T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hak Atas Air Bersih dan Aman sebagai Hak Asasi Manusia T1 BAB II

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Hak Asasi Manusia
Makna dari suatu konsep dalam konteks atau dunia akademik, umumnya
dibangun oleh para pakar berdasarkan hasil-hasil penelitian dan pengalaman mereka,
yang kemudian disampaikan dalam bentuk definisi atau pengertian tertentu, bahkan
ada dalam berbagai ketentuan hukum seperti undang-undang. Hal ini juga terjadi
dengan pengertian-pengertian tentang Hak Asasi Manusia.
Berikut ini ada beberapa pengertian tentang Hak Asasi Manusia.
1. Soetandyo Wignjosoebroto
“Hak-hak mendasar (fundamental) yang diakui secara universal sebagai hak-hak
yang melekat pada manusia karena hakikat dan kodratnya sebagai manusia.”1
2. Muladi
“HAM adalah hak yang melekat secara alamiah (inherent) pada diri manusia sejak
lahir, dan tanpa hak tersebut manusia tidak dapat tumbuh dan berkembang sebagai
manusia yang utuh.”2
3. Rahayu
“Hak-hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal
dan langgeng. Sebagai konsekuensinya, hak-hak tersebut harus dilindungi,


1

Soetandyo Wignjosoebroto (2003), Hak-hak Asasi Manusia: Konsep Dasar Dan Pengertiannya Yang
Klasik Pasa Masa masa Awal Perkembangannya dalam Toleransi Keragaman, Dalam: Rahayu,
Hukum Hak Asasi Manusia (HAM) , Universitas Diponegoro, Semarang, Cet. II, 2012, h. 2.
2
Muladi (2002), Hak Asasi Manusia Dan Reformasi Hukum Indonesia, dalam: Ibid .
12

dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas siapa
pun.”3
4. Maidin Gultom
“Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak-hak yang melekat pada manusia
yang mencerminkan martabatnya, yang harus memperoleh jaminan hukum, sebab
hak-hak hanya dapat efektif apabila hak-hak itu dapat dilindungi hukum”.4
5. Zainal Abidin
“HAM adalah hak-hak yang melekat pada semua manusia, tidak membedakan
kebangsaan, tempat tinggalnya, jenis kelaminnya, asal usul kebangsaaan dan
etnisitas, warna kulit, agama atau keyakinan, bahasa, atau status-status lainnya.”5
6. Jack Donnely

"Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia
manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh
masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan
martabatnya sebagai manusia."6
7. Menurut UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
“Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,

3

Ibid.
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Di
Indonesia , PT Refika Aditama, Bandung, 2008, h. 7.
5
Zainal Abidin, Perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia , 13 Juni 2013, Lihat:
http://pamflet.or.id/upload/community/document/Perlindungan_Hak_Asasi_Manusia_di_Indonesia
.pdf ;
Dikunjungi pada 2 Juli 2015, pukul 14.12 WIB.
6

Rhona K.M. Smith, Hak Asasi Manusia , PUSHAM – Pusat Studi Hak Asasi Manusia – Universitas
Islam Indonesia, Yogyakarta, 2008, h. 28.
4

13

hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia.”7
Dari beberapa pengertian HAM tersebut, penulis berpandangan bahwa HAM adalah
hak yang dimiliki oleh setiap manusia, sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa,
semata-mata karena ia adalah manusia. HAM bersifat universal.

B. Generasi HAM
Karel Vasak, seorang ahli hukum dari Perancis, memahamkan dengan lebih
baik perkembangan substansi hak-hak yang Terkandung dalam konsep hak asasi
manusia. Vasak menggunakan istilah “generasi” untuk menunjuk pada substansi dan
ruang lingkup hak-hak yang diprioritaskan pada satu kurun waktu tertentu. Ahli
hukum dari Perancis itu membuat kategori generasi berdasarkan slogan Revolusi
Perancis yang terkenal itu, yaitu: “kebebasan, persamaan, dan persaudaraan”.8
Menurut Vasak, masing- masing kata dari slogan itu, sedikit banyak

mencerminkan perkembangan dari kategori- kategori atau generasi-generasi hak yang
berbeda.
Penggunaan istilah “generasi” dalam melihat perkembangan hak asasi manusia
memang bisa menyesatkan. Tetapi model Vasak tentu saja tidak dimaksudkan sebagai
representasi dari kehidupan yang riil, model ini tak lebih dari sekedar suatu ekspresi
dari suatu perkembangan yang sangat rumit.
Bagaimana persisnya generasi-generasi hak yang dimaksud oleh Vasak? Di
bawah ini garis-garis besarnya dielaborasi lebih lanjut.

