Sumber Asas asas Hukum Islam dan al Ahka
Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah
PENGERTIAN SUMBER HUKUM ISLAM
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1976:974) sumber
adalah asal sesuatu. Sumber hukum Islam adalah asal (tempat pengambilan) hukum
islam. Allah telah menentukan sendiri sumber hukum (agama dan ajaran) Islam yang
wajib diikuti oleh setiap muslim. Menurut Alquran surat Al-Nisa’(4) ayat 59, setiap
muslim wajib mentaati kemauan atau kehendak Allah, kehendak rasul dan kehendak ulil
amri (orang yang mempunyai kekuasaan). Kehendak Allah berupa ketetapan kini tertulis
dalam Alquran, kehendak rasul berupa sunnah, kehendak penguasa kini dimuat dalam
perundang-undangan.
Menurut riwayat, pada suatu ketika Nabi Muhammad mengirim seorang
sahabatnya ke Yaman untuk menjadi gubernur disana. Sebelum berangkat nabi
Muhammad menguji sahabatnya yang bernama Mu’az bin Jabal itu dengan menanyakan
sumber hukum yang akan dipergunakannya kelak untuk memecahkan berbagai masalah
dan atau sengketa yang akan di jumpainya di daerah baru itu. Pertanyaan itu dijawab oleh
Mu’az dengan mengatakan bahwa dia akan mempergunakan Alquran sebagai sumber
hukum nya lalu nabi Muhammad bertanya : “jika tidak terdapat petunjuk khusus
(mengenai suatu masalah) dalam Alquran bagaimana?” Mu’az menjawab : “saya akan
mencarinya dalam sunnah nabi. Kemudian Nabi bertanya kembali : “Kalau engkau tidak
menemukan pemecahan masalahnya dalam sunnah nabi, bagaimana?” Mu’az menjawab :
“Jika demikian, saya akan berusaha sendiri mencari sumber pemecahannya dengan
mempergunakan akal saya.” Nabi sangat senang mendengar jawaban Mu’az tersebut dan
berkata : “Aku bersyukur kepada Allah yang telah menuntun utusan rasulnya
(H.M.Rasjidi, 1980: 456).Dari hadis Mu’az bin Jabal di atas, dapatlah disimpulkan bahwa
sumber hukum islam ada tiga, yaitu Alquran, As sunnah, dan akal pikiran manusia.
Jika dihubungkan dengan peringkatnya, Alquran dan As-Sunnah merupakan
sumber utama, sedangkan akal pikiran manusia merupakan sumber tambahan atau
sumber pengembangan. Selain itu dari hadis Mu’az bin Jabal itu pula kita dapat
menyimpulkan beberapa hal, yaitu (1) Alquran bukanlah kitab hukum yang memuat
kaidah-kaidah secara lengkap terinci. Pada umumnya hanya memuat kaidah-kaidah
hukum fundamental yang harus dikaji dengan teliti dan dikembangkan oleh pikiran
manusia, (2) Sunnah pada umumnya hanya mengandung kaidah-kaidah umum yang
harus dirinci oleh orang yang memenuhi syarat untuk dapat diterapkan dalam kasus-kasus
tertentu, (3) Hukum Islam yang terdapat dalam Alquran dan As Sunnah itu perlu dikaji,
dirinci lebih lanjut, (4) Hakim atau “penguasa” tidak boleh menolak untuk menyelesaikan
suatu masalah atau sengketa dengan alasan bahwa hukumnya tidak ada, ia wajib
memecahkan masalah yang disampaikan kepadanya melalui berbagai jalan (metode), cara
dan upaya.
