HUKUM PERTALIAN SANAK HUKUM PERKAWINAN D

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penulisan chapter report buku Pengantar Hukum Adat Indonesia karangan
Prof. Dr. R. Van Dijk bertujuan untuk memenuhi tugas dan persyaratan untuk
menyelesaikan tugas mata kuliah Hukum Adat. Buku ini memiliki 6 BAB, diawali
dengan pengantar yang membuka wawasan kita mengenai hukum adat secara
umum termasuk dasar yuridis, sejarah, manfaat dan masyarakat hukum adat. yang
kemudian dilanjutkan dengan menjelaskan bagian-bagian hukum adat secara
terperinci seperti: hukum kekeluargaan adat, hukum perkawinan, hukum waris,
hak-hak atas tanah (hukum ulayat), dan penutup. Dalam penulisan chapter report
ini penulis akan mengkaji bab mengenai hukum waris.
Kaitan buku Pengantar Hukum adat Indonesia dengan Mata kuliah hukum
adat adalah sebelum mempelajari hukum adat secara langsung dan lebih terperinci
kita harus menguasai dasar-dasar hukum adat itu sendiri. Dan dalam buku tersebut
dijelaskan secara ringkas mengenai dasar-dasar hukum adat beserta bagianbagiannya seperti hukum kekeluargaan adat, hukum perkawinan, hukum waris,
dan hak-hak atas tanah (hak-hak ulayat) yang harus kita ketahui dengan jelas
sehingga lebih mudah untuk dipahami. Karena variasi hukum adat di Indonesia
sendiri sangat banyak dan beraneka ragam, maka akan sulit kita mempelajari
keseluruhannya satu persatu bahkan akan menghabiskan banyak waktu. Apalagi
bila berkaitan dengan hukum waris. Maka dari pertimbangan diatas penulis

memilih buku ini sebagai bahan kajian untuk membuat chapter report ini.
B. Tujuan
1. Memenuhi tugas mata kuliah hukum adat
2. Chapter report ini disusun untuk mengkaji dan mengetahui lebih lanjut
mengenai:

1

a.

Dasar-dasar dari hukum waris adat

b.

Sistem pembagian warisan yang tidak-dibagi-bagi

c.

Penghibahan dan wasiat


d.

Pembagian warisan

e.

Ahli waris

f.

Macam-macam warisan

C. Identitas Buku
Judul

: Pengantar Hukum adat Indonesia

Pengarang

: Prof. Dr. R. Van Dijk


Penerbit

: Vorkink – Van Hoeve

Tahun

: 1979 (cetakan ke III)

Jumlah Halaman

: 140 Halaman

D. Perbandingan
Judul

: Asas-asas dan Susunan Hukum Adat

Pengarang


: Ter Haar

Penerbit

: Pradnja Paramita, Jakarta

Tahun

: 1960

Jumlah Halaman

: 268 Halaman

E. Ilustrasi

2

Buku Pengantar Hukum adat Indonesia karangan Prof. Dr. R. Van Dijk ini
saya rasa penyampaiannya sangat ringkas namun isinya sangat baik dan mudah

dimengerti. Oleh karena itu meskipun tidak diberikan gambar secara langsung
namun dengan menggunakan bahasa penulis bisa memberikan gambaran yang
jelas mengenai hukum adat.

3

BAB II
LAPORAN ISI BAB
Hukum Waris
Hukum Waris memuat seluruh peraturan hukum yang mengatur
pemindahan hak milik, barang-barang, harta-benda dari generasi yang berangsur
mati (yang mewariskan) kepada generasi muda (para ahli waris). Peraturanperaturan ini rapat bersangkutan dengan susunan tertib sanak dan dengan jenis
daripada barang-barang yang harus dipindahkan. Dan praktek daripada
pemindahan itu dipengaruhi oleh perbuatan-perbuatan sah, dan putusan-putusan
yang diambil oleh orang yang menjadi pemilik asal dari itu dan oleh soal, apakah
barang-barang itu akan tetap atau untuk sementara terkumpul sebagai barangbarang itu akan tetap atau untuk sementara terkumpul,sebagai barang yang tidak
terbagi-bagi atau akan dibagi-bagikan. Soal ini sebaiknya digolongkan menurut
tertib sanak dimana pewarisan itu terjadi.
Dalam tertib parentil semua harta benda kepunyaa kedua orang tua
diwariskan sama rata kepada semua anak-anak. Harta pusaka dalam tertib ini

