Perbedaan proporsi simptom depresi dan kecemasan pada pasien multi drug resistant tuberculosis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Multi Drug Resistant
2.1.1 Definisi Multi Drug Resistant
Multi Drug Resistant didefinisikan sebagai penyakit yang disebabkan oleh
kuman tuberkulosis yang resisten paling sedikit terhadap rifampicin dan isoniazid
dengan atau tanpa resisten terhadap obat lain (PDPI, 2011).

2.1.2. Struktur Dan Morfologi Kuman TB
Basil tuberkulosis termasuk dalam genus Mycobacterium, dan merupakan
satu-satunya genus dari famili Mycobacteriaceae. Yang termasuk dalam famili
Mycobacteriaceae

ada

empat

spesies,

yaitu


M.tuberculosis,

M.bovis,

M.africanum, dan M.microt (Fishman, et al, 2008). M.tuberculosis berbentuk
batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri
ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 µm dan panjang 1 – 4 µm. Dinding M.tuberculosis
sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi 60%). Penyusun utama
dinding sel M.tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes),
trehalosa dimikolat yang disebut “cord factor”, dan M.sulfolipids yang berperan
dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60 –
C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan
dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada
dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan
arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri
M.tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai, tahan terhadap
upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam alkohol. Komponen
antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid,
polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M.tuberculosis dapat diidentifikasi

dengan menggunakan antibodi monoclonal (PDPI, 2011).

6
Universitas Sumatera Utara

Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat molekul 14 kDa
(kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan sensitiviti dan spesivisiti
yang bervariasi dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigen
M. tuberculosis dalam kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi
(somatik). Antigen yang disekresi hanya dihasilkan oleh basil yang hidup,
contohnya antigen 30.000 α, protein MTP 40 dan lain lain (Palomino et al, 2007).
2.1.3. Patogenesis
Penularan penyakit TB terjadi melalui hubungan dekat antara pasien dan
orang yang tertular (terinfeksi). Penyebaran TB bisa melalui droplet yang
mengandung kuman TB pada saat batuk. Droplet dapat terbang di udara kurang
lebih selama dua jam tergantung pada kualitas ventilasi ruangan. Jika droplet tadi
terhirup oleh orang lain yang sehat, droplet akan masuk ke dinding sistem
pernapasan. Droplet berdiameter besar akan masuk pada saluran napas bagian atas
dan droplet yang berdiameter kecil akan masuk ke alveoli di seluruh paru. Pada
tempat masuknya, kuman tuberkulosis akan membentuk suatu fokus infeksi

primer berupa tempat pembiakan kuman tuberkulosis sehingga tubuh pasien akan
memberikan reaksi inflamasi. Kuman TB yang masuk tadi akan mendapatkan
perlawanan dari tubuh, jenis perlawanan tubuh tergantung pada pengalaman
tubuh, yaitu pernah mengenal kuman TB atau belum (Blanc et al, 2010).
Terapi yang tidak adekuat dapat disebabkan oleh konsumsi hanya satu jenis
obat TB saja (monoterapi direk) atau konsumsi obat TB kombinasi tetapi hanya
satu saja yang sensitiv terhadap basil tersebut (indirek monoterapi), selanjutnya
resistensi sekunder (dapatan) terjadi (Leitch, 2000).
a.

Mekanisme terjadinya resistensi
Pada Mycobacterium tuberculosis (Mtb) belum pernah dilaporkan adanya
plasmid pembawa resistensi, karena itu resistensi Mtb terhadap OAT tidak
dipindahkan dari satu kuman ke kuman lain. Dengan kata lain, terjadinya
resistensi Mtb terhadap OAT terutama terjadi karena mutasi genetik pada Mtb
sendiri, dan mutasi ini terjadi secara alami, tidak dibawah tekanan OAT.

7
Universitas Sumatera Utara


Penyebaran resistensi Mtb terjadi pasca amplifikasi kuman resisten sebagai
akibat inadequatnya obat disekitar kuman (Agus, 2010).
b.

Mekanisme terjadinya resistensi obat rifampisin
Rifampisin merupakan obat yang aktif terhadap Mtb yang tumbuh dan juga
aktif terhadap Mtb dalam fase stasioner. Daya antibakterial rifampisin terjadi
melalui hambatan sintesa RNA, yaitu dengan jalan berikatan pada RNA
(Ribonucleic acid) polimerase kuman. RNA polimerase ini merupakan
oligomer yang tersusun dari empat ratai. yaitu 2 rantai alfa dan satu rantai
beta dan satu rantai beta nascen. Tiap rantai disandi dengan rantai beta
disandi oleh ben rpobeta (Agus, 2010).
Pada Mtb, resistensi terhadap rifampisin terjadi pada satu dari sepuluh sampai
seratus juta kuman. Resistensi pada > 95% Mtb terhadap rifampisin terjadi
akibat mutasi pada gen rpobeta. Mutasi masif pada gen rpobeta akan
menyebabkan tingkat resistensi tinggi dan resistensi silang terhadap semua
anggota golongan rifampisin. Umumnya mutasi terjadi selektif dan sebagian
besar terjadi pada kodon 511,516,518 dan 522. Mutasi pada kodon tersebut
akan menyebabkan resistensi silang pada rifapentin, tetapi tidak pada
rifabutin. Resistensi tingkat lebih rendah terjadi akibat mutasi pada kodon

L176F (Agus, 2010).

c.

Mekanisme terjadinya resistensi obat isoniazid
INH adalah obat yang aktif terhadap Mtb yang membelah dan tidak aktif
terhadap Mtb dalam fase stasioner. INH juga tidak bekerja dalam suasana
anaerob, INH adalah “ prodrug “ yang masuk ke dalam kuman dengan cara
pasif. Prodrug selanjutnya akan diubah oleh katalase G Mtb menjadi bentuk
aktif. Aktifasi menghasilkan berbagai oksigen dan senyawa reaktif yang
menyerang target di dalam kuman, yaitu sintesa asam mikolat, metabolisme
NAD dan mungkin juga merusak DNA. Akbatnya kuman mudah lisis. Dalam
sintesa asam mikolat, diperlukan juga enoyl ACP reductase, NADH
dehydrogenase, dan alkyl hydroperoxidase. Secara berurutan enzim - enzim
tersebut disandi oleh berturut turut gen inhA, ndh dan ahpC. Sementara

8
Universitas Sumatera Utara

katalase disandi oleh gen katG. Selain itu, diketahui pula bahwa aktifitas gen

katG diatur oleh regulatornya yaitu gen furA (Agus, 2010).
Resistensi Mtb terhadap INH akibat hilangnya gen katG akan menyebabkan
resistensi tingkat tinggi, Fenomena ini jarang dan yang lebih sering terjadi
adalah mutasi noktah. Frequensi kuman resisten terhadap INH akibat dari
mutasi gen katG bervariasi antara 20-80%, tergantung asal Mtb. Diantara
berbagai mutasi pada katG, mutasi pada daerah S315T merupakan yang
tersering, teramati pada kira-kira 50% isolat. Mutasi pada S315T ini
menyebabkan aktifitas katalase berkurang 50% dan karena itu tingkat
resistensi yang ditimbulkannya cukup tinggi. Telah diketahui pula bahwa
aktfitas gen katG diatur oleh gen lain, yaitu gen furA. Mutasi gen furA telah
ditemukan pada mycobacteria lain, tetapi belum ditemukan pada Mtb mutasi
pada gen inhA yang telah teridentifikasi adalah pada “promoter”nya dan pada
gen strukturalnya. Resistensi pada inhA terjadi pada 15-43% isolat yang
resisten INH dan menyebabkan tingkat resistensi rendah, namun mutasi pada
inhA ini beresiko besar menyebabkan juga resistensi pada etambutol.
Berbagai lokus mutasi inhA penyebab resistensi terhadap INH telah
diketahui, diantaranya adalah pada lokus S94A, 121T dan 121V (Agus,
2010).
d.