7

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia .
Karel Vasak, A -Year Struggle: The Sustained Efforts to Give Force of Law to the Universal
De laratio of Hu a Rights , U esco Courier, November, 1977, p. 29-32; sebagaimana ada dalam
Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi (Penyunting/Editor); Hukum Hak Asasi
Manusia/Rhona K. M. Smith, at.al.--- Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008, h. 14 – 17.

8

14


1. Generasi Pertama HAM: Hak-hak Sipil dan Politik.
“Kebebasan” atau “hak-hak generasi pertama” sering dirujuk untuk mewakili hakhak sipil dan politik, yakni hak-hak asasi manusia yang “klasik”. Hak-hak ini
muncul dari tuntutan untuk melepaskan diri dari kungkungan kekuasaan
absolutisme negara dan kekuatan-kekuatan sosial lainnya sebagaimana yang
muncul dalam revolusi hak yang bergelora di Amerika Serikat dan Perancis pada
abad ke-17 dan ke-18. Karena itulah hak-hak generasi pertama itu dikatakan
sebagai hak-hak klasik.
Hak-hak tersebut pada hakikatnya hendak melindungi kehidupan pribadi manusia
atau menghormati otonomi setiap orang atas dirinya sendiri (kedaulatan individu).
Termasuk dalam generasi pertama ini adalah hak hidup, keutuhan jasmani, hak
kebebasan bergerak, hak suaka dari penindasan, perlindungan terhadap hak milik,
kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan, kebebasan untuk berkumpul dan
menyatakan pikiran, hak bebas dari penahanan dan penangkapan sewenangwenang, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari hukum yang berlaku surut, dan
hak mendapatkan proses peradilan yang adil.
Hak-hak generasi pertama itu sering pula disebut sebagai “hak-hak negatif”.
Artinya tidak terkait dengan nilai-nilai buruk, melainkan merujuk pada tiadanya
campur tangan terhadap hak-hak dan kebebasan individual. Hak-hak ini menjamin
suatu ruang kebebasan di mana individu sendirilah yang berhak menentukan
dirinya sendiri.

Hak-hak generasi pertama ini dengan demikian menuntut ketiadaan intervensi
oleh pihak-pihak luar (baik negara maupun kekuatan-kekuatan sosial lainnya)
terhadap kedaulatan individu. Dengan kata lain, pemenuhan hak-hak yang
dikelompokkan dalam generasi pertama ini sangat tergantung pada absen atau

15

minusnya tindakan negara terhadap hakhak tersebut. Jadi negara tidak boleh
berperan aktif (positif) terhadapnya, karena akan mengakibatkan pelanggaran
terhadap hak-hak dan kebebasan tersebut. Inilah yang membedakannya dengan
hak-hak generasi kedua, yang sebaliknya justru menuntut peran aktif negara.
Hampir semua negara telah memasukkan hak-hak ini ke dalam konstitusi mereka.
2. Generasi Kedua HAM: Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
“Persamaan” atau “hak-hak generasi kedua” diwakili oleh perlindungan bagi hakhak ekonomi, sosial dan budaya. Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar negara
menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang, mulai dari
makan sampai pada kesehatan. Negara dengan demikian dituntut bertindak lebih
aktif, agar hak-hak tersebut dapat terpenuhi atau tersedia.9
Karena itu hak-hak generasi kedua ini dirumuskan dalam bahasa yang positif:
“hak atas” (“right to”), bukan dalam bahasa negatif: “bebas dari” (“freedom
from”). Inilah yang membedakannya dengan hak-hak generasi pertama. Termasuk