senantiasa terdiri dari harta milik sendiri dari yang meningaal ditambah dengan
setengah dari harta milik sendiri dari yang meninggal ditambah dengan setengah
dari harta bersama dalam perkawinan.
Pihak yang masih hidup (dari suami istri) tidak mendapat warisan dari
yang meninggal itu. Peratuaran yang terakhir ini kebanyakan daerah-daerah Islam
bertertib parentil agak berobah : Si Janda mendapat sebagian yang tertentu sebagai
warisan (bagian janda). Oleh karena menurut hukum adat seorang janda,
walaupun ia bukan seorang ahli waris, berhak untuk mendapat nafkah dari harta
warisan itu, sehingga harta itu biasanya tak dibagi-bagi, peraturan ini danlam
prakteknya tak ada artinya. Jika salah seorang ahli waris meninggal lebih dahulu,
maka secara penggantian tempat semua anaknya mendapatkan hak atas warisan
ayahnya itu.

4

Jika yang berpulang itu tak meninggalkan anak-anak, harta bersama itu
jatuh ketangan pihak (dari suami-istri) yang masih hidup. Dan sesudah yang
terakhir ini meninggal pula, harta benda itu jatuh kepada keluarga dari kedua
belah pihak.
Harta kepunyaan sendiri dari pihak masing-masing (antara suami-istri)

jatuh (telah jatuh) ketangan keluarganya sendiri.
Pada mulanya harta itu jatuh kepada orang tua, dan jika mereka itu telah
meninggal, harta itu berpindah secara biasa kepada ahli waris dari kedua orang tua
itu.
Pada suatu tertib patrilineal hanyalah anak lelaki yang menjadi ahli waris
oleh karena anak-anak perempuan keluar dari golongan keluarga patrilinealnya
semula, sesudah mereka menikah. Anak lelaki mendapat warisan maupun dari
ayah dan dari ibu dan pada asasnya berhak atas semua harta benda.
Juga disini anak lelaki dari seorang ahli waris, yang meninggal lebih
dahulu, menjadi ahli waris oleh pergantian tempat. Seandainya yang meninggal
itu tidak mempunyai anak lelaki, bagian warisannya itu jatuh kepada kakeknya
(bapak yang mewarisnkan). Demikian juga halnya dengan seluruh harta pusaka
itu, jika yang mewariskan tidak mempuyai anak lelaki. Seandainya bapak (dari
yang mewariskan) tidak ada lagi, maka anak-anak dari bapak itu (jadi saudarasaudara lelaki yang mewariskan itu) menjadi ahli waris, dsb.
Pada suatu tertib matrilineal yang menjadi ahli waris ialah semua anakanak akan tetapi biasanya hanyalah anak-anak dari si ibu, tegasnya : setidaktidaknya disemua daerah (seperti di Minangkabau) dimana si ayah tetap tinggal
menjadi anggota clannya (keluarga sendiri). Jika yang meningga itu lelaki, maka
yang menjadi ahli warisnya ialah saudara-saudaranya yang perempuan beserta
anak-anak mereka.

5


Jika golongan sanak matrilineal itu tersusun sebagai kesatuan ekonomi
yang kuat, maka anak-anak itu tidaklah menjadi ahli waris seorang demi seorang,
melainkan bersama-sama sebagai anggota dari keluarga itu.
Asas-asas pokok yang agak sederhana ini hanya berubah (atau mungkin
berubah) sedikit-sedikit disebabkan oleh berbagai faktor dan merupakan suatu
susunan yang bulat. Pertama, harta pusaka itu biasanya tetap tinggal tidak terbagibagi (untuk sementara atau selama-lamanya). Kemungkinan yang terakhir di
setiap daerah dimana harta pusaka, yang didapat dari orang tua, hanya dapat
dimiliki sebagai suatu kesatuan yang tak terbagi-bagi.
Demikian umpamanya harta pusaka di Minangkabau, atau tanah famili
(dati) di Ambon, dibagian yang didiami oleh orang-orang Islam. Harta keluarga
yang turun temurun dan merupakan milik dari famili itu sebagai kesatuan
dinamakan di Minangkabau: pusaka tinggi, dan diurus oleh pangulu andiko. Harta
pencaharian dari yang meninggal dan menjadi warisan bagi ahli waris istimewa
sebagai milik bersama, dinamakan orangb sebaliknya : pusaka rendah. Diantara
kedua macam milik itu kadang-kadang terdapart tingkatan pusaka lebih lanjut.
Dan dalam tingkatan-tingkatan itu menigkat dari bawah ke atas, makin tinggi
makin banyak anggota-anggota dari famili yang besar itu mempunyai hak. Dan
mereka yang berhak dan terbagi dalam golongan-golongan itu, bersama-sama
dinamakan waris.

