keluhan yang menggema
di dunia Islam, yaitu kegagalan pemerintah di negeri Muslim, kebijakan luar negeri
Amerika Serikat, dukungan Barat terhadap rezim otoriter, invasi dan penjajahan di
negeri Muslim, atau dukungan terhadap penjajahan Israel di Palestina.
Tidak sulit bagi kita untuk menemukan materi-materi yang cenderung selektif
terhadap Islam dan Muslim, materi-materi yang disetir oleh kepentingan, yang
memicu stereotip, ketakutan, dan diskriminasi. Islam digambarkan sebagai ancaman
politik, peradaban, dan demografi. Gambaran ini dibesarkan oleh sejumlah jurnalis
dan akademisi, mengesampingkan kompleksitas dinamika politik, sosial, dan agama
di dunia Islam.
Semua itu dilakukan untuk mengalihkan konsekuensi negatif dari dukungan Barat
terhadap rezim otoriter, dan kebijakan mereka di dunia Islam, dari konflik PalestinaIsrael hingga invasi Irak dan Afghanistan. Anti Barat atau Anti Amerikanisme—
yang cenderung meningkat sebagai dampak atas kebijakan tersebut—seringkali
disimpulkan dalam pola sederhana, bahwa Muslim benci dengan kehidupan Barat.
Hari ini, Islamofobia telah mendistorsi prisma untuk memandang umat Islam.
Retorika anti Muslim dan kejahatan atas mereka banyak berkembang biak. Atas nama
undang-undang antiterorisme, penangkapan sewenang-wenang dan pengawasan
terhadap Muslim telah mengaborsi hak-hak sipil umat Islam. Lembaga-lembaga
keislaman (baik yang bersifat advokasi maupun yang bersifat organisasi amal)
dituduh sebagai pendana ekstremisme, sebuah tuduhan yang seringkali dialamatkan
tanpa bukti yang kuat.
Industri Islamofobia adalah sekumpulan industri jutaan dollar para penjual
ketakutan, jaringan pendana, dan organisasi yang mendukung dan mengabadikan
fanatisme, kebencian, rasisme, dan memproduksi iklim ketakutan. Mereka
bersatupadu, bekerja untuk meyakinkan dunia bahwa Muslim adalah entitas yang
berbahaya. Blogger, politisi rasis, para pemimpin agama fundamentalis, para pakar
di media, tokoh-tokoh zionis bekerjasama dalam sebuah industri kebencian: Industri
Islamofobia.

10

Tidak seperti industri lainnya, dimana produknya dibuat dibawah sebuah
korporasi yang memayungi, industri Islamofobia beda. Ia lebih dinamis dan fleksibel,
dengan berbagai bagian yang tidak terkait dengan satu cabang saja. Namun, tetap
saja mereka disatukan di bawah medan yang sama dan terhubung dalam beberapa
cara. Mereka melakukannya, antara lain, dengan melegitimasi pekerjaan satu sama

SYAMINA

Edisi 19 / Desember 2017

lain, yang menjadi fitur utama dalam operasi mereka. Mereka juga menggunakan
internet untuk meluaskan jaringan kecil mereka menjadi jaringan nasional dan
internasional.
Industri Islamofobia adalah dunia gelap pembuatan monster, sebuah industri
ketakutan yang berusaha menakut-nakuti publik tentang Islam. Industri ini
menunjukkan bahwa lonjakan sentimen anti-Muslim di Amerika Serikat dan Eropa
bukanlah akibat dari iklim skeptisisme yang berkembang secara alami, namun
merupakan sebuah produk yang telah dipelihara dengan sangat hati-hati selama
beberapa dekade terakhir, dan baru mencapai puncaknya di dekade kedua abad
kedua puluh satu.

Gambar 2. Daftar kelompok yang tujuan utamanya mempromosikan kebencian terhadap Islam dan Muslim dan
secara reguler menampilkan tema-tema Islamofobi.8
8

Council on American-Islamic Relaions (CAIR) and the University of California, Confroning Fear: Islamophobia
and its Impact in the United States, Juni 2016

11

SYAMINA

Edisi 19 / Desember 2017

Islamofobia adalah sebuah industri lintas benua. Sebuah industri yang didorong
oleh usaha intelijen AS untuk menjebak umat Islam. Industri tersebut tampak
semakin meningkatkan Islamofobia di seluruh AS, seperti yang digambarkan dalam
retorika anti-Muslim yang sangat kuat disampaikan selama kampanye presiden
AS tahun 2016. Dalam sebuah penelitiannya, Sarah Marusek, menemukan bahwa
meningkatnya Islamofobia tak lepas dari peran “pakar terorisme” yang ternyata
memiliki hubungan dengan intelijen AS dan Israel. Mereka juga menjadi pemimpin
kunci dalam industri Islamofobia. Marusek berpendapat bahwa hubungan antara
intelijen dan Islamofobia telah menguatkan suara anti-Muslim yang dulunya
marjinal.9

Gambar 3. Daftar kelompok di AS yang tujuan utamanya tampak tidak mempromosikan kebencian terhadap
Islam, namun secara reguler mendukung tema-tema Islamofobi.10