Muhammad Idris As-Syafi’I (767-820 M) atau yang kita kenal dengan panggilan
Imam Syafi’I menyusun suatu teori tentang sumber-sumber hukum islam dalam sebuah
buku yang bernama Kitab al-Risala fi Usul al Fiqh. Menurut pendapat Syafi’i dalam
buku tersebut, sumber hukum Islam ada empat, yaitu : (1) Alquran, (2) As-Sunnah, (3) Al
Ijma, (4) Al Qiyas. Pendapat Imam Syafi’I ini disandarkan pada Alquran surat AlNisa’(4) ayat 59 yang berbunyi : “Hai orang orang yang beriman: taatilah Allah, taatilah
rasul, dan orang orang yang memegang kekuasaan di antara kamu. Jika kamu berbeda
pendapat mengenai sesuatu, Kembalikanlah (perbedaan pendapat itu) kepada Allah dan
rasul”. Selain bertitik-tolak dari Alquran surat An-Nisa’(4) ayat 59 diatas, pendapat
Syafi’I itu juga dimaksudkannya untuk menautkan pendapat Abu Hanifah yang
mengutamakan akal pikiran, setelah Alquran, sebagai sumber hukum Islam dengan
pendapat Malik bin Anas yang mengutamakan As Sunnah dan Al Hadis setelah Alquran
sebagai sumber hukum. Perbedaan pendapat antara para pendiri mazhab ini disebabkan
karena factor lingkungan, tersedianya narasumber, dan cara mereka berijtihad: Abu
Hanifah di Kufah (sekarang di Irak) sedangkan Malik bin Anas di Madinah (sekarang di
Saudi Arabia).
Keempat sumber hukum islam yang disebut oleh Syafi’I ini disepakati oleh para
ahli hukum (mazhab) yang lain. Karena itu Syafi’I dianggap sebagai arsitek agung,
pembangunan (teori) ilmu pengetahuan hukum islam. Ditanah air kita sumber hukum
islam dari mazhab manapun jika kita teliti dengan saksama, sesungguhnya pada
hakikatnya adalah sama, sama-sama berpendapat bahwa sumber utama adalah Alquran
dan As Sunnah. Sumber tambahan atau sumber pengembangan hukum islam yang lain
pada hakikatnya juga sama dengan menggunakan akal pikiran manusia baik sendirisendiri (qiyas) maupun bersama-sama melalui consensus (ijmak) dalam usaha
menemukan atau menentukan kaidah hukum untuk diterapkan pada satu kasus tertentu.
PENGERTIAN SUMBER HUKUM ISLAM
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1976:974) sumber
adalah asal sesuatu. Sumber hukum Islam adalah asal (tempat pengambilan) hukum
islam. Allah telah menentukan sendiri sumber hukum (agama dan ajaran) Islam yang
wajib diikuti oleh setiap muslim. Menurut Alquran surat Al-Nisa’(4) ayat 59, setiap
muslim wajib mentaati kemauan atau kehendak Allah, kehendak rasul dan kehendak ulil
amri (orang yang mempunyai kekuasaan). Kehendak Allah berupa ketetapan kini tertulis
dalam Alquran, kehendak rasul berupa sunnah, kehendak penguasa kini dimuat dalam
perundang-undangan.
Menurut riwayat, pada suatu ketika Nabi Muhammad mengirim seorang
sahabatnya ke Yaman untuk menjadi gubernur disana. Sebelum berangkat nabi
Muhammad menguji sahabatnya yang bernama Mu’az bin Jabal itu dengan menanyakan
sumber hukum yang akan dipergunakannya kelak untuk memecahkan berbagai masalah
dan atau sengketa yang akan di jumpainya di daerah baru itu. Pertanyaan itu dijawab oleh
Mu’az dengan mengatakan bahwa dia akan mempergunakan Alquran sebagai sumber
hukum nya lalu nabi Muhammad bertanya : “jika tidak terdapat petunjuk khusus
(mengenai suatu masalah) dalam Alquran bagaimana?” Mu’az menjawab : “saya akan
mencarinya dalam sunnah nabi. Kemudian Nabi bertanya kembali : “Kalau engkau tidak
menemukan pemecahan masalahnya dalam sunnah nabi, bagaimana?” Mu’az menjawab :
“Jika demikian, saya akan berusaha sendiri mencari sumber pemecahannya dengan
mempergunakan akal saya.” Nabi sangat senang mendengar jawaban Mu’az tersebut dan
berkata : “Aku bersyukur kepada Allah yang telah menuntun utusan rasulnya
(H.M.Rasjidi, 1980: 456).Dari hadis Mu’az bin Jabal di atas, dapatlah disimpulkan bahwa
sumber hukum islam ada tiga, yaitu Alquran, As sunnah, dan akal pikiran manusia.