Kesatuan harta pusaka yang tak terbagi-bagi berserta dengan pembagianpembagiannya dalam tingkatan-tingkatan, akan tetapi bercorak patrilineal,
terdapat di Minahasa.
Perbedaan yang terbesar ialah, bahwa di Minahasa pembagian dari harta
kelakeran itu mungkin terjadi (diperbolehkan), apabila semua yang berhak atasnya
menyetujuinya. Hal lain yang mungkin menyebabkan harta pusaka itu tetap tak
terbagi-bagi ialah hukum waris mayorat dari anak lelaki (Bali, Lampung) atau
anak perempuan yang tertua (Semendur di Pasemah, Dayak Landak di Kalimantan
Barat).

6

BAB III
ANALISA
1.

Pengertian Hukum Waris Adat
Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang bertalian dengan

dari abad ke abad penerusan dan peralihan harta kekayaan yang berwujud dan
tidak berwujud dari generasi ke generasi. Selain itu, ada pendapat lain ditulis

bahwa Hukum Adat Waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses
meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda yang berwujud dan
yang tidak berwujud, dari suatu angkatan generasi manusia kepada keturunnya.
2.

Sistem Pembagian Waris Adat
Dari

keterangan-keterangan

tersebut

terdahulu,

untuk

mendapat

gambaran tentang sistem Pembagian Waris Adat, disusun suatu bagan mengenai
Pembagian Waris Adat sebagai berikut:

1.

Sistem Warisan yang Tidak Dibagi-bagi
Sistem pembagian waris yang tidak dibagi-bagi artinya harta warisan itu

tidak langsung pemilikannya secara pribadi kepada ahli warisnya. Sistem
pewarisan yang tidak dibagi-bagi itu ada dua cara yaitu secara kolektif dan sistem
mayorat.
1.

Kolektif
Sistem kolektif ini artinya harta warisan itu tidak dibagikan pemilikannya

langsung kepada para ahli warisnya secara pribadi, tapi tetap dimiliki secara
bersama atau kolektif, namun ada yang dibagikan adalah pengerjaannya dan
hasilnya kepada para ahli warisnya.
2.

Sistem Mayorat
Pada sistem mayorat ini harta warisan itu tidak dibagi-bagikan tetapi

tetap dikuasai oleh anak tertua. Pada sistem mayorat laki, harta warisan itu
dikuasai oleh anak laki-laki tertua dalam jenisnya, seperti di Lampung anak lakilaki tertua disebut “penyimbang” dan juga di Bali. Pada sistem mayorat

7

perempuan, harta warisan tetap dikuasai oleh anak perempuan tertua, seperti yang
terdapat pada masyarakat di Sumatera Selatan.
2.

Sistem Pewarisan Yang Dibagi-bagi
Sistem pewarisan yang dibagi-bagi adalah harta peninggalan si pewaris