dalam generasi kedua ini adalah hak atas pekerjaan dan upah yang layak, hak atas
jaminan sosial, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas pangan, hak atas
perumahan, hak atas tanah, hak atas lingkungan yang sehat, dan hak atas
perlindungan hasil karya ilmiah, kesusasteraan, dan kesenian.
Hak-hak generasi kedua pada dasarnya adalah tuntutan akan persamaan sosial.
Hak-hak ini sering pula dikatakan sebagai “hak-hak positif”. Yang dimaksud
dengan positif di sini adalah bahwa pemenuhan hak-hak tersebut sangat
membutuhkan peran aktif negara. Keterlibatan negara di sini harus menunjukkan
tanda plus (positif), tidak boleh menunjukkan tanda minus (negatif). Jadi untuk
9

Lihat tulisan-tulisan yang disunting oleh Krzysztof, Catarina Krause & Allan Rosas (eds), Sosial Rights
as Human Rights: A European Challenge, Abo Academi University Institute for Human Rights, Abo,
1994; sebagaimana ada dalam Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi (Penyunting/Editor);
Ibid.
16

memenuhi hak-hak yang dikelompokkan ke dalam generasi kedua ini, negara
diwajibkan untuk menyusun dan menjalankan program- program bagi pemenuhan

hak-hak tersebut. Contohnya, untuk memenuhi hak atas pekerjaan bagi setiap
orang, negara harus membuat kebijakan ekonomi yang dapat membuka lapangan
kerja.
Sering pula hak-hak generasi kedua ini diasosiasikan dengan paham sosialis, atau
sering pula dianggap sebagai “hak derivatif” --yang karena itu dianggap bukan
hak yang “riil”.10 Namun demikian, sejumlah negara (seperti Jerman dan
Meksiko) telah memasukkan hak-hak ini dalam konstitusi mereka.
3. Generasi Ketiga HAM: Hak-hak Solidaritas.
“Persaudaraan” atau “hak-hak generasi ketiga” diwakili oleh tuntutan atas “hak
solidaritas” atau “hak bersama”.11 Hak-hak ini muncul dari tuntutan gigih negaranegara berkembang atau Dunia Ketiga atas tatanan internasional yang adil.
Melalui

tuntutan

atas

hak

solidaritas


itu,

negara-negara

berkembang

menginginkan terciptanya suatu tatanan ekonomi dan hukum internasional yang
kondusif bagi terjaminnya hak-hak berikut: (i) hak atas pembangunan; (ii) hak
atas perdamaian; (iii) hak atas sumber daya alam sendiri; (iv) hak atas lingkungan
hidup yang baik; dan (v) hak atas warisan budaya sendiri. Inilah isi generasi ketiga
hak asasi manusia itu.12 Hak-hak generasi ketiga ini sebetulnya hanya

10

Lihat: Maurice Cranston, What are Human Rights? Taplinger, New York, 1973, sebagaimana ada
dalam Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi (Penyunting/Editor); Ibid.
11
Simak pula tulisan Karel Vasak khusus tentang isu ini, For the Third Generation of Human Rights:
The Rights of Solidarity, Inaugural Lecture, Tenth Study Session of the International Institute of
Human Rights, 2 July 1979; sebagamana ada dalam Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi

(Penyunting/Editor); Ibid.
12
Philip Alsto , A Third Ge eratio of “olidarity Rights: Progressi e De elop e t or O fus atio of
I ter atio al Hu a Rights La , Netherla ds I ter atio al La Re ie , Vol , No.
, hl .
307- 322; sebagamana ada dalam Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi
(Penyunting/Editor); Ibid.
17

mengkonseptualisasi kembali tuntutan-tuntutan nilai berkaitan dengan kedua
generasi hak asasi manusia terdahulu.
Di antara hak-hak generasi ketiga yang sangat diperjuangkan oleh negara- negara
berkembang itu, terdapat beberapa hak yang di mata negara-negara barat agak
kontroversial.13
Hak-hak itu dianggap kurang pas dirumuskan sebagai “hak asasi”. Klaim atas hakhak tersebut sebagai “hak” baru dianggap sahih apabila terjawab dengan
memuaskan pertanyaan- pertanyaan berikut: siapa pemegang hak tersebut,
individu atau negara?; siapa yang bertanggungjawab melaksanakannya, individu,
kelompok atau negara? Bagaimana mekanisme pelaksanaannya?
Pembahasan terhadap pertanyaan- pertanyaan mendasar ini telah melahirkan
keraguan dan optimisme di kalangan para ahli dalam menyambut hak-hak

generasi ketika itu.14
Tetapi dari tuntutannya jelas bahwa pelaksanaan hak-hak semacam itu--jika
memang bisa disebut sebagai “hak”-- akan bergantung pada kerjasama
internasional, dan bukan sekedar tanggungjawab suatu negara.