12

9
10

Invening terrorists: the nexus of intelligence and Islamophobia, htp://www.tandfonline.com/doi/abs/10.10
80/17539153.2017.1351597
idem

SYAMINA

Edisi 19 / Desember 2017

Dengan bungkus kontraterorisme, industri tersebut menyebar secara global.
Serangannya bukan lagi pada Muslim, tapi semakin menjurus pada Islam dan
ajarannya.
Menurut sebuah laporan yang dirilis oleh Council on American-Islamic
Relations (CAIR) dan University of California, lebih dari $ 205 juta dihabiskan untuk
mempromosikan "ketakutan dan kebencian" terhadap umat Islam di Amerika Serikat
oleh berbagai organisasi antara tahun 2008 hingga 2013.11
Laporan yang dirilis menyebutkan terdapat 74 kelompok, termasuk feminis,
Kristen, Zionis dan beberapa media terkemuka yang mendanai atau mengembangkan
Islamophobia.
"Ini adalah keseluruhan industri itu sendiri. Ada jutaan dolar per tahun yang
mempromosikan Islamofobia. Mereka sering menampilkan diri sebagai ahli urusan
Islam, padahal bukan," kata Wilfredo Amr Ruiz, juru bicara CAIR. "Mereka telah
menghembuskan suasana ketidakpercayaan ditengah masyarakat Amerika dengan
mengklaim bahwa muslim bukanlah bagian dari masyarakat Amerika dan bahwa
mereka tak akan pernah menjadi warganegara yang setia."12
Rutz menyebut bahwa Islamofobia telah mengekspose dua bahaya utama:
meningkatnya kejahatan karena kebencian dan pembuatan peraturan anti Islam.
Jumlah serangan fisik terhadap umat Islam di Amerika Serikat meningkat secara
signifikan antara tahun 2015 dan 2016, hingga melampaui titik puncak yang pernah
dicapai pada tahun 2001, tahun ketika terjadi serangan 11 September. Fakta tersebut
dipaparkan oleh sebuah lembaga analisis bernama Pew Research Center, dalam
laporannya tentang statistik kejahatan kebencian terhadap Muslim, yang digali dari
data FBI. Pada tahun 2016, ada 127 korban yang dilaporkan mengalami serangan
yang parah ataupun sederhana, dibandingkan dengan jumlah 91 korban pada tahun
sebelumnya dan 93 korban pada tahun 2001.
Tapi serangan fisik bukan satu-satunya bentuk kejahatan rasial yang dilakukan
terhadap umat Islam. Yang paling umum adalah intimidasi. Intimidasi anti-Muslim
meningkat pada tahun 2016, dengan 144 korban yang dilaporkan, dibandingkan
dengan tahun sebelumnya yang hanya 120 korban.
Secara keseluruhan, ada 307 insiden kejahatan karena sentimen kebencian
terhadap Muslim pada tahun 2016, atau mengalami kenaikan 19% dari tahun
sebelumnya.13
Selain itu, Islamophobia juga ditunjukkan dengan pembuatan peraturan antiIslam. Antara tahun 2013 hingga 2015, 81 rancangan undang-undang anti-Islam
dibuat. Sepuluh negara bagian memberlakukan undang-udang anti Islam.

11
12
13

htp://www.cair.com/press-center/press-releases/13618-new-cair-uc-berkeley-report-reveals-fundingnegaive-impact-of-islamophobic-groups-in-america.html
htp://www.aljazeera.com/indepth/features/2016/06/report-islamophobia-muli-million-dollarindustry-160623144006495.html
htp://www.pewresearch.org/fact-tank/2017/11/15/assaults-against-muslims-in-u-s-surpass-2001-level/

13

SYAMINA

Edisi 19 / Desember 2017

Pemerintah Florida bahkan mencoba melarang buku-buku sekolah agar tidak
membuat referensi tentang Islam dalam sejarah.14
Senator Florida Alan Hays pernah mengatakan bahwa “Cara hidup kita yang
damai telah dirusak Islam dan hukum Islam. Selamatkan generasi kita dari ideologi
yang sedang menginvasi negara kita dan sedang menyamar sebagai agama. Ini adalah
pemberontakan: mereka bertekad menggulingkan negara dan bangsa kita.”15
Nathan Lean, pemimpin redaksi Asian Media, pernah menulis tentang jaringan
sayap kanan penebar ketakutan di Amerika Serikat. Mereka mendedikasikan
kegiatannya untuk meyakinkan orang Amerika bahwa Islam pada dasarnya adalah
agama yang penuh kekerasan dan berbahaya, bahwa umat Islam secara keseluruhan
senang dengan kekerasan semacam itu, dan bahwa baik Islam maupun Muslim
harus dipinggirkan di negara ini. Jaringan ini mengumpulkan para "blogger fanatik,
politisi rasis, pemimpin agama fundamentalis, pakar di Fox News dan Zionis" dalam
sebuah "industri kebencian".
Lean mengutip buku Richard Hofstadter tahun 1952, The Paranoid Style in
American Politics, untuk menunjukkan bahwa pola penciptaan gambar monster
"berbahaya" yang bersiap "mengambil alih" kehidupan Amerika dan menghancurkan
"cara hidup" Amerika memiliki sejarah panjang dalam budaya publik Amerika.16