Resistensi Etambutol
Resistensi etambutol umumnya dikaitkan dengan mutasi pada gen embB yang
merupakan gen yang mengkodekan untuk enzim arabinosiltransferase.
Arabinosiltransferase terlibat dalam reaksi polimerasi arabinoglikan.
Resistensi terjadi akibat mutasi yang menyebabkan ekspresi berlebih produksi
dari gen embB. Mutasi gen embB telah ditemukan pada 70% galur yang
resisten dan melibatkan pergantian posisi asam amino 306 atau 406 pada 90
% kasus. Resistensi segera timbul bila obat diberikan secara tunggal (WHO,
2014).

e.

Resistensi Pirazinamid
Pirazinamid sebagai bakterisida pada organisme metabolisme lambat dalam
suasana lingkungan asam diantara sel fagosit dan granuloma caseosa.

9
Universitas Sumatera Utara

Pirazinamid diduga oleh basil tuberkel dikonversikan menjadi produk zat

yang aktif yaitu asam pirazinoat. Pirazinamid diabsorbsi dengan baik melaui
saluran pencernaan. Resistensi pirazinamid terjadi oleh karena kehilangan
aktiviti pyrazinamidase sehingga tidak lagi dikonversikan menjadi asam
pirazinoat. Resistensi ini dihubungkan dengan terjadinya mutasi pada gen
pncA yang menyandikan enzim pyrazinamidase (Katzung, 2007).
f.

Resistensi Streptomisin
Merupakan aminoglikosida yang diisolasikan dari Streptomyces griseus.
Streptomisin menghambat sintesis protein dengan cara menimbulkan
gangguan pada ribosom. Dua per tiga galur yang resistensi terhadap
streptomisin diidentifikasi bahwa terjadi mutasi pada satu dari dua target
yaitu 16s rRNA (rrs) atau gen yang menyandi protein ribosom S12 (rpsL).
Kedua target ini yang diyakini terdapat ikatan ribosom streptomisin (Katzung,
2007).

2.1.4. Faktor penyebab resistensi OAT
Tuberkulosis resisten obat anti TB (OAT) pada dasarnya adalah suatu
fenomena buatan manusia sebagai akibat dari pengobatan yang tidak adekuat.
Faktor penyebab resistensi OAT terhadap kuman Mtb antara lain (PDPI,

2011):
1. Faktor mikrobiologik
a. Resisten yang natural
b. Resisten yang didapat
c. Amplifier yang didapat
d. Virulesi kuman
e. Tertular galur kuman MDR
2. Faktor klinik
a. Penyelenggara kesehatan
keterlambatan diagnosis, pengobatan yang tidak mengikuti pedoman,
penggunaan OAT yang tidak adekuat, tidak ada pemantauan pengobatan,
fenomena addition syndrome yaitu suatu obat yang ditambahkan pada

10
Universitas Sumatera Utara

satu paduan yang telah gagal, organisasi program nasional TB yang
kurang baik.
b. Obat
Pengobatan TB jangka waktunya yang lama yaitu lebih dari 6 bulan, obat

toksik menyebabkan efek samping sehingga pengobatan gagal sampai
selesai, obat tidak dapat diserap dengan baik misalnya rifampisin
diminum setelah makan atau diare, kualitas obat kurang baik, regimen
yang tidak tepat, harga obat mahal, pengadaan obat terputus.
c. Pasien
Pengawas Menelan Obat (PMO) tidak ada / kurang baik, kurangnya
informasi atau tidak ada penyuluhan, kurang biaya untuk berobat, efek
samping obat, sarana dan prasarana transportasi sulit / tidak ada,
gangguan penyerapan obat.
3. Faktor program
a. Tidak ada fasilitas biakan dan uji kepekaan
b. Amplifier effect
c. Tidak ada program DOTS
d. Program DOTS tidak berjalan baik
e. Memerlukan biaya yang besar
4. Faktor HIV / AIDS
a. Kemungkinan terjadi MDR-TB yang lebih besar
b. Gangguan penyerapan
c. Kemungkinan terjadi efek samping lebih besar
5. Faktor kuman

Kuman Mtb super strains dimana memiliki sifat yang sangat virulen, daya
tahan hidup lebih tinggi, berhubungan dengan MDR-TB.

2.1.5. Diagnosis MDR-TB
Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan bakteriologis, radiologis dan pemeriksaan penunjang lainnya. Gejala
klinis TB dibagi atas dua golongan, yaitu gejala respiratorius berupa batuk, batuk

11
Universitas Sumatera Utara

darah, sesak napas, dan nyeri dada. Gejala respiratorius sangat bervariasi dari
mulai yang tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari
luasnya lesi. Sedangkan gejala sistemik berupa demam, malaise, keringat malam,
anoreksia, dan penurunan berat badan (PDPI, 2011).
Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama di
daerah apeks dan segmen posterior. Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai antara
lain suara napas bronkhial, amforik, suara napas melemah, ronkhi basah, tanda tanda penarikan paru, diafragma dan organ mediastinum (PDPI, 2011).
Pasien yang dicurigai kemungkinan MDR-TB adalah (PDPI, 2011):
1. Kasus TB paru dengan gagal pengobatan pada kategori 2, dibuktikan dengan
rekam medis sebelumnya dan riwayat penyakit dahulu.
2. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan
dengan kategori 2.
3. Pasien TB yang pernah diobati di fasilitas non DOTS, termasuk yang mendapat
OAT lini kedua seperti kuinolon dan kanamisin.
4. Pasien TB paru yang gagal pengobatan kategori 1.
5. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan
dengan kategori 1.
6. TB paru kasus kambuh.
7. Pasien TB yang kembali setelah lalai/default pada pengobatan kategori 1 dan
atau kategori 2.
8. Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat dengan pasien MDR-TB
konfirmasi, termasuk petugas kesehatan yang bertugas dibangsal MDR-TB.
9. TB HIV
Pasien yang memenuhi kriteria suspek harus dirujuk ke laboratorium dengan
jaminan mutu eksternal yang ditunjuk untuk pemeriksaan biakan dan uji
kepekaan obat. Diagnosis MDR-TB dipastikan berdasarkan uji kepekaan. Jika
hasil uji kepekaan terdapat Mtb yang resisten minimal terhadap rifampisin dan
INH maka dapat ditegakkan diagnosis MDR-TB .

12
Universitas Sumatera Utara

Metode pemeriksaan yang dilakukan untuk diagnosis MDR-TB adalah (PDPI,
2011):
1. Metode konvensional uji resistensi obat
WHO mendukung penggunaan metode biakan media cair dan identifikasi
Mtb cara cepat dibandingkan media padat saja. Metode cair lebih sensitif
mendeteksi mikobakterium dan meningkatkan penemuan kasus sebesar 10%
dibandingkan media padat di samping lebih cepat memperoleh hasil sekitar
10 hari dibandingkan 28-42 hari dengan media padat.
2. Metode cepat uji resistensi obat (uji diagnostik molekular cepat)
Xpert assay dapat mengidentifikasi Mtb dan mendeteksi resisten rifampicin
dari dahak yang diperoleh beberapa jam, akan tetapi konfirmasi resisten obat
dengan uji kepekaan obat konvensional masih digunakan sebagai baku (gold
standart). Penggunaan Xpert MTB/RIF tidak menyingkirkan kebutuhan
metode biakan dan uji resistensi obat konvensional yang penting
menegakkan diagnosis definitive tb pada pasien dengan apus dan BTA
negatif dan uji resistensi obat untuk menetukan OAT lainnya selain
rifampisin. Metode ini bermamfaat untuk menyaring kasus suspek MDR-TB
secara cepat dengan pemeriksaan dahak. Pemeriksaan ini memiliki
sensivitas dan spesifisitas sekitar 99%.