13

Peter R. Baehr, Hak-hak Asasi Manusia dalam Politik Luar Negeri, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,
1998, hlm. 9; sebagamana ada dalam Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi
(Penyunting/Editor); Ibid.
14
Pembahasan tentang hak-hak generasi ketiga, baik yang bernada meragukan maupun yang
Bernada optimis, tumbuh dengan subur. Beberapa diantaranya, Subrata Roy, Erik M.G. Denters &
Paul J/.I.M. de Waart (eds), The Rights to Development in International Law, Martinus Nijhoff
Pu lishers, Dordre ht,
. Philip Alsto , Maki g “pa e for Ne Hu a Rights: The Case of the
Rights to De elop e t , Har ard Hu a Rights Year ook, Vol. ,
. Ja es Cra ford ed , The
Rights of Peoples, Clarendon Oxford: Press, 1988. Dan Jan Bertin et.al. (eds), Human Rights in a
Plural World: Individuals and Colletivities, Meckler, Westport and London, 1990. Perhatikan Knut D.
Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi (Penyunting/Editor); Ibid.
18

C. Kepentingan Umum
Joshua Getzler, dengan mengacu pada hukum romawi (roman law) membagi
kepentingan umum ke dalam 4 (empat) kategori, yakni:15
1. Res communes: Sesuatu yang secara alamiah kepunyaan semua orang, misalnya
udara, air, laut dan lepas pantai,
2. Res publicae: Seperti misalnya : sungai, pelabuhan pemerintah yang semua orang
dapat mengakses secara bebas,
3. Res universitatis: Lawan dari kepemilikan privat spserti : gedung pertunjukan
rakyat, tempat hiburan rakyat yang dibutuhkan oleh semua warga negara,
4. Res nullius:
a. Res nullius, divini iuris,
Keperluan suci, agama, sesuatu yang disakralkan dan tidak dapat dimiliki oleh
semua orang. Sesuatu yang disucikan tidak dapat menjadi bagian dari hak
individu.
b. Res nullius, humani iuris,
Binatang liar ikan, burung, makhluk hidup baik yang hidup di air, laut, tanah,
dan ruang angkasa yang merupakan hak publik, dan semua orang bisa
mengambil dan mempunyainya.
Edward Beimborn memasukkan public utilities menjadi bagian dari public
facilities dalam artinya yang luas Types of Public Facilities:16

1. Public utilities:
a. Water supply;
b. Sanitary sewer;
c. Storm-water sewer.
2. Public Facilities and services:
a. Administrative and services offices;
b. Fiire and police stations;
c. Libraries;
d. Schools;
e. Park and playgrounds;
15

Sebagaimana dikutip oleh Koentjoro Poerbopranoto. Sedikit Tentang Sistem Pemerintahan
Demokrasi. Eresco. Jakarta. 1975. h: 85; dan selanjutnya dikutip oleh Gunanegara, Rakyat & Negara
Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan; PT Tatanusa. Jakarta, 2008, h. 41 – 42.
16
Edward Beimborn dalam Gunanegara; Ibid, h. 44 – 45.
19