14
15

14

16

htp://www.aljazeera.com/indepth/features/2016/06/report-islamophobia-muli-million-dollarindustry-160623144006495.html
Hassan Shibly, "CAIR-Florida Exposes Link Between Senator Alan Hays' Islamophobia and Ani-Muslim
Legislaion," Cairlorida.org, April 2014.
Nathan Lean & John Esposito, ”The Islamophobia industry: How the right manufactures fear of Muslims”,
London: Pluto Press, 2012, h. 23

SYAMINA

Edisi 19 / Desember 2017

Media elektronik yang populer telah menyediakan sarana untuk menyebarluaskan
penyebaran pesan anti-Islam yang tidak akan mendapat tempat di jurnal atau
kehidupan akademik yang lebih mapan.
Kampanye anti-masjid juga meletus di berbagai tempat di sekitar Amerika Serikat,
ketika sebuah komunitas Muslim mengumumkan rencana untuk membangun
sebuah masjid. Umat Kristen diaktifkan untuk meneriakkan penentangan.
Media menciptakan ketakutan yang meluas, berdasarkan realitas palsu, untuk
menentang penerapan syariat Islam, atau hukum Islam, pada sistem hukum Amerika.
Peran lain juga dimainkan oleh fundamentalis Kristen. Sebagian besar
fundamentalis Kristen anti-Muslim percaya bahwa hanya orang-orang Kristenlah
yang menyembah Tuhan yang benar, dan hanya merekalah yang memiliki kapasitas
untuk masuk surga. Mereka juga menganggap Islam sebagai agama "terburuk",
Quran sebagai buku "fasis" yang penuh dengan kebohongan dan advokasi kekerasan.
Mereka menuduh pendidikan siswa di sekolah untuk memahami Islam atau
membaca Alquran sebagai indoktrinasi, bagian dari kampanye tersembunyi Muslim
untuk "mengambil alih" Amerika dan memaksakan pola jahatnya pada masyarakat.
Di kalangan lain, yaitu Zionis, mengklaim bahwa umat Islam dan bahkan
semua orang bukan Yahudi di Israel harus "dibersihkan" dari tanah tersebut untuk
persiapan penebusan yang akan membawa pada kemunculan Mesias. Bagi orang
Kristen, kejadian ini dipahami sebagai kembalinya Yesus sebagai Mesias. Mereka
menganjurkan kembalinya orang Yahudi ke Israel dan penjajahan mereka atas
seluruh Palestina, menyingkirkan orang-orang Palestina dari tanah mereka, sebagai
persiapan untuk penebusan ini.
Lean melihat "industri" anti-Muslim ini sangat mempengaruhi kebijakan dan
sikap pemerintah Amerika. Peter King, mantan ketua Komite Keamanan Dalam
Negeri, berbagi kecurigaan bahwa Muslim tidak setia kepada Amerika. Bahasa
perang "anti-terorisme" pada umumnya mengasumsikan penggabungan Muslim
dan "teroris". Setelah 9/11, ratusan pemuda Muslim ditangkap, dipenjara, dan
disiksa karena diinterogasi, meskipun tidak ada yang akhirnya dihukum atau bahkan
dituduh melakukan tindakan atau tindakan teroris. FBI telah menunjuk mata-mata
untuk menyusup ke mesjid di seluruh Amerika Serikat.
Selain itu, militer AS dan FBI banyak memanfaatkan literatur sayap kanan antiMuslim untuk melatih anggota mereka melakukan tindakan. Mereka membenarkan
hal ini, meskipun literatur ini sangat bias dan sama sekali tidak didukung oleh
literatur yang dapat diterima secara akademis tentang Islam.
Jaringan Islamophobia kini juga tidak hanya melibatkan kelompok sayap kanan.
Mereka juga menggandeng kaum liberal, yang mendukung sebuah pandangan
miring dunia ketika menyangkut Islam dan Muslim.
Isu "kebebasan berbicara" sangat penting bagi aliansi baru ini. Aliansi ini
memungkinkan orang-orang seperti Milo Yiannopoulos yang membela pedofil,

15

SYAMINA

Edisi 19 / Desember 2017

Pamela Geller blogger anti-Muslim dan para fanatik 'New Atheists' bersatu dalam
sebuah pasukan atas nama memerang Islam.17
Dengan kata lain, Islamofobia bukan lagi monopoli kelompok sayap kanan. Kaum
liberal yang telah lama mengubur permusuhan mereka terhadap Islam, dengan
cepat menyesuaikan diri dengan sekelompok sayap kanan. Bisnis utama mereka
adalah melakukan serangan terhadap hak-hak sipil dan kebebasan umat Islam, dan
mencoreng agama Islam dengan kebohongan, dan fitnah lainnya.