2.1.6. Penatalaksanaan
Pada pengobatan MDR-TB, maka petugas kesehatan harus mengubah
kombinasi obat dengan menambahkan lini kedua. Obat ini memiliki efek samping
yang lebih banyak, pengobatan yang lebih lama, dan biaya mungkin 100 kali lebih
besar dibandingkan dengan lini pertama (Bayona et al, 2008).

2.1.7. Lama Pengobatan
Pengobatan MDR-TB memerlukan waktu yang lebih lama yaitu 18-24
bulan setelah konversi biakan. Pengobatan terdiri atas dua tahap yaitu tahap awal
dan tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan dengan lama
sekurang - kurangnya 6 bulan dan minimal 4 bulan setelah terjadi konversi

13
Universitas Sumatera Utara

biakan. Apabila pada akhir bulan kedelapan belum terjadi konversi maka disebut
gagal pengobatan. Tahap lanjutan adalah pemberian panduan OAT MDR tanpa
suntikan setelah menyelesaikan tahap awal (PDPI, 2011).

2.1.8. Cara Pemberian Obat
Pada tahap awal dengan suntikan diberikan 5 kali seminggu baik selama
rawat inap maupun rawat jalan. Dan untuk obat oral diminum dan ditelan setiap
hari didepan petugas kesehatan sedangkan pada hari libur diminum dan ditelan
didepan PMO. Untuk tahap lanjutan obat oral diberikan maksimum 1 minggu dan
diminum dan ditelan didepan PMO (PDPI, 2011).
WHO membagi pengobatan MDR-TB menjadi lima grup berdasarkan potensi
dan efikasinya (PDPI, 2011):
1. Kelompok pertama : pirazinamid dan etambutol paling efektif dan ditoleransi
dengan baik.
2. Kelompok kedua : injeksi kanamisin atau amikasin, jika alergi diganti dengan
kapreomisin atau viomisin yang bersifat bakterisidal.
3. Kelompok ketiga : fluoroquinolon diantaranya : levofloksasin, moksifloksasin,
ofloksasin yang bersifat bakterisidal tinggi.
4. Kelompok keempat : PAS, etionamid, protionamid, dan sikloserin merupakan
bakteriostatik lini kedua.
5. Kelompok

kelima

:

amoksisilin+asam

klavulanat,

makrolide

baru

(klaritromisin), dan linezolid, masih belum jelas efikasinya (PDPI, 2011).
Pilihan paduan OAT MDR saat ini adalah paduan terstandar (standardized
treatment) yaitu (PDPI, 2011):

6 Z(E)-Kn-Lfx-Eto-Cs / 18 Z(E)-Lfx-Eto-Cs
1. Kanamisin
Kanamisin berkaitan erat dengan antibiotik jenis aminoglikosida.
Kanamisin bekerja pada ribosom dan menghambat proses sintesis protein.
Kanamisin biasanya dapat diberikan secara intramuskular. Konsentrasi
serum harus berada dalam kisaran 15-20 mg/kg. Hati-hati pemberian pada

14
Universitas Sumatera Utara

ibu hamil dan ibu menyusui, penyakit ginjal, penyakit hati dan yeng
hipersensitif terhadap aminoglikosida. Efek samping yang dapat terjadi
adalah : gangguan pada saraf kedelapan,dan toksisitas ginjal. Gangguan
pendengaran, gangguan keseimbangan yang menetap, neuropati perifer.
Pemantauan terhadap penggunaan obat ini harus tetap dilakukan, antara
lain: pemeriksaan faal ginjal (serum kreatinin dan kalium), audiogram
bulanan untuk fungsi pendengaran (Kreider dan Rossman, 2000).
2. Amikasin
Sama halnya dengan kanamisin, amikasin juga berhubungan erat dengan
antibiotik aminoglikosida. Amikasin juga bekerja pada ribosom,
penghambatan sintesis protein. Amikasin dapat diberikan intramuskular
atau intravena. Rata - rata konsentrasi puncak serum adalah 21 mg/ml dan
MIC adalah 4-8 mg/ml. Amikasin juga memiliki efek samping terhadap
kelemahan pada saraf kedelapan dan juga menyebabkan toksisitas ginjal
(Kreider dan Rossman, 2000)
3. Kapreomisin
Kapreomisin secara kimiawi berbeda dari aminoglikosida, tetapi
kemungkinan memiliki resistensi silang dengan streptomisin, amikasin,
dan kanamisin. Kapreomisin memiliki aktivitas teurapetik yang sama
dengan kanamisin dan amikasin begitu juga dengan farmakologi dan
toksisitasnya. Efek samping nya juga berpengaruh pada sistem persyarafan
kedelapan dan juga menyebabkan toksisitas ke ginjal. Pemantauan
pemberian obat ini juga perlu memeriksa faal ginjal dan pemeriksaan
fungsi pendengaran sebelum dan selama pengobatan (Kreider dan
Rossman, 2000).
4. Levofloksasin
Levofloksasin merupakan fluorokuinolon yaitu agen anti bakteri spektrum
luas yang bekerja menghambat Deoxyribonucleic Acid (DNA) enzim
girase. Levofloksasin lebih banyak dipakai secara oral dan lebih sensitif
terhadap organisme. Tidak ada resistensi silang dengan obat anti
tuberkulosis lainnya. Reaksi obat antara kuinolon dengan teofilin yaitu

15
Universitas Sumatera Utara

akan meningkatkan kadar serum teofilin dan resiko efek samping dari
teofilin. Pemberian antasida (seperti : magnesium sulfat,aluminium sulfat,
kalsium atau didanosine) akan menyebabkan menurunnya absorbsi dan
menghilangkan efek terapeutik fluorokuinolon. Pemberian probenesid
akan menurunkan sekresi fluorokuinolon di ginjal yang mengakibatkan
sekitar 50% peningkatan serum fluorokuinolon. Pemberian suplemen
vitamin yang mengandung seng (Zn) dan besi (Fe) akan mengurangi
absorbsinya. Efek samping yang timbul adalah : mual, kembung, pusing,
insomnia, sakit kepala, ruam, pruritus dan fotosensitivitas. Jika dijumpai
resistensi levofloksasin maka diberikan moxifloksasin (Kreider dan
Rossman, 2000).
5. Etionamid
Etionamid memiliki struktur yang mirip dengan INH. Namun resistensi
silang dengan INH sangat jarang terjadi. Dosis etionamid sebesar 2,5
µg/kg memiliki efek bakteristatik. Etionamid diserap baik oleh usus dan di
metabolisme di hati. Kadar serum puncak nya adalah 15-20 mg/ml dan
dosis optimumnya biasanya 1 gram. Obat ini hampir sepenuhnya
didistribusikan ke seluruh tubuh. Efek samping yang timbul adalah : mual,
muntah, kehilangan napsu makan, dan nyeri perut. Reaksi neurologis yang
sering muncul adalah: sakit kepala, gelisah, diplopia, tremor, dan kejangkejang. Diperlukan penambahan dosis secara bertahap karena sangat
mengiritasi saluran pencernaan. Jika obat diberikan pada malam hari maka
sangat dianjurkan bersamaan dengan anti-emetik dan obat hipnosis.
Hepatitis dapat terjadi pada 1 persen pasien. Untuk memantau
hepatotoksik maka perlu dilakukan pemeriksaan faal hati dan enzim paru
per bulan. Jika didapati peningkatan faal hati lima kali lipat maka obat
harus dihentikan (Kreider dan Rossman, 2000).
6. Sikloserin
Sikloserin bersifat bakteriostatik yang merupakan analog Dalanine dan
bekerja masuk kedalam dinding sel. Obat ini diserap baik di usus dan
didistribusikan ke seluruh tubuh. Obat ini diekskresikan oleh urin