langsung dibagikan secara pribadi pemilikan kepada ahli warisnya. Pembagian
harta warisan yang dibagi-bagi ini umumnya terdapat pada masyarakat bilateral.
Hibah adalah suatu perbuatan atau tindakan hukum dalam rangka hukum
waris, bila seorang pewaris melakukan pengoperan atau pemberian, maupun
pembekalan dari harta warisan yang tertentu kepada seseorang tertentu atau ahli
waris.
Ada dua fungsi hibah, yaitu:
1) Sebagai Koreksi Terhadap Hukum Waris yang Ada
Sebagai koreksi ialah karena dengan jalan penghibahan itu, maka timbul
kemungkinan untuk sedikit banyak membetulkan aturan-aturan hukum ab
intestaat yang sudah tepat menurut pandangan tradisional dan religius, namun
sudah tidak tepat lagi berhubung dengan perkembangan dan kemajuan atau tidak
memuaskan dan tidak memberi pemecahan.
2) Sebagai Tindakan Untuk Mencapai Kepastian Hukum
Dalam hal ini, hibah dilaksanakan untuk menjamin kedudukan material
dari pada istri atau janda dan untuk memastikan para ahli waris, pembagian
warisan dianggap adil dan untuk mencegah perselisihan tentang pembagian harta
peninggalan, adalah menurut satuan-satuan dan dipandang dari segi kegunaan atas
tujuan benda itu bagi anak atau para ahli waris misalnya sebidang tanah, sebuah
rumah sebidang kebun. Namun disini juga terkandung maksud agar tidak terjadi
perselisihan kelak setelah si pewaris meninggal.
Kedudukan janda dalam urusan warisan dapat disimpulkan bahwa:
(a) Janda berhak akan jaminan nafkah seumur hidupnya, baik dari hasil
barang gono-gini maupun dari hasil barang asal suami, jangan sampai
terlantar selanjutnya sesudah suaminya meninggal dunia.

8

b) Janda berhak menguasai harta peninggalan suaminya, untuk menarik
penghasilan dari barang-barang itu, lebih-lebih jika mempunyai anak,
harta itu tetap merupakan kesatuan dibawah asuhan yang tidak dibagibagi.
c) Janda berhak menahan barang asal suaminya, jikalau dan sekedar serta
selama barang asal itu sungguh-sungguh diperlukan olehnya, untuk
keperluan nafkahnya.
d) Janda berhak mendapat bagian atau menuntut sebesar bagian anak di dalam
keadaan terpaksa diadakan pembagian dengan anak, misalnya janda kawin
lagi, anak minta sebagian untuk modal berusaha dan sebagiannya.
Dengan memperhatikan hak-hak janda tersebut di atas maka kita mendapat
kesimpulan, bahwa kedudukan janda adalah kuat walaupun bukan ahli waris, ia
terjamin oleh anak-anak itu tadi.
Kedudukan Anak Angkat
Biasanya pengangkatan anak itu di masyarakat yang bersangkutan adalah:
a) Sebagai pemancing
b) Untuk meringankan beban keluarga yang diangkat
c) Untuk mempererat hubungan kedua keluarga tersebut
d) Untuk menjadikan sebagai teman di rumah atau untuk membantu di rumah
dalam keluarga
Jadi anak angkat dalam keluarga tersebut bukan sebagai ahli waris, tapi berhak
menikmati harta keluarga selama ia berada dalam keluarga tersebut.
Kedudukan Anak Tiri
Pada kenyataannya anak tiri menjadi anggota rumah tangga, didasarkan
kepada hidup bersama, mengikuti suka dan duka dalam keluarga dengan ibu
kandung dan bapak tiri atau sebaliknya. Walaupun diakui, terhadap ibu
kandungnya sendiri atau bapak kandungnya sendiri, anak itu tetap ahli waris dari
salah seorang, orang tuanya itu serta bukan ahli waris terhadap orang tua tirinya.

9

Kedudukan Hak Waris Selain Anak
Beberapa hal yang patut kita sebut ialah Hak Waris orang-orang selain
anak yaitu anak-anak yang diangkat berdasarkan hukum adat yang terjadi di dunia
adopsi, dan orang-orang yang karena meninggal dunia lebih dahulu memberi
jalan, bahwa Hak Warisnya jatuh kepada anak atau cucunya.
Hak Waris Selain Anak
a) Anak adalah ahli waris yang sah,
b) Harta peninggalan dapat pula jatuh pada janda-janda serta anak angkat malahan
mungkin pula anak tiri sebagai anggota rumah tangga yang ditinggal si
pewaris,
c) Apabila tidak ada anak, maka orang tua yang meninggal berhak atas warisan,
d) Angkatan yang tertua yang masih hidup, berarti menutup garis angkatan yang
lebih muda dan juga tingkatan-tingkatan dasar penggantian waris berlaku juga,
e) Apabila orang tua telah meninggal, maka saudara laki-laki dan perempuan
menggantikan mereka, tetapi saudaranya ini tidak mempunyai hak waris
selama orang tuanya masih hidup.
Tentang Hutang Piutang Pewaris
a) Ahli waris berkewajiban menyelenggarakan upacara mayat dan pengkuburan
b) Pembayaran hutang dan keperluan ongkos pengkuburan
c) Jika penyelenggaraan penguburan bukan oleh ahli waris maka ia berhak
mengambil sebagian harta peninggalan yang meninggal sesuai dengan
pengeluarannya.