Perang yang Tidak Dideklarasikan
Ketika Presiden Prancis François Hollande berdiri di depan parlemen di Versailles
setelah serangan di Paris November 2015 lalu dan mengatakan, "Prancis sedang
berperang," musuh manakah yang ada dalam pikirannya? Dengan siapa tepatnya
Prancis berperang? Hollande berkata, musuh kami adalah "terorisme jihad" yang
mengancam "seluruh dunia."
Dengan demikian, seperti yang dikumandangkan oleh Hollande, IS dan konflik
di Suriah hanyalah satu bagian dari perang dunia yang lebih luas. Hollande tidak
sendiri, karena Prancis adalah bagian dari negara-negara di Uni Eropa (UE) yang
bersepakat untuk menerjuni kancah perang ini bersama-sama. Namun, mereka tidak
bertempur dalam bingkai "perang melawan teror" yang merupakan konflik langsung
melawan teroris. Sebaliknya, Eropa terlibat dalam “perang untuk mencegah teror”;
Ini adalah peperangan melawan terorisme sebagai ideologi dan praktik sebelum
memanifestasikan dirinya. Bentuk peperangan ini menimbulkan pengawasan
terhadap semua calon teroris di dalam populasi yang menurut pikiran resmi mesin
kebijakan Eropa menjadi tempat teroris itu bermunculan, yaitu umat Muslim di
dunia. Perintah pengawasan ini berasal dari keyakinan bahwa Islam menciptakan
kondisi yang melekat erat dengan fanatisme para pemeluknya, ini adalah gagasan
yang telah lama hadir dalam pemikiran politik Eropa selama berabad-abad. Dalam
konteks politik global saat ini, gagasan ini telah menyebabkan apa yang kita sebut
"perang Barat melawan Islam".
Perang memang belum dideklarasikan, bersifat tersembunyi, dan tak terucapkan.
Namun, jika kita jeli melihat, kita dapat menemukan bahasa kampanye publik
terkait perang ini dalam strategi dan kebijakan keamanan di Barat saat ini. Fokusnya
adalah pada perang melawan "radikalisasi" yang dipresentasikan sebagai perang
melawan Islam "ekstrem". Namun jika kita menyelidiki cara-cara di mana proyek
anti-ekstremis dilakukan secara global, kita melihat bahwa di balik topeng antiekstremisme itu sebenarnya adalah perang eksistensial melawan Islam itu sendiri.
Timur Tengah dan tempat lain dengan populasi Muslim di Afrika dan Eropa tenggara
kini menjadi lokasi penting dalam perang ini. Ini adalah konflik yang akan terus
memperluas jangkauannya ke seluruh dunia, dimanapun umat Muslim berada.

16

17

htp://www.aljazeera.com/indepth/features/2017/06/groups-s pread-hate-islamophobiaindustry-170610092856852.html

SYAMINA

Edisi 19 / Desember 2017

Seperti pada masa sebelumnya, dalam konflik historis Kristen Eropa dengan
Islam, Prancis telah memimpin peperangan selama beberapa tahun yang lampau.
Akhir-akhir ini, sebagaimana saat perang kolonial abad ke-20, pemberian julukan
pada musuh mendapat perhatian khusus. Dalam perang kolonial Prancis di Aljazair
pada tahun 1950 an dan 1960 an, seperti juga perang Inggris di Palestina pada tahun
1930 an, Prancis menolak untuk mengakui bahwa mereka sedang melawan sebuah
gerakan politik dan negara yang mapan. Sebaliknya, musuh diberi label sebagai
teroris, bandit dan penjahat. Saat ini, Pemerintah Prancis telah mempelopori langkah
Eropa untuk memberi julukan nama kepada "Islamic State (IS)".
Di Inggris, mantan Perdana Menteri David Cameron telah berhasil mempengaruhi
Kantor berita nasional BBC, agar tidak menggunakan istilah "Islamic State" melainkan
dengan istilah "yang dia sebutkan"; Dia mengemukakan argumen ini dalam siaran
langsung kepada wartawan BBC Sarah Montague pada bulan Januari 2016 lalu. Sama
dengan pemerintah Prancis, Partai Konservatif Inggris dan pengikut mereka di Partai
Buruh lebih memilih untuk menggunakan "Daesh" sebagai gantinya. Mengapa?
Daesh adalah akronim untuk nama pra-Khilafah Islam dalam bahasa Arab: AlDawla al-Islamiyah fil Irak wa al-Sham. Mantan Menteri Luar Negeri Prancis Laurent
Fabius memprakarsai penggunaan istilah Daesh untuk Eropa pada bulan September
2014. Penyebutan Daesh disukai oleh sebagian besar elit politik UE karena mereka
tidak perlu mengucapkan kata "Islam". Tokoh seperti Cameron mengatakan bahwa
penggunaan istilah Daesh sangat penting karena IS tidak memiliki hubungan dengan
Islam yang otentik; mereka berpendapat bahwa itu tidak adil dan menyesatkan.
Namun, sangat tidak biasa jika seorang Perdana Menteri Inggris meminta secara
terbuka, dalam siaran langsung, tentang istilah apa yang harus digunakan jurnalis
BBC. Kita akan sulit sekali menemukan contoh Cameron atau rekan-rekannya
yang melanggar protokol hanya untuk membela kehormatan Islam. Kemungkinan
besar keengganan pembuat kebijakan Eropa terhadap nama "Islamic State" adalah
karena hal itu dapat mempengaruhi kepentingan politik mereka sendiri. Dalam hal
ini, negara-negara Eropa perlu untuk menghindari konflik dengan Islam itu sendiri.
Maka agama Islam dan segala hal yang Islami tidak bisa disebut sebagai musuh
secara terang-terangan.
Keengganan penyebutan Islam sebagai musuh di antara negara-negara Eropa
dapat dilihat selama Perang Dunia I. Imperium Prancis dan Inggris, yang dicekam
oleh ketakutan imajiner terhadap Islam dan potensi revolusioner dan fanatiknya,
melakukan semua yang mereka bisa untuk menunjukkan bahwa mereka adalah
teman-teman Islam saat mereka melawan seruan jihad kekhalifahan Utsmaniyah.
Dengan disponsori negara Arab yang memberontak melawan Utsmaniyah, Entente
Cordiale (Persekutuan Prancis & Inggris) berusaha menghadirkan sebuah gambar
persahabatan yang intim dengan Islam. Proyek persahabatan ini penuh dengan
masalah dan konsep yang tidak konsisten. Bukan hanya kekhalifahan saja yang
dimusnahkan, namun seluruh bangunan Islam dalam wilayah kerajaan Eropa. Ini
adalah ketakutan eksistensial terhadap Islam sebagai musuh global yang sedang
menanti.