16
Universitas Sumatera Utara

sebanyak 70% dari bentuk aktifnya dan 30% lagi di metabolisme didalam
tubuh. Efek samping umum termasuk gangguan neurologis dan psikiatris
mulai dari sakit kepala, tremor, gangguan memori, dan gangguan psikosis
berupa mengantuk, paranoid, depresi, atau reaksi katatonik. Beberapa
pasien dengan gangguan kecemasan dan depresi dapat berupa keinginan
bunuh diri. Dosis umum adalah 15-20 mg/kg, dengan dosis maksimal 1
gram/hari. Sebagian besar efek samping menghilang apabila obat
dihentikan. Untuk mencegah gangguan psikis yang serius maka perlu
pemantauan berkala atas status mental dan tingkat dosis yang diperlukan.
Untuk mengurangi potensi kejang dan konvulsi dapat diberikan piridoksin
dengan dosis 100-150 mg. Sikloserin dpat mengurangi efektifitas fenitoin
jika diberikan bersamaan dengan INH. Dosis fenitoin dalam hal ini dapat
dikurangi. Minuman mengandung alkohol akan memberikan efek toksik.
Untuk kasus dengan adanya gagal ginjal, dosis harian obat harus
dikurangi. Sebaiknya diminum pada saat perut kosong karena dapat
makanan dalam lambung akan menurunkan absorbsi obat (Kreider dan
Rossman, 2000).
7. Para-Amino Salicylic acid (PAS)
Jika dijumpai resisten terhadap sikloserin maka dapat diganti dengan
Para-Amino Salicylic acid (PAS). Obat ini diekskresikan dengan cepat,
dosis tinggi diperlukan untuk mempertahankan aktivitas bakteriostatiknya.
Dosis umum terapi oral harian adalah 150 mg/kg, dan dosis tidak boleh
melebihi 10-12 gram/hari. Melebihi dari dosis tersebut akan menyebabkan
efek samping mual, muntah, diare, dan nyeri epigastrium. Dari 5-10%
pasien, PAS juga dapat menyebabkan reaksi hiersensitivitas, hepatitis,
hipotiroidisme, atau anemia hemolitik. Efek samping dapat dikurangi
dengan terapi awal dosis rendah dan secara bertahap dinaikkan sampai
mencapai dosis penuh (Kreider dan Rossman, 2000).
8. Pirazinamid
Pirazinamid bersifat bakterisidal lemah tetapi mempunyai efek sterilisasi
intraseluler, di lingkungan asam dan tempat peradangan. Sangat efektif

17
Universitas Sumatera Utara

diberikan pada 2 bulan pertama pengobatan karena proses peradangan
sedang pada puncaknya. Pirazinamid mudah diabsorbsi dan tersebar di
seluruh jaringan. Hati-hati pemberian pada pasien diabetes mellitus karena
dapat menyebabkan kadar gula darah tidak stabil. Kadang menyebabkan
kekambuhan gout atau dapat terjadi arthralgia. Efek samping yang timbul
adalah : mual, muntah, hiperurisemia yang asimptomatik dan timbulnya
gout. Efek samping yang jarang timbul

yaitu : anemia siderobastik,

photosensitive dermatitis dan gangguan hati berat (Kreider dan Rossman,
2000).
9. Etambutol
Etambutol bersifat bakteriostatik dan mudah diabsorbsi di saluran
pencernaan. Efek samping yang timbul adalah : gangguan fungsi mata
yang tergantung dengan besarnya dosis, kelainan hati dan arthralgia
(Kreider dan Rossman, 2000).

2.1.9. Evaluasi Pengobatan
Penilaian respons pengobatan adalah konversi pemeriksaan dahak secara
mikroskopis dan biakan. Hasil biakan dapat diperoleh setelah 2 bulan.
Pemeriksaan mikroskopis dahak dan biakan dilakukan setiap bulan pada tahap
awal dan setiap 2 bulan pada tahap lanjutan (Kemenkes, 2013).
Evaluasi utama pada pasien MDR-TB adalah (Kemenkes, 2013):
1. Pemeriksaan dahak setiap bulan pada tahap awal dan setiap 2 bulan pada tahap
lanjutan.
2. Pemeriksaan biakan setiap bulan pada tahap awal sampai konversi biakan.
3. Uji kepekaan obat sebelum pengobatan dan pada kasus yang diduga akan
mengalami kegagalan pengobatan.

18
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1. Jadwal Pemantauan Pengobatan MDR-TB (Kemenkes, 2013).
Frekuensi yang dianjurkan
Pemantauan

Bulan pengobatan
0

1

2

3

4

5

6

8

10 12 14 16 18 20 22

Evaluasi Utama

Pemeriksaan
dahak dan biakan



Setiap bulan sampai konversi, bila sudah konversi setiap 2
bulan

dahak
Evaluasi Penunjang
Evaluasi Klinis
(termasuk BB)

Setiap bulan sampai pengobatan selesai atau lengkap

Pengawasan oleh
PMO
Uji kepekaan
obat*



Foto toraks





Kreatinin serum**















Kalium serum**























Thyroid
Stimulating
Hormone





(TSH)***
Enzim hepar
(SGOT, SGPT)#



Tes kehamilan



Hb dan leukosit∞



Evaluasi secara periodik

Berdasarkan indikasi

*Sesuai indikasi uji kepekaan bisa diulang, seperti gagal konversi atau
memburuknya keadaan klinis. Untuk pasien dengan hasil biakan tetap positif uji
kepekaan tidak perlu diulang sebelum 3 bulan

19
Universitas Sumatera Utara

**Bila diberikan obat suntik. Pada pasien dengan HIV, diabetes dan resiko tinggi
lainnya pemeriksaan ini dilakukan setiap 1-3 minggu
***Bila diberikan etionamid/protionamid atau PAS, bila ditemukan tanda dan
gejala hipotiroid
#Bila mendapat pirazinamid untuk waktu yang lama atau pada pasien dengan
resiko, gejala hepatitis
∞Bila mendapat linezolid atau ARV

20
Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1. Efek Samping Obat MDR-TB (Depkes, 2009)
Nama obat
Etionamid

Efek samping
Gangguan

Pemeriksaan
SGOT, SGPT

Tindakan
Pemberian anti-

gastrointestinal,gangguan

emetik atau

neurologis

sesuaikan dosis
terendah

Sikloserin

Gangguan neurologis dan

Nilai kadar obat dalam

psikiatri

serum, evaluasi secara

Piridoksin

teratur status mental
pasien
Kanamisin,

Gangguan pendengaran,

Audiogram, tes

Perhatian

Kapreomisin,

gangguan keseimbangan,

keseimbangan, cek

khusus pada

toksisitas ginjal dan

fungsi faal ginjal

pasien usia tua

gangguan elektrolit

(ureum, kreatinin)

dan dengan

Amikasin

gangguan ginjal
Para Amino

Gangguan

Salicylic acid

gastrointestinal,

antasid,

hepatitis,hipersensitivitas

pemberian obat

(PAS)