2. Analisa Chapter Buku
Kegiatan masyarakat Indonesia tidak lepas dari yang namanya hukum adat.
Seperti apa yang telah dijelaskan oleh Prof. Dr. R. Van Dijk dalam Pengantar
Hukum adat Indonesia bahwa memang masyarakat adalah satu-satunya
masyarakat di dunia yang memiliki hukum waris adat yang kuat dan beragam.

10

Dalam buku ini juga dipaparkan berbagai bagian dari hukum cara pewarisan
dari mulai matrilineal, patrilineal, maupun bilateral..
Kemudian. dalam memberikan contoh pewarisan dalam hukum adat Van
Dijk menggunakan bahasa yang singkat namun mudah dimengerti dan bisa
memberikan gambaran secara keseluruhan dari bagian-bagian hukum waris adat
yang ada di Indonesia.
3. Analisa Chapter Buku dengan Chapter Buku Perbandingan
Pertama, kedua buku ini memiliki kajian yang sama, yaitu mengenai
hukum waris adat, walaupun tentu saja ada perbedaan di dalamnya, baik dalam
materi yang dikaji, cara penyampaian dan lainnya.
Perbedaan pertama, yang paling jelas terlihat, yaitu mengenai materi yang
dikaji.
Pengantar Hukum adat Indonesia

Asas-asas dan Susunan Hukum Adat

Hukum Waris adat dijelaskan secara Pengertian Hukum Waris Adat
keseluruhan tanpa membagi kedalam sub
judul materi.

Sistem Pembagian Waris Adat
Hibah
Hak Waris Selain anak

Dalam segi materi hukum waris secara sekilas buku Asas-asas dan Susunan
Hukum adat terlihat lebih sistematis. Namun dalam segi isi Buku pengantar
Hukum adat Indonesia tidak kalah kualitasnya. Bahkan dalam segi penyampaian
materi hukum waris adat Buku Pengantar Hukum adat Indonesia lebih mudah
untuk dipahami dari pada buku Asas-asas dan susunan hukum adat.

11

BAB IV
PENUTUP
1. Kesimpulan
Pengertian hukum waris belum terdapat keseragaman

sebagai suatu

pedoman atau standar hukum, dimana tiap-tiap golongan penduduk memberi arti
& definisi sendiri-sendiri, seperti terlihat pada sistem hukum kewarisan Islam,
hukum waris barat dan hukum waris adat. Namun demikian berbicara mengenai
hukum waris, ketiga sistem hukum waris itu sepakat bahwa didalamnya terdapat
tiga unsur penting yakni, adanya harta peninggalan atau harta kekayaan pewaris
yang disebut warisan, adanya pewaris dan adanya ahli waris.
Tipis sekali kemungkinan ataupun mustahil untuk dapat menciptakan
unifikasi dan kodifikasi hukum waris, mengingat kebutuhan hukum anggota
masyarakat tentang lapangan hukum bersangkutan adalah beraneka ragam dan
sering berbeda satu dengan lainnya sedemikian rupa sehingga perbedaan tersebut
tidak mungkin disamakan. Disamping itu terkait pula dengan hubungan dan
didomonasi oleh perasaan, kesadaran, kepercayaan dan agama, dengan kata lain
bertalian erat dengan pandangan hidup seseorang.
Dibeberapa daerah sistem pewarisan telah mengarah kepada susunan
kekeluargaan parental dan sistem pewarisan individual , walaupun disana sini
masih nampak adanya pengaruh kedudukan anak tertua lelaki sebagai pengganti
kedudukan ayah, keluarga-keluarga indonesia cendrung untuk tidak lagi
mempertahankan sistem kekerabatan patritineal atau matrilineal dengan sistem
pewarisan kolektif atau mayorat. Artinya didalam kehidupan masyarakat luas,
tidak lagi mempertahankan hukum adatnya yang lama, akan tetapi disesuaikan
dengan perkembangan zaman.

12

2. Saran
Untuk lebih menambah pemahaman, disarankan untuk membaca juga buku
mengenai hukum waris adat indonesia lainnya agar semakin menguasai mengenai
hukum waris adat Indonesia secara lebih mendalam.

13