f. Solid waste collection.
Beranjak dari cita-tujuan negara, ada 13 (tiga belas) kriteria yang
dipergunakan oleh hukum positif Indonesia, serta konsepsi kepentingan umum yang
dianut dalam hukum romawi, dan dengan memperhatikan pendapat beberapa ahli
hukum, ditemukan syarat yang harus dipenuhi guna menetapkan kepentingan umum.
Kriteria kepentingan umum yang dipergunakan oleh hukum positif Indonesia,
adalah:17
1. Kepentingan bangsa;
2. Kepentingan negara;
3. Kepentingan rakyat banyak/masyarakat luas;
4. Kepentingan pembangunan;
5. Kepentingan perekonomian negara;
6. Kepentingan pertahanan;
7. Kepentingan keamanan;
8. Kepentingan kesejahteraan/kemakmuran masyarakat;
9. Kepentingan cagar budaya;
10. Kepentingan lingkungan hidup;
11. Kepentingan yang ditetapkan oleh pemerintah;
12. Dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; dan
13. Dimiliki Pemerintah.
Koentjoro Poerbopranoto dengan mengacu pada hasil penelitian Universitas
Gadjah Mada, bahwa kepentingan umum sebagai panduan sifat pasif dan aktif serta
negatif dan positif pemerintahan itu dapat diperinci secara berikut:18
1.
2.

3.

4.

5.

17
18

Memelihara kepentingan umum, yang khusus mengenai kepentingan negara.
Contoh: tugas pertahanan dan keamanan;
Memelihara kepentingan umum dalam arti kepentingan bersama daripada
warganegara yang tidak dapat dipelihara oleh warganegara sendiri. Contoh :
persediaan sandang-pangan, perumahan, kesejahteraan dan lain-lain;
Memelihara kepentingan bersama yang tidak seluruhnya dapat dilakukan oleh
para warganegara sendiri, dalam bentuk bantuan negara. Contoh : pendidikan dan
pengajaran, kesehatan dan lain-lain;
Memelihara kepentingan daripada warganegara perseorangan yang tidak
seluruhnya dapat diselenggarakan oleh warganegara sendiri, dalam bentuk
bantuan negara adakalanya negara memelihara seluruh kepentingan perseorangan
itu. Contoh : fakir-miskin, anak yatim, anak cacat dan lain-lain; dan
Memelihara ketertiban, keamanan, dan kemakmuran setempat. Contoh : peraturan
lalu-linas, pembangunan, perumahan dan lain-lain.

Gunanegara; Ibid, h. 76 – 77.
Koentjoro Poerbopranoto dalam Gunanegara; Ibid, h. 78 – 79.
20

Bagir Manan yang menyatakan bahwa esensi persoalan terletak pada definisi
kepentingan umum dan jaminan kompensasi bagi masyarakat, pemerintah
dimungkinkan mencabut hak milik pribadi demi kepentingan umuml, dan hampir
seluruh negara mempunyai peraturan seperti itu. Selanjutnya dijelaskan agar tidak
disalahgunakan, maka makna kepentingan umum harus dirumuskan dan kepentingan
umum adalah kepentingan orang banyak yang untuk mengaksesnya tidak
mensyaratkan beban tertentu.
Dicontohkan oleh Bagir Manan, bahwa yang dimaksud kepentingan umum
adalah seperti pembangunan pembuatan jembatan – yang semua orang bisa
melewatinya tanpa harus membayar, berbeda dengan hotel meskipun untuk umum
tetapi orang harus membayar untuk memasukinya. Karena itu, harus ada kriteria
khusus dan tegas sehingga pelaksanaan kepentingan umum tidak akan berakhir
menjadi kepentingan bisnis.19
Maria S.W. Soemardjono yang menyatakan bahwa kategori kepentingan
umum adalah dilakukan pemerintah untuk masyarakat dan tidak bertujuan untuk
mencari keuntungan.20
Philipus M. Hadjon, et al berpendapat bahwa untuk kepentingan umum,
apabila barang-barang yang diperuntukkan untuk umum dan dimiliki pemerintaah
masuk dalam domein publik. Kriteria kepemilikan oleh Negara yang dikemukakan
oleh Philipus M. Hadjon sejalan dengan pendapat Harold J. Luski yang menyatakan
bahwa untuk kepentingan umum apabila dimiliki oleh negara.21
Berdasarkan pada kriteria kepentingan yang dipergunakan oleh hukum positif
Indonesia, hukum romawi, pendapat para ahli hukum dan jenis kepentingan umum di
19

Bagir Manan dalam Gunanegara; Ibid, h. 79.
Maria S.W Soemardjono dalam Bagir Manan; Ibid.
21
Filipus M Hadjon dalam Bagir Manan; Ibid.