SGOT, SGPT

Pemberian

pada waktu
makan
Ciprofloksasin, Gangguan
Ofloksasin,
Moksifloksasin

Monitor interaksi obat

antasida, zat

gastrointestinal, sakit

besi, sukralfat

kepala,hipersensitivitas,

menurunkan

interaksi obat

absorbs obat

21
Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.2 Pembagian dosis berdasarkan berat badan (Kemenkes, 2013).
OAT

Berat badan
< 33 kg

33-50 kg

51-70 kg

>70 kg

Pirazinamid

30-40

1000-

1750-

2000-2500 mg

(tablet,500 mg)

mg/kg/hari

1750 mg

2000 mg

Etambutol

25 mg/kg/hari

800-1200

1200-

mg

1600 mg
1000 mg

1000 mg

1000 mg

1000 mg

(tablet,500 mg)

1600-2000 mg

Kanamisin

15-20

500-750

(vial,1000 mg)

mg/kg/hari

mg

Kapreomisin

15-20

500-750

(vial,1000 mg)

mg/kg/hari

mg

Levofloksasin

750

750 mg

750 mg

750-1000 mg

(kaplet, 250 mg)

mg/kg/hari

Sikloserin (250 mg)

15-20

500 mg

750 mg

750-1000 mg

500 mg

750 mg

750-1000 mg

8 gram

8 gram

mg/kg/hari
Etionamid (250 mg)

15-20
mg/kg/hari

PAS(granula,4gram)

150mg/kg/hari

8

Gram

2.2. Depresi
2.2.1. Definisi depresi
Menurut PPDGJI-III, depresi adalah suatu suasana perasaan (mood) yang
mempunyai gejala utama mood yang depresif, kehilangan minat dan kegembiraan
serta berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan
berkurangnya

aktifitas, serta beberapa gejala lainnya seperti konsentrasi dan

perhatian yang berkurang, harga diri dan kepercayaan diri berkurang, gagasan
tentang perasaan bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan yang suram,
gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri, tidur yang
terganggu dan nafsu makan berkurang (PPDGJ-III, 1993).

22
Universitas Sumatera Utara

Menurut Diagnostic and Statistical of Mental Disorder Fourth Edition
Text Revision (DSM-IV TR) dan Diagnostic and Statistical of Mental Disorder
Fifth Edition Text Revision (DSM-V TR), suatu episode depresif berat harus
berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu, dan secara tipikal seseorang dengan
diagnosis suatu episode depresif berat juga mengalami paling sedikit 4 simptom
dari daftar yang termasuk perubahan nafsu makan dan berat badan, perubahan
dalam tidur dan aktifitas, kurangnya energi, perasaan bersalah, masalah dalam
berpikir dan membuat keputusan, dan pikiran yang berulang tentang kematian
atau bunuh diri (American Psychiatric Association, 2000).

2.2.2. Komorbiditas
Komorbiditas gangguan depresi dengan gangguan psikiatrik lainnya
adalah umum dan secara signifikan mempengaruhi hasil pengobatan. Jumlah yang
lebih besar dari kondisi komorbiditas yang bersamaan berhubungan dengan
peningkatan keparahan, morbiditas, dan kronisitas gangguan depresif. Gangguan
yang paling sering dijumpai adalah penyalahgunaan atau ketergantungan alkohol,
gangguan panik, gangguan obsesif-kompulsif, dan gangguan ansietas sosial
(Rihmer, 2009).

2.2.3. Etiologi
1. Faktor Biologis


Norepinefrin. Hubungan yang ditunjukkan oleh studi ilmiah dasar antara
downregulation dari reseptor -adrenergik dan respons klinis antidepresan
adalah bagian tunggal yang paling kuat dari data yang mengindikasikan
suatu peran langsung untuk sistem noradrenegik dalam depresi. Bukti lain
juga melibatkan reseptor 2 presinaptik dalam depresi, sebagaimana
aktivasi dari reseptor ini berakibat pada penurunan dari jumlah
norepinefrin yang dilepaskan. Reseptor 2 presinaptik juga terdapat pada
neuron-neuron serotonergik dan mengatur jumlah serotonin dengan efek
noredrenergik.

23
Universitas Sumatera Utara



Serotonin. Dengan efek yang besar dari selective serotonin reuptake
inhibitors (SSRIs) sebagai contoh, fluoxetine (prozac) telah dibuat pada
pengobatan depresi, serotonin telah menjadi neurotransmiter amin
biogenik yang paling umum dihubungkan dengan depresi. Identifikasi dari
multipel subtipe reseptor serotonin telah meningkatkan kegembiraan
dalam komunitas penelitian tentang perkembangan dari pengobatan yang
lebih spesifik untuk depresi. Disamping fakta bahwa SSRIs dan
antidepresan serotonergik lain adalah efektif dalam pengobatan depresi,
data lain mengindikasikan bahwa serotonin terlibatdalam patofisiologi
depresi. Pengurangan serotonin bisa mencetuskan depresi, dan beberapa
pasien dengan impuls bunuh diri memiliki konsentrasi cairan otak yang
rendah dari metabolit serotonin dan konsentrasi serotonin yang rendah dari
tempat ambilan pada platelet.



Dopamin. Walaupun norepinefrin dan serotonin adalah amin biogenik
yang paling sering dihubungkan dengan patofisiologi depresi, dopamin
juga telah diteorikan untuk memainkan peran. Data menyarankan bahwa
aktifitas dopamin bisa menurun pada depresi dan meningkat pada mania.
Penemuan dari subtipe - subtipe yang baru dari reseptor dopamin dan
pengertian yang meningkat dari regulasi presinaptik dan pasca sinaptik
dari fungsi dopamin lebih jauh telah memperkaya penelitian pada
hubungan pada dopamin dan gangguan mood. Obat - obat yang
menurunkan konsentrasi dopamin sebagai contoh reserpin (serpasil) dan
penyakit–penyakit yang mengurangi konsentrasi dopamin (misalnya,
penyakit parkinson) dihubungkan dengan simptom - simptom depresif.
Kontrasnya, obat - obat yang meningkatkan konsentrasi dopamin, seperti
tirosin, amfetamin, dan bupropion (Wellbutrin), menurunkan simptom simptom depresi. Dua teori belakangan ini tentang dopamin dan depresi
adalah bahwa jalur dopamin mesolimbik bisa disfungsional pada depresi
dan reseptor D1 dopamin bisa hipoaktif dalam depresi.



Gangguan Neurotransmiter Lainnya. Penurunan gamma aminobutyric
acid (GABA) tampak di dalam plasma , susunan saraf pusat, dan otak

24
Universitas Sumatera Utara

untuk

depresi. Asam amino glutamat dan glisin tampaknya menjadi

excitatory neurotransmitter utama pada susunan saraf pusat. Glutamat dan
glisin berikat pada tempat yang berhubungan dengan reseptor N-metyl-Daspartat (NMDA) dan sebagai kelebihannya bisa memiliki efek
neurotoksik. Hipokampus memiliki konsentrasi yang tinggi dari reseptor
NMDA, jadi adalah mungkin bahwa glutamat bersama dengan
hiperkortisolemia memperantarai efek-efek neurokognitif dari stres kronik.
Adanya bukti yang muncul bahwa obat-obat yang merupakan antagonis
reseptor NMDA memiliki efek-efek antidepresan (Sadock, 2010).