17

Edisi 19 / Desember 2017

SYAMINA
Desakan pemerintah Prancis dan Inggris terhadap istilah Daesh hanyalah satu
manifestasi dari upaya sistematis untuk menghindari penggunaan kata-kata Islam
dan Muslim dalam artikulasi musuh mereka. Buku Agenda Keamanan Eropa, yang
diterbitkan pada bulan April 2015, adalah contoh instruktif. Dokumen tersebut
menetapkan kerangka keamanan Uni Eropa sampai tahun 2020. Dokumen ini
menyebutkan "terorisme" sebagai prioritas utama di Eropa, di samping "kejahatan
terorganisir" dan "cybercrime".
Badan keamanan Eropa sering kali membingungkan ketika menyebutkan
terorisme sebagai “ancaman”. Sebagai referensi untuk memerangi terorisme, Buku
Agenda Keamanan Eropa berfokus pada pencegahan "radikalisasi", menghentikan
pengembangan "ekstremisme". Meskipun demikian, dokumen tersebut tidak
memberi tahu pembaca terkait bentuk ekstremisme apa yang ingin dicegahnya
dan tidak mengidentifikasi siapa yang bisa menjadi radikal, atau bahkan apa yang
menjadi sarana radikal. Kata-kata Islam dan yang bersifat Islami tidak muncul
dalam 21 halamannya. Satu-satunya seruan dari kata "Muslim" adalah sehubungan
dengan metode yang diusulkan untuk membantu menyelesaikan konflik, yaitu
pembentukan "Konferensi Meja Bundar Orang-orang Terkemuka dari Eropa dan
Dunia Muslim, untuk mendorong pertukaran intelektual dan dialog yang lebih luas
antar masyarakat."
Agenda Keamanan Eropa tidak memberi tahu kita mengapa diperlukan dialog,
atau apa kaitannya dengan "dunia Muslim". Pengantar dokumen mengatakan
kepada kita secara tidak langsung bahwa "ketidakstabilan" di "lingkungan terdekat"
Uni Eropa adalah sumber "masalah keamanan saat ini." Tetapi baik "lingkungan"
maupun masalahnya tidak teridentifikasi.
Keengganan untuk menyatakan Muslim sebagai musuh berasal dari sifat dan
tingkat fobia Islam di kalangan pembuat kebijakan Eropa. Proyek pencegahan
diperlukan, karena menurut para pembuat kebijakan Barat hasil realisasi diri dari
pemahaman seorang Muslim yang ditakuti akan selalu ada. Mereka percaya bahwa
setiap individu Muslim memiliki potensi untuk menjadi seorang fanatik. Fanatisme
yang muncul dengan cepat ini menghasilkan usaha dua kali lipat di mana sebuah
perang perlu dilakukan melawan musuh yang tidak boleh dimunculkan namanya.
Seringkali, pemerintah Barat berusaha untuk memecahkan masalah ini dengan
mengelompokkan umat Islam menjadi "moderat" dan "ekstremis" dalam pandangan
dunia, di mana hanya "ekstremis" minoritas yang menjadi masalah. Mantan PM
Inggris David Cameron, Menlu Prancis Jean-Marc Ayrault, Koordinator Kontra
Terorisme Uni Eropa Gilles de Kerchove dan rekan-rekan mereka tidak akan pernah
mengakui bahwa Islam itu sendiri dan kecenderungannya terhadap fanatisme adalah
masalah mendasar bagi mereka.