20

21

beberapa negara , Gunanegara menemukan persyaratan yang sama yang apabila
diklasterisasi menjadi 6 (enam) syarat kepentingan umum, yakni :
1. Dikuasai dan/atau dimiliki oleh negara;
2. Tidak boleh diprivatisasi;
3. Tidak boleh untuk mencari keuntungan;
4. Untuk kepentingan lingkungan hidup;
5. Untuk tempat ibadah/tempat suci lainnya; dan
6. Ditetapkan dengan undang-undang.22

22

Gunanegara; Ibid, h. 79 – 80.
22

D. Tanggungjawab Negara
Meriam

Webster’s

Online

Dictionary

mendefinisikan

kata

pertanggungjawaban (responsibility) sebagai berikut:
1. the state of being the person who caused something to happen;
2. a duty or task that you are required or expected to do;
3. something that you should do because it is morally right, legally required, etc.23
Dengan demikian maka hakekat dan pentingnya pertanggungjawaban
berhubungan dengan keadaan dan orang yang membuat sesuatu terjadi, tugas yang
harus dilakukan, serta sesuatu yang harus dilakukan karena benar secara moral dan
diperlukan secara hukum.
Sedangkan mengenai negara, kata “negara” sendiri adalah istilah untuk
menyebut suatu entitas atau organisasi yang telah umum dikenal oleh manusia di
berbagai tempat dan dalam waktu yang sudah lama, walaupun secara teoritik dan
apalagi praktek, tidak selalu mudah menemukan pengertian yang sama, terutama
karena kepentingan nasional negara-negara senyatanya juga berbeda.
Sebagai contoh, Mac Iver dalam bukunya berjudul Modern State, menulis
bahwa

negara

(dipertentangkan).

dijadikan

objek

Disebutkannya

pendefinisian

yang

antara

Pertama,

lain:

paling

kontroversial

beberapa

penulis

mendefinisikan negara adalah struktur kelas (a class structure) yaitu suatu organisasi
dari suatu kelas yang mendominasi atau menguasai kelas lain dan berdiri pada seluruh
komunitas. Penulis lainnya, mendefinisikan negara adalah organisasi yang melebihi
kelas dan berdiri di atas seluruh komunitas. Kedua, mendefinisikan negara adalah
suatu sistem kekuasaan (a power system). Pakar yang lainnya mendefinisikan negara

Merria We ster’s; O li e Di tio ary; Lihat:
http://www.merriamwebster.com/dictionary/responsibility ; Dikunjungi pada Minggu 04 Oktober
2015, pukul 22.14 WIB.
23

23

sebagai suatu sistem kesejahteraan (a welfare-system). Ketiga, sebagian ahli
mengonstruksikan negara sepenuhnya sebagai suatu konstruksi hukum, seperti yang
dikemukakan oleh Austinian, yaitu memahami negara adalah hubungan antara yang
memerintah dan yang diperintah; atau dalam modern jurisprudence, didefinisikan “a
state as a community organized for action under legal rules ”. Dan keempat, yaitu

menyamakan negara dengan bangsa, sedangkan yang lainnya menyatakan negara
identik dengan nasionalitas atau kebangsaan; hal yang dapat menyesatkan hakekat dan
fungsi negara.24
Negara sebagai fenomena yang kompleks juga terungkap pada berbagai
peranan yang dimainkan negara. Negara sekurang-kurangnya memainkan 3 (tiga)
peranan, yaitu:25
1. Negara sebagai sistem pembuatan keputusan yang otoritatif sebagaimana terlihat
rumusan yang diutarakan Nordlinger dan Krasner.
2. Negara sebagai prdusen barang-barang kolektif dan yang dapat didistribusikan.
3. Negara sebagai perantara berbagai kepentingan yang bersaingan dalam
masyarakat seperti terungkap dalam rumusan yang diutarakan Marenin.
Pertanggunggungjawaban Negara merupakan suatu prinsip fundamental dalam
hukum internasional yang bersumber dari doktrin kedaulatan dan persamaan hak antar
negara. Tanggung jawab negara timbul bila ada pelanggaran atas suatu kewajiban
internasional untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, baik kewajiban