2.2.4. Faktor Genetik
Banyak penelitian keluarga, adopsi dan kembar mempunyai

catatan

(documented) yang panjang terhadap kemampuan menurunkan sifat daripada
gangguan mood. Akhir – akhir ini, fokus primer dari penelitian genetik adalah
untuk mengidentifikasi gen yang spesifik yang menyebabkan kerentanan dengan
menggunakan suatu metode genetik molekuler (Sadock, 2010).

2.2.5. Faktor Psikososial
Peristiwa kehidupan (Life Events) dan stres lingkungan
Pada suatu observasi klinik yang sudah berjalan lama bahwa peristiwa
hidup yang menyebabkan stres lebih sering mendahului episode pertama daripada
episode dari gangguan mood. Satu teori diusulkan untuk menjelaskan hal ini,
bahwa stres yang menyertai episode pertama menghasilkan perubahan dalam
keadaan fungsional berbagai neurotransmiter dalam sistim sinyal intra neural.
Hasilnya, seseorang mempunyai resiko tinggi untuk mengalami episode dari
gangguan mood walaupun tanpa stresor dari luar (Sadock, 2010).

2.2.6. Faktor kepribadian
Tidak ada satu ciri (trait) kepribadian atau tipe yang secara unik
mempredisposisikan seseorang ke depresi; semua manusia, dari pola kepribadian
apapun bisa dan menjadi depresi dibawah keadaan yang sesuai. Orang-orang

25
Universitas Sumatera Utara

dengan gangguan kepribadian tertentu, obsesif-kompulsif, histrionik dan ambang
bisa menjadi resiko yang lebih besar untuk depresi daripada orang dengan anti
sosial atau gangguan kepribadian paranoid (Sadock, 2010).
Kejadian-kejadian belakangan yang menekan adalah prediktor paling kuat
dari onset suatu episode depresif. Dari perspektif psikodinamik, klinisi selalu
tertarik pada arti dari stresor tersebut. Penelitian telah mendemonstrasikan bahwa
stresor yang dialami pasien lebih sebagai refleksi secara negatif pada percaya
dirinya adalah lebih cenderung untuk menghasilkan depresi. Lebih lanjut, apa
yang sepertinya menjadi stresor yang relatif ringan untuk orang lain bisa
menghancurkan bagi pasien karena arti idiosinkratik khusus yang melekat pada
kejadian tersebut (Sadock, 2010).

2.2.7. Faktor psikodinamik pada depresi
Pengertian psikodinamik dari depresi didefinisikan oleh Sigmund Freud
dan diperluas oleh Karl Abraham diketahui sebagai pandangan klasik dari depresi.
Teorinya memasukkan empat titik kunci: (1) gangguan dalam hubungan ibu–anak
selama fase oral (10 hingga 18 bulan pertama dari kehidupan) mempredisposisi
kerapuhan lanjutan kepada depresi; (2) depresi bisa dihubungkan kepada
kehilangan objek yang nyata atau yang dikhayalkan; (3) introyeksi dari objek
yang meninggal dunia adalah suatu mekanisme pertahanan yang diminta untuk
menghadapi tekanan yang dihubungkan dengan kehilangan objek; (4) karena
kehilangan objek diperhatikan dengan campuran cinta dan benci, perasaan marah
yang ditunjukkan kepada diri sendiri (Sadock, 2010).
Melanie Klein memahami depresi dengan memasukkan ekspresi agresi
terhadap orang yang dicintai, sama seperti yang diutarakan Freud. Depresi terjadi
ketika pasien menyadari bahwa orang atau cita-cita yang telah mereka jalani tidak
pernah berespons dengan cara yang akan memenuhi harapan mereka. Ketika yang
lain tidak memenuhi kebutuhan ini terdapat hilangnya kepercayaan diri yang besar
yang timbul sebagai depresi. John Bowlby percaya bahwa kerusakan pada
kelekatan awal dan perpisahan traumatik pada masa anak-anak mempredisposisi
depresi. Kehilangan saat dewasa disebutkan menghidupkan kembali kehilangan

26
Universitas Sumatera Utara

yang traumatik pada anak dan mempresipitasi episode depresi dewasa (Sadock,
2010).

2.2.8. Gambaran Klinis
Tanda utama dari episode depresif berat adalah mood depresi atau hilang
minat atau kesenangan yang menonjol selama sedikitnya 2 minggu dan
menyebabkan distres atau hambatan yang bermakna dalam fungsi sosial,
pekerjaan, area fungsi penting lainnya pada seorang individu. Selama masa ini
seseorang juga menampilkan sedikitnya 4 gejala tambahan dari di bawah ini
(Blacker D, 2009).
A.

Mood depresi
Mood depresi adalah gejala yang paling khas terjadi pada > 90% pasien.
Pasien melaporkan sendiri sebagai perasaan sedih, murung, hampa, putus
asa, muram atau tenggelam dalam kesedihan. Kualitas mood sebaiknya
dilukiskan berbeda dari perasaan kesedihan yang normal atau duka cita.

B.

Anhedonia
Tidak mampu menikmati aktifitas yang biasa dilakukan adalah yang
paling umum dialami pasien depresi. Pasien atau keluarganya melaporkan
dengan jelas adanya penurunan minat pada semua, atau hampir semua
aktifitas yang sebelumnya dinikmati seperti seks, hobi dan kegiatan
rutinitas sehari-hari.

C.

Perubahan nafsu makan
Sekitar 70% pasien depresi yang diamati terdapat penurunan nafsu makan
bersamaan BB (berat badan) yang hilang. Hanya sedikit pasien yang
mengalami peningkatan nafsu makan, sering dikaitkan dengan makanan
khusus seperti permen.

D.

Perubahan pola tidur
Sekitar 80% pasien depresi mengeluhkan beberapa tipe gangguan tidur,
yang paling sering adalah insomnia. Insomnia biasanya dibagi menjadi
insomnia biasa (masalah pada susah mengantuk), pertengahan (tidur tetapi

27
Universitas Sumatera Utara

sering terbangun sepanjang malam) atau lambat (pasien bangun terlalu
pagi).
E.

Perubahan pada aktifitas tubuh
Sekitar setengah dari pasien depresi berkembang dengan terjadinya
kemunduran dan perlambatan gerakan atau aktifitas. Mereka menunjukkan
lambat berfikir, berbicara, pergerakan tubuh atau menurunnya volume isi
pembicaraan dengan jeda yang panjang sebelum menjawab. Pada sekitar
persen pasien wanita yang depresi dan 50 persen laki-laki yang depresi.

F.

Kehilangan tenaga
Hampir semua pasien depresi melaporkan kehilangan energi (tenaga).
Malas dan kelelahan yang tidak biasanya dan terhambatnya efisiensi pada
pekerjaan kecil atau sedang.

G.

Perasaan tak berharga dan rasa bersalah yang berlebihan dan tak wajar.
Pasien depresi dapat mengalami penurunan harga diri yang nyata (dan
sering tidak realistik). Pada kebudayaan Eropa, lebih dari setengah pasien
depresi menunjukkan rasa bersalah, rentang dari perasaan yang tidak
jelas / samar-samar, yang mana kondisi mereka saat ini hasil dari sesuatu
yang telah mereka lakukan di masa lalu, sampai kepada waham Frank dan
kemiskinan atau memiliki dosa yang tidak dapat diampuni. Kultur lain
mengalami rasa malu atau penghinaan.

H.