18

Aparat Uni Eropa dan negara-negara anggotanya mengungkapkan premis
operasi bahwa semua Muslim di setiap tempat perlu disurvei. Oleh karena itu
dibentuklah Radicalisation Awareness Network (RAN) sebagai Unit Rujukan Internet
Europol yang menghubungkan lebih dari seribu praktisi. Adanya RAN Center of
Excellence, adanya usulan untuk berbagi data tentang nama penumpang pesawat,

SYAMINA

Edisi 19 / Desember 2017

adanya sharing data intelejen, dan penyusunan serta pengetatan undang-undang
pengawasan oleh negara anggota Uni Eropa adalah infrastruktur yang dirancang
untuk memantau komunikasi dan pergerakan seluruh populasi. Setiap Muslim
adalah target, tanpa perlu disebutkan namanya.
Disamping pengawasan, berbagai cara pencegahan juga telah dilakukan oleh
departemen negara lainnya, misalnya : propaganda, penahanan dan pembunuhan.
Dalam hal penahanan, contoh yang paling jelas dan terkenal sebagai tindakan
pencegahan terhadap umat Muslim adalah Teluk Guantanamo, yang telah lama
dikritik di seluruh spektrum politik.
Di Eropa saat ini, kita bisa melihat meluasnya penahanan sebagai tindakan
preventif. Ketika pemerintah Prancis mengumumkan pada bulan November 2015,
sebuah undang-undang untuk keadaan darurat yang sedang berlangsung, undangundang tersebut mengubah hukum sehingga individu dapat ditempatkan dalam
tahanan rumah jika ada "alasan serius untuk menganggap bahwa perilaku mereka
merupakan ancaman bagi keamanan dan ketertiban umum". Dari 14 November
2015 sampai 3 Februari 2016, pihak berwenang Prancis menempatkan 407 orang
di bawah tahanan rumah. Keinginan negara untuk pencegahan juga berarti bahwa
dalam keadaan darurat, prosedur peradilan akan dibalik: hakim akan diberitahu
tentang keputusan untuk menangkap dan menahan, bukannya dimintai keputusan
berdasarkan bukti aktivitas pelanggaran hukum yang sudah terjadi.

Membawa Perang Eropa ke Tanah Muslim
Serangan IS di Paris pada November 2015 lalu tampaknya menyingkirkan
perbatasan politik antara Eropa dan Timur Tengah. Dari awal 2015, mereka telah
menyetujui sebuah kebijakan untuk memperluas perang terhadap Islam ke Timur
Tengah, bekerjasama dengan elite pemerintahan sekutu mereka di wilayah tersebut,
begitu juga dengan wilayah lain yang memiliki populasi Muslim signifikan di luar
Uni Eropa.
Setelah serangan Januari 2015 di Paris, Para Anggota Dewan Eropa, kepala
negara dan pemerintah di Uni Eropa, mengumumkan strategi mereka untuk
memperkuat "tindakan melawan ancaman teroris". Rencana ini termasuk fokus
menjalin "mitra internasional" di zona mayoritas Muslim. Kata-kata Islam dan
Muslim tidak digunakan dalam pernyataan tersebut. Sebaliknya, Dewan Eropa
menggunakan kepanjangantangan geopolitik untuk wilayah Muslim yang berada
jauh dari pandangan, namun bisa dipahami oleh semua orang bahwa wilayah ini
meliputi: Timur Tengah, Afrika Utara, Sahel (sabuk wilayah yang berada di selatan
Gurun Sahara) dan Balkan Barat.
Seiring dengan laporan Kordinator Kontra Terorisme Uni Eropa, Gilles De
Kerchove, kepada Dewan menjelang akhir 2015, Uni Eropa telah mengirim
"pakar" terorisme ke sejumlah negara, termasuk Maroko, Irak dan Arab Saudi, dan
merencanakan pengiriman “pakar” ke Aljazair dan Mesir. Dana sebesar € 9 juta
euro telah dialokasikan untuk pencegahan "radikalisasi" di Yordania, € 2,5 juta di

19

Edisi 19 / Desember 2017

SYAMINA
Lebanon, € 5 juta di Maghreb dan 1,675 juta euro di Sahel. Jumlah terbesar, € 23 juta,
telah diberikan ke Tunisia untuk "reformasi sektor keamanan" yang merupakan
lokasi pertama revolusi Arab Spring.
De Kerchove menekankan kepada Dewan Uni Eropa akan pentingnya menjamin
sumber daya lebih lanjut dan meluncurkan lebih banyak "paket bantuan CT
(Counter-Terrorism) yang komprehensif" seperti yang diberikan kepada Tunisia.
Rencana kegiatan sudah dijalankan dan disepakati dengan Yordania, Lebanon dan
Tunisia, dan Kerchove telah merekomendasikan pertukaran antar wilayah RAN,
Timur Tengah, Afrika Utara, Balkan Barat dan Turki.
Agenda pencegahan di Eropa telah berpindah ke tanah Muslim. Ekspansi ini
merupakan konsekuensi yang tak terelakkan dari pemikiran di balik perang melawan
Islam; semua Muslim perlu disurvei dan dicegah untuk mewujudkan keinginan batin
mereka. Setiap individu muslim berpotensi menjadi bom waktu.
Kesenangan akut dengan gagasan ini di kalangan elit politik Eropa dan rekan
mereka di dunia Barat telah menghasilkan sebuah penemuan disiplin politik baru
dan seperangkat senjata bernama “Countering Violent Extremism” (CVE). CVE
adalah langkah diluar pencegahan tindakan terorisme, dan sebaliknya CVE bertujuan
mencegah kondisi psikologis dan berpikir sebagai seorang calon teroris—yang
merupakan definisi terkini dari seorang "ekstremis". Proses imajinasi transisi kognitif
ini adalah target baru. "Uni Eropa dimobilisasi untuk menangani faktor-faktor yang
mendasari radikalisasi," kata Federica Mogherini, Perwakilan Tinggi Urusan Luar
Negeri Uni Eropa kepada KTT Gedung Putih tentang CVE pada tanggal 19 Februari
2015.
Tokoh seperti Mogherini menganggap bahwa ada revolusi kognitif, menyebar
seperti penyakit mematikan yang tak terkendali dan menghancurkan umat Islam;
seperti yang dia katakan di Washington DC, "Ancaman teroris yang metastasis ini,
sama seperti kebanyakan kanker metastatik yang tidak dapat disembuhkan, kaum
Muslim berpaling kepada fanatisme secara massal yang dikhawatirkan menjadi fait
accompli (situasi dimana tidak ada pilihan lain) yang harus dihadapi. Keberhasilan
sembuh bagaimanapun tidak mungkin terjadi. Kemungkinan survive untuk kembali
hidup normal sangat tipis. Perang tidak bisa dihindari, dan hanya menyisakan
keputusasaan.”