Jika dihubungkan dengan peringkatnya, Alquran dan As-Sunnah merupakan
sumber utama, sedangkan akal pikiran manusia merupakan sumber tambahan atau
sumber pengembangan. Selain itu dari hadis Mu’az bin Jabal itu pula kita dapat
menyimpulkan beberapa hal, yaitu (1) Alquran bukanlah kitab hukum yang memuat
kaidah-kaidah secara lengkap terinci. Pada umumnya hanya memuat kaidah-kaidah
hukum fundamental yang harus dikaji dengan teliti dan dikembangkan oleh pikiran
manusia, (2) Sunnah pada umumnya hanya mengandung kaidah-kaidah umum yang
harus dirinci oleh orang yang memenuhi syarat untuk dapat diterapkan dalam kasus-kasus
tertentu, (3) Hukum Islam yang terdapat dalam Alquran dan As Sunnah itu perlu dikaji,
dirinci lebih lanjut, (4) Hakim atau “penguasa” tidak boleh menolak untuk menyelesaikan
suatu masalah atau sengketa dengan alasan bahwa hukumnya tidak ada, ia wajib
memecahkan masalah yang disampaikan kepadanya melalui berbagai jalan (metode), cara
dan upaya.
Muhammad Idris As-Syafi’I (767-820 M) atau yang kita kenal dengan panggilan
Imam Syafi’I menyusun suatu teori tentang sumber-sumber hukum islam dalam sebuah
buku yang bernama Kitab al-Risala fi Usul al Fiqh. Menurut pendapat Syafi’i dalam
buku tersebut, sumber hukum Islam ada empat, yaitu : (1) Alquran, (2) As-Sunnah, (3) Al
Ijma, (4) Al Qiyas. Pendapat Imam Syafi’I ini disandarkan pada Alquran surat AlNisa’(4) ayat 59 yang berbunyi : “Hai orang orang yang beriman: taatilah Allah, taatilah
rasul, dan orang orang yang memegang kekuasaan di antara kamu. Jika kamu berbeda
pendapat mengenai sesuatu, Kembalikanlah (perbedaan pendapat itu) kepada Allah dan
rasul”. Selain bertitik-tolak dari Alquran surat An-Nisa’(4) ayat 59 diatas, pendapat
Syafi’I itu juga dimaksudkannya untuk menautkan pendapat Abu Hanifah yang
mengutamakan akal pikiran, setelah Alquran, sebagai sumber hukum Islam dengan
pendapat Malik bin Anas yang mengutamakan As Sunnah dan Al Hadis setelah Alquran
sebagai sumber hukum. Perbedaan pendapat antara para pendiri mazhab ini disebabkan
karena factor lingkungan, tersedianya narasumber, dan cara mereka berijtihad: Abu
Hanifah di Kufah (sekarang di Irak) sedangkan Malik bin Anas di Madinah (sekarang di
Saudi Arabia).
Keempat sumber hukum islam yang disebut oleh Syafi’I ini disepakati oleh para
ahli hukum (mazhab) yang lain. Karena itu Syafi’I dianggap sebagai arsitek agung,
pembangunan (teori) ilmu pengetahuan hukum islam. Ditanah air kita sumber hukum
islam dari mazhab manapun jika kita teliti dengan saksama, sesungguhnya pada
hakikatnya adalah sama, sama-sama berpendapat bahwa sumber utama adalah Alquran
dan As Sunnah. Sumber tambahan atau sumber pengembangan hukum islam yang lain
pada hakikatnya juga sama dengan menggunakan akal pikiran manusia baik sendirisendiri (qiyas) maupun bersama-sama melalui consensus (ijmak) dalam usaha
menemukan atau menentukan kaidah hukum untuk diterapkan pada satu kasus tertentu.