Perasaan bimbang dan kurang konsentrasi
Sekitar setengah dari pasien depresi mengeluh atau memperlihatkan
kelambatan berpikir. Mereka dapat merasakan bahwa mereka tidak
mampu berpikir sebaik dahulu dan mereka sukar berkonsentrasi atau
mereka mudah bingung. Seringkali ragu-ragu terhadap kemampuan untuk
menilai sesuatu dan menemukan kalau mereka kesulitan dalam mengambil
keputusan kecil. Pada ujian formal psikologis akurasi pasien berkurang
dan kecepatan serta pelaksanaan yang lambat.

I.

Ide bunuh diri
Banyak pasien depresi mengalami pikiran yang berulang-ulang untuk
mati, perasaan singkat bahwa orang lain akan lebih baik dengan

28
Universitas Sumatera Utara

kematiannya, juga merencanakan untuk melakukan bunuh diri. Lebih dari
15 persen pasien depresif berat yang parah menyukai kematian dengan
bunuh diri. Resiko bunuh diri pasien timbul pada episode depresif tetapi
kemungkinan tinggi setelah permulaan terapi dan selama 6-9 bulan setelah
pemulihan (Blacker, 2009).

2.3. Ansietas
2.3.1. Definisi Ansietas
Menurut (DSM-IV-TR) mendefinisikan gangguan ansietas menyeluruh
sebagai kecemasan yang berlebihan dan khawatir tentang beberapa peristiwa atau
kegiatan sepanjang hari setidaknya satu periode 6 bulan. Khawatir ini sulit untuk
dikontrol dan berhubungan dengan gejala somatik, seperti ketegangan otot, lekas
marah, sulit tidur, dan gelisah. Kecemasan sulit dikendalikan, secara subyektif
menyusahkan, dan menghasilkan penurunan area penting dari kehidupan
seseorang (Sadock, 2010).
2.3.2. Etiologi
Penyebab gangguan ansietas menyeluruh tidak diketahui. Sebagaimana
definisi saat ini gangguan ansietas menyeluruh mungkin dipengaruhi oleh
keberagaman kelompok masyarakat. Mungkin karena tingkat tertentu dari ansietas
adalah normal dan dapat diterima, perbedaan ansietas normal dari ansietas
patologi serta faktor penyebab secara biologis dari faktor penyebab psikososial
sulit dibedakan. Kemungkinan faktor biologis dan psikososial saling berkaitan
(Sadock, 2010).
2.3.3. Faktor Biologis
a. Genetik
Penelitian terdahulu menyelidiki

genetik dari

gangguan ansietas

menyeluruh, ditemukan 19,5 persen pasien yang memiliki gangguan ansietas
menyeluruh mempunyai keluarga tingkat pertama yang juga dengan diagnosis
yang sama. Sebagian besar risiko keluarga berhubungan dengan genetik (30 - 40
persen), tapi proporsi terbesar berbeda dalam kecenderungan dihubungkan dengan
faktor individu dan lingkungan (Lightfoot, 2009).

29
Universitas Sumatera Utara

b. Neurokimia
Norepinefrin adalah katekolamin yang bekerja sebagai hormon dan
neurotransmitter. Inti norepinefrin utama di dalam otak, yaitu locus coeruleus,
terlihat diaktifkan oleh stres dan telah dilibatkan dalam perilaku takut,
kewaspadaan, proses perhatian. Suatu penelitian menemukan bahwa pasien
dengan gangguan ansietas menyeluruh mempunyai tingkat katekolamin plasma
yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Penelitian lain juga
memperlihatkan tingkat norepinefrin plasma yang meningkat pada pasien dengan
gangguan ansietas menyeluruh (Sadock, 2010).
Neurotransmiter lain yang dihubungkan dengan gangguan ansietas
menyeluruh adalah serotonin, yang tersebar luas dalam otak. Deakin dan Graeff
pada tahun 1991 mengemukakan 2 jalur serotonergik yang nyata muncul dari
raphe nucleus, yaitu: 1) jalur naik (ascending) yang berjalan ke amigdala dan
korteks frontal berhubungan dengan kondisi ketakutan dan merupakan model dari
gangguan ansietas menyeluruh, 2) jalur turun (descending) yang berjalan ke
periaqueduktal gray matter dan berhubungan dengan ketakutan tanpa sebab
(seperti panik). Berdasarkan jalur gangguan ansietas menyeluruh, situasi yang
secara potensial menakutkan dapat meningkatkan serotonin sinaps, yang
memberikan regio kortikal dan limbik menggunakan input ini untuk menilai
situasi dan merumuskan suatu respons (Sadock, 2010).
Gamma AminoButiryc Acid (GABA) adalah neurotransmitter inhibitor
primer dalam sistem saraf pusat dan terdapat pada sebagian besar otak. Farabollini
dan kawan- kawan pada tahun 1996 menemukan bahwa sejumlah reseptor
benzodiazepin pada hipokampus dan korteks berkurang selama stress (Sadock,
2010).
2.3.4. Faktor Psikososial
Dua bidang pikiran utama tentang faktor psikososial mengarah pada
perkembangan gangguan ansietas menyeluruh adalah bidang kognitif- perilaku
dan psikoanalitik. Menurut kognitif-perilaku, pasien dengan gangguan ansietas
menyeluruh merespons secara tidak tepat dan tidak akurat bahaya yang dirasakan.
Ketidak akuratan ini dihasilkan oleh perhatian yang selektif terhadap rincian

30
Universitas Sumatera Utara

negatif di lingkungan, oleh distorsi dalam pengolahan informasi, dan dengan
pandangan yang terlalu negatif terhadap kemampuan diri sendiri dalam
mengatasinya. Teori psikoanalitik menganalisis bahwa ansietas merupakan gejala
dari konflik bawah sadar yang belum terselesaikan (Sadock, 2010).

2.3.5. Gambaran Klinis
Gejala utama dari gangguan ansietas menyeluruh adalah kecemasan yang
berkelanjutan dan khawatir yang berlebihan dan disertai oleh sejumlah gejala
fisiologis, termasuk ketegangan motorik, hiperaktifitas otonom dan kewaspadaan
kognitif. Ansietas berlebihan dan mengganggu aspek lain dari kehidupan
seseorang. Gambaran ini harus terjadi selama minimal 6 bulan. Ketegangan
motorik ini paling sering dimanifestasikan sebagai keadaan gemetar, gelisah dan
sakit kepala. Hiperaktifitas otonomik biasanya dinyatakan dalam bentuk sesak
nafas, keringat berlebihan, palpitasi, dan berbagai gejala gastrointestinal.
Kewaspadaan kognitif ditunjukkan dengan mudah tersinggung dan mudahnya
pasien dikejutkan (Sadock, 2010).
Menurut PPDGJ-III gambaran esensial dari gangguan ini adalah adanya
ansietas yang menyeluruh dan menetap (bertahan lama), tetapi tidak terbatas pada
atau hanya menonjol pada setiap keadaan lingkungan tertentu saja (misalnya sifat
mengambang atau free floating) (PPDGJ-III, 1993).