20

Pilihan kata Mogherini banyak mengungkapkan tentang konsepsi pembentukan
politik Barat terkait perang mereka melawan Islam. Perang itu dibentuk oleh
pemikiran Islamofobia selama berabad-abad di Barat. Pada publikasi "Rencana
Aksi untuk Mencegah Ekstrimisme Kekerasan" pada bulan Januari 2016, Sekretaris
Jenderal PBB Ban Ki-moon mengatakan: "Kami ... mengetahui unsur-unsur penting
untuk kesuksesan Pencegahan Ekstrimisme Kekerasan: pemerintahan yang baik;
peraturan hukum; partisipasi politik; pendidikan berkualitas dan pekerjaan yang
layak; serta menghormati hak asasi manusia sepenuhnya." Namun ini bukanlah
jawaban dalam koridor kekuasaan di Eropa. Jawabannya adalah perang, namun
jangan berharap akan diumumkan dalam waktu dekat.

SYAMINA

Edisi 19 / Desember 2017

Islamofobia: Sebuah Sistem Pemerintahan
Islamofobia bukanlah fobia, ia adalah cara pengaturan yang bersifat struktural
dan didukung oleh negara.
Islamofobia bersifat struktural, karena ia adalah cara berpikir yang hari ini secara
formal menginformasikan bagaimana lembaga publik, media mainstream, dan
pemerintah memperlakukan umat Islam. Saat ini, kita telah mencapai tahap di mana
umat Islam secara keseluruhan dan Islam itu sendiri dianggap sebagai ancaman dan
berpotensi menjadi penjahat. Tidak hanya di Inggris dan di Amerika, namun cara
pandang tersebut kini diekspor ke belahan dunia lainnya. Dalam istilah akademis,
ini disebut "sekuritisasi Islam", mengacu pada program kontraterorisme yang pada
praktiknya mencurigai semua Muslim, berdasarkan pemahaman bahwa setiap
muslim berpotensi melakukan kekerasan dan menjadi teroris. Hal ini penting untuk
dipahami.
Strategi kontra-terorisme tidak "melawan" "teroris". Banyak bukti akan hal ini.
Kita akan menyadari bahwa sejak awal Perang Melawan Teror digulirkan, di luar
negeri maupun di dalam negeri, kekerasan tidak berkurang. Hal ini dikarenakan
strategi kontra-terorisme dan kontra-radikalisasi tidak benar-benar menangani
penyebab kekerasan. Strategi tersebut beranggapan bahwa kekerasan, pada akhirnya,
disebabkan oleh fakta bahwa seseorang adalah Muslim. Karena itu, dalam asumsi
program tersebut, siapa saja yang beragama Islam bisa menjadi pelaku kekerasan.
Ini adalah kerangka kerja yang selama ini dibangun dalam program kontraterorisme.
Itulah mengapa kita seringkali mendapati pandangan bahwa semakin nampak
"Islami" seseorang, semakin besar kecenderungannya terhadap kekerasan dan
semakin dicurigailah dia. Seorang pria dengan ciri-ciri yang terlihat Islami yang
meninggalkan tasnya sesaat tanpa pengawasan di kereta membuatnya lebih banyak
mendapatkan kecurigaan daripada orang lain yang tidak memiliki ciri serupa.
Ini karena menjadi atau nampak seperti Muslim adalah kejahatan yang
sebenarnya, bukan karena ia meninggalkan barang tanpa penjagaan.
Kecurigaan semacam itu, sadar atau tidak, kini melekat pada cara pemerintah
bersikap, yang dikuatkan dengan sejumlah aturan, dikampanyekan di sekolah
dan universitas yang dihimbau untuk melaporkan perilaku "mencurigakan", dan
direproduksi oleh media saat mendiskusikan tentang Islam dan Muslim.
Saat kita bisa memahami bahwa menjadi seorang Muslim kini berarti layak
untuk mendapatkan pengawasan dan sasaran kecurigaan, maka saat itulah kita bisa
memahami makna sebenarnya dari Islamofobia.
Islamofobia bukanlah "fobia", ia lebih dari sekedar prasangka interpersonal.
Ia adalah pemahaman formal dan sistematis tentang Muslim sebagai kriminal;
pemahaman bahwa "Muslimness", "kemusliman", adalah penyebab kekerasan.
Pemahaman ini berarti bahwa hak-hak umat Islam dapat terkikis dan dilanggar
tanpa banyak protes dari masyarakat.