Lihat Mac Iver dalam I Dewa Gede Atmadja, Ilmu Negara — Sejarah, Konsep Negara dan Kajian
Kenegaraan; Setara Press, Malang; Edisi Revisi, Cetakan Pertama, Maret 2012, h. 19 – 20.
25
Bert A Rockman; Minding The State or A State of Mind?: Isues in the Comparative
Conceptualization of the State, Comparative Political Studies, Vol. 23, No. 1, April 1990, p. 30;
sebagaimana ada dalam Ramlan Surbakti; Perspektif Kelembagaan Baru Mengenai Hubungan Negara
dengan Masyarakat; Jurnal Ilmu Politik, No. 14, Kerjasama Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) dan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI); Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993, h.
8.
24

24

tersebut berdasarkan suatu perjanjian internasional maupun hukum kebiasaan
internasional.26
Dengan menggunakan istilah pertanggungjawaban negara, F. Sugeng Istanto
mengartikan tanggung jawab negara sebagai: “...kewajiban memberikan jawaban
yang merupakan perhitungan atas suatu hal yang terjadi dan kewajiban untuk
memberikan pemulihan atas kerugian yang mungkin ditimbulkannya.”27

E. Konsepsi Air Bersih dan Aman
Dalam salah satu terbitannya, World Health Organization (WHO), antara lain
menyebutkan bahwa:
“That water intended for human consumption must be free from chemical substances
and micro-organisms in amounts which would provide a hazard to health is
universally accepted. Supplies of drinking-water should not only be safe and free
from dangers to health, but should also be as aesthetically attractive as possible.
Absence of turbidity, colour and disagreeable or detectable tastes and odours is
important in water-supplies intended for domestic use. The location, construction,
operation and supervision of a water-supply-its sources, reservoirs, treatment and
distribution-must exclude all potential sources of pollution and contamination.”28
(Air yang ditujukan untuk konsumsi manusia harus bebas dari bahan-bahan kimia dan
mikroorganisme dalam jumlah yang akan memberikan suatu bahaya terhadap
kesehatan adalah diterima secara universal. Kebutuhan air minum seharusnya tidak
hanya aman dan terbebas dari bahaya kesehatan, tapi juga harus tampak menarik
secara estetis. Tidak adanya kekeruhan, warna dan selera dan bau yang tidak
menyenangkan atau terdeteksi penting dalam pasokan air yang ditujukan untuk
keperluan rumah tangga. Lokasi, konstruksi, operasi dan pengawasan pasokan air –

26

Ian Brownlie, Principles of Public International Law, Clarendon Press, Oxford, 1979, p. 431 dalam
Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, Rajawali, Jakarta, 1991, h. 174.
27
F. Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 1998, h. 77.

WHO; International Standards for Drinking – Water; Palais Des Nations, Geneva, 1958, p. 9; Lihat uraiannya
dalam: http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/43845/1/a91160.pdf
Dikunjungi pada Rabu 26 April 2017 pukul 22. 48 WIB.
28

25

sumber-sumbernya, waduk, perawatan dan distribusinya- harus meniadakan semua
sumber-sumber potensial dari pencemaran dan kontaminasi)
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan No 416 Tahun 1990 tentang Syarat-syarat
dan Pengawasan Kualitas Air, antara lain diatur bahwa:
1. Pasal 1 Huruf a: Air adalah air minum, air bersih, air kolam renang, dan air
pemandian umum.
2. Pasal 1 Huruf b: Air minum adalah air yang kualitasnya memenuhi syarat
kesehatan dan dapat langsung diminum.
3. Pasal 1 Huruf c: Air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari
yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah
dimasak.
Sedangkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 492
Tahun 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum antara lain diatur bahwa:
1. Pasal 1 Angka 1: Air minum adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa
proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum.
2. Pasal 2: Setiap penyelenggara air minum wajib menjamin air minum yang
diproduksinya aman bagi kesehatan.
3. Pasal 3 ayat (1): Air minum aman bagi kesehatan apabila memenuhi persyaratan
fisika, mikrobiologis, kimiawi, dan radioaktif yang dimuat dalam parameter wajib
dan parameter tambahan.

26