2.4. Simptom Depresi dan Kecemasan
Gejala – gejala depresi adalah merasa sedih dan bersalah, merasa cemas dan
kosong, merasa tidak ada harapan, merasa tidak berguna dan gelisah, merasa
mudah tersinggung dan tidak ada yang peduli, gangguan berkonsentrasi,
mengingat informasi, membuat keputusan, gangguan pola tidur, kehilangan nafsu
makan atau makan terlalu banyak, kekurangan energi dan adanya pikiran untuk
bunuh diri (NIMH, 2015).
Kecemasan adalah perasaan tidak jelas, subyektif dan tidak spesifik. (Duko
et al, 2015). Kecemasan adalah gangguan alam perasaan, ketakutan atau

31
Universitas Sumatera Utara

kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tidak mengalami gangguan
dalam menilai realitas, kepribadian masih tetap utuh, perilaku dapat terganggu
tetapi masih dalam batas-batas normal (NIMH, 2015).
Gejala-gejala kecemasan meliputi rasa khawatir, tidak tenang, ragu,
bimbang, memandang masa depan dengan was-was, kurang percaya diri, gugup
apabila tampil di depan umum, sering merasa tidak bersalah dan menyalahkan
orang lain, tidak mudah mengalah, tidak tenang bila duduk, sering kali mengeluh,
khawatir berlebihan terhadap penyakit, mudah tersinggung, suka membesarkan
masalah yang kecil, sering merasa ragu dalam mengambil keputusan, bila
bertanya sesuatu sering kali berulang-ulang, jika sedang emosi sering bertindak
histeris (NIMH, 2015).
Depresi sering datang bersamaan dengan gejala kecemasan, masalah ini
dapat menjadi kronik atau berulang dan menyebabkan kerusakan yang besar pada
kemampuan seseorang untuk menjaga tanggung jawab keseharian. Kehadiran
depresi dan kecemasan mempunyai dampak yang buruk pada kualitas kehidupan,
pembiayaan kesehatan dan perawatan diri (Duko et al, 2015).

2.5..Pengaruh Gejala Kejiwaan Pada Pasien MDR-TB
Komplikasi gejala kejiwaan pada pasien MDR-TB dipengaruhi oleh faktor
psikososial dan ekonomi. Masalah dukungan keluarga serta beberapa masalah
psikososial lain yang sering menjadi keprihatinan utama pada individu dengan
MDR-TB meliputi: stigma sosial, diskriminasi, takut dan rasa bersalah terkait
dengan risiko infeksi, beban sosio-ekonomi dan psikologis hidup dengan penyakit
kronis yang mengancam jiwa, lamanya pengobatan, jumlah obat yang banyak,
ketergantungan terhadap orang lain, kegagalan beberapa pengobatan, kehilangan
anggota keluarga dan mengalami kemiskinan

menjadi dampak yang buruk

terhadap kualitas hidup serta harapan kesembuhan pasien MDR-TB (Vega et al,
2004).
Lingkungan dan keluarga yang takut akan infeksi terhadap pasien MDR-TB
merupakan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap stigma sosial yang dapat

32
Universitas Sumatera Utara

menghasilkan isolasi sosial sehingga mengakibatkan penolakan diagnosis pasien
MDR-TB serta berdampak dalam pengobatan OAT MDR (Vega et al, 2004).
Sebagian besar pasien hidup dalam kemiskinan dan penyakit MDR-TB
menempatkan beban lebih lanjut tentang keluarga mereka. Karena gejala penyakit
dan efek samping obat, banyak pasien tidak mampu bekerja atau memenuhi
kebutuhan sosial lainnya , mereka menyerah dan menunda akan pekerjaan
maupun pendidikan dan kegiatan lainnya karena merasa frustasi (Acha et al,
2007).
Pemberian regimen pada pengobatan MDR-TB dilaporkan telah banyak
memberikan efek samping lebih banyak dari OAT lini pertama sebesar 19-55%.
Sikloserin adalah salah satu regimen pada pengobatan MDR-TB yang merupakan
antibiotik spektrum luas yang telah direkomendasikan oleh WHO sebagai lini
kedua kelompok IV obat bakteristatik oral yang digunakan dalam dosis 250-500
mg dua kali sehari. Efek samping dari sikloserin berhubungan dengan efek
kejiwaan, seperti depresi, kecemasan, halusinasi, euphoria, perubahan perilaku
dan bunuh diri telah dilaporkan sebesar 9,7-50%

dari setiap orang yang

menggunakan sikloserin. Efek samping sikloserin yang mungkin terjadi adalah
ketika penggunaan pada tiga bulan pertama (Saraf et al, 2015).
Sikloserin adalah sebuah antibiotik yang dihasilkan oleh streptomyces
patorhidaceous. Sikloserin adalah obat yang larut air dan sangat tidak stabil pada
pH asam. Sikloserin meiginhibisi berbagai bakteri gram positif dan gram negatif,
tetapi hampir digunakan khusus untuk mengobati tuberkulosis yang disebabkan
oleh strain Mtb yang resisten sebagai lini pertama. Secara struktur sikloserin
analog dengan D-alanine dan menginhibisi penggabungan D-alanine menjadi
peptidoglican pentapeptida dengan cara menghambat alanine racemase, yang
mengubah L-alanine menjadi D-alanine, dan D-alanyl-D-alanine ligase. Setelah
mengkonsumsi sikloserin sebanyak 0,25 gram mencapai sekitar 20-30 mcg/ml
dalam darah yang mampu menghambat banyak strain mikobakteria dan bakteri
gram negative. Sikloserin tersebar luas di jaringan. Sikloserin diekresi dalam
bentuk aktif dalam urin. Dosis teurapeutik yang digunakan untuk mengobati
MDR-TB 0,5 – 1 gr/hari dibagi dalam 2-3 dosis (Katzung, 2012).

33
Universitas Sumatera Utara

Sikloserin dapat menyebabkan berbagai toksisitas pada sistem saraf pusat
seperti nyeri kepala, tremor, psikosis akut dan kejang. Jika dosis oral
dipertahankan dibawah 0,75 gr/hari efek samping tersebut biasaya dapat
dihindarkan (Bakhla et al, 2013).
Mekanisme yang mungkin secara neurobiologis dari sikloserin yang
menyebabkan gangguan psikis dengan cara mengikat dan memodulasi N-methylD-aspartate glutamate reseptor (NMDAR) antagonis dan agonis parsial di
NMDAR yang berhubungan dengan glycine (GLY) dengan dosis 500 mg atau
lebih per hari bisa menyebabkan gangguan psikiatrik pada individu yang rentan.
Meskipun dalam beberapa laporan pengobatan MDR-TB yang menyebabkan
gangguan psikis pada peresepan polifarmasi tidak terbatas hanya pada obat
sikloserin saja, akan tetapi gangguan psikis tersebut dapat terjadi pada pemberian
obat-obatan yang bekerja pada NMDAR antagonis dan parsial agonis pada
NMDAR yang berhubungan dengan glisin (Bakhla et al, 2013)

Dokumen yang terkait

Perbedaan proporsi simptom depresi dan kecemasan pada pasien multi drug resistant tuberculosis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 7 17

Perbedaan proporsi simptom depresi dan kecemasan pada pasien multi drug resistant tuberculosis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 1

Perbedaan proporsi simptom depresi dan kecemasan pada pasien multi drug resistant tuberculosis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 5

Perbedaan proporsi simptom depresi dan kecemasan pada pasien multi drug resistant tuberculosis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Chapter III V

0 1 24

Perbedaan proporsi simptom depresi dan kecemasan pada pasien multi drug resistant tuberculosis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 5 5

Perbedaan proporsi simptom depresi dan kecemasan pada pasien multi drug resistant tuberculosis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 7

Karakteristik pasien multi drug resistant tuberculosis yang mengalami simptom depresi dan kecemasan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 17

Karakteristik pasien multi drug resistant tuberculosis yang mengalami simptom depresi dan kecemasan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 1 1

Karakteristik pasien multi drug resistant tuberculosis yang mengalami simptom depresi dan kecemasan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 5

Karakteristik pasien multi drug resistant tuberculosis yang mengalami simptom depresi dan kecemasan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 30