21

Edisi 19 / Desember 2017

SYAMINA
Muslim dapat ditahan tanpa tuduhan, diberhentikan dan diselidiki tanpa
kesahalan, meningkatkan penyensoran terhadap Muslim tanpa dilihat sebagai
pelanggaran hak berbicara, normalisasi serangan fisik dan verbal terhadap Muslimah.
Itu semua adalah dampak dari Islamofobia, yang menyalahkan umat Islam
padahal mereka sendiri adalah korban. Islamofobia memungkinkan kita untuk
menghindari pertanggungjawaban atas terorisme yang dilakukan oleh pihak selain
Muslim, mendorong kita untuk tidak menanggapi kebijakan luar negeri Barat dan
perlakuan mereka terhadap Muslim, baik di dalam maupun luar negeri.
Oleh karena itu, kita tidak dapat meningkatkan kesadaran tentang Islamofobia
tanpa meningkatkan kesadaran tentang sifat cacat inheren yang ada pada agenda
anti-terorisme/kontra-radikalisasi. Memahami Islamofobia hanya sebagai bias
dan ketakutan individu akan membuat kita terus menyembunyikan fakta bahwa
Islamofobia adalah kesalahan penerapan keadilan yang semakin struktural dan
sangat disengaja, pembalikan arah keluhan politik, pembenaran perang ilegal dan
pemindahan kekerasan.
Mereka yang mengatakan "berhenti meneriakkan Islamofobia dan fokus pada
terorisme" tidak paham, bahwa mengakui terjadinya Islamofobia bukanlah masalah
yang bisa dipisahkan dari apa yang disebut sebagai "kekerasan teroris". Pemahaman
kita terhadap kekerasan semacam itu cacat, dan oleh karena itu justru tidak akan
"melawan" kekerasan. Bukannya mendukung usaha untuk mencari tahu penyebab
kekerasan, namun justru menyemarakkan Islamofobia, sebuah keyakinan yang
diterima secara institusional bahwa semua Muslim secara inheren melakukan
kekerasan dan karenanya pantas dicurigai, diperlakukan secara diskriminatif dan
tidak dimanusiakan. Inilah fondasi yang memungkinkan setiap bentuk Islamofobia.
Ketakutan adalah musuh sejati kita. Ketakutan telah menguasai dunia kita.
Ketakutan digunakan sebagai alat untuk memanipulasi masyarakat. Ia adalah cara
para politisi menjajakan kebijakan dan menjual sesuatu yang sejatinya tidak kita
perlukan.

22

SYAMINA

Edisi 19 / Desember 2017

DAFTAR PUSTAKA
Wajahat Ali, Eli Clifton, Matthew Duss, Lee Fang, Scott Keyes, and Faiz Shakir,
"Fear, Inc.: The Roots of the Islamophobia Network in America" (Washington,
D.C.: Center for American Progress, 2011), http://www.americanprogress.org/
issues/2011/08/pdf/islamophobia.pdf
https://www.runnymedetrust.org/projects-and-publications/past-projects/
commissionOnBritishMuslims.html
https://www.politico.eu/article/robert-fico-islam-no-place-news-slovakia-muslimrefugee/
https://www.amnesty.org/en/latest/campaigns/2017/01/dangerouslydisproportionate/
https://www.haaretz.com/opinion/1.825740
https://www.haaretz.com/opinion/1.825275
https://www.haaretz.com/.premium-1.769364
Inventing terrorists: the nexus of intelligence and Islamophobia, http://www.
tandfonline.com/doi/abs/10.1080/17539153.2017.1351597
http://www.cair.com/press-center/press-releases/13618-new-cair-uc-berkeleyreport-reveals-funding-negative-impact-of-islamophobic-groups-in-america.
html
http://www.aljazeera.com/indepth/features/2016/06/report-islamophobia-multimillion-dollar-industry-160623144006495.html
Council on American-Islamic Relations (CAIR) and the University of California,
Confronting Fear: Islamophobia and its Impact in the United States, Juni 2016
http://www.pewresearch.org/fact-tank/2017/11/15/assaults-against-muslims-inu-s-surpass-2001-level/
http://www.aljazeera.com/indepth/features/2016/06/report-islamophobia-multimillion-dollar-industry-160623144006495.html
Hassan Shibly, "CAIR-Florida Exposes Link Between Senator Alan Hays' Islamophobia
and Anti-Muslim Legislation," Cairflorida.org, April 2014.
Nathan Lean & John Esposito, ”The Islamophobia industry: How the right manufactures
fear of Muslims”, London: Pluto Press, 2012, h. 23
http://www.aljazeera.com/indepth/features/2017/06/groups-spread-hateislamophobia-industry-170610092856852.html

23